Anda di halaman 1dari 27

FINAL TEST

MATA KULIAH LANDASAN PENDIDIKAN

Dosen Pengampu :

Dr. H. Mazrur, M.Pd


Dr. Desi Erawati, M.Ag

Oleh :

H. Gunawan
NIM. 17013190

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
1439 H/2017 M
JAWABAN SOAL FINAL TEST
1 A. Demokrasi adalah gabungan dari dua kata yaitu demos dan kratos yang diambil dari bahasa
Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi dapat
diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat memegang suatu peranan yang sangat
menentukan (Wuryo, Kasmiran, dkk. 1980:112).
Dalam pendidikan, ada nilai-nilai seperti, tidak memandang jenis kelamin, umur, warna
kulit, agama, dan bangsa. Nilai-nilai ini ditanamkan agar hubungan antara sesama peserta
didik dengan gurunya saling menghargai dan menghormati.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak
atau peserta didik untuk berfikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara
teratur, sistematis, dan komprehensif serta menumbuhkan kekritisan, sehingga anak didik
memiliki wawasan, kemampuan, dan kesempatan yang luas. Tentunya dalam proses
seperti itu diperlukan sikap yang demokratis.
Demokrasi dalam pendidikan mempunyai prinsip-prinsip ini begitu bermakna dalam dunia
pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Keadilan dalam pemerataan kesempatan belajar bagi semua warga negara dengan
cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada sistem politik yang ada.
2. Dalam rangka pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik.
3. Memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membangun sekolah demokrasi yaitu semua
warga sekolah mempunyai kesamaan persefsi terhadap dengan pola pembinaan siswa,
bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang
sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan yang belum
pintar, tidak membedakan antara yang rajin dengan yang belum rajin, semua memperoleh
perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu
untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya disaat liburan umum, sehingga
kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini telah memberikan pengalaman-
pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap
semua siswa, tanpa membedakan antara yang mayoritas dengan minoritas dalam
sekolahnya.
B.1. Demokratis dalam Pengembangan Kurikulum.
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, kerena kurikulumlah yang mereka
tawarkan kepada publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana dan
prasarana lainnya yang memadai. Sukmadinata, kurikulum sebagai suatu substansi,
yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar para siswa di sekolah,
yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, abahan ajar, proses kegiatan pembelajaran,
jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep yang
telah disusun oleh ara ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta
oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan.
Kurikulum merupakan salah satu yang dijual sekolah pada pelanggannya, semakin baik
kurikulum yang dirancang oleh sekolah, maka akan semakin tinggi daya tarik sekolah
tersebut bagi masyarakat. Kemudian kurikulum pulalah yang menjadi salah satu quality
assurance dari sekolah, dan dikontrol dengan apektif oleh guru dengan kepala
sekolahnya, sehingga bisa mencapai harapan – harapan sebagaimana yang dikehendaki
dan dirumuskan bersama antara manajemen sekolah, stakeholder serta unsur-unsur
masyarakat lain yang memberikan dukungan kepada sekolah tersebut. Permintaan
stakeholder terhadap sekolah memperkaya substansi kurikulum serta menuntut
kreativitas dan dinamika pengelolaan sekolahagar dapat melayani permintaan-
permintaan tersebut, dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologis siswa serta
kemampuan sekolah dalam memberikan layanan kepada cilent-nya itu. Sementara
pelibatan siswa dalam membahas perencanaan operasional pengembangan proses
pembelajaran, akan membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dinamis dan penuh
keceriaan, karena aspiratif dansesuaidengan permintaan para pembelajar.
2. Demokrasi dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar
menegakkan pilar-pilar demokrasi. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan
kewajiban, misalnya siswa dan guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
menjaga kebersihan kelas, kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan belajar mengajar
yang kondusif. Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi
iklim pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun. Interaksi guru dan siwa bukan
sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang sama-sama membangun karakter dan
jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya tetapi
membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan
murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mewariskan semangat “ing madya
mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah guru
senantiasa membangkitkan semangat bereksplorasi, berkreasi dan berprakarsa di kalangan
siwa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia yang hanya tunduk pada komando.
Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu
menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran
budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
3. Demokrasi dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah.
Vilsterm, pimpinan sekolah adalah seorang yang berada dalam posisi paling atas di
sekolah itu.1 Dalam konteks upaya mencapai berbagai kemajuan dan peningkatan-
peningkatan kualitas di sekolah, harus dipimpin oleh seorang kepala sekolah dengan
beberapa kriteria, sebagai berikut:
1. Mereka harus memiliki visi yang kuat sebagai gambaran organisasi di masa yang
akan datang, dan mereka juga harus berorientasi kepada outcome.
2. Mereka juga harus mampu mengkomunikasikan visinya pada anggota tim kerjanya,
yang secara kreatif menggunakan cara-cara tidak langsung untuk menyampaikan
visinya itu.
3. Mereka adalah orang yang tepat untuk berada dalam posisi sesuai pilihan, tetapi juga
merupakan orang yang mampu menjadikan kesalahan sebagai pelajaran untuk bisa
lebih baik.
4. Selalu memperoleh jalan untuk mampu melakukan perubahan-perubahan dalam
organisasi.
5. Mereka mampu menciptakan iklim dan suasana kerja yang memberdayakan pegawai
untuk melakukan yang terbaik, kerena mereka adalah orang-orang yang dapat
dikembangkan untuk menjangkau sukses.2
C. Keberadaan demokrasi dalam pendidikan islam, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
sejarah/demokrasi dalam ajaran Islam dan demokrasi secara umum. Demokrasi dalam
ajaran Islam secara prinsip telah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW yang dikenal
dengan istilah “musyawarah”. Kata demokrasi memang tidak ada terdapat di dalam Al-
Qur’an dan hadits, karena kata demokrasi berasal dari Baratatau Eropa yang masuk
keperadaban Islam. Dalam memberikan penafsiran makna demokrasi pendidikan mungkin
terdapat bermacam-macam konsep, seperti juga beraneka ragam pandangan dalam
memberikan arti demokrasi. Dalam pemerintahan demokrasi, demokrasi harus dijadikan
filsafat hidup yang harus ditanamkan kepada setiap peserta didik.
Prinsip-Prinsip Demokrasi Pendidikan Dalam Pandangan Islam
Jika kita memahami kembali kajian lama tentang demokrasi menurut pandangan Islam,
maka jelas konsep pengertiannya berbeda dengan konsep pengertian demokrasi di Barat,
diTimur,dansebagainya. Acuan pemahaman demokrasi dan demokrasi pendidikan dalam
pandangan ajaran islam rumusannya terdapat dalam beberapa sumber di bawah ini.
1. Al-Qur’an sebagaimana tersebut di bawah ini:

Artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.(Q.S Asy
Syura:38)

2. (Q.S An-Nahl: 43).

Artinya:
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jikakamu tidak mengetahui,” (Q.S An-Nahl: 43).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas dapat dipahami adanya prinsip musyawarah dan
persatuan dan kesatuan umat sebagai salah satu sendi atau pilar demokrasi. Disamping itu,
pilar yang lain seperti tolong-menolong, rasa kebersamaan, dan sebagainya.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk memutuskan segala sesuatu urusan
dengan cara musyawarah.
2. Agama Islam telah menganjurkan kepada umatnya agar memperlakukan orang lain
sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri.
3. Islam menyerukan adanya prinsip persamaan dan peluang yang sama dalam belajar,
sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan
antara si kaya dan si miskin dan status social ekonomi seorang pesertadidik
NO 2 A. Bentuk sekolah sebagai lembaga social adalah sekolah yang tidak hanya memberikan
keterampilan dan pengetahuan serta nilai universal tetapi juga nilai – nilai kebudayaan
dari masyarakat setempat. Kearifan local dari masyarakat juga menjadi bagian proses
pendidikan yang social, cirri – cirri nya: sekolah tersebut mempunyai mata pelajaran
bahasa daerah setempat, seni dan kebiasaan – kebiasaan baik dari masyarakat. Dengan
tidak berseberangan kepada nilai – nilai keyakinan pribadi yang luhur.
Dalam Undang undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945. Sehingga
dapat dipahami bahwa pendidikan di Indonesia berkaitan erat dengan social dan budaya
Indonesia. Sebab pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayaan Indonesia.
Ciri khusus agar pendidikan menjadi pusat kebudayaan adalah :1) dapat meningkatkan
mutu; 2) dapat menciptakan masyarakat belajar; 3) dapat menjadi teladan masyarakat
sekitarnya; dan 4) dapat membentuk manusia seutuhnya.
Maka dapat dipahami bahwa Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa
dilepaskan dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan
manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non
fisik. Hasil perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu
rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut mampu
melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat
disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam. Alam telah mendidik
manusia melalui situasi tertentu yang memicu akal budi manusia untuk mengelola
keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks
kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai
budaya. Karena pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses
pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.
B. 1. Imitasi
Imitasi yaitu proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap
penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa-apa yang dimilikinya. Imitasi pertama kali
muncul di lungkungan keluarga, kemudian lingkungan tetangga dan lingkungan
masyarakat. Imitasi merupakan proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru
orang lain melalui sikap, penampilan, gaya hidup, bahkan apa saja yang dimiliki orang
lain. Sedangkan dari wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Imitasi adalah suatu
proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh
model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang. Menurut Tarde faktor
imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang mendasari atau melandasi interaksi
sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Gerungan (1966:36). Imitasi tidak berlangsung
secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima dan mengagumi terhadap
apa yang diimitasi. Untuk mengadakan imitasi atau meniru ada faktor psikologis lain
yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak berlangsung secara otomatis, tetapi ada
faktor lain yang ikut berperan, sehingga seseorang mengadakan imitasi. Bagaimana
orang dapat mengimitasi sesuatu kalu orang yang bersangkutan tidak mempunyai sikap
menerima terhadap apa yang diimitasi itu. Dengan demikian untuk mengimitasi sesuatu
perlu adanya sikap menerima, ada sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu,
karena itu imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya. Contoh dari imitasi adalah
bahasa; anak belajar berbahasa melalui peniruan terhadap orang lain selain itu mode-
mode yang melanda masyarakat berkembang karena faktor imitasi.
2. Sugesti
Dalam suatu interaksi sosial melalui imitasi orang yang satu mengikut i sesuatu
di luar dirinya. Sedangkan dalam sugesti seseorang memberikan pandangan atau sikap
dari dirinya yang kemudian diterima oleh orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa sugesti adalah suatu proses dimana seseorang individu menerima suatu cara
penglihatan, atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih
dahulu. Suatu sugesti akan mudah terjadi apabila terjadi dalam hal- hal berikut:
• Kemampuan berpikir seseorang terhambat Dalam proses sugesti biasanya orang yang
dikenainya mengambil alih pandanganpandangan dari orang lain tanpa memberikan
pertimbangan kritik terlebih dahulu. Hal ini akan lebih mudah terjadi jia kemampuan
berpikir seseorang terhambat, misalnya karena kelelahan fisik, kelelahan berpikir,
atau karena rangsangan emosional. Keadaan pikiran yang terpecah-belah (disosiasi)
Sugesti mudah terjadi bila seseorang mengalami pikiran yang terpecah-belah.
Misalnya, jika seseorang sedang bingung, karena ia menghadapi kesulitan-kesulitan
hidup yang kompleks. Dalam keadaan banyak utang, misalnya seseorang mudah
disugesti oleh lintah darat untuk meminjam uang darinya.
• Otoritas Sugesti akan mudah terjadi jika orang yang memberi sugesti atau pandangan
itu adalah orang yang memiliki otoritas atau kewibawaan di idangnya. Misalnya,
seorang kyai yang berwibawa akan mudah diikuti dangannya oleh pengikutnya.
Begitu juga seorang ahli dalam bidang tertentu akan mudah diterima pandangannya,
jika ia berbicara di bidangnya itu.
• Mayoritas Seseorang seringkali cenderung untuk menerima ucapan atau pandangan
orang atau pihak lain, apabila pandangan itu didukung oleh sebagian besar
(mayoritas) golongan atau kelompoknya. Jika orang kebanyakan sudah menerima
pandangan itu, ia pun biasanya akan menyetujui pandangan tersebut.
3. Identifikasi
Identifikasi adalah pemberian tanda-tanda pada golongan barang-barang atau sesuatu.
Hal ini perlu, oleh karena tugas identifikasi ialah membedakan komponen-komponen
yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan. Dengan
identifikasi dapatlah suatu komponen itu dikenal dan diketahui masuk dalam
golongan mana. Cara pemberian tanda pengenal pada komponen, barang atau bahan
bermacam-macam antara lain dengan menggantungkan kartu pengenal, seperti halnya
orang yang akan naik kapal terbang, tasnya akan diberi tanpa pengenal pemilik agar
supaya nanti mengenalinya mudah atau bahan itu ditempel kertas pengenal, misalnya
panic ukuran 24,22,20 cm dan lain-lain.
4. Simpati
Simpati adalah suatu proses seseorang merasa tertarik terhadap pihak lain, sehingga
mampu merasakan apa yang dialami, dilakukan dan diderita orang lain.
Dalam simpati, perasaan memegang peranan penting. Simpati akan berlangsung
apabila terdapat pengertian pada kedua belah pihak. Simpati lebih banyak terlihat
dalam hubungan persahabatan, hubungan bertetangga, atau hubungan pekerjaan.
Seseorang merasa simpati dari pada orang lain karena sikap, penampilan, wibawa,
atau perbuatannya. Misalnya, mengucapkan selamat ulang tahun pada hari ulang tahun
merupakan wujud rasa simpati seseorang.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi terwujudnya Nilai dan Budaya Sekolah.
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok
manusia untuk waktu yang lama. Dalam mewujudkan budaya sekolah yang kondusif,
perlu adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terwujudnya budaya sekolah, yaitu:
a. Faktor menghambat pembentukan nilai dan budaya sekolah, diantaranya yaitu:
• Siswa itu sendiri Siswa yang memiliki masalah pribadi baik di rumah ataupun di
sekolah dapat menghambat penerapan budaya sekolah, karena sikap siswa yang
malas terhadap berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan budaya
sekolah. Sehingga pembentukan budaya sekolah tidak berjalan dengan baik.
• Manajemen sekolah Manajemen sekolah yang kurang disiplin merupakan salah
satu penghambat pembentukan budaya sekolah, karena budaya sekolah dapat
terlaksana dengan baik karena adanya manajemen sekolah yang kondusif dan
bentuk perhatian kepala sekolah dan komite sekolah dalam menerapkan budaya
sekolah.
• Guru Guru yang kurang memiliki sikap disiplin dan tanggung jawab tinggi dapat
mengakibatkan pembentukan budaya sekolah terkendala, karena siswa akan
mengikuti kebiasaan guru yang kurang baik daripada melihat kebiasaan baik
guru, sehingga guru diharapkan dapat menanamkan budaya sekolah yang baik
terhadap peserta didik.
b. Faktor pendukung pembentukan budaya sekolah Faktor pendukung dalam
pembentukan budaya disiplin di sekolah, diantaranya yaitu:
• Sarana prasarana. Adanya sarana prasarana yang cukup menunjang dalam
proses pembelajaran dapat digunakan untuk membentuk budaya sekolah,
karena sarana prasarana dapat mempengaruhi penerapan budaya sekolah yang
menyenangkan dan sarana prasarana adalah bentuk media pembelajaran siswa.
• Lingkungan yang kondusif Terbentuknya lingkungan kondusif karena adanya
bentuk kerjasama atau kekompakan yang baik antara warga sekolah, sehingga
dalam menerapkan dan menjalankan budaya sekolah dapat dijalankan dengan
baik.
• Peran orang tua Peran orang tua adalah salah satu pendukung terbentuknya
budaya sekolah yang baik. Bentuk perhatian orang tua terhadap anak
merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan budaya
sekolah yang kondusif.
Selain itu diharap kan orang tua siswa dapat menerapkan pola asuh yang tepat
untuk anak-anaknya dalam rangka membentuk karakter anak yang lebih baik
lagi, dan terus memberikan dukungan kepada anak dalam menjalankan budaya
disiplin dimanapun anak berada.
NO 3A.Landasan Yuridis pendidikan yang menyebutkan bahwa” Setiap warga Negara
memiliki hak yang sama dalam pendidikan” yakni terdapat pada UUD 1945 pasal 31
ayat 1. Yang berbunyi: Bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
Dan juga dituang kan dalam Sisdiknas nomor 20 tahun 2003.
Sudah dijelaskan dengan tegas bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama
dalam mendapatkan pendidikan, tidak memandang suku, Agama, dan juga tingkat
sosial seseorang apakah kaya atau miskin, ini berarti menunjukan betapa keadilan
yang diberikan oleh pemerintah kepada warga Negara nya sangat besar sekali
khususnya dibidang pendidikan.
B.
1. Terdapat dalam Al-Qur’an Surah (Al-Muzadalah Ayat 11)
‫َّللاُ ا هلذِينَ آ َمنُوا ِمن ُكم‬
‫ش ُزوا َي ْرفَعِ ه‬ ُ ‫ش ُزوا فَان‬ ُ ‫ۖ َو ِإذَا ِقي َل ان‬.... ْْ
ْ‫ب‬ ِ ‫َّللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخ‬ ٍ ‫َوالهذِينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم دَ َر َجا‬
‫ت ۚ َو ه‬
Artinya: ‘’ Dan apabila dikatakan, ”Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah
akan mengangkat (derajat) orangorang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa
yang kamu kerjakan’’. (Q.S.al-Mujadilah : 11)

2. Surah Azumar ayat 9

….

Artinya: Dari kedua ayat tersebut diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa betapa
penting nya menuntut ilmu karena akan dimuliakan dan diangkat derajat
nya oleh Allah SWT
NO 4
Pengertian Teori Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah
laku. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu
dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dengan kata lain proses pembelajaran
menurut teori Behaviorisme adalah bahwa proses pembelajaran lebih menekankan pada
proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa.
Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa behavioristik adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian
kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan
reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat
bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah
hasil belajar.
Pengertian Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivistik merupakan pembelajaran yang menekankan pada proses dan
lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide peserta didik. Teori ini juga
memandang kebebasan sebagai penentu keberhasilan belajar. Pengetahuan menurut teori
konstruktivistik bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari,
melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Sehingga dalam upaya membangun sumber daya manusia di masa depan
yang peka, mandiri, dan tanggung jawab serta memiliki potensi yang tinggi bisa tercapai.
Dengan kata lain, pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya
manusia masa depan yang memiliki karakteristik sesuai harapan.
Beberapa aspek konstruktivistik menurut Fornot adalah adaptasi (adaptation), konsep pada
lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of
meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget diperbarui yaitu adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Penyebabnya dalam
menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan
pengalaman barunya dengan skemata yang telah dipunyai, karena pengalaman barunya
sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Pengertian Kognitifistik
Teori belajar kognitif berasal dari pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman
yang kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat. Intisari dari teori belajar konstruktivisme
adalah bahwa belajar merupakan proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi
kompleks yang berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang
sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk dikonfirmasikan
dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak
sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar siswa mampu melakukan kegiatan
belajar, maka ia harus melibatkan diri secara aktif.
Teori kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi
dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan
hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Teori ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi
dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif
dan berbekas.
Ciri-ciri Aliran Kognitifistik
a) Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c) Mementingkn peranan kognitif
d) Mementingkan kondisi waktu sekarang
e) Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Dapat disimpulkan bahwa:
Pembelajaran menurut teori aliran behavioristik adalah upaya membentuk tingkah laku
yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan. Prinsip pembelajarannya ada penguatan
untuk meningkatkan motivasi belajar berupa pujian, aktivitas (mainan) dan simbolik (uang,
nilai), hukuman, dan perilaku belajar yang segera diikuti konsekuensi. Pembelajaran
menurut aliran kognitif , Jean Piaget memiliki 3 prinsip pembelajaran yaitu belajar aktif,
belajar lewat interkasi sosial dan pengalaman sendiri. Menurut Brunner antara lain
pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar, perstrukturan pengetahuan, urutan
penyajian materi dan pemberian penguatan. Sedangkan, David Ausubel yaitu kerangka
cantolan, belajar progesif, belajar superodinat dan penyesuaian integratif..
Pembelajaran berdasarkan teori kontruktivisme yang berperan dalam model pembelajaran
kuantum. Model ini adalah upaya untuk mengorkestrasikan berbagai interaksi dalam proses
pembelajaran menjadi cahaya prestasi, dengan menyingkirkan hambatan belajar dan
menfasilitasinya sehingga peserta didik dapat belajar dengan mudah.
5A. Sebagaimana yang dikemukakan Rutland yang di kutip dalam buku pendidikan karakter
M.furqon, Rutland mengemukan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang
berarti “dipahat”. Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit yang dengan hati-hati
dipahat ataupun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan menjadi sebuah
mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai
yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya. Tidak
ada perbaikan yang bersifat kosmetik, tidak ada susunan dekorasi yang dapat membuat
batu yang tidak berguna menjadi suatu seni yang bertahan lama. Hanya karakter yang dapat
melakukannya.
Secara harfiah karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau
reputasi. Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia, karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat,watak. Berkarakter
artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian.
Kata karakter memiliki sejumlah persamaan dengan moral, budi pekerti dan akhlak. Budi
pekerti adalah watak atau tabiat khusus seseorang untuk berbuat sopan dan menghargai
pihak lain yang tercermin dalam perilaku dan kehidupannya. Adapun watak itu merupakan
keseluruhan dorongan, sikap, keputusan, kebiasaan, dan nilai moral seseorang yang baik,
yang dicakaup dalam satu istilah. Dalam kamus umum KBBI kita menemukan bahwa budi
pekerti sama dengan akhlak. Menurut imam Abdul Mukmin Sa’aduddin mengemukakan
bahwa akhlak mengandung beberapa arti, antara lain:
1. Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan
tanpa diupayakan
2. Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni
berdasarkan keinginannya.
3. Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan
hingga menjadi adat. Kata akhlak juga dapat berarti kesopanan dan Agama.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan yakni: Pendidikan karakter
memiliki beberapa makna:
a. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran
yang terjadi pada semua mata pelajaran
b. Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya
anak merupakan organisme manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan
dikembangkan.
c. Penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk (lembaga).
4. Bahwa pendidikan karakter sangat lah urgen posisinya karena bangsa Indonesia
menghadapi kondisi yang kurang kondusif untuk membangun bangsa yang kuat.
Sehingga diperlukan usaha yang lebih yang dapat menjadikan bangsa yang
dihormati di mata dunia.
5. Tujuan pendidikan karakter telah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
B. Bagaimana internalisasi budaya dan karakter bangsa di lingkungan sekolah? Sekali lagi,
untuk mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan
intervensi dan habituasi, termasuk dalam proses pembelajaran. Sebenarnya pendidikan
karakter tidak harus menjadi sebuah mata pelajaran yang terpisah, tetapi bisa
diintegrasikan, meskipun ada beberapa daerah yang menerapkan pendidikan karakter
sebagai mata pelajaran yang mandiri.
Pendidikan karakter diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) pada setiap
mata pelajaran. Cukupkah jika hanya diterapkan dalam KBM di kelas? Pengintegrasian
dalam KBM mempunyai kelemahan terhadap kontrol, yakni kesulitan memastikan setiap
guru sudah menyampaikan atau mengakomodir penerapan pendidikan karakter dalam
KBM. Oleh karena itu, penerapan pendidikan karakter tidak cukup hanya diterapkan di
kelas. Diperlukan upaya komprehensif dan holistik melalui budaya sekolah, kegiatan
ekstrakurikuler, dan pembiasaan yang tidak bias antara di sekolah dengan keseharian di
rumah.
Berikut skemanya Skema Proses Pembudayaan dan Pemberdayaan Pendidikan Karakter:

C. Ada beberapa prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter
bangsa. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa tersebut meliputi hal-hal berikut ini.
1. Berkelanjutan
Prinsip ini menggambarkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang. Proses ini dimulai dari awal peserta
didik masuk sampai peserta didik selesai dari suatu satuan pendidikan.
2. Terintegrasi melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah
Prinsip ini mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya karakter
bangsa dilakukan melalui semua mata pelajaran, dalam setiap kegiatan kurikuler,
maupun ekstrakurikuler, termasuk dalam budaya sekolah. Hal ini karena memang
proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi di dalam seluruh
kegiatan yang ada dalam sekolah.
3. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan
Prinsip ini bermakna bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan
ajar biasa. Maksudnya, nilai-nilai tidak dijadikan sebagai pokok bahasan yang
diajarkan seperti mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, maupun fakta dalam suatu
mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, Matematika, dan pelajaran
lainnya.
Materi pelajaran dijadikan sebagai media atau bahan untuk mengembangkan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa. Guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah
ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan tersebut untuk mengembangkan nilai-
nilai budaya dan karakter bangsa. Konsekuensinya, nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa tidak ditanyakan ketika ulangan atau ujian. Namun, pserta didik tetap perlu
memahami pengertian suatu nilai yang sedang mereka kembangkan sehingga mereka
tidak berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna dari nilai tersebut.
4. Proses pendidikan dilakukan secara aktif dan menyenangkan
Dalam prinsip ini mengandung makna bahwa proses pendidikan nilai budaya karakter
bangsa dilakukan oleh peserta didik, bukan oleh gurunya. Guru sebatas memberi
dorongan dan arahan dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Untuk
memudahkan pencapaian diperlukan suasana belajar yang menimbulkan rasa senang
dan tidak merasa didoktrinasi.
Prinsip-prinsip di atas jika diimplementasikan secara benar dan efektif akan
menghasilkan perubahan sikap dan perilaku yang mendasar. Nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa yang dikembangkan dalam proses pembelajaran baik di dalam kelas
maupun di luar kelas akan terinternalisasi secara sadar atau tidak sadar ke dalam
perilaku peserta didik, sehingga mereka menjadi insan yang berkarakter. Proses ini
tidak akan berhasil tanpa adanya sebuah teladan dari para pemangku kepentingan,
khusunya guru
6 A. Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal
batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai
pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa
di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua
dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang
kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, dan terutama pada bidang
pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam
globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan
berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu
globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya
arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak
sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi
dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang
dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa
Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang
pendidikan mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan
untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat.
Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar
dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup
negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus
menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri.
B. 1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini.
Berdasarkan phenomena yang ada hampir pada setiap lembaga pendidikan, ada
beberapa faktor Eksternal yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan lembaga
pendidikan yang ada yakni:
a. Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan
global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti
terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003:
182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti
terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang
pendidikan. Namun gejala ke arah itu sudah mulai nampak.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual
pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama
menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah
terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu negara, dari keunggulan
komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive
advantage).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional
akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan
dengan kekuatan pendidikan global.
b. Permasalahan Perubahan Sosial
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu
perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial
berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan
pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya
menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara
akurat (Karim, 1991: 28).
Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan
sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan
sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis
pendidikan nasional.
c. Masalah Politik
Hubungan antara politik dan pendidikan tampak demikian erat. Perkembangan
kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para
penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan
untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Menurut Albernetty dan Combe (1965) dalam Agung Prihantoro (2000), bahwa
hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek
yaitu: Pembentukan sikap kelompok (group attitude) Aspek pertama yaitu
pembentukan sikap kelompok, dalam arti rakyat Indonesia telah menjadi korban
imperialisme budaya, sehingga mereka cenderung menginginkan sistem pendidikan
secara terpisah, maka dari itu timbul dua sistem yaitu: Sistem keagaman Islam dan
Sistem non keagamaan Islam, Maka lahirlah sekolah Islam, sekolah Kristen dan lain-
lain. Masalah pengangguran (unemployment) Aspek kedua masalah pengangguran,
dalam arti dalam dunia politik seseorang itu dipersyaratkan harus mempunyai
pendidikan yang cukup tinggi karena hanya publik yang terdidiklah yang diminta
turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Sedangkan bagi mereka
yang berpendidikan rendah pengangguranlah baginya Peranan politik kaum
cendekiawan (the political role of the intelligentsia). Aspek ketiga peranan politik
kaum cendekiawan, dalam arti para cendekiawan mempunyai peranan penting dalam
politik, karena merekalah salah satu yang menjalankan roda pemerintahan dan
mereka pulalah yang mempengaruhi maju mundurnya politik dalam suatu Negara.
Karena yang dinamakan cendekiawan pasti dia adalah orang yang bersal dari
kalangan ilmuan pendidikan yang sangat baik. Sehingga dia bisa berpereb dalam
dunia politik, yang mana proses dan lembaga-lembega pendidikan memiliki banyak
dimensi dan aspek politik. Sedangkan lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi
penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang
berbeda-beda.
2. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia
masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat
permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang
berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga
permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti
permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana,
manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik.
Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ada tiga
permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem
kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
a. Permasalahan Sistem Kelembagaan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah
mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan
pendidikan agama.
Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya
merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan
ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam
konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita
anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan
solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif
(1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan
yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat
agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi
miskin wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan
pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia
Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12)
menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada
di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.
b. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran
adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai
ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi
guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting
bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah
kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar
baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh
kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang
demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang
tinggi.
c. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang
sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para
peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma
pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan
paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal,
berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan
pengajaran berbasis faktual atau pengetahuan.
C. 1. Permasalahan global
2. Permasalahan sosial
3. Permasalahan Profesionalisme guru
4. Permasalahan Strategi Pembelajaran
NO7. Ada 4 pilar-pilar pendidikan universal yang dirumuskan oleh UNESCO (Geremeck,
1986) yaitu, belajar untuk mengetahui ( learning to know) , belajar untuk melakukan
(learning to do) , belajar menjadi ( learning to be), belajar dengan berkerjasama ( learning
to live together) merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap peserta didik.
1. Learning to Know (belajar untuk menguasai)
Belajar untuk mendapatkan pengetahuan. Ini adalah bagian dari proses pembelajaran
yang memungkinkan pelajar/mahasiswanya untuk tidak sekedar memperoleh
pengetahuan tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini
berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan
intelektual dan akademik yang tinggi.
Learning to know mengandung makna bahwa belajar tidak hanya berorientasi pada
produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi pada proses belajar.
Dalam proses belajar, peserta didik bukan hanya menyadari apa yang harus di pelajari
tetapi juga diharapkan menyadari bagaimana cara mempelajari apa yang seharusnya
dipelajari. Kesadaran tersebut, memungkinkan proses belajar tidak terbatas di sekolah
saja, akan tetapi memungkinkan peserta didik untuk belajar secara berkesinambungan.
Inilah hakekat dari semboyan "belajar sepanjang hayat". Apabila hal ini dimiliki
peserta didik, maka masyarakat belajar (learning society) sebagai salah satu tuntutan
global saat ini akan terbentuk. Oleh sebab itu belajar untuk mengetahui juga dapat
bermakna belajar berpikir karena setiap individu akan terus belajar sehingga dalam
dirinya akan tumbuh kemauan dan kemampuan untuk berpikir. Learning to know,
dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk
mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga
berarti learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan
dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.
2. Learning to do (belajar untuk menerapkan)
Belajar untuk menerapkan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kamampuan kerja
generasi muda. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi yang
konkrit yang tidak terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis melainkan
juga terampil dalam berkomusikasi, bekerja sama, mengelola dan mengatasi suatu
konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang
intelligent dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Learnning to do mengandung makna bahwa belajar bukanlah sekedar mendengar dan
melihat untuk mengakumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar dengan dan untuk
melakukan sesuatu aktivitas dengan tujuan akhir untuk menguasai kompetensi yang
diperlukan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kompetensi akan dapat dimiliki
oleh pesrta didik apabila diberikan kesempatan untuk belajar dengan melakukan apa
yang harus dipelajarinya secara langsung.Dengan demikian learning to do juga berarti
proses pembelajaran berorientasi pada pengalaman langsung (learning by experience).
Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga
lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja
dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam
berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat
konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program
bergantian antara belajar dan bekerja. Sekolah juga berperan penting dalam
menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah
peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya
adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta
didik terlatih untuk memecahkan masalah.
3. Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama)
Learning to live together adalah belajar untuk bekerjasama melalui proses
bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam
masyarakat global dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok
tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mengasingkan diri dari masyarakat sekitarnya.
Dalam hal ini termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis yang memahami
dan menyadari akan adanya perbedaan pandangan antar individu. Learning to live
together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan
orang lain dan apresiasi atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama
dan belajar memenej konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan,
saling memahami dan perdamaian.
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi
desa global ternyata tidak menghapus konflik antar manusia yang selalu mewarnai
sejarah umat manusia. Di zaman yang semakin kompleks ini, berbagai konflik makin
merebak seperti konflik nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya,
semua konflik itu didasari oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok
untuk menerima suatu perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali
generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan
masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang
berbeda dengan penuh toleransi, dan pengertian.
4. Learning to be (belajar untuk menjadi)
Learning to be mengandung arti bahwa belajar adalah proses untuk membentuk
manusia yang memiliki jati dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik harus berusaha
memfasilitasi peserta didik agar bealajar mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai
individu yang berkepribadian utuh dan bertanggung jawab sebagai individu sekaligus
sebagai anggota masyarakat. Dalam pengertian ini terkandung makna bahwa
kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yakni makhluk hidup yang
memiliki tanggung jawab sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan
dan kelemahannya. Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih
baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab
pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan
keterampilan berkomunikasi. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman
terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah
yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya
merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi
baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).

NO 8. Seiring dengan kemajuan teknologi yang mengglobal telah terpengaruh dalam segala
aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, seni dan bahkan di
dunia pendidikan. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari
dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi
kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam
melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi informasi sudah
menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan
dalam dekade terakhir ini. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk
menghasilkan manfaat positif, di sisi lain juga memungkinkan digunakan untuk hal
negatif.
Pengaruh Positif Teknologi Terhadap Dunia Pendidikan
a. Munculnya Media Massa, khususnya Media elektronik sebagai sumber ilmu dan
pusat Pendidikan. Seperti jaringan Internet, Lab. Komputer Sekolah dan lain-lain.
Dampak dari hal ini yaitu guru bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan,
sehingga siswa dalam belajar tidak perlu terlalu terpaku terhadap Informasi yang
diajarkan oleh guru, tetapi juga bisa mengakses materi pelajaran langsung dari
Internet, olehnya itu guru disini bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai
pembimbing siswa untuk mengarahkan dan memantau jalannya pendidikan, agar
siswa tidak salah arah dalam menggunakan Media Informasi dan Komunikasi
dalam pembelajaran.
b. Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang memudahkan siswa dan
guru dalam proses pembelajaran. Dengan kemajuan Teknologi terciptalah metode-
metode baru yang membuat siswa mampu memahami materi-materi yang abstrak,
karena materi tersebut dengan bantuan Teknologi bisa dibuat abstrak, dan dapat
dipahami secara mudah oleh siswa.
c. Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka. Selama ini, proses
pembelajaran yang kita kenal yaitu adanya pembelajaran yang disampaikan hanya
dengan tatap muka langsung, namun dengan adanya kemajuan teknologi, proses
pembelajaran tidak harus mempertemukan siswa dengan guru, tetapi bisa juga
menggunakan jasa pos Internet dan lain-lain.
d. Adanya sistem pengolahan data hasil penilaian yang menggunakan pemamfaatan
Teknologi. Dulu, ketika orang melakukan sebuah penelitian, maka untuk
melakukan analisis terhadap data yang sudah diperoleh harus dianalisis dan
dihitung secara manual. Namun setelah adanya perkembangan IPTEK, semua
tugasnya yang dulunya dikerjakan dengan manual dan membutuhkan waktu yang
cukup lama, menjadi sesuatu yang mudah untuk dikerjakan, yaitu dengan
menggunakan media teknologi, seperti Komputer, yang dapat mengolah data
dengan memamfaatkan berbagai program yang telah di installkan.
e. Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas pendidikan dapat dipenuhi dengan cepat.
Dalam bidang pendidikan tentu banyak hal dan bahan yang harus dipersiapkan,
salah satu contoh, yaitu ; Penggandaan soal Ujian, dengan adanya mesin foto copy,
untuk memenuhi kebutuhan akan jumlah soal yang banyak tentu membutuhkan
waktu yang lama untuk mengerjakannya kalau dilakukan secara manual. Tapi
dengan perkembangan teknologi semuanya itu dapat dilakukan hanya dalam waktu
yang singkat. Khususnya dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa manfaat yang
dapat diperoleh dari perkembangan IPTEK, yaitu :
1. Pembelajaran menjadi lebih efektif dan menarik.
2. Dapat menjelaskan sesuatu yang sulit / Kompleks.
3. Mempercepat proses yang lama.
4. Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi.
5. Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau diluar jangkauan.
Pengaruh Negatif Teknologi terhadap Dunia Pendidikan
Disamping dampak positif yang ditimbulkan oleh perkembangan IPTEK, juga akan
muncul dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh perkembangan IPTEK dalam
proses pendidikan, antara lain:
1. Dampak negatifnya:
a. Pihak guru yang tidak bisa mengoperasikan/menguasai elektronika akan
tertinggal oleh siswa.
b. Teknologi dalam pendidikan memerlukan SDM yang berkualitas untuk
bisa mempercepat inovasi sekolah, sedangkan realita masih kurang.
c. Teknologi yang baik (hardware maupun software) membutuhkan biaya
yang mah.
d. Penggunaan teknologi dalam pendidikan memerlukan kontrol yang tinggi
dari guru atau orang tua.
e. Siswa yang tidak mempunyai motivasi yang tinggi cenderung gagal.
f. Internet identik dengan pornografi yang berpengaruh buruk terhadap
siswa yang belum semestinya (dibawah umur).
g. Siswa menjadi malas belajar. Dengan adanya peralatan yang seharusnya
dapat memudahkan siswa dalam belajar, seperti Laptop dengan jaringan
internet, ini malah sering membuat siswa menjadi malas belajar,
terkadang banyak diantara mereka yang menghabiskan waktunya untuk
internetan yang hanya mendatangkan kesenangan semata,
seperti Facebook, Chating, Friendster dan lain-lain, yang semuanya itu
tentu akan berpengaruh terhadap minat belajar siswa.
h. Terjadinya pelanggaran Asusila. Sering kita dengar di berita-berita,
dimana terjadi pelaku pelanggaran asusila dilakukan oleh seorang pelajar
terhadap pelajar lainnya, seperti terjadinya tawuran antar pelajar, terjadi
priseks, pemerkosaan siswi dan lain-lain.
Dari uraian diatas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa Ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang terus, bahkan dewasa ini berlangsung dengan pesat.
Perkembangan itu bukan hanya dalam hitungan tahun, bulan, atau hari, melainkan jam,
bahkan menit atau detik, terutama berkaitan dengan teknologi informasi dan
komunikasi yang ditunjang dengan teknologi elektronika. Pengaruhnya meluas ke
berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. B. Uno, H. Hamzah, Profesi Kependidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011. Rosyada, Dede,
Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Prenada Media, 2004.

2. Dr.Hj.Binti Maunah,M.Pd.I. Sosiologi Pendidikan. 102. 2016. Kalimedia.)

3. Dharma Kesuma , Cepi Triatna, Johar, Pendidikan Karakter, kajian Teori dan Praktik di sekolah,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011, Hlm.63

4. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Sekolah Berwawasan Budi Pekerti. Jakarta:
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

5. Hamid Darmadi. 2009. Kemampuan Dasar Mengajar, Landasan Konsep dan Implementasi.
Bandung: Alfabeta.

6. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

7. Megawawangi Ratna, pendidikan karakter Solusi yang tepat untuk membangun bangsa, Bogor:
IHF, 2004, hlm. 95

8. Tilaar, H.A.R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004.

9. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1

Anda mungkin juga menyukai