Anda di halaman 1dari 9

Penugasan Blok 3.

3 Masalah Pada Remaja

LAPORAN PENUGASAN KASUS JIWA

Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD)

Oleh :

Adityo Suryo Wasisto (15711117)

Moch Arrosyid Azmie Putra (17711114)

Tutorial 15

Tutor : dr. Annisa Rachmawati, M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2019

1
PENDAHULUAN

Gangguan obsesif dan kompulsif (OCD) merupakan gangguan


kecemasan yang ditandai oleh pikiran pikiran obsesif yang persisten dan
disertai tindakan kompulsif. Kondisi dimana individu tidak mampu
mengontrol pikiran-pikirannya yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak
diharapkan dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk mengontrol
pikirannya tersebut, sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasannya.
Penderita mengetahui bahwa perbuatan dan pikirannya itu tidak masuk akal,
tetapi ia tidak dapat menghilangkannya dan juga ia tidak mengerti mengapa
bisa memiliki dorongan yang begitu kuat untuk berbuat demikian(Maramis,
2009).

Obsesi merupakan perasaan, pikiran, atau gagasan yang berulang dan


mengganggu. Sedangkan, kompulsi merupakan perilaku yang disadari dan
berulang, seperti menghitung, memeriksa, menghindar, dan lain-lain(Maramis,
2009).

MANIFESTASI KLINIS

Gangguan obsesif dan kompulsif (OCD) adalah kelainan neuropsikiatri


yang ditandai dengan adanya pikiran serta perilaku yang berulang. Hal
tersebuttidak dapat dikendalikan oleh individu itu sendiri, sehingga memaksa
penderitanya harus melakukan hal tersebut agar obsesinya teratasi(Starcevic
and Brakoulias, 2014). Jika tidak melakukan tindakan sesuai dengan
obsesinya, maka individu akan cemas dan merasakan adanya ancaman atau
berada dalam bahaya. Gambaran klinis yang tampak dari pasien OCD
sangatlah luas dan beragam, dimana dapat muncul mulai dari masa kecil, 30-
50% diantaranya muncul sebelum usia 10 tahun(Pauls et al., 2014). Terdapat
empat pola gejala dari OCD, diantaranya adalah kontaminasi, keraguan
patologis, pikiran yang mengganggu, dan simetri. Kontaminasi yang dimaksud
ialah adanya obsesi untuk menghindari objek yang terduga terkontaminasi
seperti urin, feses, debu atau melakukan tindakan membersihkan atau mencuci

2
secara berlebihan. Sedangkan untuk pola keraguan patologis dapat berupa
pengecekan berulang tentang tindakan yang dapat menyebabkan bahaya,
seperti lupa mengunci pintu dan mematikan kompor. Selanjutnya untuk pola
pikiran yang mengganggu dapat berupa pikiran obsesif tanpa adanya
kompulsif, hal tersebut berkaitan dengan hal yang krusial seperti seksualitas
dan agresifitas yang telah dilakukan oleh penderita. Sehingga pasien dapat
melaporkan dirinya ke pihak yang berwenang jika melakukan hal tersebut.
Kemudian untuk pola simetri dapat berupa kebutuhan yang berlebihan akan
kesimetrisan atau presisi yang dapat menyebabkan kompulsi. Tindakan
kompulsi tersebut dapat menyebabkan keterlambatan atau memakan waktu
yang lama(Kaplan & Sadock, 2010).

Berdasarkan video kasus terkait OCD, didapatkan berbagai gejala yang


muncul, diantaranya adalah :
1. Harus menata semua perlengkapan yang mau digunakan terlebih dahulu,
padahal harusnya tidak perlu dilakukan.
2. Mencuci tangan hingga 4 kali karena adanya pikiran untuk mencuci lagi
dan lagi karena merasa tangan belum bersih, tetapi sebenarnya menyadari
bahwa hal tersebut seharusnya tidak dilakukan.
3. Mengeringkan tangan dengan dua handuk dan diulang. Setelah itu
merapikan handuk persis sebelum digunakan. Dia tahu bahwa ini
membuang waktu, tapi hal ini tidak bisa ia hindari.
4. Setiap melewati sesuatu yang dianggap tidak sesuai posisinya, ia mencoba
membenarkannya, padahal itu akan membuang waktunya dan tak berguna.
5. Kembali lagi meskipun sudah mau berangkat, karena tempat tidurnya
masih belum dibereskan, padahal ia tau sudah terlambat masuk kelas.
6. Mengulangi proses penalian sepatu, karena dirasa tidak sesuai yang
diinginkan, atau terlalu menekan, dan ia ulangi sampai menemukan
tekanan yang pas
7. Mengenakan jaket dengan irama yang biasa ia lakukan, jika belum pas,
maka ia ulangi.

3
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis kelainan psikiatrik ini dapat diawali dengan
anamnesis atau pengajuan beberapa pertanyaan berdasar National Institute for
Health and Care Excellence (NICE)12. Pertanyaan tersebut diantaranya
adalah:
1. Apakah Anda sering mencuci atau membersihkan?
2. Apakah Anda sering berulang kali dalam memeriksa kembali sesuatu hal?
3. Adakah pemikiran yang terus mengganggu Anda, dan pikiran tersebut
ingin Anda singkirkan tetapi tidak bisa?
4. Apakah aktivitas harian Anda membutuhkan waktu lama untuk
diselesaikan?
5. Apakah Anda harus meletakkan barang-barang dalam urutan khusus atau
merasa sangat kesal jika ada suatu hal yang terlihat kacau atau berantakan?
6. Apakah masalah ini mengganggu Anda?
Jika pasien menjawab “Ya” pada salah satu pertanyaan diatas, maka perlu
dilakukan interview lebih lanjut berdasarkan kriteria International
Classification of Disease (ICD) 10, yaitu paling tidak adanya gejala obsesi,
kompulsi, ataupun keduanya yang terjadi selama dua minggu berturut-turut.
Gejala tersebut diantaranya adalah:

1. Obsesi dan kompulsi terjadi hampir tiap harinya selama minimal 2 minggu
2. Adanya obsesi berupa pikiran, gambaran, ataupun keinginan yang tidak
diinginkan bersifat menetap, berulang sehingga individu merasa tidak
senang dan terancam jika tidak dilakukan
3. Kompulsi berupa tindakan seperti disetir atau tidak dapat dikendalikan
sendiri
4. Adanya upaya atau tindakan menolak kompulsi
5. Tindakan kompulsi yang dilakukan sebenarnya tidak menyenangkan,
tetapi setelah melakukannya merasa terbebas dari kecemasan(Veale and
Roberts, 2014).

Berdasarkan DSM V, kriteria diagnostik untuk OCD diantaranya adalah:

4
A. Adanya obsesi, kompulsif, ataupun keduanya. Definisi obsesi diantaranya
adalah :
1. Adanya pikiran, dorongan, atau bayangan bersifat berulang dan
persisten yang dirasakan individu, dimana gangguan pemikiran
tersebut menyebabkan kecemasan dan kesengsaraan.
2. Individu berupaya untuk menghindari pikiran, dorongan, atau
bayangan tersebut dengan cara melakukan suatu tindakan (atau
melakukan kompulsi).

Sedangkan, kompulsi didefenisikan sebagai :

1. Tindakan yang berulang seperti mencuci tangan, melakukan


checking berulang atau tindakan mental lain seperti berdoa,
mengulangi kata-kata secara diam, dimana seluruh tindakan
tersebut seperti dikendalikan untuk dilakukan secara rigid.
2. Tindakan berulang yang dilakukan tersebut dilakukan untuk
mengurangi atau mengatasi kecemasan.
B. Obsesi dan kompulsi bersifat memakan waktu, yaitu lebih dari 1 jam
perharinya, yang dapat mengganggu kehidupan sosial, pekerjaan, atau hal
penting lainnya.
C. Kondisi obsesi-kompulsi yang dirasakan tidak terkait penggunaan zat atau
kondisi medis lainnya.
D. Gangguan yang dirasakan tidak dapat dijelaskan atau disebabkan oleh
kondisi mental lain(Vicario and Hernandez, 2013).

Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnostik untuk OCD diantaranya


adalah:

 Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan


kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya dua minggu berturut-turut.
 Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktivitas penderita.
 Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
a) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;
b) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita;
c) Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan
hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan
seperti dimaksud di atas);

5
d) Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
 Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi
berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama
episode depresif-nya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan
perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutarnakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresjf pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul. Bila
dari keduanya tidak ada yang menonjol, rnaka lebih baik menganggap
depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka
prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain
menghilang.
 Gejala obsesif "sekunder" yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai
bagian dari kondisi tersebu(Maslim, 2013).

TATALAKSANA
Banyak pasien dengan OCD menolak upaya terapi. Mereka menolak
meminum obat dan menjalankan tugas rumah serta aktivitas lain yang
disarankan ahli terapi. Gejala obsesif kompulsif itu sendiri, walaupun
memiliki dasar biologis, dapat memiliki arti psikologis penting yang membuat
pasien enggan menghentikannya(Kaplan & Sadock, 2010).

Studi menemukan bahwa farmakoterapi, terapi perilaku, atau kombinasi


keduanya sama efektif dalam mengurangi gejala pasien OCD secara
signifikan. Keputusan mengenai terapi yang akan digunakan didasarkan pada
penilaian dan pengalaman klinisi serta pada penerimaan pasien terhadap
berbagai modalitas(Kaplan & Sadock, 2010).

FARMAKOTERAPI

Karena peran sistem serotonergik dalam patogenesis OCD. Dengan demikian,


tidak mengherankan bahwa andalan farmakoterapi untuk gangguan ini adalah
SRI, terutama clomipramine dan SSRI

6
Pendekatan standarnya adalah dimulai dengan pemberian SSRI atau
clomipramine dan kemudian berpindah ke obat lain jika SSRI dan
clomipramine tidak efektif

 SSRI
SSRI (fluoxetine, sitalopram, escitalopram, fluvoksamin, paroksetin,
sertralin) telah disetujui U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk
terapi OCD. Dosis yang lebih tinggi (escitalopram 30 mg, fluoxetine 80
mg, sertraline 200 mg) sering diperlukan untuk memberikan efek yang
menguntungkan. Pengobatan dilakukan selama setidaknya 1 tahun dan
dilakukan tappering off untuk mencegah kekambuhan. Walaupun SSRI
dapat menyebabkan gangguan tidur, mual dan diare, sakit kepala, ansietas,
dan kegelisahan, efek samping ini biasanya hanya bersifat sementara dan
umumnya tidak terlalu menyulitkan daripada efek samping obat trisiklik,
seperti clomipramine. Hasil klinis terbaik didapatkan ketika SSRI
dikombinasikan dengan terapi perilaku. SSRI lebih selektif dalam
menghambat uptake serotonin dibandingkan clomipramine. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa respons terhadap SRI lebih lambat pada
OCD daripada pada depresi. Oleh karena itu, pemberian SSRI dilakukan
selama setidaknya 12 minggu sebelum memutuskan untuk beralih agen
atau menambah dengan psikotropika lain(Kaplan & Sadock, 2010).

Namun, dalam pengaturan klinis, perbedaan efek samping dan tolerabilitas


antara SSRI dapat mempengaruhi keputusan pengobatan. Misalnya,
kenaikan berat badan lebih umum terjadi pada penggunaan paroxetine,
sedangkan insomnia dan agitasi paling sering dikaitkan dengan
penggunaan fluoxetine dan sertraline(Kaplan & Sadock, 2010).

 Clomipramine Dari semua obat trisiktik dan letrasiklik, clomipramine


adalah yang paling selektif untuk ambilan kembali serotonin dibandingkan
ambilan kembali norepinefrin. Dulunya clomipramine adalah obat pertama
yang disetujui U.S FDA untuk terapi OCD. Penggunaan dosisnya harus
ditingkatkan setelah 2-3 minggu jika tidak memberikan perbaikan, untuk
menghindari efek samping gastrointestinal dan hipotensi ortostatik. Seperti
obat trisiklik lainnya, obat ini menimbulkan sedasi dan efek antikolinergik,
termasuk mulut kering dan konstipasi. Seperli SSRI, hasil terbaik berasal
dari kombinasi obat dengan terapi perilaku(Kaplan & Sadock, 2010).

 Obat lain

7
Jika terapi dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak terapis
memperkuat obat pertama dengan penambahan valproat, litium, atau
karbamazepin. Obat lain yang dapat dicoba di dalam terapi OCD adalah
venlafaksin, pindolol, dan MAOI, khususnya fenelzin(Kaplan & Sadock,
2010).

TERAPI PERILAKU

Terapi perilaku sama efektifnya dengan farmakoterapi pada OCD, dan


sejumlah data menunjukkan bahwa efek menguntungkan bertahan lama
dengan adanya terapi perilaku. Terapi perilaku dapat dilakukan di lingkungan
rawat inap dan rawat jalan. Pendekatan perilaku yang penting di dalam OCD
adalah pajanan dan pencegahan respons. Desensitisasi, penghentian pikiran,
pembanjiran, terapi implosi, dan aversive conditioning juga telah digunakan
pada pasien OCD. Di dalam terapi perilaku, pasien harus benar-benar
berkomitmen terhadap perbaikan(Kaplan & Sadock, 2010).

TERAPI LAIN

Terapi keluarga sering berguna dalam mendukung keluarga, membantu


mengurangi perpecahan perkarvinan akibat gangguan ini, dan membangun
hubungan kerjasama terapi dengan anggota keluarga untuk kebaikan pasien.
Terapi kelompok bcrguna sebagai sistem dukungan untuk sejumlah
pasien(Kaplan & Sadock, 2010).

Untuk kasus ekstrem pada pasien yang sangat resisten terhadap terapi, terapi
elektrokonvulsif dan psychosurgery dapat dipertimbangkan. Terapi
elektrokonvulsif tidak seefektif psychosurgery, tetapi harus dicoba sebelum
melalukan pembedahan. Prosedur psychosurgery yang paling lazim untuk
OCD adalah eingulotomi, dengan tingkat keberhasilan 25-30 persen dari
pasien yang tidak responsif terhadap terapi lain. Komplikasi psychosurgery
yang paling lazim adalah timbulnya kelang yang dapat dikendalikan oleh
terapi fenitoin. Sejumlah pasien yang tidak berespons terhadap psychosurgery
saja dan tidak berespons terhadap farmakoterapi atau terapi perilaku sebelum
operasi, biasanya akan berespons terhadap farmakoterapi atau terapi perilaku
setelah psychosurgery(Kaplan & Sadock, 2010).

8
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H. I., & Sadock, B. J., 2010, Buku Ajar Psikiatri Klinis, Psikiatri Klinis,
ed 2. ECG, Jakarta.
Maramis, F.W. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press
Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya
Pauls, D. L. et al. (2014) ‘Obsessive – compulsive disorder : an integrative genetic
and neurobiological perspective’, Nature Publishing Group. Nature
Publishing Group, 15(6), pp. 410–424. doi: 10.1038/nrn3746.
Starcevic, V. and Brakoulias, V. (2014) ‘New diagnostic perspectives on
obsessive- compulsive personality disorder and its links with other
conditions’, 27(1), pp. 62–67. doi: 10.1097/YCO.0000000000000030.
Veale, D. and Roberts, A. (2014) ‘Obsessive-compulsive disorder’, 2183(April),
pp. 1–6. doi: 10.1136/bmj.g2183.
Vicario, H. and Hernandez, R. (2013) DIAGNOSTIC AND STATISTICAL
MANUAL OF MENTAL DISORDER - DSM V. American Psychiatric
Association.

Anda mungkin juga menyukai