Oleh :
Tutorial 15
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
1
PENDAHULUAN
MANIFESTASI KLINIS
2
secara berlebihan. Sedangkan untuk pola keraguan patologis dapat berupa
pengecekan berulang tentang tindakan yang dapat menyebabkan bahaya,
seperti lupa mengunci pintu dan mematikan kompor. Selanjutnya untuk pola
pikiran yang mengganggu dapat berupa pikiran obsesif tanpa adanya
kompulsif, hal tersebut berkaitan dengan hal yang krusial seperti seksualitas
dan agresifitas yang telah dilakukan oleh penderita. Sehingga pasien dapat
melaporkan dirinya ke pihak yang berwenang jika melakukan hal tersebut.
Kemudian untuk pola simetri dapat berupa kebutuhan yang berlebihan akan
kesimetrisan atau presisi yang dapat menyebabkan kompulsi. Tindakan
kompulsi tersebut dapat menyebabkan keterlambatan atau memakan waktu
yang lama(Kaplan & Sadock, 2010).
3
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis kelainan psikiatrik ini dapat diawali dengan
anamnesis atau pengajuan beberapa pertanyaan berdasar National Institute for
Health and Care Excellence (NICE)12. Pertanyaan tersebut diantaranya
adalah:
1. Apakah Anda sering mencuci atau membersihkan?
2. Apakah Anda sering berulang kali dalam memeriksa kembali sesuatu hal?
3. Adakah pemikiran yang terus mengganggu Anda, dan pikiran tersebut
ingin Anda singkirkan tetapi tidak bisa?
4. Apakah aktivitas harian Anda membutuhkan waktu lama untuk
diselesaikan?
5. Apakah Anda harus meletakkan barang-barang dalam urutan khusus atau
merasa sangat kesal jika ada suatu hal yang terlihat kacau atau berantakan?
6. Apakah masalah ini mengganggu Anda?
Jika pasien menjawab “Ya” pada salah satu pertanyaan diatas, maka perlu
dilakukan interview lebih lanjut berdasarkan kriteria International
Classification of Disease (ICD) 10, yaitu paling tidak adanya gejala obsesi,
kompulsi, ataupun keduanya yang terjadi selama dua minggu berturut-turut.
Gejala tersebut diantaranya adalah:
1. Obsesi dan kompulsi terjadi hampir tiap harinya selama minimal 2 minggu
2. Adanya obsesi berupa pikiran, gambaran, ataupun keinginan yang tidak
diinginkan bersifat menetap, berulang sehingga individu merasa tidak
senang dan terancam jika tidak dilakukan
3. Kompulsi berupa tindakan seperti disetir atau tidak dapat dikendalikan
sendiri
4. Adanya upaya atau tindakan menolak kompulsi
5. Tindakan kompulsi yang dilakukan sebenarnya tidak menyenangkan,
tetapi setelah melakukannya merasa terbebas dari kecemasan(Veale and
Roberts, 2014).
4
A. Adanya obsesi, kompulsif, ataupun keduanya. Definisi obsesi diantaranya
adalah :
1. Adanya pikiran, dorongan, atau bayangan bersifat berulang dan
persisten yang dirasakan individu, dimana gangguan pemikiran
tersebut menyebabkan kecemasan dan kesengsaraan.
2. Individu berupaya untuk menghindari pikiran, dorongan, atau
bayangan tersebut dengan cara melakukan suatu tindakan (atau
melakukan kompulsi).
5
d) Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi
berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama
episode depresif-nya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan
perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutarnakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresjf pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul. Bila
dari keduanya tidak ada yang menonjol, rnaka lebih baik menganggap
depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka
prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain
menghilang.
Gejala obsesif "sekunder" yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai
bagian dari kondisi tersebu(Maslim, 2013).
TATALAKSANA
Banyak pasien dengan OCD menolak upaya terapi. Mereka menolak
meminum obat dan menjalankan tugas rumah serta aktivitas lain yang
disarankan ahli terapi. Gejala obsesif kompulsif itu sendiri, walaupun
memiliki dasar biologis, dapat memiliki arti psikologis penting yang membuat
pasien enggan menghentikannya(Kaplan & Sadock, 2010).
FARMAKOTERAPI
6
Pendekatan standarnya adalah dimulai dengan pemberian SSRI atau
clomipramine dan kemudian berpindah ke obat lain jika SSRI dan
clomipramine tidak efektif
SSRI
SSRI (fluoxetine, sitalopram, escitalopram, fluvoksamin, paroksetin,
sertralin) telah disetujui U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk
terapi OCD. Dosis yang lebih tinggi (escitalopram 30 mg, fluoxetine 80
mg, sertraline 200 mg) sering diperlukan untuk memberikan efek yang
menguntungkan. Pengobatan dilakukan selama setidaknya 1 tahun dan
dilakukan tappering off untuk mencegah kekambuhan. Walaupun SSRI
dapat menyebabkan gangguan tidur, mual dan diare, sakit kepala, ansietas,
dan kegelisahan, efek samping ini biasanya hanya bersifat sementara dan
umumnya tidak terlalu menyulitkan daripada efek samping obat trisiklik,
seperti clomipramine. Hasil klinis terbaik didapatkan ketika SSRI
dikombinasikan dengan terapi perilaku. SSRI lebih selektif dalam
menghambat uptake serotonin dibandingkan clomipramine. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa respons terhadap SRI lebih lambat pada
OCD daripada pada depresi. Oleh karena itu, pemberian SSRI dilakukan
selama setidaknya 12 minggu sebelum memutuskan untuk beralih agen
atau menambah dengan psikotropika lain(Kaplan & Sadock, 2010).
Obat lain
7
Jika terapi dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak terapis
memperkuat obat pertama dengan penambahan valproat, litium, atau
karbamazepin. Obat lain yang dapat dicoba di dalam terapi OCD adalah
venlafaksin, pindolol, dan MAOI, khususnya fenelzin(Kaplan & Sadock,
2010).
TERAPI PERILAKU
TERAPI LAIN
Untuk kasus ekstrem pada pasien yang sangat resisten terhadap terapi, terapi
elektrokonvulsif dan psychosurgery dapat dipertimbangkan. Terapi
elektrokonvulsif tidak seefektif psychosurgery, tetapi harus dicoba sebelum
melalukan pembedahan. Prosedur psychosurgery yang paling lazim untuk
OCD adalah eingulotomi, dengan tingkat keberhasilan 25-30 persen dari
pasien yang tidak responsif terhadap terapi lain. Komplikasi psychosurgery
yang paling lazim adalah timbulnya kelang yang dapat dikendalikan oleh
terapi fenitoin. Sejumlah pasien yang tidak berespons terhadap psychosurgery
saja dan tidak berespons terhadap farmakoterapi atau terapi perilaku sebelum
operasi, biasanya akan berespons terhadap farmakoterapi atau terapi perilaku
setelah psychosurgery(Kaplan & Sadock, 2010).
8
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, H. I., & Sadock, B. J., 2010, Buku Ajar Psikiatri Klinis, Psikiatri Klinis,
ed 2. ECG, Jakarta.
Maramis, F.W. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press
Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya
Pauls, D. L. et al. (2014) ‘Obsessive – compulsive disorder : an integrative genetic
and neurobiological perspective’, Nature Publishing Group. Nature
Publishing Group, 15(6), pp. 410–424. doi: 10.1038/nrn3746.
Starcevic, V. and Brakoulias, V. (2014) ‘New diagnostic perspectives on
obsessive- compulsive personality disorder and its links with other
conditions’, 27(1), pp. 62–67. doi: 10.1097/YCO.0000000000000030.
Veale, D. and Roberts, A. (2014) ‘Obsessive-compulsive disorder’, 2183(April),
pp. 1–6. doi: 10.1136/bmj.g2183.
Vicario, H. and Hernandez, R. (2013) DIAGNOSTIC AND STATISTICAL
MANUAL OF MENTAL DISORDER - DSM V. American Psychiatric
Association.