Anda di halaman 1dari 19

SEMINAR OBSESSIVE COMPULSIVE DISORDER

ILMU KEDOKTERAN JIWA

Pembimbing :
Dr. dr Tuti Herwini, Sp. KJ

Penyusun :
Mohamad Rafli 20190420025
Ni Luh Putu Septia Pratiwi Ariska 20190420143
Ni Made Indah Prasatiya Ningsih 20190420144
Nindy Prawitasari 20190420145
Nining Putri Lindiasari 20190420146
Novany Tiara Sandy 20190420147
Noviati Prayangsari 20190420148

RSAL DR. RAMELAN SURABAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
SEMINAR
OBSESSIVE COMPULSIVE DISORDER
ILMU KEDOKTERAN JIWA

Oleh :

Mohamad Rafli 20190420025


Ni Luh Putu Septia Pratiwi Ariska 20190420143
Ni Made Indah Prasatiya Ningsih 20190420144
Nindy Prawitasari 20190420145
Nining Putri Lindiasari 20190420146
Novany Tiara Sandy 20190420147
Noviati Prayangsari 20190420148

Menyetujui :
Pembimbing

Dr. dr Tuti Herwini, Sp. KJ


NIK : 01415
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder, OCD)
adalah adalahgangguan kecemasan yang ditandai oleh pikiran-pikiran
obsesif yang persisten dan disertai tindakan kompulsif. Kondisi dimana
individu tidak mampu mengontrol dari pikiran-pikirannya yang menjadi obsesi
yang sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang beberapa kali
perbuatan tertentu untuk dapat mengontrol pikirannyatersebut untuk
menurunkan tingkat kecemasannya (Meng, 2006). Penderita mengetahui
bahwa perbuatan dan pikirannya itu tidak masuk akal, tidak pada tempatnya
atau tidak sesuai dengan keadaan, tetapi ia tidak dapat menghilangkannya
dan ia juga tidak mengerti mengapa ia mempunyai dorongan yang begitu
kuat untuk berbuat danberpikir demikian. Bila tidak menurutinya, maka akan
timbul kecemasan yang hebat (Maramis, 2009).
Gangguan ini adalah suatu contoh dari efek positif di mana penelitian
modern telah menemukan gangguan di dalam waktu singkat. Pada awal
tahun 1980-an, gangguan obsesif-kompulsif dianggap sebagai gangguan
yang jarang dan berespons buruk terhadap terapi, namun sekarang
gangguan obsesif kompulsif lebih sering ditemukan dan responsif terhadap
terapi (Kaplan, 2010).
Secara keseluruhan, kira-kira dua pertiga dari pasien memiliki onset
gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15 persen pasien memiliki
onset gejala setelah usia 35 tahun. Gangguan obsesif-kompulsif dapat
memiliki onset pada masa remaja atau masa anak-anak, pada beberapa
kasus dapat pada usia 2 tahun. Orang yang hidup sendirian lebih banyak
yang mengalami gangguan ini daripada yang sudah menikah (Kaplan, 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide atau sensasi yang
mengganggu (intrusif). Suatu kompulsif adalah pikiran atau perilaku yang
disadari, dibakukan atau menghindari. Obsesi meningkatkan kecemasan
seseorang, sedangkan melakukan kompulsi menurunkan kecemasan
seseorang. Tetapi, jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu
kompulsi, kecemasan semakin meningkat (Kapla, 2010).
Obsesi meningkatkan kecemasan individu, sedangkan
menampilkannya atau melakukan kompulsi dapat menguranginya. Beberapa
kompulsi yang antara lain (Maslim, 2001):
1. Mengikuti kebersihan dan keteraturan, terkadang dengan ritual
tertentu yang dapat memakan waktu berjam-jam.
2. Menghindari obyek tertentu.
3. Menampilkan kegiatan-kegiatan praktis yang repetitive, aneh dan
bersifat pencegahan, misalnya menghitung.
4. Memeriksa berkali-kali untuk memastikan bahwa perilaku yang sudah
ditampilkan benar-benar telah dikerjakan.
5. Menampilkan perilaku tertentu seperti makan dengan sangat
perlahanlahan.
Seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya menyadari
irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai
egodistonik. Gangguan obsesif kompulsif dapat merupakan gangguan yang
menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesi dapat menghabiskan waktu
dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal seseorang,
fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya, atau hubungan dengan
teman dan anggota keluarga.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum adalah 2
sampai 3 persen. Dan beberapa peneliti memperkirakan bahwa gangguan
obsesif-kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di
klinik psikiatrik. Untuk orang dewasa, laki-laki dan wanita sama kemungkinan
terkena. Untuk remaja, laki-laki lebih sering terkena dari perempuan
(Kaplan, 2010).
Usia onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun, walaupun laki-laki
memiliki onset usia yang agak lebih awal (rata-rata 19 tahun) dibandingkan
wanita (rata-rata 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira dua pertiga dari
pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15
persen pasien memiliki onset gejala setelah usia 2 tahun. Orang yang hidup
sendirian lebih banyak terkena gangguan obsesif-kompulsif dalam
mempertahankan suatu hubungan (Kaplan, 2010).
Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan lebih jarang di antara
golongan kulit hitam dibandingkan kulit putih. Pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi oleh gangguan mental lain.
Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat pada pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan fobia sosial
adalah kira-kira 25 persen (Kaplan, 2010).

2.3 Etiologi
1. Aspek Biologis
 Neurotransmitter :

Sistem serotoninergik

Banyak percobaan yang dilakukan untuk mendukung hipotesis


tentangterlibatnya disregulasi serotonin terhadap munculnya gejala obsesif
dan kompulsif pada penyakit ini. Banyak data yang menunjukkan bahwa obat
serotonergik lebih efektif dibandingkan dengan obat lain yang juga
mempengaruhi sistem neurotransmitter, tetapi apakah serotonin terlibat
sebagai penyebab terjadinya gangguan Obsesif-kompulsif masih belum jelas.
Fungsi serotonin di otak ditentukan oleh lokasi system proyeksinya. Proyeksi
pada konteks frontal diperlukan untuk pengaturan mood, proyeksi pada
ganglia basalis bertanggung jawab pada gangguanobsesi kompulsi (Sadock,
2007).

Sistem Noradrenergik

Bukti saat ini masih kurang tentang adanya disfungsi sistem


noradrenergik dalam terjadinya gangguan obsesif kompulsif. Namun, ada
laporan dari peningkatan dalam OCD gejala dengan clonidine oral (Benjamin,
2000).

Sistem Neuroimunologi

Beberapa pakar berpendapat bahwa ada hubungan positif antara


infeksi streptokokus dan gangguan obsesif kompulsif. Infeksi Streptokokus β-
Hemolitikus grup A dapat menyebabkan demam rematik, dan sekitar 10-30%
pasien juga mengalami Syndenham’s chorea dan Gangguan Obsesif
Kompulsif (Sadock, 2007).

Genetik juga diduga berpengaruh untuk terjadinya gangguan Obsesif-


kompulsif dimana ditemukan perbedaan yang bermakna antara kembar
monozigot dan dizigot (Saadi, 2010)

2. Psikologis

Gangguan Obsesif-kompulsif menyetarakan pikiran dengan tindakan


atau aktifitas tertentu yang dipresentasikan oleh pikiran tersebut. Ini disebut
“thought-action fusion” (fusi pikiran dan tindakan). Fusi antara pikiran dan
tindakan ini dapat disebabkan oleh sikap-sikap tanggung jawab yang
berlebihan yang menyebabkan timbulnya rasa bersalah seperti yang
berkembang selama masa kanak-kanak, dimana pikiran jahat diasosiasikan
dengan niat jahat (Kaplan, 2010).

3. Faktor Psikososial

Gangguan obsesif-kompulsif bisa disebabkan karena regresi dari fase


anal dalam perkembangannya. Mekanisme pertahanan psikologis mungkin
memegang peranan pada beberapa manifestasi pada gangguan obsesif-
kompulsif. Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi
alasan timbulnya pikiran berulang untuk menyakiti orang tersebut.
Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang peranan pada
beberapa manifestasi gangguan obsesif- kompulsi. Represiperasaan marah
terhadap seseorang mungkin menjadi alasan timbulnya pikiran berulang
untuk menyakiti orang tersebut (Kaplan, 2010).

2.4 Gejala Klinis

Gejala dari Obsesif-kompulsif ditandai dengan pengulangan pikiran dan


tindakan sedikitnya 4 kali untuk satu kompulsif dalam sehari dan berlangsung
selama1 sampai 2 minggu selanjutnya. Gejala utama obsesi-kompulsif harus
memenuhi kriteria sebagai berikut (Sadock, 2007):
1. Perilaku dan pikiran yang muncul tersebut disadari sepenuhnya oleh
individu atau didasarkan pada impuls dalam dirinya sendiri. Individu
juga menyadari bahwa perilakunya itu tidak rasional, namun tetap
dilakukan untuk mengurangi kecemasan.
2. Beberapa perilaku yang muncul disadari oleh oleh individu dan
berusaha melawan kebiasaan dan pikiran-pikiran rasa cemas tersebut
sekuat tenaga,namun tidak berhasil.
3. Pikiran dan tindakan tersebut tidak memberikan perasaan lega, rasa
puas atau kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa khawatir
secara berlebihan dan mengurangi stres yang dirasakannya.
4. Obsesi (pikiran) dan kompulsi (perilaku) sifatnya berulang-ulang
secara terus-menerus dalam beberapa kali setiap harinya.

Individu yang beresiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah


(Novedica, 2010) :

 Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken


home,kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanaknya. (teori ini
masih dianggap lemah namun masih dapat diperhitungkan)
 Faktor neurobiologi dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis,
ganglia basalis dan singulum
 Individu yang memilki intensitas stress yang tinggi - Riwayat gangguan
kecemasan - Depresi - Individu yang mengalami gangguan seksual
Tabel 1. Klasifikasi Obsesi dan Kompulsi (Saadi, 2010)

OBSESI KOMPULSI
Perhatian terhadap kebersihan Ritual mandi, mencuci dan
( kotoran, kuman, kontaminasi ) membersihkan yang berlebihan
Perhatian terhadap ketepatan Ritual mengatur posisi berulang-
ulang
Perhatian terhadap sekresi tubuh Ritual menghindari kontak dengan
( ludah, feces, urine ) sekret tubuh, menghindari sentuhan
Obsesi religius Ritual keagamaan yang berlebihan
( berdoa sepanjang hari )
Obsesi seksual ( nafsu terlarang atau Ritual berhubungan seksual yang
tindakan seksual yang agresif ) kaku
Obsesi terhadap kesehatan ( sesuatu Ritual berulang (pemeriksaan tanda
yang buruk akan terjadi dan vital berulang, diet terbatas)
menimbulkan kematian )
Obsesi ketakutan ( menyakiti diri Pemeriksaan pintu, kompor, gembok
sendiri atau orang lain )
Pemikiran menganggu tentang suara, Menghitung, berbicara, menulis,
kata-kata atau musik memainkan alat musik dengan suatu
ritual yang beragam

2.5 Diagnosis
Diagnosis gangguan Obsesif-kompulsif didasarkan pada gambaran
klinisnya.Tidak seperti pasien psikotik, pasien dengan gangguan Obsesif-
kompulsif biasanya menunjukkan wawasan dan menyadari bahwa perilaku
mereka tidak normal atau tidak logis (Michael, 2004).
Sebagai bagian dari kriteria diagnostik untuk Gangguan Obsesif
Kompulsif, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) memberikan kemudahan bagi para klinisi
untuk mendiagnosisgangguan Obsesif-kompulsif pada pasien yang umumnya
tidak sadar akan obsesi berlebihan dan kompulsinya (Sadock, 2007).
 Kriteria obsesif menurut  Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders,Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) harus memenuhi 4
kriteria dibawah ini :
 Pikiran berulang dan terus-menerus, impuls, atau gambaran
yang dialami dibeberapa waktu selama gangguan yang bersifat
mengganggu dan tidak sesuai dan menyebabkan kecemasan dan
penderitaan. Orang dengan gangguan ini menyadari kualitas
patologis dari pikiran-pikiran yang tidak diinginkan ini (seperti
ketakutan untuk menyakiti anak-anak mereka) dan tidak akan
terjadipada mereka, tetapi pikiran ini sangat mengganggu dan
sulit untuk berdiskusi dengan orang lain.
 Pikiran, impuls, atau gambar tidak hanya kekhawatiran yang
berlebihan tentang masalah kehidupan nyata.
 Pasien mencoba untuk menekan atau mengabaikan pikiran
seperti itu atau untuk menetralisirnya dengan beberapa
pemikiran lain atau tindakan.
 Orang tersebut mengakui bahwa pikiran obsesional, impuls,
atau gambaran adalah produk dari pikiran sendiri (tidak
dipaksakan dari luar, seperti dalam penyisipan pikiran).
 Kriteria kompulsif menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) harus
memenuhi 2 kriteria dibawah ini :
 Individu melakukan perilaku berulang (misalnya, mencuci
tangan ) atau tindakan mental (misalnya, berdoa, menghitung,
mengulang kata-kata diam-diam) dalam menanggapi sebuah
obsesi atau menurut aturan yang harus diterapkan secara
kaku. Perilaku tersebut bukan akibat efek fisiologis langsung
dari suatu zat atau kondisi medis umum.
 Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau
mengurangi gangguan atau mencegah suatu peristiwa atau
situasi yang dicemaskan.Namun, perilaku atau tindakan mental
yang dilakukan baik tidak terhubung pada cara yang realistis
dengan apa yang mereka buat untuk mentralisir atau cegah
atau jelas berlebihan. 
 Pada beberapa poin selama gangguan, pasien mengakui
bahwa obsesi atau kompulsi itu berlebihan atau tidak masuk
akal (walaupun ini tidak berlaku untuk anak-anak).
 Obsesi atau kompulsi itu menimbulkan penderitaan, yang
memakan waktu (berlangsung >1 jam/hari), atau secara
signifikan mengganggu rutinitas normal seseorang, fungsi
pekerjaan atau akademis, atau kegiatan sosial biasanya atau
hubungan dengan orang lain.
 Jika gangguan Axis I lainnya muncul, isi dari obsesi atau
kompulsi tersebut tidak terbatas pada itu saja.
 Gangguan ini tidak terjadi karena pengaruh langsung zat
psikotik atau kondisi medis tertentu.
 Spesifikasi tambahan "dengan tilikan rendah" dibuat bagi
seorang dengan gangguan Obsesif-kompulsif jika, untuk dalam
suatu jangka waktu episode,orang tersebut tidak mengenali
bahwa gejala itu berlebihan atau tidak masuk akal
(Sadock,2007).
Menurut PPDGJ-III untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala
obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya harus ada hampir setiap
hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.Hal tersebut merupakan
sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita. Gejala-
gejala obsesif harus mencakuphal-hal berikut (Maslim, 2000):

a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri


b. Setidaknya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan,meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan
hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan
seperti dimaksud diatas.
d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan.

Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikuran obsesif dengan
depresi.Penderita gangguan Obsesif-kompulsif sering kali juga menunjukan
gejala depresi dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat
menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode depresinya.Dalam
berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala
depresi umumnya diikuti secara paralel dengan perubahan gejala obsesif
(Maslim, 2000).

Diagnosis gangguan Obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak


ada gangguan depresi pada saat gejala Obsesif-kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi
sebagaidiagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas
diberikan pada gejalayang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang
(Maslim, 2000)
2.6 Diagnosis Banding
Persyaratan diagnostik DSM-IV tentang ketegangan personal dan
gangguan fungsional membedakan gangguan obsesif-kompulsif dari pikiran
dan kebiasaan berlebihan yang umumnya atau ringan. Gangguan neurologis
utama yang dipertimbangkan di dalam diagnosis banding adalah gangguan
Tourette, gangguan tik lainnya, epilepsi lobus temporalis dan kadang-kadang,
komplikasi trauma dan pasca ensefalitik (Kaplan, 2010).
Gangguan Tourette.
Gejala karakteristik dari gangguan Tourette adalah tik motorik dan
vokal yang sering dan hampir setiap hari terjadi. Gangguan dan gangguan
obsesif-kompulsif memiliki onset usia yang sama dan gejala yang mirip. Kira-
kira 90 persen dengan gangguan Tourette memiliki gejala kompulsif, dan
sebanyak dua pertiganya memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan
obsesif-kompulsif (Kaplan, 2010).

2.7 Terapi
Psikoterapi
Treatment psikoterapi untuk gangguan obsesif-kompulsif umumnya
diberikan hampir sama dengan gangguan kecemasan lainnya. Ada beberapa
faktor OCD sangat sulit untuk disembuhkan, penderita OCD kesulitan
mengidentifikasi kesalahan (penyimpangan perilaku) dalam mempersepsi
tindakannya sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang tidak normal .
Individu beranggapan bahwa ia normal-normal saja walaupun
perilakunya itu diketahui pasti sangat menganggunya. Baginya, perilaku
kompulsif tidak salah dengan perilakunya tapi bertujuan untuk memastikan
segala sesuatunya berjalan dengan baik-baik saja. Faktor lain adalah
kesalahan dalam penyampaian informasi mengenai kondisi yang dialami oleh
individu oleh praktisi secara tidak tepat dapat membuat individu merasa
enggan untuk mengikuti terapi.
Beberapa psikoterapi yang dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif:
 Exposure and Response Prevention
Terapi ini dikenal pula dengan sebutan flooding, diciptakan oleh Victor
Meyer (1996), dimana pasien menghadapkan dirinya sendiri pada situasi
yang menimbulkan tindakan kompulsif (seperti memegang sepatu yang kotor)
dan kemudian menahan diri agar tidak menampilkan ritual yang biasa
dilakukan (yaitu mencuci tangan). Mencegah individu menampilkan perilaku
yang menjadi ritualnya membuatnya menghadapi stimulus yang
membangkitkan kecemasan, sehingga memungkinkan kecemasan menjadi
hilang (Kaplan, 2010).
 Rational-Emotive Behavior Therapy
Terapi ini digunakan dengan pemikiran untuk membantu pasien
menghapuskan keyakinan bahwa segala sesuatu harus terjadi menurut apa
yang mereka inginkan, atau bahwa hasil pekerjaan harus selalu sempurna.
Terapi kognitif dari Beck juga dapat digunakan untuk menangani pasien
gangguan obsesif-kompulsif. Pada pendekatan ini pasien didorong untuk
menguji ketakutan mereka bahwa hal yang buruk akan terjadi jika mereka
tidak menampilkan perilaku kompulsi (Goldman, 2000).
 Cognitive-behavioural therapy (CBT)
Terapi yang sering digunakan dalam pemberian treatment berbagai
gangguan kecemasan termasuk OCD. Dalam CBT penderita OCD pada
perilaku mencuci tangan diatur waktu kapan ia mesti mencuci tangannya
secara bertahap. Bila terjadi peningkatan kecemasan barulah terapis
memberikan izin untuk individu OCD mencuci tangannya. Terapi ini efektif
menurunkan rasa cemas dan hilang secara perlahan kebiasaan-
kebiasaannya itu (Goldman, 2000).
Dalam CBT terapis juga melatih pernafasan, latihan relaksasi dan
manajemen stres pada individu ketika menghadapi situasi konflik yang
memberikan kecemasan, rasa takut atau stres muncul dalam diri individu.
Pemberian terapi selama 3 bulan atau lebih (Goldman, 2000).

Farmakoterapi
Penanganan yang paling menjanjikan pada pasien dengan gangguan
obsesif kompulsif adalah dengan penggabungan dari segi biologis dan
psikologis dan biasanya dikombinasikan secara bergantian/berintegrasi.
Sampai saat ini pengobatan dengan clomipramine atau SSRI (Serotonin-
Specific Reuptake Inhibitor) yang lain, seperti fluoxetine (Prozac) atau
sertraline (Zoloft) telah dibuktikan sebagai pengobatan yang paling efektif
pada gangguan obsesif kompulsif.
Beberapa obat yang digunakan dalam pengobatan gangguan obsesif-
kompulsif:
 Trisiklik
Obat jenis trisiklik berupa clomipramine (Anafranil). Trisiklik merupakan
obat-obatan lama dibandingkan SSRIs dan bekerja sama baiknya dengan
SSRIs. Pemberian obat ini dimulai dengan dosis rendah (Halgin, 2009).
Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25 sampai 50 mg
sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg sehari
setiap dua sampai tiga hari, sampai dosis maksimum 250 mg sehari atau
tampaknya efek samping yang membatasi dosis. Karena clomipramine
adalah suatu obat trisiklik, obat ini disertai efek samping yang biasanya dari
obat tersebut, termasuk sedasi, hipotensi, disfungsi seksual, dan efek
samping antikolinergik (sebagai contoh, mulut kering) (Kaplan, 2010).

 SSRI (Serotonin Specific Reuptake Inhibitor)


SSRI yang sekarang tersedia di Amerika Serikat adalah fluozetine,
sertraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil). Penelitian tentang fluoxetine dalam
gangguan obsesif-kompulsif telah menggunakan dosis sampai 80 mg setiap
hari untuk mencapai manfaat terapeutik. Walaupun SSRI disertai dengan
overstimulasi, kegelisahan, nyeri kepala, insomnia, mual, dan efek samping
gastrointestinal (Halgin, 2009).
SSRI ditoleransi dengan lebih baik daripada trisiklik, dengan demikian
kadang-kadang dipakai sebagai obat lini pertama dalam pengobatan
gangguan obsesif-kompulsif. Jika pengobatan dengan clomipramine atau
suatu SSRI tidak berhasil, banyak ahli terapi memperkuat obat pertama
dengan menambahkan lithium (Eskalith) (Halgin, 2009).
 MAOI (Monoamine oxidase inhibitor)
Jenis obat ini adalah phenelzine (Nardil), tranylcypromine (Parnate)
dan isocarboxazid (Marplan). Pemberian MAOI harus diikuti pantangan
makanan yang berkeju atau anggur merah, penggunaan pil KB, obat
penghilang rasa sakit (seperti Advil, Motrin, Tylenol), obat alergi dan jenis
suplemen. Kontradiksi dengan MOAI dapat mengakibatkan tekanan darah
tinggi (Halgin, 2009) .

2.8 Prognosis
Kira-kira 20 sampai 30 persen pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif memiliki gangguan depresif berat, dan bunuh diri adalah resiko
bagi semua pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif (Kaplan, 2010).
Suatu prognosis buruk dinyatakan oleh mengalah (bukannya
menahan) pada kompulsi, onset pada masa anak-anak, kompulsi yang aneh
(bizzare), perlu perawatan di rumah sakit, gangguan depresif berat yang
menyertai, kepercayaan waham, adanya gagasan yang terlalu dipegang
(overvalued) (yaitu, penerimaan obsesi dan kompulsi), dan adanya gangguan
kepribadian (terutama gangguan kepribadian skizotipal) (Kaplan, 2010).
Prognosis yang baik ditandai oleh penyesuaian sosial dan pekerjaan
yang baik, adanya peristiwa pencetus, dan suatu sifat gejala yang episodik.
Isi obsesional tampaknya tidak berhubungan dengan prognosis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Ringkasan
Obsesif-kompulsif disorder adalah suatu gangguan kecemasan,
dimana obsesif adalah pikiran, ide ataupun gagasan yang menetap dan
beruntun sehingga memprovokasi rasa cemas pada penderita dan memaksa
penderita melakukan tindakan tertentu secara berulang-ulang yang disebut
kompulsif sebagai pereda rasa cemas, sehingga dapat menimbulkan stress
dan mengganggu produktifitas sehari-hari. Penangannya dapat dilakukan
dengan psikoterapi, dengan berbagai metode dari para ahli dan dengan
farmakoterapi yaitu obat golongan trisiklik, SSRI dan MAOI. Kombinasi dari
kedua pengobatan tersebut dapat menghasilkan efek terapeutik yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Benjamin J, Virginia A. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook
of Psychiatry. Seventh Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Publishers.2000. p 2569-2580.4.

Goldman, Howard H., 2000. Review of General Psychiatry-Lange . 5 edition.


th

USA: McGraw Hill (348-351)

Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics.


UnitedStates of America : The McGraw-Hills Company. 2008. p 286-
29515.

Halgin, Richard P., Susan Krauss Whitbourne, 2009. Abnormal Psychology-


Clinical Perspectives on Psychological Disorders. USA:McGraw Hill (330-331)

Kaplan HI, Sadock BJ. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. 2010. Jakarta:EGC

Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:


AirlanggaUniversity Press.2009.h 312-3133.

Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Obat Psikotropik.


EdisiKetiga. Jakarta: PT Nuh Jaya ; 2000. P.47-5114.

Meng, Ko Soo. Obsessive Compulsive Disorder. 2006. Available


from:www.med.nus.edu.sg/pcm/book/14.pdf. 2.
Michael AJ. Obsessive Compulsive Disorder. The new england journal
of medicine. Inggris : Department of Psychiatry, Massa- chusetts
GeneralHospital. 2004.9.

Saadi, Y.PSIKOLOGI ABNORMAL Obsesif Kompulsif. Madiun :Fakultas


Ilmu Pendidikan IKIP PGRI. 2010.12.

Sadock, VA. Kaplan dan Sadock Synopsis Sciences/ Clinical.


TenthEdition. New York: Lippincott Williams dan Wilkins. 2007. p 604

Anda mungkin juga menyukai