Anda di halaman 1dari 21

PSIKOEDUKASI: MEMPERKENALKAN APA ITU OBSESSIVE

COMPULSIVE DISORDER DAN BAGAIMANA CARA MENYIKAPINYA


MELALUI INSTAGRAM

KELOMPOK 1 (KP B)
ANGGOTA KELOMPOK:
Jalal Utomo Tampilang (150120238)
Jovantinus Susanto (150120024)
Nabila Aulia (150120235)
Nengah Intan Anggrena (150120177)
Syela Margareth W (150120038)

DOSEN TUTOR: PAK ANDRIAN

UNIVERSITAS SURABAYA
SURABAYA
BAB 1
Gambaran Fenomena
Salah satu gangguan mental yang sampai saat ini dianggap remeh oleh
masyarakat adalah OCD atau Obsessive Compulsive Disorder. Berdasarkan
Puspitosari (2009), orang yang mengidap OCD hanya sebesar 2-3% dari populasi
yang ada dan banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. OCD merupakan
suatu gangguan yang berkaitan dengan kecemasan yang ditandai dengan perilaku
obsesif dan kompulsif. Obsesif dapat diartikan sebagai suatu perilaku atau
pemikiran yang tidak diinginkan dan terus berulang-ulang hingga dirasa
mengganggu. Kompulsif diartikan sebagai tindakan mental yang mengharuskan
untuk menanggapi obsesi tersebut secara berulang-ulang hingga mencapai perasaan
lega atau puas (Stein et al., 2019). Obsesif yang terjadi dapat mempengaruhi
menjadi kompulsif. Dorongan dari obsesif memicu seseorang menjadi tertekan dan
stress hingga memicu kecemasan yang hal itu akhirnya menggerakan kompulsif.
Obsesif dapat menjadi menetap karena dibentuk dari pengalaman diri sendiri,
pengaruh sosial dan budaya, serta bisa dipicu dari kegagalan masa lalu (Rahmawati
et al., 2019). Beberapa penyebab dari OCD berdasarkan hellosehat terdapat: 1).
Faktor biologis, bisa berasal dari neurotransmitter seperti serotonin atau fungsi otak
lainnya. 2). Faktor genetik, secara keturunan memang beberapa kasus
mempengaruhi tetapi masih belum ditemukan genetik yang mempengaruhi. 3).
Faktor lingkungan, bisa seperti trauma masa lalu.
Dilihat dari sisi neurologis, studi menunjukkan bahwa orang dengan
gangguan OCD memiliki permasalahan pada korteks orbitofrontal dan basal
ganglia yang dimana pada bagian area otak ini mengalami aktivasi yang berlebih
daripada orang normal (Chamberlain et al; Comer; Kwon et al; Saxena & Rauch;
dalam Praptomojati., 2019). Kedua bagian otak ini berperan sebagai merubah
informasi sensoris ke dalam pikiran dan gerakan (Chamberlain et al; Parmar &
Sarkar; Szeszko; dalam Praptomojati., 2019). Hal inilah yang menyebabkan orang
dengan gangguan OCD memiliki permasalahan dalam perilaku obsesif dan
kompulsifnya. Berdasarkan dari sistem hormonnya, terdapat neurotransmitter yang
mempengaruhi pada orang OCD seperti, serotonin, glutamate, GABA, dan
dopamin. Neurotransmitter ini jika mengalami abnormalitas akan mempengaruhi
mekanisme kerja dari korteks orbitofrontal, basal ganglia, dan bagian otak lain
(Comer; Pauls et al; dalam Praptomojati., 2019). Orang yang memiliki OCD
memiliki aktivitas serotonin yang rendah. Serotonin berperan dalam mempengaruhi
suasana hati yang hal ini dapat menyebabkan stress bahkan depresi. Berkaitan
dengan OCD, pemberian clomipramine dan SSRI (obat anti depresan) dapat efektif
dalam pengurangan gejala obsesif pada OCD (Pauls et al dalam Praptomojati.,
2019). Penyebab OCD juga dapat disebabkan dari aspek genetik. Menurut Dorfman
& Walker (dalam Praptomojati., 2019), kembar monozygotic atau kembar identik
terdapat probabilitas sebesar 57% jika salah satunya terkena OCD maka saudaranya
juga akan mengalami OCD. OCD akan lebih banyak terjadi pada kembar identik
daripada kembar fraternal.
Fenomena terkait gangguan OCD menurut Suryaningrum (2013), gejala
kompulsif yang paling banyak terjadi adalah berupa checking dan cleaning.
Beberapa kasus yang dijumpai dari beberapa jurnal memang menunjukkan bahwa
beberapa subjek mengalami gejala seperti cleaning dan checking. Seperti dalam
penelitian Suryaningrum (2013), yang terdapat subjek telah mengalami OCD
selama 5 tahun yang menunjukkan gejala checking seperti mengecek pintu yang
sudah dikunci dan cleaning seperti mencuci piring, baju, tangan dan kaki. Terdapat
2 contoh kasus lainnya yang ditemukan, diambil dari situs Quora. Contoh kasus
pertama, terdapat subjek perempuan berumur 14 tahun yang terdiagnosis OCD.
Sebelum terdiagnosis, subjek memiliki keluhan obsesif dan kompulsif yang
bermacam-macam. Obsesif subjek yang pertama kali adalah jika dia tidak
menyakiti dirinya sendiri pada setiap malam, maka keesokan harinya dia tidak akan
bahagia atau akan bersedih, sehingga muncullah kompulsif dia yaitu menyakiti
dirinya sendiri setiap malamnya (self harm). Obsesif kedua, subjek pernah
berpikiran jika dia makan, maka otaknya akan diambil alih oleh sesuatu dan akan
membuatnya terbunuh, sehingga ia melakukan kompulsif berhenti makan selama 2
minggu. Obsesif yang lainnya, dia takut kotor ketika menyentuh suatu benda,
sehingga kompulsifnya dia melakukan mencuci tangan selama berjam-jam ketika
mengalami hal itu.
Kasus kedua, terdapat subjek yang berumur 12 tahun memiliki ketakutan
akan terkontaminasi. Dia memiliki kompulsif yaitu mencuci tangannya selama 10-
15 menit setelah bersalaman dengan orang lain karena berpikir kalau itu akan
mengkontaminasi tangannya. Ketika subjek memberi makan anjingnya dan
tangannya dijilat oleh anjingnya, subjek akan merasa ketakutan dan berpikir jika
dia bisa terkena rabies, padahal anjing tersebut dalam kondisi sehat. Kompulsifnya,
dia melakukan mencuci tangan selama 5 kali, bahkan ia telah mensanitasi
tangannya. Subjek juga menghindari angka 13, dia tidak pernah memberi like pada
instagram seseorang jika likes terakhir adalah angka 12, karena subjek berpikir
bahwa angka 13 adalah angka sial. Beberapa artis di Indonesia juga memiliki
gangguan OCD dengan gejala seperti yang suka bersih-bersih berulang kali, salah
satunya Rina Nose yang juga memiliki gejala OCD yang suka bersih-bersih dan
akan merasa cemas jika tidak melakukannya. Gejala OCD yang paling umum
didengar memang berupa checking dan cleaning, namun ternyata seseorang
dikatakan mengidap OCD tidak hanya dari gejala itu saja. Grant (dalam Fenske &
Petersen, 2015) menjelaskan bahwa gejala OCD bisa berupa aggressive;
contamination; pathologic doubt, completeness; religious; self control; sexual;
superstition; dan symmetry & exactness.
Fenomena lainnya yang terkait dengan OCD yang diambil dari
PsychCentral adalah ketika seseorang yang sudah merasakan gejala OCD tetapi
tidak mengetahui bahwa ia terkena gangguan OCD. Fenomena yang juga terjadi
adalah kondisi ketika keluarga atau orang disekitar yang tidak mengakui atau tidak
mempercayai bahwa seseorang terkena OCD. Hal seperti itulah dapat berdampak
pada penderita OCD dalam keterlambatan penyembuhannya, mereka yang
mengalami OCD yang sudah terbeban dengan pikirannya ditambah lagi dengan
terbebannya pemikiran ketidakpercayaan orang-orang disekitarnya yang jangan-
jangan bahwa “aku” bukanlah pengidap OCD.
Berdasarkan beberapa fenomena diatas dapat dilihat bahwa gejala utama
dari OCD seperti yang disebutkan sebelumnya adalah obsesif dan kompulsif.
Seseorang yang terkena OCD akan menunjukkan perilaku yang berulang-ulang
yang berasal dari pikirannya. Orang dengan pengidap OCD akan melakukan hal
tersebut hingga dirasa puas yang jika tidak dilakukan akan merasakan kecemasan
yang tinggi. Diagnosis OCD bisa melalui para psikolog dengan melalui prosedur-
prosedur yang ada. Salah satu asesmen yang dapat mendeteksi OCD adalah Yale-
Brown Obsessive–Compulsive Scale (Y-BOCS) dengan dampingan para psikolog.
Penanganan OCD dapat dilakukan dengan metode psikoedukasi, psikoterapi, dan
farmakologi.
1. Psikoedukasi
Orang-orang biasanya tidak mau ke psikolog untuk melakukan terapi karena
minimnya pengetahuan terkait OCD dan perasaan malu untuk terbuka dengan
gejala-gejala yang dihadapi. Psikoedukasi ini dapat dilakukan oleh para profesional
terhadap pasien untuk menumbuhkan pengetahuannya terkait gejala OCD dengan
berfokus kepada empatisasi terhadap gejala pasien (Meyer et al; Simpson et al,
dalam Stein et al., 2019). Selain kepada pasien psikoedukasi juga dapat dilakukan
untuk keluarga atau orang-orang terdekat. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki
stigma dan prasangka agar penyembuhan pasien OCD dapat berjalan dengan baik
(Stein et al., 2019).
2. Psikoterapi
Untuk psikoterapi, Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan
psikoterapi yang umum untuk OCD yang memiliki 2 komponen yaitu penilaian
kognitif dan intervensi perilaku. Exposure Response Prevention (ERP) merupakan
terapi penyembuhan untuk OCD yang termasuk dengan penilaian kognitif. ERP
dilakukan untuk berdiskusi mengenai konsekuensi terhadap hal yang ditakuti yang
bertujuan untuk menjauhkan diri dari perilaku kompulsif (Huppert & Franklin,
dalam Stein et al., 2019).
3. Farmakologi
Salah satu terapi farmakologi adalah dengan penggunaan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) yang merupakan obat antidepresan.
Pengobatan dengan penggunaan SSRI harus memperhatikan setiap dosis yang
diberikan kepada pasien karena efek samping dari interaksi obat. Selain SSRIs
terdapat obat clomipramine, namun SSRI lebih dianjurkan karena memiliki
keamanan, toleransi yang tinggi, dan keamanan dalam pengobatan jangka panjang.
Waktu pengobatan yang umum dalam penggunaan SSRI pada pasien OCD adalah
8-12 minggu. (Soomro et al; Stein et al; Koran et al; López-Ibor; Zohar & Judge;
Bisserbe et al; Bandelow et al, dalam Stein et al., 2019).
BAB 2
Sasaran Program
Sasaran untuk program psikoedukasi kami adalah masyarakat publik yang
memiliki sosial media dengan target minimal adalah remaja. Pertimbangan kami
memilih remaja sebagai target minimal kami adalah karena dari topik kami yang
membahas mengenai Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Menurut kami, topik
yang kami bawakan adalah salah satu topik yang luas dan semua orang bisa
membacanya sebagai tambahan pengetahuan mengenai apa itu OCD. Selain itu
dikatakan bahwa rata-rata pengidap OCD kebanyakan dialami oleh remaja yang
juga tidak menutup kemungkinan orang dewasa juga mengalami, sehingga target
yang kami tetapkan tidak ada batasannya sampai usia berapa.
Tujuan kami dalam program psikoedukasi ini adalah untuk mengedukasi
masyarakat luas mengenai apa itu OCD secara garis besarnya serta apa yang harus
dilakukan jika memiliki gejala OCD. Selain itu kami juga mempertimbangkan
untuk mengedukasi masyarakat untuk tidak meremehkan orang dengan gangguan
OCD.
BAB 3
Media Psikoedukasi
Media psikoedukasi yang akan kami gunakan adalah berupa media
infografis dalam bentuk feeds yang nantinya akan kami posting di instagram.
Instagram sebagai pilihan media sosial yang kami pakai karena, instagram adalah
media sosial yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Kami memilih
media infografis dalam bentuk feeds karena dirasa pembuatannya cukup mudah dan
bisa menjangkau masyarakat luas jika menggunakan aplikasi instagram.
Pembuatannya dirasa lebih mudah karena, mempertimbangkan keterbatasan waktu
karena harus membagi waktu dengan perkuliahan serta soft skill yang dipunyai oleh
anggota. Pembuatan feeds ini nanti rencananya akan menggunakan aplikasi atau
software yang dimiliki oleh anggota seperti photoshop dan canva.
BAB 4
Metode Pengukuran Keberhasilan Psikoedukasi
Untuk melakukan pengukuran keberhasilan psikoedukasi dapat dilakukan
dengan cara seperti mengumpulkan tanggapan dari orang-orang berupa likes atau
comment dari Instagram. Jika hasil dari likes ataupun comment banyak, maka
informasi mengenai psikoedukasi telah disampaikan sukses membuat orang tertarik
dan psikoedukasi tersampaikan dengan baik.
BAB 5
Materi Psikoedukasi
1. Penjelasan Psikoedukasi
OCD adalah suatu gangguan kecemasan yang terjadi secara
menahun dengan persentase 2-3% dari populasi yang banyak terjadi pada
laki-laki daripada perempuan. OCD merupakan suatu gangguan yang
berkaitan dengan kecemasan yang ditandai dengan perilaku obsesif dan
kompulsif. Obsesif dapat diartikan sebagai suatu perilaku atau pemikiran
yang tidak diinginkan dan terus berulang-ulang hingga dirasa mengganggu.
Kompulsif diartikan sebagai tindakan mental yang mengharuskan untuk
menanggapi obsesi tersebut secara berulang-ulang hingga mencapai
perasaan lega atau puas. Jadi gangguan OCD ditandai oleh perilaku yang
berulang-ulang disebabkan oleh pemikirannya yang jika tidak dilakukan
mereka akan merasakan kecemasan yang luar biasa.
2. Penyebab OCD
Beberapa penyebab dari OCD:
a. Faktor Neurologis
Pada faktor neurologis, penyebab OCD dapat disebabkan oleh
korteks orbitofrontal dan basal ganglia yang mengalami aktivitas
berlebih. Kedua bagian otak ini berperan dalam merubah informasi
sensoris ke dalam pikiran dan gerakan, sehingga orang dengan OCD
memiliki permasalahan dalam perilaku obsesif dan kompulsif-nya.
b. Faktor Hormon dan Neurotransmitter
Hormon dan neurotransmitter yang mempengaruhi OCD adalah
serotonin, glutamate, GABA, dan dopamin. Neurotransmitter ini jika
mengalami abnormalitas akan mempengaruhi mekanisme kerja dari
korteks orbitofrontal, basal ganglia, dan bagian otak lain.
c. Faktor Genetik
Pada faktor genetik, peran dalam kembar identik lebih
memungkinkan mengalami OCD daripada kembar fraternal. Ketika
salah satu dari anak kembar identik mengalami OCD maka saudara
kembarnya akan juga memiliki kemungkinan mengalami OCD.
d. Faktor Lingkungan
Terjadinya OCD dapat juga dipengaruhi oleh pengaruh
lingkungan seperti sosial budaya, trauma, dan kegagalan masa lalu.
3. Fenomena dan Jenis Gejala OCD
Berdasarkan fenomena yang terjadi terkait OCD, gejala umum OCD
yang sering kali orang ketahui adalah sering melakukan kegiatan bersih-
bersih (cleaning/contamination). Namun, rupanya tidak semua orang
dengan pengidap OCD memiliki gejala itu saja. Beberapa jenis gejala pada
pengidap OCD menurut Grant, (dalam Fenske & Petersen, 2015):
a. Aggressive, yaitu perasaan khawatir karena dapat menyakiti orang
lain. Beberapa kasus mungkin orang akan sering menonton berita
kejahatan atau menanyakan terus seperti apa menjadi orang baik.
b. Contamination, yaitu perasaan khawatir karena kotor atau
mengotori orang lain. Biasanya orang dengan gejala ini mereka akan
sering mencuci tangan atau melakukan hal bersih-bersih.
c. Pathologic doubt, completeness, yaitu perasaan khawatir
melakukan hal yang salah atau tidak lengkap. Biasanya orang
dengan gejala ini selalu memeriksa sesuatu berulang kali.
d. Religious, yaitu perasaan khawatir terhadap suatu tindakan yang
tidak baik dan takut berdosa. Biasanya orang dengan gejala ini
sering meminta maaf, berdoa.
e. Self control, yaitu perasaan khawatir jika berkomentar hal yang
tidak baik di publik. Biasanya orang dengan gejala ini akan
menghindari orang-orang disekitarnya.
f. Sexual, yaitu memiliki pemikiran berulang mengenai
penyimpangan seksual atau pemikiran seksual yang tidak pantas
dengan orang lain. Biasanya orang dengan gejala ini akan berusaha
untuk menghindari situasi yang memicu pikiran tersebut.
g. Superstition, yaitu memiliki perasaan khawatir atau ketakutan
terhadap angka-angka atau warna tertentu yang biasanya
memberikan pengaruh buruk. Biasanya orang dengan gejala ini akan
menghindari angka-angka dan warna-warna tertentu.
h. Symmetry & exactness, yaitu memiliki pemikiran berulang
mengenai melakukan sesuatu hal harus dalam kondisi yang
seimbang atau simetris. Biasanya orang dengan gejala ini biasanya
memiliki kecenderungan untuk mengatur suatu hal secara sejajar
atau simetris.
4. Pertolongan Untuk OCD
Jika seseorang merasa memiliki gejala OCD, apalagi dibarengi oleh
gejala kecemasan yang terjadi, bisa langsung berkonsultasi kepada psikolog
atau psikiater terdekat untuk mempercepat penyembuhan. Biasanya para
psikolog atau psikiater akan memberikan diagnosis sesuai prosedur-
prosedur yang ada. Beberapa intervensi OCD dapat dilakukan dengan
metode psikoedukasi, psikoterapi, dan farmakologi.
a. Psikoedukasi, merupakan intervensi dalam bentuk memberikan
edukasi untuk menumbuhkan pengetahuan terkait OCD baik kepada
pengidap OCD maupun keluarga dan orang-orang terdekatnya.
b. Psikoterapi, merupakan suatu bentuk terapi yang biasanya
menggunakan terapi kognitif. Terapi biasanya dilakukan untuk
menurunkan gejala kompulsif yang terjadi pada OCD.
c. Farmakologi, merupakan suatu intervensi dengan pemberian obat.
Pemberian dosis obat harus diberikan oleh para dokter atau ahli
farmakologi dan tidak boleh sembarangan digunakan.
Selain dari pertolongan psikolog dalam penyembuhan OCD,
keluarga dan orang disekitar juga harus memberikan dukungan, karena
kesembuhan OCD juga dipengaruhi oleh rasa penerimaan orang disekitar.
Jangan meremehkan dan malah memberikan kesan tidak percaya atau
penolakan, karena OCD merupakan suatu gangguan yang dapat
menyebabkan kematian. Pengidap OCD memiliki permasalahan dalam
berpikir dan berperilaku yang berulang-ulang yang menyebabkan ia akan
cemas jika tidak melakukannya, sehingga sebaiknya janganlah kita
menambah beban pikiran pengidap OCD. Marilah kita semua saling
memberikan dukungan terhadap teman-teman atau keluarga disekitar kita
yang mengalami pengidap OCD.
BAB 6
Hasil Psikoedukasi
Psikoedukasi yang telah kami lakukan menggunakan media Instagram,
yang dimana media tersebut adalah media yang cukup populer digunakan pada
kalangan masyarakat. Kami telah melakukan psikoedukasi selama 4 hari dari hari
Jumat, 5 November 2021 – Senin, 8 November 2021 melalui postingan feeds
Instagram yang telah kami buat. Postingan tersebut berupa materi infografis terkait
OCD yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terkait apa itu OCD dan
bagaimana untuk menyikapinya. Dari hasil postingan yang telah kami lakukan,
kami mendapatkan beberapa like dari pembaca dengan jumlah yang cukup banyak
yaitu dengan jumlah 424 like pada seluruh postingan feeds. Berdasarkan total like
feeds Instagram tersebut, kami mengambil kesimpulan bahwa sudah cukup banyak
masyarakat yang teredukasi melalui infografis yang kami berikan. Hal ini juga
dengan pertimbangan akun instagram pribadi kelompok kami yang tidak terlalu
memiliki banyak followers.
Dalam postingan kami juga mendapatkan beberapa komentar yang
diberikan oleh pembaca, antara lain komentar tersebut seperti “terimakasih ilmunya
kak bila”, dan ada juga komentar dari pembaca yang memiliki tujuan untuk
bertanya atau untuk lebih memahami apa itu OCD yang sebenarnya seperti “aku lo
kak bil pernah berfikir kalok OCD itu orang yang terlalu berlebihan tentang suatu
hal yang enggak pasti. Aku salah ya berarti” dan masih juga ada beberapa komentar
lainnya. Dari hasil komentar yang diberikan oleh orang-orang tersebut, maka bisa
kami simpulkan juga kalau masyarakat cukup tertarik membaca psikoedukasi kami
serta kami juga menyimpulkan psikoedukasi kami sukses mengedukasi masyarakat.
Hasil dari keseluruhan feeds Instagram kami, dapat disimpulkan bahwa program
psikoedukasi kami telah berjalan dengan lancar baik dari proses pembuatan hingga
proses penyebaran di instagram. Psikoedukasi kami juga cukup sukses dalam
penyebarannya yang dilihat dari adanya respon dari followers Instagram kami
ataupun pembaca dari luar followers kami.

Kriteria Jumlah

Postingan 1 : 71

Postingan 2 : 92

Like (Feeds Psikoedukasi) Postingan 3 : 93

Postingan 4 : 73

Postingan 5 : 53
Postingan 6 : 42

Total Like 424

Postingan 1 : 0

Postingan 2 : 0

Postingan 3 : 3
Komentar (Feeds Psikoedukasi) Postingan 4 : 4

Postingan 5 : 1

Postingan 6 : 0
Tabel 6.1 - Hasil Psikoedukasi
DAFTAR PUSTAKA

Fenske, J. N & Petersen, K. (2015). Obsessive-Compulsive Disorder: Diagnosis


and Management. American Family Physician, 92(10), 896-903.

Hellosehat. OCD (Obsessive Compulsive Disorder). URL:


https://hellosehat.com/mental/gangguan-kecemasan/ocd/. Diakses tanggal 21
Oktober 2021.

Liputan 6. Rina Nose Idap Gangguan Mental Obsessive Compulsive Disorder, Ini
Kisahnya. URL: https://www.liputan6.com/showbiz/read/4276651/rina-
nose-idap-gangguan-mental-obsessive-compulsive-disorder-ini-kisahnya.
Diakses tanggal 23 Oktober 2021.

Praptomojati, A. (2019). “How Do I Stop Checking Things?” Understanding


Obsessive-Compulsive Disorder from Neuropsychological Perspective.
Buletin Psikologi, 27(1), 15. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.32807

Puspitosari, W. A. (2009). Terapi Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Obsesif


Kompulsif Cognitive and Behavior Therapy for Compulsive Obsessive
Disorder. Mutiara Medika, 9(2), 73–79

PsychCentral. My Life with OCD: When People Don’t Believe Your Diagnosis.
URL: https://psychcentral.com/ocd/when-people-doubt-ocd-diagnosis.
Diakses tanggal 23 Oktober 2021

Rahmawati., Wibowo, B. Y., & Legiani, W. H. (2019). Studi Deskriptif Orang


Dengan Gangguan Obsesive Compulsive Disorder dan Hubungan
Interpersonal Dalam Keluarga. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
FKIP, 2(1), 694-706.

Stein, D. J., Costa, D., Lochner, C., Miguel, E. C., Reddy, Y., Shavitt, R. G., van
den Heuvel, O. A., & Simpson, H. B. (2019). Obsessive-compulsive disorder.
Nature reviews. Disease primers, 5(1), 52. https://doi.org/10.1038/s41572-
019-0102-3

Suryaningrum, C. (2013). Cognitive behavior therapy (CBT) untuk mengatasi


gangguan obsesif kompulsif. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(1), 1–11.
LAMPIRAN

Gambar 1 - Cerita kasus 1


Gambar 2 - Cerita Kasus 2
Gambar 3 – Feeds Psikoedukasi
Gambar 4 – Screenshot 1 Gambar 5 – Screenshot 2 Gambar 6 – Screenshot 3

Gambar 7 – Screenshot 4 Gambar 8 – Screenshot 5 Gambar 9 – Screenshot 6

Gambar 10 – Screenshot 7 Gambar 11 – Screenshot 8 Gambar 12 – Screenshot 9


Gambar 15 – Screenshot 12
Gambar 13 – Screenshot 10 Gambar 14 – Screenshot 11

Gambar 18 – Screenshot 15
Gambar 16 – Screenshot 13 Gambar 17 – Screenshot 14

Gambar 20 – Screenshot 17
Gambar 19 – Screenshot 16 Gambar 21 – Screenshot 18
Gambar 22 – Screenshot 19 Gambar 23 – Screenshot 20 Gambar 24 – Screenshot 21

Gambar 25 – Screenshot 22 Gambar 26 – Screenshot 23 Gambar 27 – Screenshot 24

Gambar 28 – Screenshot 25 Gambar 29 – Screenshot 26 Gambar 30 – Screenshot 27


Gambar 32 – Screenshot 29
Gambar 33 – Screenshot 30
Gambar 31 – Screenshot 28

Anda mungkin juga menyukai