Anda di halaman 1dari 46

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) UNTUK MENGATASI GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF Cahyaning Suryaningrum Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah

Malang csuryaningrum@yahoo.co.id Pada dasarnya setiap orang pernah memiliki pemikiran negatif atau mengganggu. Yang membedakan orang-orang pada umumnya dengan orang yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah bahwa mereka mampu menghentikan pemikiran negatif tersebut sehingga tidak sampai mengganggu dirinya; sedangkan penderita gangguan obsesif-kompulsif tidaklah demikian. Prevalensi gangguan obsesifkompulasif di suatu populasi atau masyarakat tidaklah besar. Meskipun jumlahnya relatif kecil dalam suatu masyarakat, namun bukan berarti kondisi tersebut dapat diabaikan. Orang yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif tidak akan merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam keseharian hidupnya. Penelitian ini bermaksud untuk melihat apakah Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif. Jenis penelitian ini adalah studi kasus. Subyeknya adalah seorang individu yang menunjukkan simtom-simtom Obsesive Compulsive Disorder (OCD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat mengurangi simtom OCD, yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kecemasan, pemikiran negatif dan perilaku kompulsif. Subyek merasakan perubahan yang besar setelah mengikuti terapi; tingkat kenyamanan terhadap dirinya sendiri juga lebih baik dibanding sebelumnya. Kata Kunci : Cognitive Behavior Therapy, Gangguan Obsesif Kompulsif. Basically everyone has had a negative or disturbing thoughts. What distinguishes the people who experience obsessive-compulsive disorder is that people are "normal" will be able to stop these negative thoughts so as not to disturb him, while people with obsessive-compulsive disorder is not so. Prevalence of obsessive-compulsive in a population or community is not large. Despite the relatively small number in a society, but that does not mean these conditions can be ignored. People who have obsessive-compulsive disorder will not feel the comfort and serenity in everyday life. This study intends to see whether the Cognitive Behavior Therapy (CBT) is effective to cope with obsessive-compulsive disorder. This type of research is a case study. Subject is individu who show symptoms of obsessive-compulsive disorder. The conclusion shows that Cognitive Behavior Therapy (CBT) is effective to cope with obsessive-compulsive disorder, characterized by reduced levels of anxiety, reduction in obsessive thoughts and compulsive behaviors. Subjects felt a big change after following this therapy. Level of comfort with herself to be better than before. Keywords : Cognitive Behavior Therapy Obsessive- Compulsive Disorder

Pada dasarnya setiap orang pernah memiliki pemikiran yang negatif atau mengganggu. Dari suatu studi ditemukan bahwa 84% orang normal melaporkan pernah memiliki pemikiranpemikiran yang terus berulang dan mengganggu (Rachman & deSilva, dalam Hoeksema, 2001). Orang akan mudah memunculkan pemikiran-pemikiran yang negatif dan juga perilaku-perilaku yang kaku dan berulang ketika mereka mengalami distress. Yang membedakan dengan orang yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah bahwa orang-orang yang normal akan mampu menghentikan pemikiran-pemikiran negatif tersebut sehingga tidak sampai mengganggu dirinya; sedangkan penderita gangguan obsesif-kompulsif tidaklah demikian (Hoeksema, 2001). Gangguan obsesif-kompulsif mencakup pola obsesi atau kompulsi yang berulang-ulang, atau kombinasi keduanya. Obsesi adalah pikiran-pikiran yang persisten dan mengganggu, yang menimbulkan kecemasan dan di luar kemampuan individu untuk mengendalikannya. Kompulsi adalah dorongan-dorongan yang tidak bisa ditolak untuk melakukan tingkah laku tertentu secara berulang seperti mandi berulang-ulang, mencuci tangan atau baju berulang-ulang (Nevid, Rathus, & Greene, 2003). Jumlah penderita gangguan obsesif-kompulasif di suatu populasi atau masyarakat tidaklah besar. Dibanding gangguan kecemasan lain misalnya fobia sosial, fobia spesifik, dan gangguan kecemasan menyeluruh, prevalensinya relatif lebih kecil, yaitu 2% sampai 3% (APA, 2000). Meskipun jumlahnya relatif kecil dalam suatu masyarakat, namun bukan berarti kondisi tersebut dapat diabaikan. Bagaimanapun juga, apabila sudah berlabel gangguan, maka dapat dipastikan bahwa orang yang mengalaminya merasa terganggu dan ingin lepas dari gangguan itu. Orang yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif tidak akan merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam keseharian hidupnya. Kompulsi yang seringkali dilakukan sebagai jawaban dari pikiran obsesi biasanya akan muncul cukup sering sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari atau menimbulkan distress yang signifikan (Nevid dkk., 2003). Contoh kasus, seorang penderita gangguan ini bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengecek dan mengecek kembali pintu-pintu dan jendela sebelum meninggalkan rumah; itu pun masih menyisakan keraguan. Hal ini tentu saja dapat menyebabkan keterlambatan, membuang-buang waktu dan mungkin sekali akan merugikan orang lain. Contoh lain, seorang klien mahasiswa pernah datang ke peneliti mengeluhkan bahwa pikiran dan tindakannya yang kompulsif dalam mencuci piring, mencuci baju, dan mengunci pintu, membuatnya sering tergesa-gesa berangkat ke kampus bahkan menjadi sering terlambat. Ada pula yang memiliki simtom selalu ingin memeriksa berkali-kali tugas kampus yang sudah diselesaikannya maupun mengecek berkali-kali jawaban ujiannya yang akhirnya membuat klien tertekan dan tidak yakin diri dalam mengerjakan tugas maupun mengerjakan soal ujian. Melihat dampak gangguan tersebut, bagaimanapun juga mereka perlu dibantu untuk mengatasi gangguannya. Menurut pengakuan beberapa klien peneliti, sebenarnya mereka ingin sekali untuk dapat lepas dari gangguannya namun tidak tahu bagaimana caranya. Selain itu, mengingat dampak yang ditimbulkan cukup merugikan bagi perkembangan kepribadian, kehidupannya sehari-hari dan kehidupan sosialnya; dan mereka juga tidak semestinya terus menerus hidup dalam penderitaan perlu kiranya diupayakan suatu metode untuk membantu mereka mengatasi gangguannya yang selanjutnya dapat diterapkan sendiri oleh mereka (self help) tanpa harus terus menerus bergantung pada terapis. Dalam penanganan gangguan obsesif-kompulsif meski faktor biologis akhir-akhir ini mendapat perhatian sebagai faktor yang mempengaruhi gangguan

tersebut, namun penelitian kali ini hanya terfokus pada penanganan yang bersifat psikologis atau psikoterapi. Penelitian ini bermaksud untuk melihat apakah Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif. Alasan pemilihan teknik ini adalah karena akar gangguan ini bersumber dari adanya kecenderungan membesar-besarkan risiko atau hal-hal buruk yang diyakininya akan terjadi (Nevid dkk., 2003). Jadi, pemikiran memegang peranan penting pada gangguan obsesif-kompulsif, oleh karena itu upaya penanganan diarahkan pada aspek tersebut. Terapi kognitif adalah terapi yang memfokuskan pada bagaimana mengubah pemikiran atau keyakinan yang negatif (Beck, 1979; Martin & Pear, 2003; Antony & Swinson, 2000). Karena banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa kesuksesan penerapan teknik kognitif akan lebih besar bila disertai teknik-teknik modifikasi tingkah laku (misalnya pemberian tugas-tugas rumah dan exposure) daripada teknik menyerang pemikiran irasional semata-mata yang merupakan prosedur terapi kognitif (Martin & Pear, 2003) maka teknik yang akan digunakan untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif dalam penelitian ini adalah gabungan dari kedua pendekatan tersebut yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT). Terapi ini selanjutnya diharapkan dapat diterapkan oleh mereka sendiri dalam kehidupannya sehari-hari tanpa harus bergantung pada terapis (self help). Hal ini selaras dengan saran Butler (1999) yang menyarankan upaya mengajari seseorang mengurangi aspek-aspek yang merugikan sehingga tidak lebih lama menyebabkan distres dalam kehidupan daripada membuang energi mengobati gangguan yang rasanya tak mungkin dilakukan. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subyek penelitian: seorang mahasiswa yang memiliki ciri-ciri atau simtom gangguan obsesifkompulsif berusia 20 tahun, berjenis kelamin perempuan, dan telah mengalami OCD selama 5 tahun. Metode Pengumpulan Data Elemen desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ABA design; di mana A adalah fase sebelum terapi, B adalah fase terapi atau intervensi yang kemudian dilanjutkan dengan fase tindak lanjut A (Kazdin, 1998). Metode asesmen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, self report dan kuesioner. Wawancara dilakukan sebagai metode untuk melakukan asesmen pada tahap pra terapi, selama proses terapi, pasca terapi dan tindak lanjut. Fokus wawancara tahap asesmen pra terapi adalah untuk mengetahui secara lebih detil/mendalam mengenai gangguan obsesif-kompulsif subyek yang pada akhirnya nanti akan digunakan sebagai data sebelum terapi. Wawancara selama proses terapi dilakukan terutama untuk mengetahui perkembangan gangguan obsesif-kompulsif subyek selama terapi berlangsung, dan mengidentifikasi perubahan-perubahan maupun hambatanhambatan yang mungkin muncul dari diri subyek selama terapi. Wawancara saat pasca terapi dilakukan untuk mengetahui perubahan apa yang terjadi setelah terapi diberikan dibandingkan dengan keadaan subyek sebelum terapi; dan untuk mengetahui faktor-faktor yang banyak berperan terjadinya perubahan. Sedangkan pada tahap tindak lanjut wawancara dilakukan untuk mengetahui perkembangan kecemasan subyek setelah terapi dihentikan.

Observasi dalam penelitian ini bersifat non partisipan yang berarti peneliti tidak terlibat dalam aktivitas yang diamatinya (Poerwandari, 2001). Observasi dilakukan oleh peneliti dan subyek sendiri terhadap tingkah laku yang menjadi fokus terapi. Observasi oleh peneliti terutama dilakukan pada saat pelaksanaan exposure dalam seting terapi.Observasi yang dilakukan oleh subyek adalah dalam bentuk self monitoring saat melakukan exposure selama proses terapi dan pada tahap tindak lanjut. Menurut Martin & Pear (2003), self-monitoring adalah observasi langsung yang dilakukan oleh klien sendiri terhadap tingkah lakunya. Dalam penelitian ini self report dibuat oleh subyek pada saat pelaksanaan tugas restrukturisasi kognitif, setelah melakukan exposure dan pada tahap tindak lanjut. Kuesioner yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner riwayat hidup yang memberikan data demografi seperti tempat tinggal, status perkawinan, agama dan latar belakang keluarga, kesehatan, riwayat pendidikan dan sebagainya (Martin & Pear, 2003). Kuesioner riwayat hidup diberikan kepada subyek untuk mendapatkan gambaran mengenai diri pribadi subyek secara menyeluruh dan hal-hal yang perlu digali lebih lanjut akan diperdalam melalui wawancara. Kuesioner kedua adalah berupa form evaluasi yang meliputi: (1) Penilaian subyek terhadap dirinya sendiri setelah mengikuti terapi; (2) Penilaian subyek terhadap terapi itu sendiri. Kuesioner evaluasi ini sebagai data pelengkap dari wawancara pada tahap pasca terapi, yaitu saat dilakukannya evaluasi setelah terapi dihentikan. Prosedur Cognitive Behavior Therapy 1. Latihan relaksasi, berupa relaksasi otot progresif (Soewondo, 2003) untuk belajar menegangkan dan mengendurkan bermacam-macam kelompok otot serta belajar memperhatikan perbedaan antara rasa tegang dan rileks. 2. Restrukturisasi kognitif, prosedur terapi untuk mengurangi tingkat kecemasan subyek yang disebabkan oleh pemikiran-pemikiran negatif dan menggantikannya dengan pemikiranpemikiran yang lebih positif. 3. Exposure with response prevention (Abel, dalam Holmes, 1997), untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif. Subyek dihadapkan pada situasi dimana ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang biasa dilakukannya (bila tidak akan menimbulkan bahaya) namun mereka dicegah untuk tidak melakukan ritual itu. Jika Subyek dapat mencegah untuk tidak melakukan ritual tersebut dan ternyata sesuatu yang mengerikannya tidak terjadi, hal ini dapat membantu dalam mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual tadi. Penilaian dan Pengukuran Penilaian dan pengukuran dilakukan sebelum treatmen (pra terapi), selama terapi berlangsung, segera setelah keseluruhan terapi selesai diberikan (pasca terapi), dan terakhir pada tahap tindak lanjut (setelah terapi dihentikan). Penilaian dan pengukuran sebelum terapi dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola pemikiran obsesif dan tingkah laku kompulsif subyek yang selama ini dilakukan. Penilaian selama terapi dilakukan terus menerus pada setiap sesi selama terapi berlangsung dimulai setelah teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif diberikan yaitu apakah subyek mampu menghasilkan alternatif-alternatif pemikiran yang semula negatif menjadi lebih positif. Pencatatan dan pengukuran selama exposure mengacu pada identifikasi pemikiran obsesif dan tingkah laku

kompulsif yang telah dibuat pada pertemuan awal terapi. Dengan demikian, akan diketahui apakah ada perubahan pemikiran obsesif dan tingkah laku kompulsinya. Penilaian setelah terapi (pasca terapi) dilakukan segera setelah keseluruhan terapi selesai diberikan. Sedangkan penilaian dan pengukuran pada tahap tindak lanjut dilakukan dua minggu setelah pasca terapi (tindak lanjut ke-1) dan satu bulan setelah pasca terapi (tindak lanjut ke-2). Penilaian dan pengukuran pada tahap tindak lanjut dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan pemikiran obsesif dan tingkah laku kompulsi subyek yang terjadi selama terapi berlangsung relatif menetap setelah terapi dihentikan. Proses penilaian dan pengukuran tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah teknik-teknik terapi kognitif-tingkah laku yang telah diterapkan efektif untuk mengatasi gangguan obsesifkompulsif subyek. Evaluasi penerapan terapi kognitif-tingkah laku untuk mengetahui adanya perubahan pada diri subyek dalam penelitian ini bersifat behavioral (melakukan pengukuran) dan non behavioral (dengan menanyakan kepada subyek). HASIL PENELITIAN Pemikiran yang muncul Setelah terapi selama 1,5 bulan intensif (9 sesi) mulai dari berlatih relaksasi, restrukturisasi kognitif hingga melakukan exposure selama delapan hari berturut-turut, di awal exposure ke-1 Subyek masih memiliki pemikiran yang obsesif. Namun semakin hari pemikiran yang lebih rasional dapat dimunculkan Subyek untuk menggantikan pemikiran yang obsesif itu. Hanya saja, pada aktivitas mencuci baju Subyek masih membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat memunculkan pemikiran yang lebih rasional. Hal ini dapat dipahami mengingat aktivitas mencuci baju yang kompulsif ini paling lama diderita oleh Subyek dengan derajat simtom yang lebih berat dibanding aktivitas lainnya.

Tabel 1. Pemikiran yang muncul pada HN mulai dari pra-terapi hingga exposure ke-2
Aktivitas Pra terapi
Mencuci piring Piring yang dicuci masih kotor Hari ke- 1 Piring yang dicuci masih kotor Baju yang dicuci masih kotor

Pemikiran yang muncul Exposure ke-1


Hari ke-2 Piring yang dicuci sudah bersih Baju yang dicuci masih kotor Hari ke-3 Piring yang dicuci sudah bersih Baju yang dicuci masih kotor Hari ke-1 Piring yang dicuci sudah bersih Baju yang dicuci masih kotor Hari ke-2 Piring yang dicuci sudah bersih Baju sudah bersih jadi tidak perlu dikucek atau dibilas lagi Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel.

Exposure ke -2
Hari ke-3 Piring yang dicuci sudah bersih Baju sudah bersih jadi tidak perlu dikucek atau dibilas lagi Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel. Hari ke-4 Piring yang dicuci sudah bersih Baju sudah bersih jadi tidak perlu dikucek atau dibilas lagi Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel. Hari ke-5 Piring yang dicuci sudah bersih Baju sudah bersih jadi tidak perlu dikucek atau dibilas lagi Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel.

Mencuci baju

Baju yang dicuci masih kotor

Mengunci pintu

Pintu belum dikunci

Pintu belum dikunci

Mencuci tangan dan kakli

Telah menyentuh sesuatu yang kotor

Telah menyentuh sesuatu yang kotor

Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel.

Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel.

Pintu sudah terkunci, tidak perlu dicek lagi Tangan dan kaki sudah bersih, tidak ada kotoran yang menempel.

Keterangan : . h-1: hari ke-satu; h-2: hari ke-dua; dan seterusnya s.d h-5: hari ke-lima

Frekuensi perilaku kompulsif Setelah exposure selama delapan hari berturut-turut, hasil menunjukkan bahwa perilaku kompulsif subyek cenderung menurun. Hal ini berarti bahwa terapi yang diterapkan pada subyek dapat mengurangi frekuensi perilaku kompulsifnya dari hari ke hari
Tabel 2. Frekuensi perilaku kompulsif HN setiapkali beraktivitas mulai dari pra-terapi hingga exposure ke-2 Aktivitas Frekuensi setiapkali beraktivitas Pra terapi Exposure-1 Exposure-2 h-1 h-2 h-3 h-1 h-2 h-3 h-4 h-5 Mencuci piring 5 5 5 4 4 4 4 3 3 Mencuci baju 5 5 5 5 5 4 4 3 3 Mengunci pintu 5 3 3 3 3 2 2 1 1 Mencuci tangan 5 3 3 2 2 1 1 1 1 dan kaki

Keterangan : . h-1: hari ke-satu; h-2: hari ke-dua; dan seterusnya s.d h-5: hari ke-lima

Tingkat kecemasan Sama halnya dengan frekuensi perilaku kompulsif Subyek, penurunan tingkat kecemasan Subyek juga berlangsung perlahan-lahan. Penurunan yang berarti terlihat pada kecemasan saat melakukan aktivitas mengunci pintu dan mencuci tangan dan kaki; yaitu dari 50 saat pra terapi menjadi 5 di akhir hari exposure ke-2 (untuk mengunci pintu) dan dari 30 saat pra terapi menjadi 5 di akhir hari exposure ke-2 (untuk mencuci tangan dan kaki). Meski aktivitas lain tidak terlalu besar penurunan tingkat kecemasannya namun sudah menurun dibanding saat pra terapi. Hal ini berarti terapi yang diterapkan pada Subyek ini dapat menurunan tingkat kecemasannya Tabel 3. Tingkat kecemasan HN mulai dari pra-terapi hingga exposure ke-2
Aktivitas Pra terapi Mencuci piring Mencuci baju Mengunci pintu Mencuci tangan dan kaki 75 75 50 30 Exposure-1 h-1 h-2 h-3 75 70 60 75 75 70 50 45 40 30 20 15 Tingkat kecemasan Exposure-2 h-1 h-2 h-3 h-4 60 50 50 40 70 60 60 50 40 30 20 10 15 10 10 5

h-5 40 40 5 5

Keterangan : . h-1: hari ke-satu; h-2: hari ke-dua; dan seterusnya s.d h-5: hari ke-lima

DISKUSI

Dari data penelitian di atas menunjukkan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat mengurangi simtom obsesif-kompulsif. Hal tersebut tidak terlepas dari teknik-teknik yang dirancang atau diberikan untuk Subyek yaitu: latihan relaksasi, restrukturisasi kognitif, dan exposure with response prevention yang mengacu pada pengatasan simtom-simtom pokok gangguan obsesif-kompulsif yaitu: adanya kecemasan, pemikiran obsesif, dan perilaku kompulsif. Meskipun untuk menangani gangguan obsesif-kompulsif lazimnya digunakan teknik exposure with response prevention saja (Abel, dalam Holmes, 1997) namun teknikteknik yang dirancang dalam penelitian ini merupakan gabungan dari teknik-teknik kognitif dan tingkah laku yang sebenarnya merupakan satu kesatuan (satu paket) yang tidak dapat berdiri sendiri dalam memberikan perubahan (Antony & Swinson, 2000). Pemberian latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif dalam terapi ini didasarkan pada karakteristik simtom obsesif-kompulsif bahwa tindakan kompulsif Subyek selalu dilatari adanya pemikiran obsesif dan kecemasan terlebih dahulu. Oleh karena itu pemberian kedua teknik tersebut sebelum teknik exposure with response prevention dipandang akan lebih efektif karena Subyek akan lebih terbantu dan mudah ketika harus mencegah perilaku kompulsinya saat exposure. Dari data penelitian terlihat bahwa terjadinya penurunan tingkat kecemasan dan perubahan pemikiran diawali sejak Subyek mendapat latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif dan terus berangsur-angsur hingga terapi dihentikan. Hal tersebut mendukung pernyataan banyak ahli (Martin & Pear, 2003; Antony & Swinson, 2000; Butler, 1999; Sarason & Sarason, 1999; Cottone, 1992; Wells & Clark, 1997) yang mengatakan bahwa relaksasi dan restrukturisasi kognitif menolong untuk mengurangi kecemasan dan mencegah perilaku kompulsif. Perilaku kompulsif Subyek tampaknya mulai menunjukkan penurunan yang berarti ketika exposure with response prevention mulai diterapkan. Dasar penerapan teknik tersebut adalah Subyek dihadapkan pada situasi dimana ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang biasa dilakukannya namun mereka dicegah untuk tidak melakukan ritual itu. Jika Subyek dapat mencegah untuk tidak melakukan ritual tersebut dan ternyata sesuatu yang dikhawatirkannya tidak terjadi, hal ini dapat membantu dalam mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual tadi (Abel, dalam Holmes, 1997). Hal inilah yang terjadi pada Subyek penelitian ini. Dengan exposure berkali-kali Subyek diajak untuk berlatih melawan tindakan kompulsifnya (dengan menerapkan relaksasi dan restrukturisasi kognitif juga). Semakin sering exposure dilakukan Subyek akan semakin nyaman dan semakin menemukan bahwa pemikiran-pemikiran, keyakinan-keyakinan maupun berbagai interpretasinya selama ini tidaklah benar dan berlebihan (Antony & Swinson, 2000). Perubahan pasa Subyek dapat dilihat dari menurunnya frekuensi perilaku kompulsif Subyek dari hari ke hari meskipun untuk aktivitas mencuci piring dan mencuci baju belum mencapai titik yang memuaskan. Namun peneliti berkeyakinan bahwa bila masa terapi diperpanjang, penurunan frekuensi perilaku kompulsif Subyek akan semakin berarti. Apalagi simtom obsesif-kompulsif Subyek dalam penelitian ini dapat dikatakan belum terlalu berat. Selain teknik-teknik terapi yang diberikan, keberhasilan teknik terapi tersebut tampaknya juga ditunjang oleh kesediaan Subyek untuk mengikuti terapi atas kemauannya sendiri, motivasi yang kuat untuk berubah, dan keaktifan atau keterlibatan Subyek secara penuh selama menjalani sesi-sesi terapi termasuk belajar menerapkan ke situasi-situasi di luar fokus terapi. Di samping itu, hal-hal lain yang diperoleh dari penelitian ini yang mungkin perlu dicermati lebih lanjut adalah : a. Pada dasarnya teknik terapi ini dapat juga diterapkan untuk perilaku-perilaku/tindakantindakan obsesif-kompulsif lainnya di luar fokus terapi dalam penelitian sepanjang

memenuhi simtom gangguan obsesif-kompulsif. Hal ini sesuai dengan yang biasa diprediksikan para behaviorist yaitu bahwa efek menguntungkan dari melakukan treatmen terhadap satu tingkah laku dapat menggeneralisir ke tingkah laku-tingkah laku yang lain (Craighead dkk., 1994). b. Hal ini berarti pula bahwa pada dasarnya teknik-teknik terapi ini dapat diterapkan sendiri oleh Subyek di luar perilaku yang menjadi fokus terapi (self help) tanpa bantuan terapis karena ketrampilan yang telah dibekalkan kepadanya. Hal ini sesuai dengan saran Butler (1999) yaitu lebih baik mengajari sesorang daripada mengobatinya. Subyek sendiri (dari asesmen pasca terapi) juga memiliki keyakinan akan dapat menerapkan sendiri teknikteknik yang telah dipelajari tanpa bantuan terapis setelah terapi dihentikan. Keterbatasan penelitian ini adalah: waktu terapi (sesi) yang kurang panjang; dalam arti terapi sudah dihentikan sebelum perubahan yang signifikan terjadi dan tidak dilakukannya masa tindak lanjut untuk memantau perubahan Subyek dikarenakan keterbatasan waktu penelitian. Untuk itu, saran bagi peneliti selanjutnya adalah : Pertama, penambahan jumlah subyek untuk kepentingan memberikan landasan yang kuat dalam menyimpulkan efek dari terapi. Karena semakin banyak kasus semakin kecil kemungkinan faktor extraneous yang bertanggung jawab akan perubahan tersebut. Kedua, perlu memperpanjang sesi terapi hingga terjadi perubahan yang lebih signifikan sebelum dihentikan. Ketiga, tindak lanjut dan terus memonitor perkembangan Subyek setelah terapi guna mengetahui seberapa jauh efek terapi terus bertahan atau menetap merupakana hal yang sangat penting dilakukan. Keempat, dalam teori disebutkan bahwa exposure yang dilakukan dengan atau tanpa kehadiran terapis akan sama efektifnya. Disarankan untuk mencoba menerapkan exposure dengan kehadiran terapis; apakah lebih memberikan perubahan yang lebih cepat atau tidak. Teknik modeling mungkin bisa diterapkan juga sebelum dilakukan exposure with respons prevention untuk memberi fakta realistis dan keyakinan pada Subyek bahwa pemikiran obsesifnya tidaklah beralasan hingga tidak perlu melakukan tindakan kompulsif. REFERENSI American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Fourth Edition. Revised (2000). Washington, DC. Antony, M.M. & Swinson, R.P. (2000). Shyness & social anxiety workbook. Canada: New Harbinger Publications, Inc. Barker, C., Pistrang, H., & Elliot, R. (1996). Research methods in clinical and counselling psychology. England: John Wiley & Sons, Ltd. Beck, A.T (1979). Cognitive therapy and the emotional disorders. Boston: Meridian, Penguin Books, Ltd. Butler, G. (1999). Overcoming social anxiety and shyness. London: Constable & Robinson Ltd. Craighead, L.W., Craighead, W.E., Kazdin, A.E., & Mahoney, M.J. (1994). Cognitive and behavioral interventions. Boston: Allyn and Bacon. Holmes, D.S. (1997). Abnormal psychology. Third Edition. New York: Addison-Wesley Educational Publisher Inc. Kazdin, A.E. (1998). Methodological issues & strategies in clinical research. Washington DC: American Psychological Association. Kerlinger, F.N. (1992). Asas-asas penelitian behavioral. Edisi ketiga. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Martin, G., & Pear, J. (2003). Behavior modification: What it is and how to do it. Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Nevid, J.S.; Rathus, S.A.. & Green, E.B. (2003). Abnormal psychology in changing world. New Jersey: Prentice Hall. Nevid, J.S.; Rathus, S.A.. & Green, E.B. (2003). Psikologi abnormal. Edisi kelima. Jilid 1. Terjemahan. Jakarta: Erlangga Nolen-Hoeksema, S. (2001). Abnormal psychology. Second Edition. New York: McGraw-Hill. Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sarason, I.G., & Sarason, B.R. (1999). Abnormal psychology: The problem of maladaptive behavior. Ninth Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Soewondo, S. (2003). Modul latihan relaksasi. Jakarta: Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia.

EFEKTIVITAS STRATEGI PENGAJARAN RESIPROKAL DAN STRATEGI MEMBACA KOLABORATIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN BACAAN SISWA SEKOLAH DASAR Nimatuzahroh Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang nimatuzahroh7@gmail.com Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas strategi memahami bacaan melalui strategi pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif dalam meningkatkan pemahaman bacaan siswa SD. Intervensi dilaksanakan selama sembilan kali pertemuan pada 40 siswa SDN 07 Pagi Jakarta Timur. Siswa diberikan pretes dan postes pemahaman bacaan untuk mengetahui peningkatan pemahaman bacaan setelah mengikuti intervensi strategi pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan disain penelitian nonrandomized control group pretest-posttest design. Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dengan uji t-test. Peneliti juga menggunakan metode observasi dan wawancara untuk mendukung penjelasan data-data hasil analisis yang diperoleh dari analisis statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi strategi memahami bacaan melalui pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif terbukti mampu meningkatkan pemahaman membaca siswa serta strategi membaca kolaboratif terbukti lebih efektif dibandingkan dengan strategi pengajaran resiprokal. Kata kunci : Strategi pengajaran resiprokal, strategi membaca kolaboratif, Pemahaman Bacaan. The Research aims to know effectivity of reading comprehention strategy through reciprocal teaching strategy and Collaborative Strategic Reading to the Improvement of the Elementary School Reading Comprehension. Intervention is executed during nine times meeting at 40 students of SDN 07 Pagi East Jakarta. The Students are given pretest and posttest about the reading comprehension to know the improvement of understanding of reading after following intervention strategy instruction of reciprocal strategy and collaborative reading strategy. The type of this Research is quasi experiment designed of nonrandomized control group pretest-posttest design. Processing data uses quantitative way by t-test examination. Researcher also uses observation method and interview to support explanation of data that resulted from statistical analysis. The results clearly demonstrated that intervention reading comprehention strategy through instruction of reciprocal and collaborative reading strategy is proven, that both strategies can improve reading comprehension of students and also that collaborative reading strategy is more effective than reciprocal teaching strategy. Keyword: Reciprocal teaching strategy, Collaborative strategic reading, Reading Comprehension.

Keterampilan membaca dan memahami bacaan merupakan aktivitas terpenting karena dengan membaca seseorang dapat belajar berbagai hal yang penting dalam hidupnya (Graesser, 2007). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Programme For International Student assesment (PISA) (dalam Mursitolaksmi, 2007) mengenai kemampuan literasi meliputi membaca, matematika dan sains, remaja di Indonesia menduduki urutan terakhir dari 32 negara di dunia. Dari sejumlah 265.000 remaja, 31% belum menguasai keterampilan membaca dasar, 38% dapat membaca sederhana, menemukan informasi langsung, menyimpulkan bacaan sederhana, dan tidak ada responden atau 0% yang mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, seperti menyimpulkan teks dari bacaan yang kurang dikenal, menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai teks, menentukan teks yang relevan, mengakomodasi konsep-konsep yang bertentangan dengan isi keseluruhan, melakukan evaluasi secara kritis serta membuat hipotesis.

Rendahnya pemahaman bacaan para remaja Indonesia merupakan hal yang memprihatinkan karena pemahaman bacaan merupakan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk menguasai materi pelajaran di sekolah maupun di perguruan tinggi (Alvermann & Earle, dalam Spoore & Brunstein, 2009). Pemahaman bacaan yang rendah dapat menyebabkan kegagalan mencapai prestasi yang baik di sekolah (Keenan, Betjemann, dan Olson, 2009).

Keterampilan anak dalam memahami bacaan dapat ditingkatkan dengan melibatkan orang lain yang lebih kompeten sehingga anak dapat melampaui kapasitas yang dimilikinya dalam batasan tertentu Lechte (1994). Menurut Vigotsky (dalam Siegler & Alibali, 2005; Cheng & Yu, 2009; Miller, 1993) kapasitas ini disebut sebagai zone of proximal development (ZPD) atau jarak antara apa yang dapat dilakukan anak secara mandiri, dan apa yang dapat anak lakukan dalam interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih ahli.

Penelitian Mursitolaksmi (2007) membuktikan bahwa intervensi program berbasis perancah (Scaffolding) terbukti mampu meningkatkan penggunaan strategi metakognitif dalam membaca pada siswa kelas 3 sekolah dasar di Jakarta. Guru dan teman sebaya yang berfungsi

sebagai perancah, dapat membantu siswa pemula memperkecil zone of proximal development yang dimiliki, sehingga siswa pemula yang tadinya kurang memiliki strategi metakognitif yang efektif dapat mengembangkan strategi metakognitif yang lebih efektif dalam membaca. Ada dua strategi belajar yang mampu meningkatkan pemahaman bacaan yaitu strategi pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif (Klingner, Vaughan & Boardman, 2007). Pengajaran resiprokal merupakan pendekatan pembelajaran yang membimbing siswa untuk dapat memahami bacaan melalui keterlibatan guru dan teman sebaya yang lebih ahli untuk menguasai strategi bertanya, menyimpulkan, memperjelas dan meramalkan. Menurut Topping (2001) pada pendekatan pengajaran resiprokal, siswa belajar melalui kerjasama dengan guru dan teman sebaya. Siswa berperan sebagai tutor dan tutee bergantian bekerjasama untuk menyelesaikan serangkaian tugas. Menurut Emmerson dan Mosteller (dalam Cheng, 2009) dalam kegiatan ini, tutor dan tutee memiliki tanggungjawab yang sama yaitu membuat mitranya belajar. Strategi memahami bacaan yang kedua adalah strategi membaca kolaboratif (Collaborative Strategy Reading) merupakan pendekatan pembelajaran yang membimbing siswa memahami bacaan yang diterapkan dengan format kelompok kooperatif dengan teman sebaya yang lebih ahli untuk menguasai strategi preview, click dan clunk. Get the gist dan wrap-up. Strategi ini terbukti mampu meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan siswa (Klingner, Vaughan & Boardman, 2007; Bryant, Vaughan, Thompson, Ugel, dkk, 2000) yang melakukan penelitian tentang pengaruh intervensi membaca dengan menggunakan multikomponen berupa identifikasi kata, teknik mnemonic, partner reading, dan strategi membaca kolaboratif pada siswa biasa maupun pada siswa berkesulitan belajar disekolah umum, membuktikan bahwa sebagian besar siswa mengalami peningkatan pada semua komponen dan membuktikan bahwa strategi membaca kolaboratif mampu meningkatkan pemahaman bacaan siswa. Menurut Vaughan dan Klingner (1999) strategi membaca kolaboratif merupakan pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan pemahaman bacaan bagi siswa sekolah dasar dan telah terbukti mampu meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap teks, serta mampu meningkatkan keterampilan memahami makna bacaan untuk berbagai tipe pelajar termasuk pada siswa berkesulitan belajar, siswa berprestasi rendah dan siswa yang kesulitan menguasai bahasa Inggris (Klingner & Vaughan, 1996). Dari beberapa penelitian di atas peneliti menyimpulkan bahwa pemahaman bacaan dapat ditingkatkan dengan strategi pengajaran resiprokal (resiprocal teaching) dan strategi

membaca kolaboratif (collaborative strategic reading). Kedua strategi memahami bacaan tersebut dapat diterapkan pada siswa sekolah dasar mengingat siswa SD berada pada tahap operational konkrit dimana pada tahap ini kemampuan menghubungkan dan menggolongkan sudah mulai berkembang (Miller, 1993), hal ini membantu siswa memahami setiap metode memahami bacaan yang diajarkan. Dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka

dalam penelitian ini akan dilakukan intervensi pengajaran strategi memahami bacaan resiprokal (resiprocal teaching) dan strategi membaca kolaboratif (collaborative strategy reading) khususnya pada siswa sekolah dasar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang ada, baik tentang pengajaran resiprokal (Cheng & Yu, 2009; Sporer, Brunstein, & Kieschke, 2009; D.Fuchs, L.S., Fuchs, Thompson, Svenson, Yen, Al Otaiba, dkk., 2001; dan Lederer, 2000) maupun tentang strategi membaca kolaboratif (Vaughn & Klingner, 1999; Klingner & Vaughan, 1996; Vaughan, Klingner, & Bryant, 2001) seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, lebih melihat pengaruh pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif terhadap pemahaman bacaan secara terpisah, belum ada penelitian yang membandingkan kedua strategi yang lebih efektif untuk digunakan selanjutnya oleh para guru dalam meningkatkan pemahaman bacaan siswa SD, sehingga memiliki manfaat yang besar. Sejauh pengetahuan penulis, penelitian semacam ini belum pernah dilakukan. Secara garis besar, penelitian ini akan dilakukan pada siswa kelas 3 SD yang dibagi dalam dua kelompok intervensi. Satu kelompok mendapat intervensi pengajaran resiprokal dan kelompok lainnya mendapat intervensi strategi membaca kolaboratif. Dalam intervensi ini, akan dilibatkan guru dan siswa dengan pemahaman bacaan yang tinggi untuk membantu siswa dengan pemahaman bacaan yang rendah untuk menguasai strategi memahami bacaan. Pemahaman Bacaan (Reading Comprehension) Pemahaman dipandang sebagai proses memahami informasi melalui penggabungan pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam ingatan dengan kata yang tercetak di halaman (Anderson dkk., Pearson, dalam Ugel, 1999; Prior, 2006). Pemahaman juga diartikan sebagai konstruk kognitif yang kompleks, yang terdiri dari berbagai macam komponen keterampilan (Keenan, Betjemann, & Olson, 2009). Di samping itu, Mastropieri dan Scruggs (dalam Ugel, 1999) menyatakan bahwa keterampilan yang penting untuk mampu memahami bacaan adalah kemampuan memprediksi, bertanya, meringkas dan menjelaskan. Guthrie (dalam Richek, List, & Lerner, 1983) memandang pemahaman sebagai sebuah proses yang menyatu pada pembaca yang menyatukan subskill atau bagian dari keterampilan membaca kedalam perilaku membaca. Graesser (2007)

menyatakan bahwa pemahaman sebagai kemampuan untuk menyelami kata, proses memahami ide-ide dan hubungan antar ide-ide yang disampaikan oleh teks. Dalam beberapa definisi yang berbeda, para ahli membagi pemahaman menjadi sekumpulan proses inti yang terdiri dari beberapa komponen yang umum yaitu interpretasi dari informasi yang ada dalam teks, penggunaan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya (prior knowledge) untuk memaknai bacaan (Johnston & Irwin, dalam Medina & Polonieta, 2006; Kendeou, Broek, White, & Lynch, 2007), dan pada akhirnya menyusun gambaran yang masuk akal atau gambar dalam fikiran pembaca tentang apa yang kira-kira disampaikan oleh teks (Graesser, 2007; Kendeou, Broek, White, & Lynch, 2007 ). Penggambaran ini sebagai dasar agar pembaca dapat menceritakan kembali sebuah cerita, menerapkan pengetahuan yang didapat dari teks, mengidentifikasi tema, dll (Kendeou, Broek, White, & Lynch, 2007). Menurut Cash dan Schumm (2006) pemahaman bacaan adalah kemampuan yang kompleks terdiri dari mengolah informasi yang ada pada kata, kalimat, paragraf dan bagian bacaan. Pemahaman bacaan merupakan keterikatan yang aktif dari pembaca baik sebelum, selama dan setelah membaca yang diambil pembaca dalam pesan penulis, mengartikan pesan, merespon pesan, dan jika dibutuhkan menyimpan pesan untuk berbagai tujuan yang berbeda (seperti diskusi, tes, informasi pribadi). Dari beberapa uraian definisi tentang pemahaman bacaan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman bacaan merupakan kemampuan seseorang untuk memaknai berbagai informasi yang dibacanya dengan mengerahkan segenap keterampilan dan pengetahuan yang telah ada dalam dirinya, melalui keterikatan yang aktif dari pembaca baik sebelum, selama dan setelah membaca. Ada empat faktor yang dapat mempengaruhi pemahaman bacaan siswa adalah: 1) Faktor pribadi pembaca seperti kognisi, fisik, kemampuan berbahasa, dan kepribadian (motivasi) (Schumm & Arguelles, dalam Medina & Pilonieta, 2006), pengetahuan sebelumnya (Lederer, 2000; Snow, Burns & Griffin, 1998; Bransford & Johnson, 1972), metakognisi (Zinar, 2000, dalam Oakhil & Cain, 2007), perbendaharaan kata (Davis & Spearrit, dalam Tanennbaum, Torgesen, & Wagner, 2006; De Jong & van der Leij, 2002; Cash & Schumm, 2006), Kesadaran fonem (phoneme awareness) (Meyer, 2001) dan kelancaran membaca (Adlof Castts & Little., 2006; Cash & Schumm, 2006); 2) Faktor lingkungan seperti pendidikan dan keluarga Schumm dan Arguelles (dalam Medina & Pilonieta, 2006), kondisi masyarakat, rumah, dan sekolah (Miller, 1993); 3) Faktor bacaan seperti struktur bacaan. Bacaan dengan kalimat yang terlalu panjang akan sulit difahami (Medina & Pilonieta, 2006); dan strategi belajar seperti penerapan strategi khusus untuk memahami bacaan dengan strategi pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif dapat meningkatkan pemahaman bacaan (Medina & Pilonieta, 2006). Bacaan naratif seringkali disebut sebagai story grammar yaitu , bacaan yang menuntut adanya struktur prosa (Cash & Schumm, 2006), adanya elemen yang berbeda yang dapat ditemui pembaca dalam cerita, seperti karakter, setting, plot (meliputi masalah yang membutuhkan penyelesaian) dan pemecahan masalah (Gillis & Olson, dalam Klingner, Vaughn, & Boardman, 2007), dan hubungan ide-ide dalam bacaan berupa rangkaian peristiwa yang mudah difahami (William, Hall, & Lauer, 2004). Bacaan narasi meliputi genre yang sederhana berupa tata bahasa cerita meliputi fiksi realistis, fantasi, cerita dongeng (fairytales), cerita rakyat, fable (dongeng perumpamaan), misteri, humor, fiksi tentang sejarah, permainan-permainan (plays) dan kisah hidup. Contohnya fables merupakan cerita

singkat dengan tipe struktur cerita tapi adanya muatan moral. Anak-anak membangun sensitivitas terhadap struktur bacaan naratif lebih awal. Pada saat mereka mulai sekolah, sebagian besar siswa telah membangun kesadaran terhadap struktur cerita dan dapat menggunakan pengetahuan ini untuk memahami cerita yang mudah (Gillis & Olson, dalam Klingner, Vaughn, & Boardman, 2007). Pada saat siswa semakin dewasa, pemahaman mereka tentang cerita yang berbeda menjadi semakin matang (William, dalam Klingner, Vaughn, & Boardman, 2007). Struktur bacaan ekspositori merupakan cara penyusunan bacaan untuk mengarahkan pembaca mengidentifikasi informasi utama dan membuat hubungan antar ide-ide (Williams, Hall, & Lauer, 2004), cara dimana informasi disusun dalam bacaan berupa kalimat tunggal, paragraf, rangkaian paragraf (Cash & Schumm, 2006). Dari sisi content-area dalam buku bacaan, struktur bacaan ekspositori sangat berbeda dengan struktur narasi, bacaan ekspositori lebih menantang dibanding bacaan naratif karena siswa telah memiliki kesadaran akan struktur bacaan naratif lebih awal dibandingkan bacaan expositori (Williams, Hall, dan Lauer, 2004). Disamping itu hubungan ide-ide dalam bacaan expositori menurut Weaver dan Kintsch (dalam Klingner, Vaughn, & Boardman, 2007) tidak semudah rangkaian peristiwa yang ada dalam struktur bacaan naratif. Bacaan ekspositori menampilkan struktur atau organisasi informasi dengan cara yang bervariasi seperti: menyebutkan satu persatu (Enumeration) yaitu adanya daftar tentang fakta-fakta mengenai satu topik, rangkaian (Sequence) yaitu rangkaian peristiwa yang terjadi pada satu waktu, membandingkan-perbedaan (compare-contrast) yaitu memfokuskan pada persamaan dan perbedaan antara dua atau beberapa topik, pengklasifikasian (classification) yaitu menyusun informasi berdasarkan kategori, penyamarataan (generalization) yaitu satu ide utama terdiri dari beberapa kalimat, masalahpenyelesaian (Problem-solution) yaitu pernyataan tentang masalah diikuti dengan penyelesaiannya dan penjelasan tentang pelaksanaan (procedural description) yaitu langkahlangkah yang digunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Ketika membaca bacaan ekspositori, siswa tidak hanya dituntut untuk memperhatikan informasi yang ada dalam teks, melainkan juga dituntut untuk mengidentifikasi tipe struktur bacaan yang digunakan (Enlert & hiebert, dalam Klingner, Vaughn, & Boardman, 2007). Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah bacaan ekspositori, mengingat jenis bacaan ini sangat banyak digunakan dalam buku-buku sekolah. Strategi Memahami Bacaan Pengajaran Resiprokal Pengajaran resiprokal merupakan pendekatan pembelajaran yang membimbing siswa agar dapat mengintegrasikan strategi bertanya, menyimpulkan, memperjelas dan meramalkan, yang dikembangkan pertama kali oleh Palinscar dan Brown (dalam Klingner, Vaughan, & Boardman, 2007). Prinsip pengajaran resiprokal adalah bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui internalisasi konsep melalui interaksi sosial (Klingner, Vaughan, & Boardman, 2007; Klingner & Vaughan, 1996). Langkah-langkah dalam menerapkan pengajaran resiprokal menurut Quezada, Williams dan Flores (dalam Klingner, Vaughan & Boardman, 2007) yaitu: Tahap demonstrasi guru, tahap pengajaran langsung dan panduan praktek, tahap teacher-student group (kelompok gurusiswa), tahap siswa berlatih memimpin diskusi, dan tahap siswa secara mandiri menggunakan strategi. Empat strategi yang ada dalam pengajaran resiprokal yaitu predicting, clarifying, summarizing, dan questioning generating (Klingner, Vaughan & Boardman, 2007; Lederer, 2000):

Strategi Membaca Kolaboratif Strategi membaca kolaboratif merupakan strategi memahami bacaan yang diterapkan dengan format kelompok kooperatif yang digunakan untuk memudahkan belajar siswa dalam kelompok kecil (Cash & Schumm, 2006). Sama halnya dengan pengajaran resiprokal, strategi membaca kolaboratif didasarkan pada teori sosial, prinsip scaffolding, ZPD dari Vigotsky dan psikologi kognitif. Gagasannya adalah bahwa perkembangan kognitif terjadi ketika konsep pertama kali diajarkan melalui interaksi sosial dan menjadi terinternalisasi dan terbentuk dengan sendirinya. Melalui pendekatan kolaboratif, belajar dibantu oleh guru dan siswa. Guru menyediakan pembelajaran dalam strategi-strategi, menetapkan peran kelompok, dan menyediakan bimbingan untuk belajar dan berdiskusi. Siswa kemudian membantu satu sama lain melalui pemberian umpan balik segera. (Vaughan, Klinger, & Broadman, 2007). Langkah-langkah menerapkan strategi membaca kolaboratif (Vaughan, Klingner, & Bryant, 2001): 1. Guru menjelaskan 4 strategi, mencontohkan penggunaannya dan menunjukkan teks yang dapat dilihat oleh seluruh siswa. 2. Guru menunjukkan bagaimana tiap-tiap strategi digunakan dihari berikutnya. Melalui think aloud, guru memperlihatkan dan menerapkan tiap strategi dan menyediakan kesempatan untuk mendemonstrasikan dengan baik. 3. Setelah tiap-tiap strategi didemonstrasikan guru meminta beberapa siswa untuk maju ke depan dan mencontohkan strategi di depan kelas untuk siswa lainnya. 4. Guru bergabung pada kelompok kecil siswa yang maju ke depan kelas dan berperan sebagai pimpinan kelompok. 5. Setelah tiap-tiap strategi diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah, guru mencontohkan penggunaannya secara menyeluruh pada teks. 6. Guru menunjuk siswa untuk maju kedepan kelas dan mencontohkan penerapannya untuk seluruh siswa. 7. Kemudian siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang heterogen atau berpasangan dimana tiap siswa mendapatkan peran yang berbeda-beda dan secara kolaboratif (bekerjasama) menerapkan strategi. Empat Strategi membaca yang ada dalam strategi membaca kolaboratif menurut Vaughan, Klinger, dan Broadman (2007) adalah Preview (Pendahuluan) yaitu membuat dugaan awal tentang apa yang akan dibaca dan apa yang akan dipelajari tentang bacaan, Click dan Clunk digunakan untuk memonitor pemahaman mereka tentang teks dan memikirkan tentang informasi dalam teks dan merupakan strategi monitoring diri yang diterapkan siswa selama membaca (Vaughan, Klingner, & Broadman, 2007; Cash & Schumm, 2006). Click merupakan keadaan pada saat siswa memahami informasi (Vaughan, Klingner, & Broadman, 2007), saat dimana pembaca benar-benar memahami kata atau kalimat yang dibacanya, bahkan mengetahui hal tersebut lebih dari yang tersedia dalam bacaan, memahami apa yang dimaksud penulis karena telah memiliki pengetahuan tentang hal tersebut sebelumnya (Vaughn & Klingner, 1999). Sementara clunks adalah ketika siswa tidak mengerti informasi, menemukan kata-kata atau konsep yang tidak dimengerti (Cash & Schumm, 2006), saat dimana siswa sangat tidak memahami kata atau apa yang dimaksud penulis, karena merupakan kata-kata baru yang menjadi kunci untuk memahami bacaan (Vaughn & Klingner, 1999), Get The Gist (mendapatkan intisari). Tujuannya untuk mengajarkan siswa bagaimana menentukan ide utama dari teks, dan mengajarkan siswa mengidentifikasi poin yang penting dari teks dengan cara mengungkapkan kembali ide dengan kata-kata mereka sendiri dan mengeluarkan detil yang tidak penting (Vaughan & Klingner, 1999). Wrap-Up yaitu

meringkas bacaan dengan merumuskan pertanyaan dan menjawab tentang apa yang telah mereka pelajari dengan meninjau kembali ide utama. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah 40 siswa kelas 3 SD yang berusia antara 8,5-10 tahun. Penelitian ini juga melibatkan enam orang siswa ahli dan empat guru. Pemilihan subjek dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan umum dan tes pemahaman bacaan, dengan teknik pengambilan sampel Purposive sampling dimana sampel yang dipilih adalah yang memenuhi kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. subyek dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan intervensi strategi pengajaran resiprokal dan kelompok yang mendapatkan intervensi strategi membaca kolaboratif, dengan masing-masing kelompok terdiri dari 20 orang. Metode Pengumpulan Data Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan disain penelitian nonrandomized control group pretest-posttest design. Pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dengan uji t-test. Peneliti juga menggunakan metode observasi dan wawancara untuk mendukung penjelasan data-data hasil analisis yang diperoleh dari analisis statistik. HASIL PENELITIAN Dari keseluruhan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa: (a) Intervensi strategi memahami bacaan melalui pengajaran resiprokal terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pemahaman membaca siswa dengan t = 4.705 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,05; (b) Intervensi strategi memahami bacaan melalui strategi membaca kolaboratif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pemahaman membaca siswa t = -11.979 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,05; dan (c) Ada perbedaan peningkatan pemahaman bacaan pada kelompok pengajaran resiprokal dan kelompok strategi membaca kolaboratif, dimana peningkatan pemahaman bacaan tampak lebih besar pada kelompok strategi membaca kolaboratif (mean = 7.55) dibanding pada kelompok pengajaran resiprokal (mean = 2,65) dengan nilai t = -5,979 dan taraf signifikansinya 0.000, artinya strategi membaca kolaboratif lebih efektif untuk meningkatkan pemahaman bacaan siswa SD dibandingkan dengan strategi pengajaran resiprokal. Dari hasil analisis terhadap evaluasi siswa terhadap kegiatan intervensi : (1) Pada kelompok resiprokal mereka menyatakan bahwa secara keseluruhan kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang bermanfaat bagi mereka hal ini terbukti dari item mean 4,191 artinya siswa setuju atau menyukai kegiatan intervensi yang mereka ikuti; (2) Menurut siswa kelompok strategi membaca kolaboratif, kegiatan intervensi secara keseluruhan merupakan kegiatan yang bermanfaat bagi mereka hal ini terbukti dari item mean 3,65 artinya siswa setuju atau menyukai kegiatan intervensi; (3) Siswa kelompok resiprokal menyatakan bahwa selain sebagai kegiatan yang sangat bermanfaat, kegiatan semacam ini seharusnya diterapkan dikelas karena membuat mereka mudah memahami materi yang diajarkan; dan (4) Siswa kelompok kolaboratif menyatakan cara belajar seperti ini seharusnya diterapkan dikelas. Mereka akan menerapkan materi yang diajarkan saat membaca, karenanya mereka menginginkan kegiatan intervensi perlu mendapat tambahan waktu. DISKUSI

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa intervensi strategi memahami bacaan melalui pengajaran resiprokal dan strategi membaca kolaboratif terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan siswa. Strategi memahami bacaan, sebenarnya dapat dikuasai oleh siswa sekolah dasar melalui bimbingan dan arahan dari orang dewasa (dalam hal ini guru) atau teman sebaya yang ahli, karena menurut Lechte (1994) keterlibatan mereka sangat mempengaruhi hasil belajar anak, agar mereka dapat melampaui kapasitas yang dimilikinya dalam batasan tertentu dan dapat diterapkan dalam proses pembelajaran didalam kelas. Vigotsky menyebutnya sebagai zone of proximal development (ZPD) atau jarak antara apa yang dapat dilakukan anak secara mandiri, dan apa yang dapat anak lakukan dalam interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih ahli (dalam Siegler & Alibali, 2005; Cheng & Yu, 2009), dengan catatan bahwa kegiatan tersebut direncanakan dengan baik dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa. Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa strategi memahami bacaan melalui pengajaran resiprokal ini terbukti efektif dan dapat diterapkan pada siswa kelas 3 SD, karena terjadi peningkatan dalam pemahaman membaca siswa, meskipun peningkatannya lebih kecil dibandingkan strategi membaca kolaboratif. Siswa tampak menjadi lebih mengetahui apa yang harus dilakukannya pada saat tidak memahami bacaan. Selama proses intervensi berlangsung, siswa tampak antusias dan aktif mengikuti kegiatan tahap demi tahap dan tampak mampu menerapkan strategi yang diajarkan. Meski pada awal kegiatan, siswa terlihat masih memiliki ketergantungan yang besar akan bantuan guru dalam memahami materi yang diberikan, dan kehadiran siswa ahli tampak mendominasi kegiatan kelompok, namun secara perlahan saat peran guru digantikan oleh siswa ahli, mereka menjadi semakin memahami materi yang diajarkan. Kehadiran siswa ahli yang sebaya, membuat mereka dapat bekerjasama dengan baik tanpa merasa adanya tekanan, dan dapat mengekspresikan pendapat mereka tanpa ada perasaan takut, dan dapat secara bergantian memberikan umpan balik pada teman-temannya serta dapat memberikan koreksi pada saat ada temannya yang salah. Hal ini sesuai dengan pendapat Lederer (2000) yang mengatakan bahwa pembelajaran scaffolding akan memberikan keuntungan pada siswa karena memberikan kesempatan pada mereka untuk mencerna naskah yang sulit dengan bantuan ahli atau teman sebaya mereka. Meski terbukti efektif untuk meningkatkan pemahaman bacaan, namun dalam pelaksanaannya pengajaran strategi memahami bacaan melalui pengajaran resiprokal harus tetap memperhatikan faktor yang penting yaitu, peran guru yang harus optimal dalam mendampingi siswa untuk menguasai strategi tahap demi tahap, mengamati secara seksama keterlibatan siswa, memotivasi siswa untuk terlibat dalam proses diskusi. Peran guru tidak dapat digantikan begitu saja oleh oranglain manakala proses belajar berlangsung. Faktor kondisi kelas dan waktu pembelajaran juga menjadi faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran. Penelitian juga membuktikan bahwa intervensi strategi membaca kolaboratif terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan pada siswa kelas 3 SD. Pada pelaksanaan intervensi, siswa dibimbing oleh guru dan siswa sebaya yang ahli untuk menguasai 4 strategi memahami bacaan yaitu preview, cilick dan clunk, get the gist dan wrap-up. Dari Penelitian ini terbukti bahwa intervensi melalui strategi membaca kolaboratif terbukti lebih efektif dibandingkan dengan strategi pengajaran resiprokal, dan membuktikan bahwa pengajaran didalam kelas dengan membagi siswa kedalam kelompok-kelompok kecil seperti dalam penelitian ini, ternyata jauh lebih efektif dibandingkan mengajarkan mereka di dalam

kelompok besar seperti dalam pengajaran resiprokal maupun dalam pelaksanaan pengajaran yang dialami siswa dikelas. Penelitian ini juga membuktikan bahwa siswa sekolah dasar yang berusia antara 8.5-10 tahun dapat diajarkan strategi memahami bacaan sama halnya dengan penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Palinscar dan Brown (Klingner, Vaughan, & Boardman, 2007), Vaughn & Klingner (1999), Klingner dan Vaughan (1996), Vaughan, Klingner, dan Bryant (2001), karena mengajarkan strategi memahami bacaan merupakan pengajaran yang bermanfaat untuk siswa terutama untuk membantu mereka pada saat menemui kesulitan dalam memahami bacaan (Graesser, 2007). Tentu saja dengan berbagai catatan penting yang harus dilakukan agar intervensi dapat mencapai hasil yang diinginkan. Peran guru untuk memfasilitasi proses pembelajaran dan adanya tahapan-tahapan dalam penguasaan strategi memahami bacaan menjadi faktor yang menentukan penting untuk diperhatikan (Klingner, Vaughan, & Boardman, 2007). Begitupun halnya dengan kehadiran siswa ahli dalam kelompok mampu membuat siswa lain ikut aktif menyelesaian tugas-tugas yang diberikan, mereka dapat diberikan tanggungjawab tertentu selama proses pembelajaran berlangsung melalui pemberian peran, sehingga mereka termotivasi untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Penelitian ini membuktikan bahwa siswa tampak lebih aktif dalam menyelesaikan tugastugasnya manakala mereka diberikan tanggungjawab dan peran tertentu seperti yang terjadi dalam pembelajaran strategi membaca kolaboratif dibandingkan pada siswa dalam kelompok pengajaran resiprokal. Hal ini disebabkan karena dalam penerapan strategi membaca kolaboratif siswa lebih dituntut untuk berperan aktif melalui penetapan peran penting pada tiap siswa yang harus dijalankan dan setiap orang bertanggungjawab untuk kesuksesan kelompok. Siswa diberitahu bahwa mereka memiliki dua tanggungjawab yaitu memastikan bahwa mereka telah mempelajari materi dan menolong siswa lain dalam kelompoknya untuk mempelajari hal yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk menstimulasi siswa agar dapat menerapkan keterampilan yang penting untuk dapat berperan dengan baik dalam kelompok, mengambil peran dalam diskusi, menanyakan pertanyaan yang memperjelas, dan mengukur penyelesaian masalah (Klingner, Vaughn & Broadman, 2007). Dalam pelaksanaan strategi membaca kolaboratif, guru tidak terlalu banyak terlibat selama proses diskusi berlangsung. Siswa diberikan kesempatan untuk berinteraksi, berdiskusi secara bebas dalam kelompok-kelompok kecil, guru hanya berperan sebagai fasilitator yang siap memberikan bantuan dan penjelasan pada saat dibutuhkan siswa, dan memberikan umpan balik diakhir sesi diskusi, terutama pada saat tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi mereka. Dari sisi pelaksanaan diskusi, pada penerapan strategi membaca kolaboratif, siswa dilatih untuk secara mandiri menerapkan strategi yang telah dijelaskan guru pada sesi sebelumnya sejak awal pertemuan. Peran siswa ahli lebih besar dibanding peran guru, karenanya setiap kali intervensi akan dilaksanakan, guru terlebih dahulu memberikan arahan pada siswa ahli tentang hal-hal yang harus dilakukannya dalam kelompok. Pada saat siswa tampak telah menguasai strategi, setiap siswa diberi peran dan tanggungjawab tertentu dalam kelompok dan menerapkan strategi pada bacaan yang diberikan. Karenanya pada saat diskusi berlangsung siswa tampak lebih aktif terlibat dalam diskusi, tampak lebih bertanggung jawab dan lebih antusias dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dibanding yang terjadi pada kelompok pengajaran resiprokal. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson dan Johnson (dalam Vaughan, Klinger, & Broadman, 2007) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterikatan yang positif, memungkinkan interaksi tatap muka

diantara siswa, tanggungjawab pribadi, keterampilan sosial yang positif, evaluasi diri sebagai anggota kelompok atau refleksi. Keterbatasan Penelitian Ada beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian pada situasi nyata seperti ini, salah satu diantaranya adalah masalah-masalah teknis yang terkait dengan peran guru. Meski sebelum intervensi dilaksanakan, peneliti telah meminta kesediaan guru untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan penelitian, dan telah beberapa kali melakukan pembekalan pada guru untuk membahas peran guru dalam proses intervensi, namun dalam pelaksanaannya keterlibatan guru terasa kurang optimal, terutama pada guru yang mendampingi strategi pengajaran resiprokal. Guru seringkali tidak fokus dalam memberikan penjelasan dan bimbingan karena harus mengawasi siswa lain yang tidak mengikuti intervensi. Untuk mengantisipasi hal ini, peneliti melibatkan guru lain pada saat guru tersebut berhalangan. Meskipun telah diberikan arahan dan pembekalan sebelum intervensi berlangsung, namun kehadiran guru baru yang hanya dibekali dalam satu kali pembekalan tampak mempengaruhi proses pembelajaran, karena guru tersebut tampak belum menguasai betul apa yang harus dilakukannya selama proses intervensi berlangsung, sehingga dalam pelaksanaannya peneliti masih seringkali ikut membantu memberikan penjelasan. Berbeda dengan guru dalam kelompok kolaboratif yang terlihat sangat menguasai materi yang harus diajarkan pada siswa, sehingga proses pembelajaran dalam kelompok kolaboratif terlihat lebih efektif dibandingkan dalam kelompok resiprokal. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri dimana ketersediaan ruang kelas sangat terbatas, sehingga pelaksanaan penelitian dilakukan di ruang serbaguna dengan kebisingan, kenyamanan kelas yang tidak dapat peneliti kontrol. Pelaksanaan penelitian idealnya dilakukan diruang yang nyaman dan tertutupsehingga tidak mengganggu konsentrasi siswa. Disamping itu keterbatasan waktu yang ada karena adanya ujian nasional dan kegiatan lain yang tidak dapat diganggu, membuat penelitian ini hanya dapat dilaksanakan dalam sembilan kali pertemuan, meskipun Vaughan & Klingner (1999) menyatakan bahwa strategi ini dapat saja diterapkan setiap hari sedikitnya satu minggu, namun peneliti merasa bahwa sembilan kali pertemuan masih kurang untuk membekali siswa menguasai strategi yang ada. SIMPULAN DAN IMPLIKASI Simpulan Kesimpulan hasil penelitian ini adalah: (1) Pengajaran resiprokal terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pemahaman bacaan; (2) Strategi membaca kolaboratif terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pemahaman bacaan; dan (3) Strategi membaca kolaboratif terbukti lebih efektif dibandingkan dengan strategi pengajaran resiprokal dalam meningkatkan pemahaman bacaan. Saran Untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan uji coba alatt tes pemahaman bacaan , pengambilan data dilakukan di dua sekolah untuk bahan perbandingan, menambahkan kriteria keaktifan siswa dalam menentukan siswa ahli, memilih guru yang bersedia terlibat aktif dalam intervensi.

REFERENSI Adlof, S.M., Castts, H., Little, T.D. (2006). Should the simple view of reading include a fluency component?. Reading and Writing: An Interdiciplinary Journal, 19(2), 933958. Bransford, J. D., & Johnson, M. K. (1972). Contextual prerequisition for understanding: Some investigation of comprehension and recall. Journal of Verbal Learning and Verbal Behavior, 11(1), 717-726. Cash, M.M. & Schumm, J.Y. (2006). Comprehending Expository Text Reading Assessment and Instruction for All Learners. In Schumm, J.S. (2006). Reading assessment and instruction for All Learners. United State of America: The Guilford Press. Daniels, H. (2001) Vigotsky and Pedagogy. London & Newyork: Routledge almer Taylor & Francis Group. De Jong, P.F., & van der Leij, A. (2002). Effect of phonological abilities and linguistic comprehension on the development of reading. Scientific studies of Reading, 6(2), 5177. Graesser, A.C. (2007). An introduction to strategic reading comprehension. In D.S. McNamara, (2007). Reading comprehension strategies:Theories, interventions, and technologies. (pp.3-23). New York: Lawrence Erlbaum Associates. Keenan, J.M., Betjemann, R.S., Olson, R.K. (2009). Reading comprehension test vary in the skills they asses: Differential dependence on decoding and oral comprehension. Journal Scientific Studies of Reading, 12(3), 281-300. Kendeou, P., Broek, P., White, M. J., Lynch, J. (2009). Predicting reading comprehension in early elementary school: The independent contribution of oral language and decoding skill. Journal of Educational Psychology, 101(4), 765-778. Klingner, J.K., & Vaughan, S. (1996). Reciprocal teaching of reading omprehension strategis for students with learning disabilities who use english as a secong language. Elementary School Journal, 93(3), 299-416. Klingner, J.K., Vaughan, S., & Boardman, A. (2007). Teaching reading comprehension to students with learning difficulties. New York: The Guilford Press. Lederer, J. M. (2000). Reciprocal teaching of social studies in inclusive elementary classroom. Journal of Learning Disabilities, 33(1), 91-106. Medina, A.L., & Pilonieta P. (2006). Once upon a time: Comprehen narrative text. In Schumm, J.S. (2006). Reading assessment and instruction for all learners. (Pp.222246). United State of America : The Guilford Press. Meyer, M.I. (2001). Effect of reading disability in adolescent on self concept & future expectation. Disertasi the degree of doctor of philosophy in psychology. The university of Rode Island. Miller, P.H. (1993). Theories of developmental psychology. Third edition. Newyork : W.H. Freeman and Company. Oakhill, J., & Cain, K. (2007). Issues of causality in childrens reading comprehension. In McNamara, D (Editor), Reading comprehension strategies: theories, interventions, and technologies.(pp.47-72). New York: Lawrence Erlbaum Associates. Prior, O.J.. (2006). Nonfiction comprehension test practice. U.S.A:Shell Education. Richek, M.A, List, L.K., & Lerner, J.W. (1983). Reading problems, diagnosis dan remediation. United State of America: Prentice-Hall, Inc. Snow, C.E., Burns, M. S., & Griffin, P. (1998). Preventing reading difficulties in young children. Washington, DC: National Academy Press.

Tannenbaum, K.R., Torgesen, J.K., & Wagner, R.K., (2006). Relationship between word knowledge and reading comprehension in Third-Grade Children. Journal of Scientific Studies of Reading, 10(4), 381-398. Ugel S.N. (1999). The effect of a multicomponent reading intervention on reading achievement of middle school student with reading disabilities. Disertation the Univerity of texas at Austin. Vaughn, S., & Klingner, JK. (1999). Teaching reading comprehension through collaborative strategic reading. Journal of Intervention in school and clinic, 34(5), 284-292. Vaughn, S., Klingner, J. K., & Bryant, D.P. (2001). Collaborative strategic reading as a means to enhance peer-mediated instruction for reading comprehension and contentarea learning. Journal of Remedial and Special Education, 22, 66. Vaughan, S., Elbaum, B.E., & Schumm, J.S. (1996). The effect of inclusion on the social functioning of student with learning disabilities. Journal of Learning disabilities, 29, 598-608. Williams, J.P., Hall, K.M., & Lauer, K.D.(2004). Teaching expository text structure to young at-risk learners: Building the basics of comprehension instruction. Journal of Exceptionality, 12(3), 129-144.

IDENTITAS DIRI PARA SLANKER M. Salis Yuniardi Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang salis@umm.ac.id Pengidolaan terhadap bintang idolanya ini dianggap sebagai kegilaan ketika melihat remaja seringkali bertindak diluar rasio demi bintang idolanya tersebut. Dari bentuk yang sederhana seperti selalu menyaksikan konser pertunjukkan musik bila idolanya adalah musisi, selanjutnya mengoleksi segala pernak-pernik merchandise yang ada gambar bintang idolanya tersebut. Hingga yang dikategorikan patologis yaitu pengidentifikasian identitas diri terhadap idolanya yang ditunjukkan dalam perilaku, cara berpakaian, dan berfikir yang sedapat mungkin sama dengan bintang idolanya. Bicara pengemar seorang idola ataupun sebuah band, ada sebuah kasus yang menarik dan tampak berbeda di Indonesia, yaitu mengenai para penggemar group abnd Slank yang biasa dikenal dengan sebutan Slanker. Komunitas ini menarik karena kefanatikannya dan jumlahnya yang sangat besar. Penelitian ini ingin mendapatkan gambaran bagaimana identitas diri para slanker tersebut. Penelitian bertipe kualitatif dan dilakukan terhadap 11 orang Slanker Pusat (Potlot, Jakarta) dan data diambil melalui metode Focus Group Interview. Analisis dilakukan secara deskriptif. Berdasar hasil dan analisa maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: Semua subyek mulai mengenal Slank dan kemudian bergabung dan aktif di Slanker sejak masih di bangku pendidikan menengah (SMP dan SMA) dan adalah atas ajakan teman. Semua subyek mengaku suka dengan Slank karena lirik lagu-lagunya, cara main musik dan pilihan musiknya, penampilan, gaya hidup, dan sikap Slank terhadap penggemar. Mereka mengakui sangat ingin menjadi seperti Slank dan menyerap seluruh nilai-nilai yang dianut dan diajarkan oleh Slank. Lebih dalam dari itu, mereka berjanji untuk tetap hingga tua. Penampilan yang membawa simbolsimbol Slank adalah sangat penting karena menunjukkan bahwa mereka adalah Slanker sejati. Selain itu, para subyek mengaku senang dan bangga menjadi anggota Slanker karena merasa menemukan kehangatan dan semangat kekeluargaan dalam komunitas Slanker. Kata kunci : Identitas diri, Slanker Idol against his idol star is considered a frenzy when he saw the teens are often acted out by the ratio of the idol star. From simple shapes like always watch the concert performances of music when his idol is a musician, then collecting knickknacks of all merchandise that is the idol star image. Until that is categorized pathologically self-identity is the identification of the idol is shown in the behavior, dress, and think that as far as possible the same as his idol star. Talk Pengemar an idol or a band, there is an interesting case and look different in Indonesia, namely the group abnd Slank fans commonly known as Slanker. This

community is interesting because kefanatikannya and a very large amount. This study wanted to get an idea of how the identity of the Slanker. Type of qualitative research conducted on 11 people Slanker Centre (pencil, Jakarta) and the data obtained through Focus Group Interview method. The analysis was done descriptively. Based on the analysis results and some conclusions can be drawn, namely: All subjects began to recognize Slank and then joined and was active in Slanker since I was in junior secondary education (high school) and is on the invitation of friends. All subjects claimed to like the lyrics of Slank because his songs, how to play music and choice of music, appearance, lifestyle, and attitude towards fans Slank. They are eager to be admitted as Slank and absorb all the values espoused and taught by Slank. Deeper than that, they promised to remain until old age. Appearance of the symbols that carry Slank is very important because it shows that they are true Slanker. In addition, the subject is happy and proud to be members because they feel Slanker find warmth and family spirit in the community Slanker. Keyword: Self Identity, Slanker Bagi remaja yang hidup di dunia hiperrealitas ini, yakni era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983), bintang televisi adalah idola baru. Suatu fenomena yang digelisahkan para agamawan karena icon-icon yang mereka agungkan: nabi-nabi dan para santo tidak lagi menjadi idola remaja, sebuah realitas yang dikhawatirkan pengusung moralitas dan etika karena simbol-simbol nilai konservatisme mereka : orang tua, guru, pemimpin masyarakat, pahlawan bangsa, tidak lagi menjadi rujukan para remaja dalam membentuk tingkah lakunya. Remaja telah memiliki idola baru yang idola ini biasanya adalah para artis, bintang film, ataupun selebritis, atau orang-orang yang sering tampil di media massa utamanya saat ini adalah televisi. Kegelisahan dan kekhawatiran yang boleh jadi bermotif kecemburuan dan persaingan perdagangan nilai, dimana icon dan nilai yang mereka tawarkan tak lagi laku, ataupun boleh jadi pula berakar dan melihat gejala pengidolaan yang ternyata mengarahkan pada histeria dan kegilaan remaja. Pengidolaan terhadap bintang idolanya ini dianggap sebagai kegilaan, dalam paradigma pengusung nilai lama, adalah ketika melihat remaja seringkali bertindak di luar rasio demi bintang idolanya tersebut. Dari bentuk yang sederhana seperti selalu menyaksikan film yang dibintangi idolanya atau konser pertunjukkan musik bila idolanya adalah musisi, selanjutnya mengoleksi kaset, VCD atau segala pernak-pernik merchandise dan poster yang ada gambar atau segala sesuatu terkait bintang idolanya tersebut, dan mengikuti perkembangan kehidupanya melalui berita-berita di media (Biran & Prastiwi, 2004). Bentuk yang lebih gila lagi semacam: rela membolos sekolah untuk dapat menyaksikan konser bintang idolanya, selanjutnya berebut dan histeris melihat idolanya, bersaing untuk dapat mencium idolanya yang kadang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan sudah pasti dalam kacamata konservatif ini melanggar nilai-nilai lama. Hingga yang dikategorikan patologis yaitu pengidentifikasian identitas diri terhadap idolanya yang ditunjukkan dalam perilaku, cara berpakaian, dan berfikir yang sedapat mungkin sama dengan bintang idolanya (www_theory_org_uk Resources Manic Street Preachers fans and identity.htm.). Sebagaimana pula disinyalir Giles (2002) merujuk hasil penelitiannya bahwa pemirsa televisi yang membentuk hubungan maupun interaksi yang sangat kuat terhadap perfomer akan ia tiru, bahkan tingkah laku yang buruk dalam film pun akan ia tiru. Pemirsa televisi menggunakan situasi dan tingkah laku performer dalam film maupun dunia nyata, untuk mengartikan dan memahami kehidupan dirinya sendiri.

Diungkap Kompas (2001, 20 Maret) KEGILAAN para remaja terhadap idolanya bukanlah hal baru. Bahkan, tidak jarang musibah menyertai kegilaan mereka terhadap idolannya bukanlah hal baru. Bahkan, tidak jarang musibah menyertai kegilaan mereka terhadap tokoh pujaannya, seperti terjadi saat konser Sheila on 7 di Bandar Lampung yang menewaskan empat orang remaja (2000, September) dan belasan lainya cedera akibat terinjak-injak. Begitu pula saat acara Meet & Greet a1 di mall taman anggrek, minggu (Maret, 2001) yang menewaskan empat orang. Idola lokal maupun dari luar negeri tidak ada bedanya. Sepertinya para remaja itu mau melakukan apa saja. Atau liputan kompas (6 September 2002) yang memberitakan kedatangan Vanes Wu, seorang bintang hongkong menggambarkan histeria para remaja terhadap bintangnya. Disisi lain pengidolaan seringkali diakitkan dengan perilaku remaja dalam memenuhi tugas perkembagannya untuk menemukan identitas diri (Bosma dkk, 1994). Seperti diungkap Raviv (dalam Biran & Praesti, 2004) fenomena idolisasi adalah karakteristik khusus remaja awal. Dengan mengidolakan seseorang biasanya terjadi modeling dalam perilaku sehari-hari. Sedang menurut sartono mukadis remaja biasanya mengidolakan selebritis tertentu agar tidak dianggap kurang pergaulan oleh teman-temannya. Perpaduan antara kelihaian media mengkapitalisasi idola sangat klop dengan kebutuhan remaja yang sedang mencari identitas diri. karena itu, tidak heran jika kemudian lahir penggemar-penggemar fanatik, kata Sartono (Kompas, 20 Maret 2000). Namun demikian, kekhususan kaitan idola dengan remaja ini tampaknya tidak selalu karena banyak pula orang dewasa yang masih mengidolakan seorang artis sebagaimana remaja. Sebagaimana ungkap Biran dan Praesti (2004) bahwa banyak orang dewasa melakukanya. Meskipun, lanjut mereka perilaku orang dewasa mengidolakan orang dewasa lainnya apalagi sampai mengumpulkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh idolanya tersebut, tampaknya bukan merupakan hal yang biasa. Bicara pengemar seorang idola ataupun sebuah band, ada sebuah kasus yang menarik dan tampak berbeda di Indonesia, yaitu mengenai para penggemar group abnd Slank yang biasa dikenal dengan sebutan Slanker. Komunitas ini menarik karena kefanatikannya dan jumlahnya yang sangat besar. Sejak didirikan pada desember 1983 (Slank history, 2001) hingga saat ini, tidak seperti pada group-group abnd lain, penggemarnya tidak berkurang malah terus bertambah dan bertambah seiring produktifitas mereka yang terus berjalan. Dari situs resmi Slank (Slank, 2002) dinyatakan bahwa anggota resmi yang tergabung dalam organisasi Slanker yang tersebar di 57 cabang di tanah air, mulai dari Bandung, Bogor, Surabaya, Semarang, Medan, bahkan kota-kota kecil seperti Cilacap, Klaten, Kerawang, Cirebon, Mojokerto, dan Purwakarta lebih dari 60 ribu anggota belum lagi ditambah dari luar negeri seperti jepang yang clubnya pun sudah terbentuk.jumlah ini juga belum termasuk para Slanker yang tidak tergabung dalam club tetapi kefanatikan mereka terhadap Slank tidak diragukan lagi yang jumlahnya diperkirakan tidak kalah ribuan. Setiap cabang biasanya memiliki kegiatan masing-masing. Ada yang membuat kaos, stiker, poster, bahkan tas kulit dengan gambar personel Slank. Mereka begitu fanatik. Kemana pun Slank pentas selalu diikuti karena mereka memiliki jadwal pentas yang biasanya oleh sesame Slankers antarkota saling diinformasikan. Mereka juga bisa mengetahuinya dengan membuka situs di internet. (Kompas, 2001, Maret). Kefanatikan ini bisa terlihat nyata bila melihat konser-konser Slank yang selalu dipadati ribuan penggmarnya, mereka rela berdesakan membeli karcis untuk dapat menyaksikan konser band idolanya tersebut, menunggu dan berjejalan di dalam stadion, yang bahkan

dalam kondisi hujan sekalipun. Seperti terbaca dalam potret liputan Kompas (2001, September) berikut : Para Slankers-begitu sebutan bagi penggemar Slank-bisa dipastikan akan selalu memadati stadion maupun gedung olahraga tempat dimana Slank manggung selama roadshow ke 24 kota di Indonesia, 22 september-31 Oktober 2001. Lihat saja apa yang terjadi di Stadion Wisnu Saputra, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu (22/9). Kuningan adalah kota pertama tempat rangkaian pertunjukkan Slank digelar. Hujan turun menjelang pertunjukkan berlasngsung pukul 16.00 sore. Meski hujan, para Slankers tetap bertahan di stadion menunggu munculnya personel Slank : Kaka (Vokalis), Bimbim (Drum), Ridho Hafiedz (gitar), Abdee Negara (gitar), dan Ivanka (bas). Empat ribu Slankers itu terbilang sedikit. Kemana yang lain? Rupanya Slankers yang lain berada di depan stadion. Mereka tak bisa masuk stadion. Mereka tak mampu membeli tiket seharaga Rp. 15.000. jumlah itu terlalu mahal untuk ukuran kantung remaja kuningan. Begitupun kemudian di pertunjukkan kedua di tasikmalaya juga dipadati para Slankers. Stadion tertutup dadaha dipenuhi sekitar 5.000 Slankers. Hujan lebat di luar sana tak mempengaruhi para Slankers. Mereka lebih memilih berbasah-basah untuk dapat bertemu Slank yang tengah menebar virus perdamaian lewat roadshow mereka tahun ini. Apa yang membuat para Slankers yang puluhan ribu jumlahnya di Indonesia ini tergila-gila pada Slank? Jawabanya barangkali karena gaya bermusik mereka yang slengean, lugas, spontan, bahkan lirik-lirik lagunya tidak mengindahkan kaidah bahasa, karena cenderung apa adanya. Mereka memotret keseharian mereka: cinta anak muda, kehidupan sosial, sindiran politik dan kesumpekan atas situasi kini. Merasa terwakili, Slankers pun memuja mereka. (Kompas, Minggu, 30 September 2001) lirik lagu mereka dianggap simbol dari pemberontakan generasi muda terhadap nilai-nilai kemapanan. Oleh karena itu, markas mereka di jl.potlot 14 sering disatroni para penggemar Slank atau akrab disebut Slankers (Slank History, 2001) Dalam pendekatan psikologi, fenomena Slanker yang sebagian besar diantaranya adalah remaja merupakan bagian dari apa yang diistikahkan Ericson sebagai krisis identitas. Remaja secara normatifdalam tahap perkembangannya mengahdapi tugas berat untuk mencapai sebuah identitas diri yang memuaskan bagi dirinya sekaligus masayarakat membebani pula tanggung jawab bahwa identitas tersebut harus dapat diterima masyarakat (Hall, Lindzey, & Campbell, 2002). Mengidolakan seseorang adalah bagian dari usaha mendapatkan model pembentukan identitas diri karenanya peran model disini adalah sangat penting. Dalam dinamika perkembangan menurut Ericson sendiri, identitas dianggap penting ketika individu memasuki masa remaja, namun demikian identias diri ini bukanlah suatu entitas yang menetap melainkan terus mencari bentuk hingga biasanya individu matang identitas dirinya begitu lepas dari masa dewasa awal. Selanjutnya jika seseorang gagal memebentuk identitas diri yang matang maka yang terjadia adalah kebingungan identitas atau identity diffusion. Dan pada kasus inin, penggemar Slanker tidak melulu remaja namun juga yang sudah tergolong dewasa jika diapakai kriteria psikologi perkembagan, yaitu generasi Slanker awal generasi 80-90an, yang ini sesuai pula dengan yang diungkap biran dan praesti (2004) diawal. Menjadi menarik ketika membenturkan fenomena yang ada dengan teori terbangun dan anggapan yanga da dalam masyarakat. Ada sebuah ide yang dipegang luas bahwa identitas diri didefinisikan sebagai suatu keunikan individual atau berbeda dengan individu lain, yang bila merujuk batasan ini maka tidakkah identitas diri para Slanker ini antara satu Slanker

dengan yang lain- bukan berbeda dengan individu lain. Lalu dengan menghilangkan tendensi untuk membuat penilaian benar salah, bagaimana sebenarnya identitas diri para Slanker dalam pandangan mereka sendiri, adakah mereka memang menjadikan Slank sebagai model acuan, jika iya sebagai jawabnya, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa memilih Slank serta sejauh mana profile Slank mempengaruhi proses prmbrntukan identas mereka. Dalam kerangka mendapatkan temuan yang sebenarnya tanpa pretensi untuk memulai dalam kacamata opsisi biner, pertanyaan-pertanyaan diatas menjadi masalah yang hendak berusaha ditemuakn jawabannya dalam penelitian ini, dengan inti permasalahan yaitu : identitas diri para Slanker. Berdasar fenomena awal yang ada maka focus penelitian ini adalah para Slanker tanpa membatasi hanya pada para Slanker remaja. Pilihan ini diambil untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan sekaligus menghindari keterjebakan pada kerangka paradigma identitas diri sebagai tugas perkembangan remaja semata. Dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang hendak ditemukan jawabanya. Adapun masalaah-maslaah tersebut adalah: (1) Bagaimana gambaran identitas diri para Slanker? (2) Mengapa memilih Slank sebgai model pembentukan identitas diri mereka? (3) Sejauh mana profile Slank mempengaruhi pembentukan identitas diri mereka? Identitas diri Sebagai sebuah konstruk, identitas diri sangatlah rumit. Tidak ada sebuah consensus tunggal mengenai apa dan bagaimana identitas diri. Setiap teoritisi dengan paradigmanya masingmasing memberikan pandangan yang berbeda satu sama lain. Namun demikian, diakui konstruk ini dibangun secara eksplisit oleh Erik H Erikson (Bosma dkk, 1994). Sebagai seorang neo psikoanalis, Erikson melihat perkembangan manusia dalam tahapan-tahapan yang berbeda dengan Freud, Erikson lebih menekankan pada aspek perkembangan psikososial ego ketimbang perkembangan seksual. Dalam delapan tahap perkembangan manusia, pada tahap kelima yang dikenal sebagai masa remaja, terjadi crisis of identity versus identity diffusion (Hall & Lindzey, 2002). Lebih lanjut Erikson (dalam Bosma dkk, 1994) memberi definisi identitas diri secara umum sebagai keberlanjutan menjadi seseorang yang tunggal dan pribadi yang sama, yang dikenali oleh orang lain. Ia menambahkan secara jelas aspek social, identitas diri sebagai kesadaran seseorang akan bagaimana ia dikenali. Pada masa remaja akhir, dalam tahap perkembangan menurut Erikson, remaja menjawab pertanyaan siapa diriku dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat. Pada masa inilah mulai berkembang identitas sosial, yaitu status dan peran yang diberikan orang lain kepada indiividu di tengah masyarakat. Sedangkan identitas pribadi, yaitu peleburan berbagai peran diri, yang merupakan identifikasi masa lampau, masa kini, dan watak pribadi. Identitas sosial dan identitas pribadi dilebur dan diintegrasikan menajdi suatu konstruksi global yang disebut identitas ego (Erikson, 1968). Lebih lanjut, menjadi seseorang atau memiliki identitas diri berarti mengalami diri sebagai aku selaku yang sentral, mandiri dan unik, dan memiliki kesadaran akan kesatuan batiniahnya sendiri. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan melihat diri mereka sebagai individu yang terpisah dari berbagai individu lain. Namun demikian terlebih penting. Adanya rasa integritas dan kesatuan diri. Identitas diri disini bukan saja merupakan suatu keunikan pada diri individu melainkan keyakinan yang relative menetap akan diri individu tersebut dalam hal kesatuan pribadi dan peran sosial baik di masa lalu maupun masa kini sekalipun terjadi berbagai perubahan dalam hidupnya.

Dalam perspektif lain yaitu piskologi kepribadian, identitas diri merupakan suatu konsep yang berakar dan ide kepribadian. Yaitu ide mengenai keunikan individu dalam dimensi kepribadian yang membedakan individu dengan individu lain sedangkan dari sudut pandang psikologi sosial identitas diri merupakan ide mengenai image yang dimiliki seseorang (Bosma dkk, 1994) Dalam kajian kontemporer identitas diri lebih dilihat sebagai proses menjadi seseorang yang spesifik : secara individual atau kepribadian. Sebuah proses yang dikonstruksi terus menerus sepanjang periode kehidupan dan secara konstan diperbaharui bahkan dapat berubah secara keseluruhan (Hamley, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri Selain dipengaruhi oleh perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial dan moral yang pesat. Identitas diri juga dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain : 1) Perkembangan para remaja Menurut Erikson (1959). Proses identitas diri sudah berlangsung sejak anak mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri (autonomy), rasa mampu berinisiatif (initiative), dan rasa mampu menghasilkan sesuatu (industry). Keempat komponen ini memberikan kontribusi kepada pembentukan identitas diri; 2) Pengaruh keluarga. Keluarga yang mempunyai pola asuh yang berbeda akan mempengaruhi proses pembentukan identitas diri remaja secara berbeda pula. Contohnya, keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter yang mana orang tua mengontrol setiap perilaku anaknya tanpa memberikan mereka kesempatan untuk mengekspresikan opini dan perasaannya akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada bentuk foreclosure. Sebaliknya orang tua yang permissive, hanya menyediakan sedikit pengarahan kepada anaknya, akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada bentuk diffuse (Santrock,1998). Selain itu, menurut Stuart, dkk (1984, 1990), orang tua yang mengembangkan sikap enabling (menerangkan, menerima, empati) akan lebih membantu remaja dalam proses pembentukan identitas dirinya dibandingkan orang tua yang mengembangkan sikap constraining(selalu menilai dan dievaluasi); dan 3) Pengaruh individuasi dan connectedness. Cooper, dkk (1990) menyatakan bahwa atmosfir hubungan keluarga akan membantu pembentukan identitas diri remaja dengan cara merangsang individualitas dan ketertarikan satu sama lain (connectedness). Individualitas menyangkut kemampuan individu dalam mengemukakan pendapatnya, perasaan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain atau anggota keluarga yang lain. Sedangkan connectedness berkaitan dengan kebersamaan, sensitivitas, keterbukaan terhadap kritik dan aspek terhadap pendapat orang lain. Jadi keluarga yang dapat memberikan kesempatan remaja untuk mengemukakan pendapatnya dan memberikan tempat aman bagi mereka untuk mengeksplorasi lingkungan sosial yang lebih luas. Walaupun demikian, kedua komponen tersebut tidak selalu tinggi. Bila factor individuasi lemah sedangkan faktor connectedness tinggi, maka individu akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada bentuk foreclosure. Sebaliknya, jika kedua faktor tersebut lemah, maka individu akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada bentuk diffuse (Archer & waterman, dalam Yunita, 2002). Selain faktor-faktor di atas, masih ada beberapa factor yang turut mempengaruhi pembentukan identitas diri, antara lain: banyaknya model atau contoh, adanya permasalahan pribadi, toleransi lingkungan terhadap apa yang mereka lakukan serta umpan balik yang realistis mengenai diri mereka dari lingkungan tempat mereka berada. Perkembangan Identitas diri

Perkemabangan identitas diri ini merupakan proses yang bertahap yang dimulai sejak kanakkanak yaitu sejak mulai berkembangya ego, sebuah sistem otonomi yang berhubungan dengan realitas melalui persepsi, pikiran, perhatian, dan memori. Proses umumnya dimulai dari identifikasi anak terhadap orang tua dan orang lebih dewasa di sekitarnya yang berlangsung terus menerus membentuk apa yang disebut identitas pribadi. Proses ini terus berlanjut hingga masa remaja dimana individu mulai mengembangkan identitas sosial yang harus ia lebur dan integrasikan dengan identitas pribadinya. Proses ini jarang disadari dan berubah terus jika lingkungan individu semakin luas dan semakin berdiferensiasi sesuai dengan bertambahnya umur. Masa remaja ini, yang ditandai dengan perubahan psikologis, fisiologis, seksual, dan kognitif, serta adanya berbagai tuntutan dari masyarakatdan perubahan yang menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang mandiri menjadikan masa ini sangat kritis. Sebuah tahap yang akan menentukan tahap berikutnya, karenanya Erikson (1968) menyatakan sebagai masa paling kritis dalam delapan tahap perkembangan manusia. Jika pada tahap awal individu menjadikanoran tua sebagai moel bagi pembentukan diri mereka, sebaliknya pada masa remaja, individu berusaha memutus hubungan bahkan meolak peran orang tua. Hal ini dilakukan sebagai simbol pemisahan diri mereka dari masa kanakkanak yang masih tergantung orang tua dan mencoba membentuk identitas diri mereka sendiri. Namun dalam kegamangan perkembangan dimana secara fisik, kognitif, emosi dan kemampuan sosial belum matang sepenuhnya , mereka tetap membutuhkan adanya model. Pada usia remaja ini, individu dapat dikatakan lapar akan model yang mampu memenuhi dan menggambarkan diri dan harapan mereka, yang salah satunya adalah harapan lepas dari baying orang tua (Ellis, 2002). Jika model yang diambil tepat dan orang tua mampu member dukungan positif maka remaja akan melalui tugasnya dengan baik, dan sebaliknya jika dukungan yang di dapat negatif atau remaja mendapat model yang buruk maka identitas diri yang negatiflah yang akan terbangun. Disinilah apa yang disebut Erikson sebagai masa krisis identitas pada remaja, krisis dimana kematangan identitas diri pada ujung positifnya dan kebingungan identitas pada ujung negatifnya sedangkan identitas diri yang dibentuk akan menentukan kebehasilan individu tersebut di masa selanjutnya. Kegagalan remaja dalam membentuk identitas diri akan menghasilkan kebingungan identitas. Individu akan kebingungan menentukan peran, merasa tidak memiliki tujuan, dan tidak bahagia. Mereka merasa tidak adekuat baik dengan diri mereka sendiri ataupun dengan lingkungan sosial. Untuk mengatasinya kadang mereka membentuk identitas diri yang negatif, suatu identitas yang dapat menghantarkan pada perilaku-perilaku negatif pula. Sebaliknya jika proses ini telah matang pada masa akhir remaja, individu akan siap memasuki masa dewasa. Ia akan melangkah dengan tegap menuju arah yang telah ia tentukan, adekuat dan bahagia dengan dirinya sendiri serta perannya dalam sosial (dikutip bebas dari Erikson,1968). Mampu menyelaraskan cita-cita pribadi dengan peran sosial normatif (Bosma dkk, 1994). Slankers Slankers adalah sebutan bagi para penggemar Slank, sebuah group musik rock di Indonesia yang mengusung aliran Rockn Roll dan Blues. Sebagian dari Slanker ini selanjutnya mendirikan kelompok-kelompok yang saat ini telah tersebar di 68 kota di seluruh Indonesia mulai dari Bandung, Bogor, Surabaya, Semarang, Medan bahkan kota-kota kecil seperti Cilacap, Klaten, Karawang, Cirebon, Mojokerto, dan Purwakarta dengan jumlah anggota tercatat lebih dari 50 ribu orang. Selain cabang di Indonesia telah berdiri pula caban Slanker

di luar negeri yaitu Tokyo, Jepang dan New York, Amerika Serikat yang anggota-anggotanya adalah para Slanker Indonesia yang bermukim di dua negara tersebut. Diluar anggota yang tercatat diyakini jumlah yang tidak tercatat jauh lebih besar karena sebagian penggemar Slank adalah remaja-remaja dari menengah bawah dan jalanan yang tidak berfikir untuk bergabung dalam sebuah kelompok penggemar. Namun demikian ada satu kesamaan dari para Slanker ini yaitu kegilaan mereka terhadap Slank. Para Slanker ini begitu menggilai Slank karena gaya bermusik mereka yang slengean, lugas, spontan, bahkan lirik-lirik lagunya tidak mengindahkan kaidah bahasa, karena cenderung apa adanya. Mereka memotret keseharian mereka : cinta anak muda, kehidupan sosial, sindiran politik dan kesumpekan atas situasi kini. Merasa terwakili, Slankers pun memuja mereka. (Kompas, 2001, September). Lirik lagu mereka dianggap symbol dari pemberontakan generasi muda terhadap nilai-nilai kemapanan. Bukti kegilaan ini tampak dari kefanatikan Slanker untuk selalu mendatangi konser-konser yang mempertunjukkan Slank sekalipun lokasi pertunjukkannya kadang jauh dari rumah mereka. Mereka rela berjejal-jejal dan tak jarang pula kehujanan ketika menyaksikan Slank menembangkan lagu-lagunya, mereka bergoyang di depan panggung sambil beberapa di antaranya melambai-lambaikan bendera Slank dalam ukuran besar. Umumnya mereka dating ke stadion dengan mengenakan atribut berbau Slank. Entah t-shirt bergambar Slank, ataupun tas, topi dan segala pernak-pernik bergambar Slank. Kemanapun Slank pentas selalu diikuti karena mereka memiliki jadwal pentas yang biasanya akan saling diinformasikan oleh sesame Slankers antar kota. Mereka juga bisa mengetahuinya dengan membuka situs di internet (Kompas, Selasa, 20 Maret 2001). Slank memiliki situs resmi yang dibuat oleh pihak manajemen mereka, biasanya situs ini berisi kegiatan-kegiatan Slank. Selain itu, kita juga dapat menemukan beberapa situs lain yang dikelola cabang-cabang Slanker Club sendiri. Setiap cabang juga biasanya memiliki kegiatan masing-masing. Ada yang membuat kaus, stiker, poster bahkan tas kulit dengan gambar personel Slank. Selain mendatangi konser-konser Slank, para Slanker juga sering datang ke gang Potlot III, Jakarta Selatan yang merupakan markas Slank. Setiap hari tidak kurang dari 30 penggemar Slank yang berasal dari berbagai penjuru di tanah air sengaja datang ke Warung Slank. Tempat tinggal dan tempaat latihan personel grup yang didirikan tahun 1983 tersebut. Tujuannya bermacam-macam, ada yang sekedar ingin bertemu, berfoto bersama, memberikan kado ulang tahun, bahkan aada yang sengaja ingin memeluk dan mencium personel Slank. Tidak lupa setelah bertemu, mereka memberi kenang-kenangan dengan cara membuat tulisan di tembok, pintu, jendela atau tempat manapun yang masih bisa digunakan untuk membuat coretan graffiti dan coretan menggambarkan hysteria akan Slank. Tidak ada sedikitpun ruang yang masih bersih. Mulai dari tembok, pintu , kaca, jendela hingga kotak surat, semuanya penuh dengan tulisan dari spidol dan cat semprot. Isi tulisannya bermacammacam, mulai dari nama penulisnya, nama geng hingga ungkapan rasa cinta. Para Slanker ini biasanya sangat mudah dikenali dari gaya penampilan mereka mulai gaya rambut hingga gaya pakaian. Gaya mereka ini bisa dikatakan Meniru gaya penampilan dari para personil Slank dengan cirri khasnya slengean sebagai simbol anti kemapanan. Menurut pengakuan beberapa Slanker dari wawancara awal yang dilakukan peneliti, dari lima personil Slank, gaya Kaka sang vokalis dan Bimbim drummer sekaligus leader band ini yang paling menginspirasi mereka . Sebagai penggemar sebuah band yang mengusung jenis musik beraliran rock n roll, blues dan punk, maka simbol-simbol aliran musik ini pula yang menjadi khas penampilan Slanker.

Mulai dari simbol-simbol aliran musik ini pula yang menjadi khas penampilan Slanker. Mulai dari rambut yang gondrong, atau model panjang atas dan dibikin berdiri namun samping tipis, atau rasta ala Bob Marley. Selanjutnya ke bawah adalah kostum wajib yaitu kaos, jaket dan celana jeans belel dan sobek-sobek sebagai symbol perlawanan terhadap kemapanan yang berhem rapi. Kaos-kaos ini biasanya bergambar Slank, Rolling Stones atau Che Quevara. kostum ini biasanya ditambah dengan aksesoris-aksesori khas metal seperti sabuk kulit dengan pernik paku, gelang tangan, dan rantai yang mengelantung mengikat dompet. Beberapa diantara Slanker, tampaknya dapat dikatakan banyak, juga memakai piercing atau tindik di beberapa bagian tubuh seperti telinga, hidung, ataupun alis mata serta tatto. Setiap cabang Slanker dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih bersama secara musyawarah. Di dalam kelompok, juga ada struktur khusus yang disebut dengan bidadari penyelamat. Sebutan bidadari penyelamat diberikan kepada Slanker yang aktif mengikuti aktifitas organisasi dan bisa mengajak 50 orang lain untuk menjadi anggota Slanker yang ditunjukkan dengan kartu anggota (KTA), dan selanjutnya bertanggung jawab terhadap Slanker-Slanker tersebut. Bidadari penyelamat juga sering dilibatkan dalam konser-konser atau acara Slank seperti jumpa fans, launching album atau kegiatan lain, mereka bertugas menagawal personil Slank sekaligus mengamankan jalannya acara. Mereka diangkat secara resmi dengan prosesi ritual tertentu di markas Slanker. Di dalam komunitas Slanker, mereka juga mengenal beberapa istilah seperti Slankiss, yang diberikan kepada para Slanker wanita, dan juga mawar merah yaitu para wanita yang menurut para Slanker berprestasi, bisa dari Slankiss ataupun luar kanggotaan Slanker, atau kampungan untuk penonton konser Slank yang suka berkelahi. Istilah-istilah tersebut diambil dari judul lagu-lagu atau album Slank. METODE PENELITIAN Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah para anggota Slanker pusat Jakarta. Pengambilan subyek anggota Slanker pusat ini adalah untuk memastikan bahwa subyek penelitian adalah benarbenar subyek termaksud sesuai tujuan penelittian, yaitu untuk mendapatkan gambaran identitas diri para Slanker. penelitian ini mengambil 11 subyek yang terbagi dalam dua FGI. Total subyek dalam penelitian ini berjumlah 11 orang yang terbagi ke dalam 2 kelompok Focus Group Interview (FGI). Kelompok pertama diikuti 6 subyek dimana 5 orang. Usia mereka terentang antara 20 hingga 27 tahun. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari lima orang Slankers dengan rentang usia yang lebih muda yaitu 14 hingga 20 tahun. Teknik pengambilan subyek penelitian dalam penelitian ini adalah non-probability sampling atau non-random sampling, dimana tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan untuk menjadi responden penelitian (Kerlinger, 2000). Pemilihan subyek dilakuikan oleh pengurus Slanker melalui teknik Incidental sampling, yaitu para anggota yang saat itu kebetulan berada di markas Slanker di gang Potlot dan bersedia terlibat dalam proses penelitian. Metode pengumpulan data Data yang diambil adalah data deskriptif yang menangkap fenomena identitas diri Slanker. Untuk itu metode perolehan data yang digunakan oleh peneliti adalah melalui diskusi kelompok terarah atau yang disebut Focus Group Interview (FGI) dan observasi. Alat

pengumpul data yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah peneliti, pedoman Focus Group Interview, perekam, kertas, dan alat untuk mencatat. Prosedur penelitian Penelitian dilakukan oleh peneliti dengan terjun langsung pada subyek. Pelaksanaan FGI ini dilakukan di dalam lokasi lingkungan club Slanker, tepatnya di sebuah ruangan depan musholla kantor manajemen Slank yang juga tidak jauh dengan kantor sekretariat Slanker pusat, yang berada di gg. Potlot III Kalibata, Jakarta Selatan tempat ini sangat asri dan cukup tenang, didepannya ada taman bunga yang menyegarkan suasana lokasi FGI yang eksotik dengan aksesoris Bali. Untuk mendapatkan data yang luas dan dalam FGI dilakukan terhadap dua kelompok. kelompok pertama melakukan FGI pada 17 desember 2007, pukul 13.0015.15 WIB dengan 6 orang peserta yang rata-rata berusia 20-27 tahun. Sehubungan dengan peserta FGI pertama yang rata-rata sudah dewasa, untuk FGI kelompok kedua team peneliti meminta bantuan bang Andre dicarikan Slanker yang lebih muda atau masih remaja. Ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yaitu gambaran yang luas dari identitas diri para Slanker. Sedangkan FGI pada kelompok kedua sendiri dilaksanakan pada 18 Desember 2007, pukul 15.00-16.45 dengan jumlah peserta 5 orang yang usianya terentang antara 14 tahun hingga paling tua 20 tahun. Proses FGI, berkat bantuan manajemen Slank dan pengurus Slanker, dapat berjalan lancar. Pada FGI pertama, karena dialngsungkan pada saat jam makan siang dan sehabis malakukan sholat jumat, maka sebelum FGI para peserta beserta team peneliti terlebih dahulu makan nasi yang telah disiapkan. Ini ternyata sangat mencairkan suasana yang awalnya agak kaku. Selanjutnya, FGI berlangsung hangat dengan kadang terjadi perbedaan pendapat antar peserta serta sering diselingi gurauan atau saling bergurau mengejek antar peserta, selama proses FGI berlangsung, semua peserta merokok. Sedikit berbeda dengan FGI yang pertama, FGI kedua tidak diawali makan siang terlebih dahulu karena ketika dilangsungkan sudah jam 15.00 FGI kedua ini agak kurang hangat dibanding FGI pertama. Hal ini mungkin disebabkan peserta rata-rata belum saling mengenal dan masih remaja sehingga baru bicara ketika ditanya, namun demkian kekakuan terus mencair dan makin lama diskusi semakin hangat pula. Berbeda juga dengan FGI pertama, peserta FGI kedua ini tidak ada yang merokok walau salah seorang diantaranya juga mengaku perokok. Selain itu, saat FGI kedua tengah berlangsung ada sedikit gangguan kecil yaitu keponakan dari Bimbim (leader Slank) yang berlari-larian disekitar lokasi FGI dan juga bunyi tukang yang sedang merenovasi rumah Bimbim. Proses FGI dilakukan dengan dipimpin moderator yang saling bergantian dibantu dengan dua observer dan satu notulen yang siap di depan laptop mencatat semua yang terjadi dalam proses FGI. Untuk pengarsipan data, peneliti dibantu dengan dua tape recorder sebagai perekam setelah mendapatkan persetujuan dari subyek. Analisis Data Dua strategi umum yang digunakan dalam menganalisa studi kasus adalah : 1) mendasar pada proposisi teoritis; dan 2) membangun deskripsi kasus (Yin, 1994). Pada penelitian ini digunakan strategi analisa dengan mendasarkan pada proposisi teoritis. Dalam strategi ini, sejak awal tujuan dan desain studi kasus dibuat dengan sujumlah proposisi yang tercermin dalam pertanyaan penelitian, tinjauan literatur, dan penemuan hal-hal baru. Proposisi teoritis yang dijadikan dasar kemudian membentuk perencanaan pengumpulan data dan membantu peneliti untuk memusatkan diri pada data tertentu. Dengan cara ini, proposisi teoritis tentang hubungan timbal balik dapat menjawab pertanyaan apa dan bagaimana.

Selanjutnya ada dua macam proses analitis yang biasa dilakukan dalam menganalisa hasil penelitian, yaitu: dilakukan secara intra kasus dan antar kasus. Pada penelitian ini, untuk mengetahui bagaimana gambaran identitas diri para Slanker, peneliti hanya menggunakan metode analisa intra kasus karena penelitian sendiri dilakukan pada komunitas dan dilangsungkan melalui FGI yang tidak memungkinkan didapatkannya data individual yang dalam hingga yang bisa dianggap sebagai kasus yang dapat saling dibandingkan. Selanjutnya analisa intra kasus yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan interpretatif. Pada orientasi interpretatif peneliti melihat perilaku manusia sebagai sekumpulan simbol yang mengekspresikan lapisan makna. Data yang berasal dari obesrevasi dan FGI kemudian dialihkan menjadi teks tertulis untuk dianalisa (Berg, 2001). Miles dan Huberman (1994) menyatakan bahwa proses analisis intra kasus dilakukan untuk mengetahui apa (what) apa yang terjadi pada setiap kasus, dan bagaimana (how) hal tersebut terjadi, mengapa (why) hal tersebut terjadi, penjelasan logis (logical explanation) untuk memahami fenomena yang diteliti tersebut. Walaupun desain penelitian adalah multiple case study, analisa intra kasus dilakukan seolah-olah setiap kasus adalah kasus tersendiri dan diperlakukan sebagai single case study. Gambaran yang diperoleh dari masing-masing masalah yang diteliti. HASIL PENELITIAN Analisa 1. Analisa FGI I Dari hasil FGI dan observasi diatas, tergambar bagaimana para Slanker melihat diri mereka, membentuk perilaku dan peran mereka, membangun identitas diri mereka. Mereka melihat diri mereka sebagai orang yang slengean, cuek, polos, apa adanya, lebih mementingkan hati ketimbang penampilan. Mereka juga sangat menjunjung tinggi arti kebangsaan, tidak mau dikekang, namun demikian mereka tetap merasa penting arti tanggung jawab dan punya prinsip seperti membuktikan diri bahwa mereka tidaklah jahat walau penampilan slengean, jujur tetap menghormati orang tua, melindungi wanita, dan harus jadi generasi mandiri. Selain itu ada prinsip yang sangat mereka junjung tinggi yaitu peace dan anti drugs. Mereka suka berteman dengan siapapun tanpa membeda-bedakan dan berusaha berdiri diatas semu golongan. Selain itu mereka sangat mengagumi Slank, suka memakai aksesoris yang ada gambar atau simbol Slank, dan suka nongkrong sambil bernyanyi, merokok, dan saling curhat di gang potlot. Identitas diri yang mereka bangun merupakan kombinasi dari karakteristik masa pertumbuhan mereka, sebagai remaja dan dewasa awal yang berusaha untuk mendapatkan pengakuan sebagai individu dari lingkungan sosial, khususnya keluarga, dengan identifikasi terhadap model yang mereka pilih sebagai acuan mereka. Sebagai individu-individu yang berada dalam tahap meninggalkan masa remaja dan berada dalam masa dewasa awal, kebutuhan akan pengakuan sosial khususnya orang tua dan keluarga bahwa mereka adalah individu yang bebas, tidak perlu diatur atau diarahkan lagi, sangatlah besar. Mungkin gue gak mau dikekang, gak mau diatur. Itu gue terjemahan dalam kehidupan sehari-hari. Yang orang tua bilangan, jangan begini-begini..bodo amat. Yang penting masih tau kesopanan. Masih menghormati orang tua gitu. Intinya gak mau diatur-atur. Gak mau dikekang, kata Mario. Mereka menolak untuk diatur-atur, dikekang, dan menginginkan kebebasan sebagai bagian dari usaha mereka menemukan diri mereka sebenarnya. Ini sesuai dengan pengakuan mereka yang mulai kenal Slank dan aktif di Slanker rata-rata sejak masih SMA dan beberapa bahkan sudah sejak masa duduk di bangku SMP. Dalam

beberapa kasus seperti yang dialami Andre dan Arya yang mulai gabung dengan Slanker setelah berusia lebih dari 20 tahun menunjukkan bahwa pencarian diri tidak berhenti ketika individu meninggalkan masa remaja, melainkan terus berlanjut hingga memasuki dewasa awal. Bahkan dalam kajian psikologi kontemporer (postmodern), proses pencarian indentitas diri adalah sebuah proyek besar yang berlangsung seumur hidup. Tampak menarik adalah apa yang dikatakan Ander seusai forum FGI ketika ngobrol-ngobrol mengenai arti idola. Ander menceritakan bahwa setiap orang pasti punya idola, dan jika sebagian team peneliti lebih mengidolakan orang tua, maka sebagian besar para Slanker merasa kurang menemukan hal yang positif dari orang tua atau keluarga mereka, dan hal inilah yang menjadikan mereka lari keluar rumah mencari idola baru yang selanjutnya ketemu Slank. Lanjutnya, pencarian model ini mereka lakukan bersama dengan teman-teman sebayanya, seperti yang diceritakan para Slanker bahwa mereka mulai mengenal Slank dan Slanker kemudian bergabung dan aktif adalah berkat ajakan teman atau datang kesitu bersama teman. Sebagaimana cerita Mario : kalo saya ya dari SMP udah suka sebenarnya, tapi belum tau Slank itu apa. Saya suka lagu grunk gitu, terus ada temen bilang, apa sih grunk-grunk gitu, mendingan Slank. Saya coba telusurin, Slank itu apa sih, terus saya coba main kesini, ke potlot, diajak sama temen, tempatnya asyik juga tuh. Tempatnya adem. Terus, mulai STM saya mulai giat di potlot. Ya yang dibilang bang Hendra gitu, banyak temen kan akhirnya kenalan. Remaja juga mengambil materi dalam proses pembentukan identitas dari musik yang didengarkan dan terutama ketika mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh pada lirik dari lagunya. Seorang remaja dapt menemukan hubungan yang erat antara lirik lagu dengan apa yang sedang mereka rasakan dan hal ini dapat membuat mereka merasa lebih aman dengan diri mereka sendiri sehingga tidak dapat mengikuti area spesifik dari kepribadian mereka. Lirik dari suatu lagu seringkali menggambarkan apa yang sedang dirasakan saat ini dan hal ini ikut mengambil bagian dalam proses pembentukan identitas. Hal yang sama ternyata terjadi dalam diri para Slanker. Kebanyakan dari mereka dan menyukai Slank karena lirik lagunya yang mereka anggap memberi jawaban atas masalahmasalah yang mereka alami dan jawaban itu disampaikan lewat lirik dalam gaya bahasa keseharian sehingga cocok dengan jiwa muda mereka. Seperti cerita Andre : he..eh.. ya itu dia liriknya dia yang menjawab semua permasalahan di kaum mudadimasyarakat, tapi tapi khususnya dan itu juga yang aku alami gitu yadan eeeaku gak pernah dapet jawaban dari apa yang saya jalani selama ini terus lagi Slank ada dan itu menjawab. Selain karena lirik-lirik Slank mewakili realitas mereka sebagai orang muda, mereka juga menyukai Slank karena lirik-lirik lagu Slank yang mereka nilai memberi nilai moral dan ajaran sosial dalam gaya yang lebih bisa mereka terima ketimbang jika hal yang sama diberikan oleh orang tua atau guru mereka. Seperti ungkap Ander dan Mario yang kembali dikutip : liriknyaada pesan moral. Apa yabanyak aja. Album virus itu mengandung p esan moral. Bukan Cuma buat saya pribadi aja tapi buat semua orang.

Slank mengajak kerja keras, bukan jadi generasi yang hidup tanpa usaha, kan banyak nih, pengamen-pengamen yang suka minta duit tapi ngak nyanyi, itu yang gue gak setuju. Orang sehat kok minta-mita, gak usaha. Itu yang disuruh Slank. Selain menyukai Slank karena lirik dan lagu-lagunya, para Slanker juga mengaku menyukai gaya dan penampilan para personil Slank yang menurut mereka sangat slengean, apa adanya, bebas tidak mau dikekang namun punyai prinsip dan tanggung jawab dan mereka menganggap Slank sudah membuktikannya dengan keberhasilan menjadi band berpengaruh di Indonesia. Dan pada titik akhirnya, mereka sangat oingin menjadi seperti Slank yang mereka mulai dengan menerima dna meniru semua idealisme Slank yang direfleksikan melalui lagu-lagu dan perilaku sehari-hari personelnya, : mungkin kalo ditanya satu-satu, semua Slankers pengen jadi Slank. Hahaha jawab semua ketika ditanya apakah mereka ingin jadi seperti Slank. Yang kemudian Hendra menambahkan :Ya kesatu, ya bikin bandnya, penampilannya, deketnya dia sama masyarakat, ya kandia gak milik baik golongan atas ataupun golongan bawah. Iya kan..pokoknya asyik aja, iya kanpribadi saya mah pengen banget jadi seperti Slank, jadi seperti mereka. Dan nilai-nilai yang mereka serap dari Slank ini mereka terjemahkan dalam hidup mereka menjadi warna mereka, menjadi identitas diri mereka, seperti yang diungkap Mario : . Mungkin gue gak mau dikekang, gak mau diatur. Itu gue terjemahan dalam kehidupan sehari-hari. Yang orang tua bilangan, jangan begini-begini,..bodo amat. Yang penting masih tau kesopanan. Masih menghormati orang tua gitu. Intinya gak mau diatur-atur. Gak mau dikekang. Selain itu, untuk menunjukkan identitas dirinya sebagai Slanker, mereka juga menampilkannya melalui simbol-simbol yang mencerminkan jiwa yang mereka serap dan kekaguman mereka kepada Slank. Simbol-simbol kaos oblong yang kebanyakan bergambar atau bertuliskan Slank, jeans belel, kalung berbandul Slank, dan beberapa diantaranya memakai pernik-pernik berbau Slank semacam Seakan selalu lapar akan sentuhan sentuhan Slank, para Slanker ini tidak segan-segan mengeluarkan uang yang tentu cukup banyak untuk membeli dan mengoleksi album-album Slank dan menonton semua konsernya. Dalam kasus Slanker, untuk mendanai kebutuhan ini mereka berusaha mandiri, yang menurut mereka adalah ajaran Slank, dengan berbisnis diantara sesame mereka. nah itu dia, Slank sebetulnya menjawab itu juga. Mmmdunia bisnis sebenarnya ada juga dikita, antar Slankers. Jadi, dating kesini, ambil baju, terus dijual ke Slankers yang di daerah. Kan dapet penghasilan juga tuh. Dia ngambil keuntungan sendiri. Sebagai seorang Slanker, walau sering mendapat cemoohan atau dicurigai karena penampilan mereka yang slengean, mereka mengaku bangga. Kebanggaan menjadi keluarga besar Slank itulah yang utama dan sebagian besar Slanker rasakan. Bahkan mereka mengaku akan tetap menjadi Slanker walau misalkan Slank bubar atau mereka sudah tua dan berkeluarga yang terwakili dari gambaran Anto berikut :..tetep jadi Slanker. Pengen nerusin keanakanak..jujur, polos, apa adanya. Ini adalah hal yang sama pula yang ditemukan Skirvin alam penelitiannya terhadap penggemar manics ketika kapan Mereka berhenti menjadi penggemar manics, ini adalah seperti pertanyaan kapan kamu memilih untuk berhenti bernapas. Sebagai akhir, terlihat bagaimana para Slanker begitu memuja Slank dan menjadikan Slank sebagai figur atau model mereka mengenal diri dan hidup mereka. 2. Analisa FGI II Dari hasil FGI dan observasi diatas, tergambar bagaimana para Slanker melihat diri, membentuk perilaku dan peran, serta membangun identitas diri mereka. Mereka melihat diri

mereka sebagai orang yang slengean, cuek, polos, apa adanya. Mereka juga sangat menjunjung tinggi arti kebebasan, tidak mau dikekang, namun demikian mereka tetap merasa penting arti tanggung jawab dan punya prinsip seperti membuktikan diri bahwa walau penampilan slengean, mereka tetap menghormati orang tua, menghormati wanita, menjaga persaudaraan dan cinta damai. Mereka suka berteman dengan siapapun tanpa membedabedakan yang diperkuat oleh semangat persaudaraan yang mereka resapi. Selain itu mereka sangat mengagumi Slank, suka memakai aksesoris yang ada gambar atau simbol Slank, dan sering berkumpul bersama komunitas Slanker di gang Potlot. Jika pada tahap awal individu menjadikan orang tua sebagai model bagi pembentukan diri mereka, sebaliknya pada masa remaja, individu berusaha memutus hubungan bahkan menolak peran orang tua. Hal ini dilakukan sebagai simbol pemisahan diri mereka dari masa kanak-kanak yang masih tergantung orang tua dan mecoba memebentuk identitas diri mereka sendiri. Model ini mereka temukan pada sosok Slank, dimana Slank merupakan simbol dari kebebasan namun juga memiliki potensi yang dapat menggambarkan diri dan harapan mereka. Seperti yang diungkapkan oleh kurdi bahwa ia mengagumi cara bermain musik Slank, kehidupan keseharian Slank dan gaya Slank yang menurutnya keren. Walaupun Slank adalah kelompok musik terkenal namun, mereka tatap menunjukkan kesederhanaan dan tetap tampil apa adanya. Sosok sederhana ini membuat Slank terasa lebih nyata dan dekat dengan kehidupan para Slanker. Pencarian model ini biasanya mereka lakukan bersama dengan teman-teman sebayanya, seperti yang diceritakan para Slanker bahwa mereka mulai mengenal Slank dan Slanker kemudian bergabung dan aktif adalah berkat ajakan teman atau datang kesitu bersama teman. Seperti yang terjadi pada Jawir dan Entik, awal mula mereka mengenal Slank berkat ajakan kakak mereka ke gang Potlot. Seperti yang diungkapkan oleh Gunawan : ..pertama kali kesini sejak album virus.. temen ada yang BP buka warung di bekasi.. trus diajak barenbareng.., dan diperkuat oleh Hilda..mulai nongkrong baru sebulan..diajak sama kudil.. Sebagian besar slanker menyukai Slank karena lirik lagunya sesuai dengan pengalaman priabdi mereka dan dapat memberi jawaban atas masalah-masalah yang mereka alami. Seperti yang diungkapkan oleh Hilda : ..kenal Slank dari kelas 3 SMP karena denger lagu yang jadi memory..maafkan dan terlalu manis..., begitu pula seperti yang diungkapkan oleh Kurdi:..kenyataan gue bisa jadi orang baik karna inget lagu-lagu Slank.. Para Slanker mengaku menyukai gaya dan penampilan para personil Slank selaiin karena lirik dan lagulagunya. Penampilan yang slengean, apa adanya, bebas namun punya prinsip dan tanggung jawab tetap dibarengi dengan keberhasilan menjadi band berpengaruh di Indonesia. Dari kecintaan tersebut, mereka mengaku ingin menjadi seperti Slank, baik dalam kemampuan bermusik, maupun sikap dan keseharian mereka. Wujud kecintaan tersbut juga ditampilkan melalui simbol-simbol yang mencerminkan jiwa yang mereka serap dan kekaguman mereka terhadap Slank sebagai bentuk identitas diri mereka. Simbol baju atau kaos yang dikenakan kebanyakan bergambar atau bertuliskan Slank, jeans belel robek-robek, kalung berbandul Slank, dan pernak-pernik emblem dan pin Slank. Para Slanker juga rela menyisihkan dana khusus untuk membeli kaos, asesoris, kaset rekaman asli Slank, dan membeli tiket konser. Ini serupa gambara Para Slanker ini melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan dana tersebut. Berbagai usaha yang mereka lakukan antara lain, menyisihkan uang tabungan, meminjam teman, menggadaikan barang, bahkan ada yang sampai rela menjual barang milik pribadinya. Seperti yang diungkapkan oleh kurdi :..jual baju sering, untuk pernik-pernik laen ngumpulin duit.. kalo mo nonton konser selalu beli tiket..

Semua Slanker dalam FGI II ini menyatakan bahwa mereka akan terus menajdi Slanker sampai akkhir hayat mereka. Mereka bahkan berminat untuk emnjadikan anak cucu mereka kelak sebagai Slanker juga. Mereka berjanji akan terus menjadi Slanker dan mempertahankan eksistensi Slanker walaupun jika suatu saat nanti Slank akan bubar. Kecintaan para Slanker dalam menjadikan Slank sebagai model dalam hidup mereka-yang membantu mereka menganali diri mereka sendiri. DISKUSI Sangatlah menarik untuk mendiskusikan Slanker sebagai sebuah komunitas sub-culture. Melihat mereka lebih dalam : mendapatkan gambaran jelas bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, membentuk identitas diri mereka, dan menentukan perilaku dan hidup mereka. Sebagai sebuah komunitas penggemar Slank, Slanker berisi orang-orang muda, baik yang masih berada dalam tahap remaja ataupun sudah masuk dewasa awal. Mereka berkumpul dengan menjadi satu atas dasar yang sama yaitu kekaguman terhadap Slank. Erikson (1968) memandang bahwa perkembangan identitas diri ini merupakan proses yang bertahap yang dimulai sejak kanak-kanak yaitu sejak mulai berkembangya ego, sebuah sistem otonomi yang berhubungan dengan realitas melalui persepsi, pikiran, perhatian, dan memori. Proses umumnya dimulai dari identifikasi anak terhadap orang tua dan orang lebih dewasa disekitarnya yang berlangsung terus menerus membentuk apa yang disebut identitas pribadi. Proses ini terus berlanjut hingga masa remaja dimana individu mulai mengembangkan identitas sosial yang harus ia lebur dan integrasikan dengan identitas pribadinya. Masa remaja ini, yang ditandai dengan perubahan psikologis, fisiologis, seksual, dan kognitif, serta adanya berebagai tuntutan dari masyarakat dan perubahan yang menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang mandiri menjadikan masa ini sangat kritis. Jika pada tahap awal individu menjadikan orang tua sebagai model bagi pembentukan diri mereka, sebaliknya pada masa remaja, individu berusaha memutus hubungan bahkan menolak peran orang tua. Hal ini dilakukan sebagai simbol pemisahan diri mereka dari masa kanak-kanak yang masih tergantung orang tua dan mencoba membentuk identitas diri mereka sendiri namun dalam kegamangan perkembangan dimana secara fisik kognitif, emosi, dan kemampuan sosial belum matang sepenuhnya, mereka tetap membutuhkan adanya model. Pada usia remaja ini, individu dapat dikatakan lapar akan model yang mampu memenuhi dan menggambarkan diri dan harapan mereka. Yang salah satunya adalah harapan lepas dari bayang orang tua (Ellis, 2002). Olson (1984) pada tahap awal individu menjadikan orang tua sebagai model dari pembentukan diri mereka. Sedagkan pada masa remaja pengaruh orang tua dan sumbersumber otoritas tradisional lainnya seperti guru, pemuka agama, dll mulai berkurang dan mereka lebih dipengaruhi secara kuat oleh kelompok sebayanya (peers). Menurut Deaux et al (1993) sikap terhadap musik, gaya berpakaian, gaya rambut, dan banyak hal lagi berkembang di dalam konteks interaksi dengan teman sebaya. Dari hasil FGI, ditemukan bahwa hampir semua subyek mengenal Slank dan kemudian mengenal Slanker untuk selanjutnya bergabung dengan Slanker adalah atas pengaruh teman. Mereka melihat Slank sebagai seorang idola, yang dapat diberi catatan apa yang dikemukakan salah seorang subyek diluar forum FGI, idola yang tidak mereka temukan dalam rumah mereka. Tak dapat dipungkiri, Slank sebagai sebuah band besar di Indonesia. Album-albumnya yang hingga saat ini sudah 13 terjual jutaan copy. Dan Slank adalah salah satu ikon media massa. Namun walau banyak band-band atau penyanyi lain, Slank adalah

idola yang cocok dengan diri mereka. Slank melalui lirik-lirik lagunya, gaya hidup dan penampilannya sangat mewakili jiwa mereka dan memberi jawaban atas masalah mereka. Bandura (dalam Hall & Lindzey, 2002) mengemukakan dalam teorinya mengenal social model learning, bahwa seseorang lebih suka memperhatikan model yang memiliki perilakuperilaku yang menonjol, sederhana, dan menjanjikan fungsi nilai yang sama. Model merupakan gambaran yang hihdp menarik, kompeten, dan berulangkali menarik perhatian kita. Karakteristik dari observer juga menentukan seberapa banyak perilaku diimitasi pada situasi yang diberikan. ...Individu secara aktif dan kreatif meniru simbol-simbol cultural, mitos-mitos, dan ritualritual yang tersedia untuk membantu membentuk identitas dirinya. Bagi remaja, mass media adalah pusat dari proses ini karena mereka adalah sebuah sumber yang meyakinkan dari pilihan budaya yang ada (Brown, 1994, dalam Hamley, 2003). Mukadis menambahkan (Kompas, 20 Maret 2000), mereka takut dianggap kurang pergaulan atau kuper oleh temantemannya. Dan karena hal inilah tampaknya yang menjadikan pilihan mereka mengidolakan artis atau selebritis adalah pilihan yang rasional untuk tetap dapat menyeleraskan diri dengan lingkungan sosial, diterima teman-teman sebayanya. Media masa menyediakan area yang luas sebagai opini budaya dan merupakan standar bagi remaja sebagai contoh-contoh beragam identitas. Remaja melihat ini dan memutuskan yang mereka anggap terfavorit dan juga yang akan memeberikan aspirasi bagi mereka. Artinya, media bukan suatu hasil akhir tetapi membuka peluang untuk merubah bentuk dan tampilan agar sesuai dengan kebutuhan individu yang dalam hal ini merupakan identitas (Hamley, 2003). Musik juga merupakan alat komunikasi bagi beberapa remaja yang juga memiliki peranan dalam proses pemebentukan identitas. Musik popular dilihat sebagai suatu tema oleh remaja yang sedang bertumbuh. Remaja juga mengambil materi dalam proses pembentukan identitas dari musik yang didengarkan dan terutama ketika mereka memperhatikan dengan sungguhsungguh pada lirik dan lagunya. Seorang remaja dapat menemukan hubungan yang erat antara lirik lagu dengan apa yang sedang mereka rasakan dan hal ini dapat membuat mereka merasa lebih aman dengan diri mereka sendiri sehingga tidak dapat mengikuti area spesifik dari kepribadian mereka. Lirik dari suatu lagu seringkali menggambarkan apa yang sedang dirasakan saat ini dan hal ini ikut mengambil bagian dalam proses pembentukan identitas (Hamley, 2003). Disisi lain, pilihan mengambil selebritis sebagai idola yang dijadikan rujukan dalam pembentukan identitas diri adalah karena selebritis tersebut dianggap merefleksikan persepsi mereka sendiri mengenai realitas sosial. Menurut Hansen dan Ross (dalam Skirvin, 2003) beberapa remaja mengagumi seorang idola karena beberapa aspek dari idolanya tersebut merefleksikan persepsi mereka megnenai realitas sosial. Ada banyak teori yang menunjukkan bahwa orang mencari stimulus yang konsisten dengan sikap dan opini mereka, seperti teori disonansi kognitif dari Festinger (Rahmat, 1996) yang mengatakan bahwa manusia cenderung menghindari stimulus yang tidak sesuai dengan kebutuhan, opini, atau diri mereka karena akan mengakibatkan ketidakenakan dalam dirinya dan sebaliknya manusia cenderung memilih stimulus yang sesuai dengan kebutuhan, opini, dan gambaran dirinya. Lebih lanjut, Skirvin (2003) mengungkapkan bahwa beberapa remaja tertentu memiliki ikatan yang kuat dengan idolanya karena merasa memiliki masalah mental yang sama. Mereka juga menempatkan idolanya di tempat pertama karena mereka membagi karakteristik tertentu,

yang mereka lihat sebagai seorang model peran yang sesuai dengan mereka dan menarik bagi nilai serta apsirasi mereka. Sebagai seorang idola mereka para subyek melihat sebagai contoh orang yang berhasil, bisa menunjukkan prestasi tinggi sekaligus tetap menjadi diri sendiri. Slank dilihat sebagai acuan membentuk identitas diri yang ideal. Ini tepat seperti apa yang dihipotesakan Skirvin (2003) bahwa bintang idola dikagumi pendengar melalui sebuah kombinasi yaitu sebagai model ideal (sangat cantik, cerdas dll) dan sebagai bagian dari diri mereka (memiliki masalah yang sama, pandangan yang sama). Proses selanjutnya, para Slanker sangat ingin bisa menjadi seperti Slank: bisa main musik bagus, punya band yang terkenal, bisa menebar virus ke banyak (mempengaruhi banyak orang), bisa hidup bebas menjadi apa adanya diri sendiri. Sebagai langkah pertama adalah menerima nilai-nilai yang direfleksikan Slank-melalui lirik lagu dan gaya hidupnya, menginternalisasi dan menerapkannya dalam kehidupan praktis. Para Slanker melakukan identifikasi diri dengan menjadikan nilai-nilai model menjadi bagian dari nilai-nilai pribadi, menjadi bagian dari identitas diri mereka. Sebagai tahapan pembentukan identitas diri, menurut Olson (1984) wlaupun merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri, tahap ini tetap menjadi bagian yang penting dalam proses pembentukan identitas diri. Identifikasi sendiri (Benner, 1985) adalah suatu proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu, seseorang, atau institusi dan berpikir, merasa, serta bertingkah laku secara konsisten sesuai dengan gambaran mental dari model tersebut. Tujuan dari proses ini adalah untuk melindungi individu dari ancaman devaluasi diri dan untuk meningkatkan harga dari individu tersebut. Lebih lanjut Banner (1985) menambahkan bahwa proses modeling juga dipengaruhi oleh karakteristik individu yang mengimitasi perilaku model. Biasanya individu yang mengimitasi model dipersepsikan sebagai orang yang tergantung (dependent), memiliki ketidakmampuan, dan mempunyai self esteem yang rendah. Apakah para Slanker memang seperti yang diindikasikan Banner? Penelitian ini dengan tujuannya dan metode FGI yang digunakan tidak bisa menjangkau permasalahan tersebut sehingga penelitian dengan topik ini sangat menarik dan disarankan menjadi penelitian selanjutnya, dengan desain dan metodologi yang lebih sempurna tentunya. Namun demikian, memang ditemukan bahwa dengan menjadi Slanker para subyek merasa menjadi lebih dikenal orang, sebagai sisi timbal balik lebih banyak kenal karena sering nongkrong di potlot. selain itu para subyek merasa bangga menjadi bagian dari keluarga besar Slank. Ini tampak sesuai dengan yang diindikasi Banner sebelumnya, bahwa salah satu tujuan identifikasi adalah meningkatkan harga diri individu. Ini serupa dengan Cheng (dalam Skirvin, 2003) berdasar hasil penelitiannya terhadap sebuah club fans artis Hongkong menemukan bahwa para anggota masuk klub untuk mendapatkan kebanggaan dari asosiasi mereka dengan sang bintang dan mencapai status dan penghargaan peer melalui koleksi items-items yang diasosiasikan dengan sang bintang dan dalam beberapa kasus melalui imitasi mereka terhadap penampilan sang bintang. Yang menurut Skirvin (2003) menjadi seorang fans adalah lebih penting karena ini adalah sesuatu dimana kita meilih untuk menjadi suatu bagian dan ini juga merefleksikan kepribadian kita dimana divisi lain(kategori-kategori identitas) tidak dapat kita capai. Sedangkan menjadi dikenal banyak orang dan menjadi punya banyak teman yang sepandangan dan karenanya bisa menerima mereka apa adanya dapatlah dikatakan sebagai reinforcement yang memperteguh identifikasi mereka terhadap Slank sekaligus keaktifan

dalam orgnisasi Slanker. Bandura (dalam Banner 1985) berpendapat bahwa Reinforcement juga mempunyai banyak peran yang penting dalam proses modeling. Reinforcement berperan memberikan informasi dan motivasi dalam proses modeling. Dengan kata lain, individu mengamati model, mempelajari perilaku baru, dan bergantung pada konsekuensi yang didapat setelah perilaku tersebut dimunculkan, serta kemudian memutuskan apakah perilaku tersebut akan diulang atau tidak akan dimunculkan kembali. Kembali pada proses identifikasi diri yang dilakukan Slanker, identitas diri yang mereka bentuk sebagai hasil identifikasi terhadap Slank mereka memanifestasikan dalam wujud penampilan dan perilaku sehari-hari. Dalam penampilan mereka tampak cuek dengan kaos dan jeans belelnya, kalung Slank dan beberapa memakai gelang dan rantai. Simbol-simbol lain seperti pin atau emblem Slank melekat pula dalam tampilan mereka, dalam perilaku, mereka sangat apa adanya, bebas tidak mau dikekang-kekang, namun memegang kuat prinsip mereka. Serupa dengan temuan Skirvin (2003) bahwa cara paling mudah untuk melihat bahwa para pengggemar telah dipengruhi bintang idolanya adalah melalui pakaian mereka, dan banyak penggemar dengan mudah dikenal melalui penanda-penanda tertentu yang mereka gunakan. Kellner (1985, dalam Skirvin, 2003). Menambahkan, untuk menunjukkan jalan bagaimana identitas diri dapat dikonstruksi adalah melalui pakaianfashions menjadi pilihan penting dari identitas seseorang, membantu untuk menentukan bagaimana seseorang menerima dan diterima, fashions menawarkan pilihan pakaian, gaya dan citra dimana seseorang dapat memproduksi sebuah identitas individual. Penampilan adalah tentunya salah satu metode paling cepat sekaligus krusial untuk menegaskan sebuah identitas pada masyarakat. Hal ini sama dengan yang ditemukan Skirvin sendiri (2003) bahwa bintang idola sebagai seorang ikon mass media memiliki pengaruh penggemar mereka, penggemar membaca buku yang ia baca, berpakaian sebagaimana ia berpakaian dan melakukan sesuatu yang mereka fikir ia juga sama menyukainya. Lebih dari sekedar memuja, bagi para remaja seringkali para selebritis dianggap sebagai kendaraan simbolik untuk memahami diri mereka dan dunia lebih terang. Dan selanjutnya mereka membentuk kepribadian mereka sesuai dengan bintang idola yang menjadi rujukannya (Willis, 1990, dalam Hamley, 2003). Generasi muda menggunakan sumbersumber simbolik yang ditawarkan media massa, yang dekat dengan keseharian mereka, sebagai acuan membentuk identitas diri mereka sendiri (Hamley, 2003). Sebagai acuan, maka selanjutnya para remaja meniru penampilan dan perilaku idolanya dan menjadikannya bagian dari identitas dirinya. Proses yang tergambar dalam diskusi ini, bagaimana perjalanan Slanker mulai kenal Slank, suka dengan Slank, suka dengan Slank, main ke gang Potlot (markas Slank), menjadi Slanker berperilaku dan berpenampilan seperti Slank, adalah serupa dengan penggambaran Skinner mengenai proses identifikasi diri. Skinner (dalam Banner, 1985) mengungkapkan ada 3 (tiga) tahapan proses yang terjadi pada saat identifikasi, antara lain : (a) ada stimulus yang ditampilkan seseorang harus me-model atau mencontoh perilaku tertentu ; (b) observer harus mengimitasi perilaku tersebut; (c) ada pemberian penguatan (reinforcement) segera mungkin. Pandangan Skinner ini sangat menekankan pada pemberian reinforcement sesegera mungkin setelah munculnya perilaku yang diimitasi. Selain menjadi dikenal orang dan punya banyak teman, apa yang dikemukakan oleh Deaux (1993) bahwa pujian dan persetujuan dari teman dan relasi dapat dianggap sebagai reinforcement yang efektif membentuk sikap seseorang. Pujian dan persetujuan yang diberikan teman adalah salah satu bentuk reinforcement.

Tampak menarik adalah temuan dari kedua FGI yang dilakukann ketika ditanyakan apa yang paling menarik dari Slank dan apa yang menjadi simbol bahwa mereka adalah seorang Slanker. Ditemukan perbedaan jawaban dan Slanker yang masih remaja dibandingkan dengan Slanker yang sudah mulai memasuki tahap dewasa awal (remaja akhir) dan Slanker yang memang sudah berada dalam tahap dewasa awal. Jika para Slanker remaja menyukai Slank karena lagu-lagunya serta musiknya, maka para Slanker dewasa lebih melihat isi dari lagu lagu tersebut, makna dan ajaran moral yang implisit dalam lagu. Berikutnya, jika para Slanker muda menganggap sangat penting penampilan dengan simbol-simbol Slank ataupun Slanker, seperti memakai kaos dan pernak-pernik yang asli Slank, maka para Slanker dewasa lebih melihat penjiwaan dan penerapan ajaran-ajaran Slank dalam wujud nyata adalah bukti ke-Slanker-an mereka. Penjiwaan dan penerapan ajaran menjaga perdamaian, menabr cinta, menghormati orang tua dan melindungi wanita, kerja keras, serta anti drugs. Hal ini memperlihatkan pengaruh usia dan tahap perkembangan dalam proses identifikasi dan pengidolaan terhadap seseorang. Seiring dengan peran sosial yang lebih komplek yang para Slanker dewasa sandang, lirik-lirik lagu dan gaya hidup Slank memberi panduan dalam meniti hidup dan menjawab masalah yang pasti harus dihadapi. Tidak salah gambaran ekstrim yang diberikan salah seorang subyek pada FGI I, ajaran Slank seakan sudah seperti agama walau ini sedikit dievaluasi subyek yang lain. Hal ini berbeda dengan Slanker yang masih remaja, kemampuan mereka mamahami nilai sebagai konsep abstrak belumlah sematang Slanker dewasa. Selain itu kebutuhan mereka untuk menyerap ajaran moral Slank untuk menjadi panduan mereka belumlah ada, kebutuhan mereka masih bersifat pengakuanpengakuan yang simbolis. Penampilan dengan symbol-simbol Slank dan gaya hidup meniru Slank ini merupakan wujud kefanatikan terhadap Slank. Dan berdasarkan hasil FGI kefanatikan ini merupakan bagian dari identitas diri yang mereka bangun pula, identitas sebagai Slanker sejati yang berbeda dengan Slanker yang sekedar mengaku-ngaku Slanker. Bahkan bagi Slanker remaja, kebutuhan akan simbol-simbol Slank yang sesungguhnya mereka anggap sebagai simbol identitas diri mereka ini begitu penting, dan untuk memenuhinya mereka bersedia melakukan apapun seperti menjual baju dan celana, menggadaikan barang atau menggadaikan barang mereka. Seperti seorang yang kecanduan, mereka melakukan hal-hal yang sudah menyimpang dari pola umum perkembangan ataupun norma umum. Sedikit berbeda dengan teori yang diberikan Ellis (2002) bahwa remaja dapat dengan mudah terpesona pada mereka yang lebih tua (dalam rentang usia 18-19 tahun), umumnya pria yang mengendarai mobil gaya, memakai drugs, atau atlit olahraga yang pekerja keras dan dianggap berdedikasi. Maka para remaja ini mendapat nilai positif dari Slank, salah satunya kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan dengan menjual celana, menggadaikan barang, atau berhutang pada teman sementara mereka masih bergantung pada orang tua adalah sebuah langkah kurang bagus. Begitupun dengan remaja cenderung terpesona dengan idola yang memakai drugs, temuan Ellis ini tidak ditemukan pada Slanker. Kefanatikan ini mereka wujudkan pula delam komitmen untuk menjadi Slanker lengkap dengan identitas dirinya walaupun banyak tantangan dan cemoohan; dari orang tua, orang yang dekat lainnya, atau bahkan kadangkala kecurigaan dari masyarakat. Mereka akan tetap pula menjadi Slanker walau Slank bubar atau tetap menjadi Slanker hingga mereka tua. Mereka bercita-cita untuk menceritakan pada anak-anaknya, sejarah perjalanan hidup dan kebanggaan mereka sebagai slanker, sebagai media mengajarkan idelaisme-idealisme Slank yang mereka yakini. Mengutip kembali temuan skirvin dalam penelitiannya terhadap

penggemar manics ketika ditanyakan kapan mereka berhenti menjadi penggemar manics, ..ini adalah seperti pertanyaan kapan kamu memilih untuk berhenti bernapas. Sebagai akhir kata sesungguhnya banyak hal menarik lain yang biasa diungkap dari para Slanker dengan Slanknya. Mengungkap bagaimana nilai-nilai berkembang dalam komunitas mereka, pengaruh usia perkembangan terhadap pola-pola identifikasi diri dan konstrukkonstruk lain yang bisa memperkaya kajian psikologi baik klinis, sosial, maupun perkembangan. Sedangkan penelitian ini sendiri, sangatlah jujur diakui masih banyak kelemahan yang bisa dijadikan pelajaran bagi yang berminat mengadakan penelitian lanjutan. Namun demikian laporan yang disajikan ini, sebagai sebuah autokritik, semoga merangsang para akademisi untuk lebih aktif mengadakan penelitian pada komunitas-komunitas yang termaginalkan dalam pandangan-pandangan positivistik yang kuat dalam psikologi. SIMPULAN DAN IMPLIKASI Simpulan Berdasar hasil dan analisa FGI I dan FGI II yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: Sebagian besar dari subyek mulai mengenal Slank dan kemudian bergabung dan aktif di Slanker sejak masih di bangku pendidikan menengah (SMP dan SMA) dan hampir semua subyek mengenal Slank dan Slanker dan kemudian memutuskan bergabung adalah atas ajakan teman, baik yang sebaya ataupun teman yang lebih dewasa. Semua subyek mengaku suka dengan Slank karena lirik lagu-lagunya, cara main musik dan pilihan musiknya, penampilan, gaya hidup, dan sikap Slank terhadap penggemar. Lirik lagulagu Slank tidak melulu bicara soal cinta, tapi juga mengangkat tema-tema sosial, kemanusiaan, lingkungan hidup, korupsi, atau pengangguran. Lirik tersebut merupakan gambaran gaya hidup anak muda, pemberontakan, dan pembaharuan yang membawa pesan moral yang positif bagi mereka dan memberi jawaban atas masalah-masalah yang mereka alami, seperti masalah cinta, persahabatan, konflik dengan orang tua atau orang tua pacar, keperawanan, atau masa depan. Hampir keseluruhan responden mengakui sangat ingin menjadi seperti Slank yang bisa main musik bagus, punya band yang terkenal, bisa menebar virus ke banyak (mempengaruhi banyak orang), serta bisa punya gaya hidup yang bebas. Kebanyakan dari mereka juga mengaku menyerap seluruh nilai-nilai yang dianut dan diajarkan oleh Slank antara lain nilai kebebasan, berani tampil apa adanya, nilai kekeluargaan- yang ditunjukkan dengan tidak membedakan derajat, golongan ataupun status sosial setiap orang, nilai kejujuran, menghormati orang tua, penghargaan terhadap kaum perempuan, semangat kerja keras, dan prinsip yang sangat mereka junjung tinggi yaitu peace semangat cinta damai serta anti drugs. Seperti Slank, para Slanker melihat diri mereka sebagai orang yang slengean, cuek, polos, apa adanya, lebih mementingkan kemurnian hati dibandingkan penampilan. Mereka tidak memperdulikan apa kata orang tentang diri mereka, begitupun jika orang tua yang melarang mereka kumpul-kumpul dengan Slanker lain atau menonton konsernya, ataupun jika itu adalah pacar atau cewek yang ingin mereka dekati.

Kesetiaan yang sangat besar terhadap Slank diwujudkan dengan memakai aksesoris seperti kalung, rantai, baju atau kaos dengan emblem Slank. Bukti kesetiaan ini juga tergambar dari usaha-mereka untuk selalu membeli kaset rekaman Slank yang asli-dalam hal ini secara tidak langsung mereka juga telah mendukung aksi anti pembajakan, selalu beursaha untuk hadir dalam setiap konser atau acara khusus yang digelar oleh Slank. Lebih dalam dari itu, mereka berjanji untuk tetap menjadi Slanker walau Slanker bubar ataupun mereka telah tua, mereka bahkan bercita-cita akan mengajak anak dan cucu mereka kelak menjadi Slanker, serta menjaga eksistensi Slanker dengan tetap menyebarkan virusvirus Slank sampai kapanpun. Penampilan yang membawa simbol-simbol Slank, sebagaimana kesimpulan sebelumnya, bagi sebagian diantara subyek adalah sangat penting. Ini adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah Slanker sejati. Ini terutama diyakini oleh para Slanker remaja, sedang Slanker yang lebih dewasa melihat bahwa memegang ajaran-ajaran Slank dan menerapkannya dalam perilaku nyata adalah jauh lebih penting sebagai simbol Slanker sejati. Selain itu, para subyek mengaku senang dan bangga menjadi anggota Slanker. Para subyek merasa menemukan kehangatan dan semangat kekeluargaan dalam komunitas Slanker. Mereka mendapatkan banyak teman yang menerima mereka apa-adanya, dan dengan demikian sebaliknya mereka menjadi banyak dikenal orang. Mereka bisa saling berbagi masalah dan saling belajar. Mereka juga merasa bangga karena dengan menjadi Slanker mereka menjadi bagian dari keluarga besar Slank, sebuah band yang dapat dikata nomer satu di Indonesia dan pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar Slank memberi makna tersendiri dalam peneguhan identitas diri mereka. Implikasi Sesuai dengan hasil yang telah didapat, khususnya bagi yang berminat untuk mengadalan penelitian lanjutan atau penelitian lain dengan topik serupa, yaitu ; (1) Perluasan topik-topik yang lebih dalam seperti bagaimana nilai-nilai berkembang dalam komunitas Slanker, pengaruh usia perkembangan terhadap pola-pola identifikasi diri; (2) Pemakaian metode wawancara individual. FGI menjadikan penelitian kurang bisa menjagkau ranah-ranah yang lebih dalam sehingga sangat disarankan pemakaian metode lain seperti wawancara individual yang mendalam (3) Pemilihan lokasi FGI yang lebih tenang. FGI yang dilakukan di ruangan terbuka sehingga suara-suara dari luar terdengar dan orang-orang yang hilir mudik terlihat dengan jelas dan mengganggu jalannya diskusi yang secara tidak langsung juga mempengaruhi hasil diskusi karena konsentrasi untuk menjawab pertanyaan atau mengeluarkan pendapat jadi terganggu, (4) Pemilihan subyek yang lebih luas. Sangat disayangkan tidak ada reseprentasi anak SMA, walaupun ada peserta yang usianya 17 tahun dan baru semester satu namun ini tidak dianggap mewakili gambaran masa SMA yang dianggap memiliki warna khas akan pencarian identitas diri. REFERENSI Arum, R. E. P (2002). Makna penderitaan pada penderita kanker payudara. Skripsi. Depok. F.Psikologi UI Baudrilard, J. (1983). Simulations. New York. Semiotext. Berg, B. L. (2001). Quality research method for social sciences. 4th Boston : Allyn Bacon. Biran, R. L. & Praesti, Y. (2004). Hubungan romantic attachment dan perilaku parasosial pada wanita dewasa muda. Jurnal Psikologi Sosial. F. psikologi UI. 11 (1).

Bosma, A., Graafsma, T. B. L, dkk. (1994). Identity and development. London. Sage Publication. Denzin & Lincoln. (1994). Handbook of qualitative Rrsearch. London. Sage Publication. Deaux, K. et al. (1993). Social psychology in the 90s. (6th ed). Pacific Grove: Brooks/Cole Publishing Company. Ellis, L. (2002). The Adolescent crisis identity.
http://www.bcparent.com/articles/teens/adolescent.id.crisis.html

Erikson, E.H (1968). Identity, youth, and crisis. International University Press. New York. Giles, D. C. (2002) Parasosial interaction : A Review of the literature and A model for future research. Media Pshychology. 4 (3). Hall, C. S., Lindzey, G., & Campbell, J. B. (2002). Theories of personality 5th . John Willey & Sons, inc. Hamley, K. (2003). Media use in identity construction. http://www. Aber.uk/media/students/lkh0802.html Gilles, D.C. (2002). Parasosial interaction; A review of the literature and a model for future research. Media Psychology. 32.(3).279-302. Kerlinger, F.N & Lee, H. B. (2000). Foundation of behavioral research (4rd ed). New York. Holt, Rinehart, and Winston Inc. Kompas. 2001, Minggu,30 September. Slank dan para Slankers. Kompas.2001, Selasa. 20 Maret.Untuk Idola, Apa Pun Dilakukan. Kompas. 2002, Jumat, 6 September. Vannes Wu, meteor dari taman pop. Miles, M & Huberman, M.A (1994). Qualitative data analysis, an expanded source. Book 2nd ed. London. Sage publications, inc. Moloeng, L. J (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosakarya Olson, G.K. 1984. Counseling teenagers. 5 th ed.. Colorado: Thom Schultz Publications, inc. Papalia, D.E et Al. 2001. Human development.8 th ed. Boston: Mc Graw Hill. Patton, M.Q (1990). Qulitative evaluation and research method. Second edition. Sage Publication, inc. Poerwandari, E. K. 1998. Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta.LPSP3 F.Psikologi Universitas Indonesia. Rahmat, J. 1996. Psikologi komunikasi. Bandung. PY. Rineka Cipta. Santrock, J.W. (1998). Adolescence 7 th ed. Boston : Mc Graw-hill Slank. (2002). http://www.slank.co.id. Slank History. (2001). http://www.musikmu.com/bio/bio.php?artis=1001 Yunita, F. (2002). Gambaran identitas diri remaja yang melakukan aktifitas clubbing. Skripsi. Depok. F. Psikologi. UI Skirvin, F. (2003). Leper cult disciples of a stillborn Christ: Richard Edwards as meaningful in his fans constructions of their identities. www_theory_org_uk resources manic street preachers fans and identity.htm Swastika, A. 2004. Diri Manusia Dalam Etalase Identitas. http://www.kompas.com. Yin, Robert K. (1994) Case study research design and method 2 nd ed. Thousand Oaks: Sage Publications

Anda mungkin juga menyukai