Anda di halaman 1dari 9

MODUL PERTEMUAN 7

PERILAKU ABNORMAL DEWASA

ASESMEN DAN INTERVENSI DENGAN PENDEKATAN BIOPSIKOKULTURAL

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2022
SUB-CPMK
Peserta didik mampu membedakan asesmen dan intervensi perilaku abnormal.

BAHAN KAJIAN
Asesmen dan intervensi dengan pendekatan biopsikokultural.

PENGALAMAN BELAJAR
1. Peserta didik mempelajari modul pertemuan 7 dan melakukan eksplorasi
materi/bahan kajian menggunakan ebook atau online source lainnya untuk
mencapai kemampuan akhir yang direncanakan.
2. Peserta didik terlibat aktif dalam diskusi dengan memanfaatkan hasil
eksplorasi materi.
3. Peserta didik dengan bimbingan dosen menyimpulkan seluruh materi yang
dibahas secara representatif.

URAIAN MATERI
Overview
Profesional kesehatan mental menggunakan berbagai tes atau alat untuk
menilai kesehatan mental. Beberapa alat tersebut didasarkan pada asumsi bahwa
perilaku atau perasaan terletak di sepanjang kontinum, tugasnya adalah untuk
menentukan di mana pengalaman individu berada di sepanjang kontinum tersebut.
Kelebihan pendekatan kontinum dalam penilaian dan diagnosis antara lain
pendekatan kontinum menangkap nuansa perilaku orang lebih baik daripada
pendekatan kategoris, pendekatan kontinum juga tidak mengasumsikan bahwa kita
tahu di mana batas untuk perilaku bermasalah. Tetapi pendekatan kontinum dapat
mempersulit komunikasi informasi tentang orang dengan gangguan mental, karena
sebagian besar orang berpikir berdasarkan kategoris. Asesmen adalah proses
mengumpulkan informasi tentang gejala orang dan kemungkinan penyebab gejala
tersebut. Informasi yang dikumpulkan dalam asesmen digunakan untuk
menentukan diagnosis yang tepat.
Assessment Tools
1. Wawancara klinis
Sebagian besar informasi untuk asesmen dikumpulkan menggunakan
wawancara awal. Wawancara ini mungkin termasuk pemeriksaan status
mental, yang menilai fungsi umum orang tersebut meliputi penampilan dan
perilaku individu; proses berpikir individu; suasana hati dan perasaan individu;
fungsi intelektual individu; dan orientasi terhadap tempat, waktu dan orang.
Wawancara terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang
individu, antara lain gejala yang dia alami saat ini atau pernah dia alami di
masa lalu. Pada wawancara terstruktur, format pertanyaan telah dibakukan,
dan klinisi menggunakan kriteria yang konkret untuk menilai jawaban orang
tersebut.
2. Symptom Questionnaires
Ketika klinisi menginginkan cara cepat untuk menentukan gejala
seseorang, mereka akan menggunakan symptom questionnaires. Kuesioner ini
dapat mencakup berbagai macam gejala yang mewakili beberapa gangguan
yang berbeda. Salah satu kuesioner yang paling umum digunakan untuk
menilai gejala depresi adalah Beck Depression Inventory (BDI).
3. Personality Inventories
Personality inventories biasanya berupa kuesioner yang dimaksudkan
untuk menilai cara berpikir, perasaan, dan perilaku khas orang. Inventarisasi
ini digunakan sebagai bagian dari prosedur penilaian untuk memperoleh
informasi tentang kesejahteraan masyarakat, konsep diri, sikap dan keyakinan,
persepsi terhadap lingkungan mereka, sumber daya sosial dan kerentanan.
Personality inventories yang paling banyak digunakan adalah Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI), yang telah diterjemahkan ke lebih
dari 150 bahasa dan digunakan di lebih dari 50 negara (Groth-Marnat & Wright,
2016).
4. Behavioral Observation and Self-Monitoring
Klinisi menggunakan observasi perilaku individu untuk menilai adanya
defisit dalam ketrampilan mereka atau cara mereka dalam menangani situasi.
Klinisi mencari perilaku spesifik dan apa yang mendahului dan mengikuti
perilaku ini. Misalnya, klinisi ingin melihat seorang anak berinteraksi dengan
anak-anak lain untuk menentukan situasi apa yang memicu agresi pada anak
tersebut. Salah satu kelemahan observasi adalah individu dapat mengubah
perilaku mereka ketika diobservasi; observer yang berbeda dapat menarik
kesimpulan yang berbeda mengenai kondisi individu; dan observer mungkin
saja melewatkan aspek-aspek lain yang tidak menjadi fokus observasi. Jika
observasi secara langsung tidak memungkinkan, klinisi dapat meminta individu
untuk melakukan self-monitoring, yaitu untuk mengukur berapa kali per hari
mereka terlibat/menampilkan perilaku tertentu (misalnya, merokok, minum
alkohol) dan kondisi apa yang menyebabkan perilaku ini terjadi.
5. Tes Inteligensi
Tes inteligensi digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
intelektual individu, terutama ketika diduga mengalami keterbelakangan mental
atau kerusakan otak (Ryan & Lopez, 2001). Tes inteligensi juga digunakan
untuk mengidentifikasi anak-anak “berbakat” dan anak-anak dengan kesulitan
intelektual. Beberapa contoh tes inteligensi adalah Wechsler Adult Intelligence
Scale, Stanford-Binet Intelligence Test, dan Wechsler Intelligence Scale for
Children.
6. Neuropsychological Tests
Jika klinisi menduga gangguan neurologis pada seseorang,
neuropsychological paper and pencil test mungkin berguna dalam mendeteksi
defisit kognitif tertentu, seperti masalah memori pada demensia. Salah satu tes
neuropsikologi yang sering digunakan adalah Bender-Gestalt Test. Bender-
Gestalt Test tampaknya bagus dalam membedakan orang dengan kerusakan
otak dan orang yang tidak mengalami kerusakan otak, tetapi tes ini tidak dapat
mengidentifikasi jenis kerusakan otak spesifik yang dimiliki seseorang. Baterai
tes yang lebih ekstensif telah dikembangkan untuk menunjukkan dengan tepat
jenis kerusakan otak. Dua baterai yang paling popular adalah Halstead-Reitan
(Reitan & Davidson, 1974) dan Luria-Nebraska Test Battery (Luria, 1973).
7. Brain-Imaging Techniques
Brain-Imaging Techniques digunakan untuk menentukan apakah pasien
memiliki cedera otak atau tumor. Peneliti dapat menggunakan Brain-Imaging
Techniques untuk mencari perbedaan aktivitas atau struktur otak antara orang
dengan gangguan psikologis dan orang tanpa gangguan. Contoh Brain-Imaging
Techniques antara lain Computerized tomography (CT), Positron-emission
tomography (PET), Single photon emission tomography (SPET), Magnetic
resonance imaging (MRI).
8. Psychophysiological Tests
Psychophysiological Tests adalah metode alternatif untuk CT, PET, SPECT,
dan MRI yang digunakan untuk mendeteksi perubahan pada otak dan sistem
saraf yang mencerminkan perubahan emosional dan psikologis.
Electroencephalogram (EEG) mengukur aktivitas listrik di sepanjang kulit
kepala yang dihasilkan oleh penembakan neuron tertentu di otak. EEG paling
sering digunakan untuk mendeteksi aktivitas kejang di otak dan juga dapat
digunakan untuk mendeteksi tumor dan stroke.
9. Projective Test
Tes proyektif didasarkan pada asumsi bahwa ketika orang disajikan
stimulus yang ambigu, mereka akan menafsirkan stimulus sesuai dengan
kekhawatiran dan perasaan mereka saat ini, hubungan dengan orang lain, dan
konflik atau keinginan. Tes proyektif berguna dalam mengungkap masalah atau
motif bawah sadar seseorang. Salah satu tes proyektif yang paling sering
digunakan adalah Tes Rorschach dan Thematic Apperception Test (TAT).

Pencegahan dan Penanganan


A. Pencegahan (Prevention)
Yang dimaksudkan dengan pencegahan dalam lingkup gangguan kejiwaan
menyangkut dua hal, yaitu:
1. Mencari dan sekaligus menghilangkan penyebab-penyebab gangguan
mental
2. Membangun kondisi-kondisi yang dapat mendorong lahirnya kesehatan
mental.
Terdapat 3 jenis pencegahan, yaitu:
1. Pencegahan primer, meliputi seluruh cara yang dirancang untuk mendorong
perkembangan kesehatan dan perilaku penanganan yang efektif, baik pada
taraf biologis, psikososial, dan sosiokultural.
2. Pencegahan sekunder, menekankan deteksi dini dan mengenalkan
penanganan perilaku maladaptif dalam keluarga dan komunitas. Jadi
pencegahan ini meliputi insidensi dan lingkup perilaku maladaptif dalam
populasi spesifik (dengan deteksi awal), dan berbagai kemungkinan fasilitas
kesehatan mental (dengan intervensi krisis). Pencegahan sekunder
difokuskan untuk mendeteksi gangguan pada tahap paling awal dan dengan
demikian mencegah perkembangan gangguan total (Munoz et al., 2010).
3. Pencegahan tersier berfokus pada orang yang sudah memiliki gangguan,
berusaha untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi dampak gangguan
pada kualitas hidup seseorang. Pencegahan tersier diperlukan untuk
membantu individu melakukan penyesuaian diri kembali dan berpartisipasi
kembali di dalam rumah dan lingkungan komunitasnya dengan kesukaran
dan keterlambatan minimum. Contoh, memberikan pelatihan ketrampilan
kerja dan dukungan sosial kepada penderita schizophrenia dapat membantu
mencegah terulangnya episode psikotik.

B. Penanganan (Intervention)
Istilah intervensi merupakan istilah yang saat ini umum digunakan untuk
menunjuk pada berbagai macam tindakan yang dimaksudkan untuk
memberikan kesembuhan atas gangguan jiwa atau pelurusan atas penyesuaian
diri yang salah. Intervensi juga digunakan dalam berbagai istilah lain yang
digunakan untuk membantu orang yang terganggu secara kejiwaan
(psychological disorders) atau memiliki masalah kejiwaan (psychological
problems) dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam literatur lama, intervensi dikenal dengan nama psikoterapi. Juga
dikenal bentuk-bentuk lain, yaitu melatih (coaching), bimbingan (guidance),
konseling, pemberian nasihat (advicing), perlakuan (treatment), dan
pengubahan perilaku (behavior modification).
Coaching adalah memberi petunjuk yang berulang-ulang mengenai apa
yang harus dilakukan individu ketika menghadapi masalah-masalah yang tidak
mampu ia tanggulangi. Guidance adalah memberi tahu dan petunjuk serta
mendampingi klien dalam memecahkan masalahnya. Konseling adalah usaha
bantuan yang titik beratnya adalah “menemani” klien untuk menyelesaikan
masalah dengan cara merefleksikan masalah klien sampai timbulnya
pemahaman emosional (emotional insight) dalam diri individu atas
permasalahannya dan kemampuannya untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Advising adalah memberitahukan mengenai keadaan atau cara yang dapat
ditempuh mengenai masalah yang dialami klien. Treatment adalah setiap
tindakan yang diberikan seorang ahli kepada individu dengan maksud
menolong individu agar terlepas dari keadaan terganggu atau terlilit masalah.
Behavior modification adalah setiap tindakan yang diarahkan pada perilaku
yang salah pada seseorang sehingga ia dapat berfungsi optimal.
Terdapat tiga pendekatan treatment, yaitu:
1. Biological treatments, meliputi drug therapies, electroconvulsive therapy and
newer brain stimulation techniques, psychosurgery.

2. Psychological therapies, meliputi behavioral therapies, cognitive therapies,


psychodynamic therapies, humanistic therapy.
3. Social approaches.
Terapi interpersonal merupakan suatu versi short-term terapi psikodinamik
yang lebih memfokuskan diri pada hubungan yang sedang berjalan. Terapis
sistem keluarga berusaha untuk mengubah sistem perilaku yang maladaptif
dalam keluarga. Terapi-terapi spesifik kultural menggunakan keyakinan dan
ritual budaya dalam menangani klien tersebut. Beberapa jenis terapi dengan
pendekatan sosiokultural adalah terapi antarpribadi, terapi kelompok,
treatment komunitas, dan treatment lintas budaya.

TUGAS EKSPLORASI DAN DISKUSI


Selain membaca uraian materi diatas, mahasiswa perlu mengeksplorasi dan
memperdalam materi sesuai dengan bahan kajian pertemuan 7, melalui ebook atau
sumber online lainnya. Kemudian, diskusikanlah pertanyaan-pertanyaan dibawah
ini:
1. Jelaskan penggunaan tes neuropsikologis dalam mengevaluasi perilaku
sebagai dampak dari gangguan otak!
2. Jelaskan perbedaan antara wawancara klinis yang terstruktur dan tidak
terstruktur!
3. Jelaskan asumsi di balik penggunaan tes proyektif!
4. Jelaskan perbedaan tes proyektif dan tes objektif!
5. Apa saja masalah etika yang harus diperhatikan pada saat melakukan
asesmen pada orang dengan gangguan mental?
6. Jelaskan kemungkinan terjadinya bias budaya pada beberapa tes psikologi
EVALUASI
Setelah mempelajari modul dan melakukan eksplorasi materi, peserta didik
akan mengisi kuis untuk mengukur hasil capaian pembelajaran yang dilakukan.

References
Nolen-Hoeksema, S. (2020). Abnormal Psychology, Eight edition. New York:
McGraw-Hill Education.

Wiramihardja, S. A. (2007). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT. Refika


Aditama.

Selamat Belajar😊

Anda mungkin juga menyukai