Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS JURNAL

THE EFFECTIVENESS OF ART THERAPY IN REDUCING

DEPRESSION IN PRISON POPULATIONS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas “ Stase Keperawatan Jiwa”

Disusun Oleh:

1. Rasiman, S.Kep
2. Raden Aneu Tresna’aty, S.Kep
3. Untung Tristiantoro, S.Kep
4. Isni Maftuhah, S.Kep
5. Emi Sudarmini, S.Kep
6. Isnen Istiyanti, S.Kep

PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2013
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia dewasa ini yang semakin sulit dan komplek , dari

lahir hingga dewasa kebutuhan-kebutuhan seseorang tidak dapat selalu

terpenuhi. Seringkali terdapat hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan,

motif dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan

dinamakan frustasi. Senada dengan pernyataan Slamet (2008), keadaan

frustasi yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat diatasi dapat

menyebabkan stress sampai menyebabkan gangguan jiwa.

Gangguan jiwa telah menyebabkan klien atau seseorang mengalami

gangguan ketidakmampuan atau kerusakan dalam hubungan sosial,

sehingga seseorang hidup di alamya sendiri, berinteraksi dengan pikiran

yang diciptakannya sendiri, perasaan yang dibuatnya sendiri, seolah-olah

semuanya menjadi sesuatu yang nyata sebagaimana dunia luar realitas yang

sebenarnya.

Diperkirakan di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sudah

memprihatinkan, yaitu 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari total penduduk

Indonesia. Jumlah penderita yang bersedia berobat hanya 8,3%, sebagian

besar lainnya enggan dan sebagain besar lainnya lagi tidak punya biaya

(Kompas, 2001). Saat ini semakin banyak terjadi kasus bunuh diri, baik di
Indonesia maupun secara global, yaitu sekitar 90% bunuh diri disebabkan

masalah kesehatan mental dan 90% diantaranya disebabkan depresi.

Pada pasien dengan gangguan kejiwaan baik itu depresi, perilaku

kekerasan, dan berbagai skizofrenia lainnya bisa dilakukan intervensi

dengan terapi seni menggambar karena dengan menggambar pasien bisa

menyalurkan energi yang berlebihan tersebut kedalam sebuah media

gambar. Terapi menggambar menghantarkan klien untuk meminimalisirkan

interaksi klien dengan dunianya sendiri. Mengeluarkan pikiran, perasaan

atau emosi yang selama ini mempengaruhi perilaku yang tidak disadarinya

(emotional chatarsis).

Dilatarbelakangi oleh banyaknya angka kejadian gangguan jiwa

seperti depresi yang disertai dengan perilaku kekerasan serta beberapa hasil

riset mengenai terapi menggambar (art therapy) yang dapat menjadi salah

satu terapi alternatif dalam menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu

yang bersifat kejiwaan.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas terapi menggambar (art therapy)

menggunakan metode Formal Elements Art Therapy Scale (FEATS) dan

the Beck Depression Inventory–Short Form terhadap penurunan skor

depresi.
2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik penderita gangguan jiwa yang diberikan

terapi menggambar (art therapy) menggunakan metode Formal

Elements Art Therapy Scale (FEATS) dan the Beck Depression

Inventory–Short Form terhadap penurunan skor depresi.

b. Mengetahui perbandingan hasil sebelum dan sesudah terapi

menggunakan metode Formal Elements Art Therapy Scale (FEATS)

dan the Beck Depression Inventory–Short Form terhadap penurunan

skor depresi.

C. Manfaat

1. Manfaat bagi pasien dan keluarga

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pencegahan depresi

dengan meningkatkan upaya-upaya memperbaiki pola pikir yang lebih

baik dan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

2. Manfaat bagi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi baru dalam

memberikan pengetahuan dan ketrampilan pada peserta didik dan klien

tentang efektivitas terapi menggambar menurunkan gejala depresi.

3. Manfaat bagi masyarakat

Melalui hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan

dalam memperbaiki pola pikir sehingga terhindar dari gejala depresi.


BAB II
RESUME JURNAL

Judul :

The Effectiveness of Art Therapy in Reducing Depression in Prison Populations

Penulis : David Gussak


Abstrak
Banyak faktor penghambat efektivitas terapi di penjara, di antaranya

ketidakpercayaan dan adanya rasa saling curiga yang pada akhirnya menurunkan

efektivitas terapi lisan yang sudah ada di penjara. Tujuan penelitian ini untuk

mengetahui efektifitas terapi seni dalam menurunkan simptom depresi. Metode

yang digunakan dalam penelitian ada 2 cara yaitu pilot study dan follow-up study.

Hasil signifikan p value = 0,000 atau ada pengaruh terlihat dari nilai p <0,05 yang

menunjukkan hipotesis diterima yang artinya terapi seni dapat menurunkan gejala

depresi. Kesimpulannya terapi seni dapat menurunkan gejala depresi.


Di penjara, pertahanan digunakan untuk pemeliharaan diri sebagai

narapidana dengan cara mengambil keuntungan dari kelemahan dan kerentanan.

Pertahanan yang dilakukan itu bisa berupa berdiam diri, berbohong, dan tindakan

agresif yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Namun di satu sisi seiring

peningkatan kejadian buta huruf menciptakan hambatan tambahan untuk

narapidana berkomunikasi baik secara mental, emosional, dan masalah fisiologis

(Gussak, 1997).
Hambatan-hambatan ini menyulitkan suksesnya pengobatan karena

narapidana yang mencari pengobatan psikiatris tetapi memiliki hambatan di atas

lebih rentan yang secara fisik sehat. Kehidupan penjara bisa menyebabkan

tekanan psikologis dan memperburuk kondisi yang sudah ada (Morgan, 1981).

Hasil data statistik menunjukkan bahwa perawatan kesehatan mental yang


disediakan dalam lembaga pemasyarakatan baik system terapi maupun jenis terapi

yang ditawarkan secara lisan tidak selalu menjadi yang terbaik.


Salah satu penyakit mental yang paling lazim ditemukan di penjara

adalah depresi. Eyestone dan Howell (1994) menemukan bahwa 25% dari 102

narapidana dievaluasi menunjukkan gejala depresi. Sebagian lagi (31%) memiliki

gejala-gejala seperti depresi, tetapi tidak memenuhi American Psychiatric

Association, 1994.
Depresi sering menyebabkan kecenderungan bunuh diri dan perilaku

mencederai diri sendiri. Namun ada beberapa penelitian yang menunjukkan

bahwa depresi dapat diturunkan dengan beberapa cara, di antaranya melalui seni.

Seni di penjara dijadikan sebagai Ekspresi artistik yang merupakan komponen

fundamental dari penjara. Hal ini dibuktikan melalui kerajinan dimana narapidana

dapat mengecat dinding mural, membuat dekoratif amplop yang digunakan untuk

mengirim surat kepada orang yang dicintai, serta tato yang rumit yang dirancang

dan ditampilkan dengan bangga. Kemampuan untuk menciptakan seni yang baik

adalah pembangun status dan bisa mendapatkan rasa hormat dan persahabatan

bagi seniman dari rekan-rekan nya (Gussak & Ploumis-Devick, 2004; Kornfeld,

1997). Gussak (1997) menyatakan ada delapan manfaat yang didapatkan dari

terapi seni di penjara, di antaranya:


1. Seni ini bermanfaat dalam lingkungan penjara, mengingat masih ada cacat

pada populasi ini, dikontribusikan oleh lembaga, tingkat pendidikan yang

rendah, buta huruf, dan lainnya merupakan hambatan untuk komunikasi verbal

dan perkembangan kognitif.


2. Seni memungkinkan ekspresi bahan kompleks dengan cara yang sederhana.
3. Seni tidak mengharuskan terhukum atau klien tahu, mengakui, atau

mendiskusikan apa yang dia telah diungkapkan. Lingkungan berbahaya, dan

setiap pengungkapan yang tidak disengaja dapat mengancam.


4. Seni mempromosikan pengungkapan, bahkan ketika tahanan dan / atau klien

tidak dipaksa untuk mendiskusikan perasaan dan ide yang mungkin bisa

meninggalkan dia rentan.


5. Seni memiliki keuntungan dari melewati pertahanan sadar, termasuk

meresap ketidakjujuran.
6. Seni dapat mengurangi gejala patologis tanpa penafsiran verbal.
7. Seni mendukung kegiatan kreatif di penjara dan menyediakan pengalihan yang

diperlukan dan emosional melarikan diri.


8. Seni memungkinkan pertahanan dan / atau klien untuk mengekspresikan

dirinya dalam cara yang dapat diterima oleh budaya dalam dan luar. Banyak

literatur yang mendukung manfaat tersebut melalui sketsa kasus (Hari &

Onorato, 1989; Liebmann, 1994).


Hasil studi ini dilaporkan untuk memverifikasi beberapa keuntungan dari

terapi seni pada populasi di lembaga permasyarakatan. Studi percontohan

menggunakan quasi-eksperimental kelompok, tunggal pretest / desain posttest.

Untuk studi lanjutan, menggunakan kelompok kontrol desain pretest / posttest.

Hipotesis dari penelitian ini bahwa narapidana yang menerima terapi seni akan

menunjukkan peningkatan yang nyata dalam mengungkapkan suasana hati,

sosialisasi, dan kemampuan pemecahan masalah.


Subjek dan metode penelitian
Subjek penelitian ini laki-laki usia dewasa menengah yang dilakukan di

penjara Florida. Terdiri dari 6 grup yang terdiri dari 8 orang sehingga total

responden 48 narapidana yang dipilih oleh fasilitas kesehatan mental lembaga

permasyarakatan Florida. Narapidana menerima layanan terapi seni selama 4


minggu, dua sesi kelompok per minggu. Rentang usia peserta untuk terapi ini

adalah 21-63 tahun. Kejahatan narapidana berkisar antara pencurian dengan

pembunuhan. Mereka semua memiliki Axis yang didiagnosis seperti dysthymia

atau gangguan bipolar, tipe manik. Semua menghadiri sesi-sesi konseling.


Pengukuran
Terapi seni menggunakan metode Formal Elements Art Therapy Scale

(FEATS). Terapi seni yang dilakukan berbasis penilaian, prestasi, dan survei yang

dikembangkan oleh staf konselor dan peneliti utama. Metode Formal Elements

Art Therapy Scale (FEATS) ini diberikan sekali sebelum intervensi dan sekali

setelah dilakukan intervensi, dengan skor yang dibandingkan hasil dari sebelum

terapi dan setelah terapi. Prosedur terapi seni ini para peserta diminta

menggunakan bahan-bahan seni standar untuk menggambar seseorang yang

memilih sebuah apel dari sebuah pohon (PPAT). Gambar-gambar ini digunakan

untuk pre-dan posttest yang dinilai menggunakan panduan rating (Gantt &

Tabone, 1998).
Penilaian ini menggunakan skala likert dengan rentang nilai 0-5 pada

setiap skala atau karakteristik menggambar dimana karakteristiknya yaitu: warna

menonjol, warna fit, tersirat energi, ruang, integrasi, logika, realisme,

memecahkan masalah, tingkat pembangunan, rincian, kualitas garis, orang, dan

rotasi. Skala rating ini dirancang untuk dapat menentukan beberapa hal, di

antaranya: (a) besar depresi; (b) gangguan bipolar, mania (c) skizofrenia; dan (d)

delirium, demensia, amnestik, dan gangguan kognitif lainnya. Hal itu juga dapat

digunakan untuk menilai perubahan klien dari waktu ke waktu. Sebagai contoh,

Gantt dan Tabone (2003) menggunakan skala likert ini untuk menilai perubahan
gejala pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan skizofrenia sebelum dan

setelah menerima terapi electroconvulsive (ECT).


Kategori diagnostik dinilai berdasarkan peringkat dari kombinasi

beberapa karakteristik. Sebagai contoh, diasumsikan bahwa level depresi rendah

akan menunjukkan warna yang cerah dan menonjol sesuai energi, ruang, realisme,

dan rincian. Dalam penelitian ini, perubahan dievaluasi dengan

mempertimbangkan kriteria diagnostik, alat ini juga digunakan untuk mengukur

perubahan lain, seperti keterampilan sosialisasi umum dan sikap terhadap situasi

tahanan yang berpartisipasi (Gussak, 2004, hlm 247-248).

Survei
Survei terdiri dari tujuh kategori yang berfokus pada interaksi dan

kepatuhan pada aturan penjara dan hasil survey ini diharapkan sesuai dengan

aturan lembaga pemasyarakatan, mensosialisasikan dengan teman sebaya, sikap

optimis terhadap obat, kepatuhan dengan obat, kepatuhan diet, dan pola tidur yang

teratur. Rentang nilai antara 0-5, dengan 0 menunjukkan kepatuhan dan harapan

yang rendah sedangkan 5 menunjukkan sikap positif atau kepatuhan dan harapan

yang tinggi. Konselor kesehatan mental menyelesaikan penelitian baik pre-dan

posttest yang digunakan untuk menilai perilaku peserta, setelah menerima terapi

seni dari lembaga pemasyarakatan dan mengobservasi mereka sendiri pada

populasi umum.
Hasil dan pembahasan
Pre-dan post survey serta hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan

pair-t tes untuk menemukan perbedaan dalam pre dan post. Hasil yang sudah ada

dibandingkan untuk memastikan apakah memang ada perubahan positif setelah

dilakukan terapi. Efek ukuran untuk setiap item pada kedua penilaian dihitung
dengan menggunakan persamaan D Cohen. Survei observasional pre-dan posttest

menunjukkan signifikansi perubahan pada masing-masing dari tujuh item.


Tiga puluh sembilan dari 44 peserta menyelesaikan gambar-gambar pre-

dan posttes. Perubahan pada setiap gambar yang dihasilkan dari 14 skala penilaian

disajikan pada Tabel 1 dibawah ini. Hasil penelitian menunjukkan ada perubahan

yang signifikan dalam tujuh dari 14 skala yang ada, di antaranya: warna menonjol,

warna fit, tersirat energi, ruang, integrasi, rincian objek dan lingkungan serta

kualitas garis. Hasil signifikan atau ada pengaruh terlihat dari nilai p <0,05 yang

menunjukkan hipotesis diterima.

Tabel 2.1. Hasil Pre dan Posttest dengan Perbandingan Metode Formal Elements

Art Therapy Scale (FEATS)

Kategori Pretest Posttest df t Signifikan


Warna yang menonjol 2,81 (1,02) 3,68 (0,92) 38 -4,71 0,000*
Warna fit 3,85 (0,75) 4,12 (0,82) 38 -2,081 0,045*
Tersirat Energi 3,16 (0,68) 3,65 (0,88) 38 -3,22 0,003*
Ruang 3,45 (0,82) 4,20 (0,78) 38 -4,39 0,000*
Integrasi 3,49 (0,70) 3,97 (0,86) 38 -3,13 0,003*
Logika 4,24 (0,84) 4,47 (0,64) 38 -1,61 0,116
Realisme 3,22 (0,79) 3,46 (1,00) 38 -1,69 0,100
Problem solving 3,30 (1,27) 3,68 (1,63) 38 -1,45 0,155
Tingkat perkembangan 3,75 (1,09) 3,88 (0,89) 38 -0,980 0,333
Rincian objek & 2,37 (1,09) 3,24 (1,38) 38 -3,20 0,003*
lingkungan
Kualitas garis 3,67 (0,53) 4,05 (0,60) 38 -3,18 0,003*
Orang 4,15 (0,93) 3,92 (1,33) 38 0,95 0,351
Rotasi 4,97 (0,16) 4,95 (0,32) 38 0,44 0,661
Kekuatan elemen atau 4,77 (0,71) 4,91 (0,43) 38 -1,03 0,311
garis

Hasil penelitian menunjukkan tujuh item dari pengamatan survei pre dan

posttest terlihat signifikan dengan nilai (p ≤ 0,000) atau p value ≤ 0,005. Hal ini

menunjukkan bahwa ada peningkatan yang positif dalam sikap mereka seperti
kepatuhan pada aturan yang diterapkan di lembaga permasyarakatan serta

keterampilan sosialisasi mereka. Peningkatan yang positif ini terlihat pada

perubahan perilaku yang diamati dalam sesi terapi seni. Hasil penelitian

menunjukkan ada perubahan yang signifikan dalam tujuh dari 14 skala yang ada,

di antaranya: warna menonjol, warna fit, tersirat energi, ruang, integrasi, rincian

objek dan lingkungan serta kualitas garis. Hasil tersebut mendukung kesimpulan

bahwa ada penurunan gejala depresi dan peningkatan suasana hati setelah

dilakukan terapi seni.


ANALISIS JURNAL
KELENGKAPAN ISI
BAB NAMA BAGIAN (ADA/TIDAK
ADA)
I A. Abstrak
1. Latar Belakang Ada Banyak faktor penghambat efektivitas terapi di penjara, di antaranya

ketidakpercayaan dan adanya rasa saling curiga yang pada akhirnya

menurunkan efektivitas terapi lisan yang sudah ada di penjara.


2. Tujuan Ada Untuk mengetahui efektifitas terapi seni dalam menurunkan simptom depresi.
3. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 cara yaitu pilot

study dan follow-up study.

Pilot study menggunakan Quasi experiment dengan jenis rancangan single

group pre-posttest static design

Follow-up study menggunakan control group pretest postest design.

Total responden yang mengikuti penelitian ini 48 responden yang terbagi

menjadi 6 kelompok dan tiap kelompok terdiri dari 8 orang. Analisa statistik

yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa statistik simple paired t-test.
4. Hasil Ada Hasil signifikan p value = 0,000 atau ada pengaruh terlihat dari nilai p

<0,05 yang menunjukkan hipotesis diterima yang artinya terapi seni dapat

menurunkan gejala depresi.


5. Simpulan Ada Terapi seni dapat menurunkan gejala depresi.
B. Latar belakang Ada Kehidupan penjara bisa menyebabkan tekanan psikologis dan

memperburuk kondisi yang sudah ada sehingga menimbulkan depresi. Kondisi

tersebut tidak dapat diturunkan dengan terapi yang sudah ada seperti terapi lisan

karena banyak faktor predisposisi yang menjadi penghambat seperti menarik

diri, berbohong, tindakan agresif (perilaku kekerasan) bahkan adanya

peningkatan kejadian buta huruf yang menciptakan hambatan tambahan untuk


BAB III
PEMBAHASAN

A. Depresi
1. Definisi
Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu tidak ada harapan lagi

(Namora, 2009). Menurut PPDGJ III (2001), depresi merupakan suatu gangguan afek

(mood) yang disertai hilangnya minat atau rasa senang dalam semua aktivitas dan waktu

senggang dengan gejala utama yaitu adanya afek depresif, hilang minat dan kegembiraan

serta berkurangnya energi yang meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya

aktivitas.
2. Penyebab Depresi
a. Somatogenik
Penurunan aktivitas seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat

menjadi kurang cekatan. Adanya penurunan tersebut, lansia menganggap dirinya

lemah dan tidak berarti, kondisi seperti ini yang rentan secara psikis (Iyus, 2006).
b. Psikogenik
Ketidakmampuan dalam penyesuaian diri, hubungan dalam keluarga yang tidak

harmonis, peristiwa kehilangan harta benda, kehilangan pekerjaan dan kehilangan

pasangan hidup atau orang yang dicintai dapat menjadi stressor yang akan

menyebabkan keadaan yang tertekan (Jerry, 2008).


c. Sosiogenik
Berkurang kesibukan sosialnya sehingga keterlibatan dirinya dengan lingkungan

pun berkurang. Hal ini akan berpengaruh negatif pada kondisi sosial mereka yang

merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh masyarakat lingkungan dimana ia berada

(Jurgen, 2007).
3. Tanda dan Gejala Depresi
Berdasarkan PPDGJ III diagnosis gangguan jiwa, tanda dan gejala depresi terdiri

atas gejala utama (suasana perasaan yang depresi atau sedih atau murung, kehilangan

minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi yang mengarah pada meningkatnya
keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas) dan gejala tambahan (konsentrasi dan

perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, perasaan bersalah dan

tak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan yang

membahayakan diri (bunuh diri), gangguan tidur, nafsu makan berkurang).


4. Faktor Risiko Depresi
Beberapa faktor risiko gangguan depresi, di antaranya:
a. Usia
Semakin tinggi usia maka semakin besar risiko untuk terjadinya gangguan

depresi maupun kecemasan (Tomader, 2005).

b. Jenis Kelamin
Hasil rata-rata depresi adalah 13,5% dengan perbandingan perempuan dan

laki-laki 14,1 banding 8,6. Dengan demikian, perempuan lebih banyak menderita

depresi karena adanya karakteristik khas perempuan seperti siklus reproduksi,

menopause, dan menurunnya kadar estrogen. Faktor sosial, seperti terbatasnya

komunitas sosial, kurangnya perhatian keluarga, tanggung jawab perempuan untuk

urusan rumah dan mengurus suami yang harus dilakukan sampai usia lanjut (Suryo,

2007).
c. Riwayat Pengobatan
Insidens efek samping obat meningkat dengan bertambahnya umur dan

jumlah obat yang diminum (Umi, 2007).


d. Riwayat Penyakit
Penyakit tipe kronik menyebabkan perasaan putus asa hinggap di dalam diri

sehingga menyebabkan gangguan mood.


e. Riwayat Depresi
Seseorang yang pernah menderita depresi sebelumnya atau mempunyai

riwayat keturunan yang pernah menderita depresi akan lebih memperkuat diagnosis

dari depresi. Hal ini berhubungan dengan faktor biologis sebagai penyebab depresi

yang terdiri dari faktor genetik, gangguan pada otak terutama sistem
serebrovaskuler, gangguan neurotransmitter yaitu serotonin dan perubahan endokrin

(Kaplan & Sadock, 1997)


f. Status Ekonomi
Penghasilan berkurang dan hilangnya fasilitas. Hal ini lambat laun akan

menyebabkan kondisi psikis yang tertekan (depressed miod) (Ratna, 2002).


g. Status Perkawinan
Peristiwa kehilangan pasangan hidup atau ditinggal pasangan hidup yang

dicintai sehingga menjadi janda atau duda dapat membuat seorang mengalami

kesepian dan dapat berakibat hilangnya mood (Kuntjoro, 2002).


h. Status Fungsional
Keadaan status fungsional ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan

fungsi fisik, psikologik maupun sosial (Kuntjoro, 2002).


5. Derajat Depresi
Gangguan depresi dapat ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman

Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III) yang merujuk pada ICD 10

(International Classification of Desease 10) yang dibedakan dalam 3 katagori, yaitu:


1). Depresi Ringan (Mild)
Terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama dan ditambah sekurang-

kurangnya dua dari gejala tambahan yang telah berlangsung sekurang-kurangnya dua

minggu dan tidak boleh ada gejala berat diantaranya.


2). Depresi Sedang (Moderate)
Terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama dan ditambah sekurang-

kurangnya tiga (sebaiknya empat) dari gejala tambahan.


3). Depresi Berat (Severe)
Terdapat sekurang-kurangnya tiga gejala utama dan ditambah sekurang-kurangnya

empat dari gejala tambahan yang telah berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu

dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat.


6. Penilaian Tingkat Depresi
a. Hamilton Depression Ratting Scale (HDRS)
Terdiri dari 21 item pernyataan dengan fokus primer pada gejala somatik dan

penilaian dilakukan oleh pemeriksa dengan hasil:


Tidak dijumpai depresi skor HDRS 0 – 6
Depresi ringan skor HDRS 7 – 17
Depresi sedang skor HDRS 18 – 24
Depresi berat skor HDRS > 24
b. Beck Depression Inventory (BDI)
Merupakan suatu skala pengukuran depresi terdiri dari 13 item yang diberikan oleh

pemeriksa, namun dapat juga digunakan oleh pasien untuk menilai depresinya

sendiri. Skor maksimum untuk setiap kelompok pertanyaan adalah 3. Setelah

dilakukan skoring maka akan didapatkan hasil berdasarkan skor yang diperoleh

yaitu:
0–4 = Depresi tidak ada atau minimal
5–7 = Depresi ringan
8 – 15 = Depresi sedang
>16 = Depresi berat
c. Skala Depresi Geriatrik (SDG)
SDG adalah suatu kuesioner yang terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab

sederhana saja dan hanya dengan menjawab ya atau tidak (Gallo, 1998). Adapun

skornya sebagai berikut:

0–5 = Normal

6 – 15 = Depresi ringan sampai sedang

16 – 30 = Depresi berat
7. Penatalaksanaan Depresi
Menurut Amir (2005), penatalaksanaan depresi adalah sebagai berikut:
a. Psikoterapi
Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan

dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif.


1) Terapi Kognitif (TK)
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha

yang sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-

pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-

kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia dan masa depan

dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah.

Kemudian ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah tersebut dengan
cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal

dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Cara

dapat menjadi modal utama dalam mengubah gejala.


2) Terapi Perilaku
Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari

lingkungan sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama

terapi kognitif. Tujuannya adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan

pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang

menyenangkan.
3) Psikoterapi Suportif
Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan, memberikan kehangatan,

empati, pengertian dan optimisme. Bantu pasien mengidentifikasi dan

mengekspresikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-

faktor presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem

eksternal (misalnya masalah sosialisasi, mengisi waktu luang).


4) Psikoterapi Psikodinamik
Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik yaitu kerentanan psikologik

terjadi akibat konflik perkembangan yang tidak selesai. Terapi ini dilakukan

dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah defisit psikologik

yang menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya, problem

yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah diri berkaitan dengan

pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang buruk, defisit

interpersonal akibat tidak adekuatnya hubungan dengan keluarga.


5) Terapi Kelompok
Ada beberapa keuntungan terapi kelompok yaitu biaya lebih murah, ada

destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan problem yang sama,

memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktekkan


keterampilan perilaku interpersonal yang baru. Terapi kelompok sangat efektif

untuk terapi jangka pendek


6) Terapi Perkawinan
Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai depresi dan dapat

mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubungan

perkawinan merupakan hal penting dalam terapi ini.


7) Terapi Biologik

a). Antidepresan

Sebagian besar penderita depresi membutuhkan antidepresan, dimana

70% - 80% pasien berespons terhadap antidepresan) alaupun yang

mempresipitasi terjadinya depresi jelas terlihat atau dapat diidentifikasi.

Mulailah dengan SSRI atau salah satu antidepresan terbaru. Jika tidak

berhasil, pertimbangkan antidepresan trisiklik atau MAOI atau kombinasi

beberapa obat jika obat pertama tak berhasil.

Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa

antidepresan dapat mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien

bipolar (10% dengan TCA, dengan SSRI lebih rendah tetapi semua konsep

tentang presipitasi manik masih diperdebatkan). Setelah sembuh dari

episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan,

kemudian diturunkan. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan

jangka panjang. Antidepresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi.

b). Lithium

Bermanfaat untuk depresi bipolar akut dan beberapa depresi unipolar.

Ia cukup efektif pada bipolar serta untuk mempertahankan remisi dan begitu

pula pada beberapa pasien unipolar.


c). Antikonvulsan

Antikonvulsan juga sama baiknya dengan lithium untuk mengobati

kondisi akut walaupun kurang efektif untuk pemeliharaan. Antidepresan dan

lithium dapat dimulai bersama-sama dan lithium diteruskan setelah remisi.

Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan antipsikotik,

tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan, lithium antipsikotik atipik

juga terlihat efektif.

d). Terapi Kejang Listrik (TKL)

Merupakan terapi pilihan bila obat tidak berhasil, kondisi pasien

menuntut remisi segera (misalnya bunuh diri yang akut), pada beberapa

depresi psikotik, pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya

pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90% pasien memberikan

respons.

e). Latihan fisik

Lari dan renang dapat memperbaiki depresi dengan mekanisme

biologis yang belum dimengerti dengan baik.

B. Terapi Menggambar

Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan

waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Fokus terapi kelompok

adalah membuat sadar diri (self-awereness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat

perubahan atau ketiganya (Keliat, 2005). Sedangkan terapi menggambar di lihat dari

aktivitasnya termasuk bagian dari terapi aktivitas seni untuk meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan sosial klien. Prinsip terapi menggambar adalah sebagai senjata

penghubung interaksi antara dunia internal klien dengan luar realitas sebenarnya (Ade dkk,

2007).

Sublimasi sangat sesuai untuk diterapkan menjadi konsep utama dalam terapi seni

dan dapat digunakan sebagai proses penyembuhan lewat seni. Lewat proses sublimasi,

perasaan-perasaan primitif yang anti sosial diubah menjadi tindakan-tindakan sosial yang

produktif. Kesenangan dalam mencapai tindakan-tindakan yang diterima sosial dapat

menggantikan kesenangan yang bersifat negatif (Kramer dalam Wibawa, 2008). Sublimasi

merupakan sebuah proses perubahan. Melalui menggambar dan melukis, perasaan dari

frustasi atau kemarahan dapat diubah ke dalam bentuk yang lebih membangun. (Edwards

dalam Wibawa, 2008).

Terapi seni secara harafiah dapat diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin

ilmu, yaitu antara ilmu seni dan psikologi. Dengan demikian, istilah terapi seni, yang secara

verbal terdiri dari kata Terapi dan Seni, secara nyata menggabungkan dua jenis disiplin ilmu,

yaitu seni (Art) dan psikologi (Malchiodi, 1998 dalam Anoviyanti). Tujuan terapi seni

bukanlah untuk menghasilkan karya seni yang estetik, ataupun untuk mengasah bakat untuk

menghasilkan seorang seniman, akan tetapi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh terapi seni

adalah untuk membantu pasien agar merasa lebih nyaman terhadap diri mereka sendiri

(Anoviyanti, 2008).

Menurut Margaret Naumburg dalam Anoviyanti (2008), yaitu mengenai

pernyataannya yang menilai bahwa terapi seni dapat diibaratkan sebagai “Pembicaraan

Simbolik” atau Symbolic Speech. Dalam artian, melalui karya seni, apa yang tidak dapat

dikatakan melalui kata-kata serumit dan sekompleks apapun akan dapat tersalurkan melalui
kegiatan menggambar atau melukis. Pendekatan ini, yang seringkali disebut “Art

Psychotherapy”.

Terapi seni adalah intervensi klinis didasarkan pada keyakinan bahwa proses kreatif

yang terlibat dalam pembuatan seni penyembuhan dan kehidupan meningkatkan. Hal ini

digunakan untuk membantu pasien. Kegiatan menggambar dapat digunakan untuk melatih

proses mental, kemampuan berpikir, mengingat, berimajinasi, mengekspreikan emosi, dan

mengungkapkan emosi, sehingga meningkatkan kemampuan berpikir (Steele dalam

Wibawa, 2008).

Ada beberapa alasan menggunakan terapi seni dengan menggambar, antara lain

adalah :a) menggambar meningkatkan perkembangan jasmani dan motorik klien, b)

menggambar meningkatkan perkembangan emosional dan sosial, c) menggambar

merupakan perminan yang sama sehingga dapat dikerjakan dalam suasana, dan tempat yang

lebih fleksibel, d) menggambar membuat klien belajar untuk kreatif, e) menggambar artinya

membuat suatu permainan ini berarti membuat perasaan klien senang, gembira, dan akhirnya

membangun motivasi hidup yang lebih semangat dan bergairah, f) menggambar memberi

kemungkinan untuk membuat ekspresi dari batin-perasaan klien lewat gambar (Ade dkk,

2007).

Terapi menggambar mempunyai tujuan untuk memberikan kebebasan dari daya

khayal dan membuat klien bersikap spontan dengan sarana gambar, ekspresi yang terbentuk

di batin (dunia klien) terungkap lewat menggambar, mengembangkan daya kreatif klien,

bekerja dengan menggambar memberikan kegembiraan dan kepuasan, serta

mengembangkan dan mengubah mengenai “berkhayal diri sendiri” (Ade dkk, 2007).
Peserta (klien) dalam terapi menggambar yaitu klien yang memiliki kemampuan dari

berpikir primitif ke berpikir dengan suatu bentuk tertentu (abstrak konkrit), serta klien yang

mempunyai kebiasaan mempergunakan tubuhnya (Ade dkk, 2007). Skema dalam melakukan

terapi kreatif seni gambar ini antara lain yaitu terapi ini diadakan satu kali seminggu di unit

rehabilitasi, kelompok ini mengikuti terapi selama satu kali dalam seminggu, setiap kali

terapi kreatif menggambar dilakukan dalam waktu satu jam, dan instruktur tidak boleh lupa

dengan daftar absen dari pasien yang mengikuti (Ade dkk, 2007). Sejumlah penelitian yang

telah dilakukan pada terapi menggambar frekuensi pemberian terapi beraneka ragam mulai

dari 1 kali terapi, 2 kali, 3 kali, 6 kali sampai 8 kali.

Terapi menggambar ini terdiri dari bermacam-macam gambar aktivitas, aktivitas

yang dilakukan ada menggambar dan mewarnai. Pasien bisa leluasa menggambar pada seni

gambar, sedangkan instruktur tidak boleh mengganggu kebebasan pasien (Ade dkk,2007).

a. Menggambar Bebas

Menggambar bebas disebut juga dengan menggambar ekspresi, yaitu bebas

berimaginasi melalui alat gambar pada bidang gambar (Nurhadiat, 2004). Menggambar

bebas bertujuan untuk mewujudkan ide secara kasar dan membantu dalam pembicaran

teknis (Kristianti, 1993). Menggambar sebuah objek yang ada di angan-angan dan

khayalan disebut menggambar ekspresi. Karena objek yang digambarnya merupakan

imajinasi belaka hasil penghayatan seseorang, tidak mungkin hasilnya sama persis

dengan penghayatan orang lain. Dalam hal ini tidak berhak seorangpun menyangkalnya,

karena masalah unsur pribadi perseorangan memang berbeda. Dalam menggambar

ekspresi tidak perlu memikirkan aliran-aliran seni lukis yang akan kita ikuti. Kebebasan

berkarya dan berekperimen merupakan modal dasar yang utama (Nurhadiat, 2004).
Intinya menggambar ekspresi disebut juga menggambar bebas, yaitu bebas

berimajinasi dan bebas bereksperimen, dalam rangka membuat gambar yang memiliki

nilai keindahan dan kepuasan (Nurhadiat, 2004). Pikiran mempunyai penglihatan yang

tidak dibatasi pada tempat dan waktu. Ia dapat membentuk, manipulasi dan mengubah

gambar jauh dari bentuk-bentuk normal yang tidak terikat oleh waktu dan tempat.

Gambar yang dihasilkan biasanya tidak jelas dan susah untuk dijelaskan. Dari gambar

yang kita bayangkan, kita mendayagunakan kemampuan kita untuk berfikir secara visual

dan memberi bentuk pada pikiran dan gagasan kita. Gambar tersebut memberikan respon

bagi pikiran, menstimulasi imajinasi kita untuk lebih jauh lagi dan membuka dialog

antara diri kita dan gambar tersebut untuk eksplorasi dan pengembangan ide lebih jauh

lagi. Dengan demikain menggambar dari imajinasi adalah alat pemikiran yang

meningkatkan proses kreatif (Ching dalam Wibawa, 2008).

b. Menggambar Terstruktur

Terapi seni menggambar terstruktur memunculkan objek-objek dalam bentuk-

bentuk dasar seperti lingkaran, segitiga, dan persegi, hampir pada setiap pasien dan setiap

sesi muncul. Visualisasinya tampak timbul dan tenggelam (fluktuatif), dan juga

divisualisasikan dalam berbagai gaya. Selain lingkaran dalam visualisasi tersebut tampak

juga bentuk-bentuk geometris dasar seperti persegi dan segitiga. Bentuk persegi

merupakan bentuk orisinal yang melingkupi lingkaran (Simon dalam Sukmawati 2010).

Lingkaran dalam persegi adalah bentuk integrasi image yang paling dini, yang

melambangkan kebutuhan kita untuk menjadi diri kita sendiri, selain itu juga merujuk

pada kebutuhan untuk terhubung dengan dunia luar, dan disaat yang bersamaan juga

memisahkan diri darinya sedangkan untuk bentuk segitiga, penulis berasumsi bahwa
simbol tersebut erat kaitannya dengan transendensi Ilahiah. Atau dengan kata lain terkait

pada kebutuhan akan ketuhanan, terkait dengan aspek religious (Simon dalam

Anoviyanti, 2008).

c. FEATS

FEATS merupakan Elemen Formal Skala Terapi Seni (prestasi) yang mencakup

skala rotasi untuk mengukur sudut atau kemiringan benda, seperti pohon atau seseorang

yang tertuang dalam gambar. Rotasi telah terbukti menjadi kriteria penting dalam

membedakan kelompok pasien tertentu, seperti skizofrenia dan gangguan otak organik.

Rotasi telah terbukti menjadi kriteria yang membedakan kelompok pasien tertentu,

seperti skizofrenia dan gangguan otak organik. Namun, skala ini terlalu sulit untuk

melihat outcome secara akurat oleh penilai.


Gb.1

Menggambar dari seorang wanita 40 tahun datang dengan skizofrenia (atas), dan

menggambar dari seorang laki-laki 24 tahun didiagnosis dengan gejala skizofrenia dan co-

terjadi depresi (bawah).

Gb.2

Asli prestasi skala rotasi (kiri), dan skala dihitung dirujuk dalam penelitian ini.
d. PPAT

PPAT merupakan salah satu jenis test menggambar dimana seseorang

menggambarkan sedang mengambil sebuah apel dari pohon dengan cara tersendiri. Dari

cara yang digunakan dapat terlihat bentuk, garis, dan warna yang digambarkan dengan

media gambar seperti spidol, pastel atau pensil warna. Gambar kemudian dapat dinilai

dengan beberapa kriteria seperti keunggulan warna ,

pilihan warna, tingkat perkembangan, energi, kualitas garis, realisme, logika, detail

dengan pemecahan masalah. Hasil gambar dapat diinterpretasikan dengan beberapa hal

salah satunya seseorang dengan depresi mungkin

memiliki keunggulan rendah warna, detail dan dapat menunjukkan beberapa kesulitan

dalam pemecahan masalah untuk memilih apel.

Gb.3
C. Implikasi
Beberapa implikasi yang dapat diambil dari pemberian terapi menggambar ini di

antaranya :

1. Pasien

Bisa dijadikan sebagai salah satu terapi alternative yang bisa dijadikan pendamping

terapi medis terhadap klien dengan depresi. Terapi menggambar ini tidak hanya bisa

dilakukan di rumah sakit tetapi juga bisa dilakukan dirumah. Pada pelaksanaan terapi

jenis gambar yang dipilih tidak diperhatikan karena pasien bebas menggambar apa saja

baik menggambar bebas maupun terstruktur.

2. Rumah Sakit

Karena terapi ini bisa dilakukan di rumah maka sebagai perawat kita bisa menjadikan

terapi menggambar sebagai terapi yang bisa dijadikan sebagai bahan ketika melakukan

home visit kepada pasien dengan gangguan atau gejala depresi. Kemudian dapat

menjadi pilihan alternative terapi rehabilitasi medic.

3. Mahasiswa

Melatih caring sebagai calon perawat sehingga ketika turun di lahan praktek akan

terbiasa memperlakukan perawatan pada pasien dengan gangguan depresi. Mahasiswa

bisa mengaplikasikan terapi menggambar sebagai salah satu kegiatan yang bisa

dilakukan sebagai salah satu terapi rehabilitasi medik.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Karakteristik responden yang mengikuti terapi seni di antaranya narapidana yang telah

tercatat melakukan kejahatan seperti pencurian, penggunaan obat-obatan terlarang, dan

pembunuhan. Mereka semua memiliki Axis yang didiagnosis dysthymia atau

gangguan bipolar, tipe manik.


2. Hasil penelitian menunjukkan ada perubahan yang signifikan dalam tujuh dari 14 skala

yang menjadi indikator penilaian, di antaranya: warna menonjol, warna fit, tersirat

energi, ruang, integrasi, rincian objek dan lingkungan serta kualitas garis. Hasil

signifikan atau ada pengaruh terlihat dari nilai p≤0,000 yang berarti nilai p≤0,05 dan

menunjukkan terapi seni berpengaruh terhadap penurunan gejala depresi.

B. Saran
Hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memodifikasi metode-

metode diberikan pada responden. Rekomendasi peneliti seperti menambahkan jumlah

frekuensi menggambar yang diberikan kepada klien, sehingga hasilnya bisa lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Ade, S., Hendarsih, S., Gofur, A., & Riwidikdo H. 2007. Terapi Modalitas dalam Keperawatan
Kesehatan Jiwa, Jogjakarta, Mitra Cendekia.

Ahmad, I. H, 2009, Pengaruh Terapi Senam Aerobik terhadap Penurunan Skor Agession Self
Control Pada Pasien dengan Risiko Prilaku Kekerasan di Ruang Sakura RSUD
Banyumas, Skripsi, UNSOED.

Anoviyanti R.S., 2008, Terapi Seni Melalui Melukis pada Pasien Skizofrenia dan
Ketergantungan Narkoba, ITB J. Vis. Art & Des. Vol. 2, No. 1, 2008, 72-84, Bandung.

Baihaqi, Sunardi.,Akhlan, R., & Heryati, E., 2007, Psikiatri, Refika Aditama, Bandung.

Hanauer, D. R., Identifying Conflicts of Anorexia nervosa as manifested in the Art Therapy
process, The Arts in Psychotherapy, 2003, (30) September, pp 137-149.

IOWA Outcome Projects, 2003, Nursing Outcome Classification (NOC), 3rd Edition, IOWA,
Mosby.

Keliat, B. A., & Akemat, 2004, Keperawatan Jiwa:Terapi Aktifitas kelompok., EGC, Jakarta.

Keliat, B. A., 2005, Keperawatan Jiwa, EGC, Jakarta.

Malchiodi, C. A., 2006, Medical Art Therapy With Children, Guilford Publication, New York.

Maramis, W. F., 2004, Ilmu kedokteran jiwa, Airlangga University Press, Surabaya.

McCloskey & Bulecheck, 2000, Nursing intervension Classification, IOWA, Mosby.

Mukhtar, D., & Hadjam, N. R., Efektivitas Art Therapy untuk meningkatkan Ketrampilan Sosial
pada Anak yang Mengalami Gangguan Perilaku.Psikologika, 2006, (Volume 2, No. 1)
Juni, pp 16-24.

Nainis, Nancy, et al., Relieving Symptoms in Cancer: Innovative Use of Art Rherapy, Journal of
Pain and Symptom Management, 2006, (Vol. 3 No. 2) February, pp 162-169.
Nurhadiat, Dedi., 2004, Pendidikan Seni Rupa, Grasindo, Jakarta.

Nurjannah, I., 2005, Pedoman Penanganan pada Gangguan Jiwa, Mocomedia , Yogyakarta.

Stuart, G. W., & Sundeen, S. J., 1998, Buku saku keperawatan jiwa, (Edisi 3) Alih bahasa, Achir
yani, EGC, Jakarta.
Sukmawati, A., 2010, Pengaruh Terapi Seni Menggambar terstruktur terhadap Penurunan Skor
Agession Self Control Pada Pasien dengan Risiko Prilaku Kekerasan di Ruang Sakura
RSUD Banyumas, Skripsi, UNSOED.

Tomb, D. A., 2004, Buku Saku Psikiatri, EGC, Jakarta.

Townsend, C, Mary, 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri (edisi 3), EGC, Jakarta.

Utari, D., 2007, Pengaruh Menggambar Sebagai Terapi Bermain Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan pada Anak yang Akan Menjalani Prosedur Khitan, Skripsi, UNIBRAW.

Wibawa, H.M., 2008, Pengaruh Finger Painting terhadap Perubahan Perilaku Agresif Anak
TK.B di Sekolah XXX Suatu Studi Kasus dari XXX, Skipsi, UPH.

Witojo, D., & Arif W., Pengaruh Terapi Komunikasi Teraupetik terhadap Penurunan Tingkat
perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia di RSJ Daerah Surakarta. Berita Ilmu
Keperawatan, 2008, (Vol.1 No.1) Maret, pp 1-6.

Yosep, I., 2007, Keperawatan Jiwa, Refika Aditama, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai