Anda di halaman 1dari 21

BAB V

Pelatihan Psikoedukasi

Istilah “psikoedukasi” pertama kali digunakan oleh Anderso et al dan


digunakan untuk mendiskripsikan konsep tarapeutik perilaku yang terdiri dari 4 elemen;
menginformasikan kepada pasien tentang penyakit mereka, pelatihan pemecahan
masalah, pelatihan komunikasi dan pelatihan ketegasan, di mana kerabat juga terlibat.
Istilah psikoedukasi mencakup intervensi sistematis dan pengajaran
psikoterapi, cukup untuk memungkinkan pasien dan kerabatnya memahami penyakit
dan metode pengobatannya, membantu individu memahami penyakit dan mengobatinya
secara pribadi dengan tanggung jawab, serta memberikan dukungan bagi pasien yang
menderita penyakit tersebut. Dalam terapi perilaku dapat ditemukan akar dari
psikoedukasi, meskipun konsep saat ini juga mencakup elemen terapi yang berpusat
pada pasien dengan berbagai tingkatan.

Pelatihan psikoedukasi untuk penderita skizofrenia

Skizofrenia merupakan penyakit yang membutuh kan waktu lama untuk


oenyembuhan. Tingkat kekambuhan bisa saja tinggi dan hal ini sering dikaitkan dengan
ketidak patuhan pengobatan. Ada berbagai penyebab ketidakpatuhan, termasuk defisit
informasional, konsekuensi gejala psikopatologis, seperti gangguan kognitif atau
wawasan yang buruk tentang penyakit, respons subjektif terhadap pengobatan, dan efek
samping.

Kebanyakan individu memiliki cara alami untuk mengatasi berbagai


tuntutan dalam kehidupan sehari-hari. dalam beberapa kasus periode pertama dari
depresi berat atau ganguan kecemasan biasanya pengalaman depresi dan kecemasan
sebelumnya bisa dilewati dan kebanyakan pasien bersama kerabat tidak dapat
menggunakan repertoar perilaku mereka yang ada untuk mengimbangi kekurangan
energi dan minat yang tiba-tiba.

Namun, karena depresi dan ketakutan tidak pernah sepenuhnya baru,


setidaknya pada tahap awal, tingkat pengobatan tertentu dapat diberikan untuk depresi
berat dalam banyak kasus.
Namun, episode pertama dari penyakit skizofrenia adalah pengalaman baru
dan tidak bisa dipahami. Gejala yang muncul, termasuk mendengar suara, halusinasi
sentuhan, delusi, penyisipan pikiran pikiran tidak teratu, dll. Sama seklai tidak bisa.
Oleh karena itu, kebanyakan pasien dan kerabat tidak berdaya dan bertinak dengan tidak
terkoordinasi. Gejala khusus skizofrenia biasanya sangat aneh dan tidak jelas bagi
warga biasa, sehingga bagi orang yang sebelumnya telah terbukti sukses dan
berkembang dalam hidup mereka pasti akan merasa bahwa mereka tidak dapat
mempercayai apa yang terjadi.

Agar pasien dan keluarga dapat mengambil peran konstruktif terbesar dalam
pengobatan penyakit skizofrenia sejak tahap awal, mereka harus memiliki “kemampuan
dasar” dalam memahami dan menangani skizofrenia. Karena hal itu, psikoedukasi perlu
mengajarkan kepada mereka apa saja yang menyebabkan skizofrenia dan bagaimana
pengobatannya.

Dalam setiap kasus, pemberitahuan awal harus dibuat oleh terapis yang
berkompeten dan penuh kasihuntuk melawan preses kauslitas dan mengontrol gangguan
atribusi di satu sisi, dan di sisi lainuntuk mencegah ketidakpastian yang tak terelakkan
dalam profesi. Mendampingi pertukaran informasi spesifik tentang psikosis skizofrenia.

Bisa menggunakan brosur, buku dan video sebagai fungsi pendukung


dengan mempardalam dan menstabilkan konten transmisi lisan. Namun, setidaknya
selama periode pertama penyakit mental, seseorang tidak boleh salah dlam memahami
penggunaan berbagai bentuk media untuk menggantikan dukungan dan pengawasan
secara langsung.

Salah satu cara memberikan pelatihan psikoedukasi untuk penderita


skizofrenia yaitu dengan film. Menggunakan film untuk mendidik pasien tentang
skizofrenia dan gangguan skizoafektif adalah pendekatan hemat biaya dan waktu, yang
diterima dengan baik oleh sebagian besar pasien.

Program psikoedukasi bisa dilakukan dengan memberikan atau


menayangkan film dengan durasi masing-masing 17 menit. Dan film-film itu adalah
bagian dari program psikoedukasi yang besar. Film berisi mengenai informasi obyektif
tentang skizofrenia. Film diputar terus menerus dengan urutan yang tetap; 1. Gejala
skizofrenia, 2. Diagnosis dan penanganan skizofrenia, 3. Penyabab skizofrenia, 4. Efek
samping dari pengobatan, 5. Tanda peringatan sebelum kambuh, 6. Pengaruh anggota
keluarga dan teman. Di akhir setiap sesi, pasien diminta untuk memberikan evaluasi
singkat tertulis tentang film tersebut. 

Psikoedukasi melalui film dapat menjadi alat yang berguna dalam berbagai
situasi. Misalnya, dapat digunakan di rumah sakit yang kekurangan staf. Pasien dapat
memulai prosedur di rumah sakit dan terus menonton film setelah keluar, atau
menontonnya nanti. Kerabat akan memiliki akses ke informasi tentang skizofrenia,
meskipun tidak ada grup untuk mereka. Selain itu, film-film tersebut dapat digunakan
untuk mendidik karyawan baru. Oleh karena itu, film dapat digunakan sebagai
suplemen multifungsi untuk pemrosesan standar, terutama bila sumber daya terbatas.

Psikoedukasi untuk keluarga penderita skizofrenia

Pendidikan psikologi keluarga adalah layanan pendukung dan informasional


yang dilaksanakan dalam skala global, yang bertujuan untuk memberikan informasi
faktual kepada pasien penyakit mental dan staf perawat tentang penyakit mental. Para
profesional kesehatan mental menyediakan layanan ini untuk mengubah dan
meningkatkan pengetahuan mereka tentang penyakit mental dan memungkinkan mereka
untuk secara lebih efektif menangani konsekuensi dari penyakit mental yang
menghancurkan seperti skizofrenia dengan cara yang realistis. Ini menggunakan teknik,
metode dan metode pendidikan untuk membantu memulihkan dari efek melumpuhkan
penyakit mental, atau sebagai tambahan untuk perawatan pasien mental dan / atau
pengasuh mereka. Ini telah menghasilkan kemanjuran dan efektivitas pengobatan
berbasis bukti dalam meningkatkan kepatuhan dan mencegah kekambuhan.

Metode psikoedukasi keluarga menyadari bahwa skizofrenia adalah


penyakit otak destruktif yang dapat disembuhkan sebagian dengan obat-obatan
psikotropika terbaru, dan keluarga dapat memainkan peran penting dalam proses
pemulihan kerabat mereka dan pencegahan kekambuhan. Penelitian tentang
psikoedukasi keluarga menunjukkan bahwa pada kelompok klinis ini, khususnya di
kalangan pengasuh, setelah dilakukan intervensi psikoedukasi keluarga, hasilnya sangat
menjanjikan. Lebih dari 30 penelitian berbasis bukti yang dilakukan di bidang ini telah
menunjukkan bahwa setelah psikoedukasi keluarga, tingkat kekambuhan partisipan
telah berkurang, pemulihan pasien telah meningkat, dan kesejahteraan keluarga telah
meningkat. Ini termasuk partisipasi empati, pendidikan, dukungan berkelanjutan,
sumber daya klinis di saat krisis, dan peningkatan jaringan sosial.

Dalam kurun waktu singkat dilakukan psikoedukasi keluarga selama 1½


bulan, kemudian dilakukan evaluasi. Oleh karena itu, ini mungkin salah satu alasan staf
perawat dapat mempertahankan tingkat pertukaran informasi terbesar dengan mereka,
yang dapat membantu mereka mengubah kesalahpahaman dan konsep tentang penyakit
mental, dan dapat mengurangi beban perawatan mereka bahkan dalam waktu yang
relatif singkat, dan dengan demikian menghasilkan peningkatan kualitas hidup. Selain
itu, dalam kasus ini, kelompok pengasuh pasien skizofrenia berinteraksi dengan
pengasuh lain yang menghadapi masalah serupa atau bahkan lebih serius. Hal ini
membuat mereka sadar akan universalitas beban perawatan. Dalam kursus pendidikan
psikologi keluarga, anggota dapat mempelajari keterampilan koping dan pemecahan
masalah baru dari pengasuh sebaya di lingkungan yang penuh kasih.
Pelatihan Psikoedukasi untuk Penderita Depresi

Depresi

Pada orang awam depresi didefinisikan sebagai keadaan emosi atau sedih,
susah, murung, tidak bahagia, dan kehilangan semangat hidup. Namun, secara ilmiah
menurut Sue dkk. (1986) depresi ialah suatu keadaan dimana emosi seseorang memiliki
karakteristik seperti perasaan sedih, merasa tidak berharga, merasa gagal, dan menarik
diri dari lingkungan sosialnya. Dijelaskan oleh Leitenberg & Wilson (1986), bahwa
depresi menunjukan adanya kontrol diri yang lemah, dimana para penderita depresi
memiliki evaluasi diri negatif, suka menghukum diri, harapan terhadap performance
yang rendah, dan kurang memberikan reward kepada diri sendiri
(SulistyorWandansariini & Sabarisman, 2017).

Menurut data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) kecemasan dan


depresi adalah gangguan jiwa dengan tingkat kasus penderita terbanyak. Terdata sekitar
322 juta penderita depresi di seluruh dunia, dengan persenan sebesar 4,4% dari populasi
di dunia. Bagian dunia yang menyumbang penderita depresi terbesar ialah dari bagian
Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Depresi memberi dampak yang cukup besar pada
individu, sekitar 800.000 orang di setiap tahun mengalami kematian akibat bunuh diri
karena menderita depresi berat. Pada hasil penelitian WHO, depresi dan kecemasan
mengurangi produktivitas sumberdaya manusia dan mengakibatkan kerugian ekonomi
global sebesar 1 Triliyun USD per tahunnya (HIMPSI, 2020).

Indonesia diperkirakan memiliki kasus depresi sebesar 15,6 juta pada saat
ini. Dengan peningkatan kasus yang terus berkembang menyebabkan depresi menjadi
penyakit yang memiliki presentase kasus tertinggi kedua setelah penyakit jantung di
Indonesia. Depresi yang berkelanjutan sering berujung dengan tindakan bunuh diri.
Lagi, Indonesia menyumbang presentase jumlah kematian akibat bunuh diri terbesar di
Asia Tenggara (halodoc.com).

Tingginya kasus kematian akibat bunuh diri di Indonesia, sering terjadi


karena dilatarbelakangi oleh penyakit mental, depresi. Sehingga butuh penindakan yang
tepat untuk menanggulangi depresi. Depresi walaupun merupakan penyakit yang tidak
menular dan tidak terlihat, penyakit mental ini bisa menjangkit kepada siapapun, baik
pada anda, saudara, orangtua, sahabat, ataupun orang-orang terdekat lainnya.
Psikoedukasi untuk Penderita Depresi

Psikoedukasi merupakan salah satu cara yang dapat diberikan untuk


menanggapi kasus depresi. Depresi adalah salah satu penyakit mental yang akan sangat
efektif apabila ditanggulangi dengan pendekatan psikologis. Pada penderita depresi,
perlu dukungan yang besar baik dari dalam dirinya, orang tua, atau pun lingkungan
sekitarnya agar dapat bertahan dan sembuh dari depresi yang diderita. Seringkali kasus
depresi akan berakhir dengan stigma bunuh diri.

Penderita yang merasa bahwa hidupnya sangat menyusahkan dan merasakan


tidak lagi berguna untuk hidup seringkali memilih jalan untuk mengakhiri hidupnya.
Penderita menganggap bunuh diri dapat menghentikan derita yang ia rasakan, hingga
stigma bunuh diri menjadi sangat umum bagi penderita depresi.

Salah satu penyebab depresi yang sering berujung dengan kematian ialah
kasus perundungan. Melansir dari CNN, perundungan memberikan dampak jangka
panjang dan jangka pendek bagi penderitanya. Seseorang yang mengalami perundungan
akan memiliki masalah pada kesehatan mentalnya. Korbal bullying memiliki
kemungkinan untuk mengalami kecemasan dan depresi. Kemudian, berakhir dengan
keinginan untuk melakukan bunuh diri. Stigma bunuh diri yang hadir ini, menjadi
ancaman paling berbahaya bagi penderita depresi. Diperlukan pendidikan dan
pemahaman untuk dapat mengatasi pemikiran bunuh diri pada penderita depresi agar
tidak mengakhiri hidup.

Depresi sendiri dapat dipicu dari beragam peristiwa tidak hanya disebabkan
oleh perundungan, melainkan seperti pengalaman melihat kekerasan pada masa lalu,
kegagalan dalam suatu hal, putus cinta, KDRT, pelecehan seksual, dan berbagai
peristiwa negatif yang dapat terjadi di kehidupan sehari-hari. Pada pendekatan
psikologis, psikologi menawarkan pendidikan kesehatan yang menjadi intervensi
sistematis dan pengajaran psikoterapis kepada penderita dan keluarganya terkait
pemahaman pada penyakit depresi, metode menghadapi depresi, dan bagaimana
pengobatan terhadap depresi.

Psikoedukasi memiliki beragam program yang dapat diberikan untuk


memberi pengetahuan pada penderita dan keluarga penderita terkait penyakit mental,
depresi. Baik pada penderita depresi akibat perundungan, kekerasan, pelecehan,
penyakit, dll. Psikoedukasi memberikan pelatihan, pendidikan, pengetahuan, dan
pemahaman untuk menanggulangi depresi.

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh tiga orang mahasiswa


Universitas Padjajaran, Fakultas Keperawatan, mereka meneliti apakah psikoedukasi
dapat menurunkan tingkat depresi, stres, dan kecemasan pada penderita penyakit
Tuberkulosis Paru. Pada penelitian, mereka menggunakan metode psikoedukasi aktif
dan pasif. Dimana psikoedukasi pasif digunakan untuk mendukung psikoedukasi aktif
yang diberikan terlebih dahulu. Hasil penelitian yang diberikan menunjukan bahwa
psikoedukasi efektif untuk menurunkan tingkat depresi, stres, dan kecemasan terhadap
masalah psikososial yang dihadapi oleh penderita Tuberkulosis Paru (Suryani et al.,
2011).

Psikoedukasi telah terbukti dapat memberikan efek untuk menurunkan


tingkat depresi, stres, dan kecemasan pada penderita masalah psikososial. Terdapat dua
bentuk psikoedukasi yang dapat diberikan kepada penderita depresi, yaitu psikoedukasi
bentuk aktif dan psikoedukasi bentuk pasif. Menurut penjelasan Donker, Griffiths,
Cuijpers, & Christensen (2009) terkait psikoedukasi aktif dan pasif, “Psikoedukasi aktif
melibatkan berbagai macam tugas aktif seperti meditasi sehingga umumnya digabung
dengan psikoterapi lain, sementara psikoedukasi pasif tidak melibatkan tugas aktif.”
(Natasubagyo & Kusrohmaniah, 2019).

Pada psikoedukasi dalam bentuk aktif bisa berupa pemberian seminar


kepada penderita dan membuka sesi tanya jawab (diskusi) diakhir pertemuan.
Psikoedukasi bentuk aktif berupa adanya peran aktif dari pihak konselor dan pengguna
sesi konseling. Pada psikoedukasi diharapkan penderita dapat menceritakan
perasaannya dan mendapatkan pemahaman yang benar terkait depresi atau penyakit
mental yang di deritanya. Kemudian, psikoedukasi dalam bentuk pasif bisa berupa
pemberian booklet, video, film, pamflet, ataupun modul. Hal tersebut bertujuan agar
penderita depresi yang telah mengikuti sesi psikoedukasi secara aktif sebelumnya dapat
mengulang kembali materi dan pengetahuan yang telah disampaikan dirumah.

Untuk menurunkan tingkat depresi pada penderita depresi dengan


menggunakan pelatihan psikoedukasi melalui upaya memberi pemahaman terkait
depresi yang ia derita. Agar penderita depresi dapat menerima dirinya dan senantiasa
memahami penyakit mental yang ia derita. Sehingga dapat diambil tindakan dan
pengobatan yang baik.

Penderita depresi sebaiknya mengikuti pelatihan psikoedukasi secara aktif


dengan mengikuti sesi konseling. Dengan tujuan agar penderita depresi mendapatkan
pengetahuan terkait depresi yang ia alami. Bagaimana cara bertahan dari depresi yang ia
alami. Dengan pengetahuan mengenai depresi yang diberikan oleh Konselor melalui
Psikoedukasi, bisa memberi pemahaman kepada penderita. Konselor yang memberikan
sesi konseling akan memberikan pengetahuan mengenai apa itu depresi, gejala-gejala
depresi, bagaimana depresi dapat disembuhkan, serta bagaimana cara-cara untuk
penderita agar dapat bertahan dan melalui depresi yang ia alami. Penderita juga
berperan aktif untuk mengutarakan pemahaman yang ia miliki terkait depresi yang
kemudian dapat di diskusikan kepada Konselor

Penderita harus bisa menerima keadaan bahwa ia mengalami depresi. Jika


penderita sudah berhasil menerima keadaan dan mengetahui secara baik mengenai
depresi, maka besar kemungkinan akan terjadi penurunan tingkat depresi, stres, ataupun
kecemasan. Apabila penderita depresi, ternyata juga mengalami gejala traumatik. Besar
kemungkinan Konselor dapat memberikan psikoterapi sejalan dengan psikoedukasi
yang juga ia berikan.

Penderita depresi juga perlu mendapatkan psikoedukasi dalam bentuk pasif.


Supaya memastikan pemahaman dan pengetahuan yang diberikan selama sesi konseling
dapat diperkuat. Bentuk psikoedukasi pasif yang bisa diterima oleh penderita depresi
salah satunya berupa modul. Modul yang diberikan berisi mengenai literasi depresi. Di
dalam modul tersebut akan menjelaskan depresi secara jelas, sehingga dengan modul
tersebut penderita dapat semakin memahami dan dapat mengulang pembahasan serta
diskusi psikoedukasi yang sebelumnya dibahas pada sesi konseling. Sehingga pelatihan
psikoedukasi bisa menghasilkan hasil yang terbaik, penderita depresi pun bisa melalui
masa sulit dan bisa terhindar dari dampak terburuk yang diberikan oleh depresi.

Psikoedukasi untuk Keluarga Penderita Depresi

Masih banyak keluarga yang tidak tahu bagaimana cara untuk mendukung
anggota keluarga mereka yang mengalami penyakit mental, depresi. Hal ini menjadi
latarbelakang pentingnya psikoedukasi bagi pihak keluarga penderita. Dukungan dari
keluarga menjadi salah satu faktor yang mendukung keberhasilan penderita depresi
untuk dapat survive. Perlu diketahui bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang
bisa membantu dan membawa penderita depresi untuk dapat melewati masa depresinya
dengan baik. Apabila penderita depresi tidak memiliki dukungan dari keluarganya,
kemungkinan akan terjadi ketimpangan dan celah yang besar untuk meningkatnya
tingkat depresi.

Dukungan keluarga dapat membantu penderita depresi untuk merasa


percaya diri dan termotivasi untuk bisa melewati masa depresi mereka. Dengan adanya
support dari keluarga, penderita akan merasa nyaman dan tidak timbul kecemasan yang
dapat membuat depresi yang di deritanya semakin parah.

Psikoedukasi mengenai dukungan sosial keluarga pernah diteliti sebelumnya


pada penelitian Universitas Sebelas Maret, oleh skripsi mahasiswa Fakultas Kedokteran
dengan judul penelitian “Pengaruh Psikoedukasi Mengenai Dukungan Sosial Keluarga
dalam Menurunkan Kecemasan pada Pasien Depresi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa
Daerah Surakarta”. Pada penelitiannya, terbukti bahwa psikoedukasi dukungan sosial
keluarga yang diberikan membantu menurunkan tingkat kecemasan yang dialami oleh
penderita depresi rawat jalan. Ketika pasien depresi rawat jalan keluar dari Rumah Sakit
Jiwa dan menjalani rawat jalan, maka penderita depresi harus terpaksa bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya, salah satunya keluarga penderita. Menurut Friedman
(1998), dalam konsep psikologis, penderita depresi tentu sangat membutuhkan
dukungan sosial untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya agar tidak ada
peningkatan kecemasan yang berakibat memperparah depresi yang diderita. Dan
keluarga adalah dukungan sosial yang diperlukan oleh penderita depresi (Mahmud et
al., 2015).

Telah disebutkan bahwa keluarga merupakan elemen penting untuk


membantu proses adaptasi penderita terhadap lingkungan sekitarnya. Bantuan keluarga
sangat berguna untuk proses pemulihan dan pengobatan dari depresi. Untuk
memaksimalkan serta memberikan pengertian kepada keluarga penderita, maka peran
psikoedukasi mulai aktif. Psikoedukasi mengenai pentingnya dukungan sosial dari
keluarga berupa sesi konseling kepada keluarga penderita. Dimana peran konselor untuk
memberikan pemahaman mengenai penyakit depresi serta bagaimana cara keluarga
memberi support pada penderita. Konselor akan menerangkan bagaimana pentingnya
dukungan sosial dari keluarga bagi penderita depresi. Sehingga keluarga tidak perlu lagi
merasa bingung terhadap tindakan apa yang harus mereka berikan kepada anggota
keluarga yang menderita depresi.

Konselor juga akan memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai


seluk beluk terkait depresi, apa saja hal-hal yang kemungkinan dapat terjadi pada
penderita depresi sehingga dapat diantisipasi, dan penyikapan yang tepat untuk diambil
oleh keluarga penderita depresi. Menurut Stuart dan Laraia (20025), psikoedukasi
terhadap keluarga penderita membantu meningkatkan kemampuan kognitif keluarga
karena pada proses psikoedukasi, terkandung unsur pengetahuan tentang penyakit,
teknik yang membantu keluarga mengetahui gejala-gejala penyimpangan perilaku, dan
pemberian dukungan pada anggota keluarga yang menderita penyakit (Soedirman &
Journal, 2007).

Ketika keluarga dapat memahami dan memiliki kemampuan kognitif untuk


menyikapi depresi yang dialami oleh penderita. Akan terjadi proses dukungan yang
memberi bantuan dan motivasi bagi penderita depresi. Keluarga juga dapat mengontrol
dan membantu proses pemulihan yang dijalani oleh penderita depresi. Kepedulian dan
perasaan nyaman yang diberi dari keluarga sangat berarti bagi penderita depresi untuk
membantunya beradaptasi kembali dengan keadaan serta menghilangkan pikiran untuk
berlaku menyimpang. Psikoedukasi berupa konseling untuk keluarga penderita depresi
harus memberikan kemampuan kognitif yang mempersiapkan keluarga agar dapat
mengawasi dan merespons dengan baik setiap kondisi yang ada dengan tujuan dapat
membantu penderita depresi untuk tidak memperparah depresi yang dideritanya.

Pada psikoedukasi yang diterima oleh keluarga, harus memberikan


pengetahuan sehingga dapat memiliki ketrampilan untuk bertingkah laku dan memiliki
kendali pada diri mereka sendiri untuk terhindar pula dari kecemasan selama merawat
serta memberi dukungan kepada penderita depresi. Psikoedukasi dukungan sosial
keluarga yang diberikan tidak hanya berupa bagaimana cara memberi dukungan kepada
penderita depresi, tetapi juga memberikan pengetahuan agar keluarga memiliki
ketrampilan yang baik pula untuk diri mereka sendiri agar tidak mengalami kecemasan
berlebih saat memberi dukungan kepada penderita depresi.

Selanjutnya, bentuk psikoedukasi yang dapat diberi tanpa memerlukan


aktivitas aktif ialah melalui pemberian video edukasi yang berisi mengenai penjelasan
depresi, gejala, dampaknya, dan cara menghadapi depresi. Melalui bentuk pelatihan
psikoedukasi ini dapat dilakukan bersama-sama dengan penderita depresi. Keluarga dan
penderita depresi dapat memahami dan mendapatkan pengetahuan kognitif terkait
depresi. Dengan menggunakan video edukasi, keluarga dapat memahami melalui
ilustrasi-ilustrasi yang ditampilkan pada video edukasi tersebut. Penggunaan video
edukasi untuk salah satu cara pemberian psikoedukasi yang bisa dilakukan tanpa
membutuhkan tugas aktif dari keluarga penderita.

Setelah dilaksanakan psikoedukasi terkait dukungan sosial keluarga


diharapkan bisa memberi pengetahuan dan dapat membuat keluarga cepat tanggap
dalam menghadapi situasi terkait cara membantu anggota keluarga yang menderita
depresi. Kembali, keluarga merupakan elemen penting bagi kemajuan proses pemulihan
penderita depresi. Kontribusi keluarga sangat berpengaruh baik untuk menanggapi
kecemasan yang bisa sewaktu-waktu timbul pada penderita depresi.

Psikoedukasi yang merupakan pemberian bentuk pendidikan untuk


memahami dan mengetahui pemahaman kognitif terkait suatu penyakit agar dapat
memiliki ketrampilan untuk mengatasi serta bertindak secara tepat untuk mencegah
peristiwa ataupun dampak yang tidak diinginkan dari suatu penyakit supaya tidak
terealisasi. Pada pelatihan psikoedukasi untuk keluarga, diperlukan pemberian
pengetahuan dan pemahaman yang cermat untuk memberi pengertian serta memberi
ketrampilan pada keluarga untuk memberi dukungan kepada penderita depresi.
PSIKOEDUKASI UNTUK MENCEGAH SEKS PRANIKAH DENGAN
MELAKUKAN KONSEP PERILAKU ASERTIF

SEKS BEBAS

Menurut worl health organization (WHO) remaja adalah suatu masa ketika
individu berkembang menuju ke kematangan seksual, atau suatu masa ketika individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi
dewasa, bisa juga remaja merupakan masa peralihan dari ketergantungan soaial
ekonomi yang penuh menjadi lebih mandiri.(Kristanti & Lasi, 2018)

Masa remaja biasanya ditandai dengan berkembangnya atau adanya perubahan


biologi, kognisi, dan sosioemosional. Perubahan ini menendakan bahwa setiap individu
pasti akan melewati masa remaja dan menuju ke kedewasaan, sehingga remaja harus
mampu beradaptasi dengan adanya perubahan tersebut. Seorang individu yang mampu
untuk beradaptasi dengan perubahannya sendiri sesuai dengan masa perkembangannya
sendiri dapat dikatakan sudah dewasa secara psikologis. Namun seorang individu yang
tidak mampu untuk beradaptasi dengan perubahannya sendiri seringkali mempengaruhi
perkembangan selanjutnya. (Gunarsa,2010)

Karakter yang berkualitas dapat terbentuk dimasa remaja karena masa ini
merupakan masa mencari identitas diri. Remaja akan melewati fase trial and eror dalam
usahanya untuk mencari jati diri, yang paling dasar yaitu mencari informasi mengenai
dorongan seksual saat masa pubertas. Pubertas adalah tanda saat remaja sudah aktif
secara seksualnya dan memasuki masa subur. (Gunarsa,2004)

Perkembangan remaja terdiri dari tiga tahap yaitu: remaja awal, remaja
pertengahan dan remaja akhir. Tahapan ini dapat dijelaskan dengan 3 aspek
perkembangan yaitu fisik, kognitif dan sosioemosional. Remaja awal, perkembangan
fisik secara umum menuju perkembangan yang berlangsung cepat, proporsi ukuran
tinggi dan berat badan seringkali kurang. Perkembangan kognitif pada tahapan ini
kemampuan berpikir mulai tumbuh dan pada umumnya sudah mulai berpikir tentang
masa depan meskipun hanya dalam taraf yang terbatas. Perkembangan sosial emosi
remaja pada tahapan ini berusaha menunjukkan identitas dirinya, muncul perasaan
canggung saat bertemu dengan seseorang.
Remaja pertengahan, perkembangan fisik yaitu pertumbuhan pubertas, pada
tahapan ini sudah sempurna pertumbuhan fisik. Pada perempuan mulai melambat akan
tetapi pada remaja laki-laki akan terus berlanjut perkembangannya. Kognitif yaitu
kemampuan berpikir terus meningkat mampu menetapkan sebuah tujuan, tertarik pada
hal-hal yang lebih rasional dan mulai berpikir tentang makna sebuah kehidupan.
Perkembangan sosioemosi pada periode ini pengaruh teman sebaya.

Remaja akhir perkembangan fisik pada masa ini posisi ukuran tinggi dan berat
badan lebih seimbang, mendekati kekuatan orang dewasa, selain itu juga ditandai
dengan berfungsinya organ organ reproduktif seperti pada orang dewasa, perkembangan
kognitif pada masa ini remaja sudah mulai memiliki kemampuan untuk memikirkan
sebuah ide mulai dari awal sampai akhir. Perkembangan sosioemosi pada masa ini yaitu
identitas diri semakin kuat, emosi dan kepedulian terhadap orang lain semakin
meningkat, semakin mandiri hubungan antara teman sebaya tetap menjadi isu yang
penting dan hubungan dengan lawan jenis akan semakin serius.

Remaja perlu tahu pengenalan mengenai sistem proses dan fungsi alat
reproduksi. Remaja perlu tahu pendewasaan usia kawin dan bagaimana merencanakan
kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan pasangannya. Remaja perlu tahu
penyakit menular seksual dan HIV AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan
reproduksi. Remaja perlu tahu bahaya narkoba dan miras remaja pengaruh sosial dan
media terhadap perilaku seks tentang kekerasan seksual dan bagaimana
menghindarinya, mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat
kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negative. Remaja perlu
tahu tentang hak-hak reproduksi remaja tentang organ reproduksi.

Perilaku seksual pada remaja


Seks bebas adalah hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan pernikahan.
Hal itu tidak diperbolehkan karena dilarang oleh agama dan berdampak buruk bagi
kesehatan. Penyebabnya bisa karena secara spiritual, secara ekonomi dan lingkungan.
Dampaknya putus sekolah dan hancurnya masa depan, aborsi, HIV dan dampak negatif
kehamilan diluar nikah, akibat yang dialami perempuan hamil dibawah usia 21 tahun
yaitu kandungan bayi lahir prematur dan malnutrisi. Sementara dari ibu mengalami
tekanan darah tinggi yang akan mengakibatkan eklampsia atau kejang pada saat hamil
selanjutnya dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan anak, baik pada saat dalam
kandungan maupun saat melahirkan.

Perilaku free sex atau sex bebas ini menjadi salah satu gejala sosial yang
cukup menghawatirkan dan perlu ditangani debgab serius. Peran orangtua dalam
memberikan edukasi kepada anak sangat penting agar tidak terjerumus ke dalam
pergaulan yang salah. Orangtua juga diharapkan untuk mampu menjadi teman dalam
segala bidang, entah itu teman ngobrol, teman curhat dll, agar anak menjadi terbuka
mengenai masalah yang tengah dihadapinya. Jika hal tersebut tidak terpenuhi anak akan
mencari orang lain untuk meluapkan masalahnya. Hal inilah yang sangat
membahayakan jika si anak tersebut salah memilih orang untuk membagi masalahnya.
Apalagi dimasa remaja yang sangat rentan akan masuknya pengaruh negatif ke diri
mereka.

Kurangnya perhatian dari prenana dan perhatian orangtua merupakan salah satu
faktor remaja terjerumus ke dalam sex bebas, selain itu pendidikan yang rendah,
perekonomian keluarga yang kurang baik, broken home atau keluarga kurang harmonis,
ketidaktahuan remaja akan dampak negatif dari perilaku sex bebas serta
penyalahgunaan internet dapat menjadi penyebab pergaulan bebas.

Pelatihan psikoedukasi melalui siikap asertif untuk mencegah sex bebas

Pergaulan bebas tau sex bebas bisa di jauhkan jika setiap remaja memiliki sikap
asertif. Asertif adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang
diinginkan dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain, namun dengan tetap menjaga
dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dalam sikap asertif seseorang
dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula untuk mengekspresikan perasaan
pendapat dan kebutuhan profesional tanpa ada maksud untuk memanipulasi
memanfaatkan atau merugikan pihak lain. Menurut Pratanti seseorang yang asertif
memiliki kriteria:
1. merasa bebas untuk mengekspresikan perasaan pikiran dan keinginan
2. mengetahui hak mereka dan yang
3. ketiga mampu mengontrol kemarahan
Menurut Festerheim dan Baer (A’yuni,2010) orang yang mempunyai sifat asertif
mempunyai 4 ciri-ciri, yaitu:

1. Bebas saat mengenukakan emosi yang dirasakan melalui tindakan dan kata-kata.
Contohnya: “inilah aku, ini yang saya rasakan dan ini yang aku mau”
2. Bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan baik, entak dengan teman,
sahabat, keluarga, ataupun lingkungan sosial lainnya. biasanya dalam proses
komunikasi ini relatif terbuka dan jujur.
3. Mempunyai tujuan hidup yang jelas, karena biasanya orang yang mempunyai
sifat asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan akan berusaha agar
sesuatu itu terjadi secara sadar akan dirinya bahwa bahwa dia tidak bisa selalu
menang, maka dia menerima keterbatasannya. Akan tetapi dia akan berusaha
semaksimal mungkin, berkebalikan dengan orang yang tidak asertif yang
cenderung akan menunggu terjadinya sesuatu.
4. Karena sadar bahwa dia tidak selalu menang, orang yang bersifat asertif akan
menerima dirinya sendiri namun dia akan mencari jalan keluar akan
keterbatasannya dengan cara belajar dari sekitar dan selalu mengembangkan
dirinya.

Sikap ataupun perilaku asertif cenderung akan merugikan pihak lain karena
bentuknya seperti mempersalahkan, mempermalukan, menyerang, atau secara verbal
maupun fisik marah-marah menuntut mengancam, misalnya kritikan atau komentar
yang tidak enak didengar, maupun sengaja menyebarkan gossip. Menurut Lazarus
dalam Irani 2009 perilaku asertif mengandung suatu tingkah laku yang perlu ketegasan.

Remaja yang bersikap asertif dapat berkomunikasi dengan lingkungan


sekitarnya secara terbuka, jujur, langsung, mempunyai kemauan untuk menggapai apa
yang diinginkan, mampu ngeungkapkan perasannya, dapat menerima pujian dan
kritikan akan dirinya (Falah, 2009) hal ini erat kaitannya dengan sifat asertif pada
remaja terhadap lawan jenisnya.

Seseorang dikatakan bersikap tidak asertif jika ia gagal mengekspresikan


perasaan pikiran dan kata “jangan” atau keyakinannya atau jika orang tersebut
mengekspresikan sedemikian rupa sehingga orang lain malah memberikan respon yang
tidak dikehendaki atau negatif.
Asertif menurut pratanti merupakan terjemahan dari istilah assertiveness atau
assertion yang diartikan titik tengah antara perilaku non asertif dan perilaku agresif.
Orang yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif akan berpendapat dengan
kepercayaan diri yang baik, dapat mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang
sebenar-benarnya tanpa rasa takut.

Orang yang asertif juga akan berkomunikasi dengan orang lain secara lancar dan
sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka yang memiliki ciri-ciri seperti
berikut: 1. terlalu mudah mengalah atau lemah 2. mudah tersinggung atau cemas 3.
kurang yakin pada diri sendiri atau sukar mengadakan komunikasi dengan orang.

Dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki sikap asertif adalah orang yang
memiliki keberanian untuk mengekspresikan pikiran hak-hak pribadinya serta tidak
menolak permintaan permintaan yang tidak beralasan, bukan hanya berarti seseorang
dapat bebas berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya, di dalam asertif juga
terkandung berbagai pertimbangan mengenai baik dan buruknya suatu sikap dan
perilaku yang akan digunakan.

Selanjutnya kita akan membahas tentang aspek-aspek perilaku asertif menurut


Albert dan Emon. Pada tahun 1955 menyebutkan ada 10 kunci pokok yang merupakan
aspek-aspek yang harus ada pada setiap perilaku asertif yang dimunculkan oleh
seseorang tersebut yaitu

1. satu pengungkapan diri yang


2. kedua penghormatan terhadap orang yang

3. ketiga jujur yang

4. kampat langsung dan

Menurut Lubis dan Oriza (Dara Fara, 2009) mengekspresikan diri secara
jujur dengan cara yang tepat tanpa perasaan cemas yang mengganggu sehingga
mendorong terwujudnya kesejajaran dan persamaan dalam hubungan dengan
pasangannya Kenyataan yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa masih banyak
individu yang tidak bersikap asertif dalam menolak ajakan untuk melakukan perilaku
seksual pranikah.
Pelatihanan aserertivitas dapat meningkatkan kemampuan individu untuk
mengontrol emosi karena dalam pelatihan ini remaja akan di ajarkan dan dilatih untuk
mengekspresikan perasaan, Yang bertujuan untuk menyelesaikan ketidak
sepemahaman, mampu mencegah amarah yang tidak sesuai dan destruktif. Selain itu,
zinnia, passion fruit Dalam pelatihan ini peserta akan diajarkan untuk menerima pujian
tanpa malu-malu dan dapat mengungkapkan hal-hal positif sehingga dapat
meningkatkan hubungan yang sehat dengan pasangan.

Dampak dari pelatihan asertivitas juga dapat menghindarkan remaja dari


tindakan pemaksaan dalam berhubungan(pacaran) terutama remaja perempuan. Selain
itu pelatihan ini dapat meningkatkan kemampuan untuk introspeksi diri. Saat pelatihan
ini remaja akan dapat mengenal dirinya sendiri, apakah mereka termasuk remaja yang
pasif, agresif atau asertif, serta melihat seberapa besar tingkat asertifannya. Pelatihan ini
dilakukan untuk menurunkan perilaku seksual pranikah. Remaja yang mengikuti
pelatihan diharapkan akan berkomitmen menghindarkan diri dari aktivitas-aktivitas
seksual yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan-penjelasandi atas dapat disimpulkan bahwa


psikoedukasi dan pelatihan asertivitas dapat membantu remaja meningkatkan
pemahaman tentang perilaku asertif dan mengenai perilaku seks pranikah, sehinggadi
harapkandi pranikah, sehinggadi harapkandi pranikah, sehingga di harapkan para remaja
dapat mengekpresikan diri dan mempertahankan hak-hak pribadi dan pada akhirnya
dapat mencegah dan menghindari perilaku seksual pranikah.

Selain pelatihan asertivitas, psikoedukasi yang dapat dilakukan adalah


psikoedukasi kesehatan reproduksi, yaitu pendidikan seks untuk mengkaji seksualitas
manusia bukan hanya kajian pelajaran biologi atau ilmu sosial. Tujuannya adalah
mendorong keterampilan atau kecakapan dan refleksi kritis terhadap pengalaman
pribadi Reiss & Halstead, (2006).

Program pendidikan seks sudah menjadi program gerakan internasional


yang bertugas untuk turut mendukung hak para remaja untuk mendapatkan informasi
yang akurat dan relevan tentang seksualitas, sehingga dapat membantu remaja membuat
keputusan dari perilaku seksual mereka (Kirby, 2011)
Selain-itu-psikoedukasi yang dapat diberikan kepada remaja yaitu
psikoedukasi seks islami yaitu upaya menumbuhkembangkan kemampuan melalui
pengajaran yang berkaitan dengan pendidikan seks sesuai ajaran islam (Sudan, Hisham,
Rahman & Abdallah, 2012)

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor pencegahan dalam pandangan


ajaran islam dimulai dari perbaikan ahlak yang di ikuti oleh perubahan perilaku. Hal
tersbut berbeda dengan psikoedukasi kesehatan reproduksi yang menitikberatkan pada
pengetahuan fisiologis. Berdasarkan uraian di atas perlu dikaji lebih lanjut mengenai
perbedaan efektifitas antara psikoedukasi kesehatan reproduksi dan psikoedukasi seks
islami terhadap perilaku seksual pranikah rmaja putri.(Kusumastuti, 2017)

Sumber (Anisa Ramdani) :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7191782/ diakses tanggal 31 Desember


2020

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4170907/#CD002831-bbs2-0209title
diakses tanggal 31 Desember 2020

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2683741/#__sec2title diakses 1 Januari


2021

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6929223/#idm140412636167200title
diakses tanggal 1 Januari 2021

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4422602/#Sec21title diakses 1 Januari


2021

Anderson, CM, Gerard, E, Hogarty, GE, Reiss, DJ. Family treatment of adult
schizophrenic patients: a psycho-educational approach. Schizophr Bull 1980. ;6490–
505.

Bäuml, J dan Pitschel-Walz, G. Psychoedukation bei schizophrenen


Erkrankungen 2003. Stuttgart, Jerman: Schattauer.
Gibson S, Brand SL, Burt S, Boden ZVR, Benson O. Understanding treatment non-
adherence in schizophrenia and bipolar disorder: a survey of what service users do and
why. BMC Psychiatry. 2013;13:153. doi: 10.1186/1471-244X-13-153.

Angermeyer, MC and Matschinger, H. Causal beliefs and attitudes to people with


schizophrenia. Trend analysis based on data from two population surveys in
Germany. Br J Psychiatry 2005. ;186331–334.

Bäuml, J. Psychoedukation aus psychiatrisch-psychotherapeutischer Sicht.  Psychiatr


Prax In press.

Sharif F, Shaygan M, Mani A. Effect of a psycho-educational intervention for family


members on caregiver burdens and psychiatric symptoms in patients with schizophrenia
in Shiraz, Iran. BMC Psychiatry. 2012;12:48.

McFarlane WR, Dixon L, Lukens E, Lucksted A. Family psychoeducation and


schizophrenia: A review of the literature. J Marital Fam Ther. 2003;29:223–45.

Sumber (Syafana L) :

HIMPSI. (2020). Terms of Reference: Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk


Bangsa Ke-5. Himpsi.or.Id, September 2019, 13.

Kristanti, E., & Lasi, F. (2018). Psikoedukasi dan pelatihan “EDA”(ekspresi diri untuk
asertif) sebagai upaya mencegah seks bebas pada remaja. Seminar Seminar
Nasional Call for Paper & Pengabdian Masyarakat, 1, 138–152.

Kusumastuti, W. (2017). Pengaruh Metode Psikoedukasi Terhadap Perilaku Seksual


Pranikah pada Remaja Putri. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(2), 155–166.
https://doi.org/10.23917/indigenous.v2i2.4461

Mahmud, R. A., Lilik, S., Setyanto, A. T., Studi, P., Fakultas, P., & Maret, U. S. (2015).
Pengaruh Psikoedukasi Mengenai Dukungan Sosial Keluarga dalam Menurunkan
Kecemasan pada Pasien Depresi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta.

Natasubagyo, O. S., & Kusrohmaniah, S. (2019). Efektivitas Psikoedukasi untuk


Peningkatan Literasi Depresi. 5(1), 26–35.
https://doi.org/10.22146/gamajpp.48585
Soedirman, J. K., & Journal, T. S. (2007). Pengaruh Psikoedukasi Terhadap
Pengetahuan Dan Depresi Orang Tua Anak Retardasi Mental. Prevention, 2(1),
17–23.

SulistyorWandansariini, & Sabarisman, M. (2017). Depresi : Suatu Tinjauan Psikologis.


Sosio Informa, 3(2), 153–164. https://doi.org/10.33007/inf.v3i2.939

Suryani, Widianti, E., Hernawati, T., & Sriati, A. (2011). ( Psycho education Decrease
the Level of Depression , Anxiety and Stress Among Patient with Pulmonary
Tuberculosis ) * Fakultas Keperawatan UNPAD , Jalan Raya Jatinagor KM 21 ,
Jatinanor , Sumedang.

(LIDWINA J)
Diakses tgl: 3 januari 2021, 11.30
file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/1665-3951-1-SM.pdf
Diakses tgl: 3 januari 2021, 11.30
file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/50255-148079-1-PB.pdf
Diakses tgl: 3 januari 2021, 15.00
https://www.merdeka.com/jateng/8-penyebab-pergaulan-bebas-pada-remaja-kurangnya-
perhatian-hingga-faktor-ekonomi-kln.html?page=3
Diakses Tgl 5 Januari 2021 19.36
http://etheses.uin-malang.ac.id/2267/6/08410034_Bab_2.pdf

Nihayah, Z. (2014). Hubungan asertif dengan kebahagiaan pada mahasiswa Fakultas


Psikologi Angkatan 2013 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
(Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).

Kristanti, E., & Lasi, F. (2018, October). PSIKOEDUKASI DAN PELATIHAN â€


œEDAâ€(EKSPRESI DIRI UNTUK ASERTIF) SEBAGAI UPAYA MENCEGAH
SEKS BEBAS PADA REMAJA. In Seminar Nasional Call for Paper & Pengabdian
Masyarakat (Vol. 1, No. 01).

Kusumastuti, W. (2017). Pengaruh metode psikoedukasi terhadap perilaku seksual


pranikah pada remaja putri. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(2).

Han, E. S., & goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). 済無 No Title No Title.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Kristanti, E., & Lasi, F. (2018). Psikoedukasi dan pelatihan “EDA”(ekspresi diri untuk asertif)
sebagai upaya mencegah seks bebas pada remaja. Seminar Seminar Nasional Call for
Paper & Pengabdian Masyarakat, 1, 138–152.

Kusumastuti, W. (2017). Pengaruh Metode Psikoedukasi Terhadap Perilaku Seksual Pranikah


pada Remaja Putri. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(2), 155–166.
https://doi.org/10.23917/indigenous.v2i2.4461

Anda mungkin juga menyukai