Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu cedera akut pada


saraf optik oleh karena trauma. Akson-akson saraf optik dapat rusak secara
langsung maupun tidak langsung dan kehilangan penglihatan dapat parsial hingga
komplit. Cedera tidak langsung pada saraf optik terjadi akibat adanya transmisi
tekanan kekanal optik pada saat trauma tumpul. Sebaliknya, cedera langsung yang
mengakibatkan kerusakan anatomis saraf optik terjadi pada luka tusuk orbital,
adanya fragmen tulang dalam kanal optik atau hematoma pada pembungkus
saraf.[1]
Jaras penglihatan terdiri dari serial sel dan sinaps yang membawa informasi
visual dari lingkungan hingga ke otak untuk kemudian diproses. Terdiri dari
retina, saraf optik, optik kiasma, traktus optik, nukleus genikulatum lateral (LGN),
radiasi optik dan korteks striae.[1]
Penyebab TON tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan sepeda,
diikuti oleh jatuh dan tindak kekerasan. TON terjadi sebanyak 1,5-5 % pasien
dengan trauma kepala tertutup dan terjadi kerusakan pada jaras penglihatan (4–6 /
100.000 populasi / tahun). Laki-laki penderita terkait TON mencapai 60-95 %
kasus (4:1 dibandingkan dengan wanita) dan banyak pada dekade pertama hingga
kedua usia hidup mereka. Di Amerika Serikat terjadi sebanyak 0,5-5 % pada
pasien dengan trauma kepala tertutup dan 2,5 % pada pasien dengan fraktur
midfasial. Angka kejadian TON oleh karena trauma kraniofasial dilaporkan
sekitar 0,5-1,5 %. Prevalensi internasional terhadap angka kejadian TON
bervariasi di setiap negara, tergantung pada angka kejadian kecelakaan atau tindak
kekerasan.[2]
Penanganan trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam beberapa dekade belakangan,
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam kasus-kasus trauma merupakan
pilihan utama.[3]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Saraf Optik


Saraf optik merupakan saraf kranial kedua yang terdiri dari lebih 1 juta
akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina dan menyebar menuju ke
korteks oksipital. Nervus optikus dibagi menjadi beberapa daerah topografi,
yaitu [1] :
1. Regio intraokular yaitu optic disc, prelaminar area dan laminar area.
2. Regio intraorbital (berada di dalam corong otot).
3. Regio intrakanalikular (berada didalam kanal optik).
4. Regio Intrakranial (berakhir di kiasma optikum).

Regio Panjang (mm) Diameter (mm)


Intraokular 1.0 1,5 – 1,75
Optic Disc
Prelaminar
Laminar

Intraorbita 25 3–4
Intrakanalikular 4 – 10 3–4
Intrakranial 10 4–7
Tabel 2.1. Ukuran saraf optik berdasarkan regio (Dikutip dari : Skuta GL,
Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore
: American Academy of Ophtalmology; 2012.)

Kumpulan dari saraf optik mempunyai karakteristik yang sama seperti


white matter otak. Berdasarkan perkembangannya, saraf optik merupakan
bagian dari otak, dan lapisan fibernya dikelilingi oleh lapisan glial, bukan sel
Schwann. Panjang saraf optik bervariasi antara 35 sampai 55 millimeter.
Bagian yang dapat dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf optik
regio intraokular.[1,6]

2
Gambar 2.1. Empat regio saraf optik(Dikutip dari : Steinsapir KD, Goldberg RA.
Traumatic Optic Neuropathies. In Miller NR, Newman NJ, editors. Walsh &
Hoyt's Clinical Neuro-Ophtalmology, 6th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446.)

a. Regio intraokular
Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit kongenital
maupun penyakit okular yang didapat. Bagian anterior dapat dilihat
dengan pemeriksaan oftalmoskopi sebagai optic disc. Strukturnya
berbentuk oval dengan ukuran horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75
millimeter. Berbentuk cekung dengan dua pembuluh darah yang
melewati titik pusatnya, yaitu arteri retina medial dan vena retina medial.
Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu[1] :
1) Lapisan fiber superfisial.
2) Area prelaminar.
3) Area laminar.
4) Area retrolaminar.
b. Regio intraorbita
Regio intraorbita terdiri dari 2 bagian, yaitu[1] :
1) Annulus of Zinn.
2) Meningeal Sheaths.

3
Gambar 2.2.Meningeal Sheaths (Dikutip dari :Skuta GL, Cantor
LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of ophtalmology
Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.)

c. Regio intrakanalikular
Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh
pial yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika. Saraf optik dan
araknoid yang mengelilinginya terhubung ke kanalperiosteum.[1]

d. Regio intrakranial
Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di
atas arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga
melintasi saraf optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling
berhubungan sehingga membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf
optik melintas kearah posterior melewati sinus kavernosus dan mencapai
kiasma optikum.[1]
Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang
berakhir di korpus genikulatum lateralis. Dari daerah ini keluar jalur
genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer.
Kiasma optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki
vaskularisasi yang sangat banyak. Ukuran kiasma optikum diperkirakan
memiliki lebar 12 millimeter dan panjang 8 millimeter pada daerah
anteroposterior dengan ketebalan 4 millimeter.[1]

4
Gambar 2.3. Kiasma Optikum (Dikutip dari : Riordan-Eva P,
Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th
ed. New York: Lange; 2007.)

Arteri oftalmika membentang dibawah saraf optik. Suplai darah dari


saraf optik berbeda dari satu bagian ke bagian lainnya. Daerah retrolamina
disuplai oleh pembuluh darah pial dan pembuluh darah silier posterior.
Daerah lamina disuplai oleh arteri silier posterior. Daerah prelaminar disuplai
oleh arteri silier posterior dan arteri koroidal. Daerah lapisan fiber disuplai
oleh arteri retina medial. Daerah intraorbital disuplai oleh pembuluh darah
pial bagian proksimal dan cabang-cabang kecil dari arteri oftalmika. Daerah
intrakanalikular disuplai oleh sebagian besar arteri oftalmika. Daerah
intrakranial disuplai oleh cabang utama dari arteri oftalmika dan arteri karotis
interna.[1]

Gambar 2.4. Suplai pembuluh darah saraf optik (Dikutip dari : Khurana
AK. Comprehensive Ophtalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007.)

5
Jalur visual dapat dibedakan menjadi jalur aferen (sensoris) dan eferen
(motorik). Kerusakan pada jalur aferen akan menyebabkan kehilangan
kemampuan penglihatan. Jalur aferen secara berurutan dimulai dari retina,
saraf optik, kiasma optikum, traktus optikus, dan pada akhirnya akan
mencapai korteks.[1,20]

Gambar 2.5.Visual Pathway(Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher


JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th ed. New York:
Lange; 2007.)

a. Retina
Segmen posterior retina mentransduksikan gambar fotokimia
elektromagnetik menjadi rangsangan impuls. Dimana pada retina
terdapat sel batang yang memiliki jumlah sekitar 80 – 120 juta sel dan
menyebar diseluruh retina kecuali fovea dan sel kerucut yang memiliki
jumlah 5 – 6 juta sel dengan penyebaran hanya terpusat pada fovea yang
memiliki kemampuan untuk mengubah impuls fotokimia menjadi impuls
saraf. Ketiadaan kedua sel ini di optic disc menghasilkan daerah yang
disebut sebagai titik buta (physiologic scotoma) yang terletak sekitar
fovea. Sel kerucut dibagi menjadi 3 sub bagian berdasarkan keadaan

6
pigmen yang masing-masing sensitif terhadap gelombang warna merah,
hijau atau biru.[1,20]
Signal retina yang berasal dari sel batang dan sel kerucut diproses
pertama kali melalui sel bipolar yang menghubungkan reseptor cahaya ke
sel ganglion. Kebanyakan sel ganglion dapat dibagi menjadi sel
parvocellular (Sel P) dan sel magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah
terhadap interpretasi warna dan mempunyai lapangan reseptor yang kecil
dan sensitivitas kontras yang lemah. Sementara sel M memiliki lapangan
reseptor yang luas dan lebih responsif terhadap cahaya dan pergerakan.
Neurotransmitter yang didapati pada retina adalah glutamat, asam
gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamin.[20]
b. Saraf optik
Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion yang
menyelubungi seluruh retina. Akson dari saraf optik tergantung dari
produksi metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik
molekul maupun sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen yang
cukup tinggi. Hal ini menyebabkan sistem transpor aksonal sangat
sensitif terhadap kejadian iskemik, inflamasi, dan proses kompresi.[20]
c. Kiasma optikum
Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan diteruskan
melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari hipotalamus
dan dibagian anterior dari ventrikel 3. Dibagian ini akan terjadi
persilangan impuls dari kedua mata baik yang berasal dari daerah medial
maupun lateral.[20]
d. Traktus optikus
Lateral geniculate nucleus merupakan terminal dari akson yang
berasal dari sel ganglion retina. Bagian ini berada dibawah talamus
posterior. Dibagi menjadi 6 tingkat, yaitu 4 level tertinggi adalah
terminal untuk akson sel P yang mana hal ini untuk meningkatkan
sensitivitas dari sel P. 2 tingkat dibagian bawah merupakan bagian untuk
menerima impuls dari sel M untuk mendeteksi gerakan. Akson yang

7
berasal dari mata kontralateral memiliki terminal di lapisan 1,4 dan 6.
Sedangkan dibagian kolateral berujung pada lapisan 2,3 dan 5.[20]
e. Korteks
Mengikuti sinaps pada nukleus genikularis lateral, akson melintas
kebelakang sebagai radiasi optik di korteks penglihatan primer di dalam
lobus oksipital. Korteks penglihatan primer (area Broadmann 17)
tersusun horizontal sepanjang kalkarin yang membagi permukaan medial
lobus oksipital. Penyebaran optik pada korteks penglihatan primer berada
pada lapisan ke 4 dari 6 lapisan korteks. Lapisan ini yang disebut sebagai
lamina granularis interna lebih lanjut dibagi menjadi 3 bagian kecil yaitu
4A, 4B dan 4C. Input sel P secara umum berada pada bagian 4C bagian
bawah dan input sel M berada pada bagian 4C bagian atas.[20]

Gambar 2.6. Defek visual akibat kerusakan bagian-bagian jalur visual(Dikutip


dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General
Ophtalmology. 17th ed. New York: Lange; 2007.)

8
B. Definisi
Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan
bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik.[2,3,4]
Cedera saraf optik dibagi menjadi cedera langsung dan cedera tidak
langsung berdasarkan mekanisme trauma. Cedera langsung adalah cedera
terbuka dimana objek eksternal menembus jaringan lunak sehingga
membentur saraf optik. Cedera tidak langsung terjadi ketika gaya tumbukan
melewati tulang tengkorak dan mencapai saraf optik. Nilai prognosis
berdasarkan kedua klasifikasi ini masih belum jelas. Umumnya berdasarkan
perjalanan kejadian, cedera langsung pada saraf optik dihubungkan dengan
jeleknya kemampuan visual.[2,6]
Cedera saraf optik juga bisa diklasifikasikan secara anatomis. Cedera
yang melibatkan bagian anterior dimana arteri retina media memasuki saraf
optik sehingga menimbulkan kelainan pada sirkulasi retina yang berhubungan
dengan kelihatan kemampuan melihat. Turbulensi pada sirkulasi retina dapat
berhubungan dengan perdarahan orbital yang mengganggu saraf optik.
Sedangkan cedera yang melibatkan daerah posterior, berada dibelakang
tempat masuk arteri retina media dan tempat keluarnya vena retina media.
Cedera anterior mengganggu sirkulasi retina, sedangkan cedera posterior
tidak menyebabkan kelainan sirkulasi apapun.[2,6]

C. Etiologi
Trauma optik neuropati berhubungan dengan cedera deselarasi disertai
dengan gaya yang besar. Umumnya diasosiasikan dengan trauma wajah. Pada
sebuah penelitian dengan 28 sampel yang telah di diagnosa dengan trauma
optik neuropati, didapati 20 kasus akibat dari kecelakaan berkendara (71,4%),
perkelahian sebanyak 5 kasus (17,9%) dan terjatuh sebanyak 3 kasus
(10,7%).[6,9,18]

9
D. Epidemiologi
Kecelakaan lalulintas adalah penyebab tersering, sekitar 17 – 63%
kasus ini. Dari penelitian yang melibatkan 101 pasien dengan trauma kepala
setelah kecelakaan mengendarai sepeda motor, terdapat 18 kasus trauma optik
neuropati (18%). Kemudian penyebab berikutnya adalah terjatuh, benturan di
kepala, penganiayaan, luka tusuk, luka tembak dan pembedahan sinus dengan
mengunakan endoskopi.[9,18]
Di Amerika Serikat, 0,5 – 5% kasus trauma kepala tertutup juga disertai
dengan adanya trauma optik neuropati dan 2.5% dari pasien dengan fraktur
midfacial. Angka kejadian TON diseluruh dunia sangat bervariasi yang
didasari sebanyak apa penyebab utamanya terjadi, seperti kecelakaan lalu
lintas dan perkelahian. Insidensi trauma optik tidak langsung di benua Eropa
dilaporkan 0,7 – 5% dengan kasus kurang dari 40 kejadian. Kejadian TON
dilaporkan memiliki angka insidensi lebih tinggi dinegara berkembang. Kasus
TON paling sering dijumpai pada laki-laki sebanyak 85% dengan usia rata-
rata 34 tahun.[18]

E. Mekanisme Trauma
Cedera langsung maupun cedera tidak langsung menyebabkan iskemia
saraf optik. Mekanisme cedera saraf optik dapat dibedakan menjadi cedera
primer dan cedera sekunder. Mekanisme cedera primer menyebabkan cedera
permanen pada akson saraf optik saat terjadinya tumbukan yaitu berupa
pengikisan akson saraf optik dan vaskularisasinya.[7,10]
Mekanisme cedera sekunder menyebabkan kerusakan pada saraf optik
akibat gangguan homeostasis selular. Cedera reperfusi dan iskemia akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi membran sel lemak yang nantinya akan
menyebabkan munculnya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan
jaringan. Efek bradikinin yang timbul saat trauma akan menyebabkan
pelepasan dari asam arakidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan
oleh metabolisme asam arakidonat, radikal bebas dan oksidan lainnya akan
menyebabkan terjadinya edema pada kanal optik, yang selanjutnya akan

10
memperberat terjadinya iskemia. Pada saat terjadinya iskemia saraf optik, ion
kalsium akan memasuki kompartemen intraselular, sehingga meningkatkan
konsentrasi ion kalsium intraselular dimana ion ini memiliki sifat seperti
toksin metabolik yang akan menyebabkan kematian sel. Sel polimorfonuklear
akan muncul secara dominan pada hari pertama dan kedua setelah trauma.
Setelah itu akan digantikan oleh makrofag pada hari ke 5 sampai ke-7. Ketika
sel polimorfonuklear menyebabkan kerusakan sel yang cepat, sedangkan
makrofag menyebabkan terhambatnya kerusakan jaringan, demyelinisasi dan
gliosis.[7,10]
Kedua mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan vasospasme
dan pembengkakan saraf optik. Hal ini diperberat dengan ketidakmampuan
dinding kanal optik untuk meluas sehingga akan memperburuk terjadinya
iskemia dan kerusakan akson.[7,10]
Beberapa penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf
pusat mendukung perbedaan antara mekanisme cedera primer dan sekunder.
Iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam cedera sekunder akibat
trauma. Iskemi parsial dan reperfusi dari area iskemia sepintas menghasilkan
radikal bebas yang nantinya akan menyebabkan kerusakan reperfusi.[7,10]
Sebuah penelitian tentang pengamatan efek trauma pada saraf optik,
yaitu sel mikroglial retina melalui sistem Mitogen-activated protein (MAP)
Kinase meningkatkan efek sitotoksik sehingga menyebabkan kematian sel
ganglion retina. Dalam keadaan stres, konsentrasi adenosin ekstraselular yang
dicurigai meningkatkan jalur anti inflamasi. Namun dalam keadaan trauma
optik neuropati, akumulasi dari adenosin ekstraseluler ini ditranportasikan
kedalam intraseluler melalui melalui equilibrative nucleoside transporters
yang mana menyebabkan konversi MAP oleh adenosin kinase sehingga
konsentrasi adenosin ekstraseluler menjadi rendah. Hal ini kemudian akan
menyebabkan efek anti inflamasi akan menjadi berkurang.[17]

11
F. Diagnosis
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.[6]
1. Anamnesa
Penegakan diagnosis dari trauma optik neuropati didasarkan atas
adanya riwayat trauma. Trauma saraf optik sebaiknya tidak digunakan
jika kemampuan penglihatan dan fungsi pupil masih dalam keadaan
normal.[2,6]
Apabila dijumpai kesadaran menurun, anamnesa dilakukan
kepada orang lain yang berada di dekat penderita pada saat kejadian
atau mereka yang mengantar penderita ke rumah sakit. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan mekanisme trauma yang jelas.
Kemungkinan terpapar benda berbahaya juga harus dipertimbangkan.
Riwayat kelainan mata harus ditelaah untuk mengetahui penyebab pasti
kehilangan kemampuan penglihatan memang disebabkan oleh trauma.
Demikian juga dengan penggunaaan obat-obatan, pengobatan, dan
alergi obat. Luka terbuka menimbulkan risiko tetanus dan riwayat
imunisasi tetanus juga harus ditelaah.[2,6]

2. Pemeriksaan fisik
a) Visus
Penilaian visus merupakan langkah paling mudah dan
paling penting dalam menentukan fungsi visual. Visus merupakan
kemampuan untuk membedakan bagian suatu objek dan
mengidentifikasinya secara utuh. Penilaian visus dapat
menggunakan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Snellen
Chart dan Bailey-Lovie Chart. Pemeriksaan ini dilakukan dalam
jarak baku, yaitu jarak antara chart dan pasien dalam jarak 6
meter. Kemudian pasien diminta untuk membaca setiap baris
huruf yang ada.[21,22]

12
Nilai visus pada trauma saraf optik tidak langsung sering
kali menurun dengan sangat signifikan. Pada penelitian dengan 56
kasus, semuanya dengan ketidakmampuan untuk melihat setelah
terjadinya trauma saraf optik tidak langsung. Penilaian visus
sangat penting untuk dilakukan pada pasien trauma optik. Nilai
visus dapat bervariasi.[18]
b) Pupil
Pada kasus trauma optik neuropati unilateral, ditemukan
kondisi yang memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis trauma
optik neuropati yaitu adanya defisit pupil aferen. Defek pupil
aferen dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan filter
fotografik densitas normal. Trauma optik neuropati dapat terjadi
unilateral ataupun bilateral. Ditandai dengan adanya relative
afferent pupillary defect (RAPD) dalam kasus TON bilateral yang
simetris.[18]
c) Warna
Pada pemeriksaan ini minta pasien untuk melihat objek
berwarna merah dengan satu mata secara bergantian. Objek ini
dapat dilihat dan diinterpretasikan secara berbeda pada mata yang
bermasalah. Dapat dilihat sebagai warna hitam ataupun coklat.[6]
Pemeriksaan warna dilakukan untuk menilai sel kerucut
yang masing-masing mempunyai sensitivitas spesifik untuk setiap
gelombang warna yaitu warna biru, merah dan hijau. Pemeriksaan
ini umumnya dilakukan untuk menilai defek kongenital pada
ketiga sel tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan untuk
dilakukan pada defek warna yang didapat. Pemeriksaan yang
dilakukan yaitu dengan cara Ishihara, Hardy - Rand-Rittler, City
University dan Farnsworth-Munsell 100-hue. Dimana dari
keempat pemeriksaan ini, Farnsworth - Munsel 100 - hue
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk defek

13
kongenital maupun defek yang didapat, termasuk akibat trauma
optik.[21,22]
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara
red desaturation. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menggunakan membandingkan persepsi warna merah dikedua
mata pada satu waktu. Pada kasus neuropati optik, kemampuan
ini dapat berkurang sampai 50%.[22]
d) Lapangan pandang
Tes lapangan pandang dilakukan pada pasien dengan
kesadaran baik dan mampu berkoordinasi dengan baik. Meskipun
tidak ada patognomonik defek lapangan pandang sebagai
diagnosis dari trauma saraf optik. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk monitoring dari masalah oftalmologi dan neurologis. Pada
kasus trauma optik umumnya dapat ditemukan defek lapangan
pandang.[22]
e) Sensitivitas kontras
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur nilai minimal
kontras yang diperlukan untuk melihat suatu objek. Hal ini
diperlukan untuk mendeteksi disfungsi penglihatan dini bahkan
jika nilai visus berdasarkan snellen chart dalam batas normal.
Umumnya pemeriksaan ini dilakukan dengan bagan Pelli-Robson,
Vistech ataupun bagan Cambridge.[22]
f) Pemeriksaan segmen posterior
Sebelum dilakukan pemeriksaan oftalmoskopi, sebaiknya
diakukan palpasi pada pinggiran orbita untuk mengetahui apakah
terdapat fraktur. Pembengkakan periorbital kemungkinan bisa.
menutupi adanya proptosis.[2,6]
Tahanan tekanan kebelakang bola mata pada saat dilakukan
tonometri dapat dengan cepat mengetahui adanya perdarahan
dibelakang orbita. Pembengkakan alis dapat meningkatkan
kesulitan pemeriksaan oftalmologi.[2,6]

14
Pemeriksaan fundus yang adekuat akan dapat menilai
kelainan sirkulasi retina. Avulsi komplit dan parsial dari ujung
saraf optik dapat menimbukan cincin perdarahan ditempat cedera
dengan tampilan deep round pit. Cedera anterior antara bola mata
dan dimana arteri retina media memasuki saraf optik
menimbulkan gangguan pada sirkulasi retina, termasuk obstruksi
vena dan traumatic anterior ischemic optic neuropathy.[2,6]
Perdarahan pada selubung saraf optik posterior sampai ke
sumber pembuluh darah retina menghasilkan sirkulasi retina yang
masih intak, namun menyebabkan pembengkakan pada ujung
saraf optik. Papilledema bisa dilihat pada kejadian dengan
peningkatan tekanan intraakranial walaupun dijumpai trauma
optik neuropati.[2,6]

Gambar 2.7.Papilledema pada pemeriksaan funduskopi (Dikutip dari :


Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of
phtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.)

Pemeriksaan segmen posterior dapat dilakukan dengan


menggunakan slit-lamp biomicroscopy, direct ophtalmoscope dan
indirect ophtalmoscope. Pemeriksaan dengan menggunakan
slitlamp merupakan pemeriksaan terbanyak yang dilakukan saat
ini.[22]

15
g) Tonometri
Tonometri adalah sebuah pemeriksaan objektif untuk
menilai tekanan intraokular yang didasarkan pada banyaknya
tenaga yang dibutuhkan untuk meratakan kornea. Pemeriksaan
tonometri dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
Goldmann. [22]

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan radiologis merupakan
pilihan terbaik untuk melihat adanya cedera pada saraf optik. Computed
Tomography (CT) scan dan Magneting Resonance Imaging (MRI) memiliki
efek yang sangat bagus dalam mendiagnosa trauma optik. CT scan dalam
kejadian trauma optik neuropati memperlihatkan implikasi patologis spesifik
dalam fungsi saraf optik, termasuk hematoma selubung saraf optik dan
dugaan kista araknoid.[9,10]
Penggunaan CT scan berada jauh di atas MRI untuk melihat garis-garis
fraktur tulang, sedangkan MRI lebih baik digunakan untuk melihat jaringan-
jaringan lunak yang berada di daerah orbita, salah satunya untuk menilai
trauma kiasma. Terkadang kedua pemeriksaan ini diperlukan secara
bersamaan untuk menilai keadaan klinis. Namun, MRI harus dilakukan
setelah CT scan untuk menghindari apabila ada benda asing yang
mengandung logam di daerah orbital.[9,10]
Penggunaan teknik imaging non invasif berupa optical coherence
tomography (OCT) memberikan gambaran resolusi tinggi dan melintang dari
retina manusia. Digunakan untuk memperkirakan ketebalan lapisan retina.
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan kerusakan akson dari lapisan fiber
saraf retina dan makula pada kasus glaukoma dan cedera saraf optik.[19]

16
H. Tatalaksana
Penanganan trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam sebuah penelitian mengenai
trauma optik neuropati melaporkan bahwa 0-48% kasus mempunyai
prognosis yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami perbaikan dengan
pengobatan steroid dosis tinggi dan 37-71% mengalami perbaikan dengan
terapi pembedahan untuk dekompresi dari saraf optik.[18]
a. Konservatif
Penanganan trauma optik neuropati belakangan ini dilakukan
hanya dengan pendekatan konservatif. Di Inggris, ditemukan bahwa
65% oftalmologis melakukan hal ini, dengan mempertimbangkan
perbaikan visus dan kemampuan penglihatan.[18]
b. Farmakologi
Dalam beberapa dekade belakangan, penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dalam kasus-kasus trauma merupakan pilihan utama. Hal
ini berdasarkan pada kerja kortikosteroid yang menurunkan angka
sintesis protein. Sehingga nantinya diharapkan radikal bebas yang
secara patologis dapat merusak sel-sel tubuh dapat dicegah.
Penggunaan kortikosteroid ini mulai dilakukan sejak tahun 1980
berdasarkan hasil penelitian yang mengemukakan bahwa obat ini
memiliki sifat antioksidan dan penghambat munculnya radikal
bebas.[2,18]
Penelitian yang telah dilakukan dalam memperkenalkan
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam pengobatan trauma optik
neuropati didasarkan dari efek yang bermanfaat yang didapati pada
penelitian eksperimental cedera sistem saraf pusat. Dalam hal ini,
kombinasi pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan pembedahan
memberikan hasil yang baik pada penderita trauma optik neuropati.
Pemberian kortikosteroid yang dianjurkan untuk pertama kali adalah
deksametason dengan dosis 3 – 5 mg per kilogram berat badan perhari.
Namun sejumlah penelitian tidak menunjukkan baik itu terapi

17
kortikosteroid dosis tinggi, pembedahan maupun kombinasi
kortikosteroid dosis tinggi dengan pembedahan menunjukkan
penanganan yang lebih baik satu sama lain. Penelitian dengan
menggunakan metilprednisolon intravena dengan pemberian 1 gram
selama 3 hari pada pasien dengan trauma optik neuropati terbukti
efektif dalam meningkatkan visus penderita.[2,4]
Pada sebuah penelitian dengan lebih dari 10.000 orang dewasa
yang mengalami cedera kepala dan dengan Glasgow Coma Score
dibawah 14, diarahkan untuk mendapatkan 48 jam infus kortikosteroid
(metilprednisolon). Hasil yang didapatkan ternyata memiliki
kemunduran kemampuan visual dibandingkan dengan kelompok yang
tidak mendapatkan terapi sama sekali.[7]
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi pada kasus TON dalam 8
jam pertama setelah cedera dan dekompresi pembengkakan saraf optik
oleh karena penekanan akibat fragmen tulang untuk menunda
kehilangan kemampuan penglihatan memiliki efek yang sangat iminati.
Beberapa penanganan yang masih dalam tahap penelitian adalah dengan
menggunakan penyekat glutamat, kristalin, pemicu pertumbuhan saraf,
nitrit oksida, TNF-a Inhibitor dan neuroprotektor. Penyekat
glutamat.[14,15]
c. Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika terjadi penurunan kemampuan
penglihatan setelah dilakukan pemberian kortikosteroid dosis tinggi.
Namun penanganan dengan pembedahan masih menjadi terapi empiris
untuk trauma optik neuropati. Tindakan orbitotomi lateral dilakukan
sebagai tindakan dekompresi saraf optik. Penelitian yang telah
dilakukan, tindakan ini dengan jelas mempengaruhi nilai visus dan
pergerakan bola mata setelah operasi. Juga tidak ditemukan adanya
kelainan klinis ataupun efek samping dari tindakan ini pada penelitian
tersebut.[16]

18
Gambar 2.8.Tindakan orbitotomi lateral (Dikutip dari : Skuta GL, Cantor LB,
Weiss JS. Fundamentals and Principles of phtalmology Singapore: American
Academy of Ophtalmology; 2012.)

I. Prognosis
Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 35 pasien dengan diagnosa
trauma optik neuropati, dijumpai pada 23 pasien bahwa faktor yang
memperburuk outcome penglihatan (nilai visus) adalah jika terdapat
perdarahan pada etmoid posterior, usia di atas 40 tahun, kehilangan kesadaran
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian kortikosteroid dosis tinggi dalam
48 jam sejak kejadian.[23]

19
BAB III
KESIMPULAN

1. Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik
akibat trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan
bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai
kerusakan saraf optik.[2,3,4]
2. Diagnosis ditegakkan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik ataupun
dengan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, penegakan diagnosis dari
trauma optik neuropati didasarkan atas adanya riwayat trauma. Pemeriksaan
visus, pupil, tes warna, tes lapangan pandang, sensitivitas kontras, segmen
posterior dan tonometri harus dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
kelainan saraf optik. Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan
radiologis merupakan pilihan terbaik untuk melihat adanya cedera pada
saraf optik. Computed Tomography (CT) scan dan Magneting Resonance
Imaging (MRI) memiliki efek yang sangat bagus dalam mendiagnosa
trauma optik. CT scan dalam kejadian trauma optik neuropati
memperlihatkan implikasi patologis spesifik dalam fungsi saraf optik,
termasuk hematoma selubung saraf optik dan dugaan kista araknoid.[9,10]
3. Penanganan trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam beberapa dekade
belakangan, penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam kasus-kasus
trauma merupakan pilihan utama.[3]

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of


Ophtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.
2. Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic Optic Neuropathies. In Miller NR,
Newman NJ, editors. Walsh & Hoyt's Clinical Neuro-Ophtalmology, 6th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446.
3. Zoumalan CI. Medscape Refference. [Online].; 2014 [cited 2017 May 11.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/868129-overview
4. Sundeep , Niveditha H, Nikhil N, Vinutha BV. Visual Outcome of
Traumatic Optic Neuropathy in Patients Treated with Intravenous
Methylprednisolone. International Journal of Scientific Study. 2017 May;
2(3).
5. Wu N, Yin Z, Wang Y. Traumatic Optic Neuropathy Therapy: an Update of
Clinical and Experimental Studies. The Journal of International Medical
Research. 2008 October; 36.
6. Srinivasan R, S. C. Traumatic Optic Neuropathy [TON] - A Review. Kerala
Journal of Ophtalmology. 2008 March; XX(1).
7. Boughton B. Traumatic Optic Neuropathy: Previous Therapies Now
Questioned or Shelved. Eyenet. 2009 November.
8. Miliawan S, Mahadewa TG, Putra AM. Lateral Orbitotomy for Traumatic
Optic Neuropathy and Traumatic Ophtalmoplegia: Is it Beneficial?
Neurology Asia. 2009 June; 14.
9. Allon G, Seider N, Blumenthal EZ, Beiran I. Bilateral Traumatic Optic
Neuropathy in an Uncoscious Patient: A Diagnostic Challenge. The Israel
Medical Journal. 2014 August; 16.
10. Lee KF, Nor NIM, Yaakub A, Hitam WHW. Traumatic Optic Neuropathy:
A Review of 24 Patients. International Journal of Ophtalmology. 2010 June;
11. Huang JJ, Chen WK, Chuang CM, Cheng YC, Ng KC. Traumatic Optic
Neuropathy in Two Patients With Different Manifestations and Outcomes.
Taiwan Medical Journal. 1999 February.
12. Yanoff M, Duker JS. Yanoff & Duker Ophtalmology. 3rd ed.: An Expert
Consult Title; 2008.
13. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007.
14. Awan AH. Traumatic Optic Neuropathy. Pak J Ophthalmol. 2007; 23(2).
15. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology.
17th ed. New York: Lange; 2007.

21
16. Kuo MT, Teng ICLMC. Serial Follow-Up in Traumatic Optic Neuropathy
Using Scanning Laser Polarimetry and Visual Field Testing. Chang Gung
Medical Journal. 2005 August; 28(8).
17. Ahmad S, El-Sherbiny N, El-Sherbini A, Fulzele S, Liou GI. Adenosine
Kinase as A Therapeutic Target in Traumatic Optic Neuropathy. In
International Genomic Medical Conference; 2013; Jeddah.
18. Lee V, Ford R, Xing W, Bunce C, Foot B. Surveilance of Traumatic Optic
Neuropathy in The UK. Eyenet. 2010; 24.
19. Cunha LP, Cunha LVFC, Malta RFS, Monteiro MLR. Comparison Between
Retinal Nerve Fiber Layer and Macular Thickness Measured with OCT
Detecting Progressive Axonal Loss Following Traumatic Optic Neuropathy.
Arq Bras Oftalmol. 2009; 72(5).
20. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Neuro-Ophtalmology Singapore: American
Academy of Ophtalmology; 2012.
21. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology A Systematic Approach. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Limited; 2007.
22. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford
American Handbook of Ophtalmology. 1st ed. New York: Oxford
University Press. 2011.
23. Carta A, Ferrigno L, Salvo M, Bianchi-Marzoli S, Boschi A, Carta F. Visual
Prognosis After Indirect Traumatic Optic Neuropathy. Journal of
Neurosurgery Psychiatry. 2003; 74.

22

Anda mungkin juga menyukai