PEMICU 4
Disusun Oleh :
1.1. Pemicu
Seorang perempuan berusia 40 tahun mengeluh timbul kemerahan
pada kedua sisi muka sejak 2 minggu yang lalu. Pasien kadang merasa
demam ringan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga merasa badan
pegal/nyeri, sendi lutut dan pergelangan kaki bengkak dan nyeri, rambut
rontok dan timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.
2
1.4. Analisis Masalah
Perempuan, 40 tahun
DD :
1. SLE
2. RA
3. Mixed Connective Tiseue Disease
4.
Pemeriksaan
penunjang
Diagnosis
Tatalaksana dan
edukasi
1.5. Hipotesis
Perempuan, 40 tahun mengalami SLE (Systemic Lupus
Erythematosus).
3
1.7. Pertanyaan Diskusi
1.7.1. Faktor apa saja yang mempengaruhi autoimun?
1.7.2. Apa perbedaan autoimun dan hipersensitifitas?
1.7.3. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
1.7.3.1. Definisi
1.7.3.2. Etiologi
1.7.3.3. Faktor resiko
1.7.3.4. Patofisiologi
1.7.3.5. Patogenesis
1.7.3.6. Manifestasi klinis
1.7.3.7. Diagnosis
1.7.3.8. Tatalaksana
1.7.3.9. Komplikasi
1.7.3.10. Prognosis
1.7.3.11. Edukasi
1.7.4. Rheumatoid Arthritis
1.7.4.1. Definisi
1.7.4.2. Etiologi
1.7.4.3. Faktor resiko
1.7.4.4. Patofisiologi
1.7.4.5. Patogenesis
1.7.4.6. Manifestasi klinis
1.7.4.7. Diagnosis
1.7.5. Mixed Connective Tissue Disease!
1.7.5.1. Definisi
1.7.5.2. Faktor resiko
1.7.5.3. Patogenesis
1.7.5.4. Manifestasi klinis
1.7.6. Mengapa pasien mengalami kemerahan dan bercak-bercak pada
kedua sisi muka dan kulit?
1.7.7. Mengapa pasien mengalami rambut rontok?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
patologis. Demikian pula, dengan peningkatan teknologi, ada bukti yang
berkembang untuk aktivasi sel T diri reaktif patogen dalam beberapa
penyakit. 2
6
2.3. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
2.3.1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus)
(SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan
etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.3
2.3.2. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun
diduga :4
7
2.3.3. Faktor resiko
Ada beberapa faktor resiko dari SLE (System Lupus
Erythematosus), yakni sebagai berikut:5
2.3.3.1. Faktor genetik
1. Hubungan kekeluargaan. Anggota keluarga mempunyai
resiko lebih tinggi untuk perkembangan penyakit SLE,
dan 20% dari saudara sepupu tingkat pertama yang tidak
terjangkiti mungkin mempunyai autoantibodi untuk SLE.
Terdapat kepekaan tinggi antara kembar monozigot
(25%) dibandingkan kembar dizigot (1-3%).
2. Hubungan dengan HLA. Nilai resiko relatif dari individu
dengan HLA-DR2 atau HLA-DR3 adalah 2 sampai 5.
Apabila kedua haplotipe ada maka nilai resiko adalah 5.
3. Gen-gen lain. Defisiensi genetik protein komplemen dari
jalur klasik, terutama CIq,C2 atau C4, ditemukan pada
sekitar 10% penderita SLE. Bagaimana pengaruh gen-
gen tersebut terhadap perkembangan penyakit masih
belum jelas.
2.3.3.2. Faktor lingkungan
1. Sinar Ultraviolet. Pajanan sinar matahari menyebabkan
munculnya lesi SLE. Landasan mekanisme dari pengaruh
sinar UV adalah apoptosis sel yang mengakibatkan
peningkatan beban fragmen inti sel dan reaksi inflamasi
terhadap produk dari sel yang mati.
2. Merokok berhubungan dengan SLE, mekanismenya
belum diketahui tetapi mengisap tembakau dapat
memodulasi produksi autoantibodi.
2.3.3.3. Faktor hormonal
Hormon seks diduga memberikan pengaruh penting
terhadap perkembangan penyakit, karena SLE 10 kali lebih
sering pada wanita selama masa reproduksi daripada pria
pada usia yang sama.
8
2.3.3.4. Faktor Konsumsi obat-obatan
Konsumsi obat-obatan seperti prokainamid dan
hidralazin dapat menyebabkan penyakit mirip SLE, obat-
obat ini menyebabkan demetilasi DNA yang dapat
mempengaruhi pemaparan berbagai gen yang terlibat dalam
perkembangan autoimunitas.
2.3.4. Patofisiologi
9
jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik
yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.6
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan
pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan
enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth
factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin,
chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan
yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase
kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.6
2.3.5. Patogenesis
10
2.3.6. Manifestasi klinis
11
dan alopesia androgenic.
Sinovitis Meliputi dua sendi atau lebih, yang
dikarakeristikkan dengan bengkak,
efusi dan nyeri, serta kaku di pagi hari
selama 30 menit atau lebih.
Serositis Pleuritis tipikal selama lebih dari 1
hari atau efusi pleura atau pleural rub;
nyeri perikardial tipikal (nyeri yang
diperberat dengan duduk
membungkuk) selama lebih dari 1
hari atau efusi perikard atau
pericardial rub atau perikarditis oleh
gambaran elektrokardiografi tanpa
penyebab lain seperti infeksi, uremia
dan perikarditis Dressler.
Ginjal Protein urin/kreatinin (atau protein
urin 24 jam) menunjukkan 500mg
protein/24 jam atau adanya endapan
eritrosit.
Neurologis Kejang; psikosis; mononeuritis
multipel tanapa penyeba lain yang
dikteahui seperti vaskulitis primer;
mielitis; neuropati cranial atau perifer
tanpa penyebab lain yang diketahui
seperti vaskulitis primer, infeksi dan
diabetes mellitus; keadaan acute
confusional tanpa penyebab lain
seperti toksik metabolik, uremia,
obat-obatan.
Anemia Hemolitik -
Leukopenia <4.000/mm3 minimal sekali (tanpa
12
penyebab lain seperti Felty,
obatobatan dan hipertensi porta); atau
limfopenia (<1.000/mm3 minimal
sekali) tanpa penyebab lain seperti
kortikosteroid, obat-obatan dan
infeksi.
Trombositopenia (<100.000/mm3) minimal sekali
(tanpa penyebab lain seperti obat-
obatan, hipertensi porta dan TP).
Kriteria imunologis Keterangan
ANA Melebihi rentang rujukan
laboratorium.
Anti-dsDNA -
Anti-Sm
Antibodi Setiap RPR antikoagulan lupus yang
antifosfolipid positif-salah dengan titer
antikardiolipin yang sedang atau
tinggi (IgA, IgG atau IgM)
glikoprotein I anti-β2 (IgA, IgG atau
IgM).
Komplemen rendah C3 yang rendah, C4 yang rendah,
CH50 yang rendah .
Tes Coomb direk Tanpa adanya anemia hemolitik.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis SLE8
13
2.3.7. Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam
rekomendasi ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria
(definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada
kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi
tahun 1997.7,9 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda
SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik
lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.3
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka
diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal,
seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya arthritis
reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya.
Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting.3
14
Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan
tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil
tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue
disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan
atau pada orang normal.3
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk
SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan
pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat
disingkirkan.3
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA
positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik,
termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan
anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi
antidsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan
pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan
dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat
terjadi pada pasien yang bukan SLE.3
Pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada
15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain
atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat
digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih
15
spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis.3
2.3.8. Tatalaksana
16
5- 10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap
1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan
1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison <20 mg/hari.
Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol
aktivitas penyakit. Obat-obatan lain yang dapat digunakan pada
terapi SLE antara lain obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dan
imunosupresan atau sitotoksik. 9
17
2.3.9. Komplikasi
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila
ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:10
2.3.9.1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri
koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi
maligna.
2.3.9.2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial,
shrinking lung.
2.3.9.3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
2.3.9.4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
2.3.9.5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau
melepuh (blister).
2.3.9.6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke,
mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis
optik, psikosis, sindroma demielinasi.
2.3.9.7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia <20.000/mm3, purpura
trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
2.3.10. Prognosis
Prognosis pasien dengan lupus semakin membaik dengan
gejala ringan dalam beberapa tahun terakhir. Wanita penderita lupus
yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi
yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang
berat dan gejala penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan
hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk
ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru,
jantung dan ginjal yang berat.9
2.3.11. Edukasi
Selain diberikan obat, pada pasien juga perlu diberikan edukasi
mengenai penyakit pasien untuk menjaga kepatuhan terhadap
konsumsi obat, dan juga terapi rehabilitasi. Pada keadaan tertentu
18
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan
imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik.9
19
2.4.2.4. Heat shock protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence)
asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan
molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP
pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga
mencetuskan reaksi imunologis.
2.4.2.5. Lingkungan
Salah satunya adalah merokok.
2.4.3. Faktor resiko
Seperti penyakit autoimun lainnya , RA merupakan kelainan
yang didasari atas faktor genetik dan faktor lingkungan.5
20
2.4.4. Patofisiologi
21
gangguan faktor rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) akan
menjadi kronis yang progresif. 13
2.4.5. Patogenesis
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang
sendi. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan
sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial.
Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi
sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi.Terbentuknya pannusakibat terjadinya pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin,proteinase
dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi
dan komplikasi sistemik.14
22
tangan dan kaki. Pola awal keterlibatan bersama mungkin
monoarticular, oligoartikular (≤4 sendi), atau polyarticular (> 5
sendi), biasanya dalam distribusi simetris. Beberapa pasien dengan
inflamasi arthritis akan hadir dengan sedikit sendi yang terkena dan
harus diklasifikasikan sebagai undifferentiated inflammatory
arthritis. 6
23
Gambar 2.5. Manifestasi Ekstraartikular pada Rhematoid Arthritis6
24
2.4.7. Diagnosis
25
2.5.3. Patogenesis
26
Sekitar 80% orang yang mengalami penyakit ini adalah wanita.
Penyakit jaringan penghubung tercampur mempengaruhi orang
berusia dari 5 sampai 80 tahun. Penyebabnya tidak diketahui,tetapi
yang muncul menjadi gangguan autoimun.19
1. Fenomena raynaud
2. Athralgia/arthritis
3. Hipomotilitas esophagus
4. Disfungsi pulmonal
5. Tangan membengkak
6. Miositis
7. Ruam
8. Leucopenia
9. Sklerodaktili
10. Pleuritis/perikarditis
27
self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan
produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai
autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit
ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk
beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B
dan T yang patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis.20
Rambut rontok sering juga dikeluhkan pada saat pertama kali datang.
Rambut rontok bisa disebabkan oleh penyakitnya sendiri yaitu sistem imun
yang merusak folikel rambut atau oleh karena pengobatan SLE. Mukosa
oral merupakan tempat tersering terjadinya ulserasi pada anak dengan SLE.
Lesi klasik biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar, dan disertai
eritema pada palatum durum.21
28
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perempuan 40 tahun mengalami SLE (Systemic Lupus Erythematosus).
29
DAFTAR PUSTAKA
30
13. Corwin, E. J..Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009.
14. Mclnnes B, Schett G. The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N ENG J
MED. 2011;23:365.
15. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism.
2010; 62: 2569 – 81 13.
16. Mukhalidah Hanun Siregar, Sri Minatun: Kamus Kedokteran Modern cara
mudah memahami istilah-istilah kedokteran, Jogjakarta: Laksana, 2011,
halaman 204
17. Tsokos GC. Systemic Lupus Erythematosus. N. Engl. J. Med.
2011;365(22):2110-21.
18. Hoffman RW, Maldonado ME. Immune pathogenesis of Mixed Connective
Tissue Disease : A short analytical review. Elsevier. 2008.
19. Greidinger EL, et al. Mixed Connective Tissue Disease. [internet] 2016.
[cited April 17th 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/335815-clinical.
20. Elfriadi, dr. Systemic Lupus Erithematosus. Harrison’sPrinciples of Internal
Medicine Seventeenth Edition. 2011.
21. Evalina. Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologis pada Anak dengan
Lupus Eritematosus Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik
Medan. Sari Pediatri. 2012;13(6).
31