Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 3

MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI

PEMICU 4

Disusun Oleh :

David Aron Mampan P. I11112065


Diana Putri Lestari I1011141004
Erni I1011141008
Auliyah Tania Alkadrie I1011141014
Nabiyur Rahma I1011141015
Feddy Setiady I1011141019
Muhammad Sukri I1011141028
Maghfira Aufa Asli I1011141036
Baskara Zhafran Ramadhan I1011141043
Thevany I1011141052
Ariski Pratama Johan I1011141062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Seorang perempuan berusia 40 tahun mengeluh timbul kemerahan
pada kedua sisi muka sejak 2 minggu yang lalu. Pasien kadang merasa
demam ringan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga merasa badan
pegal/nyeri, sendi lutut dan pergelangan kaki bengkak dan nyeri, rambut
rontok dan timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.

1.2. Klarifikasi dan Definisi


1.2.1. -

1.3. Kata Kunci


1.3.1. Perempuan, 40 tahun
1.3.2. Kemerahan pada kedua sisi muka sejak 2 minggu
1.3.3. Demam ringan sejak 1 bulan
1.3.4. Badan pegal/nyeri
1.3.5. Sendi lutut dan pergelangan kaki bengkak dan nyeri
1.3.6. Rambut rontok
1.3.7. Bercak-bercak kemerahan di kulit.

1.3. Rumusan Masalah


Perempuan, 40 tahun mengeluh timbul kemerahan pada kedua sisi
muka sejak 2 minggu yang lalu.

2
1.4. Analisis Masalah

Perempuan, 40 tahun

Keluhan Penyerta: Keluhan utama :


1. Demam ringan sejak 1 bulan
1. Kemerahan pada kedua sisi
2. Badan pegal/nyeri
muka sejak 2 minggu.
3. Sendi lutut dan pergelangan kaki
bengkak dan nyeri
4. Rambut rontok
5. Bercak-bercak kemerahan di kulit.

Ananesis dan Pemeriksaan fisik

DD :

1. SLE
2. RA
3. Mixed Connective Tiseue Disease
4.
Pemeriksaan
penunjang

Diagnosis

Tatalaksana dan
edukasi

1.5. Hipotesis
Perempuan, 40 tahun mengalami SLE (Systemic Lupus
Erythematosus).

3
1.7. Pertanyaan Diskusi
1.7.1. Faktor apa saja yang mempengaruhi autoimun?
1.7.2. Apa perbedaan autoimun dan hipersensitifitas?
1.7.3. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
1.7.3.1. Definisi
1.7.3.2. Etiologi
1.7.3.3. Faktor resiko
1.7.3.4. Patofisiologi
1.7.3.5. Patogenesis
1.7.3.6. Manifestasi klinis
1.7.3.7. Diagnosis
1.7.3.8. Tatalaksana
1.7.3.9. Komplikasi
1.7.3.10. Prognosis
1.7.3.11. Edukasi
1.7.4. Rheumatoid Arthritis
1.7.4.1. Definisi
1.7.4.2. Etiologi
1.7.4.3. Faktor resiko
1.7.4.4. Patofisiologi
1.7.4.5. Patogenesis
1.7.4.6. Manifestasi klinis
1.7.4.7. Diagnosis
1.7.5. Mixed Connective Tissue Disease!
1.7.5.1. Definisi
1.7.5.2. Faktor resiko
1.7.5.3. Patogenesis
1.7.5.4. Manifestasi klinis
1.7.6. Mengapa pasien mengalami kemerahan dan bercak-bercak pada
kedua sisi muka dan kulit?
1.7.7. Mengapa pasien mengalami rambut rontok?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Faktor apa saja yang mempengaruhi autoimun?


Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan selftolerancesel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun
ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan
reseptor spesifik untuk banyak self antigen. Autoimun terjadi karena self-
antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T
autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan
dalam patogenesis penyakit autoimun, seperti Rheumatoid arthritis (RA)dan
Systemic lupus erythematosus (SLE).
Mekanisme terjadinya penyakit autoimun yaitu pertama, autoimun
disebabkan oleh kegagalan pada delesi DNA limfosit.1 Kedua, autoimun
disebabkan oleh kegagalan regulasi normal sistem imunitas (yang
mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri
namun mengalami supresi). Terjadinya kombinasi antara faktor lingkungan,
faktor genetik dan tubuh sendiri berperan dalam ekspresi penyakit
autoimun. 1

2.2. Apa perbedaan autoimun dan hipersensitifitas?


Autoimun adalah reaksi terhadap antigen tubuh. Biasanya, sistem
kekebalan tubuh tidak bereaksi terhadap antigen yang dihasilkan oleh diri
sendiri. Reaksi imun terhadap antigen diri adalah penyebab penyakit yang
paling banyak. Penyakit autoimun saat ini diperkirakan mempengaruhi
2%- 5% dari populasi di negara-negara maju, dan kemungkinan akan
meningkat. Bukti bahwa penyakit ini memang hasil dari reaksi autoimun
lebih persuasif untuk beberapa orang dibandingkan dengan orang lain.
Misalnya beberapa autoantibodi dengan afinitas tinggi telah diidentifikasi,
dan dalam beberapa kasus antibodi ini diketahui menyebabkan kelainan

5
patologis. Demikian pula, dengan peningkatan teknologi, ada bukti yang
berkembang untuk aktivasi sel T diri reaktif patogen dalam beberapa
penyakit. 2

Penyakit autoimun terjadi diduga di mana respon imun spesifik


diarahkan terhadap satu organ atau sel jenis tertentu dan mengakibatkan
kerusakan jaringan lokal, penyakit multisistem yang ditandai dengan lesi di
beberapa organ dan dikaitkan dengan autoantibodi atau reaksi yang
diperantarai sel T terhadap berbagai antigen diri. Sebagian besar penyakit
sistemik yang disebabkan oleh kompleks imun dan autoantibodi, lesi
mempengaruhi beberapa bagian tubuh terutama jaringan ikat dan pembuluh
darah dari berbagai organ yang terlibat. Oleh karena itu, penyakit ini sering
disebut sebagai gangguan “vaskular kolagen” atau “jaringan ikat”, meskipun
reaksi imunologi tidak secara khusus ditujukan terhadap konstituen jaringan
ikat atau darah pembuluh. Normalnya seseorang memiliki respon imun yang
tidak responsif (toleran) dengan antigen mereka sendiri, dan autoimunitas
merupakan hasil dari kegagalan toleransi. Oleh karena itu, pemahaman
patogenesis autoimunitas membutuhkan pemahaman dengan mekanisme
toleransi imunologi normal.2

Hipersensitivitas adalah reaksi kekebalan tubuh berlebihan dengan


peningkatan respon imun terhadap antigen yang “peka” terhadap antigen itu.
Normalnya sistem checks and balances tubuh mengoptimalkan
pemberantasan infeksi organisme yang masuk ke dalam tubuh tanpa cedera
serius pada jaringan. Namun, respon imun yang tidak cukup terkontrol atau
tidak tepat sasaran pada jaringan mengakibatkan respon normal yang
seharusnya menguntungkan menjadi sumber penyebab penyakit. Penyebab
dari hipersensitifitas adalah autoimun, reaksi terhadap mikroba dan reaksi
terhadap lingkungan sekitar antigen.2

6
2.3. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
2.3.1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus)
(SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan
etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.3

2.3.2. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun
diduga :4

2.3.2.1. Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE


mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit pada
jaringan ikat.
2.3.2.2. Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara
luas untuk terapi pada hipertensi.1,3,4 Sindrom ini terjadi
pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi selama 3
tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%)
dan 200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada
pemberian dengan dosis 50 mg/hari.
2.3.2.3. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding
pria (2,8%).
2.3.2.4. Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus
pada onset SLE atau penyebab kekambuhan pada perjalanan
penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi terhadap
radiasi ultraviolet.
2.3.2.5. Faktor lain yang diduga sebagai pencetus adalah infeksi
bakteri, dan stress baik fisik maupun mental.

7
2.3.3. Faktor resiko
Ada beberapa faktor resiko dari SLE (System Lupus
Erythematosus), yakni sebagai berikut:5
2.3.3.1. Faktor genetik
1. Hubungan kekeluargaan. Anggota keluarga mempunyai
resiko lebih tinggi untuk perkembangan penyakit SLE,
dan 20% dari saudara sepupu tingkat pertama yang tidak
terjangkiti mungkin mempunyai autoantibodi untuk SLE.
Terdapat kepekaan tinggi antara kembar monozigot
(25%) dibandingkan kembar dizigot (1-3%).
2. Hubungan dengan HLA. Nilai resiko relatif dari individu
dengan HLA-DR2 atau HLA-DR3 adalah 2 sampai 5.
Apabila kedua haplotipe ada maka nilai resiko adalah 5.
3. Gen-gen lain. Defisiensi genetik protein komplemen dari
jalur klasik, terutama CIq,C2 atau C4, ditemukan pada
sekitar 10% penderita SLE. Bagaimana pengaruh gen-
gen tersebut terhadap perkembangan penyakit masih
belum jelas.
2.3.3.2. Faktor lingkungan
1. Sinar Ultraviolet. Pajanan sinar matahari menyebabkan
munculnya lesi SLE. Landasan mekanisme dari pengaruh
sinar UV adalah apoptosis sel yang mengakibatkan
peningkatan beban fragmen inti sel dan reaksi inflamasi
terhadap produk dari sel yang mati.
2. Merokok berhubungan dengan SLE, mekanismenya
belum diketahui tetapi mengisap tembakau dapat
memodulasi produksi autoantibodi.
2.3.3.3. Faktor hormonal
Hormon seks diduga memberikan pengaruh penting
terhadap perkembangan penyakit, karena SLE 10 kali lebih
sering pada wanita selama masa reproduksi daripada pria
pada usia yang sama.

8
2.3.3.4. Faktor Konsumsi obat-obatan
Konsumsi obat-obatan seperti prokainamid dan
hidralazin dapat menyebabkan penyakit mirip SLE, obat-
obat ini menyebabkan demetilasi DNA yang dapat
mempengaruhi pemaparan berbagai gen yang terlibat dalam
perkembangan autoimunitas.
2.3.4. Patofisiologi

Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen


predisposisi dan lingkungan yang akan menghasilkan respon imun
yang abnormal. Respon ini termasuk :6
1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks
imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen
2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit
antigen-specific T dan Limfosit B)
3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
4. Berkurangnya klirens sel apoptotis dan kompleks imun. Self-
antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid)
dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan
sel apoptotik, sehingga antigen autoantibodi, dan kompleks imun
tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang
panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat
jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor
nekrosis faktor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin
pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin
(IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon
merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan
natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming
growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi
CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus
dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan

9
jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik
yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.6
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan
pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan
enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth
factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin,
chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan
yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase
kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.6
2.3.5. Patogenesis

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu


penyakit autoimun. SLE merupakan gangguan toleransi diri secara
global yang menyebabkan aktivasi sel T dan sel B. Sel T dan sel B
menyebabkan produksi autoantibodi yang patogen dan menyebabkan
kerusakan jaringan. Antibodi terhadap asam nukleat dan pengikatnya
merupakan komponen penting dalam terjadinya SLE. Meskipun
begitu, sistem imun innate merupakan komponen penting dalam
terjadinya SLE. 7

Sel dendritik merupakan komponen penting dalam SLE


dimana sel dendritik akan mengaktifkan sel T dan sel B. Sel
dendritik menyebabkan aktivasi sel T helper dan sel B yang akan
menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan sel B akan
berikatan dengan antigen yang membentuk kompleks antigen-
antibodi. Ginjal merupakan tempat utama kerusakan pada SLE
dimana terjadi deposisi kompleks imun. Kompleks imun bersama
dengan komplemen akan menyebabkan berkumpulnya makrofag
yang menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan.7

10
2.3.6. Manifestasi klinis

Kriteria Klinis Keterangan


Acute cutaneus lupus Meliputi ruam malar lupus (jangan
dimasukkan bila diskoid malar); lupus
bula; varian nekrolisis epidermal
toksik dari SLE; ruam lupus
makulopapular; ruam lupus
fotosensitif tanpa dermatomiositis;
atau lupus kutan subakut
(nonindurated psoriaform dan/atau
lesi polisklik anular yang sembuh
tanpa jaringan parut, walaupun
kadang-kadang disertai depigmentasi
atau telengiektasis postinflamasi).
Chronic cutaneus lupus Meliputi ruam diskoid klasik;
terlokalisir (di atas leher); generalisata
(di atas dan di bawah leher); lupus
hipertrofik (verukous); lupus
panniculitis (profundus); lupus
mukosa; lupus eritematous tumidus;
lupus chilblains; lupus
discoid/overlap dari liken planus.
Ulkus mulut Ulkus palatum, bukal, lidah atau nasal
tanpa penyebab lain seperti vaskulitis,
infeksi Behcet (herpes), inflammatory
bowel disease, arthritis reaktif dan
makanan asam.
Alopesia tanpa jaringan parut Penipisan atau kerapuhan rambut
difus dengan rambut patah yang nyata
tanpa penyebab lain seperti alopesia
areata, obat-obatan, defisiensi besi

11
dan alopesia androgenic.
Sinovitis Meliputi dua sendi atau lebih, yang
dikarakeristikkan dengan bengkak,
efusi dan nyeri, serta kaku di pagi hari
selama 30 menit atau lebih.
Serositis Pleuritis tipikal selama lebih dari 1
hari atau efusi pleura atau pleural rub;
nyeri perikardial tipikal (nyeri yang
diperberat dengan duduk
membungkuk) selama lebih dari 1
hari atau efusi perikard atau
pericardial rub atau perikarditis oleh
gambaran elektrokardiografi tanpa
penyebab lain seperti infeksi, uremia
dan perikarditis Dressler.
Ginjal Protein urin/kreatinin (atau protein
urin 24 jam) menunjukkan 500mg
protein/24 jam atau adanya endapan
eritrosit.
Neurologis Kejang; psikosis; mononeuritis
multipel tanapa penyeba lain yang
dikteahui seperti vaskulitis primer;
mielitis; neuropati cranial atau perifer
tanpa penyebab lain yang diketahui
seperti vaskulitis primer, infeksi dan
diabetes mellitus; keadaan acute
confusional tanpa penyebab lain
seperti toksik metabolik, uremia,
obat-obatan.

Anemia Hemolitik -
Leukopenia <4.000/mm3 minimal sekali (tanpa

12
penyebab lain seperti Felty,
obatobatan dan hipertensi porta); atau
limfopenia (<1.000/mm3 minimal
sekali) tanpa penyebab lain seperti
kortikosteroid, obat-obatan dan
infeksi.
Trombositopenia (<100.000/mm3) minimal sekali
(tanpa penyebab lain seperti obat-
obatan, hipertensi porta dan TP).
Kriteria imunologis Keterangan
ANA Melebihi rentang rujukan
laboratorium.
Anti-dsDNA -
Anti-Sm
Antibodi Setiap RPR antikoagulan lupus yang
antifosfolipid positif-salah dengan titer
antikardiolipin yang sedang atau
tinggi (IgA, IgG atau IgM)
glikoprotein I anti-β2 (IgA, IgG atau
IgM).
Komplemen rendah C3 yang rendah, C4 yang rendah,
CH50 yang rendah .
Tes Coomb direk Tanpa adanya anemia hemolitik.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis SLE8

Singkatan: SLE, Systemic lupus erythematous; ANA, Antinuclear


antibody; ELISA, Enzyme linked immunosorbent assay; RPR, Rapid
plasma reagin.8

1. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus


memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara
bersamaan atau dengan tenggang waktu.
2. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.

13
2.3.7. Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam
rekomendasi ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria
(definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada
kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi
tahun 1997.7,9 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda
SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik
lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.3
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka
diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal,
seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya arthritis
reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya.
Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting.3

Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk


diagnosis dan monitoring:3

1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).


2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, lipid).
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid.
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
7. ANA
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial
tromboplastin time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari
manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan
tergantung kondisi klinis pasien.3
Selain itu, ada beberapa pemeriksaan serologi pada SLE,
seperti tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis SLE adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2

14
Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan
tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil
tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue
disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan
atau pada orang normal.3
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk
SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan
pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat
disingkirkan.3
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA
positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik,
termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan
anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi
antidsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan
pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan
dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat
terjadi pada pasien yang bukan SLE.3
Pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada
15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain
atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat
digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih

15
spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis.3
2.3.8. Tatalaksana

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai terapi utama pada


pasien SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan
efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan
juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan
patofisiologi dan farmakokinetiknya.9

Tabel 2.2. Dosis kortikosteroid yahng dianjurkan.9


Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana
kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE
yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE
yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nefritis lupus, lupus
cerebral. Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Tapering
tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama
terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering dosis
prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan

16
5- 10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap
1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan
1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison <20 mg/hari.
Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol
aktivitas penyakit. Obat-obatan lain yang dapat digunakan pada
terapi SLE antara lain obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dan
imunosupresan atau sitotoksik. 9

Tabel 2.3. Algoritma Tatalaksana SLE9

17
2.3.9. Komplikasi
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila
ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:10
2.3.9.1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri
koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi
maligna.
2.3.9.2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial,
shrinking lung.
2.3.9.3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
2.3.9.4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
2.3.9.5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau
melepuh (blister).
2.3.9.6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke,
mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis
optik, psikosis, sindroma demielinasi.
2.3.9.7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia <20.000/mm3, purpura
trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
2.3.10. Prognosis
Prognosis pasien dengan lupus semakin membaik dengan
gejala ringan dalam beberapa tahun terakhir. Wanita penderita lupus
yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi
yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang
berat dan gejala penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan
hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk
ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru,
jantung dan ginjal yang berat.9
2.3.11. Edukasi
Selain diberikan obat, pada pasien juga perlu diberikan edukasi
mengenai penyakit pasien untuk menjaga kepatuhan terhadap
konsumsi obat, dan juga terapi rehabilitasi. Pada keadaan tertentu

18
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan
imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik.9

2.4. Rheumatoid Arthritis


2.4.1. Definisi
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu
penyakit autoimun berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa.11
2.4.2. Etiologi
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun,
kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan.12
2.4.2.1. Genetik
Berhubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar
60%.
2.4.2.2. Hormon
Perubahan profil hormon berupa stimulasi dari
Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang
mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada
respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun
selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
2.4.2.3. Faktor infeksi
Beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon
sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA.

19
2.4.2.4. Heat shock protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence)
asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan
molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP
pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga
mencetuskan reaksi imunologis.
2.4.2.5. Lingkungan
Salah satunya adalah merokok.
2.4.3. Faktor resiko
Seperti penyakit autoimun lainnya , RA merupakan kelainan
yang didasari atas faktor genetik dan faktor lingkungan.5

2.4.3.1. Faktor genetik

Diperkirakan 50% resiko RA karena faktor genetik.


Kerentanan terhadap RA dihubungkan dengan lokus HLA-
DRBI. Penelitian akhir-akhir ini mengungkapkan sejumlah
besar gen non-HLA yang polimorfisme berhubungan
dengan RA. Terdapat hubungan yang kuat dengan
polimorfisme gen PTPN22 yang mengkode tirosin fosfat
yang telah diterima sebagai penghambat pengaktifan sel T

2.4.3.2. Faktor lingkungan

Banyak calon agen infeksi yang antigennya


dipertimbangkan bisa mengaktifkan sel T atau sel B, tetapi
tidak satupun yang meyakinkan terlibat. Merokok dan
infeksi diyakini dapar menyebabkan sitrulinisasi dari
beberapa protein itu sendiri, menghasilkan epitop baru yang
memicu reaksi imun.

20
2.4.4. Patofisiologi

Pada rheumatoid arthritis, terjadi reaksi autoimun berupa


persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi. Hal tersebut terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan
enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah
kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak
sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot. 13
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti
edema, kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular.
Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama
pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini
granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.
Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat
karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago
artikuer.Kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago
menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi,
karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan
kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah
dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian.
Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis
setempat. Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang.
Ditandai dengan masa adanya serangan dan tidak adanya serangan.
Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan
selanjutnya tidak terserang lagi. Seseorang yang mempunyai

21
gangguan faktor rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) akan
menjadi kronis yang progresif. 13
2.4.5. Patogenesis
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang
sendi. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan
sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial.
Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi
sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi.Terbentuknya pannusakibat terjadinya pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin,proteinase
dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi
dan komplikasi sistemik.14

Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T


merupakan bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa
Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B
merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG,
IgA, IgM, IgE, IgD.14

Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel


T dengan share epitop dari major histocompability complex class
II(MHCII-SE) dan peptida pada antigen-presenting cell(APC) pada
sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis RA
belum diketahi secara pasti.14

2.4.6. Manifestasi klinis

Gejala yang muncul dari RA biasanya hasil dari peradangan


pada sendi dan tendon. Pasien sering mengeluh kekakuan sendi pada
pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam dan berkurang dengan
aktivitas fisik. Awalnya sendi yang terlibat biasanya sendi kecil dari

22
tangan dan kaki. Pola awal keterlibatan bersama mungkin
monoarticular, oligoartikular (≤4 sendi), atau polyarticular (> 5
sendi), biasanya dalam distribusi simetris. Beberapa pasien dengan
inflamasi arthritis akan hadir dengan sedikit sendi yang terkena dan
harus diklasifikasikan sebagai undifferentiated inflammatory
arthritis. 6

Gambar 2.4. Metakarpofalangealis dan sendi interphalangeal proksimal


bengkak di rheumatoid arthritis.6

Setelah proses penyakit RA telah jelas, sendi yang paling


sering terlibat adalah pergelangan tangan, metakarpofalangealis
(MCP), dan interphalangeal proksimal (PIP) sendi menonjol
(Gambar 1). Keterlibatan interphalangeal distal (DIP) dapat terjadi di
RA, tetapi biasanya merupakan manifestasi dari osteoarthritis.
Tendon fleksor tenosinovitis merupakan ciri sering RA dan
menyebabkan penurunan rentang gerak dan mengurangi kekuatan
pegangan. Kerusakan progresif pada sendi dan jaringan lunak dapat
kronis dan cacat ireversibel. 6

23
Gambar 2.5. Manifestasi Ekstraartikular pada Rhematoid Arthritis6

Manifestasi ekstraartikular dapat berkembang selama klinis


RA, bahkan sebelum timbulnya arthritis (Gambar 2). Pasien yang
paling mungkin untuk berkembang menjadi penyakit ekstraartikular
memiliki riwayat merokok, memiliki onset awal cacat fisik yang
signifikan, dan tes positif untuk RF serum. Nodul subkutan, sindrom
Sjögren sekunder, nodul paru, dan anemia adalah salah satu
manifestasi ekstraartikular paling sering diamati. Studi terbaru
menunjukkan penurunan insiden dan keparahan setidaknya beberapa
manifestasi ekstraartikular, terutama manifestasi Felty sindrom dan
vaskulitis ekstraartikular. Studi terbaru menunjukkan penurunan
insiden dan keparahan setidaknya beberapa manifestasi
ekstraartikular, terutama sindrom Felty dan vaskulitis.6

24
2.4.7. Diagnosis

Tabel 2.6. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 201015

Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikan


sebagai RA kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin
krierianya dapat terpenuhi.15

2.5. Mixed Connective Tissue Disease


2.5.1. Definisi
Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) adalah istilah yang
digunakan oleh beberapa ahli untuk menggambarkan kumpulan pada
gejala-gejala serupa pada systemic lupus erythematosus,
scleroderma, polymyositis, dan dermatomyositis.16
2.5.2. Faktor resiko
Etiologi MCTD masih belum jelas. Faktor lingkungan seperti
virus dan / atau infeksi lainnya, faktor makanan, obat-obatan, agen
biologis, radiasi dan beberapa faktor lingkungan lainnya diduga
menjadi beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan genetik
maupun hormon.17

25
2.5.3. Patogenesis

Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) merupakan


penyakit autoimun sistemik yang dikarakterisasi dengan keberadaan
autoantibodi dan sel T reaktif terhadap ribonucleoprotein (U1-RNP)
polypeptides dari kompleks spliceosome meliputi RNA nya yang
kaya dengan uridine (U). Sistem imun innate dan adaptif berperan
dalam penyakiti ini.18

MCTD disebabkan gangguan toleransi diri dari reseptor sistem


imun innate hingga produksi autoantibodi oleh sel limfosit. Pada
MCTD didapatkan kelainan pada toll like receptor yang akan
mengenali RNA pada MCTD. Aktivasi reseptor toll-like akan
menyebabkan aktivasi sel B. Produksi antibodi anti-RNP merupakan
komponen utama diagnosis MCTD. Pada MCTD antibodi yang
diproduksi adalah IgG, bahkan setengah antibodi pada pasien MCTD
merupakan anti-RNP. Sel B juga dapat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC). 18

Sel limfosit T seperti CD4, CD8, dan T reg juga berperan


dalam MCTD. Sel CD4 berperan dalam aktivasi sel B untuk
produksi antibodi. Sel CD8 menyebabkan infiltrasi dan kerusakan
jaringan. Sel T regulatory yang berfungsi menghentikan fungsi sel T
juga didapatkan sangat kurang pada MCTD.18

2.5.4. Manifestasi klinis

Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) Penyakit Jaringan


Penghubung Tercampur (Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
adalah istilah yang digunakan oleh beberapa ahli untuk
menggambarkan kumpulan pada gejala-gejala serupa pada systemic
lupus erythematosus, scleroderma, polymyositis, dan
dermatomyositis19

26
Sekitar 80% orang yang mengalami penyakit ini adalah wanita.
Penyakit jaringan penghubung tercampur mempengaruhi orang
berusia dari 5 sampai 80 tahun. Penyebabnya tidak diketahui,tetapi
yang muncul menjadi gangguan autoimun.19

Gejala klinisnya adalah:19

1. Fenomena raynaud

2. Athralgia/arthritis

3. Hipomotilitas esophagus

4. Disfungsi pulmonal

5. Tangan membengkak

6. Miositis

7. Ruam

8. Leucopenia

9. Sklerodaktili

10. Pleuritis/perikarditis

11. Hipertensi pulmonal

2.6. Mengapa pasien mengalami kemerahan dan bercak-bercak pada kedua


sisi muka dan kulit?
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan
SLE. Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE
pada sekitar 70% pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada
sel kulit atau dengan mengubah DNA dan protein intraseluler dan
membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya beberapa infeksi memicu respon
imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal

27
self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan
produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai
autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit
ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk
beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B
dan T yang patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis.20

2.7. Mengapa pasien mengalami rambut rontok?

Rambut rontok sering juga dikeluhkan pada saat pertama kali datang.
Rambut rontok bisa disebabkan oleh penyakitnya sendiri yaitu sistem imun
yang merusak folikel rambut atau oleh karena pengobatan SLE. Mukosa
oral merupakan tempat tersering terjadinya ulserasi pada anak dengan SLE.
Lesi klasik biasanya tidak nyeri, dalam, berupa ulkus kasar, dan disertai
eritema pada palatum durum.21

28
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perempuan 40 tahun mengalami SLE (Systemic Lupus Erythematosus).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwaningsih E. Disfungsi Telomer Pada Penyakit Autoimun. Jurnal


Kedokteran Yarsi. 2013;21(1):041–9.
2. Kumar,Vinay. Robbins Basic Pathology. Philadelphia, Elsevier Saunders.
2013.
3. Yoga I Kasjmir, Kusworini Handono, Linda Kurniaty. Diagnosis dan
pengelolaan LES rekomendasi perhimpunan reumatologi Indonesia. 2011.
4. Saraswati PDA, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus. In : Dexa
Media Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan
Kelamin RSUD Wangaya. 2006. 26-0.
5. Kumar, Abbas, Aster. Buku Ajar Patologi. Edisi 9. Singapura: Elsevier. 2015.
6. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et all. Systemic Lupus Erythematosus
(SLE). In :Harrison’s Manual of Medicine. 16th ed. New York : McGraw-Hill
Medical Publishing Division. 2006. 779-85.
7. Choi J, Kim ST, dan Craft J. The Pathogenesis of Systemic Lupus
Erythematosus : Update. Elsevier Ltd. 2012.
8. Petri M1, Orbai AM, Alarcón GS, Gordon C, Merrill JT, Fortin PR, et al.
Derivation and validation of the Systemic Lupus International Collaborating
Clinics classification criteria for systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum. 2012; 64(8):2677-86.
9. Anggraini, Nopa Septia. Systemic Lupus Erithematosus. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. J Medula Unila. Volume 4. No IV. 2016.
126-129.
10. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia; 2011.
11. Singh, J., Saag, K., Bridges, L., Aki, E., Bannuru, R. American College of
Rheumatology Guideline for the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis
Care & Research, DOI 10.1002/acr.22783, VC 2015, American College of
Rheumatology. 2015.
12. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. hal. 2495-508. FKUI. Jakarta.
2009.

30
13. Corwin, E. J..Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009.
14. Mclnnes B, Schett G. The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N ENG J
MED. 2011;23:365.
15. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism.
2010; 62: 2569 – 81 13.
16. Mukhalidah Hanun Siregar, Sri Minatun: Kamus Kedokteran Modern cara
mudah memahami istilah-istilah kedokteran, Jogjakarta: Laksana, 2011,
halaman 204
17. Tsokos GC. Systemic Lupus Erythematosus. N. Engl. J. Med.
2011;365(22):2110-21.
18. Hoffman RW, Maldonado ME. Immune pathogenesis of Mixed Connective
Tissue Disease : A short analytical review. Elsevier. 2008.
19. Greidinger EL, et al. Mixed Connective Tissue Disease. [internet] 2016.
[cited April 17th 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/335815-clinical.
20. Elfriadi, dr. Systemic Lupus Erithematosus. Harrison’sPrinciples of Internal
Medicine Seventeenth Edition. 2011.
21. Evalina. Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologis pada Anak dengan
Lupus Eritematosus Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik
Medan. Sari Pediatri. 2012;13(6).

31

Anda mungkin juga menyukai