Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 5

MODUL HEMATOLOGI ONKOLOGI


PEMICU 1

Disusun Oleh :

Baskara Zhafran Ramadhan I1011141043


Ullya Aisyafitri I1011151007
Tasya Ayulga Setya I1011151010
Shintya Dewi I1011151012
Josephine Johan Liauw I1011151021
Ariesta Nurfitria Khansa I1011151027
Muhammad Fikri Raihan I1011151028
Muthia Alya Fadhila I1011151041
Gerry Albilardo I1011151046
Rizal Mukhlisin I1011151062
Ulfa Tunisak I1011151068
Gaudensius I1011151073

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Asep, 2 tahun datang ke praktek dokter dibawa oleh ibunya dengan
keluhan lutut kanan yang membengkak dan berwarna kemerahan. Ibu pasien
mengatakan anaknya mengalami hal tersebut setelah bermain bersama teman-
temannya. Ibu mengatakan anaknya mengeluhkan nyeri di bagian lutut yang
bengkak. Keluhan lutut membengkak disertai nyeri ini semakin sering terjadi
sejak 6 bulan terakhir. Tidak ada riwayat terbentur dan jatuh. Ibu pasien
mengatakan saudara laki-lakinya pernah mengalami hal serupa seperti anak
asep. Saudara laki-laki ibu Asep (paman Asep) meninggal saat usia 6 tahun
karena perdarahan saat operasi Hernia.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter, didapatkan
tanda vital N:120x/menit, suhu 37,2˚C, laju pernafasan 40x/menit.
Pemeriksaan jantung paru dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen tidak
ditemukan hepatosplenomegali dan bising usus normal. Pada pemeriksaan
status lokalis didapatkan tungkai kanan area lutut tampak pembengkakan
disertai kemerahan dan nyeri tekan.

Data Tambahan Pemeriksaan Laboratorium:


Hb : 10,5 g/dL
Ht : 33%
Jumlah eritrosit : 4,5 juta / mm3
Jumlah leukosit : 7.300 / mm3
Jumlah trombosit : 250.000 / mm3
PT : 12 detik
aPTT : 16 detik
BT : 2 menit 30 detik
CT : 7 menit
Faktor VIII : 3%

1
Faktor IX : 78%

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Hernia: penonjolan sebagian organ atau jaringan melalui lubang yang
abnormal

1.3 Kata Kunci


a. Anak laki-laki usia 2 tahun
b. Lutut kanan bengkak dan kemerahan
c. Nyeri lutut
d. Tidak ada riwayat trauma
e. Riwayat keluarga: paman meninggal akibat perdarahan

1.4 Rumusan Masalah


Anak laki-laki usia 2 tahun mengalami kemerahan, nyeri, disertai bengkak
pada lutut kanannya dan semakin sering sejak 6 bulan yang lalu, tidak ada
riwayat trauma, namun terdapat riwayat paman meninggal akibat pendarahan
pasca operasi hernia pada usia 6 tahun.

2
1.5 Analisis Masalah

Anak laki-laki, 2 tahun

Anamnesis Riwayat keluarga

Lutut Kanan: Paman meninggal


Inflamasi
-Bengkak pada usia 6 tahun
karena pendarahan
- Kemerahan
Hemarthrosis pasca operasi hernia
-Nyeri

DD:
Semakin sering
-Hemofilia
sejak 6 bulan lalu
-von Willebrand Disease

Tidak ada riwayat Diagnosis


trauma

Tata Laksana

1.6 Hipotesis
Anak laki-laki 2 tahun tersebut mengalami hemofilia.

1.7 Learning Issue


1. Hemostasis
a. Definisi
b. Mekanisme
c. Komponen yang terlibat
d. Pemeriksaan faal
e. Contoh gangguan dan penjelasannya
2. Jelaskan mengenai hemarthrosis!

3
3. Jelaskan respon tubuh terhadap pendarahan!
4. Hemofilia
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Klasifikasi
e. Patofisiologi
f. Manifestasi klinis
g. Faktor Resiko
h. Diagnosis
i. Tatalaksana
j. Prognosis
k. Komplikasi
5. von Willebrand Disease
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Klasifikasi dan Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
f. Diagnosis
g. Tatalaksana
h. Prognosis
6. Jelaskan mengenai penilaian kemampuan fungsional pada penderita
hemofilia!
7. Apa hubungan riwayat keluarga dengan kasus?
8. Tranfusi Darah
a. Indikasi pemberian
b. Jenis tranfusi darah
c. Cara pemberian
d. Reaksi samping
9. Intepretasi data tambahan

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hemostasis
a. Definisi
Istilah hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah Bila pembuluh
darah mengalami cedera atau ruptur, hemostasis terjadi melalui beberapa
cara: (1) konstriksi pembuluh darah, (2) pembentukan sumbat platelet, (3)
pembentukan bekuan darah sebagai hasil pembekuan darah, dan (4)
akhirnya terjadi pertumbuhan jaringan fibrosa ke dalam bekuan darah
untuk menutup lubang pada pembuluh secara permanen.1

b. Mekanisme2
Faal hemostasis melibatkan sistem berikut:
1) Sistem vaskular.
2) Sistem trombosit
3) Sistem koagulasi
4) Sistem fibrinolisis

Faal hemostasis untuk dapat berjalan normal memerlukan 3 langkah yaitu :


1) Langkah I : hemostasis primer, yaitu pembentukan “primary platelet
plug”
2) Langkah II : hemostasis sekunder,yaitu pembentukan stable hemostatic
plug (platelet+fibrin plug)
3) Langkah III : fibrinolisis yang menyebabkan lisis dan fibrin setelah
dinding vaskuler mengalami reparasi sempurna sehingga pembuluh
darah kembali paten

A. Sistem Vaskular
Pembuluh darah memiliki peran penting dalam menjaga hemostasis.
Sel endotel menghasilkan:

5
1) Prostasiklin, yang menyebabkan vasodilatasi dan mencegah
terjadinya agregasi dari trombosit
2) Anti trombin (AT) dan protein C activator (thrombomodulin),
dimana keduanya mencegah terjadinya koagulasi
3) Tissue plasminogen activator (t-PA), yang berperan mengaktifkan
fibrinolisis

Perlukaan yang terjadi pada dinding pembuluh darah menyebabkan


aktifnya membran yang mengikat tissue factor (TF) yang mengaktfkan
koagulasi dan membentuk jaringan subendothelial yang
memungkinkan pengikatan platelet ke faktor von Willebrand (vWF),
protein multimerik dibuat oleh sel-sel endotel. yang memediasi adhesi
platelet pada endotel dan membawa faktor pembekuan VII dalam
plasma.

B. Sistem trombosit
Trombosit diaktifkan pada lokasi cedera vaskular untuk membentuk
sebuah plug trombosit yang memberikan respon hemostatik awal untuk
menghentikan pendarahan. Respon fungsional trombosit diaktifkan
melibatkan empat proses yang berbeda:
1) Adhesi trombosit
Setelah aktivasi, trombosit mengalami perubahan bentuk yang
signifikan, menghasilkan pseudopods yang membuat trombosit
sangat gampang melekat. Adhesi trombosit terutama dimediasi
oleh pengikatan platelet pada permukaan reseptor kompleks GP Ib
/IX /V dengan vWF dalam matriks subendothelial.15 Defisiensi
komponen dari kompleks GP Ib/IX/V atau vWF menyebabkan
gangguan pendarahan kongenital seperti penyakit Bernard-Soulier
dan penyakit von Willebrand.
Selain itu, ada interaksi perekat lainnya yang berkontribusi
terhadap adhesi platelet. Salah satu contoh adalah pengikatan

6
reseptor platelet kolagen GPIA / IIa dengan kolagen fibril dalam
matriks.
2) Agregasi trombosit
Hasil aktivasi trombosit pada reseptor GP IIb/IIIa pada permukaan
platelet, menyebabkan pengikatan pada vWF dan fibrinogen.18 GP
IIb/IIIa adalah anggota superfamili dari reseptor protein yang
disebut integrin perekat yang ditemukan di banyak jenis sel yang
berbeda. Kompleks GP IIb/IIIa (integrin alpha IIb beta 3) adalah
reseptor yang paling banyak di permukaan platelet, dengan sekitar
80.000 kompleks per platelet. GP IIb/IIIa tidak mengikat
fibrinogen, suatu divalen molekul simetris yang menjembatani
yang menyebabkan trombosit diaktifkan, pada trombosit yang
belum distimulasi. Namun, setelah trombosit distimulasi, GP
IIb/IIIa mengalami perubahan afinitas dan dikonversi dari afinitas
rendah ke afinitas tinggi dari reseptor fibrinogen, sebuah proses
yang disebut sebagai sinyal "inside-out".
Selain memediasi agregasi platelet, bagian dari sitosol diaktifkan
kompleks GP IIb /IIIa yang mengikat sitoskeleton platelet dan
dapat memediasi trombosit menjadi menyebar dan membentuk
retraksi bekuan, yang telah disebut sebagai sinyal "outside-in".
Dengan demikian, kompleks GP IIb/IIIa mengintegrasikan
interaksi reseptor-ligan yang terjadi pada bagian eksternal dari
membran dengan peristiwa sitosol yang terjadi secara dua arah; hal
ini merupakan jalur akhir yang umum untuk agregasi platelet,
terlepas dari modus stimulasi trombosit.
3) Sekresi trombosit
Trombosit mengandung dua jenis butiran: butiran alpha dan butiran
padat. Granul alpha mengandung banyak protein termasuk
fibrinogen, vWF, thrombospondin, platelet derived growth factor
(PDGF), faktor trombosit 4, dan P-selektin. Butiran padat
mengandung ADP, ATP, kalsium terionisasi, histamin, dan

7
serotonin. Trombosit mengeluarkan berbagai zat dari butiran
mereka pada stimulasi sel antara lain :
a) ADP dan serotonin merangsang dan merekrut tambahan
trombosit. Platelet yang merilis serotonin biasanya
menyebabkan vasodilatasi, namun dapat menyebabkan
vasokonstriksi pada endotelium yang rusak atau abnormal.
Trombosit ADP yang aktif meningkatkan ekspresi permukaan
antar molekul adhesi (ICAM) -1 pada sel endotel.
b) Fibronektin dan trombospondin adalah protein adhesi yang
dapat memperkuat dan menstabilkan agregat trombosit.
c) Fibrinogen dilepaskan dari butiran alpha trombosit,
menyediakan sumber fibrinogen pada daerah endotel yang
cedera selain itu fibirnogen juga dijumpai pada plasma.
d) Tromboksan A2, merupakan metabolit prostaglandin yang
menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi platelet.
e) Faktor pertumbuhan, seperti PDGF, memiliki efek mitogenik
yang kuat pada sel-sel otot polos. Pelepasan PDGF dari
trombosit pada lokasi vaskular yang vaskular mungkin
mempengaruhi perbaikan jaringan fisiologis dan pada tempat
yang mengalami cedera berulang, dapat berkontribusi untuk
terjadinya aterosklerosis dan oklusi koroner setelah angioplasti.
4) Aktifitas prokoagulan
Aktivitas platelet prokoagulan merupakan aspek penting dari aktivasi
platelet dan melibatkan paparan fosfolipid prokoagulan, terutama
phosphatidylserine, dan pembentukan berikutnya dari kompleks enzim
dalam kaskade pembekuan pada permukaan platelet 24. Kompleks ini
merupakan contoh penting dari keterkaitan erat antara aktivasi
trombosit dan aktivasi kaskade pembekuan.

8
Gambar 2.1 Pembentukan plug trombosit2

C. Sistem Koagulasi
Faktor koagulasi atau faktor pembekuan darah adalah protein yang
terdapat dalam plasma (darah) yang berfungsi dalam proses koagulasi.
Jika terjadi aktivasi protein ini dalam keadaan tidak aktif (proenzim
atau zymogen), protein aktif ini (enzim) akan mengaktifkan rangkaian
aktivasi berikutnya secara beruntun, seperti sebuah tangga (cascade)
atau seperti air terjun (waterfall). Proses pembentukan fibrin jika
digambarkan secara skematik mirip seperti fenomena air terjun
(waterfall) atau seperti tangga (cascade). Artinya aktivasi faktor awal
akan mengaktifkan faktor berikutnya disertai dengan proses
amplifikasi sehingga molekul yang dihasilkan akan bertambah banyak.

9
2
Gambar 2.2 Peran trombin dalam hemostasis

Gambar 2.3 Cascade koagulasi dan penilaian laboratorium terhadap defisiensi


faktor pembekuan3

10
Proses pembekuan darah bertujuan untuk mengatasi vascular injury
sehingga tidak terjadi pendarahan berlebihan, tetapi proses pembekuan
darah ini harus dilokalisir hanya pada daerah injury, tidak boleh menyebar
ke tempat lain karena akan membahayakan peredaran darah. Untuk itu,
tubuh membuat mekanisme kontrol dimana endotil yang intak memegang
peranan penting.
1) Adanya AT III (anti-thrombin III) yang terikat pada permukaan endotil
dengan perantaraan heparan sulfat. AT III akan menginaktifkan
thrombin dan faktor Xa.
2) Molekul trombomodulin pada permukaan endotil akan mengikat
trombin. Kompleks trombin-trombomodulin akan mengaktifkan
protein-C (dengan bantuan protein-S sebagai kofaktor) akan
menginaktifkan faktor Va dan faktor VIIIa, dengan demikian
pembentukan trombin akan berkurang.
3) Adanya proses pengendali (natural anticoagulant) serta pengenceran
faktor aktif di luar tempat injury dapat mengendalikan proses
koagulasi sehingga tidak menyebar ke tempat lain.

D. Sistem Fibrinolisis
Proses fibrinolitik bertujuan untuk membentuk plasmin yang berguna
untuk menghancurkan bekuan fibrin yang berlebihan atau
menghancurkan fibrin setelah proses reparasi dinding pembuluh darah
selesai sehingga pembuluh darah tersebut kembali paten. Fibrinolosis
merupakan proses dimana fibrin di degradasi oleh plasmin. Sirkulasi
pro-enzim, plasminogen, diaktifkan oleh plasmin:
1) Pada saat terjadi perlukaan, oleh t-PA dan urokinase-like
plasminogenactivator (UPA) yang dilepaskan oleh sel yang
rusak atau oleh sel yang aktif.
2) Bahan eksogen seperti streptokinase, atau oleh t-PA atau UPA
terapetik Plasmin mengubah fibrin atau fibrinogen menjadi
fibrin degradation product (FDPs) dan juga mendegradasi

11
faktor V dan VII. Plasmin yang bebas dinonaktifkan oleh
plasma α2 antiplasmin dan α2 makroglobulin

c. Komponen yang terlibat


Komponen yang terlibat dalam hemostasis ialah sebagai berikut:4
Tabel 2.1 Komponen yang terlibat dalam hemostasis4
Faktor pembekuan Sinonim
Fibrinogen Faktor I
Protrombin Faktor II
Tissu Faktor Faktor III
Kalsium Faktor IV
Faktor V Proaccelerin; faktor labil ; Ac –
globulin
Faktor VII Akselerator konversi protrombin serum
(SPCA) ; prokonvertin ; faktor stabil
Faktor VIII Faktor antihemofilik (AHF) ; Globulin
antihemofilik (AHG) ; Faktor A
antihemofilik
Faktor IX Komponen tromboplastin plasma (PTC)
; faktor B antihemofilik
Faktor X Faktor stuart ; faktor stuart – power
Faktor XI Antesedan tromboplastin plasma (PTA)
; faktor C antihemofilik
Faktor XII Faktor Hageman
Faktor XIII Faktor stabilisasi fibrin
Prekallikrein Faktor Fletcher
Kininogen Faktor Fitzgerald ; HMWK
Trombosit / platelet

d. Pemeriksaan faal5
Pemeriksaan faal hemostasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan
untuk mengetahui faal hemostasis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan
faal hemostasis sangat penting dalam mendiagnosis diatesis hemoragik
(kelainan perdarahan). Pemeriksaan ini terdiri dari:
1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik bertujuan untuk :
a. Mencari riwayat perdarahan abnormal

12
b. Mencari kelainan yang mengganggu faal hemostasis, misalnya
penyakit hati kronik, SLE (systemic lupus erythematosus), gagal
ginjal kronik, keganasan hematologik, dll
c. Riwayat pemakaian obat
d. Riwayat perdarahan dalam keluarga
2) Tes penyaring, terdiri atas :
a. Tes untuk menilai pembentukan hemostatic plug, seperti: hitung
trombosit, apusan darah tepi, bleeding time, tes torniquet (Rumple-
Leede).
b. Tes untuk menilai pembentukan trombin terdiri atas tes PT
(Prothrombin Time) dan aPTT (Activated Partial Thromboplastin
Test).
c. Tes untuk menilai reaksi trombin-fibrinogen terdiri atas thrombin
time dan stabilitas bekuan dalam saline fisiologik dan 5 M urea.
d. Tes prakoagulasi
3) Tes Khusus
Tes khusus lanjutan, yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan
faal hemostasis tersebut. Tes ini dilakukan sesuai petunjuk tes
penyaring yaitu: tes faal trombosit, tes Ristocetin, pengukuran faktor
spesifik (faktor pembekuan), dan pengukuran alpha-2 antiplasmin

e. Contoh gangguan dan penjelasannya6


1) Gangguan vaskulus
Perdarahan abnormal yang tidak disebabkan oleh kelainan trombosit
dan kelainan mekanisme pembekuan darah digolongkan ke dalam
perdarahan karena gangguan vaskulus. Faktor yang dapat
menimbulkan kelemahan vaskulus umumnya dapat dibagi menjadi
1. Faktor kongenital
a. Telangiektasia hemoragika herediter (oslet-weber-rendu)
b. Hiperelastika kutis (ehler-dan los)

13
2. Faktor didapat (acquired)
a. Scorbut
b. Defisiensi vitamin c
c. Panvaskulitis
d. Purpura anafilaktoid (purpura henoch-schenlein)
e. Dan lain-lain, misalnya uremia.
2) Gangguan trombosit
Gangguan kelainan jumlah trombosit
1. Purpura trombositopenik imun (PTI) ialah suatu penyakit
perdarahan yang didapat sebagai akibat dari penghancuran
trombosit yang berlebihan, yang ditandai dengan: trombositopenia
(trombosit <100.000 mm), purpura, gambaran darah tepi yang
umumnya normal, dan tidak ditemukan penyebab trombositpeni
yang lainnya.
2. Purpura trombositopenia sekunder (PTS), yang trejadi akibat
pengaruh imun yang menyebabkan umur trombosit memendek dan
kelainan ini mempunyai hubungan dengan jumlah megakariosit
normal atau meningkat maupaun megakariosit kurang sampai tidak
ada dalam sumsum tulang.
3. Trombositopenia neonatal, terjadi bila jumlah trombosit <
100.000/ml, umunya ditemukan pada distress neonatal terutama
pada bayi prematur yang sakit atau menderita penyakit seperti
bakteriemi dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC).
3) Gangguan Pembekuan darah
1. Gangguan pembekuan darah yang diturunkan
a. Hemofilia merupakan penyakit atau gangguan perdarahan yang
bersifat herediter akibat kekurangan faktor pembekuan VIII
atau IX. Hemofilia terbagi atas :
 Hemofilia A adalah penyakit perdarahan herediter yg
disebabkan karena defisiensi atau penurunan aktivasi faktor
koagulasi FVIII.

14
 Hemofilia B adalah penyakit perdarahan herediter yang
disebabkan karena defisiensi atau penurunan aktivasi faktor
koagulasi FIX.
 Hemofilia C adalah penyakit perdarahan herediter yang
disebabkan karena defisiensi atau penurunan aktivasi faktor
koagulasi FXI.
b. Penyakit von willbrand
Penyakit von Willebrand (vWD) adalah kelainan yang
diwariskan secara otosomal dengan gejala perdarahan,
disebabkan mutasi gen faktor von Willebrand (vwf) sehingga
terjadi defisiensi atau disfungsi vwf.
2. Gangguan Pembekuan darah yang didapat
a. Defesiensi vitamin K
Vitamin K penting untuk sintesis prokoagulan faktro II , VII,
IX dan X serta koagulan C dan S
b. Penyakit hati
Hati mensintesis semua faktor koagulasi dalam plasma (kecuali
faktor VIII yang juga dapat disintesis di endothel pembuluh
darah). Gangguan pembekuan timbul bila terdapat kerusakan
parenkim hati yang mengganggu sintesis faktor-faktor tersebut.
c. Disseminated intravaskular coagulation (DIC), merupakan
suatu gangguan pembekuan darah yang di dapat, berupa
kelainan trombohaemorrhagic sistemik yang hampir selalu
disertai dengan adanya penyakit primer yang mendasarinya.
Hemorrhagic Disease of the newborn merupakan penyakit
perdarahan yang terjdi pada hari-hari pertama kehidupan akibat
kekurangan vitamin K yang ditandai dengan menurunnya
faktor II , VII, IX, X.

15
2.2 Jelaskan mengenai hemarthrosis!
Kekurangan berat di F.VIII atau F.IX ketika tidak diobati mengarah kepada
perdarahan pada sendi, otot, dan otak yang klasik. Hemartrosis yang tidak
diobati umumnya mengarah pada arthritis yang melemahkan dan kegagalan
sendi seluruhnya dengan yang mengakibatkan perlu penggantian sendi yang
di masa dewasa. Pengaruh pada lutut atau siku merupakan yang paling umum
tetapi pergelangan kaki dan bahu juga dapat terpengaruhi. Pasien dengan
penyakit yang berat dapat mengembangkan "sendi target" yang cenderung
dipengaruhi dari proporsi sendi lain dengan episode perdarahan berulang yang
dapat menyebabkan kerusakan permanen dan sakit kronis.7

Siklus perdarahan sering dimulai dengan perdarahan ke dalam ruang sinovial.


Adanya darah intrasinovial membentuk reaksi peradangan yang menyebabkan
nyeri, kehangatan, dan pembengkakan. Selanjutnya, hipertropi sinovium
bersama dengan peningkatan vaskularisasi, yang lebih rapuh menyebabkan
perdarahan lebih, membuat siklus buruk yang cepat dan akhirnya mengarah
pada kerusakan sendi. Pada pasien yang lebih muda, seperti balita, satu-
satunya tanda perdarahan sendi mungkin iritabilitas dan penolakan untuk
menggunakan sendi. Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa akan sering
menggambarkan "kesemutan" di sendi, dan mengabarkan adanya perdarahan.
Pasien dengan hemofilia ringan mungkin tidak mengaitkan gejala mereka
dengan perdarahan sendi dan hanya mengeluh sering "keseleo" pergelangan
kaki. Hemartrosis dapat menyebabkan kerusakan sendi mendasar menjadikan
hemofilia sendi lebih rentan untuk berkembang menjadi arthritis septik dengan
risiko 15-40 kali lebih besar daripada populasi umum.7

2.3 Jelaskan respon tubuh terhadap pendarahan!


Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume, kecepatan,
lama perdarahan dan keadaan penderita sebelum perdarahan. Penderita dewasa
muda yang sehat dengan perdarahan 10% dari jumlah estimated blood volume
(EBV) tidak mengalami perubahan frekuensi nadi, tekanan darah, sirkulasi

16
perifer dan tekanan vena sentral. Penderita dengan perdarahan 30% EBV akan
merangsang reseptor di jantung untuk mendeteksi penurunan volume, lalu
menstimulasi sistem saraf simpatik lewat pusat vasomotor yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga perpindahan cairan ke dalam ruang interstitial
berkurang dan perfusi ginjal menurun yang menyebabkan retensi air dan ion
Na+. Mekanisme ini mengembalikan volume intra vaskular menuju normal
dalam 12 jam. Proses kompensasi ini sangat efektif sampai perdarahan
sebanyak 30%. 8

Perdarahan dengan jumlah di bawah 30% EBV atau kadar hematokrit di atas
20%, masih dapat diganti dengan cairan kristaloid atau yang komposisinya
sama dengan darah. Transfusi darah diperlukan bila kehilangan darah lebih
dari 30% dan didapatkan tanda-tanda hipoksia jaringan. Respon tubuh
terhadap perdarahan disarikan oleh American College of Surgeons menjadi
empat tingkat sesuai dengan jumlah perdarahan dan respon fisiologis berupa
tanda klinis yang kita bisa evaluasi.8

Gambar 2.4. Klasifikasi perdarahan berdasarkan American College of


Surgeon8

17
Respon fisiologis tubuh kita terhadap perdarahan akut yang dialami adalah
dengan mengaktifkan 4 sistem fisiologis utama, yaitu sistem hematologi,
sistem kardiovaskular, sistem ginjal dan sistem neuroendokrin.8
1. Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah akut yang berat
dengan cara mengaktivasi kaskade koagulasi dan mengkonstriksikan
pembuluh darah yang mengalami pendarahan melalui pelepasan
tromboksan A2 lokal. Tromboksan A2 lokal akan mengaktivasi platelet
untuk membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan.
Sumbatan yang dibentuk akan mengalami deposisi fibrin dan stabilisasi
melalui proses subsekuen dari kolagen yang dihasilkan pembuluh darah
rusak. Waktu yang diperlukan sekitar 24 jam untuk pembentukan
sumbatan fibrin sempurna dan formasi matur.8
2. Sistem kardiovaskular awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi
akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunannadi vagal
basal yang diatur oleh baroreseptor di arcus karotid, arkus aorta, atrium
kiri dan pembuluh paru. Sistem kardiovaskular juga merespon dengan
mendistribusikan darah ke otak, jantung, dan ginjal namun membawa
darah dari kulit, otot, dan gastro intestinal menuju ke otak dan jantung.
Vasokonstriksi yang terjadi diikuti dengan menurunnya resistensi
vaskuler di periper sebagai akibat menurunnya viskositas darah.
Mekanisme lain dengan meningkatkan kontraktilitas miokard bertujuan
supaya tidak terjadi penurunan curah jantung yang terlalu banyak.8
3. Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan merangsang
peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, selanjutnya
dikonversi menjadi angiotensin II oleh paru-paru dan hati. Angiotensin
II memiliki dua efek utama, yang keduanya membantu perbaikan
keadaan pada syok hemoragik, pertama adalah vasokonstriksi arteriol
otot polos, dan yang kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron oleh

18
korteks adrenal. Aldosteron bertanggung jawab untuk reabsorpsi
Natrium aktif dan konservasi air sehingga volume intravaskular bisa
meningkat.8
4. Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
peningkatan sirkulasi hormon antidiuretik (ADH). ADH dilepaskan dari
kelenjar Hipofisis Posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan
darah yang dideteksi oleh baroreseptor dan penurunan konsentrasi
Natrium yang dideteksi oleh osmoreseptor. ADH secara tidak langsung
meningkatkan reabsorpsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distal,
Ductus Colectivus dan loop of Henle.8

2.4 Hemofilia
a. Definisi
Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan
karakteristik sex-linked resesif dan autosomal resesif, di mana perdarahan
dapat terjadi tanpa penyebab trauma yang jelas atau berupa perdarahan
spontan. Hemofilia dibagi atas tiga jenis yaitu hemofilia A, B, dan C.
Hemofilia A dan B diturunkan secara seksual, sedangkan hemofilia C
secara autosomal. Pada kasus hemofilia A terdapat defisiensi faktor VIII;
kasus hemofilia B dengan defisiensi faktor IX; dan hemofilia C dengan
defisiensi faktor XI.9,10

b. Etiologi
Hemofilia adalah gangguan resesif terkait gen-x, yang diturunkan oleh
perempuan dan ditemukan secara dominan pada laki-laki. Hemofilia juga
dapat disebabkan oleh mutasi gen.1,11

70-80% penderita hemophilia mendapatkan mutasi gen resesif X-linked


dari pihak Ibu. Gen faktor VIII dan faktor IX terletak pada kromosom X
dan bersifat resesif., maka penyakit ini dibawa oleh perempuan (karier,
XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (laki-laki, XhY); dapat

19
bermanifestasi klinis pada perempuan bila kromosom X pada perempuan
terdapat kelainan (XhXh). Penyebab hemofilia karena adanya defisiensi
salah satu faktor yang diperlukan untuk koagulasi darah akibat kekurangan
faktor VIII atau XI, terjadi hambatan pembentukan trombin yang sangat
penting untuk pembentukan normal bekuan fibrin fungsional yang normal
dan pemadatan sumbat trombosit yang telah terbentuk pada daerah jejas
vaskular.1,11

c. Epidemiologi
Hemofilia yang paling sering terjadi adalah hemofilia A dilanjutkan
dengan B. Di berbagai negara yang sedang berkembang, prevalensi
hemofilia sebenarnya tidak diketahui karena keterbatasan fasilitas
diagnosis, tetapi dari berbagai kejadian di negara berkembang,
diperkirakan prevalensi terjadi pada 1 dari 10.000 untuk hemofilia A dan 1
dari 50.000 untuk hemofilia B dari setiap kelahiran laki – laki.12 Menurut
Ragni (2012) insiden hemofilia diperkirakan terjadi pada 1 dari 5000
untuk hemofilia A dan 1 dari 30.000 untuk hemofilia B dari setiap
kelahiran laki-laki. Menurut Prevalensi hemofiia A (per 100.000 laki-laki)
bervariasi di tiap negara. Sebagai contoh, prevalensi yang dilaporkan pada
awal tahun 1970 di United Kingdom sekitar 10 per 100.000 laki-laki
sedangkan di United States sekitar 20 per 100.000 laki-laki. Tiga puluh
tahun kemudian terjadi sebaliknya, prevalensi pada tahun 2006 di United
States adalah 8 per 100.000 laki-laki sedangkan di United Kingdom adalah
20,7 per 100.000 laki-laki.12,13

Di Indonesia sangat sedikit penderita hemofilia yang dilaporkan.


Berdasarkan data tahun 2011, jumlah pasien hemofilia yang terdaftar di
Indonesia mencapai 1.388 pasien. Angka itu diperkirakan tidak
mencerminkan jumlah penderita sebenarnya. Informasi di masyarakat
yang masih minim mengenai penyakit hemofilia membuat penderita

20
hemofilia tidak langsung dapat terdeteksi. Prevalensi di negara
berkembang tidak diketahui karena tidak tersedianya fasilitas diagnosis.12

d. Klasifikasi
Hemofilia dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:14
1) Hemofilia A
Disebut hemofilia klasik karena merupakan jenis yang paling banyak,
yaitu kekurangan faktor pembekuan nomor VIII. Pengobatannya
dengan pemberian suntikan konsentrat faktor VIII atau transfusi
komponen darah berupa cryo precipitate.
2) Hemofilia B
Disebut juga Christmas disease karena ditemukan pertama kalinya
oleh seseorang bernama Steven Christmas asal Kanada. Terjadi akibat
kekurangan faktor pembekuan nomor IX. Pengobatannya dengan
pemberian suntikan konsentrat faktor IX atau transfuse komponen
darah berupa Fresh Frozen Plasma (FFP).
3) Hemofilia C
Kekurangan faktor pembekuan nomor IX. Pengobatannya dengan
transfusi komponen darah berupa Fresh Frozen Plasma (FFP).

e. Patofisiologi
Trombosit memainkan peran penting dalam menghentikan perdarahan dengan
menggumpal bersama dan membentuk plug, dari awal perbaikan pembuluh darah
terluka. Faktor pembekuan seperti faktor VIII dan IX diperlukan untuk lem
pasang di tempat sehingga membentuk gumpalan. Protein pembekuan seperti
faktor VIII dan IX yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan
trombosit membentuk gumpalan mesh seperti fibrin. Protein ini (Faktor I, II, V,
VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII dan faktor von Willebrand) bekerja seperti kartu
domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade koagulasi. Ketika terjadi
ketiadaan misalnya, faktor VIII (pada Hemofilia A) dan F IX (hemofilia B), kartu
domino berhenti jatuh, dan reaksi berantai rusak. Pembekuan tidak terjadi, atau

21
terjadi jauh lebih lambat dari biasanya karena trombosit di lokasi cedera tidak
mesh ke tempatnya untuk membentuk bekuan permanen.15

f. Manifestasi klinis
Gejala yang paling sering terjadi pada hemofilia ialah perdarahan, baik
yang terjadi di dalam tubuh (internal bleeding) maupun yang terjadi di
luar tubuh (external bleeding). Internal bleeding yang terjadi dapat berupa:
hyphema, hematemesis, hematoma, perdarahan intrakranial, hematuria,
melena, dan hemartrosis. Terdapatnya external bleeding dapat
bermanifestasi sebagai perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang
tanggal atau pada ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi luka kecil;
dan perdarahan dari hidung tanpa sebab yang jelas. 16

g. Faktor Resiko
Faktor yang diduga berperan terhadap timbulnya inhibitor yaitu: 17-19
1) Tipe mutasi predisposisi genetik berkembangnya inhibitor adalah
adanya mutasi pada gen faktor VIII dan gen yang melibatkan respon
imun seperti lokus gen MHC kelas I dan II. Timbulnya inhibitor
diduga ada korelasi antara terjadinya mutasi pada gen faktor VIII,
respon imun, dan epitop antibodi FVIII. Halotip H3 dan H4 dari faktor
VIII pada penderita hemofilia A, 3,4 kali lebih besar berisiko untuk
terbentuknya inhibitor. Tipe mutasi pada penderita hemofilia A berat
yaitu inversi intron 22, mutasi poin, kodon stop, missense, delesi besar,
delesi kecil, insersi, mutasi yang tidak terkarakterisasi, dan mutasi
yang tidak teridentifikasi. Resiko terbesar terbentuknya inhibitor
berdasarkan mutasi yang terjadi adalah delesi besar lebih dari 2 ekson,
inverse iatrogenik, insersi kecil atau delesi, missesnse mutations, dan
nonsense mutation (rantai ringan atau berat), hal ini dikarenakan
sistem imun penerima pengganti faktor VIII mengenalinya sebagai
protein asing, sedangkan risiko lebih rendah untuk terbentuknya
inhibitor adalah splice-site mutations, small insertions, atau deletions.

22
2) Berat ringannya derajat hemofilia
Selama ini telah diketahui bahwa inhibitor paling banyak ditemukan
pada penderita hemofilia A berat dibandingkan dengan hemofilia A
sedang atau ringan. Inhibitor terhadap terapi pengganti terjadi pada
sekitar 25-30% penderita hemofilia A berat, dan 5% pada penderita
hemophilia A sedang dan ringan.
3) Riwayat keluarga
Resiko membentuk inhibitor makin meningkat secara bermakna pada
penderita hemofilia yang mempunyai riwayat keluarga membentuk
inhibitor dengan risiko relatif (RR) 3,2. Dilaporkan bahwa insiden
terbentuknya inhibitor makin tinggi pada saudara kandung (50%),
dibandingkan dengan yang lebih jauh hubungan kekerabatannya (9%).
4) Ras
Pada bangsa Afrika, insiden penderita hemofilia berat membentuk
inhibitor, dua kali lebih tinggi daripada Kaukasian (51,9%
dibandingkan 25,8%).
5) Molekul Major Histocompability Complex (MHC)
Molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas II DR15 dan
DQB0602 sering ditemukan pada mereka yang membentuk inhibitor
daripada yang tidak membentuk inhibitor, sehingga struktur ini
dikatakan ‘risk allele’ dengan RR 2,2 dan 3,7.
6) Usia saat pertama kali diberikan replacement therapy
Insiden terbentuknya inhibitor lebih tinggi pada mereka yang
mendapat terapi penggantian sebelum berusia 6 bulan. Inhibitor timbul
pada 41, 29, dan 12 % jika terapi pengganti diberikan pada usia < 6
bulan, antara 6-12 bulan, dan > 12 bulan.
7) Jenis konsentrat
Modifikasi dalam proses manufaktur berpotensi memicu pembentukan
inhibitor. Pada produk faktor VIII yang diperoleh dari plasma, masih
didapatkan Von Willebrand (VWF) yang terikat pada faktor VIII
sehingga produk faktor VIII dari plasma belum dapat sepenuhnya

23
digantikan oleh rekombinan faktor VIII, karena belum dapat
disingkirkan kemungkinan pasien mendapat keuntungan dari VWF
yang bersifat imunosupresif atau mencegah timbulnya inhibitor.
8) Intensitas dan cara pemberian Replacement therapy
Replacement therapy (terapi pengganti) yang dilakukan secara intensif
kemungkinan menjadi faktor risiko terbentuknya inhibitor faktor VIII
pada penderita hemofilia A ringan atau sedang. Terapi profilaksis sejak
dini diperkirakan mempunyai efek protektif. Pemberian terapi
profilaksis sebelum berusia 35 bulan lebih jarang membentuk inhibitor
dibandingkan dengan mereka yang diberi terapi profilaksis setelah usia
tersebut.

h. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Anamnesis diarahkan pada riwayat mudah timbul lebam
sejak usia dini, perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan,
trauma ringan atau spontan, atau perdarahan sendi dan otot. Riwayat
keluarga dengan gangguan perdarahan terutama saudara laki-laki atau dari
pihak ibu juga mendukung ke arah hemophilia. Hasil pemeriksaan darah
rutin dan hemostasis sederhana sama pada hemofilia A dan B. Darah rutin
biasanya normal, sedangkan masa pembekuan dan masa thromboplastin
parsial teraktifkan (aPTT) memanjang, dan masa pembekuan
thromboplastin abnormal. Masa perdarahan dan masa prothrombin (PT)
umumnya normal.15

Diagnosis pasti ditegakkan dengan memeriksa kadar F.VIII untuk


hemofilia A dan F.IX untuk hemofilia B, di mana kedua faktor tersebut di
bawah normal. Pemeriksaan petanda gen hemofilia pada kromosom X juga
dapat memastikan diagnosis hemofilia dan dapat digunakan untuk
diagnosis antenatal. Secara klinis, hemofilia A tidak dapat dibedakan
dengan hemofilia B, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan khusus F.VIII

24
dan IX. Wanita pembawa sifat hemofilia A dapat diketahui dengan
memeriksa kadar F.VIII yang bisa di bawah normal, analisis mutasi gen
hemofilia atau rasio F.VIII dengan antigen faktor von Willebrand
(FVIII/vWF: Ag ratio) yang kurang dari 1, sedangkan wanita pembawa
sifat hemofilia B dapat diketahui melalui aktivitas F.IX yang dapat
menurun atau pemeriksaan genetik.15

i. Tatalaksana15
1) Terapi suportif
a) Melakukan pencegahan dengan menghindari trauma
b) Merencanakan suatu tindakan operasi
c) Untuk mengatasi perdarahan akut, maka beri tindakan rest, ice,
compressio, elevation (RICE) di lokasi perdarahan
d) Kortikosteroid, membantu menghilangkan proses inflamasi pada
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis.
e) Analgetik, diindikasikan untuk pasien hemartrosis dengan nyeri
hebat (hindari penggunaan aspiirn dan antikoagulan)
f) Rehabilitasi medik, dilakukan sedini mungkin, komprehensif dan
holisitk, dan keterlambatan pengeloaan akan menyebabkan kecacatan
dan ketidakmampuannbaik fisik, okupasi masupun psikososial dan
edukasi.
2) Terapi pengganti faktor pembekuan
Diberikan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik (terutama
sendi) sehingga pasien masih dpat melakukan aktivitas normal, terapi
penggantian faktor pembekuan dilakukan dengan memberikan fvIII atau FIX,
baik rekombinan, konsentrat maupun komponen darah yang mengandung
cukup banyak faktor pembekuan tersebut.
3) Konsentrat FVIII/FIX
Hemofilia berat,ringan sedang dengan episode perdarahan yang serius
membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang
harus diterpi dengan konsentrat faktor FVIII yang telah dilemahkan virusnya.
4) Kriopresipitat AH

25
Salah satu komponen darah nonseluler yang merupakan konsentrat plasma
tertentu yang mengandung FVIII, fibrinogen dan FVW. Dapat diberikan
apabila FVIII tidak ditemukan. Satu kantong kriopresipitat berisi 80-1000F
FVIII
5) DDAVP atau Desmopresin Hormon sintetik antidiuretik
Merangsang peningkataan kadar aktivitas FVIII di dalam plasma sampai 4
kali namun sifatnya sementara, pemberiannya dianjurkan pada hemofilia A
ringan, sedang dan wanita carrier simptomatik. Pemberian IV dosis 0,3
mg/kg BB dalam 30-50 NaCl 0,9% selama 15-20 menit dengan lama kerja 8
jam. Efek puncak 30-60 menit. Sediaan semprot intranasal, untuk BB<50kg
150 mg (sekali semprot),300 mg untuk BB>50kg ( dua kali semprot) dengan
efek puncak 60-90 menit. Efek samping yang dapat terjadi berupa takikardi,
flushing, trobosis (sangat jarang dan hiponatremia, juga bisa timbul angina
pada pasien PJK.
6) Antifibrinolitik
Digunakan untuk pasien hemofilia B untuk menstabilkan bekuan/fibrin
dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Haln ini sangat membantu
dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan perdarahan terutama pada kasus
perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi karena saliva banyak enzim
fibrinolitik. Epsilon aminocaproic acid (EACA) diberikan secara oral atau IV
dengan dosis awal 200mg/kgBB, diikuti 100mg/kgBB setiap 6 jam (max 5
gram setiap pemberian). Asam traneksamat, dosis 25mg/kgBB (max 1,5g)
secara oral, atau 10 mg/kgBB (max 1g) secara IV setiap 8 jam. Asam
traksenamat dapat dilarutkan 10% bagian dengan cairan parenteral terutama
saline normal.
7) Terapi Gen
Menggunakan vektor retrovirus, adenovirus dan adeno-associated virus.
Dimana sedanga dilakukanpenelitian secara invivo cengan memindahkan
vektor adenovirus yang membawa gen antihemofili ke dalam sel hati.

j. Prognosis20
Prognosis pasien hemofilia sebenarnya baik bila semua pihak yang terlibat
senantiasa bekerja sama dalam menghadapi penyakit ini. Disabilitas berat

26
dan kematian akibat hemofilia serta komplikasinya hanya terjadi sekitar 5-
7% pada hemofilia berat. Penentuan prognosis pada hemofilia tidak
sepenuhnya tergantung pada komplikasi yang terjadi, melainkan harus
dilihat secara keseluruhan termasuk masalah psikososial yang terkait dan
tingkat kepercayaan diri pasien.

k. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita Hemofilia diantaranya:21-23
1) Kerusakan sendi akibat perdarahan sendi berulang dan/atau
pengobatan tidak tepat, yang dapat menyebabkan kecacatan.
2) Komplikasi akibat perdarahan yang tidak dapat diatasi : anemia berat,
gagal sirkulasi (syok) kematian.
3) Komplikasi transfusi komponen darah dan/atau konsentrat faktor
pembekuan yang berasal dari plasma : reaksi transfusi ringan sampai
berat, reaksi alergi. Komplikasi penularan infeksi virus tertentu
(hepatitis B, hepatitis C, HIV, parvo virus) saat ini semakin jarang
seiring dengan semakin baiknya proses skrining infeksi virus tersebut
dalam pembuatan komponen darah kriopresipitat/fresh frozen plasma
dan konsentrat factor pembekuan.
4) Hematuria (air kencing berwarna merah), bila gumpalan darah terjadi
di saluran kemih dapat menyebabkan nyeri kolik ringan sampai berat
karena urin tidak dapat mengalir keluar dengan lancer (obstruksi).
5) Perdarahan saluran pencernaan, kelainan yang timbul dapat berupa
adanya darah pada feses dan muntah. Kehilangan darah secara kronis
akibat ini dapat menyebabkan anemia pada pasien.
6) Perdarahan intrakranial atau perdarahan otak; gejala sakit kepala,
muntah tanpa sebab yang jelas, kejang, penurunan kesadaran.
7) Sindrom kompartemen, terjadi pada perdarahan otot yang luas
sehingga menyebabkan tekanan dan kerusakan pada jaringan saraf dan
pembuluh darah di sekitar otot tersebut, dengan gejala berupa
kesemutan, rasa baal dan kelumpuhan.

27
2.5 von Willebrand Disease
a. Definisi
von Willebrand Disesase (vWD) adalah gangguan hemoragik yang
diturunkan secara genetik dan secara klinis heterogen disebabkan oleh
defisiensi atau disfungsi protein yang disebut von Willebrand factor
(vWF).24

b. Etiologi
Penyakit von Willebrand adalah penyakit yang diakibatkan oleh defisiensi
faktor von Willebrand. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang
diturunkan secara autosomal dominan. Namun, pada kejadian yang sangat
jarang penyakit ini diturunkan secara resesif autosomal. Sementara ini,
terdapat dua kromosom yang berperan dalam penyakit ini yaitu (1) yang
terletak di dekat ujung lengan pendek kromosom 12 (2) kromosom 22
yang mengalami duplikasi. Meskipun penyakit ini dikatakan sebagai
penyakit keturunan, kemungkinan timbul secara didapat masih ada, yaitu
dengan mekanisme autoimun terhadap inhibitor protein von Willebrand.25

c. Epidemiologi
Di negara-negara barat, penyakit von Willebrand dengan perdarah berat
dan mengancam jiwa hanya ditemukan pada kurang dari 5/1 juta orang
dan diderita hampir oleh 1% dari populasi.23,25 Seperti yang telah disebut
sebelumnya, penyakit ini diturunkan paling banyak secara dominan
autosomal yaitu sebanyak 1/100 – 3/100.000 orang. dalam hal ini, tidak
semua anak yang mewarisi gen abnormal akan menderita penyakit ini,
tetapi hanya 30-40% dari mereka yang memperlihatkan gejala yang nyata.
Pada anak yang mewarisi secara resesif autosomal, penyakit ini cenderung
asimtomatik hanya menunjukkan faktor von Willebrand yang abnormal
pada pemeriksaan.26

28
Dilihat dari jenis kelamin, frekuensi pembawa alel mutan faktor von
Willebrand antara laki-laki dan perempuan adalam sama. Namun,
perempuan dengan penyakit ini lebih sering menunjukkan gejala
perdarahan yaitu 2:1. Hal ini dikaitkan dengan perempuan mengalami
menstruasi setiap bulannya, mengandung, dan melahirkan. Selain itu, hal
ini juga dikaitkan dengan kecenderungan wanita mengalami memar lebih
besar dibandingkan laki-laki.2 Pada grafik 1 digambarkan bawha 95%
wanita dengan penyakit ini mengalami perdarahan berat saat menstruasi,
perdarahan setelah luka ringan sebesar 92%, dan perdarahan berat pada
gusi sebesar 76%.27

d. Klasifikasi dan Patofisiologi28


VWD dibagi menjadi beberapa tipe.
1) Tipe 1 termasuk defisiensi kuantitatif parsial dari VWF. Perdarahan
pada VWD tipe 1 ini disebabkan oleh penurunan konsentrasi VWF,
bukan karena penurunan selektif dari multimer besar yang efektif
secara hemostasis atau abnormalitas spesifik dari tempat pengikatan
ligan. Temuan laboratorium sebagai kunci pada VWD tipe 1 adalah
sirkulasi VWF memiliki rasio normal antara aktivitas fungsional
dibandingkan kadar antigen VWF (VWF: Ag). Proporsi multimer
dengan berat molekul tinggi (HMW) tidak berkurang secara signifikan.
Perubahan dasar termasuk pada pasien dengan proporsi multimer VWF
plasma HMW yang hanya menurun sedikit tetapi tidak cukup untuk
mencegah pencapaian kadar efektif hemostasis dari multimer besar
setelah pemberian desmopresin. Tambah lagi, multimer VWF plasma
bisa saja mungkin atau tidak mungkin mengandung subunit VWF
mutan. Saat metode assay sensitif digunakan, banyak pasien VWD tipe
1 memiliki abnormalitas sedang dari struktur atau distribusi multimer.
2) VWD tipe 2 adalah VWD dengan kerusakan kualitatif dari VWF.
VWD tipe 2 dibagi menjadi beberapa subdivisi berdasar atas kecacatan
struktural dan fungsional spesifik yang mengganggu adesi platelet atau

29
pengikatan FVIII. VWD tipe 2A adalah varian defek kualitatif dengan
penurunan adesi platelet yang tergantung VWF dan defisiensi selektif
multimer VWF HMW. Defisiensi relatif yang signifikan dari multimer
besar akan menghasilkan suatu defek pada pemasangan multimer atau
peningkatan sensitivitas intrinsik untuk mengalami pembelahan oleh
ADAMTS-13. Pada beberapa kasus, mekanisme ini dapat dibedakan
dan lokasi mutasi dapat terganggu dari pola multimer VWF. Terlepas
dari mekanisme tersebut, hilangnya multimer besar dihubungkan
dengan adanya penurunan disproporsional dalam interaksi VWF-
platelet (misalnya VWF: RCo) atau interaksi VWF-jaringan ikat
(VWF: CB/collagen binding), relatif pada VWF: Ag. VWD tipe 2A
biasanya diturunkan melalui sifat dominan, walaupun ada beberapa
varians yang resesif. Susunan multimer yang rusak akan
mengakibatkan sekresi multimer kecil yang tidak mengikat kuat ke
platelet atau sel-sel lain. Maka, hanya akan terjadi proses proteolisis
kecil dan keadaan mantap (steady state) distribusi multimer VWF
plasma menyerupai seperti saat dikeluarkan pada awalnya. Seperti
pada fenotip disebabkan oleh mutasi pada sedikitnya 3 region pada
subunit VWF.
3) VWD tipe 3 merupakan bentuk VWD dengan defisiensi lengkap VWF.
VWD tipe 3 merupakan penyakit keturunan secara resesif dan kerabat
heterozigot biasanya gejala perdarahan hanya ringan atau bahkan tidak
ada. Pada sebagian besar kasus, VWF: RCo, VWF: CB, dan VWF : Ag
kurang dari 5 IU/dL, dan kadar FVIII kurang dari 10 IU/dL. Pasien
VWD tipe 3 juga jarang yang menunjukkan respons yang dapat diukur
setelah pemberian desmopresin. Mutasi pada VWF yang menyebabkan
VWD tipe 3 biasanya merupakan mutasi nonsense atau frameshift
karena adanya insersi kecil atau delesi. Delesi yang besar atau luas,
mutasi splice site, dan mutasi missense jarang terjadi. Sebenarnya
defisiensi lengkap dari VWF dikategorikan ke dalam VWD tipe 3,
tanpa memperhatikan fenotip keluarga heterozigot. Pentalaksanaan

30
klinik pada pasien dengan VWD tipe 3 tidak tergantung apakah
anggota keluarga lainnya memiliki VWD tipe lain, walaupun informasi
tersebut bisa menjadi sumber relevan untuk edukasi atau konseling
genetik.

e. Manifestasi klinis
Gejala yang paling sering terjadi ialah:15
 Pendarahan gusi
 Hematuri
 Epistaksis
 Pendarahan saluran kemih
 Darah dalam feses
 Mudah memar
 Menoragi

f. Diagnosis15
Diagnosis PVW memerlukan:
 Kecurigaan terhadap gambaran klinis
 Kemampuan dalam pemanfaatan laboratorium
1) Pemeriksaan Laboratorium:
Pola diagnosis paling sering merupakan kombinasi:
a) Pemanjangan BT
b) Penurunan kadar FVW plasma
c) Penurunan secara paralelkadar aktivitas biologi diperiksa
dengan penentuan kadar kofaktor ristosetin
d) Penurunan aktivitas faktor VIII
2) Evaluasi Penapisan
Harus mencakup pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan aPTT
a) PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila
penyakit lebih berat BT memnajang antara 15-30 menit sedang
hitung trombosit normal.

31
b) Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan faktor VIII
mengikat FVW berakibat pemanjangan aPTT, sekunder akibat
menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma.
Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar
FVW dan fungsinya.
3) Evaluasi Lengkap FVW
Diperlukan pemeriksaan aktivitas VIII:C, Ag : FVW, aktivitas (fungsi)
FVW (ristocetin cafactor activity), dan analisis besarnya multimer
FVW menggunakan elektroforesis gel agarosa.
a) PVW tipe 1
Varian paling banyak hingg amnecapai 80%. Pada pasien
bergejala, aktivitas Ag: FVW dan FVW menurun dibawah 50%
nilai normal. Karena FVW merupakan protein pembawa FVIII
dalam sirkulasi, kadar FVIII akan secara bermakna menurun
pada pasien dengan penyakit tipe 1 yangberat, dan
menyebabkan pemanjangan aPTT. Analisis multimer FVW
menunjukkan pola normal.
b) PVW tipe 2
Ditandai dengan kelainan kualitatif FVW plasma, hal ini dapat
berakibat penurunan FVW yang lebih besar (PVW tipe 2A dan
2B) atau perubahan beragam pada ikatan Ag: FVW dan faktor
VIII (PVW tipe 2M dan 2N). Menghilangnya multimer lebih
besar menyebabkan penurunan yang tidak proporsional pada
aktivitas FVW bila dibandingkan dengan Ag: FVW.Aktivitas
faktor FVIII jarang menurun pada PVW tipe 2A,B dan M tetapi
menjadi berat pada PVW tipe 2N.
c) PVW tipe trombosit
Perlu perhatian khusus sebab tampil dnegan banyak sifat
berupa PVW tipe 2B. Peningkatan ikatan multimer FVW pada
PVW tipe trombosit oleh karena kserusakan pada resemtor
GP1, bukan FVW pasien. Pasien ini memerlukan transfusi

32
trombosit sama perlunya dengan pemberian FVW untuk
memperbaiki kelainan perdarahannya.
d) PVW tipe 2M
Ditandai dengan pola normal multimer FVW dalam plasma
tetapi penurunan yang tidak seimbang pada aktivitas FVW bila
dibandingkan dengan FVW:Ag. Hal ini menghasilkan produksi
FVW abnormal dengan penurunan afinitas terhadap reseptor
GP1b/IX.
e) PVW tipe 2N
Menunjukkan kerusakan ikatan FVIII terhadap FVW. Derajat
aktivitas FVIII menurun sama seperti pasien hemofilia ringan.
f) PVW tipe #
Ditandai dengan tidak ditemukannya Ag: FVW dalam sirkulasi
dan derajat VIII:C sangat rendah. Pasien ini menunjukkan
perdarahan berat dengan hemartrosisdan hematoma muskuluas
seupa dengan hemofilia tipe A atau B, bedanya pada PVW tipe
3 ini BT sangat memanjang
g) PVW yang didapat
Pasien dengan autoantibodi terhadap FVW biasanya
menunjukkan perdarahan membran ukosa dan mudah memar
dimanda gambaran laboratorium menyerupai gamabran PVW
dengan BT memanjang, oenurunan aktivitas FVIII:C. Ag:
FVW dab FVW, meskipun kadarnya dapat berbeda.

g. Tatalaksana
Penatalaksanaan berupa pengelolaan segera dan jangka panjang.
Pentatalaksanaan jangka pendek berupa menghentikan obat yang
menghambat fungsi trombosit, memberikan VWF sebagai terapi empiris,
dan transfusi trombosit normal tergantung pada beratnya perdarahan.
Cara-cara ini sebenernya kurang tepat, tetapi cukup efektif. Kelainan

33
fungsi trombosit baik didapat atau kongenital harus segera diatasi dengan
kontrol perdarahansecara tepat. 15

Pada penatalaksanaan jangka panjang, banyak edukasi yang harus


diberikan kepada pasien dengan VWD. Misalnya seperti menghindari
obat-obatan yang memicu perdarahan, sebagai contoh adalah aspirin dan
analgesik nonsteroid. Pemberian VWF untuk pasien dengan rendahnya
kadar VWF, kemudian pengembalian jumlah trombosit jika menurun.
Pemberian obat, misalnya desmopresin (dengan merk dagang DDAVP-
Desmopressin: 1-desamino-8-D-arginine vasopressin, stimate, atau
manirin) akan berespon baik pada pasien dengan VWD defek yang didapat
secara sekunder.15

Desmopresin merupakan analog sintetis hormon antidiuretik, vasopresin.


Pemberian desmopresin biasanya dengan intravena karena dengan
pemberian secara intravena akan merangsang sekresi VWF dari sel endotel
dan FVIII, sehingga cepat meningkatkan kadar VWF dan FVIII dalam
plasma. Pasien yang paling berespon baik dengan pemberian desmopresin
adalah pasien dengan VWD tipe 1. Pasien dengan VWD tipe 2A dan 2M
juga berespon baik terhadap pemberian desmopresin. Sedangkan pasien
dengan VWD tipe 2N tidak berespon terhadap pemberian desmopresin.
Pasien dengan VWD tipe 3 tidak akan bersepon juga dengan pemberian
desmopresin karena tidak ada cadangan VWF di endotel. Maka dari itu,
pasien dengan VWD tipe 2N dan tipe 3 harus diberikan transfusi FVW dan
FVIII. 15

Pemberian desmopresin tidak boleh kepada pasien dengan VWD tipe 2B


karena perangsangan pengenluaran VWF akan meningkatkan agregasi
trombosit dan hal ini akan semakin mengurangi jumlah trombosit pasien
sehingga keadaan trombosipenia akan semakin parah. Penanganan yang

34
tepat pada pasien dengan VWD tipe 2B adalah dengan pemberian transfusi
VWF dan trombosit. 15

Formulasi DDAVP adalah dalam bentuk intravena dan intranasal. Dosis


intraven adalah 0,3 ug/kgBB, diencerkan dalam 30-50 mL salin dan
diberikan dalam 10-20 menit untuk meminimalkan efek samping,
misalnya takikardia dan hipotensi. Efek samping lain bisa berupa pusing,
nyeri kepala, nausea, dan muka kemerahan pada pasien. Nasal spray
sangat pekat diberikan pada perempuan dengan VWD tipe 1 yang
memiliki keluhan menoragia, atau pasien lain dengan VWD ringan saat
ekstraksi gigi dan pembedahan minor. Dosis intranasal DDAVP adalah
300 ug, diberikan dengan aplikasi 100 uL dari larutan 1,5 mg/mL ke
lubang hidung akan meningkatkan VWF 2 sampai 3 kali lipat.15

Terapi DDAVP paling baik adalah untuk pembedahan minor dikarenakan


efek yang dicapai sangat singkat. Peningkatan VWF hanya berlangsung
selama12-24 jam. Pemberian dosis ulangan harus hati-hati karena risiko
anafilaksis. Kebanyakan pasien memberikan respons terhadap 2 atau 3
dosis dalam interval 24 jam tetapi ada beberapa kasus yang diperlukan
interval 48-72 jam di antara 2 dosis untuk perbaikan. Apabila pemberian
DDAVP tidak cukup, direkomendasikan untuk juga diberikan transfusi
VWF. Pemberian VWF bisa dengan tranfusi plasma segar atau konsentrat
plasma yang mengandung VWF-FVIII.15

Selain itu juga bisa diberikan kriopresipitat yang merupakan konsentrat


yang mudah didapat dan efektif. Sama halnya dengan DDAVP,
kriopresipitat akan segera meningkatkan kadar VWF, terutama kadar
multimer VWF besar. Namun pemberian kriopresipitat ini hanya efektif
dalam 6-12 jam melalui infus. Setelah itu, kriopresipitat dan multimer
VWF: Ag akan rusak kembali. Pada saat yang sama kadar FVIII akan
meningkat selama 24 jam berikutnya. Peningkatan kadar FVIII ini akan

35
memberikan faktor protektif. Dosis kriopresipitat yang diberikan sangat
empiris.15

Apabila kriopresipitat tidak didapatkan, salah satu bentuk konsentrat FVIII


atau VWF bisa diberikan. Syaratnya adalah konsentrat mengandung
multimer VWF besar agar efektif. Sediaan yang bisa dipakai isalnya
Humate P dan Alphanate. Dosis FVIII 50 U/kgBB tiap 12 jam. Pada
pasien dengan VWD tipe 3 yang kadar rasio VWF : Ag dan FVIII sangat
rendah mempunyai risiko timbulnya antibodi setelah pemberian transfusi
sediaan plasma tersebut. Bisa saja untuk transfusi berikutnya memiliki
risiko anafilaksis dan kurang efektif. Untuk mengatasinya bisa diberikan
antihistamin dan steroid yang mengurangi risiko anafilaksis. Bisa juga
diberikan imunoglobulin intravena dosis 1 gram/kgBB sehari selama 2-3
hari untuk mengurangi kadar antibodi anti-VWF sementara. Jika terdapat
alloantibodi, maka dapat dipakai transfusi trombosit.15

Obat-obat lain yang bisa diberikan adalah Premarine yang memiliki efek
positif pada fungsi trombosit, Epsilon Aminocaproic Acid (EACA)
sebagai inhibitor fibrinolitik, Estrogen untuk membantu meningkatkan
produksi VWF oleh sel endotel, dan IgG intravena yang akan membantu
mempertahankan efek terapi utama yang diberikan.15

h. Prognosis
Pendarahan bisa menurun selama kehamilan. Wanita yang memiliki
kondisi ini biasanya tidak mengalami pendarahan berlebihan saat
melahirkan. Penyakit ini diturunkan melalui keluarga. Konseling genetik
dapat membantu para calon orangtua memahami risiko terhadap anak-anak
mereka.29

Bagi sebagian besar individu yang terkena, vWD adalah kelainan


perdarahan ringan yang dapat ditangani di mana perdarahan klinis yang

36
parah hanya terjadi di wajah trauma atau prosedur invasif. Namun,
variabilitas simtomatologi signifikan ada di antara anggota keluarga.24

Pada individu dengan vWD tipe II dan III, episode perdarahan dapat
menjadi berat dan berpotensi mengancam jiwa. Individu dengan penyakit
tipe III yang memiliki tingkat FVIII yang rendah dapat mengembangkan
arthropathies, seperti yang lebih sering terlihat pada pasien hemofilia A
dengan penurunan kadar FVIII yang sebanding.24

Tingkat vWF biasanya meningkat seiring bertambahnya usia. Namun,


Sanders dan rekan menemukan bahwa meskipun tingkat vWF meningkat
dengan penuaan pada pasien dengan tipe I vWD, pasien lanjut usia dengan
tipe I melaporkan tidak ada perubahan dalam pola perdarahan mereka
tidak berubah. Pada pasien dengan vWD tipe II, tingkat vWF tidak
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan pasien dengan demensia
melaporkan gejala perdarahan yang lebih signifikan.24

2.6 Jelaskan mengenai penilaian kemampuan fungsional pada penderita


hemofilia!
Kemampuan fungsional adalah kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas tertentu dan hal ini sangat dipengaruhi oleh kerusakan sendi yang
banyak dialami oleh penderita hemofilia. Perdarahan berulang secara spontan
atau disertai trauma ringan di sendi dan otot pada penderita hemofilia
mengakibatkan kelainan sendi kronis dan kecacatan. Meski dengan kemajuan
tatalaksana hemofilia dan pemberian faktor pengganti yang agresif, arthritis
kronis dan kecacatan muskuloskeletal belum dapat dihindari. Program
profilaksis faktor pengganti yang Universitas Sumatera Utara diberikan pada
usia muda dapat mencegah kecacatan ini, dan telah dipraktekkan di Eropa
Barat dan Amerika Serikat.30

37
Namun regimen profilaksis ini sangat mahal di mana faktor pengganti
diberikan tiga kali dalam seminggu selama bertahun-tahun. Di negara yang
sedang berkembang, prioritas kesehatan ditujukan pada nutrisi, sanitasi,
pencegahan penyakit menular dan kebutuhan kesehatan dasar lainnya.
Penyakit yang langka seperti hemofilia sering kali terabaikan akibat
kurangnya pengetahuan tentang hemofilia itu sendiri, keterbatasan dana, tidak
tersedianya faktor pengganti, keterbatasan fasilitas pendukung diagnosis dan
pusat pengobatan yang dapat memberikan pengobatan yang komprehensif.
Akibatnya kerusakan sendi dan kecacatan muskuloskeletal pada penderita
hemofilia di negara yang sedang berkembang hampir selalu terjadi. Studi di
India menunjukkan bahwa hanya 9 dari 148 orang penderita hemofilia yang
bebas kecacatan. Persentase kecacatan ini meningkat sejalan dengan
meningkatnya usia penderita dimana semua penderita dewasa menderita
kecacatan. Penilaian tentang kualitas hidup dan kemandirian hidup sehari-hari
penderita hemofilia harus menjadi bagian dari tatalaksana penderita hemofilia
sehingga penanganan dapat dioptimalisasi. Penilaian sendi pada penderita
hemofilia mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950an dengan pemeriksaan
radiologis terutama pada sendi lutut, siku dan pergelangan kaki. Skor
radiologis oleh Petersson diadopsi oleh WFH menjadi bagian dari standar
pemantauan jangka panjang penderita hemofilia. Namun pemeriksaan
radiologis ini tidak sensitif pada sendi dengan kerusakan minimal 7
Universitas Sumatera Utara sehingga sekarang ini magnetic resonance
imaging (MRI) yang dianjurkan untuk mendeteksi kelainan sendi. Walaupun
demikian hubungan perubahan minimal pada MRI atau skor radiologis dengan
fungsional sendi dan muskuloskeletal secara keseluruhan masih belum jelas.30

Kurangnya korelasi hasil radiologis dengan fungsi sendi, serta bahaya radiasi
sinar X pada anak mendorong dikembangkannya metode penilaian
berdasarkan klinis, antara lain Physical Examination (PE) scale oleh badan
WFH. Yang dinilai adalah range of movement (ROM), pembengkakan,
krepitus, wasting, instabilitas dan deformitas aksial pada 6 sendi utama.

38
Kekurangan skala ini adalah kurang akurat di kalangan anak dan tidak menilai
kekuatan otot. Beberapa instrumen untuk menilai kemandirian hidup sehari-
hari penderita kelainan muskuloskeletal telah tersedia, seperti Short Form of
the Medical Outcome Study (SF 36) untuk penyakit secara general, Western
Ontario McMaster Questionnaire (WOMAC) untuk penderita osteoarthritis
dan Stanford Health Assessment Questionnaire (HAQ) untuk arthritis
rheumatoid juvenile. Khusus untuk penderita hemofilia sendiri instrumen yang
dapat digunakan antara lain Haemophilia Activities List (HAL) dan versi anak-
anaknya (PedHAL) serta Functional Independence Score in Hemophilia
(FISH).30

Tabel 2.2 Functional Independence Score in Hemophilia (FISH)31


Perawatan diri Perubahan posisi Gerakan
Makan dan perawatan Kursi Jalan
diri
Mandi Jongkok Naik tangga
Berpakaian

Ada 7 kategori aktivitas yang dinilai dalam instrument ini. Tiap kategori diberi
nilai 1 sampai 4 menurut kemampuan penderita. Nilai 1 bila penderita tidak
mampu melakukan aktivitas atau perlu bantuan penuh. Nilai 2 bila penderita
memerlukan bantuan parsial atau memodifikasi alat atau lingkungan untuk
melakukan aktivitas. Nilai 3 bila penderita mampu melakukan aktivitas tanpa
bantuan namun dengan rasa ketidaknyamanan atau nyeri. Nilai 4 bila
penderita mampu melakukan aktivitas sebagaimana orang normal. Dikatakan
mempunyai kemampuan penderita menurun bila jumlah nilainya lebih rendah
dibandingkan kelompok yang lain.31

39
2.7 Apa hubungan riwayat keluarga dengan kasus?
Hemofilia (A dan B) diturunkan secara sex(X)-linked recessive dan gen untuk
faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q) kromosom X. Oleh
karena itu, perempuan biasanya sebagai pembawa sifat sedangkan laki-laki
sebagai penderita. Perempuan sebagai pembawa sifat hemofilia yang menikah
dengan laki-laki normal dapat menurunkan satu atau lebih anak laki-laki
penderita hemofilia atau satu atau lebih anak perempuan pembawa sifat.
Sedangkan laki-laki penderita hemofilia yang menikah dengan perempuan
normal akan menurunkan anak laki-laki yang normal atau anak perempuan
pembawa sifat.15

Paman pasien pada kasus mengalami kematian pasca operasi hernia. Paman
pasien diduga sebagai penderita hemofilia sedangkan ibu pasien diduga
sebagai pembawa sifat hemofilia, namun ayah dari pasien normal. Perempuan
sebagai pembawa sifat menikah dengan laki-laki normal akan menurunkan
satu atau lebih anak laki-laki yang akan menderita hemofilia. Hal ini berkaitan
dengan teori bahwa hemofilia diturunkan secara sex(X)-linked recessive dan
gen untuk faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q)
kromosom X. Oleh karena itu, perempuan biasanya sebagai pembawa sifat
sedangkan laki-laki sebagai penderita. Perempuan sebagai pembawa sifat
hemofilia yang menikah dengan laki-laki normal dapat menurunkan satu atau
lebih anak laki-laki penderita hemofilia atau satu atau lebih anak perempuan
pembawa sifat. Sedangkan laki-laki penderita hemofilia yang menikah dengan
perempuan normal akan menurunkan anak laki-laki yang normal atau anak
perempuan pembawa sifat.

2.8 Tranfusi Darah


a. Indikasi pemberian
Indikasi transfusi sel darah merah secara umum adalah:32
1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar
Hemoglobin (Hemoglobin) <7 g/dL, terutama pada anemia akut.

40
Transfusi dapat ditunda jika penderita asimptomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar
Hemoglobin yang lebih rendah dapat diterima.
2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hemoglobin
7-10 g/dL apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang
bermakna secara klinis dan laboratorium.
3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hemoglobin ≥10 g/dL, kecuali
bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan
kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru
obstruktif kronik berat, penyakit jantung iskemik berat dan tekanan
intra kranial meningkat).
4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada
kadar Hemoglobin ≤11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat
diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur),
namun jika terdapat penyakit jantung, paru atau yang sedang
membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi
adalah Hemoglobin ≤13 g/dL.
5. Adanya didapatkan metabolik asidosis dengan nilai base excess lebih
negatif dari -2.

b. Jenis tranfusi darah32


1) Darah Lengkap (Whole Blood)
Whole blood atau darah lengkap pada transfusi adalah darah yang
diambil dari donor menggunakan container atau kantong darah dengan
antikoagulan yang steril dan bebas pyrogen. Whole blood merupakan
sumber komponen darah yang utama. Whole blood diambil dari
pendonor ± 450-500 ml darah yang tidak mengalami pengolahan.
Komposisi whole blood adalah eritrosit, plasma, lekosit dan trombosit.
2) Sel Darah Merah (Packed Red Cell)
Packed Red Cell (PRC) adalah suatu konsentrat eritrosit yang berasal
dari sentrifugasi whole blood, disimpan selama 42 hari dalam larutan

41
tambahan sebanyak 100 ml yang berisi salin, adenin, glukosa, dengan
atau tanpa manitol untuk mengurangi hemolisis eritrosit.
3) Trombosit
Trombosit dibuat dari konsentrat whole blood (buffy coat), dan
diberikan pada pasien dengan perdarahan karena trombositopenia.
Produk trombosit harus disimpan dalam kondisi spesifik untuk
menjamin penyembuhan dan fungsi optimal setelah transfusi. Umur
dan fungsi trombosit optimal pada penyimpanan di suhu ruangan 20-
24oC.
4) Plasma Beku (Fresh Frozen Plasma)
Fresh Frozen Plasma (FFP) adalah plasma segar yang dibekukan
dalam waktu 8 jam dan disimpan pada suhu minimal -20°C dapat
bertahan 1 tahun, yang berisi semua faktor koagulasi kecuali
trombosit. FFP diberikan untuk mengatasi kekurangan faktor koagulasi
yang masih belum jelas dan defisiensi anti-thrombin III. FFP berisi
plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dari
protein plasma. Volume sekitar 200 sampai 250 ml. Setiap unit FFP
biasanya dapat menaikkan masing-masing kadar faktor pembekuan
sebesar 2-3 % pada orang dewasa, dosis inisial adalah 10-15 ml/kg.

c. Cara pemberian
Tranfusi darah harus melalui prosedur yang ketat untuk mencegah reaksi
simpang yang dapat timbul. Prosedur ini antara lain:5
1) Penentuan golongan darah AB0 dan Rh. Baik donor maupun resipien
harus memiliki golongan darah yang sama.
2) Pemeriksaan untuk donor terdiri atas:
 Penapisan (screening) terhadap antibodi dalam serum donor
dengan tes antiglobulin indirect.
 Tes serologic untuk Hepatitis (B dan C), HIV, sifilis dan CMV.

42
3) Pemeriksaan untuk resipien:
 Major Side Cross Match: serum resipien diinkubasikan dengan
sel darah merah donor untuk mencari antibodi dalam serum
resipien.
 Minor Side Cross Match: mencari antibodi dalam serum donor.
4) Pemeriksaan klerikal (identifikasi):
Memeriksa dengan teliti dan mencocokkan label darah resipien
dan donor. Reaksi tranfusi berat sebagian besar tim/bul akibat
kesalahan identifikasi.
5) Prosedur pemberian darah:
 Hangatkan darah perlahan-lahan
 Catat TTV
 Pasang infus dengan infus set darah
 Pertama diberi larutan NaCl fisiologis
 Pada 5 menit pertama pemberian darah beri tetesan pelan-pelan.
Awasi adanya urtikaria, bronkospasme, rasa tidak enak,
menggigil, awasi TTV.
6) Sesuaikan kecepatan tranfusi
 Pada kasus syok hipovolemik, beri tetesan cepat.
 Normovolemi, kecepatan transfusi sebesar 500 ml/6 jam.
 Pada anemia kronik, penyakit jantung dan paru beri tetesan
perlahan-lahan 500 ml/24 jam atau beri diuretika sebelum
tranfusi.

d. Reaksi samping
Berikut merupakan efek samping pada transfusi darah:33
1) Komplikasi akut, reaksi transfusi terjadi selama atau segera setelah
transfusi (dalam 24 jam)
a) Hipersensitifitas
b) Febrile non hemolytic reaction

43
Orang yang menerima darah mengelami demam mendadak
seama atau dalam 24 jam sejak transfusi, selain itu akan terasa
sakit kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman.dan perlu
memerlukan bahwa reaksi ini hanya demam. Pasien yang
mengalami inidiberikan produk darah yang leukositnya telah
dikurangi,
c) Overload cairan
d) Anafilaksis
e) Hemolisis intravaskular akut
f) Kontaminasi bakteri dan syok septic
g) TRALI (transfusion-associated acute lung injury)
Hal ini dapat terjadi pada semua jenis transfusi, tetapi yang
mengandung plasma yang berlebihan, seperti plasma beku
segar atau trombosit, tampaknya lebih mungkin mengalai risiko
ini. Kasus ini sering terjadi dalam waktu 1-2 jam sejak
transfusi, tetapi dapat terjadi kapan saja sampai 6 jam setelah
transfusi. Jika TRALI dicurigai selama transfusi, maka
transfusi harus dihentikan.
h) Komplikasi metabolik (hiperkalemmia, toksisitas sitrat, dan
hipokalseemia)
2) Komplikasi lambat, yaitu reaksi trnasfusi dengan tanda dan gejala yang
muncul ≥ 5-10 hari setelah transfusi :
a) Reaksi hemolitik berat
b) Post Transfusion Purpura
c) Graft versus Host Disease
d) Overload besi
e) Penularan infeksi menular

44
2.9 Intepretasi Data Tambahan34
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hb 10,5 g/dL 11,5 – 14,5 g/dL Anemia
Ht 33% 33 – 43% Normal
Jumlah eritrosit 4,5 juta / mm3 4 – 5,3 juta / mm3 Normal
Jumlah leukosit 7.300 / mm3 4.000- 12.000 / mm3 Normal
Jumlah 250.000 / mm3 150.000 – 400.000 / Normal
trombosit mm3
PT 12 detik 10,6 – 11,4 detik Normal
aPTT 16 detik 24 – 36 detik Memendek
BT 2 menit 30 2,5 -10 menit Normal
detik
CT 7 menit 4-10 menit Normal
Faktor VIII 3% 59 – 142% Menurun
Faktor IX 78% 47 – 104% Normal

45
BAB III

KESIMPULAN

Asep, usia 2 tahun mengalami hemofilia tipe A.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK, Aster JC, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders; 2015.
2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;
2012.
3. Longo DL. Harrison's Hematology and Oncology ed. 17th Eds. New York:
McGraw Hill; 2010.
4. Hall JE. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12.
Jakarta: EGC; 2014.
5. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2007.
6. Setiabudi RD. Hemostasis dan Trombosis. Jakarta; Badan Penerbit FKUI;
2012.
7. DeLoughery T G. Hemostasis and Thrombosis. Springer; 2015.
8. Spahn DR et al, Management of bleeding following a major trauma: An
European guideline. Critical Care; 2007.
9. Harper D. Hemofilia [homepage on the Internet]. 2012 [updated 2012 Mar
20; cited 2018 May 14]. Available from:
http://www.etymonline.com/index.phpsearch=hemofilia&searchmode=no
ne
10. Murphy P, Wunderlich A, Pico L. Orthopedics and musculoskeletal
condition. In: Dennis M, Michael A. Pediatric Rehabilitation: Principles
and Practice. New York: Demos Publishing, 2010; p. 377.
11. Muscari, Mary E. 2005. Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
12. Carcao M, Louis J, Poon M, Grunebaum E, Lacroix S, Stain AM, et al.
Rituximab for congenital haemophilias with inhibitors: a Canadian
experience. Haemophilia. 2006;12:7-18
13. Leissinger C, Josephson CD, Granger S, Konkle BA, Jarres RK, Ragni
MV, et al. Rituximab for treatment of inhibitors in haemophilia A. Thromb
Haemost. 2014;112:445-458.

47
14. Mangunsong, Frieda. Psikologi Dan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus : Jilid 2. Jakarta : LPSP3UI. 2011.
15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
16. Powell D, Anderson S, Saduman O. Hemophilia overview. [homepage on
the Internet]. c2012 [Updated 2009 Nov 24; Cited 2012 May 28].
Available from: http://emedicine.medscape.com/ article/779322-overview.
17. Viel KR, Ameri A, Abshire TC, Iyer RV, Watts RG, Lutcher C, dkk.
Inhibitors of factor VIII in black pateints with hemophilia. NEJM.
2009;360:1618-27.
18. Dimichele D. Inhibitors to factor VIII-epidemiology and treatment.
Dalam: Lee CA, Berntorp EE, Hoots WK, penyunting. Textbook of
Hemophilia. New York: Blackwell Publishing, 2005; h.64-70.
19. Bowen DJ. Haemophilia A and haemophilia B: molecular insights. J Clin
Pathol. 2002;55:1–18.
20. Linderman C, Eichenfield E. Inhibitors to factor VIII. In: Peerlinck K,
Jacobson M, editors. Textbook of Hemophilia. Singapore: Wiley-
Blackwell, 2010; p. 62.
21. Llinás A. Haemophilic arthropathy. Haemophilia 2010Jul;16(Suppl
5):121.
22. Rodriguez-Merchan EC. Musculoskeletal complications of hemophilia.
HSSJ 2010 Feb; 6(1): 37-42
23. Astermark J, Altisent C, Batorova A, et al; European Haemophilia
Therapy Standardisation Board. Non-genetic risk factors and the
development of inhibitors in haemophilia: a comprehensive review and
consensus report. Haemophilia 2010;16(5):747-66.
24. Pollak ES. von Willebrand Disease. 2017. Terdapat di
https://emedicine.medscape.com/article/206996-overview#showall.
Diakses pada tanggal 16 Mei 2018.
25. National Institue of Health. The Diagnosis, Evaluation, and Management
of Von Willebrand Desease [online]. [cited 16 May 2018]. URL available

48
at: http://www.nhlbi.nih.gov/health-pro/guidelines/current/von-
willebrand-guidelines/fullreport/3-diagnosis-evaluation
26. Center of desesase control and prevention. Von willebrand desease
(VWD) data and statistic [online]. 2015 March 20 [cited 14 May 2018].
URL available at: http://www.cdc.gov/ncbddd/vWD/data.html
27. Sugianto. Penyakit Von Willebrand. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
et.al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. P. 2773-7
28. Sadler JE, Budde U, Eikenboom JCJ, Favaloro EJ, Hill FGH, Holmberg L,
et al. The Working Party on von Willebrand Disease Classification.
Update on the pathophysiology and classification of von Willebrand
disease: a report of the Subcommitee on von Willebrand Factor. J Thromb
Haemost, 2006; 4: 2103-14.
29. Flood VH, Scott JP. Von Willebrand disease. In: Kliegman RM, Stanton
BF, St Geme JW, Schor NF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2016.
30. Australian Haemophilia Centre Directors Organisation. Guidelines for the
treatment of inhibitors in haemophilia A (diakses tanggal 16 May 2018).
Diunduh dari: URL: http://www.anzsbt.org.au.
31. Poonnoose PM, Manigandan C, Thomas R, Shyamkumar NK, Lavitha
ML, Bhattacharji S. Functional independence score in haemophilia: a new
performance-based instrumen to measure disability. Haemophilia. 2005;
11:598-602
32. Anggara, Rindu. Analisa tingkat rasionalitas transfusi darah pada
pelayanan operasi gawat darurat di Instalasi Rawat Darurat RSU Dr.
Soetomo. Surabaya: Universitas Airlangga; 2012.
33. Rodiani Bernolian. Transfusi darah dalam Post Partum
Haemmorhage.JKUNILA. 2016;1:1.
34. Kliegman R, Behrman RE, Nelson WE, editors. Nelson textbook of
pediatrics. 20th ed. Phialdelphia, PA: Elsevier; 2016.

49

Anda mungkin juga menyukai