DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
1. Keadaan umum : penurunan kesadaran, lemah
2. Kesadaran : Coma, GCS 3
3. Tanda vital : TD : 180/100 mmHg
Nadi : 50x/menit
Respirasi : 3x/menit
Suhu : 36,8oC
4. Kepala : Normosefal
5. Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
Pupil 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
6. Hidung : Sekret (-), Deviasi (-)
7. Mulut : Mukosa bibir basah
8. Telinga : Tidak tampak serumen
9. Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
10. Thorax
a. Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Wheezing(-/-), ronkhi (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2, irama regular, bising (-), gallop (-),
11. Abdomen
Inspeksi : Datar, supel, retraksi epigatrium (-), pembesaran
hepar(-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen,
pekak pada hepar
12. Ekstremitas : Akral dingin, CRT < 2 detik, hemiparese dextra
Status Neurologis
1. Kesadaran : Coma, GCS; E : 1 V: 1 M: 1
2. Kepala : Pupil isokor diameter 3 mm, refleks
cahaya (+/+)
3. Tanda peningkatan TIK: Kejang (+), muntah (+), nyeri kepala (+)
4. Leher : Kaku kuduk (-) dan rangsang meningeal (-)
5. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Hasil Pemeriksaan
Nervus I Tidak dapat diperiksa
Tajam penglihatan, lapang pandang, dan melihat
Nervus II
warna tidak dapat diperiksa
Bola mata posisi ortho, pupil bulat, isokor, diameter
3 mm/ 3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
Nervus III, IV, VI
cahaya tidak langsung (+/+), diplopia (-), ptosis (-),
strabismus (-), nistagmus (-/-)
Membuka mulut (-), menggerakkan rahang (-),
Nervus V menggigit (-), mengunyah (-), sensorik menurun
(hipestesi), refleks kornea (-/-)
Raut muka tidak simetris, plika nasolabialis tidak
simetris, mulut mencong ke kanan, mengerutkan
Nervus VII dahi (-), menutup mata (-), bersiul (-),
memperlihatkan gigi (-), sekresi air mata (-), sensasi
lidah 2/3 depan (-)
Nervus VIII Pendengaran (-), keseimbangan (-)
Refleks muntah (-), sensasi lidah 1/3 belakang (-),
Nervus IX
menelan (-)
Arkus faring simetris kiri dan kanan, uvula di
Nervus X
tengah, disfagia (+), disfonia (-)
Nervus XI Menoleh ke kanan dan kiri (-), mengangkat bahu (-)
Kedudukan lidah di dalam, tidak dapat menjulurkan
Nervus XII
lidah, tremor (-), fasikulasi (-), atropi (-)
e. Edukasi
Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang di derita pasien dan
menjelaskan resiko kemungkinan yang akan terjadi, yaitu penyakit stroke hemoragik
merupakan penyebab kematian nomor 2 tersering di dunia dan penyebab kecacatan
pada pasien.
f. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN
2. Diagnosis Topik
Menurut klasifikasi Bamford, diagnosis topik stroke dapat dibagi menjadi :3,10
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) bila memenuhi 3 gejala di bawah:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) bila memenuhi 2 gejala di bawah ini
atau cukup 1 saja tetapi harus merupakan gangguan fungsi luhur:
-Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
-Hemianopia kontralateral
-Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
c. Lacunar Circulation Infarct (LACI) bila:
- Gangguan motorik murni
- Gangguan sensorik murni
- Hemiparesis dengan ataksia
d. Posterior Circulation Infarct (POCI) bila memberikan gejala:
- Diplopia
- Disfagia
- Vertigo
- Disartria
- Hemiparesis alternans
- Gangguan motorik/sensorik bilateral
- Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract sign
3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Baku emas yang digunakan untuk menentukan etiologi adalah CT-scan
kepala.8,9 Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah dan urin),
elektrokardiogram, ekhokardiogram, foto toraks, pungsi lumbal, elektroensefalogram,
arteriografi, doppler sonography diperlukan untuk membantu diagnosis etiologis stroke
hemoragik (intraserebral, subaraknoid) atau iskemik (emboli, trombosis) serta mencari
faktor risiko.3,10
Pengobatan stroke hemoragik dilakukan berdasarkan penyebab, tingkat
keparahan, serta lokasi di mana perdarahan tersebut terjadi. Penderita stroke hemoragik
akan dirawat di unit rawat intensif agar dapat dipantau kondisinya secara ketat.
Penanganan stroke hemoragik bertujuan untuk mengendalikan perdarahan dan
mencegah terjadinya komplikasi. Penanganan dilakukan dengan pemberian obat. Dalam
kasus stroke hemoragik, pasien yang rutin mengonsumsi obat pengencer darah, akan
dihentikan sementara, karena akan memperparah perdarahan. Bahkan bila perlu,
diberikan obat untuk membantu pembekuan darah. Di antaranya adalah
pemberian vitamin K, transfusi darah trombosit, atau faktor pembekuan.11,12,13
Obat pereda nyeri juga bisa diberikan pada pasien guna meredakan sakit kepala.
Namun, obat antiinflamasi nonsteroid tidak dianjurkan untuk pasien stroke hemoragik
karena hanya akan memperburuk perdarahan. Selain itu, obat pencahar juga dapat
diberikan guna mencegah pasien mengejan terlalu keras saat BAB, yang dapat
meningkatkan tekanan pada pembuluh darah di rangka kepala. Untuk mencegah
perkembangan perdarahan yang lebih parah, dapat diberi obat seperti antagonis kalsium.
Pengobatan ini bertujuan untuk menjaga tekanan darah tetap rendah agar tidak terjadi
perdarahan kembali. Jika pasien mengalami kejang, maka obat antikonvulsan akan
diberikan.11,12,13
Pada penderita perdarahan subarachnoid, dapat dilakukan pemasangan selang
dalam otak untuk mengeluarkan cairan serebrospinal. Tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan pada otak dan mencegah hidrosefalus. Untuk kasus stroke
hemoragik yang sangat parah, dibutuhkan tindakan operasi guna memperbaiki
pembuluh darah dan menghentikan perdarahan, terutama jika stroke terjadi karena
malformasi (kelainan) arteri-vena. Namun demikian, tindakan ini perlu diperhitungkan
baik-baik karena operasi sendiri dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.11,12,13
Setelah menjalani pengobatan, pemulihan pasien tergantung dari tingkat
keparahan stroke dan kerusakan jaringan otak yang terjadi. Bagi penderita stroke
hemoragik yang tidak mengalami komplikasi, dapat pulih dalam waktu beberapa
minggu setelah pulang dari rumah sakit. Tapi bagi pasien stroke hemoragik di mana
telah terjadi kerusakan jaringan, dibutuhkan terapi tambahan, seperti terapi fisik,
kegiatan, atau terapi bicara. Terapi-terapi tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan
fungsi jaringan yang rusak sehingga dapat bekerja secara normal kembali.11,12,13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Diagnosis klinis : CVA BLEEDING
2. Diagnosis topis : Saraf Perifer
3. Diagnosis etiologi : Autoimun
4. Diagnosis kerja : Tetraparese et causa Guillain Barre Syndrome
DAFTAR PUSTAKA
b. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
15. Keadaan umum : Sedang, gizi cukup
16. Kesadaran : Compos Mentis
17. Tanda vital : TD : 140/80 mmHg
Nadi : 120 kali per menit, reguler
Respirasi : 30 kali per menit
Suhu : 37,2oC
18. Kepala : Normosefal
19. Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-),
sclera ikterik (-/-)
20. Hidung : Sekret (-), Deviasi (-)
21. Mulut : Mukosa bibir basah
22. Telinga : Tidak tampak serumen
23. Leher : Tidak ada pembesaran KGB
24. Thorax
c. Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Wheezing (+/+), ronkhi (-/-)
d. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama regular, bising (-), gallop (-)
25. Abdomen
Inspeksi : Supel, retraksi epigatrium (-)
Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
26. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, tetraparese dan baal pada keempat
ekstremitas
Status Neurologis
2. Kesadaran : Compos mentis, GCS; E : 4 V: 5 M: 6
6. Kepala : Pupil isokor diameter 3 mm, refleks
cahaya positif
7. Tanda peningkatan TIK: Kejang (-), muntah (-), nyeri kepala (-)
8. Leher : Kaku kuduk (-) dan rangsang meningeal (-)
9. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Hasil Pemeriksaan
Nervus I Penghidu normal kiri dan kanan
Tajam penglihatan, lapang pandang, dan melihat
Nervus II
warna dalam batas normal
Nervus III, IV, VI Bola mata posisi ortho, pupil bulat, isokor, diameter
3 mm/ 3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), diplopia (-), ptosis (-),
strabismus (-), nistagmus (-/-), gerakan mata
kebawah normal
Membuka mulut (+), menggerakkan rahang (+),
Nervus V menggigit (+), mengunyah (+), sensorik menurun
(hipestesi), refleks kornea (+/+)
Raut muka simetris, plika nasolabialis simetris,
mengerutkan dahi (+), menutup mata (+), bersiul
Nervus VII
(+), memperlihatkan gigi (+), sekresi air mata (+),
sensasi lidah 2/3 depan (+)
Nervus VIII Pendengaran dalam batas normal
Nervus IX Refleks muntah (+), sensasi lidah 1/3 belakang (+)
Arkus faring simetris kiri dan kanan, uvula di
Nervus X
tengah, disfagia (+), disfonia (-)
Menoleh ke kanan dan kiri (+), mengangkat bahu
Nervus XI
(+)
Kedudukan lidah di dalam dan saat dijulurkan
Nervus XII
simetris. Tremor (-), fasikulasi (-), atropi (-)
GBS (Guillain Barre Syndrome) adalah neuropati yang dimediasi imun akut yang
mempengaruhi persarafan yang mengendalikan kekuatan otot dan transmisi saraf
sensasi rasa sakit, suhu dan sentuhan. Hal ini dapat menghasilkan kelemahan dan
kehilangan sensasi di kaki dan / atau lengan. Insiden GBS di seluruh dunia diperkirakan
0,8-1,9 (median 1.1) kasus per 100.000 orang per tahun di antara semuanya umur.
Insiden tahunan GBS meningkat dengan bertambahnya usia (0,6 per 100.000 per tahun
pada anak-anak dan 2,7 per 100.000 per tahun pada orang berusia 80 tahun ke atas) dan
kondisinya sedikit lebih sering pada pria daripada wanita.1
Dalam kasus-kasus yang khas, di antara gejala-gejala pertama adalah nyeri, mati
rasa, parestesia, atau kelemahan pada tungkai. Fitur utama GBS adalah kelemahan
bilateral yang progresif cepat dan relatif simetris anggota tubuh dengan atau tanpa
keterlibatan otot-otot yang dipersarafi pernapasan atau saraf kranial. Kelemahan
progresif cepat adalah fitur klinis inti dari GBS. Menurut definisi, kelemahan maksimal
tercapai dalam empat minggu, tetapi sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan
maksimalnya dalam dua minggu. Pasien kemudian memiliki fase plateau dengan
rentang durasi bervariasi dari hari ke beberapa minggu atau bulan. Fase ini diikuti oleh
fase pemulihan durasi variabel. Meskipun efek intravena pengobatan imunoglobulin
(IVIg) atau pertukaran plasma (PE), sekitar 20% dari 'pasien yang sangat terpengaruh'
tetap tidak dapat berjalan setelah setengah tahun. Selain itu, banyak pasien tetap
dinyatakan cacat atau lelah parah. Bahkan 3-6 tahun setelah onset, GBS memiliki
dampak besar pada kehidupan social dan kemampuan untuk melakukan kegiatan. Jelas
bahwa GBS sering tetap menjadi penyakit parah yang memerlukan perawatan yang
lebih baik, setidaknya dalam proporsi pasien.2
Sindrom Guillain-Barre (GBS) dan variannya dianggap sebagai neuropati pasca-
infeksi, yang dimediasi kekebalan. Bukti dari model hewan menunjukkan peran kunci
mimikri molekuler. Pada infeksi gastrointestinal Campylobacter jejuni,
lipooligosakarida yang ada di membran luar bakteri mirip dengan gangliosida yang
merupakan komponen saraf perifer. Oleh karena itu, respons imun yang dipicu untuk
melawan infeksi dapat menyebabkan reaksi silang pada saraf inang.3
Banyak infeksi telah dikaitkan dengan GBS. Yang paling umum adalah penyakit
saluran cerna atau pernapasan. Hingga 70% pasien telah melaporkan penyakit anteseden
dalam 1 hingga 6 minggu sebelum presentasi GBS. Selama wabah virus Zika, banyak
kasus GBS dijelaskan. Laporan kasus merinci banyak etiologi lain yang mungkin terkait
dengan GBS termasuk obat-obatan dan operasi. (Bukti level III)3
Pada tahun 1976, vaksinasi flu terhadap antigen influenza A / H1N1 mengarah pada
peningkatan insiden kasus GBS; namun, data pengawasan lebih lanjut tentang vaksinasi
flu pada tahun-tahun berikutnya hanya menggambarkan satu kasus tambahan GBS
untuk setiap 1 juta vaksin. Penelitian selanjutnya memperkirakan bahwa
mengembangkan GBS setelah infeksi flu hingga 7 kali lebih mungkin daripada
mengembangkan GBS setelah vaksinasi. (Bukti level IV)3
Infeksi anteseden dilaporkan hingga 70% dari pasien dengan Sindrom Guillain-
Barre (GBS). Oleh karena itu, mimikri molekuler memainkan peran penting dalam
pemahaman tentang GBS, khususnya varian aksonal. Lipooligosakarida dari
Campylobacter jejuni mirip dengan gangliosida dari membran saraf tepi. Imunisasi
pasif kelinci dengan lipooligosakarida seperti ganglioside ini telah menyebabkan
sindrom klinis serupa tetraplegia flaksid, mirip dengan varian neuropati akson aksonal
motorik GBS. Antibodi ganglioside telah terbukti memiliki target saraf perifer yang
berbeda. Antibodi anti-GD1a berikatan dengan paranadol myelin, simpul Ranvier, dan
persimpangan neuromuskuler. Antibodi GM1 dan GQ1B berikatan dengan saraf perifer
atau sambungan neuromuskuler. Sasaran saraf perifer yang berbeda ini mungkin
berperan dalam heterogenitas presentasi klinis GBS. Selain itu, kaskade komplemen
diaktifkan dan memainkan peran kunci dalam patogenesis penyakit ini.3
Pasien sindrom Guillain-Barre (GBS) menggambarkan gejala fulminan yang
biasanya mencakup kelemahan naik dan gejala sensorik yang tidak tergantung panjang.
Secara definisi, nadir biasanya dicapai dalam waktu 4 minggu. Keterlibatan simetris
adalah fitur utama GBS. [6] GBS biasanya dianggap monofasik; Oleh karena itu, kursus
relaps atau remisi pada presentasi akan dianggap tidak lazim. Selain itu, kejadian GBS
sebelumnya (GBS berulang) juga tidak biasa, terjadi pada <10% dari semua pasien. Jika
pasien melaporkan perkembangan setelah 8 minggu, diagnosis lain harus
dipertimbangkan.3
GBS sering muncul (hingga 70% pasien) dalam 1 hingga 6 minggu setelah
penyakit pendahuluan. Peristiwa anteseden lain yang telah dikaitkan dengan GBS
termasuk vaksinasi (khususnya vaksin flu babi tahun 1976), pembedahan, trauma, atau
infeksi lainnya. Pasien dengan GBS akan memiliki pola klasik berupa kelemahan
proksimal dan distal, yang flaksid dan sering mendalam jika dirawat di rumah sakit.
Kelemahan fleksi leher yang signifikan mungkin ada dan dapat menandakan kebutuhan
untuk intubasi. Areflexia atau hyporeflexia biasanya ada. (Kasus yang jarang terjadi
tanpa hypo / areflexia telah dijelaskan, sebagian besar dalam varian AMAN (acute
motor axonal neuropathy) dari GBS). Selain kelemahan flaksid dan areflexia, pasien
mengalami gejala sensorik yang tidak tergantung panjang; oleh karena itu, tidak seperti
neuropati kronis yang lebih umum seperti neuropati diabetik, pasien dapat melaporkan
disestesia pada tangan diikuti oleh kaki. Pasien dapat mengalami diplegia wajah karena
keterlibatan kedua saraf kranial wajah. Pasien juga dapat mengalami disfagia karena
keterlibatan saraf kranial glossopharyngeal, vagus, dan hypoglossal. Saraf otonom dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan; Oleh karena itu, sebagian besar dokter
merekomendasikan pemantauan di unit perawatan menengah atau intensif untuk aritmia
jantung atau labilitas tekanan darah. Disautonomia adalah etiologi utama morbiditas dan
mortalitas yang disebabkan oleh GBS. Selain itu, keterlibatan saraf kranial bagian
bawah (saraf glossopharyngeal, vagus, dan hypoglossal) atau keterlibatan saraf pada
otot-otot respirasi dapat menyebabkan perlunya ventilasi buatan. Kegagalan pernapasan
dapat terjadi hingga 30% dari pasien, biasanya mengarah ke rawat inap dan pemulihan
berkepanjangan.3
Selain presentasi GBS klasik yang dijelaskan di atas, banyak varian GBS telah
dijelaskan. Ada varian dengan keterlibatan motorik murni yang disebut "AMAN
(neuropati akson motorik akut)" yang lebih umum di negara-negara Asia. Jarang,
pasien-pasien ini dapat memiliki refleks normal. Ada juga varian regional yang
melibatkan terutama otot faring, leher, dan ekstremitas atas yang disebut varian "faring-
serviks-brakialis"). Beberapa varian dapat melibatkan sistem saraf pusat, disebut
"Bickerstaff Encephalitis." Ada juga varian yang hadir dengan paraparesis. Varian yang
paling terkenal adalah sindrom Miller Fisher. Ini secara klasik digambarkan sebagai tiga
serangkai ophthalmoplegia, areflexia, dan ataksia; namun, saraf kranial lain selain saraf
oculomotor telah dilaporkan dalam varian ini.3
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Diagnosis klinis : Kelemahan seluruh anggota gerak
2. Diagnosis topis : Saraf Perifer
3. Diagnosis etiologi : Autoimun
4. Diagnosis kerja : Tetraparese et causa Guillain Barre Syndrome
DAFTAR PUSTAKA