Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS 1

MODUL FOUNDATION OF CLINICAL PRACTICE

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2

Muthiah Azzahra I11112071


Briegita Adhelsa M. Dommy I1011131057
Rahmad Ramadhani I1011141058
Yuda Prawira I1011151003
Tanti Melinda I1011151015
Syarif Muhammad Nur Taufiq I1011151019
Josephine Johan Liauw I1011151021
Swiny Anniza I1011151029
Aprilia Tri Wahyuningsih I1011151033
Imam Agus Faisal I1011151047
Emaculata Advensy Rara I1011151072

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
KASUS 1
Seorang laki-laki berumur 75 tahun dengan riwayat hipertensi tidak terkontrol dan
kencing manis tidak terkontrol jarang periksa ke dokter dilaporkan secara mendadak
mengalami nyeri hebat, bicara pelo, mulut perot, muntah hebat, kejang-kejang beberapa
kali kurang lebih selama 10 menit, kelemahan anggota gerak sebelah kanan, kemudian
tidak sadar selama 6 jam, kemudian pasien dibawa ke IGD rumah sakit umum daerah.
Pada pasien ini tidak terdapat riwayat trauma kepala sebelumnya. Pada pemeriksaan di
unit gawat darurat, dokter IGD memeriksa pasien ini dengan GCS penurunan kesadaran
koma dan mulai gagal nafas, dokter IGD mengkonsulkan pasien ini ke dokter Spesialis
Saraf, kemudian pasien dirawatinapkan di ICU RSUD.
a. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : Budiman
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 75 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Jalan Danau Sentarum Gang Nurhadi 2 No 20
Alloanamnesis
Masuk tanggal : 25-07-2019
Dokter : dr. Imam Agus Faisal
2. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu, sebelum mengalami penurunan
kesadaran pasien secara mendadak mengalami nyeri kepala hebat, bicara pelo, mulut
perot, muntah hebat, kejang-kejang beberapa kali kurang lebih selama 10 menit,
kelemahan anggota gerak sebelah kanan. Pada pasien ini tidak terdapat riwayat trauma
kepala sebelumnya.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi tidak terkontrol dan kencing manis tidak terkontrol
5. Riwayat penyakit keluarga
Ayah memiliki riwayat hipertensi
6. Riwayat lingkungan sosial
Merokok 1 bungkus per hari

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
1. Keadaan umum : penurunan kesadaran, lemah
2. Kesadaran : Coma, GCS 3
3. Tanda vital : TD : 180/100 mmHg
Nadi : 50x/menit
Respirasi : 3x/menit
Suhu : 36,8oC
4. Kepala : Normosefal
5. Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
Pupil 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
6. Hidung : Sekret (-), Deviasi (-)
7. Mulut : Mukosa bibir basah
8. Telinga : Tidak tampak serumen
9. Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
10. Thorax
a. Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Wheezing(-/-), ronkhi (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung S1/S2, irama regular, bising (-), gallop (-),
11. Abdomen
Inspeksi : Datar, supel, retraksi epigatrium (-), pembesaran
hepar(-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen,
pekak pada hepar
12. Ekstremitas : Akral dingin, CRT < 2 detik, hemiparese dextra
Status Neurologis
1. Kesadaran : Coma, GCS; E : 1 V: 1 M: 1
2. Kepala : Pupil isokor diameter 3 mm, refleks
cahaya (+/+)
3. Tanda peningkatan TIK: Kejang (+), muntah (+), nyeri kepala (+)
4. Leher : Kaku kuduk (-) dan rangsang meningeal (-)
5. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Hasil Pemeriksaan
Nervus I Tidak dapat diperiksa
Tajam penglihatan, lapang pandang, dan melihat
Nervus II
warna tidak dapat diperiksa
Bola mata posisi ortho, pupil bulat, isokor, diameter
3 mm/ 3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
Nervus III, IV, VI
cahaya tidak langsung (+/+), diplopia (-), ptosis (-),
strabismus (-), nistagmus (-/-)
Membuka mulut (-), menggerakkan rahang (-),
Nervus V menggigit (-), mengunyah (-), sensorik menurun
(hipestesi), refleks kornea (-/-)
Raut muka tidak simetris, plika nasolabialis tidak
simetris, mulut mencong ke kanan, mengerutkan
Nervus VII dahi (-), menutup mata (-), bersiul (-),
memperlihatkan gigi (-), sekresi air mata (-), sensasi
lidah 2/3 depan (-)
Nervus VIII Pendengaran (-), keseimbangan (-)
Refleks muntah (-), sensasi lidah 1/3 belakang (-),
Nervus IX
menelan (-)
Arkus faring simetris kiri dan kanan, uvula di
Nervus X
tengah, disfagia (+), disfonia (-)
Nervus XI Menoleh ke kanan dan kiri (-), mengangkat bahu (-)
Kedudukan lidah di dalam, tidak dapat menjulurkan
Nervus XII
lidah, tremor (-), fasikulasi (-), atropi (-)

13. Tanda rangsang meningeal


a. Burdzinski I : (-)
b. Burdzinski II : (-)
c. Kerniq : (-)
14. Fungsi motorik
a. Tropi : Eutropi
b. Tonus : Menurun
b. Pemeriksaan penunjang
1. Elektrokardiografi : dalam batas normal
2. Hasil Foto CT-SCAN kepala : ICH di parietal kiri vol ± 100 cc
3. Tes darah rutin dan kimia darah
a. HB : 11,8 g/dl
b. Leukosit : 12.900 /mm
c. Ht : 33 %
d. Trombosit : 350.000/mm
e. Ureum : 22 mg/dl
f. Kreatinin : 1.0 mg/dl
g. GDS : 279 mg/dl
h.Natrium : 131 mEq/L
i. Kalium : 4,52 mEq/L
j. Klorida : 94 mEq/L
k.SGOT : 45 U/L
l. SGPT : 50 U/L
d. Diagnosis
1. Diagnosis klinis : Kelemahan seluruh anggota gerak
2. Diagnosis topis : Saraf Central
3. Diagnosis etiologi : Stroke Hemoragik dd Stroke non hemoragik
4. Diagnosis kerja : Stroke Hemoragik
5. Diagnosis banding : Miopati, Myasthenia gravis
a. Konsultasi ke dr. Spesialis Saraf
b. Pro ICU
c. O2 face mask 8-10 l/i
d. IVFD RL 20 tpm
e. Inj. Citicoline 2x500 mg
f. Inj. Phenitoin 3x1 amp dalam NaCl 100cc
g. Pasang DC dan NGT
h. Diet cair
i. Monitoring vital sign
j. Intake dan output cairan

e. Edukasi
Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang di derita pasien dan
menjelaskan resiko kemungkinan yang akan terjadi, yaitu penyakit stroke hemoragik
merupakan penyebab kematian nomor 2 tersering di dunia dan penyebab kecacatan
pada pasien.

f. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN

Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di dunia, serta


merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Menurut
American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika setiap
tahunnya adalah 50-100 dari 100.000 orang penderita.1 Stroke diklasifikasikan menjadi
stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki angka
kejadian 85% dari seluruh stroke yang terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20%
stroke kardioemboli.2 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), stroke
merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh RS di Indonesia.
Angka kejadian stroke meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tujuh orang yang
meninggal di Indonesia, satu diantaranya disebabkan stroke. 3
Stroke hemoragik diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan
stroke non hemoragik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian
menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak.4 Secara garis besar
faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifable) dan
yang tidak dapat di modifikasi (nonmodifable). Faktor risiko stroke yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes
mellitus, merokok, mengkonsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan
stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain
usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.5
Diagnosis stroke dibuat berdasarkan adanya gejala klinis neurologik mendadak
yang beraneka ragam mulai dari gejala motorik fokal, gejala sensorik, gangguan fungsi
luhur hingga gangguan kesadaran. Gejala tersebut dapat disertai nyeri kepala, mual
muntah, kejang, kaku kuduk dan lain sebagainya. Diagnosis stroke seperti juga
diagnosis lain di bidang Ilmu Penyakit Saraf mencakup diagnosis klinis, topis dan
etiologis. Pemahaman ilmu dasar mengenai anatomi otak dan bangunan intrakranial di
sekitarnya, sistem perdarahan otak serta fisiologi dan metabolisme otak diperlukan
dalam menentukan diagnosis stroke. Selain itu, anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, dan pemeriksaan psikoneurologis perlu dicari dan disimpulkan dalam
sindrom-sindroma klinik yang dapat memberikan arah diagnosis topis dalam
pengelolaan pasien. Diagnosis etiologis menempati tempat utama yang harus segera
disimpulkan untuk dapat memberikan terapi yang cepat dan tepat.
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis stroke ditetapkan dari pemeriksaan fisik neurologis dimana
didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala
serta tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pemnbuluh darah otak tertentu.3,6,7
Gangguan pada sistem karotis menyebabkan: gangguan penglihatan, gangguan
bicara, disafasia atau afasia bila mengenai hemisfer serebri dominan, gangguan motorik,
hemiplegi/ hemiparesis kontra lateral, dan gangguan sensorik. Gangguan pada sistim
vertebrobasilar menyebabkan: gangguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila
gangguan pada lobus oksipital, gangguan nervi kranalis bila mengenai batang otak,
gangguan motorik, gangguan koordinasi, drop attack, gangguan sensorik, gangguan
kesadaran, dan kombinasi. Pada beberapa keadaan didapat gangguan neurobehaviour,
hemineglect, afasia, aleksia, anomia maupun amnesia. 8,9

2. Diagnosis Topik
Menurut klasifikasi Bamford, diagnosis topik stroke dapat dibagi menjadi :3,10
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) bila memenuhi 3 gejala di bawah:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) bila memenuhi 2 gejala di bawah ini
atau cukup 1 saja tetapi harus merupakan gangguan fungsi luhur:
-Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
-Hemianopia kontralateral
-Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
c. Lacunar Circulation Infarct (LACI) bila:
- Gangguan motorik murni
- Gangguan sensorik murni
- Hemiparesis dengan ataksia
d. Posterior Circulation Infarct (POCI) bila memberikan gejala:
- Diplopia
- Disfagia
- Vertigo
- Disartria
- Hemiparesis alternans
- Gangguan motorik/sensorik bilateral
- Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract sign

3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Baku emas yang digunakan untuk menentukan etiologi adalah CT-scan
kepala.8,9 Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah dan urin),
elektrokardiogram, ekhokardiogram, foto toraks, pungsi lumbal, elektroensefalogram,
arteriografi, doppler sonography diperlukan untuk membantu diagnosis etiologis stroke
hemoragik (intraserebral, subaraknoid) atau iskemik (emboli, trombosis) serta mencari
faktor risiko.3,10
Pengobatan stroke hemoragik dilakukan berdasarkan penyebab, tingkat
keparahan, serta lokasi di mana perdarahan tersebut terjadi. Penderita stroke hemoragik
akan dirawat di unit rawat intensif agar dapat dipantau kondisinya secara ketat.
Penanganan stroke hemoragik bertujuan untuk mengendalikan perdarahan dan
mencegah terjadinya komplikasi. Penanganan dilakukan dengan pemberian obat. Dalam
kasus stroke hemoragik, pasien yang rutin mengonsumsi obat pengencer darah, akan
dihentikan sementara, karena akan memperparah perdarahan. Bahkan bila perlu,
diberikan obat untuk membantu pembekuan darah. Di antaranya adalah
pemberian vitamin K, transfusi darah trombosit, atau faktor pembekuan.11,12,13
Obat pereda nyeri juga bisa diberikan pada pasien guna meredakan sakit kepala.
Namun, obat antiinflamasi nonsteroid tidak dianjurkan untuk pasien stroke hemoragik
karena hanya akan memperburuk perdarahan. Selain itu, obat pencahar juga dapat
diberikan guna mencegah pasien mengejan terlalu keras saat BAB, yang dapat
meningkatkan tekanan pada pembuluh darah di rangka kepala. Untuk mencegah
perkembangan perdarahan yang lebih parah, dapat diberi obat seperti antagonis kalsium.
Pengobatan ini bertujuan untuk menjaga tekanan darah tetap rendah agar tidak terjadi
perdarahan kembali. Jika pasien mengalami kejang, maka obat antikonvulsan akan
diberikan.11,12,13
Pada penderita perdarahan subarachnoid, dapat dilakukan pemasangan selang
dalam otak untuk mengeluarkan cairan serebrospinal. Tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan pada otak dan mencegah hidrosefalus. Untuk kasus stroke
hemoragik yang sangat parah, dibutuhkan tindakan operasi guna memperbaiki
pembuluh darah dan menghentikan perdarahan, terutama jika stroke terjadi karena
malformasi (kelainan) arteri-vena. Namun demikian, tindakan ini perlu diperhitungkan
baik-baik karena operasi sendiri dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.11,12,13
Setelah menjalani pengobatan, pemulihan pasien tergantung dari tingkat
keparahan stroke dan kerusakan jaringan otak yang terjadi. Bagi penderita stroke
hemoragik yang tidak mengalami komplikasi, dapat pulih dalam waktu beberapa
minggu setelah pulang dari rumah sakit. Tapi bagi pasien stroke hemoragik di mana
telah terjadi kerusakan jaringan, dibutuhkan terapi tambahan, seperti terapi fisik,
kegiatan, atau terapi bicara. Terapi-terapi tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan
fungsi jaringan yang rusak sehingga dapat bekerja secara normal kembali.11,12,13
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Diagnosis klinis : CVA BLEEDING
2. Diagnosis topis : Saraf Perifer
3. Diagnosis etiologi : Autoimun
4. Diagnosis kerja : Tetraparese et causa Guillain Barre Syndrome
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2008. Buku Ajar Neurologi


Klinis cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia.
2. Basuki, Andi dan Dian Sofiati (ed.). Neurology in Daily Practice. 2010.
Bandung: Bagian Ilmu Pena Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD
3. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
4. Martono H. Kuswardhani RA. Stroke dan penatalaksanaannya oleh internis.
Interna Publishing. Jakarta; 2009.
5. Mardjono M. Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat. Jakarta; 2009.
6. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology.Edisi 8.
BAB 4. Major Categories of Neurological Disease:Cerebrovascular Disease.
McGraw Hill: New York, 2005.
7. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape.
8. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.
Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative
study. Bull World Health Organ. 1980; 58:113–30.
9. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes
RI.
10. Misbach J, Jannis J, Soertidewi L. 2011. Epidemiologi Stroke, dan Anatomi
Pembuluh Darah Otak dan Patofisiologi Stroke dalam Stroke Aspek Diagnostik,
Patofisiologi, Manajemen. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.
11. National Stroke Association. Hemorrhagic Stroke. 2018
12. Lava, N. WebMD. Brain Hemorrhage: Cause, Symptoms, Treatments. 2016
13. Rogers, G. Healthline. Hemorrhagic Stroke. 2016
KASUS
Seorang anak laki-laki 16 tahun dengan riwayat demam dan batuk pilek
seminggu yang lalu dilaporkan secara mendadak mengalami kelemahan tungkai kanan
bawah kemudian disusul kelemahan tungkai kiri bawah, kemudian kelemahannya
menjalar dari ekstremitas bawah naik ke atas sehingga terjadi juga kelemahanan kedua
anggota gerak atas, akhirnya pasien mengalami kelemahan empat anggota gerak disertai
rasa nyeri kesemutan dan baal pada keempat ekstremitas. Pasien tersebut mengalami
sesak nafas dan sulit menelan, kemudian pasien dibawa ke IGD RSUD. Pada
pemeriksaan di unit gawat darurat, dokter menemukan pasien mengalami gangguan
pernafasan, pasien disarankan masuk ICU. Setelah masuk ICU pasien mendapat
pertolongan bantuan pernafasan dari ventilator.
a. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : IR
Jenis Kelamin : Laki- laki
Umur : 16 tahun
Pekerjaan: : Belum bekerja
Alamat : Dr. Wahidin
2. Keluhan Utama
Kelemahan tungkai bawah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Onset : Mendadak sebelum masuk rumah sakit
b. Lokasi : Kelemahan pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
c. Kualitas keluhan: Kelemahan tungkai kanan bawah kemudian disusul
kelemahan tungkai kiri bawah, kemudian kelemahannya menjalar dari
ekstremitas bawah naik ke atas sehingga terjadi juga kelemahanan kedua
anggota gerak atas, akhirnya pasien mengalami kelemahan empat anggota
gerak disertai rasa nyeri kesemutan dan baal pada keempat ekstremitas.
d. Kuantitas keluhan: kelemahan tungkai bawah kanan bawah terjadi secara
mendadak dan menjalar hingga keseluruh ekstremitas.
e. Faktor yang memperberat: Tidak ada
f. Faktor yang memperingan: Tidak ada
g. Keluhan penyerta: sesak nafas dan sulit menelan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengalami demam dan batuk sejak seminggu yang lalu. Riwayat penyakit
serupa disangkal.
5. Riwayat penyakit keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala yang sama dengan
pasien.
6. Riwayat lingkungan sosial
Pasien tidak mengonsumsi alkohol dan memiliki riwayat merokok 12 batang
sehari selama 5 tahun.
7. Pasien tidak memiliki riwayat alergi pada makanan tertentu serta obat-obatan.

b. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
15. Keadaan umum : Sedang, gizi cukup
16. Kesadaran : Compos Mentis
17. Tanda vital : TD : 140/80 mmHg
Nadi : 120 kali per menit, reguler
Respirasi : 30 kali per menit
Suhu : 37,2oC
18. Kepala : Normosefal
19. Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-),
sclera ikterik (-/-)
20. Hidung : Sekret (-), Deviasi (-)
21. Mulut : Mukosa bibir basah
22. Telinga : Tidak tampak serumen
23. Leher : Tidak ada pembesaran KGB
24. Thorax
c. Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Wheezing (+/+), ronkhi (-/-)
d. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama regular, bising (-), gallop (-)
25. Abdomen
Inspeksi : Supel, retraksi epigatrium (-)
Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
26. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, tetraparese dan baal pada keempat
ekstremitas
Status Neurologis
2. Kesadaran : Compos mentis, GCS; E : 4 V: 5 M: 6
6. Kepala : Pupil isokor diameter 3 mm, refleks
cahaya positif
7. Tanda peningkatan TIK: Kejang (-), muntah (-), nyeri kepala (-)
8. Leher : Kaku kuduk (-) dan rangsang meningeal (-)

9. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Hasil Pemeriksaan
Nervus I Penghidu normal kiri dan kanan
Tajam penglihatan, lapang pandang, dan melihat
Nervus II
warna dalam batas normal
Nervus III, IV, VI Bola mata posisi ortho, pupil bulat, isokor, diameter
3 mm/ 3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), diplopia (-), ptosis (-),
strabismus (-), nistagmus (-/-), gerakan mata
kebawah normal
Membuka mulut (+), menggerakkan rahang (+),
Nervus V menggigit (+), mengunyah (+), sensorik menurun
(hipestesi), refleks kornea (+/+)
Raut muka simetris, plika nasolabialis simetris,
mengerutkan dahi (+), menutup mata (+), bersiul
Nervus VII
(+), memperlihatkan gigi (+), sekresi air mata (+),
sensasi lidah 2/3 depan (+)
Nervus VIII Pendengaran dalam batas normal
Nervus IX Refleks muntah (+), sensasi lidah 1/3 belakang (+)
Arkus faring simetris kiri dan kanan, uvula di
Nervus X
tengah, disfagia (+), disfonia (-)
Menoleh ke kanan dan kiri (+), mengangkat bahu
Nervus XI
(+)
Kedudukan lidah di dalam dan saat dijulurkan
Nervus XII
simetris. Tremor (-), fasikulasi (-), atropi (-)

27. Tanda rangsang meningeal


d. Burdzinski I : (-)
e. Burdzinski II : (-)
f. Kerniq : (-)

28. Fungsi motorik


c. Tropi : Eutropi
d. Tonus : Menurun
c. Pemeriksaan penunjang
1. Elektrokardiografi : Sinus Ryhtm, heart rate 100 kali per menit
2. Hasil Foto Thorax PA
a. Pulmo tak tampak kelainan
b. Besar cor normal
3. Tes darah rutin dan kimia darah
a. HB : 17,9gr
b. Leukosit : 12.900 /mm
c. Ht : 51,5 %
d. Trombosit : 319.000/mm
e. LED : 8 mm/jam
f. Ureum : 68 mg/dl
g. Kreatinin : 1.0 mg/dl
h. KGD ad random : 149 mg/dl
i. Natrium : 131 mEq/L
j. Kalium : 4,52 mEq/L
k. Klorida : 94 mEq/L
l. SGOT : 51 U/L
m. SGPT : 141 U/L
n. Albumin : 3.59 g/dl
o. Glukosa : 123 mg/dl
4. Hasil Analisa Cairan Otak
a. Warna : Jernih
b. LDH : 32 U/L
c. Protein : 11 mg/dl
d. Jumlah sel : 2/mm
d. Diagnosis
1. Diagnosis klinis : Kelemahan seluruh anggota gerak
2. Diagnosis topis : Saraf Perifer
3. Diagnosis etiologi : Autoimun
4. Diagnosis kerja : Tetraparese et causa Guillain Barre Syndrome
5. Diagnosis banding : Miopati, Myasthenia gravis
a. Konsultasi ke dr. Rehab Medis untuk perbaikkan kemampuan pergerakan
anggota gerak: Kemungkinan dilakukan fisioterapi
b. Bed rest
c. O2 face mask 6-8 l/i
d. IVFD R-Sol 20 gtt/i
e. Inj. Dexamethasone 4 mg/6 jam/IV
f. Inj. Ranitidine 50mg/12 jam/IV
g. Total Plasma Exchange
e. Edukasi
Edukasi dan promosi kesehatan pada Guillain Barre Syndrome (GBS)
melibatkan pencegahan sekunder. Tidak ada upaya pencegahan definitif yang bisa
dilakukan. Namun, pada pasien dengan GBS tidak disarankan untuk melakukan
vaksinasi flu selama ≥1 tahun setelah onset sakit. Pada pasien dengan GBS yang
dirawat jalan, Pasien diminta untuk segera mendatangi petugas kesehatan apabila
ada perburukan gejala, seperti kelemahan, mati rasa, paresthesia, kelemahan otot
wajah, kesulitan menelan atau bernafas, dan gangguan berkemih
f. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN

GBS (Guillain Barre Syndrome) adalah neuropati yang dimediasi imun akut yang
mempengaruhi persarafan yang mengendalikan kekuatan otot dan transmisi saraf
sensasi rasa sakit, suhu dan sentuhan. Hal ini dapat menghasilkan kelemahan dan
kehilangan sensasi di kaki dan / atau lengan. Insiden GBS di seluruh dunia diperkirakan
0,8-1,9 (median 1.1) kasus per 100.000 orang per tahun di antara semuanya umur.
Insiden tahunan GBS meningkat dengan bertambahnya usia (0,6 per 100.000 per tahun
pada anak-anak dan 2,7 per 100.000 per tahun pada orang berusia 80 tahun ke atas) dan
kondisinya sedikit lebih sering pada pria daripada wanita.1
Dalam kasus-kasus yang khas, di antara gejala-gejala pertama adalah nyeri, mati
rasa, parestesia, atau kelemahan pada tungkai. Fitur utama GBS adalah kelemahan
bilateral yang progresif cepat dan relatif simetris anggota tubuh dengan atau tanpa
keterlibatan otot-otot yang dipersarafi pernapasan atau saraf kranial. Kelemahan
progresif cepat adalah fitur klinis inti dari GBS. Menurut definisi, kelemahan maksimal
tercapai dalam empat minggu, tetapi sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan
maksimalnya dalam dua minggu. Pasien kemudian memiliki fase plateau dengan
rentang durasi bervariasi dari hari ke beberapa minggu atau bulan. Fase ini diikuti oleh
fase pemulihan durasi variabel. Meskipun efek intravena pengobatan imunoglobulin
(IVIg) atau pertukaran plasma (PE), sekitar 20% dari 'pasien yang sangat terpengaruh'
tetap tidak dapat berjalan setelah setengah tahun. Selain itu, banyak pasien tetap
dinyatakan cacat atau lelah parah. Bahkan 3-6 tahun setelah onset, GBS memiliki
dampak besar pada kehidupan social dan kemampuan untuk melakukan kegiatan. Jelas
bahwa GBS sering tetap menjadi penyakit parah yang memerlukan perawatan yang
lebih baik, setidaknya dalam proporsi pasien.2
Sindrom Guillain-Barre (GBS) dan variannya dianggap sebagai neuropati pasca-
infeksi, yang dimediasi kekebalan. Bukti dari model hewan menunjukkan peran kunci
mimikri molekuler. Pada infeksi gastrointestinal Campylobacter jejuni,
lipooligosakarida yang ada di membran luar bakteri mirip dengan gangliosida yang
merupakan komponen saraf perifer. Oleh karena itu, respons imun yang dipicu untuk
melawan infeksi dapat menyebabkan reaksi silang pada saraf inang.3
Banyak infeksi telah dikaitkan dengan GBS. Yang paling umum adalah penyakit
saluran cerna atau pernapasan. Hingga 70% pasien telah melaporkan penyakit anteseden
dalam 1 hingga 6 minggu sebelum presentasi GBS. Selama wabah virus Zika, banyak
kasus GBS dijelaskan. Laporan kasus merinci banyak etiologi lain yang mungkin terkait
dengan GBS termasuk obat-obatan dan operasi. (Bukti level III)3
Pada tahun 1976, vaksinasi flu terhadap antigen influenza A / H1N1 mengarah pada
peningkatan insiden kasus GBS; namun, data pengawasan lebih lanjut tentang vaksinasi
flu pada tahun-tahun berikutnya hanya menggambarkan satu kasus tambahan GBS
untuk setiap 1 juta vaksin. Penelitian selanjutnya memperkirakan bahwa
mengembangkan GBS setelah infeksi flu hingga 7 kali lebih mungkin daripada
mengembangkan GBS setelah vaksinasi. (Bukti level IV)3
Infeksi anteseden dilaporkan hingga 70% dari pasien dengan Sindrom Guillain-
Barre (GBS). Oleh karena itu, mimikri molekuler memainkan peran penting dalam
pemahaman tentang GBS, khususnya varian aksonal. Lipooligosakarida dari
Campylobacter jejuni mirip dengan gangliosida dari membran saraf tepi. Imunisasi
pasif kelinci dengan lipooligosakarida seperti ganglioside ini telah menyebabkan
sindrom klinis serupa tetraplegia flaksid, mirip dengan varian neuropati akson aksonal
motorik GBS. Antibodi ganglioside telah terbukti memiliki target saraf perifer yang
berbeda. Antibodi anti-GD1a berikatan dengan paranadol myelin, simpul Ranvier, dan
persimpangan neuromuskuler. Antibodi GM1 dan GQ1B berikatan dengan saraf perifer
atau sambungan neuromuskuler. Sasaran saraf perifer yang berbeda ini mungkin
berperan dalam heterogenitas presentasi klinis GBS. Selain itu, kaskade komplemen
diaktifkan dan memainkan peran kunci dalam patogenesis penyakit ini.3
Pasien sindrom Guillain-Barre (GBS) menggambarkan gejala fulminan yang
biasanya mencakup kelemahan naik dan gejala sensorik yang tidak tergantung panjang.
Secara definisi, nadir biasanya dicapai dalam waktu 4 minggu. Keterlibatan simetris
adalah fitur utama GBS. [6] GBS biasanya dianggap monofasik; Oleh karena itu, kursus
relaps atau remisi pada presentasi akan dianggap tidak lazim. Selain itu, kejadian GBS
sebelumnya (GBS berulang) juga tidak biasa, terjadi pada <10% dari semua pasien. Jika
pasien melaporkan perkembangan setelah 8 minggu, diagnosis lain harus
dipertimbangkan.3
GBS sering muncul (hingga 70% pasien) dalam 1 hingga 6 minggu setelah
penyakit pendahuluan. Peristiwa anteseden lain yang telah dikaitkan dengan GBS
termasuk vaksinasi (khususnya vaksin flu babi tahun 1976), pembedahan, trauma, atau
infeksi lainnya. Pasien dengan GBS akan memiliki pola klasik berupa kelemahan
proksimal dan distal, yang flaksid dan sering mendalam jika dirawat di rumah sakit.
Kelemahan fleksi leher yang signifikan mungkin ada dan dapat menandakan kebutuhan
untuk intubasi. Areflexia atau hyporeflexia biasanya ada. (Kasus yang jarang terjadi
tanpa hypo / areflexia telah dijelaskan, sebagian besar dalam varian AMAN (acute
motor axonal neuropathy) dari GBS). Selain kelemahan flaksid dan areflexia, pasien
mengalami gejala sensorik yang tidak tergantung panjang; oleh karena itu, tidak seperti
neuropati kronis yang lebih umum seperti neuropati diabetik, pasien dapat melaporkan
disestesia pada tangan diikuti oleh kaki. Pasien dapat mengalami diplegia wajah karena
keterlibatan kedua saraf kranial wajah. Pasien juga dapat mengalami disfagia karena
keterlibatan saraf kranial glossopharyngeal, vagus, dan hypoglossal. Saraf otonom dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan; Oleh karena itu, sebagian besar dokter
merekomendasikan pemantauan di unit perawatan menengah atau intensif untuk aritmia
jantung atau labilitas tekanan darah. Disautonomia adalah etiologi utama morbiditas dan
mortalitas yang disebabkan oleh GBS. Selain itu, keterlibatan saraf kranial bagian
bawah (saraf glossopharyngeal, vagus, dan hypoglossal) atau keterlibatan saraf pada
otot-otot respirasi dapat menyebabkan perlunya ventilasi buatan. Kegagalan pernapasan
dapat terjadi hingga 30% dari pasien, biasanya mengarah ke rawat inap dan pemulihan
berkepanjangan.3
Selain presentasi GBS klasik yang dijelaskan di atas, banyak varian GBS telah
dijelaskan. Ada varian dengan keterlibatan motorik murni yang disebut "AMAN
(neuropati akson motorik akut)" yang lebih umum di negara-negara Asia. Jarang,
pasien-pasien ini dapat memiliki refleks normal. Ada juga varian regional yang
melibatkan terutama otot faring, leher, dan ekstremitas atas yang disebut varian "faring-
serviks-brakialis"). Beberapa varian dapat melibatkan sistem saraf pusat, disebut
"Bickerstaff Encephalitis." Ada juga varian yang hadir dengan paraparesis. Varian yang
paling terkenal adalah sindrom Miller Fisher. Ini secara klasik digambarkan sebagai tiga
serangkai ophthalmoplegia, areflexia, dan ataksia; namun, saraf kranial lain selain saraf
oculomotor telah dilaporkan dalam varian ini.3
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Diagnosis klinis : Kelemahan seluruh anggota gerak
2. Diagnosis topis : Saraf Perifer
3. Diagnosis etiologi : Autoimun
4. Diagnosis kerja : Tetraparese et causa Guillain Barre Syndrome
DAFTAR PUSTAKA

1. Sejvar JJ, Baughman AL, Wise M, Morgan OW. Population incidence of


Guillain-Barré syndrome: a systematic review and meta-analysis.
Neuroepidemiology. 2011;36:123-33.
2. Van Doorn PA. Current treatment in Guillain-Barré Syndrome and myasthenia
gravis. 4rd Congress of the European Academy of Neurology Lisbon, Portugal,
June 16 - 19, 2018. Terdapat di
https://www.ean.org/lisbon2018/fileadmin/user_upload/TC10_03_van_Doorn.p
df. Diakses pada tanggal 10 Juli 2019.
3. Nguyen TP, Taylor RS. Guillain barre syndrome. 2018. Terdapat di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532254/. Diakses pada tanggal 10 Juli
2019.

Anda mungkin juga menyukai