Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PEMICU 1

MODUL PENYAKIT ENDEMIK

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. Desya Osselia Irvani I1011121064


2. Daniel Rychard’s Watopa I1011131023
3. Ignasius Agung Mulia I1011151008
4. Prihan Fakri I1011151018
5. Meika Meidina Yuanita I1011151025
6. Ariesta Nurfitria Khansa I1011151027
7. Afufah Kartikasari I1011151043
8. Marizca Okta Syafani I1011151048
9. Indry Nurafsari I1011151049
10. Andreas Ade Mahendra I1011151064
11. Devi Oktavitalis I1011151067
12. Noerkumalasari I1011131030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Seorang wanita 40 tahun yang tinggal di kecamatan Rasau Jaya,
Kabupaten Kubu Raya, datang berobat ke puskesmas dengan keluhan muncul
bercak putih pada kulit di punggung dan lengan. Keluhan ini muncul sejak
kurang lebih satu tahun lalu. Awalnya bercak hanya muncul dipunggung,
beberapa bulan kemudian muncul di lengan kanan. Tidak ada keluhan rasa
gatal dan nyeri pada bercak tersebut. Pasien pernah membeli sendiri obat krim
mikonazole di apotik tapi tidsk kunjung sembuh
Pada pemeriksaan fisik dijumpai ujud kelainan kulit berupa makula
hipopigmentasi berukuran sebesar uang logam, skuama (-). Berdasarkan
anamnesis, suami pasien juga terkena sakit kulit berupa benjolan di wajah dan
cuping telinga yang disertai rambut alis rontok, sehingga oleh dokter
puskesmas suaminya diobati dengan obat rutin selama 12 bulan.
Dokter di Puskesmas Rasau Jaya, curiga bahwa tanda-tanda yang dialami
pada pasien diatas terdapat kemiripan dengan salah satu kasus penyakit
endemik d Kabupaten Kubu Raya, dimana kasus tertinggi terdapat di 4
kecamatan yaitu di Kecamatan Sungai Raya, Sungai Kakap, Sungai
Ambawang, dan Kecamatan Rasau Jaya. Laporan Dinkes Kabupaten Kubu
Raya juga mengungkapkan bahwa kasus penyakit dengan ciri-ciri tersebut di
Provinsi Kalimantan barat, tertinggi adalah di Kabupaten Kubu Raya

1.2. Klarifikasi dan Definisi


1. Makula: Perubahan warna kulit tanpa disertai penambahan konsistensi
dan permukaannya
2. Mikonazole: Obat anti jamur spektrum luas yang efektif terhadap
berbagai macam jenis jamur
1.3. Kata Kunci
A. Istri
1. Wanita 40 tahun
2. Bercak putih di punggung dan lengan 1 tahun lalu
3. Makula hipopigmentasi sebesar uang logam
4. Tidak ada gatal dan nyeri
5. Membeli obat mikonazole di apotik tapitidak kunjung sembuh
6. Skuama (-)

B. Suami

1. Benjolan di wajah dan cuping telinga


2. Rambut alis rontok
3. Diobati rutin selama 12 bulan

1.4. Rumusan Masalah


1. Apa yang dialami wanita 40 tahun dengan keluhan muncul bercak
putih pada punggung dan lengan selama 1 th terakhir?
2. Apakah penyakit yang diderita wanita tsb merupakan salah satu
penyakit endemik di KKR?
1.5. Analisis Masalah

Suami ......................................... Wanita 40 th

UKK:
UKK:
 Makula hipopigmentasi
 Benjolan di wajah sebesar uang lpgam -+1
dan cuping telinga th
 Rambut alis rontok  Gatal dan nyeri (-)
 Riwayat pengobatan  Skuama (-)
12 bulan  Riwayat pengobatan
dengan mikonazole

Kusta DD

Tinea Versicolor

Vitiligo Pem. Penunjang

.........
Penyakit endemik di Diagnosis
KKB

Tatalaksana
1.6. Hipotesis
1. Wanita 40 tahun mengalami penyakit Morbus Hansen
2. Penyakit yang diderita wanita 40 tahun tersebut merupakan salah satu
penyakit endemik di KKR

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Apa saja penyakit endemik di
a. Kalbar
b. Kuburaya
2. Jeleskan perbedaan endemik, pandemik, dan epidemiologi
3. Kusta
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Epidemiologi
d. Manifestasi
e. Diagnosis
f. Tata laksana & Edukasi
4. Tinea Versicolor
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Epidemiologi
d. Manifestasi
e. Diagnosis
f. Tata laksana & Edukasi
5. Vitiligo
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Epidemiologi
d. Manifestasi
e. Diagnosis
f. Tata laksana & Edukasi
6. Hubungan penyakit wanita tsb dengan penyakit endemik di KKR
7. Hubungan penyakit suami dengan penyakit endemik di KKR
8. Syarat suatu penyakit dikatakan endemik
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Endemik


A. Kalbar
 Demam Berdarah Dengue
 Malaria
 Filariasis

B. Kubu Raya
Terdapat beberapa penyakit yang endemik di Kabupaten Kubu Raya,
seperti DBD dan filariasis. Kusta sendiri dilaporkan meningkat kasusnya
di Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2016. Peningkatan kasus tersebut
terutama didominsai di empat Kecamatan yakni, Kecamatan Sungai Raya,
Sungai Kakap, Sungai Ambawang dan Kecamatan Rasau Jaya dimana
Kecamatan Rasau Jaya menjadi lokasi terbanyak pengidap penyakit kusta
tersebut.
Kasus kusta yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, terutama
Kecamatan Rasau Jaya menjadi endemik dalam periode tahun 2012 hingga
2016, dimana terdapat sekitar 12 kasus kusta yang ditangani oleh
Puskesmas Rasau Jaya. Pada tahun 2016, dilaporkan kepada Dinkes Kubu
Raya oleh seluruh Pukesmas yang ada di Kubu Raya sekitar 60 kasus, 24
diantaranya sudah diketahui dan ditemukan penderitanya. Namun, jumlah
kasusnya cenderung menurun. Oleh karena laju kejadiannya cenderung
konstan dalam periode 2012-2016 dan hanya didominasi di keempat
wilayah tersebut, penyakit ini dapat disebut endemik di keempat wilayah
itu. Tidak ada penyakit kulit lain yang endemik di Kabupaten Kubu Raya.2
2.2 Jelaskan perbedaan endemik, pandemik, dan epidemiologi

Umumnya Penyakit endemik adalah penyakit yang umum yang terjadi


pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi. Suatu
penyakit dikatakan endemik jika terjadi pada suatu populasi dan hanya
berlangsung di dalam populasi tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang yang
terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu orang lain
(secara rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang
terinfeksi tidak bertambah secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada
dalam keadaan tunak endemik (endemic steady state). Suatu infeksi yang
dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan lenyap atau mencapai
keadaan tunak endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk virulensi
dan cara penularan penyakit bersangkutan. Contoh penyakit endemik adalah
malaria di sebagian Afrika (misalnya, Liberia). Di tempat seperti itu, sebagian
besar populasinya diduga terjangkit malaria pada suatu waktu dalam masa
hidupnya.
Sedangkan epidemik adalah mewabahnya penyakit atau penyakit yang
timbul sebagai kasus baru dalam populasi/daerah tertentu, dalam suatu
periode waktu tertentu, dengan laju penularan yang melebihi batas jumlah
normal atau yang biasa. Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia,
pengertian wabah dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Suatu wabah dapat terbatas
pada lingkup kecil tertentu (disebut outbreak, yaitu serangan penyakit),
lingkup yang lebih luas (epidemi) atau bahkan lingkup global (pandemi).
Penentuan suatu kejadian sebagai epidemi dapat bersifat subjektif,
sebagian bergantung pada hal-hal apa yang termasuk dalam “ekspektasi”.
Oleh karena didasarkan pada “ekspektasi” atau yang dianggap normal,
beberapa kasus timbulnya penyakit yang sangat jarang seperti rabies dapat
digolongkan sebagai “epidemic”, sementara banyak kasus timbulnya penyakit
yang umum (seperti pilek) tidak digolongkan sebagai epidemi. Epidemi
digolongkan dalam berbagai jenis berdasarkan pada asal-muasal dan pola
penyebarannya. Epidemi dapat melibatkan paparan tunggal (sekali), paparan
berkali-kali, maupun paparan terus-menerus terhadap penyebab penyakitnya.
Penyakit yang terlibat dapat disebarkan oleh vektor biologis, dari orang ke
orang, ataupun dari sumber yang sama seperti air yang cemar.
Pandemi atau epidemi global atau wabah global adalah kondisi
dimana terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah
geografi yang luas. Suatu pandemi dikatakan terjadi bila ketiga syarat berikut
telah terpenuhi:
 Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal baru pada populasi
bersangkutan,
 Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit
serius,
 Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada
manusia.

2.3 Kusta
2.3.1 Definisi

Kusta merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae bacillus berbentuk batang asam. Penyakit ini
menyerang terutama pada kulit, saraf perifer, mukosa saluran pernapasan
bagian atas, dan mata. Kusta dapat disembuhkan dan pengobatan pada
tahap awal dapat mencegah kecacatan.4

2.3.2 Klasifikasi4
a. Pausi Bacillary
tipe ini disebut juga kusta kering, dimana terdapat bercak
keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan
bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh bulu/rambut,
bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu
tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-). Tipe kusta ini tidak
menular.
b. Multi bacillary
Kusta tipe ini disebut juga kusta basah, dimana bercak berwarna
putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata di seluruh kulit
badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada
kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi, dan hasil
pemeriksaan bakteriologis positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah
menular.

2.3.3 Epidemiologi
Menurut Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta (Depkes RI, 2012), penyakit kusta merupakan salah satu
penyakit yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah
yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai
dengan masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara – negara
yang sedang berkembang. Penyakit kusta sampai saat ini masih
ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan.
Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan pengertian,
kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan cacat yang
ditimbulkannya.5
World Health Organization melaporkan penemuan penderita
kusta baru dimana terdapat 17 negara yang memiliki kasus kusta
>1000 kasus. Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah
kasus 17.682 setelah India dan Brazil dengan prevalensi kusta hingga
akhir trimester awal tahun 2011 sebesar 19.785 kasus. Di Indonesia
penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan penyebaran
yang tidak merata. Penderita kusta 90% tinggal diantara keluarga dan
hanya beberapa persen saja yang tinggal di rumah sakit kusta,
penampungan atau perkampungan kusta.6,7
Angka prevalensi penderita kusta di Indonesia pada tahun 2015
sebanyak 0,78 per 10.000 penduduk, sehingga jumlah penderita yang
terdaftar sekitar 20.160 kasus. Ada 14 provinsi di Indonesia yang
prevalensinya diatas 1 per 10.000 yaitu Banten, Sulawesi Tengah,
Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan
Kalimantan Utara.8

2.3.4 Manifestasi Klinis7


a) Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing
pada jari kaki, pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan
adanya makula dengan hilangnya rasa tusukan. Keadaan tersebut
merupakan penderita yang sudah lanjut dan sudah dipastikan lepra
tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.
b) Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit,
anesthesi pada tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa
bercak kulit yaitu macula anaesthetica, penebalan kulit (papula atau
plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya timbul
penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
c) Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan
Multi basiler (MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu
adanya 4 (empat) kriteria yaitu :
1) Ditemukannya lesi kulit yang khas.
2) Adanya gangguan sensasi kulit.
3) Penebalan saraf tepi.
4) BTA positif dari sediaan sayatan kulit.
2.3.5 Diagnosis9
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada
penemuan gejala-gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu :
a) Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan
(hipopigmentsi) atau kemerahan (eritematous) yang mati rasa.
b) Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan
akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan
tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan dapa berupa:
1. Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa
2. Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
3. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear)
pada cuping telinga serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada
kulit atau saraf seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas
untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman kemungkinan
besar mengarah ke kusta, maka kita dapat menetapkan seseorang
tersebut sebagai suspek kusta.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling
sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya
boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta. Pemeriksaan
apusan kulit (skin smear) beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan
dalam program nasional untuk penegakan diagnosis kusta. Tetapi
saat ini program nasional mengambil kebijakan untuk
mengaktifkan kembali pemeriksaan skin smear. Pemeriksaan skin
smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis
karena sekitar 7-10% penderita yang datang dengan lesi PB yang
meragukan merupakan kasus MB yang dini. Bila pemeriksaan
bakteriologis tersebut juga tidak ditemukan BTA, maka tersangka
perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan kemudian atau dirujuk
ke dokter spesialis kulit hingga diagnosa dapat ditegakan atau
disingkirkan. Diagnosis banding penyakit kulit yang jarang
ditemukan:
 Frambusia (Yaws) : lesi berupa beberapa benjolan (nodul)
yang berkelompok di tungkai, berwarna merah, permukaan
kasar dan terdapat krusta berwarna kuning. Kadang-kadang
berulserasi dan sembuh membentuk parut atrofi berwarna
agak putih. Gambar wajah tampak lesi atrofi,
hipopigmentasi, dan kadang-kadang sensasi terhadap rasa
raba dan nyeri agak terganggu.
 Granuloma Multiforme : penyakit ini pada beberapa
tingkatan sangat menyerupai kusta. Pertama kali ditemukan
dan terutama ditempat lain di dunia. Penyebabnya masih
belum diketahui, kemungkinan merupakan satu varian dari
granuloma anulare. Tahap awal ditandai oleh adanya gatal
(tidak terjadi pada kusta). Lesi menghilang sendiri cepat
atau lambat dan tidak ada respon terhadap pengobatan
apapun. Fungsi sensasi, pengeluaran keringat dan saraf
perifer normal.
 Pellagra : bercak dapat menyerupai kusta tipe PB yang
sedang mengalami reaksi. Lesi khas, simetris, tanpa keluhan
dan seringkali dihubungkan dengan malnutrisi, alkoholisme
dan kemiskinan. Fungsi sensasi pengeluaran keringat dan
saraf perifer normal. Lesi tersebut (serta keadaan umum
pasien) memberikan respon cepat dengan pemberian asam
nikotinat.
2.4 Tinea Vericolor
2.4.1 Definisi
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial kronik ringan
yang disebabkan oleh jamur malassezia dengan ciri klinis discrete atau
Confluent. Memiliki ciri-ciri bersisik, tidak berwarna atau tidak
berpigmen,1,3,10 dan tanpa peradangan. Pitiriasis versikolor paling dominan
mengenai badan bagian atas, tetapi sering juga ditemukan di ketiak, sela
paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.11,12

2.4.2 Epidemiologi
Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang
paling sering ditemukan. Prevalensi pitiriasis versikolor di Amerika
Serikat diperkirakan 2-8% dari semua penduduk. Prevalensi pitiriasis
versikolor lebih tinggi di daerah tropis yang bersuhu panas dan
kelembapan relatif. Di dunia prevalensi angka pitiriasis versikolor
mencapai 50% di daerah yang panas dan lembab dan 1,1% di daerah yang
dingin. Penyakit ini sering ditemukan pada usia 13-24 tahun. Di Indonesia
penyakit ini sering disebut panu dan angka kejadian di Indonesia belum
diketahui tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara umum
percobaan pada tahun 2008 didapatkan angka yang cukup tinggi karena
didukungnya iklim di daerah Asia.10

2.4.3 Manifestasi11
Kelainan pitiriasis versikolor sering ditemukan di bagian atas dada
dan meluas ke lengan atas, leher, punggung, dan tungkai atas atau bawah.
Penderita pada umumnya. Keluhan yang dirasakan penderita umumnya
gatal ringan saat berkeringat. Makula hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi, berbentuk teratur sampai tidak teratur, berbatas tegas
maupun difus. Beberapa bentuk yang tersering yaitu:
a. Berupa bercak-bercak yang melebar dengan skuama halus
diatasnya dengan tepi tidak meninggi, ini merupakan jenis makuler.
b. Berupa bercak seperti tetesan air yang sering timbul disekitar
folikel rambut, ini merupakan jenis folikuler.
Pitiriasis versikolor pada umumya tidak memberikan keluhan pada
penderita atau sering disebut asimtomatis. Penderita lebih sering
merasakan gatal-gatal ringan tetapi biasanya penderita berobat karena
alasan kosmetik yang disebabkan oleh bercak hipopigmentasi.
Hipopigmentasi pada lesi tersebut terjadi karena asam dekarboksilat yang
diproduksi oleh malassezia yang bersifat sebagai inhibitor kompetitif
terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap
melanosit, sedangkan pada lesi hiperpigmentasi belum bisa dijelaskan.

2.4.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan


mikroskopis, dan pemeriksaan menggunakan lampu wood.1 Gambaran
khas berupa bercak hipopigmenasi sampai hiperpigmentasi dengan
penyebaran yang luas beserta batas tegas.2,3,4

1) Pemeriksaan dengan lampu wood


Pemeriksaan ini dilakukan dikamar atau ruangan yang
gelap sehigga metode ini klinisi harus mempersiapkan ruangan
yang sesuai beserta lampu wood yang akan digunakan untuk
mendiagnosis pasien. Hasil dari pemeriksaan ini kulit yang terkena
pitiriasis versikolor akan berfluoresensi menjadi kuning
keemasan.2,3,5 Fluoresensi ini dapat menunjukkan batas lesi yang
terlihat jelas, sehingga kita bisa mengetahui luas lesi, selain itu
dapat juga dipakai untuk evaluasi pegobatan yang sebelumnya.6
2) Pemeriksaan sediaan langsung degan mikroskop cahaya
Preparat sediaan dibuat dari kerokan skuama pada lesi yang
diletakkan pada objek glass yang ditetesi dengan larutan KOH 20%
sebanyak 1-2 tetes, kemudian ditutup dengan gelas penutup dan
didiamkan selama 15-20 menit agar epitel kulit melarut. Setelah
sediaan siap, kemudian dilaksanakan pemeriksaan menggunakan
mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x10, dilanjutkan
pembesaran 10x40. Pemeriksaan menggunakan KOH 10-20%
ditemukan hifa pendek tebal 2-5µ dan bersepta, dikelilingi spora
berukuran 1-2µ gambaran ini khas sphageti and meatball atau
banana and grapes.2,3

2.4.5 Tata laksana & Edukasi


Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal
maupun sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah,
dimana mencapai 60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua.
Oleh sebab itu diperlukan terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
1. Pengobatan Topikal
2. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan
konsisten. Obat yang dapat digunakan ialah :
Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi
Salisil spiritus 10%
Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol dalam bentuk topikal
d. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%
e. Larutan Natrium Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis
mandi selama 2 minggu. (Partogi, 2008)
3. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas
atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan
adalah :
a. Ketoconazole
Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. Fluconazole
Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu. (Madani A, 2000)
4. Terapi hipopigmentasi (Leukoderma)
a. Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam
b. Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam
c. Jemur di matahari •}10 menit antara jam 10.00-15.00
(Murtiastutik, 2009)
Pityriasis versicolor cenderung untuk kambuh, sehingga
pengobatan harus diulangi. Daerah hipopigmentasi perlu Waktu yang lama
untuk repigmentasi, dan kedaan yang bertahan lama ini janganlah
dianggap sebagai suatu kegagalan.15

2.5 Vitiligo
2.5.1 Definisi
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat, yang ditandai
denganadanya makula putih yang dapat meluas. Dapat mengenai
seluruh bagian tubuhyang mengandung sel melanosit, misalnya
rambut dan mata.

2.5.2 Klasifikasi

Vitiligo diklasifikasikan atas Vitiligo segmental, akrofasial,


generalisata,dan universal. Atau dapat pula diklasifikasikan sesuai pola
keterlibatan bagian kulit yaitu tipe fokal, campuran, dan mukosal.
a. Vitiligo Fokal
Biasanya berupa makula soliter atau beberapa makula tersebar
pada satuarea, paling banyak pada area distribusi nervus
Trigeminus, meskipun leher dan batang tubuh juga sering
terkena.
b. Vitiligo Segmental
Makula unilateral pada satu dermatom atau distribusi quasi-
dermatom.Jenis ini cenderung memiliki onset pada usia muda,
dan tak seperti jenis lain, jenisini tidak berhubungan dengan
penyakit tiroid atau penyakit autoimun lainnya.Jenis ini lebih
sering terjadi pada anak-anak. Perubahan pada neural peptida
turutdipengaruhi pada patogenesis jenis ini. Lebih dari separuh
pasien dengan vitiligosegmental memiliki patch pada rambut
yang memutih yang dikenal sebagai poliosis.
c. Vitiligo Akrofasial
Depigmentasi pada jari-jari bagian distal dan area
periorificium .
d. Vitiligo Generalisata
Juga disebut vitiligo vulgaris, merupakan tipe yang paling
sering dijumpai.Patch depigmentasi meluas dan biasanya
memiliki distribusi yang simetris.
e. Vitiligo Universal
Makula dan patch depigmentasi meliputi hampir seluruh tubuh,
sering berhubungan dengan sindroma endokrinopati multipel.
f. Vitiligo Mukosal
Hanya melibatkan lokasi pada membran mukosa.

2.5.3 Epidemiologi
Prevalensi penyakit ini cukup tinggi yaitu kisaran 1% pada
populasi di dunia. Vitiligo banyak terjadi pada usia di bawah 20 tahun,
tetapi juga dapat terjadi pada usia lanjut.
2.5.4 Manifestasi Klinis16
Pada pasien vitiligo tampak beberapa manifestasi klinik berupa
makula amelanotik berwarna putih susu atau seperti kapur, biasanya
berbatas tegas dan tepi dapat berlekuk. Lesi dapat dilihat dengan
pemeriksaan menggunakan lampu Wood. Lesi meluas secara sentrifugal
dan dapat timbul di semua area tubuh, termasuk membrane mukosa. Lesi
awal sering timbul di area kulit yang terpajan sinar matahari, tangan,
lengan bawah, kaki, dan wajah, serta area kulit yang sering terjadi gesekan
dan trauma. Vitiligo pada wajah sering timbul di daerh perioral dan
periokular. Pada ekstremitas, lesi sering terdapat pada siku, lutut, jari dan
pergelangan tangan fleksor.

2.5.5 Diagnosis17

Menegakkan diagnosis vitiligo pada umumnya berdasarkan


gambaran klinis yang khas yaitu lesi berupa macula atau bercak berwarna
putih, batas tegas dengan pinggir yang hiperpigmentasi dan mempunyai
distribusi yang khas. Penderita dengan kulit yang terang (putih) agak sulit
membedakan lesi dengan kulit di sekitarnya, untuk itu dapat digunakan
lampu wood yang memberikan hasil yaitu makula yang amelanosit akan
tampak putih berkilau. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah
dengan pemeriksaan histopatologi, hasilnya menunjukkan hilangnya
sebagian atau seluruh sel melanosit pada epidermis dan pada batas
melanosit tampak dendrit yang besar dan panjang.
2.5.6 Tata laksana & Edukasi18

Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan.


Tabir surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang
murah dan mudah, serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding
dengan terapi lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi
inisial untuk vitiligo. Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan
kerugian masing-masing, tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-
masing penderita. Berikut terapi yang dapat diberikan pada pasien vitiligo
antara lain:

a. Tabir surya yaitu sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar
matahari berlebih pada kulit. Hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat
sinar matahari dan dapat mencegah terjadinya fenomena Koebner.
b. Kosmetik yaitu banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal,
menggunakan covermask kosmetik sebagai pilihan terapi.
c. Repigmentasi yaitu berbagai cara yang dapat dilakukan untuk proses
repigmentasi adalah sebagai berikut:
 Glukokortikoid Topikal
Sebagai awal pengobatan, terapi diberikan secara intermiten (4
minggu pemakaian, 2 minggu tidak). Glukokortikoid topikal kelas
I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk pemberian pada
makula tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon,
mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan
pemantauan tanda-tanda awal atrofi akibat penggunaan
kortikostreoid.
 Topikal inhibitor kalsineurin
Topikal inhibitor kalsineurin seperti tacrolimus dan pimecrolimus
efektif untuk repigmentasi vitiligo tetapi hanya didaerah yang
terpapar sinar matahari.
 Topikal fotokemoterapi
Topikal fotokemoterapi menggunakan topikal 8-methoxypsoralen
(8-MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan untuk makula
berukuran kecil. Hampir sama dengan psoralen oral, mungkin
diperlukan minimal 15 kali terapi untuk inisiasi respon dan
minimal 100 kali terapi untuk menyelesaikannya.
 Fotokemoterapi sistemik
Fotokemoterapi sistemik dengan PUVA oral lebih praktis
digunakan untuk vitiligo yang luas.
 UVB Narrow-band (311 nm)
Efektivitas terapi ini hampir sama dengan PUVA, namun tidak
memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan untuk anak
kurang dari 6 tahun.
 Laser Excimer (308 nm)
Terapi ini cukup efektif. Namun, sama seperti pada PUVA, proses
repigmentasi tergolong lambat. Terapi jenis ini sangat efektif untuk
vitiligo yang terdapat di wajah. Immunomudulator sistemik
Tingkat keberhasilannya pada lebih dari 90% orang dewasa dan
lebih dari 65% anak-anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan
baik sampai sangat baik.
 Topikal analog Vitamin D
Analog vitamin D, khususnya calcipotriol, telah digunakan untuk
terapi tunggal atau dikombinasikan dengan topikal steroid pada
manajemen vitiligo.

2.1.1 Hubungan penyakit wanita tsb dengan penyakit endemik di


KKR?
Wanita 40 th mengalami keluhan muncul bercak putih pada kulit di
punggung dan lengan. Keluhan ini muncul sejak kurang lebih satu
tahun lalu. Berdasarka gejala yang muncul pada wanita 40 tahun
tersebut diduga menderita kusta yang mana merupakan penyakit
endemik di Kalbar
2.1.2 Hubungan penyakit suami dengan penyakit endemik di KKR
Pada pemicu, suami pasien juga terkena sakit kulit berupa
benjolan di wajah dan cuping telinga yang disertai rambut alis
rontok, sehingga oleh dokter puskesmas suaminya diobati dengan
obat rutin selama 12 bulan. Dari keluhan diatas, di duga suami
pasien menderita kusta, dimana gejala dari kusta ditemukan adanya
benjolan di wajah disertai rambut alis yang rontok.

2.1.3 Syarat suatu penyakit dikatakan endemik

Penyakit endemik adalah penyakit yang umum yang terjadi


pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi.
Suatu penyakit dikatakan endemik jika terjadi pada suatu populasi
dan hanya berlangsung di dalam populasi tersebut tanpa adanya
pengaruh dari luar. Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai
endemik bila setiap orang yang terinfeksi penyakit tersebut
menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara rata-rata). Bila
infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi tidak
bertambah secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada
dalam keadaan tunak endemik (endemic steady state). Suatu
infeksi yang dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan
lenyap atau mencapai keadaan tunak endemik, bergantung pada
sejumlah faktor, termasuk virulensi dan cara penularan penyakit
bersangkutan. Contoh penyakit endemik adalah malaria di sebagian
Afrika (misalnya, Liberia). Di tempat seperti itu, sebagian besar
populasinya diduga terjangkit malaria pada suatu waktu dalam
masa hidupnya

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan

a. Wanita 40 tahun mengalami penyakit Morbus Hansen


b. Penyakit yang diderita wanita 40 th tersebut merupakan salah satu
penyakit endemik di KKR
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber: Budiarto, Eko. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC, 2003.
2. The Tanjungpura Times. ‘”Kubu Raya, Kabupaten Dengan Jumlah
Pengidap Kusta Tertinggi di Kalbar” . 2016
http://thetanjungpuratimes.com/2016/06/22/kubu-raya-kabupaten-dengan-
jumlah-pengidap-kusta-tertinggi-di-kalbar/ (Diakses pada 11 September
2018, 7.42 WIB)
3. Sumber : Profil Kesehatan Kab/Kota Tahun 2012
4. Sumber: Kemenkes RI. Infodatin Kusta. 2015. [Online]
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin_kusta.pdf. cited September 07, 2018
5. Depkes RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta: Kemenkes RI; 2012.
6. World Health Organization (WHO). 2011 Global Leprosy Report.
Switzerland. 2011. (Online) (http://www.who.int/lep/resources/w
ho_wer8936/en/). Diakses pada 9 September 2018.
7. Gustam, Agusni I, Johar. Hubungan Antara Riwayat Kontak dengan
Kejadian Kusta Multibasiler; 2017 (Online)
(http://journal.ummgl.ac.id/index.php/urecol/article/view/893). Diakses
pada tanggal 9 September 2018
8. Depkes RI. Pusat Data dan Informasi Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
9. Anonim . Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK. Jakarta: DITJEN
PPM & PLP; 2006.
10. Alifah, Siti. Hubungan praktik kebersihan diri dan ketersediaan air bersih
dengan kejadian pitiriasis versikolor pada murid SD Sawah Besar 3
Semarang, 2004.
11. Ravi Shankar, Khatri. Antidermatophytic activity of Apamarga-Mulaka
seedsspecific to Sidhma (Pityriasis versicolor) in children – A clinical
study, 2013. http//:www.thepharmajournal.com
12. Goldsmith L, Kats Z, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, Wolf K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition. United States:
The McGraw-Hill Companies; 2012.
13. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, Wicaksono A,
Hamzah A, et al. Kapita Selekta Kedoktera. Edisi ke 2. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC; 2005:103-5.
14. Graham-Brow R, Burn T. Lecture notes dermatologi. Edisi ke 8. Jakarta:
Erlangga; 2005: 40-41.
15. Havlickova Blanka, A Czaika Viktor, Friedrich markus. Epidemiological
trends in skin mycoses worldwide. Blackwell publishing Ltd Mycoses.
2008.
16. Nicolaidou E, Antonio C, Miniati A, Lagogianni E, Matekovits A,
Stratigos A, et al. Childhood and later onset vitiligo have diverse
epidemiologic and clinical characteristics. J Am Acad Dermatol. 2011.
17. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010.
18. Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG, editors. Textbook of dermatology.
Edisi ke-6. Malden: Blackwell Science; 1998. hlm. 1802-5.

Anda mungkin juga menyukai