Anda di halaman 1dari 14

MEDIA PEMBELAJARAN ORNAMENTASI VOKAL KERONCONG

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kekaryaan Seni Dosen Pengampu
Dr. Tri Karyono, M.Sn.

Oleh :
Ismi Yasrika 1802636

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
MEDIA PEMBELAJARAN ORNAMENTASI VOKAL KERONCONG

Oleh: Ismi Yasrika

Abstrak: Media pembelajaran ornamentasi vokal keroncong yang masih sangat


sedikit perlu untuk dikembangkan agar menarik minat siswa dalam mempelajari
musik keroncong khususnya vokal keroncong. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memudahkan siswa dalam mempelajari vokal keroncong yang banyak
dianggap memiliki tingkat kesulitan yang cukup rumit. Ornamentasi keroncong
seperti cengkok, gregel, luk, embat dan nggandul merupakan ornamentasi yang
harus dipelajari dan terdapat dalam media pembelajaran OR. Ornamen cengkok
dengan jarak sekon kemudian turun tiga nada. Ornamen Gregel ditandai dengan
pola mordent. Ornamen luk dinyanyikan secara portamento naik maupun turun.
Embat berada diawal frase seperti portamento dengan dinamika crescendo namun
selalu bergerak naik. Nggandul merupakan pembawaan lagu dengan tempo rubato
atau agak bebas dari ketukan dasar yang sebenarnya. Media pembelajaran yang
tepat untuk mempelajari ornamentasi vokal keroncong adalah audio visual. Dengan
media pembelajaran audio dan visual siswa dapat dengan mudah mengikuti contoh
ornamentasi yang ada dan mencoba mengaplikasikannya dalam lagu.
Kata Kunci : Media Pembelajaran, Keroncong, Ornamentasi Vokal
Keroncong

A. Pendahuluan
Musik merupakan bahasa yang universal yang dapat ditangkap dengan
indera pendengaran manusia. Musik itu sendiri dalam QCA (2007: 179) adalah
suatu bentuk yang unik dari komunikasi yang dapat merubah perasaan pendengar,
pemikiran dan tindakan. Musik keroncong yang merupakan musik asli dari
Indonesia tidak menjadi primadona di negaranya sendiri. Para seniman keroncong
atau penyanyi yang sudah lama menggeluti keroncong banyak mengatakan musik
keroncong hanya untuk kalangan usia lanjut karena lagunya yang mendayu-dayu.
Tidak banyak anak muda yang mengetahui keroncong dan tertarik untuk menjadi
penyanyi keroncong. Hal tersebut dikarenakan susahnya untuk mengikuti cengkok
keroncong dan beat yang berbeda dari musik populer. Pembawaan yang harus
“ngeroncong”, teknik vokal, artikulasi, intonasi dan phrasering juga menjadi poin
utama dalam setiap menyanyi keroncong.
Hal itulah yang menjadi acuan penulis untuk membuat media pembelajaran vokal
keroncong sebagai usaha yang nyata untuk mempertahankan eksistensi musik
keroncong.
Sebagai tenaga pendidik perlu melakukan upaya untuk membantu
melestarikan musik keroncong khususnya di lingkungan sekolah. Dibutuhkan cara
agar siswa dapat dengan mudah mempelajari vokal keroncong, karena selama ini
belum ada bahan ajar tentang pembelajaran vokal keroncong. Dengan adanya
revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan teknologi digital yang
cukup tinggi, menjadi acuan penulis untuk dapat mengembangkan suatu media
pembelajaran musik khususnya vokal keroncong. Sesuai dengan kemajuan
Teknologi Pendidikan (Educational Technology), maupun Teknologi Pembelajaran
(Instructional Technology) menuntut digunakannya berbagai media pembelajaran
(instructional media) serta peralatan-peralatan yang semakin canggih
(sophisticated). Diharapkan dengan adanya media pembelajaran musik ini dapat
menarik minat siswa untuk mempelajari tentang musik keroncong. Penelitian ini
dilakukan untuk membantu guru dalam membuat media pembelajaran yang
menarik yang mudah untuk dipraktekkan oleh siswa sebagai alternatif dari
pembelajaran mandiri.
B. Pembahasan
1. Media Pembelajaran
Kata media secara etimologis berasal dari bahasa latin yang merupakan
bentuk jamak dari “medium”, yang berarti perantara atau pengantar. Dalam
kaitannya dengan fungsi media pembelajaran, dapat ditekankan beberapa hal
berikut ini:
a. Sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi pembelajaran yang
lebih efektif.
b. Sebagai salah satu komponen yang saling berhubungan dengan
komponen lainnya dalam rangka menciptakan situasi belajar yang
diharapkan.
c. Mempercepat proses belajar.
d. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.
e. Mengkongkritkan yang abstrak sehingga dapat mengurangi terjadinya
penyakit verbalisme.
Fungsi tersebut diatas dapat memunculkan motivasi belajar pada siswa
seperti yang dikatakan Hamalik (1986), media yang dimanfaatkan dengan baik
dalam pembelajaran dapat menumbuhkan keinginan dan minat baru, meningkatkan
motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara
psikologis kepada siswa. Hal tersebut juga sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Sudjana dan Rivai (1992), bahwa beberapa manfaat media dalam proses belajar
siswa, yaitu: (i) dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pengajaran akan
lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi lebih
jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya penguasaan
serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar akan lebih bervariasi,
tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata; dan (iv)
siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya
mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung,
dan memerankan. Sehingga tidak diragukan lagi manfaat media dalam
pembelajaran akan sangat membantu tersampainya materi pada siswa.
Media diklasifikasikan menjadi lima kelompok besar yaitu, media visual
diam; media visual gerak; media audio; media audio visual diam; dan media audio
visual gerak. Proses yang dipakai untuk menyajikan pesan, apakah melalui
penglihatan langsung, proyeksi optik, proyeksi elektronik atau telekomunikasi.
Dengan menganalisis media melalui bentuk penyajian dan cara
penyajiannya, kita mendapatkan suatu format klasifikasi yang meliputi tujuh
kelompok media penyaji, yaitu:
a. Grafis, bahan cetak, dan gambar diam
b. Media proyeksi diam,
c. Media audio,
d. Media audio visual diam,
e. Media Audio visual hidup/film,
f. Media televisi, dan
g. Multi media.
Model yang diakronimkan dengan ASSURE itu meliputi 6 langkah dalam
perencanaan sistematik untuk penggunaan media, yaitu: Analyze Learner
Characteristics, State Objectives, Select, Modify Or Design Materials, utilize
materials, require learner response, evaluate.
a. Identifikasi kebutuhan dan karakteristik siswa
Sebuah perencanaan media didasarkan atas kebutuhan (need), Salah satu
indikator adanya kebutuhan yaitu kemampuan, keterampilan dan sikap
siswa yang kita inginkan agar dapat dikuasai siswa.
b. Perumusan Tujuan
Media pembelajaran harus dibuat sedemikian rupa sehingga akan
membantu dan memudahkan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
c. Memilih, Merubah dan Merancang Media Pembelajaran
Untuk membuat media yang tepat bagi kegiatan pembelajaran biasanya
akan meliputi salah satu dari tiga kemungkinan yaitu memilih media
pembelajaran yang sudah tersedia, merubah media yang sudah ada, dan
merancang pembuatan media yang baru.
d. Perumusan Materi
Materi berkaitan dengan substansi isi pelajaran yang harus diberikan.
Sebuah program media di dalamnya haruslah berisi materi yang harus
dikuasai siswa.
e. Pelibatan siswa
Situasi belajar yang paling efektif adalah situasi belajar yang
memberikan kesempatan siswa merespon dan terlibat dalam
pembelajaran. Oleh karena itu siswa harus dilibatkan semaksimal
mungkin dalam pemanfaatan penggunaan media.
f. Evaluasi (Evaluation)
Tujuan evaluasi media pembelajaran adalah untuk memilih media
pembelajaran yang akan dipergunakan dikelas, untuk melihat prosedur
penggunaan media, untuk memeriksa apakah tujuan penggunaan media
tersebut telah tercapai, menilai kemampuan guru menggunakan media,
memberikan informasi untuk kepentingan administrasi, dan untuk
memperbaiki media itu sendiri.
Prinsip pengembangan dan produksi media pembelajaran menurut
Mukminan (dalam Nurseto, 2011) perlu diperhatikan prinsip VISUALS, yang dapat
digambarkan sebagai singkatan dari kata-kata:
Visible : Mudah dilihat
Interesting : Menarik
Simple : Sederhana
Useful : Isinya berguna/bermanfaat
Accurate : Benar (dapat dipertanggungjawabkan)
Legitimate : Masuk akal/sah
Structured : Terstruktur/tersusun dengan baik
2. Vokal Keroncong
Perkembangan musik keroncong di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
bangsa Portugis. Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan Manusama (dalam
Mintargo, 2007, hlm. 102) bahwa “Penyebaran musik keroncong di Indonesia,
sangat dipengaruhi oleh kedatangan para penjajah dari bangsa asing (terutama
Portugis).” Kedatanganya telah memberikan banyak pengaruh bagi Indonesia
dengan lahirnya musik Keroncong tugu. Akhirnya seiring berjalannya waktu
melahirkan musik Keroncong seperti sekarang ini. Musik keroncong yang
berkembang di Indonesia merupakan musik yang utuh yang keberadaannya tidak
ada di bangsa portugis sendiri. Maka sangat layak jika musik keroncong berjaya di
Indonesia, namun pada kenyataannya tidak banyak yang menggemarinya. Musik
keroncong diidentikkan dengan musik kaum usia lanjut karena iramanya yang
mendayu-dayu. Hal tersebutlah yang mungkin menjadi salah satu alasan kurangnya
minat kalangan muda terhadap musik keroncong.
Perkembangan musik keroncong di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
bangsa Portugis yang datang pada abad ke-16. Para pelaut Portugis yang singgah
ke Nusantara selain membawa agama dan melakukan perdagangan rempah –
rempah mereka juga membawa kebudayaan yang melahirkan musik keroncong.
Maka dari itu musik keroncong memang tidak akan terlepas dari sejarah keberadaan
bangsa Portugis kala itu. Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan Manusama
(dalam Mintargo, 2007, hlm. 102) bahwa “Penyebaran musik keroncong di
Indonesia, sangat dipengaruhi oleh kedatangan para penjajah dari bangsa asing
(terutama Portugis).” Kedatanganya telah memberikan banyak pengaruh bagi
Indonesia dengan lahirnya cikal bakal keroncong yang dikenal dengan nama musik
Keroncong Tugu/Toegoe. Setelah melalui proses yang panjang musik keroncong
menyebar ke seluruh nusantara.
Dengan berkembangnya musik keroncong, maka lahirlah beberapa
subgenre dari keroncong yaitu: Keroncong Asli, Langgam, Stambul I dan II serta
Keroncong ekstra (Harmunah, 1996, hlm. 17). Hal itu dipengaruhi oleh proses
akulturasi yang terjadi pada tubuh keroncong. Seperti yang dikatakan Ganap (2006)
“Musik keroncong adalah genre musik yang berkembang di Indonesia yang
merupakan hasil akumulasi (musical hybrid) berbagai elemen barat (Portugis dan
Belanda) dan Non-barat (Arab, Africa, India, Cina, Oceania, Betawi dan Jawa)”.
Keunikan musik keroncong tidak hanya terletak pada instrumennya saja
tetapi juga pada vokal. Pembawaan vokal keroncong khususnya keroncong asli
dituntut untuk dihias dengan menggunakan ornamentasi seperti cengkok, gregel
dan luk. Berbeda dengan ornamentasi keroncong asli, keroncong gaya tugu ditandai
dengan metrum yang kuat tidak seperti keroncong gaya Surakarta yang ditambah
dengan nggandul.
Ornamen menurut KKBI V merupakan serangkaian not yang digunakan
untuk menghias melodi. Menurut Pono Banoe (2003: 313) dalam Fiksianina (2014,
hlm 65) menyebutkan bahwa ornamen adalah satu atau beberapa nada yang
memperindah suatu melodi, baik yang dilaksanakan secara improvisasi oleh
seorang pemain, ditulis dengan lambang khusus maupun yang ditulis penuh dalam
notasi musik. Inti dari kedua pengertian tersebut menunjukan ornamen digunakan
untuk menghias melodi dengan menggunakan serangkaian nada yang bersifat
improvisatoris.
Ornamentasi menurut KBBI V adalah hiasan yang menggunakan ornamen
atau pengornamenan. Terdapat beberapa pendapat mengenai ornamentasi vokal
dalam musik keroncong. Menurut Thole dalam teknik menyanyi keroncong ada
yang disebut dengan cengkok, luk, embat, gregel dan nggandul. Harmunah (1996)
dan Sanjaya (2009) menyebutkan bahwa ornamen vokal dalam keroncong penyanyi
dituntut untuk bisa membawakan ornamentasi berupa cengkok, gregel dan luk.
a. Cengkok
Cengkok menurut Harmunah (1996, hlm. 28) ialah “segala bentuk nada
hiasan yang memperkembangkan kalimat lagu, artinya mengisi, memperindah,
dan menghidupkan kalimat lagu”. Sanjaya (2009) mengartikan cengkok
sebagai rangkaian nada hiasan yang dinyanyikan sebelum nada pokok (dalam
musik diatonis barat semacam mordent). Itu berarti sebelum menuju ke nada
pokok diberikan hiasan yang bergerak naik kemudian bergerak turun.
Umumnya cengkok dinyanyikan dengan cepat namun tetap luwes. Dalam lagu
keroncong asli tidak semua frase terdapat cengkok, biasanya dalam satu lagu
hanya terdapat satu atau dua sentuhan cengkok pada frase yang berbeda.
Dibawakan

Dinyanyikan

Notasi 1. Cengkok keroncong (1)


(Dokumentasi : Harmunah, 1996)
Kemunculan cengkok menurut Harmunah (1996) pada umumnya
terdapat dalam nada yang panjang. Sebagai contoh adalah lagu ciptaan
Budiman B.J, yaitu lagu “Irama Lagu Malam” pada birama ke-17.
Dibawakan

Dinyanyikan

Notasi 2. Cengkok keroncong (2)


(Dokumentasi : R. Agoes Sri Widjajadi, 2007)
Terdapat beragam jenis cengkok yang telah ditemukan oleh Fiksianina
(2014) diantaranya adalah seperti berikut ini
Cengkok 1

Cengkok 2

Cengkok 3

Notasi 3. Tiga Jenis Cengkok


(Dokumentasi : Fiksianina, 2012)
b. Gregel
Menurut Wiranto (dalam harmunah, 1996, hlm. 28) gregel adalah hiasan
nada yang bergerak cepat atau dalam istilah musik barat gregel dinamakan
sebagai mordent. Gregel (Kusnadi, 2011) merupakan beberapa luk yang
dinyanyikan secara cepat sehingga sulit untuk dinotasikan, dalam musik
diatonis disebut dengan vibrato. Finalti (2012) mengatakan bahwa gregel
dinyanyikan dengan cara sedikit menurunkan nada sebanyak satu tone atau
setengah tone dan biasanya gregel dilakukan sesudah luk. Penempatan gregel
sering digunakan pada akhir frase dan terdapat pula di pertengahan frase.
Dibawakan

Dinyanyikan

Notasi 4. Gregel
(Dokumentasi : Harmunah, 1996)
c. Luk
Luk termasuk kedalam istilah tembang Jawa. Luk menurut bahasa
Indonesia dapat diartikan bengkok seperti dalam keris (luk 9, luk 12 dan
sebagainya). Sanjaya (2009), luk atau portamento, adalah cara menyanyi yang
dimulai dengan beberapa hertz (ukuran tinggi rendah suara) dibawah nada
pokok, secara teratur menuju ke nada pokok. Luk (Kusnadi, 2011) adalah “dua
nada atau lebih yang dilagukan dalam satu suku kata atau dengan kata lain, luk
adalah lengkungan suara/liukan suara. Nada dalam luk dapat naik ataupun
turun.” Jadi kesimpulannya luk merupakan nada hias semacam legato atau bisa
disebut dengan portamento, yang dinyanyikan dengan dilengkungkan turun
(descending) ataupun naik (ascending) sebelum menuju ke nada yang
seharusnya (nada pokok). Menurut Latifah (2015), terbukti luk sangat efektif
untuk menguatkan register vokal.
Luk Naik

Luk Turun

Notasi 5. Luk Naik dan Luk Turun


(Transkrip : Yasrika, 2017)
d. Embat
Menurut Thole, embat atau ngembat merupakan cara menyanyi dengan
memapankan sebuah lagu ketika hendak dinyanyikan. Terkadang dengan
menambahkan not atau nilai not tonika atau dominannya pada angkatan lagu
agar lebih enak di dengar dan luwes untuk mendukung teknik nggandul dalam
keroncong. Kemunculan embat berada di awal ketukan. Berbeda dengan Thole
embat menurut Fikri (2017) adalah serupa dengan appogiatura pada ilmu
musik. Appogiatura adalah ornamen musik berupa satu nada mendahului nada
beraksen sehingga jatuhnya aksen (tekanan) berpindah ke nada pendahulu
tersebut (Banoe, 2003: 29).
Dalam menyanyikan lagu-lagu keroncong asli, sentuhan ngembat atau
embat harus dilakukan dengan seindah mungkin oleh masing-masing penyanyi
karena disinilah salah satu letak keindahan gaya keroncong asli. Berikut adalah
contoh penggunaan embat pada lagu Kr. Rayuan Kelana.
Tanpa ornamen

Dengan Ornamen
Notasi 6. Embat
(Dokumentasi : Transkrip Yasrika, 2017)
e. Nggandul
Istilah nggandul didapat dari bahasa Jawa yang artinya menggantung maat.
Penyanyi menyanyikan lagu keroncong dengan tidak tepat pada pukulan
ritmenya. Nggandul yang merupakan pembawaan dari lagu keroncong ini
memang sangat tepat dibawakan dengan cara nggandul, akan tetapi nggandul
atau menggantung maat harus menggunakan aturan agar tidak tertinggal jauh
oleh tempo atau ketukan kuat pada bas. Soebarjo (dalam Finalti, 2012)
menamakannya dengan istilah ngulur-mungkret, ngulur yang berarti diperlebar
dan mungkret yang berarti dipersempit sehingga pada akhir frase akan pas
jatuhnya pada ketukan kuat. Contoh notasi lagu dari “Keroncong Moritsko”
(N.N).
Tanpa hiasan (ornamen)

Dengan hiasan nggandul

Notasi 7. Nggandul
(Dokumentasi : Harmunah, 1996)
C. Kesimpulan
Terdapat berbagai macam klasifikasi dari media pembelajaran. Media
pembelajaran yang tepat digunakan untuk materi vokal keroncong adalah
media pembelajaran audio visual. Dengan media pembelajaran audio visual
siswa dapat dengan mudah mengikuti contoh-contoh dari ornamentasi
keroncong dan sebagai latihan dalam menyanyikan lagu keroncong.
Pengembangan media pembelajaran hendaknya memenuhi prinsip VISUALS
(Visible, Interesting, Simple, Useful, Accurate, Legitimate, Structured) dalam
perencanaan sistematik untuk penggunaan media. Dengan guru yang terampil
dan dapat memanfaatkan teknologi dengan baik, media pembelajaran dapat
menjadi motivasi siswa untuk mempelajari musik keroncong lebih mendalam.
Kekurangan dari media pembelajaran terkendala dengan masalah pengolahan
media pembelajaran itu sendiri. Dibutuhkan tenaga ahli untuk merancang
media pembelajaran interaktif.
DAFTAR PUSTAKA

Banoe. (2003). Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius


Fikri, M. T. (2017). Prospel: Kemunculannya pada Musik Keroncong di Surakarta.
(Tesis). Program Pascasarjana, Institut Seni Indonesia, Surakarta.
Fiksianina, Esty. (2014). Analisis Ornamen Keroncong sebagai Sumber Bahan Ajar
Teknik Vokal. (Tesis). Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Finalti, C. (2012). Kajian Teknik Vokal Gaya Keroncong Asli. (Skripsi). Universitas
Negeri Yoryakarta, Yogyakarta.
Ganap, V. (2006). Pengaruh Portugis pada Musik Keroncong. Harmonia Jurnal
Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VII (No. II).
Hamalik, O, (1994) Media Pendidikan, cetakan ke-7. Bandung: Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti.
Harmunah. (1996). Musik Keroncong. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Kusnadi. (2011). Tembang dalam Pertunjukan Langen Mandra Wanara. Imaji Vol.
IX (No. II), 111-128.
Latifah, Diah. (2015). Strengthenig Vocal Register Through Tembang Jawa
Ornament Practice. Harmonia: Journal of Arts Research and Education,
Vol. XV (No. II), 113-118.
Mintargo, W. (2007). Musik Keroncong, Akulturasi Budaya Barat dan Timur
(Sebuah Analisis Metode Bronislaw Malinowski). Keteg, 104-106.
Nurseto, T. (2011). Membuat Media Pembelajaran yang Menarik. Jurnal Ekonomi
dan Pendidikan, 19-35.
Qualifications and Curriculum Authority. (2007). Music: Programme of Study for
Key Stage 3 and Attaintment Target. London: QCA
Sudjana, N. & Rivai, A. (1992). Media Pengajaran. Bandung: Penerbit CV. Sinar
Baru Bandung.
Sanjaya, S. (2009). Keroncong Masuk Kurikulum Sekolah, SMP Santa Maria
Surabaya. Surabaya: Tidak Diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai