0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
105 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut menceritakan percakapan antara Limbuk yang ingin sekolah lanjut dengan tiga orang wanita, Darti, Darni dan Darmi. Mereka awalnya menentang karena khawatir akan menyusahkan Mbok Cangik. Namun setelah Mbok Cangik datang dan menguji tekad Limbuk, dia menyetujui niat baik Limbuk untuk sekolah tinggi. Darmi bahkan mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi presiden.
Dokumen tersebut menceritakan percakapan antara Limbuk yang ingin sekolah lanjut dengan tiga orang wanita, Darti, Darni dan Darmi. Mereka awalnya menentang karena khawatir akan menyusahkan Mbok Cangik. Namun setelah Mbok Cangik datang dan menguji tekad Limbuk, dia menyetujui niat baik Limbuk untuk sekolah tinggi. Darmi bahkan mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi presiden.
Dokumen tersebut menceritakan percakapan antara Limbuk yang ingin sekolah lanjut dengan tiga orang wanita, Darti, Darni dan Darmi. Mereka awalnya menentang karena khawatir akan menyusahkan Mbok Cangik. Namun setelah Mbok Cangik datang dan menguji tekad Limbuk, dia menyetujui niat baik Limbuk untuk sekolah tinggi. Darmi bahkan mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi presiden.
Mbok Cangik : (Nyusul di belakang) “Sekolah?” Limbuk : “Iya Mbok, aku ingin sekolah!” Mbok Cangik : “Tapi Simbok…” Limbuk : “Sekolah!” Tampak tiga orang perempuan, tiba-tiba masuk dan tampak berbisik-bisik menggunjing. Setelah beberapa saat berbisik. Darti : “Nah, kalian sudah paham kan?” Darni : “Memang begitu kenyataannya, Ti.” Darmi : “Buat apa kita itu membicarakan orang lain? Jangan jadi korban infotaimen gitu lah, yang suka gosip sana-sini!” Darti : “Siapa bilang kita menggosip, kita hanya bicara fakta, realita dan kebenaran. benar kan, Ni?” Darni : “Bener itu. “Sudahlah, ehh.. kalian tahu tidak. Limbuk itu nekat pengen sekolah, katanya dia itu pengen sekolah yang tinggi, biar bisa jadi insinyur, bukan hanya tukang sayur, atau tukang kasur, katanya biar bisa hidup makmur.” Darti : “Biar nasib bisa lebih mujur dan hidupnya tidak terlalu banyak diatur.” Darti : “Apa Limbuk itu tidak kasihan dengan Mbok Cangik, sudah tua dan sakit- sakitan?” Darmi : “Itu lah kalau anak zaman sekarang, pengennya sekolah yang tinggi, tetapi tidak mau tirakat, akhirnya sawah atau ladang orang tuanya ludes. Akhirnya, malah tidak bisa membahagiakan orang tuanya, tetapi malah menyengsarakannya” Darni : “Lha kalu Mbok Cangik? Tidak punya sawah maupun ladang, apa mau menggadaikan rumah untuk menyekolahkan si Limbuk” Tiba-tiba Limbuk masuk dengan sedikit kesal sambil membawa timba. Darti : “Insinyur kita datang….” Limbuk : Ada apa to kok kalian tampak sinis padaku, apakah aku ada salah dengan mbak - mbak semuanya?” Darmi : “Aku tidak lho, Mbuk, Darti dan Darni itu, lho.” Darti : “Iya Mbuk, dengar- dengar kamu mau sekolah?” Darni : “Terus kuliah, terus jual sawah, tambah jual rumah.” Darti : “Bisa-bisa, Mbok Cangik tambah sengsara.” Limbuk : “Saya mau sekolah? Benar. Tapi kalau sampai jual rumah, enggak aah… Memangnya, untuk sekolah tinggi harus menghabiskan segala-galanya seperti itu?” Darmi : “Bener itu Mbuk, hanya orang yang kolot saja yang berpikir bahwa sekolah itu hanya pemborosan saja. Mereka tidak mampu berpikir secara terarah, terbimbing dan terpadu. Limbuk : “Sudahlah, Mbak. Apa yang akan aku lakukan ini adalah pilihanku, segala resiko adalah konsekuensiku. Kenapa sih kalian ikut ribut seperti ini?” Darni : “Bukannya ribut, kami ini hanya peduli” Darmi : “Peduli apa iri?” Darni : “Iri gimana? Mbok Cangik itu sudah kami anggap seperti mbok kami sendiri. Susah senang kita hadapi bersama-sama. Kalau seneng-seneng kita pasti berbagi, masa ketika susah kita juga tidak saling berbagi. Ini demi kebaikanmu juga, Mbuk” Darti : “Kamu jangan suudzon seperti itu. Sudah jadi adat dan tradisi kita untuk hidup bergotong royong. Gotong royong itu tidak hanya dalam wujud mbangun rumah. Tetapi juga gotong royong dalam memecahkan sebuah persoalan. Alias, musyawarah mufakat” Limbuk : “Begini lho, Mbak, saya itu niat sekolah dengan tulus ikhlas, tanpa ada unsur paksaan. Pemerintah tidak mencanangkan program wajib belajar pun dalam hati kecil saya sudah tertanam niat yang sangat besar untuk belajar” Darni : “Sekarang bicara seperti itu, nanti?? Apa kamu bisa menjamin niatmu itu? Apa kamu tidak akan tergoda oleh kesenangan-kesenangan yang sifatnya sementara yang bisa menggoyahkan niat baikmu itu?” Limbuk : “Godaan memang selalu datang, Mbak, memang banyak kasus muncul akibat lemahnya iman. Lha, kalau kita tidak berani melangkah, kapan kita bisa sampai tujuan” Darti : “Melangkah ya melangkah, Mbuk, tapi kalau di depan kita terdapat jurang yang dalam. Apakah kamu siap melangkah dengan resiko terjebur kedalam jurang itu?” Limbuk : “Itu namanya langkah konyol, Mbak, kalau memang di depan kita ada jurang, kita bangun dulu jembatan supaya kita bisa melangkah dan tidak tercebur ke dalam jurang.” Darti : “Kamu itu anak kecil tahu apa?” Limbuk : “Maka dari itu, Mbak, saya ingin sekolah, supaya yang sebelumnya tidak tahu bisa menjadi tahu, supaya yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa, supaya yang sebelumnya bodoh bisa menjadi pintar” Darmi : “Benar itu, Mbuk, walaupun kita ini hanyalah abdi, hanyalah pembantu, jangan menghalangi niat suci kita untuk sekolah tinggi. Mbok Cangik masuk dengan membawa gayung. Mbok Cangik : “He he he, kalian ribut apa? Limbuk : “Eh, Simbok” Mbok Cangik : “Saya sudah dengar semua pembicaraan kalian tadi” Darti : “Waduh, jadi Mbok Cangik juga tahu apa yang kami ributkan sejaka awal tadi?” Mbok Cangik : “Kurang lebih begitu.” Darni : “Maaf lho, Mbok, kami tidak bermaksud menggunjing simbok. Kami hanya ingin memperkuat pertimbangan Limbuk dengan segala resikonya.” Mbok Cangik : “Memang begitulah adanya, Mbuk, apa kamu yakin untuk sekolah tinggi. Semakin tinggi cita-cita yang kau rumuskan, tantangan itu semakin besar. Ibarat bendera yang dikibarkan, semakin tinggi bendera berkibar, semakin kencang pula angin yang menerpanya.” Darmi : “Tetapi, kalau kita tidak berani melangkah, kita tidak akan maju.” Limbuk : “Jadi, Simbok setuju?” Mbok Cangik : “Aku hanya mengujimu, Nduk. Apakah dengan kondisi ekonomi kita yang seperti ini kamu akan memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah. Karena, dengan semangat yang tinggi itu, hambatan menjadi tantangan, dan cobaan adalah penguji kesabaran, Nduk. Limbuk : “Terima kasih ya, Mbok.” Mbok Cangik : “Anak-anak kita adalah tunas-tunas yang kelak akan memimpin bangsa ini, dengan gayung, akan kusirmai tunas-tunas itu agar tumbuh dan tumbuh. Memiliki akar yang kuat, daun yang lebat, dan buah yang lezat.” Darmi : “Mbok, bukan hanya Limbuk yang bisa jadi insinyur, aku juga mau jadi PRESIDEN!” http://alifals54.blogspot.com/2013/03/naskah-drama-fragmen.html