Anda di halaman 1dari 3

Masuk Limbuk dengan wajah cemberut.

Limbuk : “Aku pengen sekolah, Mbok……!”


Mbok Cangik : (Nyusul di belakang) “Sekolah?”
Limbuk : “Iya Mbok, aku ingin sekolah!”
Mbok Cangik : “Tapi Simbok…”
Limbuk : “Sekolah!”
Tampak tiga orang perempuan, tiba-tiba masuk dan tampak berbisik-bisik menggunjing.
Setelah beberapa saat berbisik.
Darti : “Nah, kalian sudah paham kan?”
Darni : “Memang begitu kenyataannya, Ti.”
Darmi : “Buat apa kita itu membicarakan orang lain? Jangan jadi korban infotaimen
gitu lah, yang suka gosip sana-sini!”
Darti : “Siapa bilang kita menggosip, kita hanya bicara fakta, realita dan kebenaran.
benar kan, Ni?”
Darni : “Bener itu. “Sudahlah, ehh.. kalian tahu tidak. Limbuk itu nekat pengen
sekolah, katanya dia itu pengen sekolah yang tinggi, biar bisa jadi insinyur,
bukan hanya tukang sayur, atau tukang kasur, katanya biar bisa hidup
makmur.”
Darti : “Biar nasib bisa lebih mujur dan hidupnya tidak terlalu banyak diatur.”
Darti : “Apa Limbuk itu tidak kasihan dengan Mbok Cangik, sudah tua dan sakit-
sakitan?”
Darmi : “Itu lah kalau anak zaman sekarang, pengennya sekolah yang tinggi, tetapi
tidak mau tirakat, akhirnya sawah atau ladang orang tuanya ludes. Akhirnya,
malah tidak bisa membahagiakan orang tuanya, tetapi malah
menyengsarakannya”
Darni : “Lha kalu Mbok Cangik? Tidak punya sawah maupun ladang, apa mau
menggadaikan rumah untuk menyekolahkan si Limbuk”
Tiba-tiba Limbuk masuk dengan sedikit kesal sambil membawa timba.
Darti : “Insinyur kita datang….”
Limbuk : Ada apa to kok kalian tampak sinis padaku, apakah aku ada salah dengan
mbak - mbak semuanya?”
Darmi : “Aku tidak lho, Mbuk, Darti dan Darni itu, lho.”
Darti : “Iya Mbuk, dengar- dengar kamu mau sekolah?”
Darni : “Terus kuliah, terus jual sawah, tambah jual rumah.”
Darti : “Bisa-bisa, Mbok Cangik tambah sengsara.”
Limbuk : “Saya mau sekolah? Benar. Tapi kalau sampai jual rumah, enggak aah…
Memangnya, untuk sekolah tinggi harus menghabiskan segala-galanya seperti
itu?”
Darmi : “Bener itu Mbuk, hanya orang yang kolot saja yang berpikir bahwa sekolah
itu hanya pemborosan saja. Mereka tidak mampu berpikir secara terarah,
terbimbing dan terpadu.
Limbuk : “Sudahlah, Mbak. Apa yang akan aku lakukan ini adalah pilihanku, segala
resiko adalah konsekuensiku. Kenapa sih kalian ikut ribut seperti ini?”
Darni : “Bukannya ribut, kami ini hanya peduli”
Darmi : “Peduli apa iri?”
Darni : “Iri gimana? Mbok Cangik itu sudah kami anggap seperti mbok kami
sendiri. Susah senang kita hadapi bersama-sama. Kalau seneng-seneng kita
pasti berbagi, masa ketika susah kita juga tidak saling berbagi. Ini demi
kebaikanmu juga, Mbuk”
Darti : “Kamu jangan suudzon seperti itu. Sudah jadi adat dan tradisi kita untuk
hidup bergotong royong. Gotong royong itu tidak hanya dalam wujud
mbangun rumah. Tetapi juga gotong royong dalam memecahkan sebuah
persoalan. Alias, musyawarah mufakat”
Limbuk : “Begini lho, Mbak, saya itu niat sekolah dengan tulus ikhlas, tanpa ada
unsur paksaan. Pemerintah tidak mencanangkan program wajib belajar pun
dalam hati kecil saya sudah tertanam niat yang sangat besar untuk belajar”
Darni : “Sekarang bicara seperti itu, nanti?? Apa kamu bisa menjamin niatmu itu?
Apa kamu tidak akan tergoda oleh kesenangan-kesenangan yang sifatnya
sementara yang bisa menggoyahkan niat baikmu itu?”
Limbuk : “Godaan memang selalu datang, Mbak, memang banyak kasus muncul akibat
lemahnya iman. Lha, kalau kita tidak berani melangkah, kapan kita bisa
sampai tujuan”
Darti : “Melangkah ya melangkah, Mbuk, tapi kalau di depan kita terdapat jurang
yang dalam. Apakah kamu siap melangkah dengan resiko terjebur kedalam
jurang itu?”
Limbuk : “Itu namanya langkah konyol, Mbak, kalau memang di depan kita ada
jurang, kita bangun dulu jembatan supaya kita bisa melangkah dan tidak
tercebur ke dalam jurang.”
Darti : “Kamu itu anak kecil tahu apa?”
Limbuk : “Maka dari itu, Mbak, saya ingin sekolah, supaya yang sebelumnya tidak
tahu bisa menjadi tahu, supaya yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa,
supaya yang sebelumnya bodoh bisa menjadi pintar”
Darmi : “Benar itu, Mbuk, walaupun kita ini hanyalah abdi, hanyalah pembantu,
jangan menghalangi niat suci kita untuk sekolah tinggi.
Mbok Cangik masuk dengan membawa gayung.
Mbok Cangik : “He he he, kalian ribut apa?
Limbuk : “Eh, Simbok”
Mbok Cangik : “Saya sudah dengar semua pembicaraan kalian tadi”
Darti : “Waduh, jadi Mbok Cangik juga tahu apa yang kami ributkan sejaka awal
tadi?”
Mbok Cangik : “Kurang lebih begitu.”
Darni : “Maaf lho, Mbok, kami tidak bermaksud menggunjing simbok. Kami hanya
ingin memperkuat pertimbangan Limbuk dengan segala resikonya.”
Mbok Cangik : “Memang begitulah adanya, Mbuk, apa kamu yakin untuk sekolah tinggi.
Semakin tinggi cita-cita yang kau rumuskan, tantangan itu semakin besar.
Ibarat bendera yang dikibarkan, semakin tinggi bendera berkibar, semakin
kencang pula angin yang menerpanya.”
Darmi : “Tetapi, kalau kita tidak berani melangkah, kita tidak akan maju.”
Limbuk : “Jadi, Simbok setuju?”
Mbok Cangik : “Aku hanya mengujimu, Nduk. Apakah dengan kondisi ekonomi kita yang
seperti ini kamu akan memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah.
Karena, dengan semangat yang tinggi itu, hambatan menjadi tantangan, dan
cobaan adalah penguji kesabaran, Nduk.
Limbuk : “Terima kasih ya, Mbok.”
Mbok Cangik : “Anak-anak kita adalah tunas-tunas yang kelak akan memimpin bangsa ini,
dengan gayung, akan kusirmai tunas-tunas itu agar tumbuh dan tumbuh.
Memiliki akar yang kuat, daun yang lebat, dan buah yang lezat.”
Darmi : “Mbok, bukan hanya Limbuk yang bisa jadi insinyur, aku juga mau jadi
PRESIDEN!”
http://alifals54.blogspot.com/2013/03/naskah-drama-fragmen.html

Anda mungkin juga menyukai