Dialog :
Limbuk : “Sekolah!”
Perempuan 1, yaitu Darmi, perempuan ahli dapur, alias tukang masak. (Masuk dengan
membawa munthu)
Perempuan 2, yaitu Darni, perempuan ahli sapu dan kelud, alias tukang bersih-bersih.
(masuk dengan membawa sapu)
Perempuan 3, yaitu Darti, perempuan ahli laundry, alias tukang cuci baju plus setrika.
(masuk dengan membawa sikat baju)
Setelah beberapa saat berbisik;
Darmi : “Apanya?”
Tiba – tiba Darti dan Darni diam tampak acuh kepada Darmi.
Darti : “Pulang gundulmu itu! Baru berapa menit kita disini? Kok sudah mau
pulang. Ya rugi kita jauh-jauh dating dari pucung gunung brang lor sana
kalau kita hanya sebentar disini”
Darni : “Yo wis lah! Nggak usah terlalu banyak ngelantur, langsung saja menuju
tema dialog dan musyawarah kita tadi”
Darmi : “Tentang??”
Darmi : “Owalah, buat apa kita itu membicarakan orang lain. Jangan jadi korban
infotainment gitu to, yang suka gossip sana-sini”
Darti : “Siapa bilang kita menggosip, kita hanya bicara fakta, realita dan
kasunyatan. Bener to Ni?”
Darmi : “Memangnya, kita tidak boleh ngomong pasal, lha kalau kita sebagai
masyarakat kecil saja tidak tau peraturan seperti itu, bisa blai”
Darni : “Blai apanya? Wong kita kan tidak tahu ya jelas nggak masuk itungan”
Darmi : “Siapa bilang, coba kalian dengarkan berita di Koran, atau kalian baca
berita di radio.. ohh sik sik sik, mmm… maksud saya baca Koran, dan
dengarkan radio tentang rakyat kecil seperti kita yang dipenjara hanya
karena kita tidak tahu pasal”
Darni : “Contohnya?”
Darmi : “Seorang nenek – nenek yang dipenjara 6 bulan gara gara mengambil
kapuk yang jatuh, kemudian dituduh mencuri. Kemudian dilaporkan ke
pihak berwajib. Kena deh…”
Darti : “iya ya, bener. Tumben Darmi mletik”
Darni : “Kita membicarakan Limbuk saja, tidak usah membicarakan yang lain.
Pasal bukan tema kita hari ini, tapi Limbuk. Limbuk, lincah nanging
koyo tempe gembuk”
Darti : “Sik Mi, sebenarnya yang korban gossip itu aku apa kamu, dari tadi yang
hafal tentang acara tipi kok malah kamu”
Darmi : “Sedikit”
Darni : “Sudahlah, ehh.. kalian tahu tidak. Limbuk itu nekat pengen sekolah,
katanya dia itu pengen sekolah yang duwur, biar bisa jadi insinyur,
bukan hanya tukang sayur, atau tukang gebuk kasur, katanya biar bisa
hidup makmur”
Darti : “Biar nasib bisa lebih mujur, dan hidupnya tidak terlalu banyak diatur”
Darmi : “Ya syukur kalau Limbuk pengen seperti itu, aku saja pengen tapi nggak
kelakon kok”
Darti : “Apa Limbuk itu tidak kasihan dengan Mbok Cangik, sudah tua, reyot,
kurus kering, dan …”
Darmi : “Itu kalau bocah sekolah jaman millennium, pengennya sekolah yang
tinggi, tetapi tidka mau tirakat, akhirnya sawah ladang orang tuanya
ludes. Akhirnya, malah tidak bisa membahagiakan orang tuanya, tetapi
malah menyengsarakannya”
Darni : “Lha kalu Mbok Cangik? Tidak punya sawah maupun ladang, apa mau
nggadekne gares? Untuk menyekolahkan si Limbuk”
Limbuk : Ada apa to kok kalian tampak sinis padaku, apakah aku ada salah dengan
mbakyu mbakyu semuanya”
Limbuk : “Saya mau sekolah? Benar. Tapi kalau sampai jual rumah, enggak aah…
Memangnya, untuk sekolah tinggi harus menghabiskan segala-galanya
seperti itu?”
Darmi : “Bener itu Mbuk, hanya orang yang katrok saja yang berpikir bahwa
sekolah itu hanya pemborosan saja. Mereka tidak mampu berpikir secara
terarah, terbimbing dan terpadu. Maklum, namanya juga Kuper en
Kupen”
Darti : “Maksudnya?”
Darti : “Kamu bisa diam nggak Mi, nantu kamu ku sikat dengan sikatku ini.
Kalau belum halus, tak tambahi setrika areng di belakang itu!”
Darmi : “Nesu….”
Limbuk : “Sudahlah yu, kalian jangan berkelahi gara-gara aku. Apa yang akan aku
lakukan ini adalah pilihanku, segala resiko adalah konsekuensiku.
Kenapa sih kalian ikut abyung seperti ini?”
Darni : “Meri gimana to? Mbok Cangik itu sudah kami anggap seperti mbok
kami sendiri. Susah senang kita hadapi bersama-sama. Kalau seneng
seneng kita pasti berbagi, moso dong susah kita juga tidak saling
berbagi. Ini demi kebaikanmu juga Mbuk”
Darti : “Kamu jangan suudzon seperti itu. Sudah jadi adat dan tradisi kita untuk
hidup bergotong royong. Gotong royong itu tidak hanya dalam wujud
sambatan, gugur gunung atau mbangun rumah. Tetapi juga gotong
royong dalam memecahkan sebuah persoalan. Alias, musyawarah
mufangat”
Darni : “Mufakat”
Limbuk : “Begini lo Yu, saya itu niat sekolah dengan tulus ikhlas, tanpa ada unsur
paksaan. Pemerintah tidak mencanangkan program wajib belajar pun
dalam hati kecil saya sudah tertanam niat yang sangat besar untuk
belajar”
Darni : “Sekarang bicara seperti itu, nanti?? Apa kamu bisa menjamin niatmu
itu? Apa kamu tidak akan tergoda oleh kesenangan-kesenangan yang
sifatnya sementara yang bisa menggoyahkan niat baikmu itu?”
Limbuk : “Godaan memang selalu datang Yu, memang banyak kasus muncul
akibat lemahnya iman. Lha kalau kita tidak berani melangkah, kapan kita
bisa sampai tujuan”
Limbuk : “itu namanya langkah konyol Yu, kalau memang di depan kita ada
jurang, kita bangun dulu jembatan supaya kita bisa melangkah dan tidak
tercebur ke dalam jurang”
Limbuk : “maka dari itu Yu saya ingin sekolah, supay yang sebelumnya tidak tahu
bisa menjadi tahu, supaya yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa,
supaya yang sebelumnya bodoh bis amenjadi pintar”
Darmi : “Benar itu Mbuk, walaupun kita ini hanyalah abdi, hanyalah pembantu,
jangan menghalangi niat suci kita untuk sekolah tinggi.
Mbok Cangik : “Saya sudah dengar semua topic pembicaraan kalian tadi”
Darti : “Waduh, jadi Mbok Cangik juga tahu apa yang kami ributkan sejaka
awal tadi?”
Darni : “Maaf lho Mbok, kami tidak bermaksud menggunjing simbok. Kami
hanya ingin memperkuat pertimbangan Limbuk dengan segala
resikonya”.
Mbok Cangik : “Memang begitulah adanya Mbuk, apa kamu yakin untuk sekolah tinggi.
Semakin tinggi cita-cita yang kau rumuskan, tantangan itu semakin
besar. Ibarat bendera yang dikibarkan, semakin tinggi bendera berkibar,
semakin kencang pula angin yang menerpanya”
Darmi : “Tetapi, kalau kita tidak berani melangkah, kita tidak akan maju”
Mbok Cangik : “Aku hanya mengujimu Nduk. Apakah dengan kondisi ekonomi kita
yang seperti ini kamu akan memiliki semangat yang tinggi untuk
bersekolah. Karena, dengan semangat yang tinggi itu, hambatan menjadi
tantangan, dan cobaan adalah penguji kesabaran. Nduk. Ilmu iku
kelakone kanthi laku”
Darmi : “MUNTU.. Menuntut Ilmu untuk masa depan yang lebih bermutu.
Darni : “SAPU… Sapu segala godaan dan hambatan, menuju cita-cita yang di
idam-idamkan
Mabok Cangik : “anak-anak kita adalah tunas tunas yang kelak akan memimpin bangsa
ini, dengan gayung, akan kusirmai tunas-tunas itu agar tumbuh dan
tumbuh. Memiliki akar yang kuat, daun yang lebat, dan buah yang
lezat.”
Darmi : “Mbok, bukan hanya Limbuk yang bisa jadi insinyur, aku juga mau jadi
PRESIDEN!”