Anda di halaman 1dari 8

Suara Kita

Tema : Suara Demokrasi

Kelas : XK2

Penulis Naskah : Mughiraty Maghfirah Rahmat

Mapel terkait : Seni Budaya, Fiqih, PPKN, Akidah Akhlak

Tokoh:

1. Narator
2. Damar : Pekerja buruh, Ayah Budi
3. Suryanti : Ibu Budi
4. Budi : Anak Damar
5. Samsul : Anak Damar
6. Bahrudin : Teman Budi
7. Yanto : Teman Budi
8. Riyan : Teman Budi
9. Wali kota
10. Ajudan Wali kota
11. Polisi
12. Ajudan Polisi
13. Warga

Diantara pemukiman kecil, deretan rumah kumuh berdempetan. Kekurangan sinar


matahari sebab saling berhadapan satu sama lain. Membuat udaranya lembab juga bau.
Sebuah keluarga berkumpul, sedang berbincang. Ruang tengah nan sempit menjadi tempat
berdiskusi. Tv tabung 42 inch menayangkang berita terbaru.

Damar : “Zaman sekarang serba susah, semuanya bisa di beli dengan uang. Kekuasaan,
jabatan, bahkan cinta sekalipun bisa dibeli. Kita yang orang kecil ini malah semakin
terpuruk. Orang kaya bertambah kaya, orang miskin tetap miskin” (mengomentari
berita yang ditonton)
Suryanti: “Memang banyak yang sudah berubah. Harga bahan pangan semakin naik. Sudah
beberapa hari aku terpaksa berhutang ke tetangga. Tidak ada uang untuk
membayarnya” (sambil menulis pengeluaran uang di buku)

Damar : “Uang yang kemaren sudah habis?” (Memperbaiki posisi duduk menghadap
Suryanti)

Suryanti: “Jangan ditanya, kalau uang segitu sekali belanja juga habis. Harga beras naik,
minyak naik, daging naik, ayam naik, semuaanya naik. Perlu pikir panjang kalau
belanja. (Menghela napas Panjang)

Saling memperhatikan tayangan televisi

Damar: (Terkekeh pelan) “Tehku sudah dibuat?”

Suryanti: “Air masih di masak, tunggu sebentar.”

Damar: “Negri ini bertambah hari semakin parah. Orang diatas semakin lihai menjilat. Segala
cara dilakukan untuk mendapatkan keinginannya. Dia makan enak setiap harinya.
Sampai tidak muat lagi perut buncit itu menampung. Berpemandangan rumah mewah
50 milyar. Pilar tinggi menjadi penopang berdirinya. Entah dari mana pula uang itu
berasal.”

Suryanti: “Dari dulu-dulu juga koruptor sudah berkeliaran di negri ini.” (masih sibuk
menulis)

Damar: “Sebab tidak ada hukum yang tegas. Membuat mereka semena-mena saja mengambil
uang rakyat. Jeruji penjara tidak membuat mereka kalut. Tertawa terbahak-bahak
menampakkan gigi emasnya. Seakan perbuatan mereka tidak akan ketahuan.

Suryanti: (Hanya diam menanggapi, sambil berjalan mematikan kompor sebab air telah
mendidih)

Damar: “Kita yang orang miskin hanya diberikan janji palsu. Apa katanya dulu, akan
mengubah pemukiman ini. Memberikan kehidupan yang layak. Buktinya mana?
Tidak berubah sepeserpun. Malah bertambah buruk. Setiap tahun sudah berapa anak-
anak yang terkena penyakit akibat kekurangan sinar matahari.”
Suryanti: “Sudah, minum dulu tehnya. Tenangkan pikiran. Jangan memikirkan urusan yang
bukan punya kita. Mau siapapun yang berada diatas kehidupan kita begini-begini saja
toh.”

Damar : “Orang yang punya pemikiran seperti ibuk yang membuat negri kita makin tertindas.
Jika semua mempunyai pikiran sama, tidak ada yang akan menyuarakan suara rakyat.
Para bedebah itu makin senang pula hidupnya”

Suryanti: “Maaf toh Ibuk yang salah. Ibuk kan tidak sepintar bapak. Untung pintar bapak
nurun ke anak-anak.” (tertawa pelan)

Damar: (menyeruput teh, terbelalak kaget, kemudian meludahkan teh yang berada di mulut)
“Kenapa pahit?”

Suryanti: (Tertawa malu) “Kemarin ibuk lupa beli gula. Uang sudah habis. Malu jika
berhutang lagi. Teh tanpa gula masih tetap enak kok. Nanti bapak diabetes kalau
minum yang manis terus.”

Damar: “Tak apa juga sekali-kali minum teh pahit. Teh pahit memang enak dinikmati saat
banyak pikiran

Suryanti: (terdiam sejenak, menatap dalam Damar) “Gimana pak, di tempat kerja?”

Damar: (menyeruput the, tidak menjawab)

Suryanti: “Ada apa lagi Pak?” (menatap penuh tanya)

Damar: “Katanya peningkatan upah minimum. Tapi apa gunanya disaat inflasi naik, biaya
hidup semakin naik. Tidak meningkatkan kesejahteraan buruh juga.”

Suryanti: “Upah bapak sebelumnya juga hanya bisa untuk membayar token listrik dan sewa
rumah. Harga minyak juga semakin naik. Bertambah sedikit tidak membantu banyak.”

Damar: “Untung ibuk membuka usaha tambahan. Ibuk masih membuka jasa gosok baju?
Ndak apa kan buk?

Suryanti: “Ibuk sih ikhlas saja jalanin, anak-anak juga sudah makin besar.”

Damar: (memandang sekitar) “Dari semalam Budi belum pulang juga, kemana dia Buk?”

Suryanti: “Biasalah Pak, kegiatan maha siswa. Dia kan begitu aktif sama organisasi
begituan.”
Damar: “Organisasi boleh-boleh saja. Ini sampai berkali-kali bolos kelas. Ingatkan dia buk,
cepat-cepat selesaikan skripsi. Uang kuliah itu mahal.”

Suryanti: “Iya pak, terlalu asyik organisasi sampai lupa kuliah. Badannya juga semakin kurus
akibat sering lupa makan.”

Terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Damar segera membuka pintu, melihat
siapa yang datang.

Budi : “Assalamu’alaikum Pak.” (Sambil menyalami tangan bapak)

Di ikuti oleh Bahrudin, Yanto, dan Riyan yang berda di belakang


Damar: “Baru pulang sekarang, semalam kemana saja.”
Budi : “Ngurus persiapan demo Pak, besok kami maha siswa mau pergi demo ke Gedung
DPR.”
Damar: “Memang kenapa? Ayo masuk dulu”
Memasuki rumah kemudian menyalami Suryanti. Duduk di ruang tengah rumah nan kecil.
Budi: “Kalau tidak didatangi langsung mana mau mereka mendengar aspirasi rakyat. Harus
di usik dulu barulah mereka bisa melihat penderitaan rakyat-rakyatnya.”
Riyan: “Selama ini kemana saja sampai menutup mata dari derita rakyat. Pencitraan di depan
televisi tentang kehebatannya. Orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan kagum
dengan semua kebohongan itu.”
Damar: “Bagus juga semangat juang kalian. Bapak dulu seusia kalian juga sering ikut unjuk
rasa seperti ini. Jika bukan anak muda seperti kalian yang menyampaikan keluhan
rakyat, siapa lagi?”
Yanto: “Para bedebah itu dengan sarkasnya duduk di singgasana menatap dari jendela
besarnya. Digaji besar tapi bekerja tidak sesuai Amanah.”
Damar: “Demo berkali-kalipun tidak di dengarkan.”
Bahrudin: “Kita sebagai mahasiswa harus mempunyai jiwa juang yang tinggi. Jika makin
redup idialisme dan heroisme pemuda, makin banyak pula korupsi merajalela.
Suryanti: (Membawa nampan berisi air putih) “Diminum dulu airnya, maaf hanya ada ini.”
Budi, dkk: “Ndak apa Buk.”
Terdengar keributan dari luar. Damar, Suryanti, Budi, Bahrudin, Yanto, dan Riyan
mencogokkan kepala ke luar.
Budi: “Ada pembagian sembako, dari calon wali kota.”
Calon Wali Kota: “Silahkan diambil paket sembakonya Buk. Semoga dapat membantu.”
Ajudan: “Silahkan dibawa buk.” (memberikan sembako kepada warga sambil tersenyum)
Warga 1: “Sudah baik, suka berbagi pula.” (mengobrol bersama teman disamping sambil
menunggu pembagian sembako)
Warga 2: “Betul, jika tidak ada ini aku tidak tahu akan makan apa mala mini. Limayan lah.”
Suryanti : “Kalau kita ambil lumayan juga pak. Berasnya bisa dipakai untuk kebutuhan
minggu ini. Apalagi minyak sekarang juga mahal.”
Damar : (menutup pintu) “Semiskin apapun kita, aku tidak mau di suap seperti itu. Dengan
kita menerima sembako tadi berarti kita turut andil membantu dia menjalankan aksi
busuk itu.”
Yanto : “Dengan sedikit sembako seperti tadi mereka sudah mendapat suara banyak dari
masyarakat bawah. Sudah terpilih nanti yang dulu dijanjikan hal hebat dilupakan
begitu saja.”
Riyan : “Betul, hal-hal kotor sudah menjadi hal lumrah terjadi di negri ini (sambil meneguk
air di gelas.
Terdiam sejenak, menghabiskan air yang masih bersisa di gelas.
Budi : “Kami hanya mampir sebentar buk, menjemput barang yang tertinggal. Masih ada
yang harus di urus di kampus,.
Bahrudin: “Kami pamit pergi dulu pak.”
Di ikuti oleh teman-teman lain, bersalaman kemudian beranjak keluar rumah.
Damar: “Selesaikan kuliahmu secepatnya!” (setengah berteriak)
Damar kembali duduk menghadap televisi.
Suryanti: “Anak-anak muda zaman sekarang punya semangat tinggi juga ternyata” (terkekeh
pelan)
Damar: (mengambil sebatang rokok kemudian menghidupkannya.)
Suryanti: “Bapak jangan keseringan merokok toh, tidak baik untuk Kesehatan.”
Damar: “Sebatang saja kok, dengan rokok ini setidaknya bisa menenangkan sedikit pikiran.”
Suryanti : “Tapi tetap saja membahayakan, betapa banyak racun di dalam sebatang
rokok. Pikiran bapak tenang saat merokok karena nikotin didalamnya. Jelas itu
narkoba, pak. Haram hukumnya.
Damar : “Sekali-kali saja ndak apa toh Buk.”
Suryanti: “Terserah bapak saja.” (Duduk dengan wajah murung)
Damar: “Ndak usah di pikirkan lagi lah Buk.” (masih menghisap rokok)
Terdengar langkah kaki dari luar.
Samsul: “Assalamualaikum” (memasuki rumah)
Damar: “Sudah pulang kau rupanya.”
Suryanti: “Gimana Sam, sudah diterima?” (mendekat ke arah Samsul)
Samsul: “Masih belum Buk, Sudah ke beberapa tempat ditolak terus.”
Suasasan menjadi hening tanpa seseorang yang memulai percakapan.
Samsul: “Zaman sekarang mencari kerja susah. Apa lagi jika tidak punya koneksi sama
sekali. Kemungkinan diterima kecil.” (membuka jas kerja)
Damar : (menatap iba) “Masih banyak peluang kerja lain. Tidak apa besok bisa coba lagi.”
Samsul: (menghela nafas Panjang, mengeluarkan laptop dari tas, mulai mengetik)
Suryanti : “Sedang buat apa Sam?” (menatap penasaran)
Samsul: “Buat tulisan Buk, hitung-hitung kerja sambilan.”
Damar : “Tulisan apa?”
Samsul: “Kritikan terhadap pemerintah, tidak ada media yang berani menyorot kebusukan
yang telah dilakukan tikus-tikus busuk itu. Rakyat perlu tahu, tidak hanya terbuai
dengan berita bohong di televisi sana.”
Damar: “Tidak bahaya toh?” (Menatap khawatir)
Samsul: “Untuk apa takut menyampaikan kebenaran. Kita harus berani buka suara. .”
Damar: “Masalahnya sekarang kita, rakyat biasa pun tidak bisa bebas bersuara.” (menaikkan
nada suara)
Suryanti: “Sudahlah Pak, ayo kita shalat dulu. Azan sudah dari tadi.” (mengusap wajah,
kelelahan)
Suryanti beranjak ke belakang untuk mengambil wudhu, di ikuti oleh Damar yang turut
mengambil wudhu. Sedangkan Samsul masih sibuk berkutat dengan laptopnya.

Rumah bagus berderatan di sepanjang jalan besar. Menjadi ikon ibu kota, mempergah kota
tersebut bersama lampu berkerlap-kelip dari gedung tinggi. Sering disorot kamera, membuat
banyak orang bermimpi tinggal di ibu kota. Beranjak sedikit dari sana, terdapat pemukiman
kumuh. Rumah-rumah berdempetan satu sama lain. Minim air bersih. Mereka diiming
harapan mengubah hidup lebih baik. Tetapi nihil, bukan berubah, malah semakin terpuruk.
Upah sebagai buruh bahkan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Banyak juga yang
melancong kesana kemari, mencari kerja demi sesuap nasi. Mereka selamanya terkurung
dalam pemukiman tidak layak itu, Sampai maut menjemput. Demokrasi pecah di mana-
mana. Mahasiswa turun ke jalanan, menyampaikan aspirasi rakyat. Mengharapkan
kehidupan yang lebih baik.
Bagian 2:
Keadaan sore sehabis bekerja. Damar masih dengan pakaian sehabis dari pabrik.
Menyelonjorkan kaki sebab kelelahan bekerja. Budi baru selesai kuliah, sama-sama
kelelahan di ruang tengah. Samsul sedari pagi hanya dirumah, sibuk mengetik di laptop.
Saat suasana sedang santai, dari kejauhan terdengar bunyi serine mobil polisi. Tak
berselang lama pintu rumah diketuk. Budi segera berdiri membukakan pintu.
Budi : (terperanjat kaget sampai tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang, matanya
terbelalak lebar)
Damar : “Siapa itu, Budi?” (Ikut berdiri melihat siapa yang datang dan menunjukkan ekspresi
yang sama dengan Budi)
Polisi 1: “Selamat siang Pak, apakah benar ini rumah saudara Samsul?”
Damar: “Betul, itu anak saya sendiri.” (Menunjuk Samsul yang telah berdiri dari duduknya)
Polisi 1: “kami dari kepolisian mendapatkan perintah untuk menangkap saudara Samsul atas
pencemaran nama baik wali kota.”
Polisi 2: (menunjukkan surat penangkapan)
Damar: “Atas bukti apa bapak sekalian melakukan penangkapan?”
Polisi 3: (menunjukkan bukti-bukti postingan dan tulisan yang di unggah Samsul di media
social) “Ini bukti-bukti postingan yang di upload sendiri oleh saudara Samsul”
Damar: (Terkejut sambil menatap dalam Samsul)
Polisi 1: “Untuk tidakan selanjutnya, saudara Samsul silahkan ikut kami menuju ke kantor
polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
Suryanti memasuki ruang tengah, terkejut melihat polisi berdiri di depan pintu
Suryanti: “Kenapa ini rame-rame?”
Budi : “Ini Buk, Bang Sam mau di bawa ke kantor polisi.” (menjelaskan dengan panik)
Suryanti: (Berteriak histeris) “Kenapa anakku ditangkap?”
Damar: “Sudah Buk tenang dulu.” (Menenangkan Suryanti)
Polisi 2: “Proses selanjutnya akan dilakukan di kantor, ibuk dan bapak bisa menyusul ikut ke
kantor” (Bersama dengan polisi 1 membawa Samsul keluar)
Samsul: “Ibuk tenang saja, aku pasti akan kembali.” (tersenyum menatap kebelakang)
Polisi membawa Samsul menuju mobil. Lirikan ingin tahu memenuhi sepanjang jalan.
Bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Sementara jauh tertinggal di belakang keluarga
Samsul menatap sedih kepergianyya. Suryanti menangis meraung tidak terima kepergian
Samsul. Damar menenangkan suryanti berkata semua akan baik-baik saja. Semua tidak dapat
berbuat apa-apa. Hanya menatap sedih mobil polisi yang sudah tidak terlihat lagi.
Dengan kekuasaaan mereka dapat berbuat sesuai kehendak. Menutup mata atas semua protes
yang diajukan. Menganggap diri mereka yang paling hebat. Melarang siapapun berkomentar
buruk terhadapnya. Media dikuasai oleh mereka, memberikan Batasan dalam berkomentar.
Masyarakat awam semakin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Melihat keadaan baik-
baik saja, padahal kenyataan tidak seperti yang sebenarnya terjadi.

Anda mungkin juga menyukai