Kelas : XK2
Tokoh:
1. Narator
2. Damar : Pekerja buruh, Ayah Budi
3. Suryanti : Ibu Budi
4. Budi : Anak Damar
5. Samsul : Anak Damar
6. Bahrudin : Teman Budi
7. Yanto : Teman Budi
8. Riyan : Teman Budi
9. Wali kota
10. Ajudan Wali kota
11. Polisi
12. Ajudan Polisi
13. Warga
Damar : “Zaman sekarang serba susah, semuanya bisa di beli dengan uang. Kekuasaan,
jabatan, bahkan cinta sekalipun bisa dibeli. Kita yang orang kecil ini malah semakin
terpuruk. Orang kaya bertambah kaya, orang miskin tetap miskin” (mengomentari
berita yang ditonton)
Suryanti: “Memang banyak yang sudah berubah. Harga bahan pangan semakin naik. Sudah
beberapa hari aku terpaksa berhutang ke tetangga. Tidak ada uang untuk
membayarnya” (sambil menulis pengeluaran uang di buku)
Damar : “Uang yang kemaren sudah habis?” (Memperbaiki posisi duduk menghadap
Suryanti)
Suryanti: “Jangan ditanya, kalau uang segitu sekali belanja juga habis. Harga beras naik,
minyak naik, daging naik, ayam naik, semuaanya naik. Perlu pikir panjang kalau
belanja. (Menghela napas Panjang)
Damar: “Negri ini bertambah hari semakin parah. Orang diatas semakin lihai menjilat. Segala
cara dilakukan untuk mendapatkan keinginannya. Dia makan enak setiap harinya.
Sampai tidak muat lagi perut buncit itu menampung. Berpemandangan rumah mewah
50 milyar. Pilar tinggi menjadi penopang berdirinya. Entah dari mana pula uang itu
berasal.”
Suryanti: “Dari dulu-dulu juga koruptor sudah berkeliaran di negri ini.” (masih sibuk
menulis)
Damar: “Sebab tidak ada hukum yang tegas. Membuat mereka semena-mena saja mengambil
uang rakyat. Jeruji penjara tidak membuat mereka kalut. Tertawa terbahak-bahak
menampakkan gigi emasnya. Seakan perbuatan mereka tidak akan ketahuan.
Suryanti: (Hanya diam menanggapi, sambil berjalan mematikan kompor sebab air telah
mendidih)
Damar: “Kita yang orang miskin hanya diberikan janji palsu. Apa katanya dulu, akan
mengubah pemukiman ini. Memberikan kehidupan yang layak. Buktinya mana?
Tidak berubah sepeserpun. Malah bertambah buruk. Setiap tahun sudah berapa anak-
anak yang terkena penyakit akibat kekurangan sinar matahari.”
Suryanti: “Sudah, minum dulu tehnya. Tenangkan pikiran. Jangan memikirkan urusan yang
bukan punya kita. Mau siapapun yang berada diatas kehidupan kita begini-begini saja
toh.”
Damar : “Orang yang punya pemikiran seperti ibuk yang membuat negri kita makin tertindas.
Jika semua mempunyai pikiran sama, tidak ada yang akan menyuarakan suara rakyat.
Para bedebah itu makin senang pula hidupnya”
Suryanti: “Maaf toh Ibuk yang salah. Ibuk kan tidak sepintar bapak. Untung pintar bapak
nurun ke anak-anak.” (tertawa pelan)
Damar: (menyeruput teh, terbelalak kaget, kemudian meludahkan teh yang berada di mulut)
“Kenapa pahit?”
Suryanti: (Tertawa malu) “Kemarin ibuk lupa beli gula. Uang sudah habis. Malu jika
berhutang lagi. Teh tanpa gula masih tetap enak kok. Nanti bapak diabetes kalau
minum yang manis terus.”
Damar: “Tak apa juga sekali-kali minum teh pahit. Teh pahit memang enak dinikmati saat
banyak pikiran
Suryanti: (terdiam sejenak, menatap dalam Damar) “Gimana pak, di tempat kerja?”
Damar: “Katanya peningkatan upah minimum. Tapi apa gunanya disaat inflasi naik, biaya
hidup semakin naik. Tidak meningkatkan kesejahteraan buruh juga.”
Suryanti: “Upah bapak sebelumnya juga hanya bisa untuk membayar token listrik dan sewa
rumah. Harga minyak juga semakin naik. Bertambah sedikit tidak membantu banyak.”
Damar: “Untung ibuk membuka usaha tambahan. Ibuk masih membuka jasa gosok baju?
Ndak apa kan buk?
Suryanti: “Ibuk sih ikhlas saja jalanin, anak-anak juga sudah makin besar.”
Damar: (memandang sekitar) “Dari semalam Budi belum pulang juga, kemana dia Buk?”
Suryanti: “Biasalah Pak, kegiatan maha siswa. Dia kan begitu aktif sama organisasi
begituan.”
Damar: “Organisasi boleh-boleh saja. Ini sampai berkali-kali bolos kelas. Ingatkan dia buk,
cepat-cepat selesaikan skripsi. Uang kuliah itu mahal.”
Suryanti: “Iya pak, terlalu asyik organisasi sampai lupa kuliah. Badannya juga semakin kurus
akibat sering lupa makan.”
Terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Damar segera membuka pintu, melihat
siapa yang datang.
Rumah bagus berderatan di sepanjang jalan besar. Menjadi ikon ibu kota, mempergah kota
tersebut bersama lampu berkerlap-kelip dari gedung tinggi. Sering disorot kamera, membuat
banyak orang bermimpi tinggal di ibu kota. Beranjak sedikit dari sana, terdapat pemukiman
kumuh. Rumah-rumah berdempetan satu sama lain. Minim air bersih. Mereka diiming
harapan mengubah hidup lebih baik. Tetapi nihil, bukan berubah, malah semakin terpuruk.
Upah sebagai buruh bahkan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Banyak juga yang
melancong kesana kemari, mencari kerja demi sesuap nasi. Mereka selamanya terkurung
dalam pemukiman tidak layak itu, Sampai maut menjemput. Demokrasi pecah di mana-
mana. Mahasiswa turun ke jalanan, menyampaikan aspirasi rakyat. Mengharapkan
kehidupan yang lebih baik.
Bagian 2:
Keadaan sore sehabis bekerja. Damar masih dengan pakaian sehabis dari pabrik.
Menyelonjorkan kaki sebab kelelahan bekerja. Budi baru selesai kuliah, sama-sama
kelelahan di ruang tengah. Samsul sedari pagi hanya dirumah, sibuk mengetik di laptop.
Saat suasana sedang santai, dari kejauhan terdengar bunyi serine mobil polisi. Tak
berselang lama pintu rumah diketuk. Budi segera berdiri membukakan pintu.
Budi : (terperanjat kaget sampai tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang, matanya
terbelalak lebar)
Damar : “Siapa itu, Budi?” (Ikut berdiri melihat siapa yang datang dan menunjukkan ekspresi
yang sama dengan Budi)
Polisi 1: “Selamat siang Pak, apakah benar ini rumah saudara Samsul?”
Damar: “Betul, itu anak saya sendiri.” (Menunjuk Samsul yang telah berdiri dari duduknya)
Polisi 1: “kami dari kepolisian mendapatkan perintah untuk menangkap saudara Samsul atas
pencemaran nama baik wali kota.”
Polisi 2: (menunjukkan surat penangkapan)
Damar: “Atas bukti apa bapak sekalian melakukan penangkapan?”
Polisi 3: (menunjukkan bukti-bukti postingan dan tulisan yang di unggah Samsul di media
social) “Ini bukti-bukti postingan yang di upload sendiri oleh saudara Samsul”
Damar: (Terkejut sambil menatap dalam Samsul)
Polisi 1: “Untuk tidakan selanjutnya, saudara Samsul silahkan ikut kami menuju ke kantor
polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
Suryanti memasuki ruang tengah, terkejut melihat polisi berdiri di depan pintu
Suryanti: “Kenapa ini rame-rame?”
Budi : “Ini Buk, Bang Sam mau di bawa ke kantor polisi.” (menjelaskan dengan panik)
Suryanti: (Berteriak histeris) “Kenapa anakku ditangkap?”
Damar: “Sudah Buk tenang dulu.” (Menenangkan Suryanti)
Polisi 2: “Proses selanjutnya akan dilakukan di kantor, ibuk dan bapak bisa menyusul ikut ke
kantor” (Bersama dengan polisi 1 membawa Samsul keluar)
Samsul: “Ibuk tenang saja, aku pasti akan kembali.” (tersenyum menatap kebelakang)
Polisi membawa Samsul menuju mobil. Lirikan ingin tahu memenuhi sepanjang jalan.
Bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Sementara jauh tertinggal di belakang keluarga
Samsul menatap sedih kepergianyya. Suryanti menangis meraung tidak terima kepergian
Samsul. Damar menenangkan suryanti berkata semua akan baik-baik saja. Semua tidak dapat
berbuat apa-apa. Hanya menatap sedih mobil polisi yang sudah tidak terlihat lagi.
Dengan kekuasaaan mereka dapat berbuat sesuai kehendak. Menutup mata atas semua protes
yang diajukan. Menganggap diri mereka yang paling hebat. Melarang siapapun berkomentar
buruk terhadapnya. Media dikuasai oleh mereka, memberikan Batasan dalam berkomentar.
Masyarakat awam semakin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Melihat keadaan baik-
baik saja, padahal kenyataan tidak seperti yang sebenarnya terjadi.