Pada suatu hari dimana merupakan hari pertama aku masuk sekolah tinggi berbasis adiwiyata,
aku sangat senang dan kagum. Kenapa? Karena yang pertama aku lihat adalah sebuah pintu
gerbang megah dengan hiasan logo dan tulisan nama sekolah.Beberapa langkah setelah melewati
pintu gerbang itu, mataku masih saja terpana dengan pemandangan taman, gedung-gedung, lahan
parkir kendaraan, dan aula yang megah dan terkesan mewah.
Namun setelah masuk lebih dalam di lingkungan sekolah itu, aku kagum karena melihat sebuah
pemandangan yang berbeda dari yang pernah aku lihat. Disitu aku melihat tumpukan sampah di
setiap ujung-ujung kelasnya. Tidak hanya di dalam kelas saja, namun di ruangan guru juga
ternyata banyak sampah berserakan.
Suatu hari aku pernah sekali menegur temanku karena dia suka banget buang sampah
sembarangan.
“Woy, kalau buang sampah jangan sembarangan dong! Ini kan sekolah adiwiyata, lu nggak malu
apa sama gelar sekolah ini?!”.
Teman aku pun menjawab, “Halahh, yang punya gelar adiwiyata kan sekolahnya bukan
siswanya, jadi plis slow aja!”.
Ini jawaban paling ngeselin sepanjang masa, haduh bikin males aja. Kemudian pernah juga ada
sebuah keadian yang sangat mencengangkan. Kejadian ini terjadi pada saat ujian tengah semester
sedang berlangsung, dimana ada seorang guru menemukan ada salah satu lembar jawaban ujian
siswanya yang masih bersih dan sama sekali tanpa sebuah coretan sedikitpun kecuali pada
bagian nama dan nomor induk.
“Loh kok kenapa lembar jawaban kamu masih kososng begini?”, tanya bu guru.
Si murid itu pun menjawab dengan pelan dan sambil senyum pede, “Nah kan justru itu bu,
sekolah kita ini kan sekolah yang memilik gelar adiwiyata, ya otomatis segala sesuatunya harus
bersih semua”, jawab si murid.
Pak Kadi dan Pak Dadang adalah salah satu kader parpol yang sama-sama mencalonkan diri
sebagai anggota MPR. Kemudian suatu ketika ketika mereka sudah selesai menyerahkan berkas-
berkas pencalonan ke KPU, mereka pun menyempatkan diri untuk mengobrol di sebuah warung
yang berada di dalam gedung tersebut.
Pak Kadi: Apa yang akan kamu lakukan kalau nanti kita terpilih menjadi anggota MPR?
Pak Dadang: Saya akan menjadi anggota MPR yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Kenapa?
Karena dari awal kita sudah dititipi aspirasi oleh rakyat. Jadi sebagai wakil rakyat kita harus
menjalankan amanah tersebut sebaik-baiknya sehingga dapat tercipta kehidupan masyarakat
yang makmur dan sejahtera, masyarakat yang adil, serta masyarakat yang aman.
Pak Kadi pun manggut-manggut mendengar jawaban dari Pak Dadang itu. Namun setelah itu
Pak Kadi menambahkan satu pertanyaan lagi.
Suatu hari ada tukang roti yang lewat depan rumah, terus teman gue si Enggar manggil. Tidak
lama kemudian tukang roti tersebut datang menghampiri kami yang lagi duduk santai di taman
depan rumah.
Enggar : “Terus rotinya mana bang ? dari tadi kok ngomongnya buah-buahan terus ? emangnya
abang jual buah apa jual roti ? Kalo kaya gini caranya gue enggak jadi beli bang.”