Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK

Nama : Aditya Risqiantama


Angkatan :5
NDH : 06

Naskah Drama Kelompok 1 Angkatan V: Konflik Kepentingan


"Penerimaan Siswa Baru yang Tidak Bisa Dipertanggungjawabkan"
Selasa, 2 September 2020

Anggota kelompok:
NDH 01 Baiq Rien Handayani, A.Md.Ak. : Calon siswa, anak orang berpengaruh
NDH 06 Aditya Risqiantama, A.Md.Ak. : Orang tua siswa, keluarga sederhana
NDH 11 Risma Testir, A.Md. : Istri orang berpengaruh
NDH 16 Angga Permana, A.Md. : PNS Dinas Pendidikan, pengawas
NDH 21 Achmad Rofi Irsyad, S.T., M.Eng. : Narrator
NDH 26 Harashta Tatimma Larasati, S.T., M.T. : Calon siswa, anak orang sederhana
NDH 31 Muhammad Ammar Wibisono, S.T., M.T. : PNS Guru Olahraga, panitia PSB
NDH 36 Arliandy Pratama, S.T., M.Eng. : PNS, Kepala Sekolah
ACT 1
NARASI: Alkisah di penghujung bulan Agustus yang panas, di depan sebuah SMP Negeri
favorit warga Kota Semarang. Ketika itu, masa penerimaan siswa baru (PSB) telah usai,
daftar siswa yang diterima telah diumumkan via online. Kita lihat, ada dua ortu siswa dan
anaknya sedang bersilat lidah.

Dialog 1 : (mendatangi meja panitia) pak.. mohon maaf kok anak saya gak lulus, salah nya
dimana,, anak saya unggul dalam semua hal, akademik dan non akademiknya juara
pokoknya.
Pak Wibi: Sabar Ibu, ini sudah ada hasilnya bisa diakses online. Jadi jika tidak
lolos berarti memang tidak masuk kriteria. Mohon maaf Ibu.
Dialog 2 : (menelpon kepsek) halo.. pak arliandi ini saya risma, itu kenapa anak saya gak
lulus, nilai nya selisih dikit jangan di persulit lah,, dulu yang bantuin bapak jadi kepsek kan
juga saya.

NARASI (antara 3 dan 4): Akhirnya dua keluarga tersebut pulang ke rumah masing-masing
dengan hati yang tidak ikhlas. Pak Wibi yang tugas utamanya sebagai PNS guru olahraga
yang terkenal tegas, tetapi ketika melayani masyarakat beliau senantiasa tersenyum,
mendengarkan dengan baik, sabar menerima komplain dari calon wali murid, dan dengan
sigap cepat merespon dengan menunjukkan data yang akuntabel.

ACT 2
NARASI Kita pindah tayangan ke rumah keluarga Bapak Adit dan Adik Harash yang
bersahaja di tepian Kota Semarang.

Mas Wibi : “Selamat siang Bapak/Ibu, ada yang bisa saya bantu?”
Mas Aditya : “Selamat siang Pak, saya ingin menanyakan tentang anak saya yang tidak
diterima di sekolah ini, padahal nilainya sudah bagus Pak. Kenapa kok tidak diterima?”
Mbak Risma : “Iya Pak, anak saya juga sama nih. Padahal nilai matematikanya juga bagus
tapi kok tidak diterima?”
Mas Wibi : “Mohon maaf Bapak/Ibu, sebetulnya nilai anak Bapak/Ibu sudah bagus, tapi
sekali lagi mohon maaf karena nilai anak Bapak/Ibu masih belum memenuhi syarat.
Bapak/Ibu bisa mencoba untuk mendaftarkan anaknya di sekolah lain”

NARASI: Akhirnya Harash menerima bahwa dirinya memang tidak bisa masuk ke SMP
Favorit tersebut. Apakah keluarga Ibu Risma dan Adik Baiq juga sudah menerima kenyataan
pahit kehidupan ini? Mari kita lihat.   

ACT 3
Mba Haras : “Pak, gimana dong? Aku enggak keterima di sekolah yang aku impikan
(kecewa).”
Mas Aditya : “Ya sudah, Nak. Tidak apa-apa. Kamu dapat bersekolah di tempat lain.
Bapak dengar di dekat sekolah itu ada sekolah lain yang menurut Bapak sama bagusnya.”
Mba Haras : “Tapi aku pengin banget sekolah di sana, Pak.”
Mas Aditya : “Kamu sabar aja ya, Nak. Sekolah di mana saja sama kok. Yang penting
ilmunya.”
Mba Haras : “Baik, Pak. Aku sekolah di sekolah yang dekat dengan sekolah itu saja.”
Mba Baiq : “Bunda! Aku enggak mau tahu, pokoknya aku harus sekolah di tempat itu,
bagaimanapun caranya!”
Mba Risma : “Oke, Nak. Bunda akan telepon Kepala Sekolah dan mengusahakan agar
kamu bisa sekolah di sana. Sabar ya, Sayang.”
(Mba Risma menelepon Mas Arliandy)
Mba Risma : “Halo, Pak? Masih ingat saya tidak?”
Mas Arliandy : “Halo? Ini dengan siapa ya?
Mba Risma : “Ini saya, Risma, orang yang membuat kamu seperti sekarang ini. Saya mau
tanya, bisa-bisanya kamu tidak meluluskan anak saya di sekolah ini. Masa anak saya yang
pintar tidak lulus? Apa kata orang?”
Mas Arliandy : “Oh iya, Bu Risma, apa kabar? Maksud Ibu bagaimana ya? Jika anak Ibu tidak
lulus PSB berarti memang tidak memenuhi persyaratan.”
Mba Risma : “Pokoknya saya tidak mau tahu, anak saya harus masuk.”
Mas Arliandy : “Tapi tidak bisa seperti itu, Bu. Saya…”
Mba Risma : “Ah, sudahlah, Pak. Begini saja, jika Bapak meluluskan anak saya, saya akan
berikan fasilitas yang bagus untuk sekolah ini, lab komputer atau apapun itu, bagaimana?
Tapi jika Bapak tidak bisa meluluskan anak saya, Bapak tahu sendiri akibatnya.”
Mas Arliandy : “Tapi, Bu…”
Mba Risma : “Tut, tut, tut…”
(Mba Risma langsung menutup telepon) 

NARASI Pak Arliandy mengernyitkan dahi. Dia sadar betul dengan siapa dia berbicara
barusan, dengan istri seorang pengusaha tambak ikan terbesar di Kota Semarang, yang
memang dulu membantunya bisa di posisi saat ini. Dia sadar sebagai ASN harus jujur. Tetapi
dia merasa karirnya masih panjang, dan berpikir panjang "oh, kalau saya masukkan anak
Bu Risma, nanti saya bisa buatkan lab komputer terbagus se-Indonesia, saya bisa masukkan
segala teknologi canggih untuk energi dan air, saya bisa undang pendidik terbaik dari
mancanegara agar sekolah ini makin go-internasional. Nanti saya juga pasti bisa diangkat
ke jabatan lebih tinggi! Menteri Pendidikan? Ah, duta PBB bahkan bisa!"

Akhirnya integritas Pak Arliandy kalah karena konflik kepentingan untuk memajukan nama
sekolah dan track recordnya. Dengan cepat, dia menghubungi panitia PSB, Pak Wibi. 

ACT 4
Arliandy: Halo pak ketua Panita PSB. Gimana kabarnya?
Mas Wibi: Baik Pak Kepsek
Arliandy:Apakah kegiatan PSB kita berjalan dengan lancar?
Mas Wibi: Lancar pak
Arliandy: Saya barusan dapat kabar dari seorang kolega bahwa anak yang bersangkutan
tidak bisa diterima disekolah kita ini pak? 
Mas Wibi: Anak yang mana ya pak
Arliandy: Bapak ketua panitia tau kan siapa ibu itu? Apa bapak mau melihat sekolah kita
tertinggal terus? Tapi pak… 
Mas Wibi: Tidak bisa Pak, itu kan perbuatan tidak terpuji. Tidak sesuai dengan aturan
Arliandy:Jadi ayolah pak tolong kerjasamanya. Ini untuk kepentingan kita-kita juga kok
Ga udah ngeyel ya. Saya ga mau tau gimanapun caranya anak ibu itu harus diterima….

NARASI: Akhirnya dengan berat hati Pak Wibi menuruti instruksi dari Pak Kepala Sekolah.
Dengan sekali klik, pendaftar atas nama Baiq Rien masuk ke daftar peserta yang lolos. Kita
loncat ke 6 bulan setelah proses PSB, di suatu sore yang teduh di depan SMP Favorit dan
SMP sebelahnya yang satu komplek.

ACT 5
Mba Haras : “Eh itu bukannya Mba Baiq ya? Yang dulu bareng waktu PSB dan nggak
diterima!” (berjalan menghampiri Mba Baiq, melihat badge sekolah X). 
Mba Haras : “Lho kok badge-nya sekolah X? Mbak kok sekolah di situ? Kok bisa?”
Mba Baiq :  “Eh maaf siapa ya?” (tidak ingat)
Mba Haras : “ Mba nggak ingat saya? Dulu kita ketemu di depan panitia PSB. Kan
kemarin kita nggak diterima?”
Mba Baiq : (teringat) “Oh kamu! Hmm gimana ya...memang kita beda sih, orang tuaku
kan orang penting..” (sombong)
Mba Haras : “Maksud mba?” (kaget) “Jangan-jangan… Mba curang ya?”
Mba Baiq : “ Ih apaan, pikir aja sendiri.” (melenggang pergi) 
Mba Haras : “Maksud mba?” (kaget) “Jangan-jangan… Mba curang ya?”

Mba Haras : “Halo Pak, ini lho kok anak yang dulu sama-sama nggak keterima bisa
sekolah di SMP itu”
Pak Adit : “Hah moso? Yasudah, Bapak laporkan ke teman mancing Bapak yang
kebetulan pengawas sekolah kalau ndak salah”

ACT 6

NARASI: Pak Adit yang kebetulan sedang bersama Pak Angga, seorang pengawas sekolah di
Dinas Pendidikan Kota Semarang, langsung bercerita informasi dari anaknya, Harash.

Mas Aditya : Pak saya ada telpon ini dari anak saya, ternyata kok ada kecurangan ya pak di
sekolah dekat alun-alun?
Mas Angga : Kecurangan bagaimana pak?
Mas Aditya : Iya pak seharusnya ngga boleh ada perbedaan orang kaya, orang miskin, semua
harusnya sama, adil! Tolong diusut ya pak
Mas Angga : Baik, terima kaasih atas informasinya, saya akan langsung mendatangi Sekolah
tersebut, jadi Bapak jangan khawatir, akan saya bantu permasalahan anak Bapak.

ACT 7

NARASI: Keesokan harinya, Pak Adit sebagai PNS Dinas Pendidikan yang cepat merespon
laporan dari warga masyarakat langsung berangkat menuju SMP Favorit di Kota Semarang.
Pengawas :Tok tok,,Assalamualaikum, Selamat siang Pak Kepsek?, Boleh saya duduk? Saya
mau minta penjelasan dan data-data nilai penerimaan siswa baru? Apa benar ada salah
seorang siswa yang nilainya tidak masuk passing grade, diterima disekolah bapak? Kabar ini
sudah tersebar kemana-mana loh..

Saya tidak mau bertele- tele, saya akan memberi punishment dalam tempo yang sesingkat
singkatnya, 

Tidak, saya harus bertindak tegas.

NARASI: Akhirnya kasus tersebut terangkat ke media, nama Pak Arliandy terpampang di
halaman muka koran. Pak Arliandy harus menanggung konsekuensi tindakan tidak
berintegritas dan menyalahi prinsip akuntabilitas. Beliau tidak bisa membuktikan bahwa
siswa a.n. Baiq Rien masuk dengan prosedur yang benar. Keluar Pak Aditya merasa puas
bukan karena pembalasan dendam, tetapi karena keadilan telah ditegakkan dan ternyata
ada PNS yang senantiasa berpihak kepada rakyat.

ACT 8
Mas Aditya : Nak, nak lihat masuk berita nih anak bu itu yang kemarin. Bener kan? 

Mbak Harash : Iya Pak bener anak ini yang kemarin, Alhamdulillah. Memang harusnya
semua orang diperlakukan adil.

Mas Aditya :Tetep semangat ya nak sekolahnya, semoga jadi orang sukses. Eh ngga cuma
sukses aja, tapi harus jadi orang yang jujur!

Mbak Harash : Ashiap Pak, saya lanjut ngerjain tugas sekolah dulu.

NARASI: Demikian lah secuplik kisah "konflik kepentingan" yang menyalahi integritas ASN.
Semoga kita sebagai calon PNS dapat menghayati makna akuntabilitas, tidak sekedar
menjadi catatan yang ditinggalkan selepas Latsar. 

Luna Maya selalu penasaran,


Kenapa Ariel mahir mengendarai kuda.
Konflik kepentingan akan sulit terhindarkan,
Sebagai ASN, harus selalu waspada!
ANALISIS ADEGAN KELOMPOK 1

Menganalisis hal terkait Konflik Kepentingan pada adegan yang ditampilkan kelompok 1.

Dari adegan diatas dapat dilihat bahwa hal ini sudah terkait dengan perilaku tema
yang ada di modul berupa perilaku yang berkaitan dengan konflik kepentingan. Hal ini dapat
ditinjau dari adanya perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua siswa yang memiliki harta dan
jabatan sehingga dapat memasukan anaknya ke sekolah yang seharusnya dia tidak
memenuhi persyaratan. Hal ini menunjukkan bahwa Kepala Sekolah tidak dapat
memastikan kepentingan pribadi atau keuangan tidak menyebabkan pelaksanaan tugas
yang tak memihak. Kepala sekolah juga tidak dapat mengutamakan kepentingan umum
ketika dihadapkan pada sebuah konflik kepentingan, namun berbeda dengan sikap yang
ditunjukkan oleh pengawas dan panitia PSB, yang berlaku tegas dan mementingkan
kepentingan umum.
Ditinjau dari sisi lain, Kepala Sekolah seharusnya sadar, ketika ybs menerima barang
dari suatu pihak maka hal ini akan berdampak pada potensi adanya konflik kepentingan di
kemudian hari, sayangnya dahulu Kepala Sekolah tidak menyadari potensi ini.

Hal yang Berkaitan Respon Ketika Konflik Kepentingan Terjadi yang Seharusnya
Dilakukan oleh PNS, namun Tidak Dilakukan.
Dalam adegan kelompok satu, hal yang tidak dilakukan yakni ketika konflik muncul,
tidak adanya laporan dari PNS terhadap atasan. Hal yang terjadi justru laporan dari
masyarakat dalam hal ini orangtua murid yang berekonomi sederhana kepada pihak
pengawas. Panitia PSB (guru olahraga) tidak melaporkan/terlambat melaporkan ketika
terjadi sebuah ancaman konflik kepentingan, namun mengkonfirmasinya ketika Kepala
Sekolah mendapat telepon dari orang tua si kaya.

Sifat-Sifat para Pelaku Adegan Kelompok 1

Sifat Baik:
1. Senyum: Panitia PSB menerima orang tua siswa dengan tersenyum
2. Mendengarkan: Pengawas yang mendengarkan keluhan masyarakat (orangtua yang
dicurangi)
3. Menolong: Pengawas yang menolog pelapor dengan menindaklanjuti laporan.
4. Menghormati: Panitia PSB yang bersikap santun kepada warga. Pengawas yang
menghormati keluhan warga.
5. Sabar: Panitia PSB tidak emosional menanggapi protes calon wali murid.
6. Cepat merespon: Pengawas sekolah dan panitia PSB menanggapi keluhan dan
laporan warga
7. Berani: Pengawas sekolah melanjutkan laporan warga dengan tindakan nyata, dan
tidak terpengaruh oleh kekayaan si kaya.
8. Jujur : Anak keluarga sederhana (Harash), yang melaporkan pada ayahnya, serta
pengawas yang bertindak jujur dan tidak mau menerima tawaran kepala sekolah.
Orangtua sederhana (Aditya), yang tidak mau menyogok ketika anaknya ditolak

Sifat Tidak baik:


1. Tidak jujur : a. Anak si orangtua kaya (Baiq Rien) yang berbohong dengan
pura-pura tidak mengenal si anak orang sederhana
(Harash).
b. Ibu si Kaya (Risma) yang memberikan perintah tidak baik
kepada Kepala Sekolah
c. Kepala Sekolah, yang malah memerintahkan kepada panitia
PSB untuk memasukkan nama calon siswa yang seharusnya
tidak berhak
2. Tidak sabar : Orangtua siswa (Risma dan Aditya) yang memprotes pada
panitia PSB
3. Tidak tegas : Kepala sekolah, yang tidak tegas menolak hal buruk.

Anda mungkin juga menyukai