Anda di halaman 1dari 5

Kerajinan Tangan Besek

Oleh : Mu’awana Afifah (19201241051)

Besek merupakan salah satu kerajinan tangan yang terbuat dari bambu. Jenis
bambu yang digunakan adalah Bambu Apus. Salah satu dusun yang menjadi tempat
pembuatan besek adalah Dusun Kwayuhan, Sendangmulyo, Minggir, Sleman,
Yogyakarta. Di dusun ini masih terdapat banyak warga yang membuat kerajinan
besek. Meskipun sudah mulai dikembangkan kerajinan berbahan dasar bambu yang
lain seperti lampion, tempat tisu, tempat sendok, dan sebagainya, namun warga di
dusun ini masih bertahan dengan kerajinan bambu yang sudah ada sejak dulu.
Menurut salah satu warga yang ada di dusun ini besek adalah kerajinan turun-
temurun dan belum diketahui kapan pastinya besek ada dan berkembang di dusun
ini. Masyarakat yang ada di dusun ini juga merupakan masyarakat suku Jawa asli,
karena kebanyakan penduduk yang tinggal adalah warga asli dusun ini. Karena
merupakan suku Jawa asli maka penduduk di dusun ini banyak menggunakan
bahasa Jawa gaya Jogjakarta. Dusun ini berada di daerah dataran rendah dengan
iklim atau suhu yang lumayan panas.

Besek terdiri dari beberapa jenis. Jenis tersebut dibedakan berdasarkan


perbedaan ukuran. Jenis-jenis tersebut adalah Pithi, nam enem, besek tanggung,
besek gedhe, pegon, dan mborok. Pithi merupakan besek dengan ukuran paling
kecil yang biasa digunakan untuk wadah makanan seperti gudeg dan makanan
tradisional yang lain. Besek pithi biasanya berukuran 19x19 cm deengan tinggi 6
cm. Sedangkan besek nam enem juga digunakan untuk wadah makanan seperti
ayam bakar, ayam goreng, bebek bakar dan sebagainya. Ukuran dari besek ini
adalah 23x23cm dengan tinggi sekitar 8cm. Sedangkan besek tanggung biasa
digunakan untuk kenduri atau hajatan seperti pernikahan, tingkep, khitanan, dan
sebagainya dengan ukuran 25cmx25cm dengan tinggi sekitar 8-10cm. Besek gedhe
dan Pegon bisa digunakan untuk wadah makanan mentah seperti salak, emping,
timbangan, dan sebagainya. Besek gedhe biasanya memiliki ukuran sekitar
33x33cm dengan tinggi sekitar 8-10cm. sedangkan besek pegon berukuran 35-
40cm x35-40 cm dengan tinggi sekitar 10cm.Sedangkan besek mborok yaitu besek
dengan ukuran paling besar bisa digunakan untuk wadah makanan mentah juga
serta dapat digunakan untuk tempat burung dara ketika akan dijual. Ukuran besek
mborok sekitar 45-50 cm-x45-50 cm dengan tinggi sekitar 10-12 cm.

Besek yang ada di dusun ini tidak memiliki ukuran yang pasti. Mereka
membuat hanya berdasarkan pola yang telah ada, sehingga di setiap jenis besek
buatan orang yang satu dengan orang yang lain dapat berbeda dalam hal panjang
maupun tingginya. Warga yang ada di dusun ini juga pernah beberapa kali diberi
tawaran untuk membuat besek yang ukurannya sama atau sesuai dengan pesanan,
namun banyak dari mereka yang tidak setuju karena mereka merasa dengan
menggunakan ukuran akan terasa lebih lama dan lebih ribet.

Besek biasa dijual apabila sudah mencapai satu kodi. Satu kodi besek terdiri
dari 20 tangkep atau 40 buah besek yang sudah jadi. Warga Dusun Kwayuhan biasa
menjual besek kepada para pengepul yang ada. Lalu para pengepul akan menjual
besek tersebut ke pasar tradisional yang ada di kota maupun tengkulak yang berasal
dari lain daerah.

Besek hanya menggunakan bahan dasar Bambu Apus saja. Masyarakat di


dusun tersebut mendapatkan bambu dengan cara membeli lewat pedagang yang
lewat. Meskipun ada yang memiliki kebun bambu sendiri, namun tidak semua
orang memilikinya. Selain bambu, alat yang digunakan adalah pisau yang sedikit
melengkung ke atas. Warga masyarakat dusun ini sering menyebut pisau tersebut
dengan sebutan “pangot”.

Tahapan pertama dalam pembuatan besek adalah memotong bambu di


setiap ruas. Berbeda jenis besek maka panjang ruas bambu yang digunakanpun juga
berbeda. Setelah dipotong-potong setiap ruasnya maka bambu tersebut kemudian
dibelah-belah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Warga menyebutnya dengan
sebutan “Liningan”. Bagian yang sudah menjadi kecil itu kemudian “diirat’’ atau
dibelah menjadi lembaran-lembaran yang tipis dan dipisahkan dari kulit luar bambu
yang berwarna hijau. Kulit luar yang berwarna hijau tersebut sering disebut dengan
nama “welat”. Welat biasa dijual oleh warga kepada pengepul yang mendatangi
rumah-rumah mereka. Welat biasanya akan digunakan menjadi kerajinan tampah
atau kipas.

Kemudian lembaran-lembaran bambu yang sudah tipis akan dijemur sampai


kering di bawah sinar matahari. Karena masyarkat masih bergantung kepada sinar
matahari, maka waktu yang diperlukan untuk menjemur lembaran-lembaran
tersebut juga tergantung intensitas cahaya matahari. Apabila sedang musim
kemarau maka lembaran-lembaran tipis tersebut dapat kering dalam waktu sehari
saja, namun apabila sedang musim penghujan dan hujan terus-menerus turun maka
dapat memakan waktu berhari-hari. Lembaran yang sudah kering akan disebut
dengan nama “iratan”.

Sebenarnya iratan juga dapat dijual kepada warga dusun lain yang membuat
kerajinan hiasan. Iratan dijual dengan cara menimbangnya atau dijual
perkilogramnya. Namun, karena harga jual iratan yang murah, maka banyak warga
yang tidak menjual iratan tersebut. Iratan yang dijadikan besek di dusun ini tidak
diberi pewarna seperti yang digunakan untuk hiasan. Jadi warna dari iratan tersebut
adalah berwarna kuning agak kecoklatan atau kuning agak keemasan, tergantung
dengan kualitas bambu yang digunakan.

Tahap selanjutnya dari pembuatan besek adalah menganyam iratan-iratan


tersebut menjadi wiwitan. Wiwitan merupakan langkah awal dalam pembuatan
besek. Wiwitan tersebut kemudian dianyam menjadi lembaran-lembaran yang lebih
besar. Lembaran yang lebih besar oleh masyarakat disebut dengan istilah
“eblekan”. Eblekan tersebut kemudian dibaliki atau dibentuk menjadi seperti kotak
tanpa tutup. Setelah itu maka tahap akhir dari pembuatan besek adalah tahap
merapikan iratan-iratan atau disebut dengan istilah “kekrek”.
Setelah tahapan kekrek maka besek-besek tersebut akan di tangkepi atau
disusun. Kemudian lembaran-lembaran tersebut akan ditumpuk per empat lembar
kemudian digabungkan atau ditutup dengan tumpukan empat lembar yang lain
menjadi glindingan. Satu glinding besek terdiri dari 8 lembar besek. Lalu
glindingan-glindingan tersebut akan disusun menjadi satu kodi. Satu kodi besek
terdiri dari 5 glindingan besek.

Proses pembuatan besek sendiri dapat memakan waktu berhari-hari dan


dibutuhkan keterampilan khusus untuk membuatnya. Masyarakat di dusun tersebut
dalam pembuatan besek sendiri masih sangat bergantung dengan tenaga manusia
yang dimiliki dan juga dengan keadaan alam. Besek juga bukan merupakan sumber
penghasilan utama dalam mencari nafkah di dusun ini. Karena sebagian kepala
keluarga banyak yang bekerja sebagai buruh bangunan, petani, guru, pedagang,
polisi, dan sebagainya. Meskipun ada yang menjadikan besek sebagai sumber
nafkah yang utama namun itu tidak banyak.

Harga jual dari besek sendiri terkadang tidak menentu. Harga jual besek
juga dapat dipengaruhi dengan perubahan musim. Apabila musim penghujan tiba
maka harga jual besek biasanya akan menurun karena besek-besek tersebut menjadi
lembab sehingga akan dengan mudah terkena jamur. Selain itu, harga jual besek
juga tergantung dari jenis ukurannya. Semakin besar ukuran besek yang dibuat
maka akan semakin besar pula nilai jual besek.

Walaupun sudah banyak kerajinan bambu dan perkembangan teknologi,


tetapi kerajinan besek di dusun ini masih lestari sampai sekarang walaupun jumlah
pengrajinnya sudah tidak sebanyak dulu lagi. Meskipun begitu, pesanan akan
permintaan pembuatan besek masih tetap ada hingga sekarang. Itu menunjukkan
bahwa besek memang sudah menjadi kerajinan yang ada dalam kehidupan kita. Dan
semoga eksistensi besek akan terus ada sehingga tidak terjadi kepunahan pada
kerajinan tangan besek.

Sumber Referensi :
 Wawancara Bapak Turut (52) Pengepul Besk yang ada di dusun Kwayuhan
pada hari Minggu 22 Desember 2019
 Wawancara Bapak Sukijo (50) Pengrajin besek yang ada di dusun
Kwayuhan pada hari Sabtu 14 Desember 2019
 Wawancara Ibu Sutiyah (42) Pengrajin besek yang ada di dusun Kwayuhan
pada hari Sabtu 14 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai