A. Selayang Pandang Membuat kain dari serat kapas atau daun pandan adalah hal biasa. Lalu, bagaimana jika kulit kayu diolah menjadi lembaran kain? Mungkinkah hal itu dapat dilakukan? Jawabannya, tentu saja bisa. Terbukti, masyarakat adat Suku Kaili di Desa Pandere mampu mengubah kulit kayu menjadi kain yang disebut ivo atau vuya. Kain semacam ini juga diproduksi di beberapa daerah di Donggala, misalnya di Desa Bada dan Besoa. Di Desa Bada, kain ini dinamakan ranta, sedangkan di Desa Besoa disebut inodo. Namun, secara umum kain kulit kayu lebih populer dengan sebutan vuya. Sejak ratusan tahun silam, kain kulit kayu sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Suku Kaili Pandere, baik digunakan untuk pakaian sehari-hari maupun dalam upacara adat. Beberapa bentuk kain kulit kayu yang digunakan dalam upacara adat, antara lain; toradau, blus yang digunakan pada upacara penyambutan tamu; vuya, digunakan dalam upacara penyembuhan penyakit; siga, destar (ikat kepala) yang digunakan dalam semua upacara adat; dan vini, rok yang digunakan dalam upacara perkawinan dan penyambutan tamu. Selain itu, dahulu kain kulit kayu digunakan sebagai kain kafan untuk membungkus jenazah para bangsawan dan tetua adat. Sampai saat ini, tradisi membuat kain kulit kayu di Desa Pandere masih terpelihara dengan baik. Tercatat sekitar 12 pengrajin masih aktif membuat kain kulit kayu di Desa Pandere. Selain sebagai upaya melestarikan tradisi, para pengrajin juga berusaha untuk memperkenalkan kain kulit kayu kepada masyarakat luas dengan cara membuat berbagai bentuk kerajinan, seperti rompi, tempat pulpen, cup lampu kamar, tas, dompet, sampul buku, pigura, dan pernak-pernik lainnya. Produk ini ternyata mampu menembus pasar nasional hingga internasional, seperti Bali, Kalimantan, hingga Amerika Serikat. B. Keistimewaan Kain kulit kayu termasuk salah satu kerajinan tangan yang unik karena cara pembuatannya memerlukan keahlian khusus. Selain itu, proses pembuatan kain kulit kayu membutuhkan waktu yang cukup lama. Satu lembar kain dengan ukuran 20 - 30 cm memerlukan waktu pengerjaan sekitar 1 minggu. Hal yang unik adalah pekerjaan membuat kulit kayu ini dilakukan oleh kaum wanita pada waktu senggang atau sehabis panen sambil menunggu musim tanam tiba. Peralatan yang digunakan sangat sederhana, seperti parang untuk memotong kayu sebagai bahan, popempe vuya (pemukul tahap pertama), batu ike atau batu granit (pemukul tahap kedua), tatoa (landasan untuk membentuk kain), sempe (tempat kulit dipukul sebelum disambung). Khusus untuk batu ike, biasanya diberi alur yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu ike beralur renggang untuk meratakan kulit kayu, ike beralur sempit untuk menghaluskan kain, dan ike beralur rapat dan beragam (horizontal, vertikal, diagonal) untuk lebih menghaluskan dan membuat tekstur kain. Proses pembuatan kain kulit kayu juga memerlukan beberapa tahap. Tahap awal adalah menyiapkan alat dan bahan baku yang terdiri dari kulit pohon beringin, bea, waru, atau pohon murbei yang sudah berusia dua tahun. Pada tahap ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan pengetahuan lokal masyarakat setempat. Misalnya, proses pencarian kayu harus dilakukan pada bulan purnama, proses mengupas kulit kayu harus menghadap ke arah bulan, dan bahan kain yang sudah tersedia tidak boleh langsung diproses sebelum si pembuatnya benar- benar bersih, termasuk bersih dari haid bagi perempuan. Selain itu, selama proses pembuatan, si pembuat kain kulit kayu tidak diperbolehkan mandi dengan menggunakan sabun atau bahan- bahan lain yang mengandung zat kimia. Pembuatan kain diawali dengan membersihkan ari kulit kayu (nutikuli) hingga mendapatkan ukuran sesuai dengan yang diinginkan. Kulit kayu kemudian ditempa (nombaovo) dengan menggunakan ike di atas tatoa hingga menjadi kain. Yang menarik dari proses menempa ini adalah si pembuat harus menggunakan irama tertentu dengan penuh perasaan. Setelah itu, kulit kayu dibersihkan lalu dibungkus dengan daun mengkudu agar menjadi licin dan mudah disambung. Selanjutnya, kulit kayu dipukul-pukul di atas tatoa hingga benar-benar halus, kemudian serat-serat kulit kayu disambung menjadi kain sesuai ukuran yang diinginkan. Selanjutnya, kain kulit kayu disetrika dengan batang kayu yang disebut pompoa, yaitu alat pukul untuk meratakan kain agar menjadi halus. Proses berikutnya adalah kain diangin-anginkan hingga kering lalu diberi warna dan motif sesuai keinginan atau pesanan. Agar tidak mudah robek atau lapuk, kain kulit kayu harus dihindarkan dari air. C. Lokasi Kain kulit kayu dapat ditemukan di Desa Pandere, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. D. Akses Desa Pandere terletak sekitar 60 kilometer dari Kota Palu. Lokasi ini dapat dicapai dengan menggunakan angkutan umum dari Kota Bora, ibukota Kabupaten Sigi, menuju Kecamatan Gumbasa, kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Desa Pandere. E. Harga Harga kain kulit kayu cukup bervariasi, tergantung ukuran dan bentuknya. Kain kulit kayu yang berukuran 1 x 2 meter dihargai Rp. 200.000,00, sedangkan pakaian yang sudah jadi dihargai Rp. 100.000,00 per potong. (2011) F. Akomodasi dan Fasilitas Desa Pandere sebagai salah satu pusat pembuatan kulit kayu tidak menyediakan fasilitas umum yang memadai. Namun, fasilitas seperti hotel, warung makan, restoran, dan sebagainya dapat Anda akses di Kota Bora, ibukota Kabupaten Sigi. (Samsuni/iw/64/03-