Abstrak telah lebih dari lima dekade terakhir, pap smear untuk skrining kanker
serviks telah menjadi standart pelayanan seluruh Amerika Serikat dan negara-
negara lainnya, dan implementasinya pada pemeriksaan ginekologi rutin telah
secara dramatis mengurangi angka kanker serviks invasif. Dengan tibanya kita
pada kepentingan skrining rutin ini dan bertambahnya kemampuan untuk
mengidentifikasi lesi prakanker serviks, kita juga telah mengembangkan
modalitas skrining dan pengobatan yang lebih baik. Perkembangan ini membawa
pada perubahan-perubahan panduan penatalaksanaan dan diagnosis. Dalam
beberapa tahun terakhir, Perkumpulan Kolposkopi dan Patologi Serviks Amerika
(ASCCP) telah memperbaiki panduannya untuk skrining kanker serviks dan
mengajukan rekomendasi baru untuk penatalaksanaan dan pengobatan displasia
serviks. Sebagai tambahan, Peneliti di seluruh dunia terus mencari metode yang
lebih baik untuk skrining, pengobatan, dan identifikasi lesi prakanker serviks.
Metode tersebut mencakup meningkatkan pemeriksaan HPV, HPV genotip dan
menemukan hubungan dengan displasia servikal, dan meningkatkan waktu dan
efikasi pengobatan. Artikel ini akan mengulas dan mengevaluasi secara kritis
literatur terpublikasi dalam beberapa tahun terakhir yang berhubungan dengan
diagnosis dan penatalaksanaan lesi prakanker serviks.
Kata Kunci Pemeriksaan HPV. Pap Smear. Genotip HPV. Penatalaksanaan HPV
dan lesi serviks yang terkait. Displasia Serviks. Lesi prakanker serviks. Ulasan.
Pendahuluan
Kanker serviks sudah bukan lagi penyebab utama kematian antara wanita
di Amerika Serikat dan negara lainnya yang telah mengadopsi praktik skrining
rutin. Walaupun demikian, ia masih merupakan penyebab signifikan morbiditas
dan mortalitas, dari 12,710 wanita terdiagnosis kanker serviks pada 2011, yang
kemudian mengakibatkan kematian 4,290 di Amerika Serikat Saja [1]. Lebih
lanjut, ia tetap merupakan satu dari penyebab utama morbiditas dan mortalitas
kanker di seluruh dunia. Secara global, diperkirakan kanker serviks merupakan
diagnosis kanker dengan urutan ketiga, dengan 500,000 kasus baru dari kanker
serviks didiagnosis tiap tahunnya, menghasilkan rata-rata 280,000 kematian tiap
tahun [2].
Infeksi human papillomavirus telah teridentifikasi sebagai faktor risiko
utama perkembangan displasia servikal dan progresi menjadi kanker invasif.
Virus papilloma merupakan virus DNA untai ganda dengan predileksi untuk
replikasi pada sel epitel. Lebih dari 40 subtipe HPV diketahui menginfeksi traktus
genitalis, 13 di antaranya dihubungkan dengan kanker [3]. HPV 16 dan 18
merupakan dua subtipe yang paling kuat dihubungkan dengan kanker serviks.
Infeksi HPV persisten terutama merupakan prediktor yang sangat kuat dari
terbentuknya CIN 3 dan kanker serviks, dan telah diidentifikasi sebagai
karsinogen kelas 1 oleh IARC [1]. Karsinogenesis serviks dimulai dengan infeksi
HPV dan berkembang dengan ekspresi onkogen E6 dan E7; onkoprotein E6
mengganggu diferensiasi seluler, sementara E7 membuat reaktivasi proliferasi
seluler, yang akhirnya menstimulasi replikasi sel ganas [1, 2, 4-7]. Inaktivasi gen
supresi tumor seperti p53 dan Rb oleh onkogen virus juga menghasilkan
proliferasi sel tidak terkendali, yang mengakibatkan pembentukan displasia dan
kanker [1, 2, 4-7]. Pengetahuan mengenai patofisiologi infeksi HPV dan
peranannya pada progresi menjadi displasia servikal penting untuk
penatalaksanaan yang sesuai dari lesi prakanker serviks, dan membawa pada
kesempatan untuk berkembangnya alat diagnostik yang lebih sensitif.
Sebagai tambahan terhadap infeksi HPV, sejumlah faktor risiko telah
diidentifikasi dalam karsinogenesis servikal, walaupun penelitian masih berlanjut
untuk menentukan hubungan pasti antara masing-masing faktor risiko, infeksi
HPV, dan perkembangan berubahan premaligna. Infeksi HPV secara umum
ditransmisi melalui kontak seksual; sehingga cukup dapat diterima bahwa usia
muda pada senggama pertama dan jumlah pasangan seksual berperan pada
peningkatan risiko displasia dan kanker serviks [1,3,8]. Penelitian terbaru yang
dikeluarkan dalam Onkologi Ginekologi menilai hubungan antara tiap faktor
risiko dan perkembangan dari CIN 2+. Disana ditunjukkan bahwa jumlah
pasangan seksual dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks dan CIN
3, dibandingkan dengan CIN 2 [8]. Juga tercatat bahwa penundaan aktivitas
seksual hingga usia setelah 19 dihubungkan dengan penurunan risiko dari CIN 3
[8]. Sebagai tambahan, peningkatan paritas dihubungkan dengan peningkatan
risiko CIN 3, dengan korelasi paling kuat pada pasien dengan lebih dari tiga
kelahiran hidup [8]. Hubungan signifikan juga ditunjukkan antara penggunaan
tembakau dan perkembangan displasia dan kanker serviks; pengguna rokok yang
masih aktif memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan orang dengan
riwayat merokok, dan peningkatan jumlah pak dan tahun telah ditunjukkan
berhubungan dengan peningkatan risiko CIN 3 [1,8]. Penggunaan kontrasepsi oral
dibandingkan dengan alat kontrasepsi dalam rahim atau metode kontrasepsi
nonhormonal juga menunjukkan peningkatan risiko karsinogenesis serviks.
Penggunaan kontrasepsi oral juga menunjukkan peningkatan risiko CIN 3
dibandingkan CIN 2, dan penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang (>10
tahun) juga dihubungkan dengan peningkatan risiko displasia dan kanker serviks
[8,9], walaupun mekanisme pasti dibalik hubungan ini masih belum jelas [9,10].
Satu hipotesis melibatkan area pengenalan hormon dan peranannya terhadap
replikasi genom HPV selama infeksi. DNA HPV menempati area pengenalan
hormonal dalam regio transkripsinya, dan potensiasi replikasi virus dengan
stimulasi hormonal telah diidentifikasi pada sel in-vitro [1]. Sebagai tambahan,
penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang juga memiliki kecenderungan
terhadap perilaku seksual yang lebih beresiko, pengurangan penggunaan kondom,
dan mungkin juga jumlah pasangan seksual yang lebih banyak, yang mana
semuanya telah dihubungkan dengan akuisisi infeksi HPV [1,3,8].
Dengan peneliti lebih lanjut mencari mekanisme yang mendasari dan
faktor risiko yang berhubungan dengan kanker serviks, strategi skrining dan
penatalaksanaan secara terus-menerus diperbaiki. Pap smear masih tetap sebagai
modalitas skrining utama, tetapi pemeriksaan HPV menjadi semakin diterima
secara luas sebagai alat skrining adjuvan. Diagnosis awal dari lesi prakanker
serviks dimulai dengan sitologi, dan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai waktu
dari lesi-lesi ini merupakan komponen kritis dalam pengurangan berkelanjutan
dari morbiditas yang berhubungan dengan displasia dan kanker serviks.
Skrining untuk Lesi Prakanker Serviks dan Kanker Invasif.
Sejak penemuan skrining Pap smear di Amerika Serikat pada 1950,
insidensi tahunan kanker serviks invasif mengalami penurunan secara dramatis.
Pada 2012, panduan revisi ASCCP untuk skrining sitologi, dengan perubahan
yang utamanya melibatkan usia sebagai skrining awal, frekwensi skrining, dan
peranan pemeriksaan HPV pada skrining dan follow-up dari pap smear abdominal
dan displasia. Panduan terbaru menyarankan untuk memulai skrining pada usia
21, yang berbeda dari rekomendasi sebelumnya dari mulainya skrining dalam tiga
tahun sejak pertama senggama [11,12]. Perubahan lain mencakup pemeriksaan
HPV reflek dalam interval tiga tahun pada pasien usia antara 21 dan 29 serta
pemeriksaan lanjutan pada pasien berusia 30 hingga 65 tahun [11,12].
Pemeriksaan lanjutan tuntuk HPV tidak diindikasikan pada pasien yang lebih
muda dari 30 dikarenakan prevalensi sementara infeksi HPV pada populasi usia
ini, dengan angka kejadian tinggi regresi infeksi dan insidensi rendah dari kanker
serviks [11,12]. Berdasarkan prevalensi infeksi HPV sementara pada pasien muda,
Pemeriksaan lanjutan akan meningkatkan jumlah tes skrining abnormal dan dapat
menghasilkan pemeriksaan invasif dan tidak terindikasikan pada pasien dengan
risiko rendah kanker serviks [11,12]. Penting untuk diingat bahwa interval
skrining yang lebih panjang hanya dapat diaplikasikan selama sitologi serviks
tidak mengindikasikan pemeriksaan yang lebih lanjut.
Tabel 1. Ringkasan panduan ASCCP terbaru untuk lesi preinvasif serviks pada
wanita usia 30-65 tahun [11,12].
Tingkat Displasia Penanganan Awal
CIN 1 CIN 1 dengan sitologi tingkat rendah
o Pemeriksaan ulang pada bulan ke 12
o Jika menetap hingga >24 bulan, dapat melanjutkan
follow-up atau pengobatan
CIN 1 dengan sitologi tingkat tinggi
o Prosedur eksisi diagnostik atau penanganan konservatif
yang direkomendasikan
o Pemeriksaan ulang pada bulan 12 dan 24 pantauan
o Eksisi direkomendasikan jika sitologi tingkat tinggi
berulang baik pada bulan 12 maupun 24
CIN 1 pada sampel endoserviks
o Pengobatan atau penanganan konservatif sesuai panduan
ASCCP untuk CIN 1
o Jika penanganan konservatif dipilih, ulangi pemeriksaan
dengan pengulangan pengambilan sampel endoserviks
pada bulan 12
CIN 2 Rekomendasi pengobatan
o Prosedur ablasi atau eksisi diterima jika kolposkopi
adekuat
o Penanganan eksisional dianjurkan jika kolposkopi
inadekuat, CIN 2+ pada sampel endoserviks, atau CIN
yang belum dikelompokkan
o Follow-up setelah pengobatan yang terdiri dari
pemeriksaan lanjutan pada bulan 12 dan 24; jika negatif,
ulangi pemeriksaan dalam 3 tahun.
Pasien yang diobati untuk CIN 2+ membutuhkan 20 tahun
skrining rutin tanpa memandang usia.
CIN 2/3 Lihat pengobatan untuk CIN 2
CIN 3/CIS Lihat pengobatan untuk CIN 2
AIS Wanita yang telah melewati masa subur
o Setidaknya prosedur eksisi diagnostik, tetapi
histerektomi merupakan penanganan yang lebih dipilih
Wanita yang belum melewati masa subur
o Prosedur eksisi diagnostik
o Jika margin (+), re-eksisi direkomendasikan
o Re-evaluasi pada bulan 6 dengan pemeriksaan lanjutan
dan pengambilan sampel endoserviks
Kesimpulan
Dengan semakin banyaknya penelitian dan teknologi yang terus
berkembang, panduan untuk skrining kanker serviks akan selalu mengalami
perubahan. Dengan modalitas pemeriksaan yang lebih baru, termasuk
pemeriksaan HPV, diagnosis lesi prakanker serviks akan menjadi semakin
sensitif. Penting untuk para dokter agar terus diperbarui dengan rekomendasi yang
paling baru untuk skrining kanker serviks, serta penanganan lesi prakanker
serviks, sehingga pasien dapat terus mendapat penanganan terbaik yang ada.