Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritis

2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Decision Making

Model pembelajaran merupakan bagian yang penting dalam suatu

pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah yang terdiri dari perencanaan

kurikulum, metode, dan strategi yang menggambarkan kegiatan

pembelajaran yang akan dilaksanakan untuk tercapainya tujuan

pembelajaran. Model pembelajaran membantu dalam membuat desain

materi-materi pembelajaran yang ada dan menata pembelajaran tersebut

agar sesuai dengan kondisi dan psikis siswa sehingga proses pembelajaran

menjadi nyaman, edukatif, variatif, dan menantang bagi siswa.

Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang

menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk

memengaruhi pola interaksi siswa dengan kata lain mengutamakan kerja

sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Hosnan (2014:234)

model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran

yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok.

Roger, dkk. dalam (Miftahul, 2018:29) menyatakan pembelajaran

kooperatif merupakan aktifitas pembelajaran kelompok yang diorganisir

oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan

informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar


bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk

meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain.

Artz dan Newman dalam (Miftahul, 2018:32) mendefinisikan

pembelajaran kooperatif sebagai kelompok kecil pembelajar/siswa yang

bekerja sama dalam suatu tim untuk mengatasi suatu masalah,

menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai satu tujuan bersama.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

model pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang

melibatkan siswa agar saling berinteraksi atau bekerja sama dalam suatu

kelompok belajar untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan siswa

dituntut agar dapat bertanggung jawab dalam belajar untuk dirinya

sendiri.

Decision Making (Pengambilan Keputusan) dapat diartikan

sebagai pemilihan alternatif terbaik dari beberapa pilihan yang tersedia

sebagai suatu cara dalam pemecahan masalah. Menurut Soenhadji

(2013:2) pengambilan keputusan (decision making) merupakan keputusan

sebagai hasil pemecahan masalah yang harus didasari atas logika dan

pertimbangan, penetapan alternatif terbaik, serta harus mendekati tujuan

yang telah ditetapkan.

Menurut Ulum, (15 April 2016) model pembelajaran cooperative

decision making merupakan suatu pendekatan pembelajaran dengan

menggunakan kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dalam

memilih alternatif terbaik dalam memecahkan masalah. Maulidati (dalam


Furi, 2016:8) model pembelajaran kooperatif tipe decision making dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan mengontruksi

pemikiran secara kontruktivisme. Model kooperatif tipe decision making

dapat menciptakan kegiatan pembelajaran yang sangat menyenangkan,

karena kegiatan tersebut diindikasikan melibatkan peserta didik yang

terlihat dari pembelajaran yang tidak ceramah terus, tetapi juga melakukan

suatu diskusi berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang ada di

masyarakat (Maulidati, 2017).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

model kooperatif tipe decision making merupakan model pembelajaran

secara berkelompok yang mengajak siswa agar dapat bekerja sama untuk

berpikir kritis, memilih alternatif terbaik, berfokus pada tujuan yang

ditetapkan dalam pemecahan masalah yang ada dilingkungan sekitar.

Alasan rasional menggunakann model pembelajaran kooperatif tipe

decision making karena model pembelajaran ini menggunakan kelompok

kecil, sehingga siswa dapat menjalin kerja sama dalam memilih alternatif

terbaik dalam memecahkan masalah.

Fatimah et al (2008:17) langkah-langkah Model Cooperative

Learning Tipe Pengambilan Keputusan (Decision Making) sebagai berikut:

1. Memberikan informasi, tujuan dan rumusan masalah.


2. Secara klasikal tayangan gambar, wacana atau kasus permasalahan
yang sesuai dengan materi pembelajaran atau kompetensi yang
diharapkan.
3. Buatlah pertanyaan agar siswa dapat meruuskan permasalahan dan
membuat alternatif pemecahannya.
4. Secara berkelompok, siswa diminta mengidentifikasi permasalahan
dan membuat alternatif pemecahannya.
5. Secara berkelompok atau individu siswa diminta mengemukakan
alasan mereka memilih alternatif tersebut.
6. Secara kelompok atau individu siswa diminta mencari penyebab
terjadinya masalah tersebut.
7. Secara kelompok atau individu siswa diminta mengemukakan
tindakan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.

Cara menentukan kelompok model pembelajaran kooperatif tipe

pengambilan keputusan (decision making) adalah :

a) Jumlah anggota tiap kelompok terdiri dari 5 orang.

b) Pengelompokan siswa hendaknya heterogen.

c) Penetapan kelompok ditentukan oleh pendidik.

d) Penghargaan (hadiah) lebih berorientasi kepada kelompok dari

pada individu. (Depdiknas, 2004:7)

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan

langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe decision making

tersaji pada tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1
Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Decision Making
Langkah Model
Perlakuan Guru
No Pembelajaran Kooperatif
Tipe Decision Making
1. Informasi Pada tahap ini guru memberikan
infromasi, tujuan dan rumusan
masalah.
2. Merumuskan Masalah Pada tahap ini guru mengajak siswa
untuk merumuskan masalah sesuai
dengan gambar dan alat peraga yang
disajikan.
3. Identifikasi Pada tahap ini guru meminta siswa
untuk mengidentifikasi permasalahan
yang terdapat dilingkungan sekitar
dan mencari penyebab terjadinya
masalah.
4. Pemecahan Masalah Pada tahap ini guru mengajak siswa
untuk berfikir kritis, mengajak siswa
untuk mengemukakan memilih
alternatif, dan mencari penyebab
terjadinya masalah.
5. Merumuskan Pada tahap ini guru mengajak siswa
Kesimpulan untuk menyimpulkan seluruh
informasi yang telah diperoleh dan
memberi penghargaan.

Dalam setiap model pembelajaran yang diterapkan dalam

proses belajar mengajar akan memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu

juga halnya dengan model pembelajaran Kooperatif tipe Decision Making.

Adapun kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe

decision making (pengambilan keputusan) adalah sebagai berikut :

a. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe decision making

Menurut Mulyono (2008:6) kelebihan dari model Cooperative

Learning Tipe Pengambilan Keputusan (Decision Making) yaitu :

a) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.


b) Meningkatkan kesetiakawanan sosial.
c) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang
dirasakan lebih baik.
d) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap,
keterampilan informasi, perilaku sosial, dan pandangan-
pandangan.
e) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang
perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat,
kelas sosial, agama, dan orientasi tugas.
b. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe decision making

Kekurangan model Cooperative Learning Tipe Pengambilan

Keputusan (Decision Making) menurut Lie (2002:47) yaitu :

a) Membutuhkan lebih banyak waktu.


b) Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik.
c) Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan
tidak memperhatikan.
d) Kurang kesempatan untuk individu.
e) Sering terjadi kegaduhan.

2.1.2 Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir dapat timbul dari pikiran atau perilaku seseorang, berpikir

juga suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dan

sistem kognitif, berpikir juga diarahkan untuk menghasilkan perilaku yang

dapat memecahkan masalah dan dapat memberikan solusi.

Menurut Nurhadi dkk (2004:278) yang mengatakan bahwa

“berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik dan

mencapau kesimpulan berdasar pada interferensi atau pertimbangan yang

sama. Senada dengan pendapat Rusman (2013:434) mendefinisikan bahwa

“berpikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan

atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan

untuk memahami; berpikir adalah sebuah pencarian makna”.

Menurut Chance dalam (Surip, 2018:2) berpikir kritis merupakan

kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional, yang meliputi berpikir

reflektif dan independen. Kemampuan untuk menganalisis fakta,

mencetuskan dan menata gagasan, membuat perbandingan, kesimpulan,

mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut disimpulkan bahwa

kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk berpikir reflektif


dan independen dalam menganalisis, mengkritik, menyimpulkan serta

membuat keputusan dalam memecahkan suatu masalah.

Pendidik terkenal, John Dewey dalam Santorck (2009) mengajukan

gagasan ketika ia berbicara mengenai pentingnya membuat mutid berpikir

secara reflektif. Berpikir kritis meliputi berpikir secara reflektif dan

produktif serta mengevaluasi bukti. Satu cara untuk mendorong murid agar

berpikir secara kritis adalah memberikan mereka topik atau artikel

kontroversional yang menhadirkan dua sisi permasalahan untuk

didiskusikan. Guru dapat merangsang kemampuan murid untuk berpikir

kritis dengan menggunakan lebih banyak tugas yang membutuhkan

kemampuan murid untuk terfokus pada sebuah masalah, sebuah

pertanyaan atau sebuah masalah dari pada hanya mengulangi fakta-fakta.

Guru yang mendorong kreativitas sering kali mengandalkan keingintahuan

alamiah murid. Guru memberikan latihan dan aktivitas yang merangsang

murid untuk menemukan pemecahan terhadap masalah dengan pemikiran

yang mendalam dari pada hanya mengajukan banyak pertanyaan yang

membutuhkan jawaban yang dihafalkan (Santrock, 2009).

Tujuan berpikir kritis adala untuk mengembangkan pola berpikir

seseorang menjadi lebih logis dan berlandaskan fakta. Menurut Faiz

(2012:2) tujuan berpikir kritis sederhana yaitu untuk menjamin sejauh

mungkin bahwa pemikiran kita valid dan benar. Berpikir kritis dapat

mendorong siswa untuk mengeluarkan pendapat atau ide baru. Supriya

(2009:144) tujuan berpikir kritis adalah untuk menilai suatu pemikiran,


menaksir nilai bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau praktik dari suatu

pemikiran dan praktik tersebut. Selain itu, berpikir kritis meliputi aktivitas

mempertimbangkan berdasarkan pada pendapat pada pendapat yang

diketahui.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

tujuan berpikir kritis adalah untuk menguji mutu pendapat atau ide melalui

evaluasi dan praktik yang dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Siswa di

sini dituntut untuk lebih memahami dan mengerti apa yang mereka

pelajari. Selain itu, siswa juga harus lebih banyak mencari sumber-sumber

atau informasi yang sesuai dan akurat. Hal tersebut bertujuan agar siswa

dapat bertanggung jawab dengan apa yang telah dikemukakannya sehingga

diperoleh hasil yang memuaskan dan sesuai dengan keinginan.

Berpikir kritis memiliki beberapa ciri-ciri atau kriteria dalam

penilaiannya, untuk mengetahui apakah seseorang tersebut telah berpikir

secara kritis ataupun belum, sebelumnya hal tersebut sangatlah sulit untuk

diketahui karena berpikir kritis merupakan fenomena yang abstrak. Namun

demikian, Faiz (2012:4) telah menyusun ciri-ciri orang yang berpikir kritis

dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap dan kebiasaan adalah sebagai

berikut: (1) menggunakan fakta-fakta secara tepat dan jujur; (2)

mengorganisasi pikiran dan mengungkapkannya dengan jelas, logis atau

masuk akal; (3) membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada

logika yang valid dengan logika yang tidak valid; (4) mengidentifikasi

kecukupan data; (5) menyangkal suatu argumen yang tidak relevan dan
menyampaikan argumen yang relevan; (6) mempertanyakan suatu

pandangan dan mempertanyakan implikasi dari suatu pandangan; (7)

menyadari bahwa fakta dan pemahaman seseorang selalu terbatas; (8)

mengenali kemungkinan keliru dari suatu pendapat dan kemungkinan bias

dalam pendapat.

Pendapat yang hampir serupa dijabarkan oleh Nurhayati (2011:69)

yaitu ciri-ciri orang yang mampu berpikir kritis adalah: (1) memiliki

perangkat pemikiran tertentu yang dipergunakan untuk mendekati

gagasannya; (2) memiliki motivasi kuat untuk mencari dan memecahkan

masalah; (3) bersikap skeptik yakni tidak mudah menerima ide atau

gagasan kecuali ia dapat membuktikan kebenarannya. Banyak sekali

kriteria dalam hal ini yang menjadi dasar pengukuran kemampuan berpikir

kritis karena seperti yang telah disebutkan di atas bahwa mengukur

kemampuan berpikir kritis sangat susah karena hal tersebut merupakan hal

yang abstrak.

Selanjutnya terdapat beberapa indikator kemampuan berpikir kritis

yang hampir sama dengan pendapat di atas yanng dirumuskan oleh Faiz

(2012:3) dalam aktivitas-aktivitas kritis yang dibagi menjadi lima

kelompok kemampuan berpikir yaitu sebagai berikut:

1) Mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan, meliputi:

mencari jawaban yang jelas dari setiap pertanyaan.

2) Mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan

suatu masalah, meliputi: berusaha mengetahui informasi dengan


tepat, memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan

menyebutkannya, memahami tujuan yang asli dan mendasar.

3) Mampu memilih argumen yang logis, relevan dan akurat, meliputi:

mencari alasan atau argumen, berusaha tepat relevan dengan ide

utama, berpikir dan bersikap secara sistematis dan teratur dengan

memperhatikan bagian-bagian dari keseluruhan masalah.

4) Mampu mendeteksi bias berdasarkan sudut pandang yang berbeda,

meliputi: mencari alternatif jawaban, mengambil sikap ketika ada

bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, mencari penjelasan

sebanyak mungkin apabila memungkinkan.

5) Mampu menentukan akibat dari suatu pertanyaan yang diambil

sebagai suatu keputusan, meliputi: memperhatikan situasi dan

kondisi serta keseluruhan, bersikap dan berpikir terbuka.

Berdasarkan uraian indikator-indikator berpikir kritis di atas

penelitian ini mengacu pada pendapat Faiz (2012:3), maka aspek yang

digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah:

1) Mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan.

2) Mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan

suatu masalah.

3) Mampu memilih argumen yang logis, relevan dan akurat.

4) Mampu mendeteksi bias berdasarkan sudut pandang yang berbeda.

5) Mampu menentukan akibat dari suatu pertanyaan yang diambil

sebagai suatu keputusan.


2.1.3 Hasil Belajar

Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar.

Suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil apabila tujuan dari

pembelajaran itu berhasil dilakukan. Hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

belajarnya (Sugiyono, 2013:324).

Menurut Sudjana (2014:22) menyatakan bahwa “Hasil belajar adalah

kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima

pengalaman belajarnya”. Sedangkan menurut gagne dan Briggs (dalam

Mursid, 2013:73) menyatakan bahwa “Hasil belajar adalah kemampuan

yang diperoleh seseorang setelah ia mengikuti suatu proses pembelajaran

tertentu”.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah kemampuan yang

diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Untuk mengetahui apakah

hasil belajar yang dicapai telah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki

dapat diketahui melalui evaluasi, dnegan dilakukannya evaluasi atau

penilaian ini dapat dijadikan tindak lanjut, atau bahkan cara untuk

mengukur tingkat penguasaan siswa.

Menurut Winkel (dalam Purwanto, 2014:45) menyatakan bahwa

“Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah

dalam sikap dan tingkah lakunya, aspek perubahan itu mengacu kepada
taksonomi tujuan pelajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpon dan

Harrow mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomtorik”.

Adapun tiga domain belajar menurut Bloom, yaitu:

a. Cognitive Domain (Kawasan Kognitif)

Menurut Lorin Anderson Krathwohl ada enam kategori dengan urutan

sebagai berikut: remembering (mengingat), understanding

(memahami), applying (menerapkan), analyzing (menganalisis,

mengurai), evaluating (menilai), dan creating (menciptakan).

1) Mengingat: Merupakan kompetensi yang paling mendasar dalam

ranah kognitif. Kompetensi ini berada atau lebih rendah di bawah

kompetensi memahami. Kompetensi mengingat ditandai oleh

aktivitas peserta didik yang bersifat hafalan.

2) Memahami: Kompetensi memahami dapat juga disebut dengan

istilah “mengerti”. Kompetensi ini ditandai oleh kemampuan

peserta didik untuk mengerti akan suatu konsep, rumus ataupun

fakta-fakta untuk kemudia menafsirkan dan menyatakannya

kembali dengan kata-kata sendiri.

3) Menerapkan, Mengaplikasi: Merupakan kemampuan melakukan

atau mengembangkan sesuatu sebagai wujud dari pemahaman

konsep tertentu.

4) Menganalisis: Merupakan kemampuan memisahkan suatu fakta

atau konsep ke dalam beberapa komponen dan menghubungkan


satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep tersebut

secara utuh.

5) Mengevaluasi: Merupakan kemampuan di dalam menunjukkan

kelebihan dan kelemaan sesuatu berdasarkan kriteria atau patokan

tertentu. Termasuk ke dalam kemampuan ini adalah pemberian

tanggapan, kritik dan saran.

6) Menciptakan: Merupakan kompetensi kognitif paling tinggi,

sebagai perpaduan sekaligus pemuncak dari kompetensi-

kompetensi lainnya. Menciptakan merupakan kemampuan ideal

yang seharusnya dimiliki oleh seorang peserta didik setelah

mempelajari kompetensi tertentu (Krathwohl dalam Kosasih,

2014).

Pada dimensi pengetahuan, ada empat kategori yaitu sebagai

berikut:

1) Fakta (Faktual Knowledge): berisi unsur-unsur dasar yang harus

diketahui siswa jika mereka akan diperkenalkan dengan suatu mata

pelajaran tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu

(low level abstraction).

2) Konsep (Conceptual Knowledge): meliputi skema, model mental

atau teori dalam berbagai model psikologi kognitif.

3) Prosedur (Procedural Knowledge): pengetahuan tentang

bagaimana melakukan sesuatu, biasanya berupa seperangkat urutan

atau langkah-langkah yang harus diikuti.


4) Metakognitif (Metacognitive Knowledge): pengetahuan tentang

pemahaman umum, seperti kesadaran tentang suatu dan

pengetahuan tentang pemahaman pribadi seseorang.

b. Affective Domain (Kawasan Afektif)

Perilaku yang dimunculkan seseorang sebagai pertanda

kecenderungannya untuk membuat pilihan atau keputusan untuk

beraksi di dalam lingkungan tertentu. Kawasan afektif menurut

Krathwohl, Bloom dan Masia dalam (Siregar dan Nara, 2010), meliputi

tujuan belajar yang berkenaan dengan minat, sikap dan nilai serta

pengembangan penghargaan dan penyelesaian diri. Kawasan ini dibagi

dalam lima jenjang tujuan, yaitu sebagai berikut:

1) Penerima (receiving): meliputi kesadaran akan adanya suatu sistem

nilai, ingin menerima nilai, dan memperhatikan nilai tersebut,

misalnya siswa menerima sikap jujur sebagai sesuatu yang

diperlukan.

2) Pemberian respons (responding) meliputi sikap ingin merespons

terhadap sistem, puas dalam memberi respons, misalnya bersikap

jujur dalam setiap tindakannya.

3) Pemberian nilai atau penghargaan (valuing): penilaian meliputi

penerimaan terhadap suatu sistem nilai, memilih sistem nilai yang

disukai dan memberi komitmen untuk menggunakan sistem nilai

tertentu, misalnya jika seseorang telah menerima sikap jujur, ia


akan selalu komit dengan kejujuran, menghargai orang-orang yang

bersikap jujur dan ia juga berperilaku jujur.

4) Pengorganisasian (organization): meliputi memilah dan

menghimpun sistem nilai yang akan digunakan, msialnya

berperilaku jujur ternyata berhubungan dengan nilai-nilai yang lain

seperti kedisiplinan, kemandirian, keterbukaan dan lain-lain.

5) Karakteristik (characterization): karakteristik meliputi perilaku

secara terus menerus sesuai dengan sistem nilai yang telah

diorganiasasikannya, misalnya karakter dan gaya hidup seseorang,

sehingga ia dikenal sebagai orang yang bijaksana.

c. Psychomotor Domain (Kawasan Psikomotor)

Perilaku yang dimunculkan oleh hasil kerja fungsi tubuh manusia.

Domain ini berbentuk gerakan tubuh, antara lain seperti berlari,

melompat, melempar, berputar, memukul, menendang dan lain-lain.

Dave mengemukakan lima jenjang tujuan belajar pada ranah

psikomotor, kelima jenjang tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Meniru: kemampuan mengamati suatu gerakan agar dapat

merespons.

2) Menerapkan: kemampuan mengikuti pengarahan, gerakan pilihan

dan pendukung dengan membayangkan gerakan orang lain.

3) Memantapkan: kemampuan memberikan respons yang terkoreksi

atau respons dengan kesalahan-kesalahan terbatas atau minimal.


4) Merangkai: koordinasi rangkaian gerak dengan membuat aturan

yang tepat.

5) Naturalisasi: gerakan yang dilakukan secara rutin dengan

menggunakan energi fisik dan psikis yang minimal (Dave dalam

Siregar dan Nara, 2010).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh dari proses

pembelajaran dalam bentuk angka atau huruf yang meliputi aspek kognitif,

afektif dan psikomotorik.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang

dikemukakan oleh Wasliman dalam (Susanto, 2013) yakni hasil belajar

yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai

faktor yang mempengaruhi baik faktor internal maupun eksternal. Faktor

internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik,

yang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi

kecerdasa, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap,

kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan. Sedangkan faktor

eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang

mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Menurut Slameto (2013:54) faktor-faktor yang mempengaruhi hasil

belajar yaitu :

1) Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor yang ada di dalam diri individu yang
sedang belajar, antara ain faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat
tubuh), faktor psikologis (intelegensi, perhatian, minat, bakat,
motif, kematangan, dan kesiapan), dan faktor kelelahan.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang ada di uar individu, antara lain:
faktor keluarga (cara orangtua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, dan
pengertian orang tua), faktor sekolah (model pembelajaran,
kurikulum, relasi guru dan siswa, relasi siswa dengan siswa,
disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di
atas ukuran, keadaan gedung, dan tugas rumah), dan masyarakat
(kegiatan siswa dalam masyarakat , teman bergaul, dan bentuk
kehidupan masyarakat).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah faktor internal

yaitu minat, motivasi dan kemmapuan siswa dalam proses pembelajaran

dan faktor eksternal yaitu berhubungan dengan pemilihan model

pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang sedang

berlangsung.

Peran serta siswa dan guru dalam konteks belajar menjadi sangat

penting. Guru berperan aktif sebagai fasilitator yang membantu

memudahkan siswa dalam pembelajaran, sebagai narasumber yang mampu

mengundang pemikiran dan daya kreasi siswa, sebagai pengelola yang

mampu merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran yang

bermakna yang dapat mengelola sumber belajar yang diperlukan.

Gagne dan Briggs dalam (Yamin, 2007) menjelaskan rangkaian

kegiatan pembelajaran yang dilakukan dalam kelas meliputi 9 aspek untuk

menumbuhkan aktivitas dan partisipasi siswa, diantaranya adalah:


1. Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa, sehingga mereka
berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
2. Menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar) kepada siswa.
3. Meningkatkan kompetensi prasyarat.
4. Memberikan stimulus (masalah, topik dan konsep) yang akan
diperlajari.
5. Memberi petunjuk kepada siswa cara memperlajarinya.
6. Memunculkan aktivitas, partisipasi siswa dalam kegiatan
pembelajaran.
7. Memberikan umpan balik (feed back).
8. Melakukan tagihan-tagihan terhadap siswa berupa test, sehingga
kemampuan siswa selalu terpantau dan terukur.
9. Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran.

2.2 Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian dahulu terkait penerapan model pembelajaran Kooperatif

Tipe Decision Making dirangkum sebagai berikut :

Suryaningsih (2019:20) melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan

Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Melalui Penerapan Model Cooperative

Learning Tipe Decision Making Pada Konsep Sistem Reproduksi”. Berdasarkan

hasil penelitia, analisis data dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa: 1)

Terdapat perbedaan hasil test keterampilan berpikir kritis antara kelompok peserta

didik yang diberi model cooperative learning tipe decision making dengan

kelompok peserta didik yang diberi model pembelajaran konvensional. Dengan

hasil 0,000<0.05 Hal ini menunjukkan bahwa model cooperative learning tipe

decision making dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, 2) Secara

keseluruhan pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan model

cooperative learning tipe decision making terlaksana dengan baik.

Awalludin (2018:159) melakukan penelitian mengenai model

pembelajaran kooperatif tipe decision making dengan judul “Efektivitas Model


Decision Making dalam Pembelajaran Menulis Paragraf Persuasif Siswa Kelas X

SMK Trisakti Baturaja”. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata skor yang

diperoleh pada tes awal adalah 61,29 dan pada tes akhir 77,76 dengan peningkatan

skor sebesar 16,47. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran decision making efektif digunakan dalam pembelajaran menulis

paragraf persuasif siswa kelas X SMK Trisakti Baturaja.

Maulidati, dkk (2017) juga melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Decision Making Berbantuan Media Video

Terhadap Hasil Belajar IPS”. Berdasarkan hasil perhitungan statistik deskriptif

hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS yang mengikuti pembelajaran

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe decision making berbantuan

video, menunjukkan rata-rata hasil belajar IPS lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional

yaitu M1 = 22,72 > M2 = 16,8. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan

bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe decision making berbantuan

media video berpengaruh positif terhadap hasil belajar IPS siswa dibandingkan

dengan model pembelajaran konvensional.

2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan, pada hakekatnya belajar

menimbulkan perubahan perilaku. Proses belajar akan menyebabkan perubahan

pada siswa yaitu suatu keadaan yang lebih baik menuju tingkat keberhasilan siswa

yang dicapai selama waktu tertentu. Dalam penerapannya proses belajar dapat

terjadi dimana saja dan kapan saja, tidak harus dalam kondisi formal di dalam
kelas, tetapi dapat secara informal, nonformal. Aktivitas belajar juga merupakan

salah satu proses membangun makna terhadap pengetahuan. Siswa diajak untuk

menganalisis suatu peristiwa lewat kemampuan berpikir secara kritis. Berpikir

kritis merupakan salah satu strategi kognitif dalam pemecahan masalah yang lebih

kompleks dan menuntut pola yang lebih tinggi.

Setiap guru pasti mengharapkan siswanya untuk dapat menguasai materi

pelajaran yang disampaikan agar siswa tidak mengalami kegagalan dalam proses

belajar mengajar. Keberhasilan penyampaian materi pelajaran sangat ditentukan

oleh pemilihan penggunaan model pembelajaran yang tepat. Penyajian

pembelajaran yang menarik dan melibatkan siswa akan dapat membantu

meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diberikan guru.

Pembelajaran yang menarik ini dapat dicapai dengan menggunakan model

pembelajaran Kooperatif tipe Decision Making.

Model pembelajaran kooperatif tipe decision making merupakan model

pembelajran yang dirancang dengan baik untuk turut melibatkan siswa aktif di

dalam kelas sehingga dapat memecahkan masalah dengan berpikir secara kritis

dan kreatif. Hal ini akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sehingga

pola pikir siswa akan semakin berkembang. Model pembelajaran kooperatif tipe

decision making mengajak siswa beripikir kritis dan berpikir secara selektif dalam

memecahkan masalah.

Model pembelajaran Kooperatif tipe Decision Making menekankan siswa

untuk terlibat secara aktif melalui berpikir tentang alternatif yang tersedia,

menimbang fakta dan bukti yang ada dalam kehidupan nyata, serta mampu
mengambil keputusan agar masalah dapat dipecahkan, sehingga siswa menjadi

lebih aktif dan kreatif dalam pembelajaran dan pemahaman akan mata pelajaran

produk kreatif dan kewirausahaan serta keinginan siswa untuk belajar semakin

kuat dan lebih tertarik. Maka, secara tidak langsung kemampuan berpikir kritis

dan hasil belajar siswa akan meningkat.

Variabel dalam penelitian ini adalah satu variabel bebas dan dua variabel

terikat. Dimana variabel bebasnya adalah model pembelajaran Kooperatif Tipe

Decision Making, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis

dan hasil belajar siswa. Hubungan antara variabel tersebut digambarkan dalam

diagram di bawah ini.

Diagram 2.1
Diagram Kerangka Berpikir

Kemampuan Berpikir
Kritis
(Y1)
Model Pembelajaran
Kooperatif tipe
Decision Making
(X)
Hasil Belajar
(Y2)
2.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis

penelitian ini adalah “Adanya pengaruh yang positif dan signifikan terhadap

meningkatnya kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa kelas XI OTKP

di SMK PAB 2 Helvetia pada mata pelajaran produk kreatif dan kewirausahaan

dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Decision Making”.

Anda mungkin juga menyukai