PENDAHULUAN
Otot ekstraokuler terdiri dari otot rektus medial, rektus lateral, rektus
superior, rektus inferior, oblik superior dan oblik inferior. Otot-otot ekstraokuler
ini berfungsi dalam pergerakan bola mata. Semua otot rektus ini berorigo dari
annulus of zinn sedangkan otot olik superior berorigo pada apeks orbita di atas
annulus of zinn, oblik inferior berorigo pada periosteum tulang maksilaris. Insersi
otot rektus pada sklera beberapa milimeter dari limbus, insersi ini berbeda-beda
pada tiap otot rektus sehingga membentuk spiral of tilaux. Tendon otot oblik
superior berinsersi posterior terhadap ekuator pada kuadran superotemporal bola
mata. Otot oblik inferior berinsersi dibawah otot rektus lateral pada bagian
posterolateral bola mata, pada area makula.1,2,3
Pemeriksaan hess screen pertama kali diperkenalkan oleh Walter hess yang
menemukan metode yang mudah untuk menuliskan hasil pemeriksaan pasien
diplopia. Hess mempresentasikan tulisannya di Jerman pada tahun 1908 dengan
judul metode terbaru pemeriksaan pada pasien diplopia (neue
untersuchungsmethode bei doppelbildern). Tulisan ini menjadi legendaris karena
merupakan guideline pertama yang menjelaskan cara menentukan deviasi mata
pada dua skema yang di gambarkan pada kertas. Hess menggunakan sebuah meja
berwarna hitam polos dengan ukuran 120 cm x 120 cm dengan jarak meja
terhadap pasien 1 meter. Pemeriksaan ini dilakukan pada ruang yang cukup
gelap.7,8
Pada makalah ini akan dibahas mengenai prinsip pemeriksaan hess screen
dan interpretasinya dalam menentukan deviasi okuler.
BAB II
Otot rektus horizontal terdiri dari otot rektus medial dan otot rektus lateral.
Kedua otot ini berorigo dari annulus of zinn. Otot rektus medial berjalan
disepanjang dinding medial orbita kemudian berinsersi 5.5 mm dari limbus.
Sedangkan otot rektus lateral berjalan di sepanjang dinding lateral orbita dan
berinsersi pada 6.9 mm dari limbus (Gambar 1 dan 2). 1,3,9,10
Otot rektus vertikal terdiri dari otot rektus superior dan otot rektus inferior.
Otot rektus superior berorigo dari annulus of zinn dan berjalan anterior ke arah
atas bola mata dan lateral membentuk sudut 230 dengan aksis visual, otot ini
berinsersi pada 7.7 mm dari limbus. Otot rektus inferior juga berorigo dari
annulus of zinn kemudian berjalan ke anterior ke arah bawah dan lateral
membentuk sudut 230 dengan aksis visual kemudian berinsersi 6,5 mm dari
limbus (Gambar 1 dan 2). 1,4,5
2.1.3 Otot Oblik
Otot oblik superior berasal dari apeks orbita diatas annulus of zinn berjalan
ke anterior dan keatas sepanjang dinding superomedial orbit. Otot kemudian
menjadi tendon sebelum berjalan melalui troklea yang merupakan sebuah
kartilago yang melekat ke tulang frontal pada orbita nasal superior. Tendon ini
penetrasi kapsul tenon 2 mm nasal dan 5 mm posterior terhadap insersi nasal dari
otot rektus superior. Otot ini melewati bagian bawah otot rektus superior, tendon
berinsersi posterior terhadap ekuator pada kuadran superotemporal bola mata.
Otot oblik inferior berorigo dari periosteum tulang maksila, posterior terhadap
rima orbita dan lateral terhadap orifisium fosa lakrimal. Otot ini berjalan kelateral,
superoposterior, melewati bagian inferior otot rektus inferior dan berinsersi
dibawah otot rektus lateral pada bagian posterolateral bola mata, pada area
makula. Otot oblik inferior membentuk sudut 510 dengan aksis visual (Gambar 1
dan 2). 1,3,10
Otot ekstraokuler mendapat inervasi dari saraf kranial. Otot rektus lateral
di inervasi oleh nervus abdusen, otot rektus oblik superior di inervasi oleh nervus
troklearis, sedangkan otot rektus superior, otot rektus medial, otot rektus inferior
dan otot oblik inferior di inervasi oleh nervus okulomotorius. 1,3,6
2.3 Fungsi Otot Ekstraokuler Pada Pergerakan Mata
Pergerakan mata binokuler dikenal dengan versi bila kedua mata bergerak
pada arah yang sama. Vergen bila kedua mata bergerak pada arah berlawanan.
Pada gerakan monokuler dikenal hukum Hering yang menyatakan bahwa ketika
mata bergerak ke salah satu arah, inervasi simultan menyebabkan otot yoke
berpasangan mendapatkan inervasi yang sama. Otot ekstraokuler memiliki aksi
primer, sekunder dan tersier dalam menggerakkan bola mata. 1,3,6
3.1 Prinsip
1. Layar Hess yang terbuat dari papan atau kain. Pada layar ini terdapat
gambaran kotak-kotak yang terdiri dari sembilan kotak yang membentuk
persegi empat kecil dan enam belas kotak yang membentuk persegi empat
besar.13,14,15
Gambar 3. Layar Hess.13
4. Lembar pencatatan hasil pemeriksaan hess screen yang terdiri dari dua
kotak masing-masing untuk mata kanan dan kiri.
Pemeriksaan hess screen dilakukan di ruang gelap supaya tidak ada detail
dari dinding yang terlihat melalui kacamata merah hijau. Pasien duduk 50 cm dari
layar hess dengan kepala tegak, immobile menggunakan penopang dagu atau
penopang kepala. Mata yang menggunakan kacamata merah merupakan mata
fiksasi. Untuk memeriksa mata kiri, mata kanan menggunakan kacamata merah.
Mata kanan ini hanya melihat marker merah. Mata kiri dengan kacamata hijau
hanya melihat marker hijau.8,13,14
Pasien diminta untuk menyinari layar hess dengan sinar hijau sehingga
sinar merah yang berasal dari pemeriksa menjadi berhimpitan dengan sinar hijau
yang diarahkan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pada sembilan posisi. Bila
pemeriksaan salah satu mata selesai dilakukan maka lakukan pada sisi mata yang
lain. Setiap kotak menunjukkan 10 PD pada jarak 50 cm, jadi pada kotak yang
bagian dalam menilai 30 PD dan 15 PD. Ini merupakan range setiap individu akan
menggerakkan mata untuk melihat sebuah target yang jauh dari posisi primer
tanpa menggerakkan kepala. Bagian kotak terluar menilai 2 kali dari jumlah
tersebut. 8,13,16
a. Gambar yang lebih kecil menunjukkan mata dengan otot yang parese.
b. Parese neurogenik akan menunjukkan underaksi yang besar pada arah otot
parese dan overaksi yang terlihat pada otot sinergis kontralateral.
- Pada mata kanan dan kiri terdapat underaksi otot oblik superior.
Gambar 7. Paralisis nervus abdusen kanan.19
- Area pada mata kanan lebih kecil jika di bandingkan dengan mata kiri.
- Mata kanan menunjukkan underaksi otot rektus lateral dan overaksi otot
rektus medial.
3.5 Indikasi
3.6 Kekurangan
KESIMPULAN
4. Parese neurogenik akan menunjukkan underaksi yang besar pada arah otot
parese dan overaksi yang terlihat pada otot sinergis kontralateral.
1. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Orbit And Ocular Adnexa. In: Fundamental
and Principles of Ophthalmology. American Academy of Ophthalmology.
Basic and Clinical Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2013-2014.pp.
13-18.
2. Khurana AK. Strabismus And Nistagmus. In Comprehensive Ophthalmology
Fourth Edition. New Delhi: New Age International (P) Limited Publisher.
2007:313-334.
3. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Anatomy Of The Extraocular Muscles. In:
Pediatric Ophthalmology And Strabismus. American Academy of
Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2. Singapore: FSC;
2013-2014.pp. 19-32.
4. Skuta GL, Cantor LB, Cioffi AG. Motor Physiology. In: Pediatric
Ophthalmology And Strabismus. American Academy of Ophthalmology. Basic
and Clinical Science Course. Section 2. Singapore: FSC; 2013-2014.pp. 41-52.
5. Koh KM, Kim US. Fresnel Prism On Hess Screen Test. Hindawi Journal Of
Ophthalmology. 2013:pp. 1-3
6. Wright KW. Anatomy And Physiology Of Eye Movements. In Pediatric
Ophthalmology And Strabismus. New York. Springer;2003.pp.125-140.
7. Hanif S, Rowe FJ, Connor AR. A Comparative Review Of Methods To Record
Ocular Rotations. Br Ir Orthopt Journal. 2009;6:pp.47-51.
8. Roodhooft JM. Screen Test Used To Map Out Ocular Deviations. In Bull Soc
Belge Ophthalmology.2007;305:pp. 57-67.
9. Billson F. A Simple Reflex Model Of Normal Binocular Vision. In Fundamental
Of Clinical Ophthalmology. London. BMJ publishing;2003.pp. 7-13.
10. Dubois L. The Ocular Motility Evaluation. In Clinical Skills For The
Ophthalmic Examination Basic Procedures. USA: 2006.pp.83-86.
11. Dhar SK. Diplopia A Practical Approach.2015;20(9):pp. 64-66.
12. Wang L, Qiu F, Yu D, et al. A Digital Diagnosis Instrument Of Hess Screen
For Paralytic Strabismus.2007:pp.1234-1237
13. Von noorden GK. Campos EC. Examination Of The Patient II. In: Binocular
Vision And Ocular Motility.USA.2002.pp.192-194.
14. Anson AM, Davis H. Ocular deviation. In Diagnosis And Management Of
Ocular Motility Disorders.India: Replica Press.2006.pp. 86-87.
15. Bergamin O, Zee DS, Roberts DC, et al. Three Dimensional Hess Screen Test
With Binocular Dual Search Coils In A Three Field Magnetic System.
Investigative Ophthalmology And Visual Science. 2001;42(3):pp.660-667.
16. Hall GR. The Hess Screen Test.American Orthoptic Journal.2006;56:pp.166-
174.
17. Anson AM, Davis H. Neurogenic Palsies. In Diagnosis And Management Of
Ocular Motility Disorders.India: Replica Press.2006.pp.352.
18. Danchaivijitr C, Kennard C. Diplopia And Eye Movement Disorders. Journal
Of Neural Neurosurgery Psychiatry. 2004;75:pp.24-30.
19. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. China:
Elsevier.2007.pp.735-780.
20. Jethani J. Hess Charting. E Journal Of Ophthalmology. 2008.