Anda di halaman 1dari 22

Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

SEJARAH PENGELOLAAN TIMAH


DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TAMBANG TIMAH DI
BANGKA BELITUNG

Gusnelly

Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR-LIPI)


Gedung. Widya Graha, Jl. Gatot Subroto Kav. 10 Jakarta Selatan
e-mail: nellylipi@yahoo.com

Abstrak

Secara historis penguasaan dan ekplorasi atas tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung dibedakan
dalam dua periode pengelolaan yaitu pertama dilakukan di masa pemerintah jajahan Belanda dan kedua di era
kemerdekaan. Masa pengelolaan pemerintah jajahan Belanda, eksplorasi timah pulau Bangka dilakukan oleh
pemerintah Belanda melalui Kesultanan Palembang. Setelah lepas dari kekuasaan Belanda, pengelolaannya
dilakukan oleh Negara Republik Indonesia dengan membentuk Perusahaan Negara (PN), berubah menjadi PT
Tambang Timah (Persero) yang berkantor pusat di Jakarta. Sejarah dari perjalanan penguasaan tambang timah di
Pulau Bangka Belitung minus keterlibatan masyarakat lokal di dalamnya. Ketika Reformasi berlangsung disertai
dengan berlakunya otonomi daerah, penguasaan timah oleh PT. Timah dilemahkan melalui deregulasi tata niaga
No.146/1999 yang tidak lagi memandang timah sebagai komoditi tambang yang strategis sehingga peluang rakyat
untuk menambang terbuka lebar. Tidak lama kemudian, UU No 40 tahun2004 tentang Perseroan Terbatas juga
meminta perusahaan melakukan tanggung jawab sosialnya. Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT.
Timah.Tbk kepada masyarakat harus dilakukan mengingat bahwa masyarakat harus ikut merasakan keuntungan dan
menikmati harta kekayaan negerinya.Tulisan ini ingin menganalisis bagaimana aktifitas pengelolaan timah di Pulau
Bangka dari masa ke masa serta bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan yang dijalankan oleh PT. Timah
pada periode belakangan ini terhadap masyarakat sekitarnya.

Keywords: sejarah timah, tanggung jawab sosial perusahaan Bangka Belitung, tambang timah

HISTORY OF LEAD MANAGEMENT AND CORPORATE SOCIAL


RESPONSIBILITY TAMBANG TIMAH IN BANGKA BELITUNG

Abstract

The history of the acquisition and exploration on tin mining in Bangka Belitung divided into two periods: first
management performed during the Dutch Colonial Government and second in the era of independence. In the era
of Dutch Colonial Government, tin mining exploration in Bangka carried out by the Dutch Government through the
Palembang Sultanate. The long history of the management and control of the state without cooperative with local
community seem does not provide benefits for local communities.The reformation era and decentralization period
have been opened of tin mining access to the public. At the same time, the Act No. 40 of 2007 on Perseroan Terbatas
urged the company to undertake social responsibilities. Corporate Social Responsibility (CSR) in the tin mining of PT
Timah (Persero) Tbk played an important role. Because Corporate Social Responsibility will be create good image
ofthe company from their surrounding communities. Many people believe thatthe company will notlast long if they
only profit oriented, but their activities either directlyor indirectly be positive or negative impacton the community
around themand the people of the world. This article shows aboutt in miningactivitiesin the Bangka Islands and its
relation to Corporate Social Responsibility to the surrounding community.

Keywords: tin history, corporate social responsibility, Bangka Belitung, tin mine

Naskah Masuk : 25-9-2016 Revisi 1 :7-10-2016 Revisi 2 : 20-10-2016 Revisi Akhir : 30-10-2016

155
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

I. PENDAHULUAN

Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah
cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih
dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The
Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand,
Semenanjung Malaysia hingga Indonesia (http://himataubbbabel.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-
tambang-timah-di-bangka.html). Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau
Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah
selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan.
Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah
terbesar di Indonesia. Eksplorasi komoditas tambang timah yang berharga ini telah mewarnai ratusan
tahun periode kehidupan sosial masyarakat di daerah ini. Mulai dari masa pemerintahan Kesultanan
Palembang sampai pada masa pemerintahan orde baru dan era reformasi. Masa pemerintahan Belanda
dengan monopoli dagang VOC yang berakhir 1799 dan dilanjutkan lagi di tahun 1816-1942. Timah
juga pernah dikelola penambangannya oleh Inggris di tahun 1812-1816 (Erwiza: 2009). Pada era
kemerdekaan timah dikuasai pengelolaannya oleh pemerintah pusat sampai berakhir di tahun 1998
(era reformasi). Di tahun 2001 menteri Perdagangan dan Industri mengeluarkan deregulasi tata niaga
No.146/1999 yang menyiratkan makna bahwa pemerintahan pusat tidak lagi memandang timah
sebagai komoditi tambang yang strategis.1
Kekayaan hasil alam Pulau Bangka Belitung berupa mineral pasir timah, telah diekplorasi
lebih dari seratus tahun dengan cadangan yang cukup besar. Pulau Bangka yang luasnya mencapai
1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah
yang dikuasai oleh PT. Tambang Timah seluas 321.577 ha. KP Timah menguasai ± 10-15 % dari total
tanah yang ada di Pulau Bangka, (http: //hestybilliton.blogspot.com/2008/05/sejarah_pertambangan_
timah_di_bangka.html). Eksplorasi dari komoditi pasir timah terkorporasi dalam pasar regional dan
internasional memiliki kekuatan ekonomi yang sangat menguntungkan Pulau Bangka Belitung.
Informasi dari Commodity Research Unit tahun 2005, kontribusi Bangka Belitung sekitar 90.000
ton dari sekitar 333.900 ton timah dunia. Sementara itu, penjualan logam timah juga meningkat dari
25.870 ton pada tahun 1991 menjadi 36.040 pada tahun 1995 (Yaumiddin, 2009:106).
Apabila diperhatikan secara seksama maka Pulau Bangka tidak lagi sebuah pulau yang hijau akan
tetapi kini berganti wajah menjadi pulau yang penuh dengan lubang-lubang besar akibat penggalian
liar atau eksploitasi besar-besaran timah. Tanah tidak lagi subur, sungai menjadi keruh dan pantai pun
berubah warna menjadi coklat akibat lumpur yang dibawa sungai yang dijadikan sarana untuk pem­
buangan hasil penyaringan timah. Lebih dari 90 % produksi pasir timah Indonesia berasal dari Bangka
Belitung dan setiap hari akan bertambang jumlah kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah ini.
Ekplorasi yang sudah sangat menguntungkan itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat
pulau itu sendiri, sementara cadangan timah sudah kian menipis.
Perusahaan sudah menguasai dan melakukan eksploitasi atas sumberdaya masyarakat tanpa meli­
batkan mereka. Bahkan akses masyarakat Pulau Bangka Belitung untuk ikut merasakan keuntungan

1 Peraturan ini dimanfaatkan oleh pemerintah Propinsi Bangka Belitung dengan mengusung semangat otonomi daerah. Masyarakat Bangka
diper­kenankan melakukakan penambangan timah dan menjual ke pasar secara bebas karena tidak diperkanankan adanya monopoli lagi atas timah

156
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

dan menikmati harta kekayaan negerinya tidak pula diberikan oleh negara maupun perusahaan. Dengan
kata lain penguasaan atas sumberdaya pertambangan timah minus melibat­kan rakyat.2 Oleh karena
itu sewajarnya jika perusahaan tambang timah memikirkan bagaimana pengelolaan bisnis yang dapat
memberikan keuntungan bagi masyarakat yang selama ratusan tahun hanya menjadi penonton saja.
Masyarakat yang berada di wilayah operasi mereka berhak mendapatkan keuntungan sebagai bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan atas eksplorasi sumber daya alam mereka.
Bisnis dan penguasaan atas ekploitasi penambangan timah memiliki dampak yang begitu besar
terhadap lingkungan alam dan masyarakat sekitar daerah tambang ini pada akhir­nya memunculkan
banyak reaksi dari beberapa kalangan pemerhati lingkungan. Salah satu upaya yang ditempuh untuk
meminimalisir dampak negatif dari produksi timah adalah dengan memfungsikan peran perusahaan
tambang dalam memperbaiki lingkungan pasca tambang. Untuk itu, keberadaan Corporate Sosial
Responsibility (CSR – tanggung jawab sosial perusahaan) menjadi penting untuk terjalinnya
keterpaduan dan kebersamaan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perusahaan baik kecil maupun besar dan masyarakat sekitar area pertambangan. Izin
beroperasi baik formal dari pemerintah maupun non-formal yang berupa penerimaan dari masyarakat
dan stakeholder lain sangatlah dibutuhkan bagi keberlanjutan usaha perusahaan (Porter dan Kramer,
2006).
Tanggung jawab sosial akan menjadi salah satu strategi penting bagi perusahaan untuk mendapatkan
respon positif dari masyarakat dengan demikian keberadaan mereka dapat diterima sehingga tujuan
bisnis mereka tidak mendapatkan tantangan dari masyarakat sekitar. Melalui UU No. 40/2007, tentang
Perseroan Terbatas (PT) pemerintah secara tidak langsung menghimbau perusahaan terbatas untuk
memberikan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.Terdapat 4 (empat) motivasi perusahaan
dalam menjalankan CSR, yakni kewajiban moral, keberlanjutan (sustainability), izin beroperasi dan
reputasi. Alasan moral yang memotivasi pelaksanaan tanggung jawab sosial tersebut bisa juga didasari
oleh pandangan bahwa bahwa perusahaan memiliki tugas untuk menjadi ‘warga negara’ yang baik dan
melakukan hal yang benar.
Berangkat dari permasalahan bahwa timah sudah dikuasai oleh perusahaan sekian ratus tahun
maka satu hal yang sangat menarik untuk diketahui lebih lanjut adalah bagaimana komoditi timah
tersebut dikelola oleh perusahaan di era sekarang yang dibebani dengan tanggung jawab sosial kepada
masyarakat lokal. Penjelasan tentang bisnis tambang yang dilakukan oleh negara di masa lampau akan
memperkaya informasi seberapa besarnya pengaruh komoditas timah atas perubahan kondisi ekonomi
dan sosial maupun politik di Pulau Bangka. Sejarah juga menjelaskan bahwa ekploitasi timah pula
yang telah mendatangkan beberapa bangsa asing ke pulau kecil ini sehingga keberadaannya dikenal
sampai ke dunia internasional. Diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan kontribusi kepada
para akademisi yang tertarik mengamati masalah CSR dan juga pertambangan timah, terutama juga
para sejarawan. Apakah sejak dahulu memang timah hanya untuk negara saja, dan seberapa besar

2 Upaya untuk meminta agar masyarakat dilibatkan dalam eksplorasi timah itu sudah seringkali dilakukan. Setidaknya masyarakat Pulau
Bangka Belitung berusaha meminta perlakukan yang adil atas pembagian hasil timah yang selama ini di kuasai oleh negara melalui perusahaan
Timah. Sejak pertengahan tahun 1950-an perjuangan rakyat Bangka untuk mendapatkan bagian yang adil sudah dilakukan melalui tuntutan untuk
menjadi propinsi sendiri. Dimulai tahun 1956, ketika rakyat kepulauan ini menuntut untuk lepas dari propinsi Sumatera Selatan agar hasil tambang
timah dapat dimanfaatkan langsung oleh Bangka Belitung. Masyarakat Bangka menolak berbagi sumberdaya timahnya dengan Palembang dan
dari pemerintah pusat. Kemudian di era orde baru pada tahun 1970-an, 1980an dan kemudian 1990an tuntutan untuk menjadi propinsi sendiri
dilakukan lagi dengan harapan akan mendapat bagian langsung dari hasil timahnya untuk kesejahteraan masyarakat Bangka. Upaya untuk itu baru
berhasil di era reformasi (Erwiza; 2009c).

157
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

masyarakat dilibatkan dalam melakukan ekplorasi timah di masa kolonialisme? Informasi tentang
pelibatan masyarakat secara langsung atas eksplorasi timah di masa lalu dianggap sebagai bagian
dari tanggung jawab negara atas warga negara kala itu. Hal ini disebabkan oleh karena ekplorasi atas
pelaksanaan tanggung jawab sosial itu sendiri baru mengemuka pada periode belakangan ini di Pulau
Bangka.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Penambangan Timah

Bijih timah Bangka yang ditemukan tahun 1710 di Sungai Olim, Toboali, Pulau Bangka pengerja­
annya dilakukan secara tradisional oleh penduduk dengan cara pendulangan dan mencangkul dengan
sistem penggalian sumur atau sistem parit/kolong. Bijih timah yang dihasilkan pada waktu itu dijual
kepada pedagang-pedagang yang datang dari Portugis, Spanyol, dan Belanda. Keadaan menjadi
berubah ketika Belanda datang dan mengambil alih penggalian timah dari tangan rakyat (Somers,
2008). Belanda lalu melakukan ekploitasi besar-besaran atas kekayaan Pulau Bangka. Eksplotasi atau
penambangan timah secara besar-besaran tersebut oleh Belanda dan Inggris tanpa mengikutsertakan
penduduk pribumi. Dalam hal ini mungkin yang dimaksud tidak melibatkan pribumi adalah bahwa
masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas penambangan timah secara pribadi akan tetapi mereka
bekerja sebagai penambang dari perusahaan.
Penguasaan pemerintah Belanda atas timah baru berakhir setelah tahun 1958 pemerintah
melakukan nasionalisasi perusahaaan Timah. Setelah terjadi nasionalisasi, untuk memenuhi permintaan
akan timah dunia, pada tahun 1971, ketika pemerintah Indonesia membuka peluang investasi untuk
pertambangan, selain Freeport, maka masuk pula Kobatin dari Australia yang mengeksplorasi timah
di Pulau Bangka dan mulai berproduksi pada 1973. Perusahaan Kayuara kemudian menjual sahamnya
kepada Malaysia. Demgan demikian kepemilikan PT. Kobatin sebanyak 75 persen dikuasai Malaysia
Smelting Corp dan 25 persen PT. Timah. Sejak pertengahan 2013 silam, pemerintah menghentikan
Kuasa Penambangan PT Koba Tin yang memiliki areal tambang seluas 41.344,26 hektare. Rencananya,
pengelolaan ladang timah akan dieksplorasi oleh PT. Timah Tbk bersama BUMD Bangka Belitung,
BUMD Bangka Tengah, dan BUMD Bangka Selatan.

B. Aktivitas Pertambangan Timah Masa Kesultanan Palembang


Banyak versi yang menyebutkan tentang awal penemuan timah di Pulau Bangka. Ada versi yang
mengatakan bahwa timah sudah ditambang sejak abad ke-7 Masehi yang diketahui melalui prasasti
kota kapur,3 yang ditemukan di muara Sungai Mendu, Bangka Selatan. Versi lain menyebutkan timah
pertama kali ditemukan tahun 1709, 1710 dan 1711. Namun demikian sepertinya ada kesepakatan dari

3 Prasasti itu sekarang berada di Museum Jakarta, sebagai bukti sejarah akan keberadaan kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu berisikan ucapan
selamat dari kerajaan Sriwijaya kepada masyarakat Kepulauan Bangka, terdapat ucapan doa dan hukuman dosa bagi para pemberontak atau
mereka yang mengganggu batu, sebuah janji untuk pahala di dunia-akhirat bagi orang-orang yang patuh. Berisi janji berupa doa semoga orang
yang patuh men­dapatkan berkah dalam hidupnya, berkah atas keturunannya, berkah atas kekayaan alamnya dan berkah kemakmuran tanah air
mereka. Makna lain dari prasasti ini juga dikatakan berisikan ancaman bagi siapa saja yang tidak tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh pihak
penguasa Sriwijaya. Somers. F. M, 2008, 1-2; Zulkarnain (ed), Studi Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung, Jakarta: LIPI,
2006: 33-34.

158
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

para ahli sejarah bahwa timah pertama kali ditemukan pada tahun 1710.4 Sehingga dalam beberapa
literatur menyebutkan tahun 1710 sebagai tahun pertama kali timah ditemukan di pulau Bangka.
Hal ini diungkapkan oleh ahli sejarah tambang yaitu Somers (2008) dalam tulisannya yang berjudul
“Timah Bangka dan Lada Mentok” dan juga Erwiza (2009a) dalam bukunya “Menguak Sejarah
Timah Bangka-Belitung”.5 Masuknya kongsi dagang Belanda –yang dikenal dengan Veerenigde Oost
Indische Compagnie (VOC)– ke wilayah kepulauan Bangka tidak terlepas dari lahirnya perjanjian
antara dagang antara pemerintah Belanda dengan Sultan Palembang di tahun 1662 lalu pada tahun
1668 “Sampoera” yang menyatakan dirinya sebagai raja kepulauan Bangka Belitung yang sekaligus
sebagai perwakilan dari Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda atau VOC kala itu.6 Namun belum
ada ekplorasi timah, kesultanan Palembang hanya mengandalkan lada sebagai sumber penghasilan.
Pada masa kesultanan Palembang yaitu Sultan Abdul Rahman (1662-1704) timah telah ditambang
oleh masyarakat. Timah yang dihasilkan oleh masyarakat Bangka kala itu masih dalam jumlah sedikit
dibandingkan dengan timah yang berasal dari daerah Semenanjung Melayu Malaysia. Hasil tambang
tersebut diekspor ke Malaka seterusnya dibawa ke Cina. Cina memerlukan timah untuk keperluan
mematri kotak cargo teh yang akan mereka eksport ke Eropa. Selain itu timah juga diperlukan untuk
membuat koin-koin uang sebagai alat tukar dalam perdagangan (Erwiza, 2009a).
Penambangan timah besar besaran oleh Kesultanan Palembang mulai melakukan penambangan
timah di Bangka tahun 1710. Pernikahan antara anak bupati penguasa Bangka dengan Sultan
Palembang membawa wilayah ini masuk dalam kekuasaan kesultanan Palembang di tahun 1671. Sejak
eksplorasi timah di awal tahun 1700 itu, perdagangan timah antara VOC dan Kesultanan Palembang
baru berlangsung di tahun 1740 karena sebelumnya timah berasal dari daerah Semenanjung Melayu
yaitu Malaka dan Perak.7 Penambangan timah Bangka di pertengahan abad ke-18 ini yang kemudian
mempekerjakan ribuan para kuli Cina yang dibawa ke Bangka.
Keuntungan yang diperoleh dengan menguasai Pulau Bangka yaitu dimulai aktifitas pengiriman
upeti timah. Penambangan oleh rakyat ini dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggali seperti
menggali sumur. Penambangan dengan menggunakan cara-cara tradisional ternyata hanya mampu
menghasilkan sedikit timah, sehingga VOC kewalahan menyediakan timah untuk pasar dunia (Somers,
2008:9, Erwiza, 2009a:79).
Guna memudahkan kontrol atas timah, maka Sultan Palembang menugaskan pangeran anak
bungsu sultan ke Bangka dan membangun sebuah sebuah benteng di Bangka kota (Somers, 2008;

4 Bijih timah Bangka yang ditemukan tahun 1710 di Sungai Olim, Toboali, Pulau Bangka. Pengerjaannya dilakukan secara tradisional oleh
penduduk dengan cara pendulangan dan mencangkul dengan sistem penggalian sumur atau sistem parit/kolong. Bijih timah yang dihasilkan pada
waktu itu dijual kepada pedagang-pedagang yang datang dari Portugis, Spanyol dan Belanda. Keadaan menjadi berubah ketika Belanda datang dan
mengambil alih penggalian timah dari tangan rakyat. Belanda lalu melakukan ekploitasi besar-besaran atas kekayaan pulau Bangka. Eksplotasi
atau penambangan timah secara besar-besaran tersebut oleh Belanda dan Inggris tanpa mengikutsertakan penduduk pribumi. Pusat administratif
pemerintahan berpindah ke Pangkal Pinang, sedangkan Muntok dijadikan sebagai kantor pusat Kantor Timah Belanda atau dikenal dengan Bangka
Tin Winning (BTW). dalam http://www.timah.org akses tanggal 15 Oktober 2009.
5 Dalam tulisanya Erwiza menyebutkan bahwa buku “Historiogrfi Tradisional Carita Bangka” merupakan salah satu sumber yang
mengatakan bahwa timah dieksplorasi tahun 1710 oleh Sultan Palembang sekaligus menandai mulainya bisnis perdagangan timah Kesultanan
Palembang dengan VOC (Erwiza, 2009a: 76-77).
6 Kedatangannya adalah meminta bantuan karajaan Belanda melawan Sultan Palembang yang ingin meluaskan kekuasaanya ke pulau
Bangka. Namun pada waktu itu pemerintah Belanda merasa tidak ada yang berharga yang dapat diambil dari pulua Bangka. Kemudian pulau ini
diabaikan begitu saja. Baru pada tahun 1710 timah ditemukan dan dalam perkembangan selanjutnya keberadaanya menjadi salah andalan devisa
bagi Hindia Belanda di pasar dunia, (Somers, 2008: 3-6).
7 Di tahun 1740, ketika timah sudah ditambang oleh kuli-kuli Cina, mereka juga mengirimkan upeti kepada Sultan, sejak saat itu pula upeti
dari masyarakat Bangka berhenti dan akses masyarakat atas timah mulai berkurang (Somers, 2008, 11; Erwiza, 2009a: 77) dan Ronny C, et.al.
Kepulauan Bangka Belitung. Pangkal Pinang: Yayasan Kepulauan Bangka Belitung Membangun, hal. 21-27

159
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

7-8). Kekayaan Sultan atas timah yang telah diperoleh oleh Sultan Mahmud Badaruddin digunakan
untuk membangun masjid dan istana Kerajaan Palembang. Negeri Siak merupakan daerah yang
paling sejahtera kala itu karena banyak terdapat perniagaan. Bahkan dikatakan pada abad ke-18 masa
kejayaan bagi masyarakat Palembang karena timah Pulau Bangka (Erwiza, 2009b:81). Guna menjaga
kestabilan produksi timah di Pulau Bangka, Sultan Palembang menempatkan Dipati Anum ke Pulau
Bangka dengan kesepakatan akan ada upeti untuk Kesultanan Palembang, namun itu tiak dilakukan
oleh Dipati Anum. (Somers, 2008:8-12).
Ketika Inggris menguasai Palembang 1812-1816, masyarakat Bangka menaruh harapan besar
kepada penguasa baru ini. Transisi kekuasaan dari Belanda kepada Inggris mengubah tata pemerintahan
di Pulau Bangka. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Inggris adalah membasmi para
perompak. Tindakan ini membuat masyarakat Bangka senang dan merasa damai karena tidak ada
perompak. Tidak hanya itu, pemerintah Inggris pun berani membeli timah rakyat dengan harga tinggi.
Namun karena Inggris menggunakan toke Cina (kongsi) sebagai perantara, rakyat Bangka dicurangi.
Harga yang tinggi tidak mereka berikan kepada rakyat, sehingga rakyat memberontak. Kemudian
Residen Inggris merubah sistem perantaraan, tidak lagi menggunakan kongsi tetapi langsung diserahkan
kepada wakil yang telah ditunjuk oleh Residen Inggris. Masyarakat menyambut gembira kesepakatan
itu, dan mengirim timah ke markas besar distrik dengan harga 6 perak spanyol perpikulnya. Seluruh
hutang masyarakat dengan kongsi sebelumnya akan dilunasi oleh pemerintah Inggris (Erwiza, 2009b:50
Ronny.C,2010),. Akan tetapi kebahagiaan masyarakat Pulau Bangka atas pemberantasan perompak
dan peluang kerja yang diberikan pemerintah Inggris hanya sebentar saja karena Perjanjian London
tahun 1814, Inggris harus menyerahkan semua yang pernah dikuasai Belanda, termasuk Bangka dan
baru diserahkan pada tahun 1816. Namun Belitung masih berada dibawah kekuasaan Belitung dan
baru diserahkan pada tahun 1824 kepada Belanda (Somers, 2008: 29-33).
Sejarah peralihan penguasaan atas timah diatas pada masa sebelum kemerdekaan ini memperlihat­
kan bahwa sultan Palembang yang pertama kali berkuasa atas penggalian timah, kemudian diambil alih
monopolinya oleh Belanda. Ketika berada di bawah perintah dan pengusaan dari Sultan Palembang
masyarakat Bangka masih diperkenankan untuk menggali timah meskipun secara konvensional.
Hal ini memang lebih sedikit hasilnya, akan tetapi kerusakan lingkungan masyarakat atas aktifitas
tambang itu sendiri juga kecil. Hasil galian timah masyarakat dijual kepada kerajaaan (sultan) dengan
demikian akses masyarakat atas sumberdaya alam daerahnya sehingga memberikan kesejahteraan dan
membantu perekonomian masyarakat lokal. Barangkali ini yang di masa itu dapat disebut sebagai
sebuah bentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab dalam terminologinya adalah konsep etis, tidak ada tindakan hukum yang
keras terhadap semua tindakan yang tidak mencerminkan perilaku etis. Akan tetapi konsekwensi
atas tanggung jawab itu biasanya adalah respon dari masyarakat. Tanggung jawab sosial akan meng­
hasilkan investasi sosial (social investment). Dalam tanggung jawab sosial ada roh yang melekat
yaitu kepedulian sosial yang akan menghasilkan kepercayaan (trust). Terkait dengan tanggung jawab
sosial dimasa pemerintahan Kesultanan Palembang salah satu yang paling mendasar adalah bahwa
Kesultanan Palembang membolehkan penduduk pribumi ikut menambang timah dan mendapatkan
uang dengan cara menjual timahnya kepada pemerintah. Sultan menyadari bahwa timah Bangka
harus ditambang oleh masyarakat Bangka sendiri meskipun hasilnya diserahkan kepada Kesultanan
Palembang. Masyarakat tetap mendapatkan upah sebagai pekerja tambang. Meskipun ada sebagian

160
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

dari hasil tambang diberikan sebagai upeti (masa sekarang disebut pajak) tetap ada kewajiban yang
dilakukan oleh Kesultanan Palembang terhadap wilayah Bangka. Setidaknya menjaga keamanan,
membangun infrastruktur seperti jalan desa menjadi tanggung jawab pemerintahan sultan. Selain itu,
pemerintahan Palembang juga memberikan perhatian yang besar tehadap perekonomian masyarakat
dengan membantu pertanian lada dan juga karet. Selain itu pula upaya ini juga termasuk salah satu
strategi pemerintah untuk mencegah masyarakat melakukan penyelundupan timah karena sumberdaya
yang lain masih mungkin untuk dimanfaatkan oleh penduduk lokal.

1. Tambang Timah Pada Masa Kolonialisme Belanda


Pada era kolonialisme Belanda, eksploitasi besar-besaran atas timah baru dimulai tahun 1720
yang dibiayai oleh para pengusaha Belanda yang tergabung dalam VOC dan sekaligus menjadi awal
monopoli atas seluruh tambang timah Bangka. Penggalian timah di Pulau Belitung dimulai tahun
1852 dan di Pulau Singkep tahun 1812.8 Penambangan timah semakin diintensifkan dan oleh karena
itu pada setiap wilayah ditempatkan seorang residen yang menjadi kepala operasi pertambangan
timah di Kepulauan Bangka. Kepala pertambangan ini dibantu oleh enam inspektur pertambangan
pada beberapa distrik, dan satu orang pembantu Residen yang bertugas melakukan pengelolaan pasar
timah di masyarakat (Somers, 2008: 33-34). Pertambangan timah di Pulau Bangka dikelola oleh
badan usaha pemerintah kolonial “Banka Tin Winning Bedrijf” (BTW), sedangkan di Belitung dan
Singkep dikelola oleh perusahaan swasta Belanda, masing-masing Gemeeenschappelijke Mijnbouw
Maatschappij Biliton (GMB) dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM).9
Pergantian penguasa memunculkan pergantian sistem terhadap pengelolaan timah Bangka. Sistem
pengelolaan timah oleh kolonial menyebabkan dan berdampak tersingkirnya penduduk lokal dari usaha
penambangan timah dan dimulainya rekruitmen pekerja tambang didatangkan dari Tiongkok10 yaitu
etnik Cina.11 Melalui para kuli Cina ini pula diperkenalkan penambangan timah dengan penggunaan
mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk
dan berat timah. Kuli-kuli Cina menambang dengan menggunakan roda dan pompa, lalu dibuat bak
penampungan air untuk mengalirkan air yang berguna untuk memisahkan pasir dengan bijih timah.
Sejak masuknya pekerja tambang Cina ini pula, mulai dikenal istilah koeli dan kongsi.12
Ternyata mengurus para pekerja Cina ini tidaklah mudah. Mereka menolak pembayaran dengan
menggunakan uang logam Belanda dan meminta pembayaran dengan mata uang perak Spanyol,
padahal mata uang perak kala itu sangat langka. Pada masa itu mata uang perak Spanyol memiliki

8 Erwiza, 2010, Politik Protes dan Etnisitas; Kasus Buruh Cina Tambang Timah di Bangka Belitung. Jurnal Masyarakat Indonesia, Edisi
XXXVI N0.1; 2010
9 http://hestybilliton.blogspot.com/2008/05/sejarah-pertambangan-timah-di-bangka.html tanggal akses 14 Oktober 2009
�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Para pekerja tambang etnik Cina ini tidak hanya didatangkan dari Tiongkok akan tetapi juga didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda
dari kawasan Asia Tenggara seperti dari Kalimantan dan Johor. Pekerja dari Tiongkok pada umumnya berasal dari daerah pegunungan Guangdong
dengan bahasa utamanya adalah hakka. Mereka bermigrasi secara bertaha-tahap dan memilih wilayah perbukitan sebagai tempat tinggal yang
paling ideal. Kemiskina menyebabkan mereka menyebabkan mereka bersedia menjadi pekerja tambang bahkan rela keluar wilayah Tiongkok
mencari penghidupan. Kaum perempuan pun memiliki semangat kerja yang tinggi, sehingga ketika mereka pada akhirnya ada yang hijrah ke
Bangka dan menjadi koeli tambang bukanlah suatu yang anah bagi mereka. Bangsa Hakka yang ulet menjadi kelompok Cina terbesar yang tinggal
di kawasan pertambangan di Asia Tenggara, Somers, 2008: 44-45.
����������������������
Zulkarnaen (ed),2005
Istilah kuli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze
����������
yang artinya penanganan atas dasar usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Pada masa
penambangan oleh etnik Cina ini pula dikenal istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun
pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya. (Somers, 2008, hal:38-43) ; lihat juga http://hestybilliton.blogspot.com/2008/05/sejarah-
pertambangan-timah-di-bangka.html tanggal akses 14 Oktober 2009.

161
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

nilai jual yang tinggi di Asia Tenggara dan juga di Tiongkok. Tidak hanya melakukan protes atas
pem­bayaran upah, para kuli ini melakukan penumpukan hutang dengan penguasa. Kuli (pekerja)
diwajibkan membeli beras yang telah disediakan oleh pemerintah Belanda setengah pikul setiap
bulannya dan membayarnya dengan hasil tambang timah yang dia peroleh. Pada mulanya mereka
mampu memberikan keuntungan untuk Belanda, namun ketika sebagian besar kuli tidak mampu
memproduksi timah yang cukup untuk membayar hutangnya, maka pemerintah mengalami kerugian.
Pada akhirnya tahun 1839, beras yang disediakan untuk pekerja tambang ini dipilih beras dengan
kualitas buruk dan mereka menolaknya dan melakukan pemogokan kerja.
Setelah melakukan pembenahan dalam beberapa hal, termasuk pembenahan dalam pelayanan
kesehatan dan administrasi keuangan, pemerintah Belanda menaikkan upah kuli. Produksi timah
dibatasi sampai dengan 25.000 hingga 30.000 pikul timah dengan upah fl 3.50 atau 6 dollar Spanyol/
pikul. Dengan kemurnian timah yang berkualitas nomor satu, timah Bangka mendatangkan keuntungan
yang sangat besar buat pemerintah kolonial. Sejalan dengan itu, arus masuk tenaga kerja dari Cina
terus berlangsung (Somers, 2008: 33-37).
Melihat dan mempelajari situasi yang terjadi di masa masuknya pekerja dari Tiongkok, maka
yang paling dirugikan adalah para pekerja tambang pribumi. Kehadiran pekerja tambang yang sengaja
didatangkan dari daratan Tiongkok menyebabkan akses penduduk lokal pada komoditas timah kian
dijauhkan. Komoditas strategis dan kegiatan penambangan hanya boleh dilakukan oleh penguasa,
pen­duduk lokal semakin dipinggirkan (Zulkarnaen, 2005). Ketimpangan ekonomi dan sosial antara
penduduk pribumi dengan pendatang menjadi persoalan yang sangat tajam pada masa itu. Perlawanan
atas perlakuan tidak adil dari pemerintah Belanda ini memancing kemarahan kelompok pribumi. Salah
satu etnik Cina yang sudah mulai melebur dengan kaum pribumi membantu perjuangan melawan
pemerintah Belanda kala itu. Salah satu tokoh Melayu Depati Amir yang menentang Belanda. Bersama
dengan beberapa tokoh Cina yang sudah melebur dengan masyarakat pribumi, pemberontakan Depati
Amir cukup menguras tenaga pasukan Belanda.
Memasuki abad ke-20, mengingat pentingnya posisi Bangka, pemerintah kolonial memutus­
kan untuk membentuk pemerintahan karesidenan tersendiri. Berbagai fasilitas dibangun di Bangka
dan Belitung untuk menjaga kepentingan aset Belanda serta memperlancar kegiatan penambangan
timah, seperti rumah sakit, sekolah, bahkan perusahaan air minum. Jalur kereta api pun dibangun di
kawasan Belitung yang selanjutnya menjadi sarana utama untuk angkutan umum dan para pekerja
tambang timah.13 Meskipun perlawanan dan pemerintah manyadari akan pentingnya arti Kepulauan
Bangka bagi mereka, namun kondisi masyarakat di sekitar tambang tak jauh berbeda, sebagian besar
tetap miskin. Kesadaran untuk memperhatikan masyarakat sekitar lokasi penambangan tak kunjung
diperlihatkan oleh perusahaan.
Penyelundupan dan perompakan atas timah Bangka adalah bukti atas perlawanan mereka kepada
kaum mereka sendiri. Tanggung jawab sosial pemerintahan kolonialisme terhadap kemakmuran masya­
rakat Bangka sangat kecil, apalagi dengan mendatangkan kuli Cina sebagai tenaga kontrak di tambang.
Bangka merasa terabaikan sehingga menyebabkan munculnya ketegangan yang bersifat permanen.
Masa Jepang dan revolusi, perdagangan timah illegal ke Singapura marak. Dan telah berhasil membantu
rakyat Bangka yang begitu sengsara, karena putusnya hubungan dengan Pulau Jawa. Pada waktu ini

Ronny C, et. al. ibid, hal. 57.


������������

162
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

dikatakan bahwa hampir 90% rakyat Bangka dan aparat terlibat dalam penyelundupan. Masyarakat
kelompok pribumi memandang pendatang adalah sebuah dunia permusuhan yang menolak kaum
pribumi namun pada saat yang sama ini tidak lebih dari sebuah ungkapan rasa cemburu (pribumi)
terhadap kelompok tertentu (pendatang lain).14 Kaum pribumi tidak pernah berhenti bermimpi untuk
menggantikan posisi pendatang. Kaum pribumi selalu terjaga karena dia dapat memahami kesulitan
banyak simbol dari dunia kolonial tetapi tidak pernh pasti apakah dia telah menyebrangi perbatasan
atau tidak (Fanon: 1963).

2. Aktivitas dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Timah Era Kemerdekaan

a. Masa Orde Lama


Seperti dikatakan sebelumnya, untuk daerah Bangka pengelolaan tambang timah dilakukan oleh
Pemerintah Hindia Belanda yaitu Bangka Tinwinningbedrijf (BTW). Pada tahun 1953 kekuasaan
atas BTW ini diambil alih oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah R.I No. 96 tahun
1961.15 Luas wilayah pulau yang mencapai 1.294.000 ha, hampir 27.60 persen daratannya atau seluas
321.577 ha merupakan lahan tambang timah yang menjadi wilayah Kuasa Penambangan PT. Timah
Tbk. Selain itu ada pula perusahaan Kayuara dari Australia yang mengeksplorasi timah di Pulau
Bangka yang mulai berproduksi pada 1973 dan menguasai area KP seluas 35.063 ha. Perusahaan
tersebut kemudian menjual sahamnya kepada Malaysia. Demgan demikian kepemilikan PT. Kobatin
sebanyak 75 persen dikuasai Malaysia Smelting Corp dan 25 persen PT. Timah, (Yaumidin, 2010 dan
Gusmaliani, 2009).
Pada tahun 1968 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1968 tanggal 5 Juli 1968
tentang pendirian PN Tambang Timah. Dibantu oleh tenaga ahli dari Belanda dan eksptariat lainnya
dari beberapa negara Eropa, aktivitas penambangan terus dijalankan. Kuli-kuli Cina yang tadinya
sudah berhenti kerja dan memilih berkebun lada, dipanggil kembali oleh pihak perusahaan dengan
janji akan diberikan gaji, makanan, dan pakaian. Pemanggilan kemabli kuli-kuli Cina tersebut karena
perusahaan mengalami defisit tenaga kerja usai PD II (Erwiza, 2010: 19). Bahkan perusahaan juga
menarik hati masyarakat dengan mempekerjakan pula sebagai kuli-kuli tambang meskipun jumlahnya
tidak banyak. Pada tahun 1947, terdapat sekitar 9.435 orang Cina dan 3.952 orang Indonesia yang
bekerja di perusahaan tambang, lihat tabel berikut ini. Meskipun berkali-kali pula aksi mogok protes
dilakukan orang Cina namun perusahaan selalu berhasil membuat kuli-kuli tersebut kembali bekerja
(Somers, 2008: 192).

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Dihadapkan pada dunia yang diatur oleh pendatang, pribumi selalu dianggap bersalah dan diperlakukan sebagai inferior. Pendatang
menghidupkan kaum pribumi dengan sebuah kemarahan yang berasal dari tindakan kolonialisasi dan kaum pribumi terjebak dalam ikatan yang
kuat dari rantai kolonialisasi. Akan tetapi dengan membuka diri pada dunia luar, mereka (masyarakat terjajah) menemukan kekerasan dalam
atmosfir dan menyapu rejim kolonial.
���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Peraturan ini sekaligus menetapkan berdirinya perusahaan tambang pertama di Indonesia yaitu Pendirian PN.Tambang Timah Bangka.
Di daerah Belitung, penguasaan atas tambang timah semula diusahakan oleh swasta Belanda yaitu Gemeenschaapelijke Mijnbouwmaatschaapij
Billiton. Dengan berdirinya PN. Tambang Timah Bangka ekuasaan Belanda atas timah Belitung berakhir, setelah berakhirnya dialihkannya
penguasaan tambang timah kepada PT Pertambangan Timah Belitung yang selanjutnya dijadikan PT Tambang Timah Belitung berdasarkan
Peraturan Pemerintah R.I Nomor 95 Tahun 1961. Kemudian di tahun yang sama di daerah Singkep didirikan PN Tambang Timah Singkep yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.97 Tahun 1961. Keseluruhan PN Tambang Timah (Bangka,Belitung dan Singkep) tersebut di atas
berada di bawah koordinasi B.P.U Timah atau Badan Pimpinan Umum Timah,yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun
1961.http://wartapraja.wordpress.com/2008/08/04/lintasan-perjalanan-sejarah-pttimah tanggal akses tanggal 15 Oktober 2009

163
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

Tabel 1: Tenaga Kerja Perusahaan Pertambangan di Bangka tahun 1947

No Jenis Pekerjaan Orang Cina Orang Indonesia


1. Buruh Tambang 4004 orang 1387 orang
2. Bagian administrasi 569 orang 30 orang
3. Bagian lainnya 3384 orang 1287 orang
4. Buruh harian 1478 orang 1257 orang
TOTAL 9435 orang 3952 orang
Sumber: Somers, 2008; 193

Sebelum keluar Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1968, pada tahun 1958, sudah dilakukan
nasionalisasi perusahaan Belanda, GMB dihapuskan dan porsi saham terbesar diambil alih oleh
Indonesia, efeknya semua pegawai Belanda (asing) yang bekerja pada pertambangan dipulangkan ke
negaranya. Pada tahun 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah
Negara (BPU PN Tambang Timah) untuk mengkoordinasikan ketiga perusahaan negara tersebut. Pada
tahun 1968, ketiga perusahaan negara dan BPU tersebut digabung menjadi satu perusahaan yaitu
Perusahaan Negara (PN) Tambang Timah.16
Pada masa orde lama dapat disimpulkan bahwa monopoli timah berada pada negara. Pada tahun
1960, melalui UU No. 37 tahun 1960 sebagai pengganti Mijnwet 1898 memyatakan dalam pasal
11-nya bahwa “Pertambangan rakyat hanya dapat dilakukan oleh rakyat setempat yang memegang
kuasa (izin) pertambangan rakyat”. Pertambangan rakyat hanya bisa dilakukan atas izin menteri
karena per­tambangan berada dibawah kuasa menteri pertambangan. Sangatlah sulit bagi rakyat untuk
membuat permohonan izin tersebut karena birokrasinya rumit dan memakan waktu lama dan biaya
besar. Akibatnya masyarakat memilih menambang dengan sembunyi-sembunyi, dan jika tertangkap
akan ditembak oleh tentara atau dipenjara. Di era tahun 1950-an CSR yang kita ketahui saat ini lebih
dikenal dengan nama Social Responsbility (SR). Bowen (1953) sebagaimana disitir oleh Setiari (2014)
dalam bukunya Social Responsibilities of the Businessman berargumen bahwa ratusan perusahaan
yang berjalan pada saat itu memiliki pengaruh yang sangat besar pada kehidupan masyarakat di
berbagai sisi. Social Responsibilities mesti dipertimbangkan dalam setiap keputusan-keputusan bisnis,
sehingga bisnis akan bisa melindungi kepentingan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat (Yaumiddin
(ed), 2014).
Di bawah penguasaan PT. Tambang Timah, penguasaan timah tetap tidak dapat diakses langsung
oleh masyarakat Bangka. Akibatnya rakyat kembali beraksi dengan mencuri timah yaitu dengan
melakukan penyelundupan. Pada awal tahun 1970-an, tingkat penyelundupan timah oleh masyarakat
cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan penuhnya penjara Pangkal Pinang oleh para penyelundup timah
yang tertangkap. Bahkan, dalam laporan mereka terungkap, sebuah operasi militer yang dikerahkan
pemerintah pusat untuk meredam penyelundupan timah di daerah Belinyu menewaskan sekitar 500
orang. Jumlah ini belum termasuk mereka yang menemui ajal di penjara, yang jumlahnya pun tak
kurang dari 500 orang (Erwiza, 2009b, Zulkarnain, 2005:60).
Pertambangan dalam prakteknya hanya dilakukan oleh perusahaan dengan mempekerjakan
rakyat sebagai kuli-kuli saja, dan staf ahli beserta dengan pegawai urusan administrasi dipilih dari
luar Bangka. Para staf pekerja kerah putih sebelum dinasionalisasi pada umumnya didatangkan dari
Belanda. Kehidupan karyawan timah yang kala itu mewah hanya dirasakan oleh sebagian kecil dari

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
http://www.hestybilliton.blogspot.com/2008/05/sejarah-pertambangan-timah-di-bangka.html akses tanggal 14 Oktober 2009

164
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

masyarakat Bangka. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ada jarak yang terbangun antara mereka yang
memiliki akses ke perusahaan dengan yang tidak memiliki akses.
Tanggung jawab sosial perusahaan kala itu hanya ditunjukan dengan membangun beberapa
sekolah, pembangunan jalan dan jembatan yang kiranya menjadi akses untuk perusahaan timah.
Kecemburuan atas perlakuan tidak adil terhadap masyarakat Bangka menumpuk dendam yang setiap
saat siap untuk meledak (Rahmakita,2009). Pada akhirnya dengan dilakukan nasionalisasi, masyarakat
berharap pemerintah dan perusahaan timah akan memberikan kesempatan yang besar untuk rakyat
Bangka Belitung merasakan nikmatnya timah mereka. Perusahaan tidak bisa hanya berpikir mengenai
keuntungan bisnis semata, tetapi juga harus bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang ditimbulkan
dari operasional perusahaan terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya.

b. Pemerintahan Orde Baru


Aksi penambangan ilegal yang terus saja terjadi dan penyelundupan yang tidak kunjung selesai,
membuat pemerintah pusat harus memikirkan langkah yang tepat. Di tahun 1967, pasca terbentuknya
pemerintahan orde baru, pemerintah mengeluarkan UU No.11 tahun 1967 tentang ”Ketentuan –
Ketentuan Pokok Pertambangan”. Peraturan baru ini dengan tegas menyatakan dalam pasal 1 nya
bahwa:
semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-
endapan alam sebaggai karunia Tuhan YME, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya
dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Meskipun ada aturan yang jelas bahwa rakyat dapat mengakses tambang secara langsung meski­
pun berada dibawah kekuasaan negara, namun dalam prakteknya rakyat tetap saja jadi penonton.
Mereka yang dapat merasakan kenikmatan dari tambang hanya para pegawai atau kuli-kuli tambang
yang bekerja di perusahaan tambang timah.17 Tidaklah mudah akses menjadi pegawai PT. Timah
meskipun sebagai tukang gali timah. Hanya para sarjana tambang dari ITB yang berhak menjadi staf
dan karyawan di perusahaan ini. Hal ini menyakitkan buat masyarakat Bangka, namun mereka tidak
bisa melawan pemerintah yang berkuasa. Minat yang cukup besar untuk menjadi karyawan timah ini
juga didorong oleh berbagai fasilitas yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya. Selain
menerima gaji yang cukup besar, karyawan juga diberikan bantuan beras, minyak goreng, gula dan
mentega. Segala sarana dan prasarana untuk keperluan pegawai juga disediakan oleh perusahaan.
Sehingga tidak pula mengherankan jika para pemuda lajang menjadi incaran para gadis.18 Sekali lagi
di masa timah sudah dikelola oleh perusahaan nasional, masyarakat Bangka tetap saja hanya menjadi
penonton. Tanpa disadari oleh penguasa timah, ketidakpedulian itu suatu saat akan mereka tumpahkan
hanya dalam bentuk dan cara yang bagaimana hanya menunggu waktu saja (Gusnelly, 2009).
Persoalan yang terpenting di orde baru ini adalah kebijakan pemerintah yang memberikan keper­
cayaan kepada para petingggi militer untuk memegang kendali pada beberapa perusahaan penting
di Indonesia. Militer akan bekerja dengan menangkap dan memenjarakan siapa saja yang mencoba
memasuki ruang pengelolaan timah tanpa izin dari rezim yang berkuasa. Masyarakat dilarang
mendekati kawasan pertambangan apalagi melakukan aktifitas penambangan ilegal. Sehingga tidak

���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Dari hasil wawancara dengan masyarakat Bangka diperoleh informasi bahwa jika ada masyarakat Bangka yang diangkat menjadi
karyawan PT. Timah maka posisi mereka adalah karyawan tambang atau bekerja di bengkel. Jarang sekali posisi staf atau pegawai bagian
administrasi perkantoran dipegang oleh orang Bangka asli.
��������������������������������������������������������������������������������������������
Wawancara dengan bapak Heri tanggal 7 Mei 2009 di Pangkal Pinang. dan Ibu Mar, Juni 2007.

165
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

heran jika pada masa orde baru, penyelundupan merajalela dengan nyawa sebagai taruhannya (Erwiza,
2009,c ,Andiko2006).
Selain itu para pengusaha Cina memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan politik orde baru.
Masyarakat Bangka semakin sulit memainkan perannya dalam dunia tambang di daerahnya sendiri.
Bahkan ketika permintaan akan timah yang terus meningkat, perusahaan timah tidak memberikan
peluang untuk terbukanya tambang rakyat, akan tetapi memberikan peluang kepada swasta asing
berperan di Bangka. Pada tahun 1975, ditandai pula sebagai tahun masuknya PT. Kobatin menjadi
mitra dari Perusahaan Timah. Masyarakat hidup dengan bertanam lada dan menjadi nelayan. Bagi
rakyat Bangka, biarlah hanya lada saja yang menjadikan orang Bangka dikenal. Mereka tidak berani
berhadapan dengan penguasa karena tambang adalah kuasanya penguasa.
Pada tahun 1990, perusahaan Timah mengalami defisit anggaran karena terjadinya penurunan
produktifitas, sementara jumlah karyawan yang banyak yaitu 24.032 orang terasa makin memperburuk
kondisi keuangan perusahaan. Pada akhirnya Dr.Ir. Kuntoro Mangkusubroto, MSc, Direktur Utama PT
Tambang Timah pada waktu itu mengambil keputusan untuk melakukan penekanan biaya, penghematan,
perampingan organisasi dan penghapusan fungsi-fungsi manajemen yang berlebihan, serta hidup
lebih sederhana (Kamil,2006) Tindakan ini pada akhirnya berdampak pada kehidupan karyawan yang
berada di bidang operasional tambang. Tindakan restrukturisasi pada akhirnya menyebabkan ribuan
karyawan perusahaan timah di pensiunkan lebih awal. Pensiun Dini, diperuntukkan bagi karyawan
yang berusia 50 - 54 tahun dengan masa kerja 20 tahun. Proses pembayaran diserahkan kepada
karyawan, apakah dengan sistem pembayaran sekaligus atau dengan penerimaan uang pensiun setiap
bulan. Sebenarnya dalam proses restrukturisasi ada juga metode pemberhentian lain dengan masa
tunggu. Selain pengurangan jumlah karyawan, perusahaan timah juga memindahkan kepemilikan
asset-aset perusahaan kepada pihak lain, seperti rumah sakit, sekolah, bengkel dan wisma-wisma
timah di lepaskan kepada pihak lain sehingga biaya dapat ditekan.
Secara ekonomi kebijakan restrukturisasi adalah sebagai langkah untuk menembus ketatnya
persaingan pasar dan akhirnya membawa perusahaan timah mampu untuk ‘go international’ dengan
mencatatkan sahamnya pada Bursa Efek Jakarta dan London Stock Exchange. Menyadari bahwa
peran mereka sebagai perusahaan besar maka harus mulai diperhitungkan tentang bisnis berkelanjutan
dengan mengorbankan sedikit tambahan biaya untuk pengelolaan lingkungan dan penerapan CSR.
Tindakan ini disebut tanggung jawab sosial walaupun dibalik itu adalah untuk memperbaiki citra
perusahaan (Yaumiddin, 2009).
Beberapa pekerjaan pembangunan masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk pelayanan
kesehatan atau membangun fasilitas rumah sakit dilakukan oleh perusahaan dengan bantuan pihak
ke tiga yang sifatnya sebagai suatu projek. Ketika pihak ketiga melaksanakan projek pembangunan
Rumah Sakit, pihak perusahaan meminta untuk melibatkan masyarakat lokal sebagai pekerja sehingga
memberikan penghasilan bagi masyarakat setempat. Demikian pula hal nya dengan proyek rehabilitasi
bekas lahan tambang. Biasanya perusahaan juga melakukan ini sebagai bagian dari kewajiban dan
tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Rehabilitasi bekas lahan tambang dengan cara penanaman
pohon kembali dikerjakan oleh pihak ketiga. Kegiatan lainnya adalah pemberian bantuan perusahaan
kepada masyarakat dulu dikenal sebagai (Community Development). Kegiatan CD ini merupakan
salah satu bagian dari kewajiban perusahaan dalam memenuhi janjinya pengelolaan terhadap dampak
lingkungan pada aspek ekonomi-sosial-budaya yang berfungsi sebagai pagar sosial. Perusahaan

166
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

mencoba meraih simpati masyarakat Bangka yang sudah sejak lama terabaikan dengan memberikan
berbagai bantuan dana dan membangun beberapa infrastruktur.

c. Periode Reformasi dan Otonomi Daerah


Memasuki era reformasi pasca kejatuhan presiden Soeharto, kemudian memunculkan Habibie
sebagai penggantinya, ada banyak perubahan penting yang terjadi dalam sistem pemerintahan
Indonesia.Kecenderungan kuat atas perkembangan dinamika bisnis dunia telah menjadikan masyarakat
sipil lebih kritis terhadap segala dampak kebijakan perusahaan dan negara. Negara sebagai penyedia
karpet merah dan payung hukum imunitas penyelenggara bisnis, dan korporasi bergerak layaknya
eksekutor bisnis. Masyarakat sipil dan lingkungan seringkali mendapatkan kompensasi berimbang
atas eksploitasi fisik dan natural yang telah dilakukan korporasi dan negara “One person’s profit may
be another’s toxit dump” ( Setiari, 2014). Hal inilah yang terjadi di era reformasi yang pada akhirnya
menjatuhkan rezim orde baru dan melahirkan otonomi daerah sekaligus memunculkan penguasa-
penguasa baru di Indonesia
Perubahan sistem pemerintahan kemudian memaksa perusahaan timah untuk melakukan
perubahan nama dari Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Timah menjadi Perusahaan (Perseroan)
PT. Timah Tbk di tahun 1998. Seiring dengan itu, setahun kemudian lahirnya UU No.22 tahun 1999
tentang pemerintahan Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Kebijakan baru ini, pada mulanya disambut dan diterima baik oleh warga masyarakat karena
otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah untuk lebih berkuasa dan berwenang mengatur
tata pemerintahan dan keuangan dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan yang
dikehendaki. 19
Sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, bahwa PT. Timah telah melakukan kewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebelum peraturan pemerintah dikelalaurkan. Penyebutan
istilah CSR pada program perusahaan lebih dikenal dengan istilah Community Development (CD).
Setiap tahun sejak 2004, pengelolaan CSR/CD PT Timah Tbk dilakukan dengan tema tahunan yang
berbeda. Misalnya pada tahun 2004 temanya adalah “Memasuki Cakrawala Baru” (Toward a New
Horizon) dengan semangat mengembalikan Timah sebagai perusahaan dengan kinerja yang baik
ditandai dengan meningkatnya kontribusi PT.Timah dalam pengembangan masyarakat (bidang sosial
kemasyarakatan) dan ekonomi dalam program (PUKK) maupun lingkungan.20 Pada tahun 2005,
dilanjutkan dengan tema “Memberdayakan Potensi” (Unleashing the Potential). Tahun 2006 tema

19 Hanya saja pada masa reformasi, penduduk Bangka mendadak banyak yang menjadi kaya mendadak karena harga lada yang melonjak di
tahun 1997-1998. Harga lada bahkan mencapai Rp. 125.000,-/kg dan tentu saja petani lada menjadi kaya. Dari hasil wawancara dengan beberapa
nara sumber, pada situasi krisis petani lada Bangka malah sejahtera, penjualan kendaraan bermotor, eletronik dan perabotan rumah tangga lainnya
meningkat tajam. Ditengah rakyat Bangka yang sedang bahagia, masyarakat Cina Bangka yang tinggal diluar Bangka (terutama di Jakarta)
berdatangan ke Bangka mencari keselamatan karena ketakutan akan aksi pemberanggusan terhadap etnis Cina yang terjadi di beberapa lokasi.
Tidak orang Cina, orang-orang Jawa yang kehilangan karena PHK pun memasuki Bangka untuk bekerja sebagai buruh harian di kebun lada.
Tidak heran, pasca reformasi dari tahun 1997-2000 terdapat banyak perkebunan lada yang mempekerjakan buruh dari Jawa, padahal selama
bertahun-tahun kebun lada hanya dikerjakan oleh penduduk lokal bersama anggota keluarganya dan sebagian kecil dari Palembang, Lampung dan
daerah lainnya. Sesaat keinginan untuk menambang timah terlupakan, sampai kemudian kebijakan otonomi daerah membawa perubahan terhadap
dinamika kehidupan rakyat Bangka.
20 Masih banyak permasalahan baik yang bersifat administratif maupun perencanaan dan pemilihan program CSR, namun pada tahun 2007
PT. Timah dengan dibantu lembaga consultan dari GRI G3 (Global Reporting Initiative) telah menyusun laboran keberlanjutan tahun 2007 yang
pada intinya memberikan acuan lepada preusan dalam menilai implementasi kegiatan CSR, wawancara dengan manajer Divisi CSR PT. Timah
tanggal 18 April 2009.

167
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

yang diambil adalah “Mewujudkan Kepedulian” (Responding to Stakeholder Concern) dimana dalam
tahun ini dibentuk komite CSR. Kepentingan stakeholder adalah tujuan yang harus dicapai perusahaan.
Masyarakat Bangka Belitung belum menyadari makna dari perubahan itu karena mereka sedang
menikmati euphoria lada yang lagi booming kala itu. Timah yang sudah lama tidak mampu mereka
jangkau tidak lagi dipikirkan karena ada lada yang menghasilkan uang yang besar untuk kesejahteraan
kala itu. Namun masa kejayaan lada tidaklah lama karena pasca pemberlakukan UU Otonomi Daerah
yang disertai dengan kejatuhan lada, keluar SK Menperindag Nomor. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal
22 April 1999 bahwa Timah diketegorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status
timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan dapat dieskpor
secara bebas oleh siapapun. Hal ini memberi arti penting bagi masyarakat Bangka dan Belitung bahwa
ini merupakan kesempatan untuk membuktikan mereka mampu mengelola kekayaan alam bagi
kesejahteraan masyarakatnya.
Peluang ini dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat Bangka untuk men­dapatkan
kekuasaan atas timah. Pemerintah Daerah kemudian mengeluarkan beberapa peraturan untuk mela­
kukan pengelolaan atas timah yaitu:
1. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 200121, Tentang Pengelolaan Pertambangan Umum.
2. Peraturan Daerah No. 20 tahun 2001 Tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana
Perdagangan Barang Strategis.
3. Peraturan Daerah No. 21 tahun 2001 Tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral
Sejak keluarnya Perda diatas maka muncullah tambang timah inkonvesional yang lebih dikenal
dengan sebutan TI. Inilah babak baru penguasaan timah dilakukan oleh daerah bersama dengan
masyarakat lokal. Timah bahkan menjadi alat atau kendaraan politik bagi sekolompok politisi lokal.
Konflik antara para politisi, pejabat daerah yaitu Pemerintah Kabupaten dan Provinsi dipenuhi oleh
muatan dan kepentingan politik, terlebih setelah Negeri Serumpun Sebalai ini resmi menjadi Provinsi
baru tanggal 21 November 2000.
Pasca pemberlakuan otonomi daerah, masyarakat provinsi baru ini mengalami kesulitan dalam
perekonomian. Selama ini masyarakat memang tidak bergantung pada timah karena ada lada, ketika
lada tidak lagi dapat diharapkan maka masyarakat kembali merasa bahwa timah adalah milik mereka.
Tidak heran ketika Perda No 6 tahun 2001 dikeluarkan, masyarakat melakukan penambangan secara
liar. Akan tetapi, keterbatasan dari sektor pertambangan sebagai unrenewable resources sudah
menuai keterbatasannya (Gusnelly, 2008). Pemerintah menyadari bahwa masyarakat Bangka sudah
mulai meradang, aksi perlawanan sudah pasti terjadi. Pemerintah daerah memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengali timah secara inkonvensional di areal KP. Milik Pemda dan pemda
mengeluarkan SK Bupati Bangka N0.6 tahun 2001. Mereka yang akan menambang harus mengajukan
izin kepada pemerintah daerah dan hasil tambang akan dibeli oleh pemerintah atau perusahaan dengan
harga yang sesuai standar. Sejak keluar SK bupati Bangka, penambangan timah dan industri pencairan
timah mulai bemunculan. Tahun 2001 saja, Sujitno (2007:290) mencatat ada 5.257 TI di Bangka dan
734 di Belitung.

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Perda ini dibuat oleh pemerintah Kabupaten Bangka tanpa adanya kesepakatan dengan pemerintah Propinsi. Propinsi merasa dilangkahi
sehingga konflik antara pemerintah kabupaten dan propinsi pun tidak dapat dihindari. Penguasa propinsi merasa kuasa tambang harusnya berada di
tangan propinsi namun dalam otonomi daerah memberikan peluang kepada pemerintah kabupaten sebagai penguasanya. Lihat lebih detail dalam
Zulkarnain, 2005, Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi, Jakarta, LIPI Press, hal 114-116.

168
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

Pada periode pertama dibukanya TI, hasilnya sangat menggiurkan karena dalam satu hari mereka
mampu menghasilkan uang sebesar Rp. 100.000,-/hari. Pada tahun 2005, informasi dari masyarakat di
Bangka Selatan mengatakan ada 2 orang bersaudara yang menjadi kaya mendadak karena menambang
timah di sebuah bukit di daerah Bangka Selatan.22 Selama tahun 2001, misalnya, produksi TI mencapai
42.000 ton, melebih produksi PT Timah yang tercatat 40.000 ton. Implikasinya, penyelundupan timah
ke luar negeri pun marak terjadi. Namun tidak disadari oleh pihak perusahaan dan pemerintah daerah
bahwa akses yang terbuka lebar bagi masyarakat melakukan TI semakin mengancam keselamatan jiwa
mereka dan merusak kondisi fisik alam. Bahkan akses penambangan secara langsung oleh masyarakat
ini dilakukan secara membabi buta. Halaman rumah mereka pun digali hanya untuk menadapatkan
harta karun yang berupa timah. Perebutan lahan antar warga sesama warga, antara warga dengan
perusahaan dan bahkan antara pemerintah daerah dengan perusahaan timah pun ribut soal lahan
tambang timah ini. Ternyata membuka akses timah kepada masyarakat juga menebar benih konflik di
berbagai tingkatan. “Bagai dendam terhadap sejarah” (meminjam ungkapan yang kerap dikemukakan
sejarawan Taufik Abdullah) (Zulkarnaen, 2005). Komunikasi antara pemerintah daerah, perusahaan
timah dan pengusaha lokal tidak jalan, sehingga TI menambah beban pemerintah daerah.
Kebijakan pertambangan yang memberikan kesempatan terbukanya TI di Bangka bukan jalan
keluar yang tepat untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menikmati kekayaan
alamnya. Masyarakat yang sekian lama memendam keinginan untuk menambang malah melupakan
batas-batas keselamatan penambangan. Realita yang terjadi di lapangan sangat menyedihkan, dimana
anak-anak usia sekolah, ibu-ibu muda dengan balita serta orang-orang tua pun diajak turut serta
menambang. Bahkan tidak jarang areal tambang rakyat (TI) menelan korban jiwa karena cara-cara
penambangan yang dilakukan rakyat membahayakan. Pengusaha yang menjadi kontraktor (pemberi
modal) tidak mau ambil risiko, mereka hanya membayar upah pekerja jika ada hasil yang didapat.
(Gusnelly, 2009) Padahal tidak semua lahan yang digali memiliki kandungan timah, sehingga tidak
heran banyak juga penambang rakyat yang mengalami rugi. Bagi mereka yang beruntung, maka
timah membawa keuntungan yang besar, inilah yang selalu membuat masyarakat lainnya selalu ingin
menambang.
Ketika pemerintah daerah mulai memperketat aturan main dalam kebijakan TI dan penjualan
kepada pihak penampung atau smelter, maka masyarakat kembali mengamuk. Misalnya pada tahun
2006, segerombolan massa menyerbu dan merusak kantor gubernur karena ditutupnya beberapa lokasi
penambangan rakyat dan ditangkapnya beberapa pengusaha smelter oleh pihak kepolisian daerah
yang bekerjasama dengan kepolisian Jakarta (Polda dan Mabes Polri Jakarta). Tujuan penutupan
untuk mengurangi perusakan lingkungan yang sudah makin parah. Tetapi aksi ini ditanggapi negatif
oleh masyarakat Bangka, sehingga mereka marah dan mengamuk. Inilah salah satu kebijakan yang
salah yang sudah ditempuh pasca otonomi daerah (Erwiza, 2009c). Salah membaca aspirasi masya­
rakat, memberikan akses langsung menambang, tetapi tidak melakukan komunikasi yang intens
dan profesional dalam pelaksanaannya. Rakyat yang kebablasan sulit dihentikan, yang ada adalah
tumpahan kemarahan dan kerugian pada daerah dan negara.

Informasi ini didapat dari local guide, masyarakat setempat dan budayawan setempat.
�����������������������������

169
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

3. Tangggung Jawab Sosial Perusahaan Tambang dan Perubahan Sosial


Satu hal yang disepakati adalah bahwa CSR tidak sekedar filantropi, tetapi sering sebagai suatu
upaya dalam koridor lingkungan, hak-hak manusia dan perburuhan. Program CSR tersebut diharapkan
dapat menjadi penyeimbang antara kepentingan bisnis perusahaan terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitar CSR kemudian berkembang menjadi konsep yang well-established. Perkembangan
selanjutnya adalah ketika ISO, suatu organisasi internasional untuk standardisasi, memutuskan untuk
meluncurkan pengembangan standar internasional yang memberikan panduan untuk tanggung jawab
sosial (Jusmaliani, 2009: 20). Namun seringkali pelaksanaan dari CSR itu sendiri menjadi salah kaprah
dan tidak mencapai tujuan yang sebenarnya. Perusahaan malah memanfaatkan program CSR sebagai
bentuk kegiatan untuk memperbaiki citra atau image bisnisnya (Hardiansyah, 2011)23
Ditinjau dari sisi historis, perkembangan CSR di Indonesia dimulai dari proses-proses pelunakan
resistensi masyarakat, dan digagas oleh pihak eksternal perusahaan, seperti Indonesia Business Link
yang melakukan pendekatan untung rugi pelaksanaan CSR bagi perusahaan (Walhi, 2008). Menurut
organisasi tersebut, setidaknya terdapat empat area pelaksanaan CSR yang dapat dijadikan bentuk
investasi sosial perusahaan, yaitu: bidang pendidikan, penguatan kohesivitas masyarakat, pemberdayaan
ekonomi masyarakat dan kesehatan. Seiring dengan terjadinya perubahan dalam pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan berlangsung pula proses perubahan dari makna solidaritas dan partisipasi
masyarakat. Partisipasi merupakan salah satu bagian penting dalam kegiatan pemberdayaan dan
penumbuhan kesadaran masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangungan di tingkat lokal.
Di masyarakat terdapat banyak sekali permasalahan sosial dan lingkungan dimana perusahaan
bisa berkontribusi dalam penyelesaiannya. Dua masalah utama adalah kemiskinan dan kerusakan
lingkungan. Perusahaan bisa memperlakukan masalah sosial dan lingkungan ini sebagai peluang
bisnis, tentu saja konteks peluang bisnis disini bukan seperti peluang bisnis pada umumnya, tetapi
perusahaan bisa ‘turun tangan’ mengatasi masalah ini dengan membantu masyarakat, dan secara tidak
langsung juga membantu kelangsungan perusahaan. Kegiatan CSR yang paling populer dan bersifat
filantropi misalnya pembiayaan kegiatan sunatan massal (Siregar, 2007). Kegiatan seperti ini biasanya
dikategorikan sebagai kegiatan CSR yang baik karena memberikan bantuan secara langsung kepada
keluarga miskin yang bersangkutan dan masyarakat. Kegiatan CSR seperti ini sulit diukur manfaatnya
secara berkelanjutan dan sangat rentan terjadinya penyalahgunaan berupa korupsi dan sebagainya.
Seiring terjadinya perubahan dalam masyarakat, kegiatan CSR yang memperbaiki gaya hidup
masyarakat dan memastikan kondisi yang kondusif bagi pasar dan lingkungan mulai untuk dilakukan
karena manfaat yang diperoleh bersifat berkelanjutan dan dalam jangka waktu lama serta mampu
membangun citra baik bagi perusahaan. Salah satu contoh yaitu program CSR dikedepankan untuk
bisa ‘masuk’ ke ranah pembiayaan mikro untuk mengatasi kemiskinan. Dalam hal ini, perusahaan
dapat meman­ faatkan dana CSR mereka dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat
dan mengem­bangkan ekonomi alternatif sehingga perekonomian masyarakat dapat lebih membaik
(Setiari:2014).

�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Dalam menjalankan kegiatan tanggung jawab sosial perusahan yang berupa CSR atau Community Development (CD), perusahaan
mempersiapkan dana sebesar 2,5 % dari keuntungan. Pola pelaksanaan dari CSR itu pun bermacam-macam, ada yang dilakukan sendiri oleh
perusahaan, ada yang bermitra dengan pemerintah daerah dan ada pula yang menggunakan kelompok LSM atau lembaga masyarakat sipil lainnya.

170
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

4. Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) PT. Timah


PT. Timah menekankan bahwa sebelum kebijakan pemerintah untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial keluar, perusahaan telah memulianya. Penyebutan istilah CSR dahulu lebih dikenal dengan
nama Community Development (CD). Pada kenyataannya sekarang, konsep dari tanggung jawab
sosial itu tidak melulu harus memberikan bantuan uang, akan tetapi dapat juga dengan melakukan
pembangunan infrastruktur dan bantuan fisik lainnya. Guna mendapatkan pemahaman yang mendalam
tentang perusahaan timah, maka penting juga untuk mengetahui sejarah penambangan timah itu di
kepulauan Bangka Belitung. Tulisan ini mencoba mengurai aktifitas tambang yang dimulai pada masa
kesultanan Palembang sampai peride reformasi belakangan ini.
Usaha penambangan ini tidak bisa menjadi andalan dalam jangka waktu yang lama, karena
dampaknya yang besar bagi kerusakan lingkungan dan alam pulau Bangka Belitung. Degradasi
lingkungan, dan terjadinya pencemaran sungai/muara menyebabkan rusaknya ekosistem sungai/
muara. Pada tahun 2002 diketahui bahwa tingkat kerusakan tanah karena pembukaan lahan tambang
baru mecapai 10 %, sementara kerusakan pada lahan yang sudah direklamasi sekitar 50 %. Tidak hanya
itu saja bentuk muka bumi pun telah mengalami perubahan dengan terdapatnya lubang-lubang besar
maupun kecil (kolong) yang berserakan di seluruh wilayah pulau. Salah satu upaya yang ditempuh
adalah dengan memfungsikan peran perusahaan tambang dalam perbaikan lingkungan pasca tambang.
Perusahaan tidak boleh hanya memikirkan persoalan keuntungan secara finansial saja namun juga
harus memikirkan keuntungan yang non-finansial. Kepekaan dan kepedulian atas kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya akan mendatangkan keuntungan non-finansial berupa penerimaan
dan citra yang baik terhadap perusahaan (Gusnelly, 2014).
Dalam upaya turut serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar daerah operasi
perusahaan, dan untuk mewujudkan hubungan yang harmonis dengan seluruh pemangku kepentingan,
maka program-program CSR dilaksanakan sejalan dengan program Pemerintah Daerah setempat
yang juga mengikuti ketentuan ISO 26000 tahun 2010. ISO 26000 telah ditetapkan sebagai panduan
dari pelaksanaan kegiatan CSR, maka ternyata perusahaan bukanlah satu-satunya pihak yang harus
melakukan tanggung jawab sosial itu namun ada stakeholders lainnya seperti pemerintah yang juga
berkewajiban untuk melakukannya. ISO 26000 juga mengisyaratkan bahwa program CSR tidak
melulu bersifat charity akan tetapi lebih kepada bagaimana masyarakat di wilayah yang terkena
dampak aktivitas pertambangan diberdayakan. Oleh karena itu sebaiknya ada sinergi yang terbangun
antara stakeholders agar apa yang diajarkan oleh ISO 26000 itu terlaksana.
Selain penyaluran dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), perusahaan juga telah
menganggarkan dana operasional untuk program CSR tahun 2010 sebesar Rp 34,76 miliar. Sepanjang
tahun 2010, penyaluran dana PKBL baru mencapai Rp 19,14 miliar atau 51,5 persen terhadap dana
yang tersedia. Sedangkan realisasi program CSR yang mencapai Rp 18,28 miliar digunakan untuk
bantuan pendidikan 25 persen, bantuan kesehatan 9 persen, bantuan sarana umum 41 persen, sarana
ibadah 1 persen, dan lingkungan 24 persen (PT Timah Tbk, 2010) (http://www.timeh.org).
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir sebagian besar program CSR yang
diberikan PT Timah (Persero) Tbk masih menitikberatkan pada bantuan-bantuan sosial, sedangkan
porsi program CSR yang fokus pada program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan masih
belum optimal (lihat tabel dibawah). CSR seharusnya tidak hanya bergerak dalam aspek philantropy,

171
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

melainkan harus naik ke tingkat pemberdayaan masyarakat (community empowerment) dan harus
menjadi salah satu bagian kebijakan dari pihak manajemen perusahaan (Dwiastuti, 2014).
Tabel 2. Jenis Program Tanggung Jawab Perusahaan Timah di Bangka Belitung

Sifat Tipe Bidang Karakteristik


Pilantropis Pembangunan Pendidikan, kesehatan, Secara umum program tidak ditujukan untuk mempersiapkan
(derma) infrastruktur fisik, transportasi, masyarakat pasca ekstraksi.
pemberian bantuan olahraga, peningkatan Koordinasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah
alat,dan pemberian pendapatan, dan kurang dilakukan dengan baik. Implementasi program bersifat
bantuan keuangan tempat peribadatan tertutup
Capacity Pendampingan dan Pertanian, perikanan, - Secara umum program dirancang oleh perusahaan.
Building Pelatihan perbengkelan (mesin), Secara umum program kurang melibatkan masyarakat secara
dan industri rumah partisipatoris.
tangga.
Beasiswa SD, SLTP, SLTA, PT Desain kurang tersusun secara holistik dan sistematis
Kegiatan tidak dibuat untuk berkelanjutan sehingga hasilnya
tidak optimal.

Pemberian beasiswa ditujukan kepada anak-anak Bangka


Belitung dan proporsi paling besar kepada diberikan kepada
mereka yang berada di perguruan tinggi dan terdaftar pada
beberapa universitas negeri di Indonesia
Daya Dukung Reklamasi, Pelestarian Kehutanan, Koordinasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah
Lingkungan Lingkungan dan Pertanian, Perikanan, kurang dilakukan dengan baik.
Penyediaan sarana Pertamanan, Konflik dan persoalan sosial dengan masyarakat lebih banyak
kebersihan Kebersihan dalam bentuk penyelesaian sesaat, kurang tepat sasaran
sehingga tidak membantu memperbaiki citra perusahaan di
mata masyarakat

Sumber: Gusnelly, 2009

Melalui kebijakan tentang Kewajiban Perseroan Terbatas yaitu UU NO. 40 tahun 2007 dalam pasal
74 menyatakan bahwa salah satu kewajiban perusahaan sebagai kompensasi atas aktivitas perusahaan
maka wajib memberikan bantuan atau melakukan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat sekitarnya
mendapatkan kesejahteraan secara berkelanjutan dan tetap memiliki kualitas kesehatan yang baik.
Wujud dari pemberdayaan itu dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan CD/CSR.24 Dalam kegiatan CD/
CSR tersebut masyarakat menjadi salah satu aktor penting.
Sejak keluarnya peraturan pemerintah melalui UU NO. 40 tahun 2007 pula kebijakan perusahaan
berubah. Masyarakat memiliki akses ke perusahaan untuk mengajukan permohonan dana sosial berupa
bantuan modal usaha. Permohonan ini biasanya akan menjadi mudah jika ada relasi, teman atau saudara
yang dapat menjadi jembatan penghubung ke perusahaan. Bentuk kerjasama dan komunikasi seperti

24 CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi
mereka dengan stakeholders berdasarkan prinsip kesukarelaan.Beragam cara yang dilakukan oleh perusahaan dalam menjalankan CSR atau CD.
Ada yang melaksanakannya sendiri, mendirikan yayasan atau bermitra dengan pihak lain. Persepsi masyarakat tentang perusahaan diperlukan
terutama ketika akan menjalankan kegiatan CSR. Schermerhorn (1993) seperti dikutip oleh Suharto (2006) mendefinisikan CSR sebagai
suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organsisasi dan kepentingan
publik eksternal. Pendefinisian CSR kerap juga di identikan dengan istilah lain yaitu: Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/
Charity), Kedermawan Perusahaan (Corporate Philantrhopy), Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relation) dan
Pengembangan Masyarakat (Community Development). Pendefinisian diatas bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks
Investasi Sosial Perusahaan yang didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif ”amal” hingga ”pemberdayaan”. Lihat dalam Suharto,
2006, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR), Bandung: Refika Aditama 1-2.

172
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

inilah yang menyebabkan hanya sebagian kecil saja dari masyarakat yang dapat menikmati dana sosial
perusahan. Semestinya perusahaan memberikan bantuan secara menyeluruh kepada masyarakat di
sekitar kegiatan pertambangan. Pemberian bantuan tidak semata-mata berupa derma atau amal akan
tetapi harus berupa bantuan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Tidak semua kegiatan
pemberdayaan masyarakat adalah CSR, tetapi kegiatan CSR harus berupa pemberdayaan yang
berkelanjutan dan memiliki prospek ekonomi yang panjang.
Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan terutama pada masyarakat sekitar biasaya lebih sering
diungkapkan dengan berbagai kegiatan bakti sosial, peran serta perusahaan pada perayaan hari-hari
besar, pembuatan fasilitas umum seperti masjid/mushola di sekitar lingkungan. Pada dasarnya terdapat
beberapa model kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT. Timah. Beberapa pekerjaan pembangunan
masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk pelayanan kesehatan atau membangun fasilitas umum
tersebut biasanya dilakukan oleh pihak ketiga yang sifatnya sebagai proyek dengan syarat-syarat
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Ketika pihak ketiga
melaksanakan proyek tersebut sering memunculkan berbagai persoalan baru sebagai efek samping
dan turunan dari kurangnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan proyek tersebut (Hedrawan dan
Samsul, 2007: 278).
Ada anggapan bahwa kegiatan itu dilakukan untuk mengambil hati masyarakat sesaat saja, tidak
sepenuhya untuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Ketika hal ini dikonfirmasikan
dalam bentuk kuisioner, hanya 5,6 persen saja responden yang menyatakan bahwa kegiatan sosial
perusahaan bermanfaat buat masyarakat. Sebagian besar yaitu 61 persen menyatakan semua kegiatan
sosial itu tidak ada manfaat dan pengaruhnya bagi masyarakat Bangka (Yaumidin, 2010). Kegiatan
sosial perusahaan itu juga tidak memberikan manfaat terhadap perbaikan lingkungan Pulau Bangka.
Menurut masyarakat Bangka keinginan untuk menolong seperti yang dilakukan oleh PT. Timah bisa
jadi karena perusahaan ingin memperbaiki citra perusahaan yang terlanjur tercemar karena beberapa
kasus hukum yang dihadapi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, maka program CSR ataup CD memiliki beberapa kelemahan seperti:
1) Birokrasi yang cukup panjang dengan proses yang cukup lama. 2) Tingginya jaminan/aset yang
diagunkan, 3) Informasi dan sosialiasi program CSR yang terbatas. Maka masyarakat merasa tidak
percaya kalau ada program pemberian dana bantuan kalaupun ada akan berbelit-belit. Masyarakat
memilih untuk meminjam lembaga pemberi kredit lainnya, seperti pada rentenir saja dan pegadaian.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Bagi masyarakat Bangka, perjuangan untuk mendapatkan akses menikmati keuntungan dari
sumberdaya alam timah merupakan bentuk perlawanan panjang yang mendalam bagi masyarakat
lokal. Monopoli penguasaan timah yang panjang disertai dengan berbagai macam perubahan sistem
pengelolaan dengan kontrol yang dipenuhi nilai politis memberikan ruang tertutup bagi masyarakat
untuk mendapat akses atas timah mereka. Kontrol penguasa yang berubah, mulai dari sistem pengelo­
laan oleh pemerintah kolonial sampai pada pemerintahan negara RI yang dipenuhi oleh model kontrol
yang sentralistik, otoriter dan militerisasi semakin memarginalkannya peran masyarakat Bangka
menikmati kekayaan alam mereka.

173
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

Pada masa lalu, seperti masa sebagai sebuah serikat dagang milik penjajah, VOC lebih memen­
tingkan kepentingan negaranya daripada negara jajahannya. Kesultanan Palembang hanya menguasai
timah dalam waktu yang singkat dan itupun harus memberikan upeti. Setelah VOC datang, timah
berada dalam kekuasaan Belanda. Pekerjanya juga bukan orang lokal, tetapi para migran dari
Tiongkok. Belanda tidak bisa mempekerjakan penduduk lokal karena sistem pertambangan mereka
yang masih tradisional. Ketidakberpihakan pemerintah kolonial terhadap penduduk lokal pada
akhirnya memunculkan perlawanan dari Sultan Palembang dan Dipati Anum. Usaha Belanda untuk
memperoleh akses mengontrol timah bermula dengan perang melawan Kesultanan Palembang yang
menguasai Bangka dan timahnya pada awal abad ke-19 telah memunculkan sentimen yang sangat kuat
kepada penguasa. Bagi rakyat Bangka, tertutupnya akses untuk mendapatkan sumber pendapatan dari
timah dan bermulanya negeri mereka di bawah kontrol asing, telah diresponi dengan bentuk perlawanan
panjang. Berbagai upaya mereka lakukan untuk mendapatkan kesempatan menambang timah, pada
akhirnya beralih kepada penambangan illegal berujung kematian atau penjara. Penyelundupan timah
juga ikut menjadi bagian dari cara sekelompok orang mendapatkan keuntungan atas timah. Selama 30
tahun masa orde baru, masyarakat dilarang menambang, menyimpan timah meskipun satu kilogram,
apalagi menjualnya. Pada pertengahan tahun 1970an, rezim orde baru bekerjasama dengan militer
menangkap banyak warga yang mencoba menambang walau hanya sedikit hasil yang mereka dapatkan
akan tetapi penjara menjadi tempat tinggal mereka.
Sekarang setelah timah akan habis, masyarakat dibolehkan menambang, padahal hasilnya hanya
sedikit. Dalam komitmennya untuk meraih simpati masyarakat perusahaan berjanji akan melaksanakan
kebijakan lingkungan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, mendorong kesadaran
karyawan dan stakeholders untuk memelihara kelestarian lingkungan, mendukung pelaksanaan
prinsip R3 (recycle, reuse, reduce) dalam kegiatan operasi Timah, melakukan konservasi energi dan
sumberdaya bumi, partisipasi aktif dalam berbagai prakarsa untuk kelestarian bumi pada lingkup
nasional, regional maupun internasional. Hasil ini diperoleh berdasarkan deklarasi pribadi PT Timah
terhadap tingkatan aplikasi indikator GRI G3 yaitu mendapat nilai B yang berarti bahwa PT. Timah
telah melakukan transparansi terhadap semua kegiatan bisnisnya paling tidak yang telah memenuhi
minimum 20 indikator kinerja yang meliputi ekonomi, lingkungan, HAM, tenaga kerja, masyarakat
dan tanggung jawab.
Hal ini juga membersihkan dan memperbaiki sikap terhadap masyarakat Bangka Belitung yang
selama ini selalu berpikiran bahwa aktivitas perusahaan hanya untuk kepentingan karyawannya
saja. Sekarang timah dapat diakses langsung oleh masyarakat akan tetapi tidaklah menyelesaikan
masalah bagi pemerintah daerah dan negara. Pembukaan izin tambang rakyat (TI) malah kebablasan,
lingkungan Bangka rusak tidak terkendali, masyarakat meradang kalau dikontrol dan seringkali pula
ada pihak-pihak tertentu yang menjadikan kontrol negara atas TI sebagai ajang politik.

B. Saran
Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih dikenal dengan CSR umumnya mengacu
pada pemikiran utama mengenai etika bisnis dan relasi sosial. Oleh karena itu maka perusahaan
berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat, agar dendam masa lalu atas penguasaan
timah yang minus masyarakat terbayarkan. Selain itu membantu meminimalkan konflik dan menjaga
citra perusahaan di mata publik. Dengan demikian sebaiknya program tanggung jawab sosial yang

174
Sejarah Pengelolaan Timah dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang Timah di Bangka Belitung (Gusnelly)

dijalankan adalah dengan melakukan program pemberdayaan masyarakat agar mampu mandiri
secara ekonomi karena keberadaan perusahaan belum tentu selamanya berada di lingkungan tempat
mereka tinggal. Selain itu pasang surut atas keberpihakan organisasi penyandang dana dan pemerhati
masyarakat di Indonesia tidak dapat diprediksi.

Daftar Pustaka

Andiko, (2006). Tambang Rakyat: Anak Tiri Pertambangan Nasional. Personal Press.
Dwiastuti, (2014). Model Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Inisiasi Perusahaan dalam Yaumiddin
(ed), 2014. Model Sinergi Kemitraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta: P2E-LIPI.
Erwiza, E. 2010. ”Politik Protes dan Etnisitas; Kasus Buruh Cina Tambang Timah di Bangka
Belitung” dalam Jurnal Masyarakat Indonesia Edisi XXXVI N0.1
-----------. (2009a). Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung, Yogyakarta: Ombak.
------------, (2009b). Perang Timah: Dendam Sejarah dan Kontrol Negara, dalam http://www.jatam.
org akses tanggal 15 Oktober 2009
------------, (2009c). Politik Penguasaan Sumberdaya Timah di Bangka-Belitung, dalam http://www.
jatam.org akses tanggal 25 Juli 2010
Fanon, F., (1963). The Wretched of The Earth. New York. Grove Press Ink
Gusnelly, (2014). ”Model Tanggung Jawab Sosial Inisiasi Masyarakat” dalam buku Yaumidin (editor),
2014, Model Sinergi Kemitraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Jakarta : PT. Gading Inti
Prima.
-----------, (2009). Respon Lembaga Swadaya Masyarakat Terhadap CSR Perusahaan Tambang di
Provinsi Bangka Belitung dalam Yaumiddin, 2009, Fungsi Corporate Social Responsibility
(CSR), Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Partisipasi Masyarakat di Wilayah
Pesisir. Jakarta; LIPI
-----------, (2008). Wisata Bahari, Tenaga Kerja dan Pembangunan Lingkungan yang Berkelanjutan di
propinsi Bangka Belitung, Laporan penelitian Kompetitif –LIPI, Pusat Penelitian Sumber Daya
Regional, Jakarta: Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia
Hardiansyah, (2011).“Community Development dan Lingkungan Akan Jadi Trend Utama CSR di
Indonesia”.dalam Majalah Bisnis dan CSR. Jakarta: LA TOFI.
Hedrawan dan Samsul, (2007). “Kepedulian Perusahaan Terhadap Lingkungan”. Dalam Jurnal
Sosioteknologi Edisi 12 tahun 6. Mataram: Universitas Mataram.
Jusmaliani, (2009).“Pemahaman Perusahaan Tambang Terhadap Tanggung Jawab Sosial” dalam
Yaumidin, 2009.Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR), Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) dan Partisipasi Masyarakat di Wilayah Pesisir, Jakarta; LIPI
Kamil, F., (2006). Analisis factor-Faktor Permintaan Eksport Timah Putih Indonesia oleh Singapura
tahun 1979-2003, Skripsi. Program Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Jogyakarta.

175
Patrawidya, Vol. 17, No. 3, Desember 2016

Porter, M.E. dan Mark R. K., (2006). Strategy & Society: The Link between Competitive Advantage
and Corporate Social Responsibility, Harvard Business Review December
Rahmanita, S. H., (2009). Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Aktivitas Perusahaan, Tesis. Program
Pasca Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Msyarakat; Institut Pertanian Bogor.
Ronny C., et.al. Kepulauan Bangka Belitung. Pangkal Pinang: Yayasan Kepulauan Bangka Belitung
Membangun.
Setiari, (2014).“Model-Model Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” dalam buku Yaumidin
(editor), 2014, Model Sinergi Kemitraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, PT. Gading Inti
Prima, Jakarta.
Siregar, C. N., (2007). ”Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Responsiblity
pada Masyarakat Indonesia”, dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 12 tahun 6; Universitas
Mataram.
Somers. F. M., (2008). Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa Dalam
Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX, Jakarta, ACC Grafika Raya
Suharto, E., (2007). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung;
Alfabeta.
--------------, (2006). Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (CSR), Bandung: Refika Aditama.
Sujitno, S., (1996). Sejarah Timah Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Walhi, (2008). Mempertanyakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Jakarta: Wahana Lingkungan
Hidup,
Yaumiddin (ed), (2014). Model Sinergi Kemitraan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta: P2E-
LIPI, Jakarta.
------------------, (2010). Membumikan Bisnis Berkelanjutan di Negeri Serumpun Sebalai: Pemahaman
dan Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Tambang.P2E-LIPI, Jakarta.
------------------, (2009). Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR), Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) dan Partisipasi Masyarakat di Wilayah Pesisir, Jakarta; LIPI
Zulkarnain, I., (2005). Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi. Jakarta: LIPI Press
http://www.timah.org akses tanggal 15 Oktober 2009
http://wartapraja.wordpress.com/2008/08/04/lintasan-perjalanan-sejarah-pttimahtanggal akses tanggal
15 Oktober 2009
http://www.hestybilliton.blogspot.com/2008/05/sejarah-pertambangan-timah-di-bangka.htmlakses
tanggal 14 Oktober 2009
http://himataubbbabel.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-tambang-timah-di-bangka.htmltanggal akses
14 Oktober 2016

176

Anda mungkin juga menyukai