Anda di halaman 1dari 35

SUATU TINJAUAN PENEGAKKAN HUKUM DAN

PENYELESAIAN MASALAH LINGKUNGAN AKIBAT


PENAMBANGAN TIMAH DI BANGKA BELITUNG

DOSEN PEMBIMBING
Dr.H YANDI S,H.,M H

DI SUSUN OLEH
NAMA : 1. Dini Rizqika D (19.01.0011-IH)
2. Kevin Rinaldi (19.01.0011-IH)
3. Meri Martapia (19.01.0051-IH)
4. Argeto Mandiri H (19.01.0064-IH)
5. Fitrah Akbar (19.01.0033-IH)

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PERTIBA


2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “SUATU TINJAUAN PENEGAKKAN HUKUM DAN
PENYELESAIAN MASALAH LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN
TIMAH DI BANGKA BELITUNG". Dalam makalah ini membahas tentang
kebijakan pemerintah Provinsi Bangka Belitung dalam menyelesaikan
permasalahan lingkungan akibat penambangan timah di Bangka Belitung.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas kurang dan
lebihnya dalam makalah ini, kami mohon maaf. Serta untuk kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk memperlengkap isi makalah yang kami
buat ini.

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada awal mulanya merupakan
bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
resmi berdiri sendiri sebagai provinsi ke 31 pada tahun 2000 dengan ibukota
provinsi yaitu Pangkalpinang dan ditetapkan pada tanggal 9 Februari 2001.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau yaitu Pulau
Bangka dan Pulau Belitung. Apabila dilihat dari letaknya, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung memiliki lokasi yang sangat strategis karena
berada di wilayah antara Negara Singapura, Negara Malaysia dan Indonesia.
Pangkalpinang sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilihat
dari letak geografis berada ditengah pulau Bangka dan menjadi daerah yang
sangat strategis apabila ditinjau dari sisi geografisnya. Menurut data dari
Badan Pusat Statistik kota Pangkalpinang (2003) secara geografis kota
Pangkalpinang mempunyai luas 89,4 km² yang terdiri dari 5 kecamatan yaitu
kecamatan Tamansari, Pangkalbalam, Rangkui, Bukit Intan, dan Gerunggang,
jumlah penduduk keseluruhannya adalah sebanyak 125.342 jiwa. Kota
Pangkalpinang difungsikan sebagai pusat pengembangan pembangunan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebagai pusat pemerintahan, pusat
kegiatan politik, dan sekaligus menjadi pusat perdagangan dan industri.
Selain itu kota Pangkalpinang juga sebagai pusat pelayanan sosial yang
meliputi pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini kaya akan kandungan


alumunium berupa mineral bijih timah dan bahan galian pasir. Menurut
Sutedjo (2007) Pulau Bangka, Singkep, dan Belitung merupakan pulau
dengan penghasil timah terbesar di Indonesia. Data statistik dari United States
Bureau of Mines (USBM) mencatat bahwa Malaysia negara yang memiliki
cadangan bijih timah nomor 1 (satu) dan disusul Indonesia yang memiliki
cadangan timah yakni sekitar 800.000 ton, berpotensi untuk meningkatkan

1
devisa bagi pembangunan perekonomian nasional di Indonesia.
Pertambangan timah di Indonesia sendiri memiliki sejarah pengelolaan yang
sangat panjang dapat dikatakan masih dalam skala yang kecil, dimulai sejak
tahun 1709 yang pertama kali ditemukan di pulau Bangka . Pihak asing mulai
menanamkan modalnya pada tahun 1970-an dengan kesempatan yang
diberikan oleh pemerintah untuk menanamkan modalnya dan melakukan
kegiatan dibidang pertambangan pihak asing tersebut yaitu Tambang Karya
(TK) selain dari PN. Timah (sekarang PT. Timah, Tbk) yang merupakan
perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang mengelola pertambangan timah.
Tambang Karya (TK) merupakan perusahaan yang dimiliki oleh pihak swasta
Indonesia dan asing yang bekerjasama menanamkan modalnya dan telah
mengadakan perjanjian kontrak dengan pemerintah Indonesia yang disebut
dengan Kontrak Karya dengan memanfaatkan penambang rakyat sebagai
mitra kerjanya. Tambang Karya ini dilakukan dalam Kuasa Pertambangan
(KP) PN. Timah (sekarang PT. Timah, Tbk) dan sangat berkontribusi dalam
meningkatkan kapasitas dan produksi PN. Timah. Kegiatan penambangan
Tambang Karya ini dilakukan di wilayah-wilayah bekas ‘tambang dalam’
yang sudah ditinggalkan Belanda, dan PN. Timah berfungsi sebagai
pengumpul timah yang dihasilkan oleh Tambang Karya, jenis timah yang
ditambang adalah timah primer.

Pertambangan timah merupakan Sumber Pendapatan Asli Daerah terbesar


bagi Kabupaten Bangka selama ini. Pulau Bangka merupakan salah satu
wilayah yang memiliki petensi sumber daya alam dengan kandungan mineral
timah yang melimpah. Demikian pula dengan wilayah Bangka memiliki
peran sangat strategis sebagai salah satu kabupaten penghasil timah di pulau
Bangka Belitung. Pendapatan Daerah Kabupaten Bangka tahun anggaran
2015 setelah perubahan dengan target Rp. 1 trilyun 164 milyar lebih dapat
terealisasi Rp 1 trilyun 73 miliar lebih atau 92,53 %. Timah dan 41.680,30 ha
PT. Koba Tin dan sisanya merupakan milik dariperusahaan swasta lain dan
tambang rakyat. Jumlah Kuasa Pertambangan timah sampai dengan tahun
2007 mencapai 101 izin kolong yang telah ditambang 6.084 ha sedangkan
untuk pencadangannya 320.219 ha Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan

2
Bangka Belitung. Dengan kemunduran industri timah dikarenakan turunnya
harga timah dunia memberikan kesempatan pada penambang rakyat
melakukan pertambangan timah di tambang bekas perusahaan penambang
timah besar seperti PT. Timah, Tbk. Akan tetapi tanpa disadari, kegiatan
pertambangan timah rakyat ini memiliki banyak dampak negatif terutama
lingkungan baik itu penambangan yang dilakukan di darat atau penambangan
Selain itu kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari pertambangan timah
rakyat yaitu kerusakan ekosistem yang dimulai dari garis pantai hingga
hutan, bahkan tidak sedikit hutan lindung dan hutan konservasi menjadi target
dari pertambangan timah rakyat, entah itu dikerjakan secara legal ataupun
illegal.
Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pertambangan timah rakyat ini
juga membuat kelangkaan kayu garu, seruk, meranti. Air sungai menjadi
keruh karena digunakan untuk pencucian bijih timah tersebut, kegiatan
pertambangan timah rakyat ini juga menyebabkan daerah aliran sungai
mengalami pendangkalan akibat sisa lumpur bekas galian penambangan yang
dibuang ke sungai selanjutnya akan menjadi salah satu pemicu terjadinya
banjir. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan bahwa
permasalahan banjir besar di Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung khususnya di Pulau Bangka yang terjadi pada tanggal 08 Februari
2016 dipicu oleh terjadinya hujan dengan intensitas ringan hingga lebat yang
tidak merata dimulai tanggal 07 Februari 2016. Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung mengatakan kegiatan penambangan biji timah di
aliran sungai menjadi pemicu bencana banjir.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa kebijakan pemerintah terhadap masalah pertambangan dan
lingkungan hidup?
2. Bagaimana pemerintah menyelesaikan masalah lingkungan ekosistem laut
yang merupakan dampak dari pertambangan timah?
3. Bagaimana penyelesaian pemerintah Provinsi Bangka Belitung terhadap
bencana banjir yang merupakan dampak dari pertambangan timah rakyat?

3
4. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku pertambangan yang
mengakibatkan pencemaran lingkungan?

1.3. Tujuan penulisan


1. Menjelaskan kebijakan pemerintah tentang pertambangan dan lingkungan
hidup.
2. Menganalisis upaya pemerintah dalam menjaga ekosistem laut akibat
pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung.
3. Menganalisis dampak pertambangan timah rakyat terhadap bencana banjir
di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
4. Menganalisis upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dalam penanggulangan banjir akibat pertambangan timah rakyat.
5. Menjelaskan penegakan hukum yang dilakukan kepada pelaku
penambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di Provinsi
Bangka Belitung.

1.4. Sistematika penulisan


Makalah ini terdiri dari 4 Bab, antara lain:

1. BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan
dan sistematika penulisan.

2. BAB II TINJAUAN MATERI


Menjelaskan tinjauan materi dari pembahasan yang akan dibuat penulis.

3. BAB III PEMBAHASAN


Menjelaskan materi yang berkaitan dengan kebijakan dan upaya
pemerintah Provinsi Bangka Belitung dalam permasalahan lingkungan
yang diakibatkan dari penambangan timah di Bangka Belitung dan
penegakan hukumnya.

4. BAB IV PENUTUP
Menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran-saran dari penulis

4
BAB II

TINJAUAN MATERI

2.1. Kebijakan Publik


Wahab (Hosio, 2007) mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri
masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli.
Maka untuk memahami istilah kebijakan ada beberapa pedoman yaitu :
Kebijakan harus dibedakan dari keputusan

a) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi


b) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan
c) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan
d) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai
e) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit
maupun implicit
f) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu
g) Kebijakan meliputi hubunganhubungan yang bersifat antar organisasi dan
yang bersifat intra organisasi
h) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci
lembagalembaga pemerintah
i) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif
Sedangkan Rusli (2013) mengatakan, kebijakan publik merupakan
modal utama yang dimiliki pemerintah untuk menata kehidupan masyarakat
dalam berbagai aspek kehidupan. Dikatakan sebagai modal utama karena
hanya melalui kebijakan publiklah pemerintah memiliki kekuatan dan
kewenangan hukum untuk memanejemen masyarakat dan sekaligus
memaksakan segala ketentuan yang telah ditetapkan. Walaupun memaksa,
akan tetapi sah dan legitimate karena didasari regulasi yang jelas. Kebijakan
publik adalah alat untuk mencapai tujuan public bukan tujuan orang perorang
atau golongan dan kelompok. Meskipun sebagai alat (tool) keberadaan
kebijakan publik sangat penting dan sekaligus krusial. Penting karena
keberadaannya sangat menentukan tercapainya sebuah tujuan, meskipun

5
masih ada sejumlah prasyarat atau tahapan lain yang harus dipenuhi sebelum
sampai pada tujuan yang dikehendaki.

Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino memberikan definisi kebijakan publik


sebagai « the autorative allocation of values for the whole society». Definisi ini
menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik yang secara syah
dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk
pengalokasian nilai-nilai. Beberapa pendapat ahli yang mendefinisikan kebijakan
publik adalah suatu tindakan yang dilakukan pemerintah dalam merespon suatu
masalah publik. Dye menyatakan bahwa kebijakan public adalah apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sedangkan
pengertian dan pemahaman akan kebijakan public yang dikemukan oleh Friedrich
menegaskan kebijakan public sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatanhambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu .
Nugroho berpendapat bahwa kebijakan Publik adalah jalan mencapai tujuan
bersama yang dicita-citakan.

2.2. Implementasi Kebijakan


Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana
yang sudah disusun secara matang dan terperinci (Nurdin, 2013). Meter dan Horn
(dalam Winarno, 2008:146) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan
tindakan yang dilakukan oleh individuindividu (atau kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dalam keputusankeputusan kebijakan sebelumnya. Lester dan
Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan
adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat
administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang
bekerja bersamasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan”. (Winarno, 2013).

6
Grindle 1980 (Dalam Mutiarin 2014) menyatakan bahwa proses
umum implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah
dispesifikasikan, program-program telah didesain, dan dana telah
dialokasikan untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-
syarat dasar (the Content of policy) dan konteks kebijakan (the context od
policy) yang terkait dengan formulasi kebijakan.

Keberhasilan implementasi menurut Grindle dipengaruhi oleh 2


variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan
implementasi (context of implementation).Variabel isi kebijakan ini
mencakup: (1) sejauh mana dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang
diterima oleh target group, sebagai contoh, masyarakat di wilayah slum areas
lebih suka menerima program air bersih atau pelistrikan daripada menerima
program kredit sepeda motor; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan
dari sebuah dari sebuah kebijakan. Suatu program yang berujuan mengubah
sikap dan prilaku kelompok sasaran relative lebih sulit diimplementasikan
daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit dan bantuan beras
kepada kelompok miskin; (4) apakah letak sebuah program udah tepat.
Misalnya, ketika BKKBN memiliki program peningkatan kesejahteraan
keluarga dengan memberikan bantuan dana kepada keluarga prasejahtera,
banyak orang menanyakan apakah letak program ini sudah tepat berada di
BKKBN; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya
dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya
yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1)
seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para
aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi
dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas
kelompok sasaran.

7
2.3. Pengelolaan Ekosistem
Pengelolaan berasal dari kata manajemen atau administrasi. Hal
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Usman bahwa management
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.
Dalam beberapa konteks keduanya mempunyai persamaan arti, dengan
kandungan makna to control yang artinya mengatur dan mengurus
(Hardyanti, 2012). Sedangkan dalam kamus Bahasa indonesia menyebutkan
bahwa pengelolaan adalah proses atau cara perbuatan mengelola atau proses
melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain, proses
yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi atau proses
yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapai tujuan (Daryanto, 1997).

Fattah, (2011) berpendapat bahwa dalam proses manajemen terlibat


fungsifungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer atau pimpinan,
yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organising), pemimpin
(leading), dan pengawasan (controlling). Oleh karena itu, manajemen
diartikan sebagai proses merencanakan, mengorganising, memimpin, dan
mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan
organisasi tercapai secara efektif dan efisien. Sedangkan Follet
mendefinisikan pengelolaan adalah seni atau proses dalam menyelesaikan
sesuatu yang terkait dengan pecapaian tujuan. Dalam penyelesaian akan
sesuatu tersebut, terdapat tiga faktor yang terlibat yaitu Pertama, adanya
penggunaan sumber daya organisasi, baik sumber daya manusia maupun
faktor-faktor produksi lainya. Kedua, proses yang bertahap mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengimplementasian, hingga
pengendalian dan pengawasan. Ketiga, Adanya seni dalam penyelesaian
pekerjaan (Sule dan Saefullah. 2009).

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kebijakan Pertambangan dan Lingkungan Hidup


Mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional,
UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,
transparan, berdaya saing, efisien, dan benwawasan lingkungan, guna menjamin
pernbangunan nasional secara berkelanjutan. Dengan ini disahkannya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Perubahan mendasar yang terjadi
adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem
perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan
pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di
industri pertambangan mineral dan batubara. Falsafah diterbitkannya UU No. 4
Tahun 2009 adalah adanya perubahan paradigma terhadap pengelolaan sumber
daya alam.

Prosedur pengurusan izin usaha pertambangan dengan mengajukan


permohonan izin kemudian melengkapi persyaratan adminitrasi terlebih dahulu
yang telah ditetapkan. Kemudian IUP eksplorasi diberikan berdasarkan
permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah
mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Dalam hal Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi harus meliputi kegiatan Penyelidikan umum,
Eksplorasi, dan Study kelayakan Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi
kelayakan, pemegang IUP eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara
yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP.

Kemudian setelah proses pemberi Izin Usaha Pertambangan setiap usaha


pertambangan perlunya izin lingkungan sebagaimana diatur Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bertujuan

9
untuk menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem, melestarikan fungsi lingkungan hidup, menjamin terpenuhinya
keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan, mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan ekosistem laut akibat pertambangan


ini berjalan efektif dan efisien harus sesuai dengan prosedur/mekanisme yang
ditetap pemerintah. Maka kebijakan pemerintah dalam pengelolaan laut pada
kegiatan pertambangan laut sebagaimana yang diatur UU No. 32 Tahun 2009
Pasal 36 ayat 1 yang mengatakan bahwa Setiap usaha dan/atau kegiatan
pertambangan wajibmemiliki izin lingkungan. Permohonan Izin Lingkungan
dilengkapi dengan dokumen AMDAL (KA, draft Andal dan RKL-RPL), dokumen
pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan profil Usaha dan/atau Kegiatan.

Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa semakin meningkatnya kegiatan


penambangan mengandung tingkat resiko pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang
kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan
merupakan beban sosial, yang akhirnya masyarakat dan pemerintah harus
menanggung biaya pemulihannya. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi
lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung
jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang lembaga swadaya
masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain, untuk memelihara dan
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang menjadi
tumpuan keberlanjutan pembangunan. Pembangunan yang memadukan
lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, menjadi sarana untuk mencapai
keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dalam rangka pemulihan
ekosistim laut yang sudah rusak melalui upaya reklamasi yang memerlukan dana
yang sangat besar. Kebijakan pertambangan dan pengelolaan lingkungan sangat

10
perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan juga pada para calon investor agar
dapat mengetahui aturanaturan yang ada dan ditetapkan pemerintah.

3.2. Pengelolaan Pengendalian Pencemaran Air Laut


Pengendalian pencemaran laut di KK/KI/KIP/BWD dilakukan melekat
dengan proses operasi penambangan laut yang berlangsung di masing-masing
jenis kapal penambangan. Kegiatan pengendalian pencemaran laut ini meliputi
pengelolaan limbah hidrokarbon yang dihasilkan oleh operasional kapal adalah
ceceran minyak, oli bekas, dan lain-lain, limbah cair seperti oli/pelumas bekas dan
ceceran BBM (solar) serta lainnya yang dihasilkan akan ditangani PT Timah
(Persero) Tbk., berdasarkan standard operasional procedure (SOP) mengacu pada
peraturan menteri lingkungan hidup nomor 101 tahun 2014 tentang pengelolaan
limbah B3. Dampak penurunan kualitas air laut menjadi penting mengingat
penggunaan perairan laut oleh nelayan sebagai sumber mata pencahariannya.

Selain itu perairan laut juga terkait erat dengan kawasan habitat terumbu
karang, rumput laut dan biota perairan lainnya serta terkait dengan kegiatan wisata
pantai. Kegiatan pertambangan di Kabupaten Bangka tidak mungkin bisa lepas
dari peningkatan padatan tersuspensi dalamperairan laut. Tujuan pengelolaan
lingkungan hidup:

1. Mencegah dan mengendalikan pencemaran laut yang bersumber dari


limbah dari operasi KK/KI/KIP/BWD.
2. Mencegah dan menggendalikan pencemaran laut yang bersumber dari
pemindahan dan pengangkutan limbah dari KK/KI/KIP/BWD ke TPS
penimbunan limbah dilaut.
3. Menghindari kemungkinan konflik dengan masyarakat khususnya nelayan
yang melakukan penangkapan ikan di laut, juga golongan masyarakat
tertentu yang memanfaatkan laut sebagai obyek wisata bahari
Pengendalian pencemaran laut dilakukan di:
1. Pengendalian jumlah KK/KI/KIP/BWD dan Mitra yang beroperasi di laut
dilakukan disetiap lokasi penambangan laut yang dekat dengan atau
berpengaruh terhadaip ekosistem terumbu karang, vegetasi mangrove,
habitat khusus , dan obyek wisata bahari.

11
2. Pengendalian pencemaran laut dilakukan di:
1) Setiap unit KK/KI/KIP/BWD dan Mitra yang beroperasi di laut.
2) Setiap kapal angkutan laut atau kapal penjangkaran yang
memindahkan dan mengangkut limbah hidrokarbon dan limbah
padat/limbah domestik dari KK/KI/KIP/BWD ke pelabuhan darat.
Waktu Pengelolaan Dilakukan disaat KK/KI/KIP/BWD beroperasi di
laut yaitu dengan pengendalian jumlah dan lokasi KK/KI/KIP/BWD dan
mitra dilakukan selama kapal penambangan tersebut beroperasi di KP laut
tertentu dimana sebagaian diantaranya merupakan daerah asuh, terumbu
karang, habitat khusus, dan obyek wisata bahari. Dan Pelaksana Pengelolaan :
Kuasa KK/KI/KIP/BWD (milik PT Timah dan Mitra) dan Kepala
Lingkungan Hidup, Operasi Kapal Keruk Wilayah bersangkutan, PT Timah.

3.3. Pengelolaan Limbah B3


Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 Tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan
Beracun dan Berbahaya (Limbah B3) adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena
sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jimlah, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat memancarkan dan/atau merusakan lingkungan hidup,
dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lain. Pengelolaan limbah B3 yang
bertujuan untuk mengindetifikasi Limbah B3, pelaku pengelolaan, kegiatan
pengelolaan, tata laksana, dan sanksi.

Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan,


penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
dan/atau penimbunan. Pengelolaan limbah B3 tidak dilakukan oleh sebab
limbah tersebut diambil oleh pihak ketiga untuk dimanfaatkan kembali sesuai
dengan macam dan karakteristiknya. Pada Tambang Perusahaan pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3) Unit Penambangan Laut
Bangka terhadap majun bekas oli, filter bekas oli, oli bekas, oil sludge yang
berasal dari oil trap, accu bekas ditampung di tempat Penampungan
Sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3) disetiap lokasi kapal

12
produksi yang ada. TPS Limbah Bahaya Berbahaya dan Beracun (LB3) Unit
Produksi Laut Bangka memiliki izin penyimpanan sementara dari BLH
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Unit Produksi Laut Bangka bekerjsama
dengan pihak III untuk melakukan penanganan, pengelolaan dan
pengangkutan Limbah B3 yang telah dimiliki izin operasi dari Kementerian
Lingkungan Hidup dalam hal ini adalah PT. Valten Cahaya Anugrah untuk
pengangkutan limbah B3 yang bekerjasama dengan PT. Tenang jaya dan PT.
Muchtomas., Perusahaan tersebut secara rutin mengambil limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (LB3) Unit Produksi Laut Bangka untuk diolah atau
dimusnahkan dan didaur ulang kembali. Kewajiban pemegang izin
penyimpanan limbah B3:

1. Melakukan identifikasi Limbah B3 yang dihasilkan;


2. Pencatatan nama dan jumlah Limbah B3 yang dihasilkan;
3. Melakukan Penyimpanan Limbah B3;
4. Melakukan Pemanfaatan dan/atau Pengolahan dan/atau Penimbunan
dan/atau menyerahkan kepada Pengumpul dan/atau Pengolah dan/atau
Pemanfaat dan/atau Penimbun Limbah B3 yang memiliki izin.
5. Menyusun dan menyampaikan laporan Penyimpanan Limbah B3.
Prosedur tindakan sistem pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3):

1. Melengkapi tempat penyimpanan sementara limbah B3 dengan


kemiringan 1% ke satu arah, pembuatan saluran, bak penampung
tumpahan minyak dan pemasangan papan nama.
2. Melengkapi kemasan limbah B3 dengan simbol dan label sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
3. Pelaporan inventarisasi limbah B3 setiap tiga bulan

3.4. Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut


Air merupakan kebutuhan paling esensial bagi makhluk hidup.
aktifitas manusia yang semakin meningkat dengan jumlah populasi yang
cenderung naik dari waktu ke waktu berpotensi menimbulkan dampak
terhadap penurunan kualitas lingkungan terurama kualitas air. Air laut

13
merupakan komponen utama penyusunan keseluruhan air di muka bumi ini.
Pengukuran kualitas air laut ditetapkan melaui pembandingan nilai hasil
pengukuran dengan nilai baku mutu yang ditetapkan dalam keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2004
Lampiran III. Dengan adanya monitoring terhadap kualitas air laut
diharapkan kegiatan penambangan yang dilakukan tidak mencemari perairan
pantai dan laut.

Parameter yang diukur meliputi kecerahan, kebauan, kekeruhan,


residu tersuspensi, sampah, suhu (in-situ), dan lapisan minyak, salinitas, pH,
oksigen terlarut (Dissolved Oxygen), Biological Oxygen Demand (BOD2),
ammonia (N-NH3), fosfat (PO4P), nitrat (NO3-N), Sianida (CN), sulfide
(H2S). senyawa fenol total, surfaktan (detergen), minyak dan lemak, raksa
(Hg), kromium VI (Cr VI), arsen (As), cadmium terlarut (Cd), tembaga
terlarut (Cu), timbal larut (Pb), seng terlarut (Zn), nikel (Ni), PAH
(poliaromatik hidrokarbon), PCB total (Poliktor bifenil), Tributil Tin (TBT).

Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat bahwa hasil analisis untuk


keseluruhan tersebut jadi telah memenuhi baku mutu masing-masing
parameter, kecuali pada parameter salinitas yang menunjukan hasil 35,7%
(titik 1), 34,8% (titik 2), dan 37,5% (titik 3) yang berarti melebihi baku mutu
(33-34%).

3.5. Dampak Pertambangan Timah Rakyat Terhadap Bencana Banjir.


Peristiwa bencana banjir pada 8 sampai dengan 21 Februari 2016 di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mematahkan anggapan bahwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung relatif aman dari kejadian bencana. Dari hasil
peneltian kegiatan pertambangan timah dilakukan di daerah pinggiran pantai,
Daerah Aliran Sungai (DAS), lereng bukit, hutan dan lahan-lahan reklamasi
sisa penambangan PT Timah Tbk, di mana kegiatan pertambangan itu
dilakukan dengan alatalat sederhana maupun alat-alat berat. Hal ini tidak
hanya menimbulkan kerusakan di lokasi penambangan saja. Kerusakan alam
dapat terjadi hingga ke pesisir pantai, tempat bermuara sungaisungai yang
membawa air dan lumpur dari lokasi penambangan liar.

14
Kawasan pantai, hutan di sejumlah lokasi rusak akibat limbah dari
pertambangan timah rakyat. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung khususnya di hutan konservasi yang ditambang
dan dipicu oleh intensitas hujan yang sangat lebat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Kodoatie dan Sugiyanto (2002) terjadinya banjir diakibatkan oleh
banjir alami dan banjir tindakan manusia.

Banjir tindakan manusia yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan


oleh pelaku pertambangan timah rakyat yang menyebabkan perubahan
lingkungan, melakukan kegiatan penambangan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya seperti melakukan kegiatan penambangan di DAS (Daerah
Aliran Sungai), kawasan hutan lindung maupun konservasi yang berakibat
pada banjir. Pernyataan tersebut dapat dikaitkan sekiranya dengan faktor yang
mempengaruhi terjadinya banjir di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada
Februari 2016 yang lalu, kondisi lingkungan yang mengalami kerusakan di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan dipicu dengan hujan dengan
intensitas yang sangat tinggi pada saat itu.

3.6. Upaya Pemerintah dalam penanggulangan banjir


Kepulauan Bangka Belitung Dalam Penanggulangan Banjir Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
menjelaskan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Secara garis besar
tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui tiga fase/tahapan
beserta kegiatannya yaitu perencanaan dan pendanaan serta peran lembaga
kebencanaan dengan kewenangan menjalankan fungsi koordinasi, komando
dan pelaksanaan. Sejalan dengan hal diatas pemerintah Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung telah melaksanakan upaya-upaya penanggulangan bencana
dengan kegiatan tanggap darurat yang dilakukan pada tanggal 8 sampai
dengan 21 Februari 2016 sesuai dengan prinsip-prinsip dasar penanggulangan
bencana.

Kegiatan tanggap darurat yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi


Kepulauan Bangka Belitung dalam penanggulangan bencana ini telah sesuai
dengan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4

15
tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:

1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian,


dan sumber daya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melakukan pengkajian dan
penghitungan kerusakan, kerugian dan sumber daya yang ada.
2. Melakukan penentuan status keadaan darurat bencana, dengan membuat
Pernyataan Tanggap Darurat Bencana Nomor 366/145.a/BPBD/2016
yang di tanda tangani oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan
mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung
Nomor 188.44/122/BPBD/2016 tentang Penetapan Status Keadaan
Darurat Penanganan Bencana Banjir Di Kepulauan Bangka Belitung.
3. Melakukan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
kegiatan yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendirikan posko pengungsian dan
mengevakuasi para korban banjir tersebut.
4. Pemenuhan kebutuhan dasar, dilakukan dengan pendirian dapur umum
oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, penyediaan air bersih untuk para pengungsi
di setiap pengungsian.
5. Melakukan perlindungan terhadap para kelompok rentan, dalam
membantu para pengungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memprioritaskan kaum
lansia dan anak-anak di pengungsian.
6. Melakukan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung melalui Tim Reaksi Cepat (TRC) membangun kembali instalasi
jembatan bailey di desa Keretak Kecamatan Simpang Katis Kabupaten
Bangka Tengah.

16
3.7. Penegakan Hukum
Para pelaku pertambangan dapat dikenakan sanksi pidana apabila
dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan
pengrusakan lingkungan hidup. Dasar yang dapat dipakai untuk menjerat
penduduk yang melakukan kegiatan pertambangan timah rakyat yang
merusak lingkungan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 ayat 1 yang berbunyi
“Barang Siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan
hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)”. Dan sanksi pidana
denda ini akan diperberat sepertiganya bila pengrusakan tersebut dilakukan
perseroan, yayasan, organisasi ataupun yayasan.
Upaya penegakan hukum terhadap pelaku pertambangan timah rakyat
yang tidak memiliki ijin, ataupun pertambangan timah rakyat yang memiliki
ijin akan tetapi melakukan kegiatan penambangan diwilayah yang tidak sesuai
peruntukannya Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung secara rutin melakukan penertiban terhadap pelaku pertambangan
timah rakyat yang melakukan penambangan tidak sesuai prosedur. Tim ini
merupakan tim gabungan antara Satuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian
serta instansi terkait.

1. Upaya Penegakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Penambangan


Timah Illegal (illegal mining)Yang Terjadi Di Provinsi Bangka Belitung
Dalam rangka penegakan hukum pidana menanggulangi tindak pidana
penambangan timah illegal, dalam hal ini Pihak kepolisian melakukan
razia dan penertiban di wilayah hukumnya masing-masing. Dalam hal ini
Pihak Kepolisian melakukan razia dan penertiban terhadap penambangan
timah illegal, razia ini dilakukan bersama Pemerintah Daerah setempat dan
Sat Pol PP dan melakukan penyitaan terhadap alat operasi kegiatan
tambang tersebut untuk dijadikan barang bukti. Setelah melakukan razia,
pihak kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
tersangka pelaku penambangan timah illegal. Setelah dilakukan

17
penyelidikan dan penyidikan maka berkas perkara yang telah lengkap
(P21) diteruskan ke proses penuntutan dan peradilan. Dalam proses
penuntutan ini berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan Negeri Pangkal
Pinang, dan dalam proses peradilan dilakukan di Pengadilan Negeri
Pangkal Pinang.

.Selain dari pelaksanaan razia dan penertiban yang dilakukan secara


berkala oleh Polres, dalam hal ini Kepolisian Daerah Bangka Belitung
melakukan beberapa upaya penegakan hukum dalam bentuk lain yaitu :

a. Penegakan hukum di lakukan melalui kegiatan rutin yang ditingkatkan


dan operasi PETI, baik oleh jajaran Polda maupun jajaran Polres.
b. Menekan penggunaan alat berat untuk pelaku tambang ilegal, dengan
sasaran para pengguna alat berat (penyewa dan pemilik).
c. Menekan jalur distribusi dari para kolektor, dengan sasaran para sub
kolektor, kolektor, gudang-gudang penyimpanan dan rumah/kolam
yang dijadikan sarana menyimpanan.
d. Menekan jalur distribusi bbm ilegal yang digunakan untuk sarana
melakukan penambangan, dengan sasaran para penampung, spbu, alat
angkut dan gudang-gudang penyimpanan.
e. Menekan jalur penyelundupan, dengan sasaran para pelaku
penyelundupan, alat angkut yang digunakan, lokasi penyelundupan dan
menemukan modus-modus baru penyelundupan.
2. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Penambangan Timah
Illegal (illegal mining) di Provinsi Bangka Belitung
Penegakan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi
pertambangan timah illegal di Provinsi Bangka Belitung dirasakan masih
efektif untuk dilakukan, hal ini terbukti dari minimnya pelaku yang
merupakan residivis pada perkara penambangan timah illegal ini. Akan
tetapi, dalam menjalankan penegakan hukum pidana terkait dengan
masalah penambangan timah illegal, para penegak hukum menemukan
berbagai hambatan, yang kemudian berpengaruh terhadap penegakan
hukum tersebut. Berbagai faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam

18
penegakan hukum perkara penambangan timah illegal, adalah sebagai
berikut :

a. Faktor Undang-Undang
Faktor perundang-undangan ternyata menjadi hambatan dalam
penegakan hukum pidana penambangan timah illegal di Bangka
Belitung. Salah satu hambatan tersebut adalah peraturan perundang-
undangan yang masih multi tafsir di antara penegak hukum. Antara
masing-masing penegak hukum bisa saja mengartikan undang-undang
tersebut secara berbeda. Kemudian masih adanya celah yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Hambatan lain
yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap penambangan timah
illegal ini adalah tidak adanya ancaman hukuman minimal yang diatur
oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Undang-undang
Pertambangan Mineral dan Batubara hanya mengatur mengenai
ancaman maksimal. Hal ini berpengaruh pada tuntutan Penuntut
Umum dan putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim. Dengan tidak
adanya ancaman hukuman minimal, maka penuntut hukum dan hakim
bisa saja menjatuhkan tuntutan dan putusan dengan ancaman pidana
yang rendah, sehingga dikhawatirkan tidak memberikan efek jera
kepada para pelaku penambangan timah illegal.

b. Faktor Penegak Hukum


Penegak hukum adalah pihak-pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.
Walaupun begitu, Penegak hukum dapat menjadi hambatan terhadap
tegaknya hukum itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan masih adanya
oknum-oknum penegak hukum yang berusaha menguntungkan dirinya
sendiri, walaupun harus melanggar hukum yang seharusnya ia
tegakkan. Terkait dengan masalah penambangan timah illegal ini,
oknum penegak hukum tersebut bisa saja menjadi “deking”
dilakukannya penambangan timah illegal. Karena tidak jarang, ketika
dilakukan penertiban, lokasi penertiban tersebut sudah kosong, karena
ditinggalkan oleh pemiliknya. Sehingga timbullah kecurigaan bahwa

19
ada oknum penegak hukum yang membantu para penambang timah
illegal tersebut dengan memberikan informasi yang berkaitan dengan
kegiatan penertiban yang akan dilakukan.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas


Provinsi Bangka Belitung merupakan suatu provinsi yang
memiliki wilayah yang luas dan belum berkembang. Provinsi yang
mempunyai 7 Kabupaten/Kota ini bahkan memiliki daerah-daerah
yang sulit untuk dijangkau karena susahnya akses untuk menuju ke
daerah tersebut. Dengan sulitnya akses untuk menuju ke daerah-
daerah tersebut, maka para penegak hukum dalam hal ini pihak
kepolisian selaku penyidik, kesulitan untuk melakukan penertiban dan
penangkapan terhadap pelaku penambangan timah illegal ini.Oleh
karena itu, faktor sarana dan prasarana yang belum memadai di
Provinsi ini pun menjadi salah satu hambatan dalam penegakan
hukum pidana.

d. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat juga menjadi hambatan dalam penegakan
hukum pidana pada penambangan timah illegal di Provinsi Bangka
Belitung.Masyarakat masih sangat bergantung pada hasil tambang
timah, sehingga menjadikan timah sebagai mata pencahariannya.
Masyarakat tidak akan berhenti melakukan praktek penambangan
timah illegal, apabila tidak ada jaminan bahwa mereka akan tetap
hidup dengan layak jika berhenti melakukan penambangan timah.
Ketika diadakan penertiban secara besar-besaran oleh penegak hukum,
tak jarang menimbulkan masalah lagi, yaitu tidak terimanya
masyarakat akan penertiban tersebut. Bahkan tak jarang setelah
dilakukan penertiban, massa berkumpul untuk melakukan demo
menyatakan tidak terima dengan penertiban yang telah dilakukan. Hal
ini dikarenakan, ketika dilakukan penertiban, maka masyarakat akan
kehilangan mata pencahariannya, sehingga kemudian muncullah
masalah sosial lainnya.Mengenai pengetahuan yang dimiliki
masyarakat pun dapat menjadi hambatan. Tanpa adanya pengetahuan

20
yang cukup, kemudian mempengaruhi keahlian yang dimiliki
masyarakat. Masyarakat yang tidak mengecap ilmu sekolah, tentunya
memiliki keahlian yang terbatas. Ketika mereka hanya mempunyai
keahlian menambang timah, maka pekerjaan tersebut akan terus
mereka lakukan. Hal ini tentu saja berhubungan dengan faktor
ekonomi. Mereka akan menggunakan satu-satunya keahlian yang
mereka miliki, untuk mencukupi perekonomian keluarga mereka.

e. Faktor Kebudayaan.
Penambangan timah di Provinsi Bangka Belitung ini telah
dilakukan sejak zaman nenek moyang, berpuluh ataupun beratus tahun
yang lalu, sehingga masyarakat Bangka Belitung sudah menjadikan
pertambangan timah sebagai suatu kebiasaan yang tidak dapat dirubah
lagi sehingga menjadi sebuah budaya di masyarakat. Begitu pula
dengan kegiatan penambangan timah tanpa izin. Ketika pada masa-
masa sebelumnya, melakukan penambangan timah tanpa izin sudah
terbiasa dilakukan oleh masyarakat, maka masyarakat akan terus
mempunyai pemikiran seperti itu. Itulah yang menyebabkan
kebudayaan juga menjadi suatu hambatan dalam penegakan hukum
pidana terhadap penambangan timah illegal di Bangka Belitung.

Dengan telah dijabarkannya faktor-faktor yang menghambat


penegakan hukum seperti diatas, dapat dilihat bahwa Faktor Masyarakat
merupakan hambatan yang paling utama. Walaupun telah dibuat aturan
sedemikian rupa, jika tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk mematuhi
hukum, maka hal tersebut akan sia-sia. Selain kesadaran masyarakat,
kesejahteraan masyarakat pun masih menjadi penyebab terhambatnya
penegakan hukum. Karena selama kesejahteraan masyarakat belum terjadi,
maka tindak pidana akan terus dilakukan oleh masyarakat.

3. Alternatif Penegakan Hukum Terhadap Penambangan Timah Illegal


(illegal mining) di Provinsi Bangka Belitung
Pertambangan timah illegal di Bangka Belitung telah menimbulkan
berbagai macam dampak negatif, baik terhadap masyarakat, lingkungan,

21
dan bahkan negara. Oleh karena itu, akan jauh lebih baik apabila praktek
penambangan timah illegal tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Terdapat beberapa upaya yang diharapkan dapat menghentikan praktek
pertambangan timah secara illegal di Bangka Belitung, yang harus
dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum,
perusahaan swasta, maupun masyarakat lokal itu sendiri. Upaya-upaya
yang dapat dilakukan dibagi menjadi upaya penal dan upaya non penal.
Upaya-upaya tersebut akan dijelaskan seperti berikut :

 Upaya Penal
Yang dimaksudkan dengan upaya penal adalah menggunakan
sanksi atau hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat
perundang-undangan). Berbagai upaya yang berkenaan dengan hukum,
pidana yang dapat dilakukan agar di masa yang akan datang tidak
terjadi lagi penambangan timah secara illegal, yaitu dengan melakukan
perubahan terhadap peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
masalah penambangan timah secara illegal, sehingga tidak
menimbulkan multitafsir diantara para penegak hukum.Misalnya,
dilakukannya perubahan terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bangka
Belitung No. 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan
Mineral, agar lebih disesuaikan dengan keadaan masyarakat di masa
sekarang dan masa yang akan datang, sehingga Perda tersebut dapat
efektif. Upaya lain adalah dengan diaturnya ketentuan mengenai sanksi
pidana dan denda minimum terhadap para pelaku pertambangan timah
illegal, serta mempertinggi sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada
para pelaku penambangan timah illegal, semata-mata supaya
menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana.
Walaupun memiliki banyak hambatan, penegakan hukum pidana
sebenarnya masih sangat efektif untuk terus dilakukan, asalkan sanksi
yang diberikan memang sesuai dengan perbuatan dari pelaku tindak
pidana, sehingga dapat memberikan efek jera para pelaku dan calon
pelaku tindak pidana.

22
 Upaya Non Penal
Dalam menanggulangi penambangan timah ilegal di Bangka
Belitung, maka upaya non-penal yang dapat dilakukan tentunya dengan
membina atau menyembuhkan masyarakat Bangka Belitung dari
kondisi-kondisi yang menyebabkan masyarakat melakukan usaha
pertambangan timah ilegal tersebut.
Berbagai macam upaya non-penal dapat dilakukan dalam rangka
meniadakan praktek pertambangan timah ilegal di Provinsi Bangka
Belitung, dan upaya yang dirasa akan sangat efektif adalah dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah dijabarkan
sebelumnya, timah merupakan sektor andalan di Bangka Belitung, yang
menggerakkan sektor lainnya. Maka dengan meningkatkan sektor lain,
seperti sektor perkebunan, peternakan, pertanian, dan bahkan
pariwisata, dapat menjadi alternative bagi masyarakat lokal, sehingga
tidak lagi menjadikan timah sebagai sektor andalan yang dapat
menyejahterakan kehidupannya. Kegiatan penambangan timah ilegal di
Bangka Belitung mayoritas dilakukan oleh masyarakat kalangan bawah,
dimana mereka seakan-akan tidak mempunyai keahlian dan pekerjaan
lain selain mencari timah, sehingga menjadikan penambangan timah
sebagai mata pencaharian. Upaya yang juga dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam menanggulangi hal ini adalah dengan menciptakan
lapangan pekerjaan lain, setelah sebelumnya memberikan penegetahuan
dan keahlian terkait dengan lapangan pekerjaan yang dibuka. Sehingga
dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang ada dan keahlian yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut, maka masyarakat tidak akan lagi
menjadikan timah sebagai mata pencaharian mereka.Jika memang
masih ada masyarakat yang ingin melakukan penambangan timah,
pemerintah dapat memberikan arahan kepada masyarakat tersebut untuk
melakukan pertambangannya secara legal, misalnya dengan melakukan
pola kemitraan dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan.Sehingga,
praktek pertambangan timah illegal ini dapat dihentikan.

23
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
masih lemah, masalah Pemanfaatan Dan Pengurasan Sumber Daya
Alam (hutan, tanah, sumberdaya air, keanekaragaman hayati dan sumberdaya
pesisir dan laut) , dan pencemaran lingkungan. Kebijakan pertambangan yang
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, terbit 3 Oktober 2009pada pasal 1 yang menyebutkan
bahwa izin lingkungan adalah izin yg diberikan kepada setiap orang yg
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagar
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

Hasil pengukuran kualitas air laut yang meliputi kecerahan, kebauan,


kekeruhan, residu tersuspensi, sampah, suhu (in-situ), dan lapisan minyak,
salinitas, pH, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen), Biological Oxygen
Demand (BOD2), ammonia (N-NH3), fosfat (PO4P), nitrat (NO3-N), Sianida
(CN), sulfide (H2S). senyawa fenol total, surfaktan (detergen), minyak dan
lemak, raksa (Hg), kromium VI (Cr VI), arsen (As), cadmium terlarut (Cd),
tembaga terlarut (Cu), timbal larut (Pb), seng terlarut (Zn), nikel (Ni), PAH
(poliaromatik hidrokarbon), PCB total (Poliktor bifenil), Tributil Tin (TBT)
telah memenuhi baku mutu masing-masing parameter, kecuali pada
pengukuran salinitas yang menunjukan hasil yang melebihi baku mutu tetapi
masih dalam batas kewajaran.

Jadi setiap usaha atau kegiatan pertambangan di laut harus memiliki


izin lingkungan supaya pertambangan di laut terarah sesuai dengan peraturan
yang ada. Kebijakan tersebut dan ketepatan sebuah program sudah mulai
berjalan dengan cukup baik dan dengan ada kebijakan tersebut pemerintah
kabupaten Bangka untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan
lingkungan hidup melalui instrumen informasi.

24
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa faktor penyebab banjir di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu :

 Faktor Alami, seperti intensitas hujan yang melampaui kapasitas normal,


erosi, sedimentasi, pendangkalan sungai, air laut pasang dimusim
penghujan yang memperlambat aliran air sungai ke laut.
 Faktor buatan/manusia, perubahan fungsi lahan-lahan yang mempengaruhi
kemampuan lahan itu sendiri untuk menampung air, perubahan kondisi
Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti penggundulan kawasan hutan untuk
perluasan usaha perkebunan dan pertambangan yang kurang tepat, dan
perubahan tata guna lainnya.
 Untuk kegiatan pengendalian dan meminimalisasi dampak banjir dimasa yang
akan datang pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga melakukan
dua metode upaya penanggulangan bencana banjir yaitu upaya teknis struktural
dan upaya non struktural (Sebastian, 2008).
 a.Upaya Teknis Struktural Pada upaya teknis struktural ini telah dilakukan
beberapa upaya untuk penanggulangan bencana banjir dan meminimalisir
bencana banjir, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melakukan
beberapa upaya teknis struktural yaitu pembangunan/perbaikan prasarana dan
sarana, rehabilitasi dan reklamasi lahan pasca tambang.
•Pembangunan/Perbaikan Prasarana dan Sarana
1.Pembangunan tanggul penahan abrasi di 3 (tiga) Kabupaten/Kota direncanakan untuk
dibangun untuk melindungi daratan dari erosi gelombang laut dan bahaya banjir yang
disebabkan dari limpasan gelombang. Karena Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
berada pulau dan dikelilingi oleh laut berpotensi terjadinya limpasan gelombang.
2.Pembangunan Break Water di muara pantai untuk menanggulangi sedimentasi.
Pembangunan ini akan dilakukan di muara sungai kampung nelayan dua kecamatan
Sungailiat.
3.Pembangunan jalur evakuasi di daerah rawan bencana di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
4.Pengembangan jembatan portabel (Bailey) yang dilakukan secara bertahap di Pulau
Bangka dan Pulau Belitung. Jembatan ini sebagai antisipasi terputusnya akses jalan
karena bencana banjir. Pada tahun anggaran 2016 Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapat tambangan 1 (satu) unit jembatan
bailey. Hingga jumlahnya menjadi 2 (dua) unit.

25
•Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan
Pasca Tambang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun
200814tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Keputusan Menteri Pertambangan
dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/199515, dengan jelas mengatur tentang reklamasi
lahan bekas penambangan. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatur tentang cara
penambangan yang benar dan penambangan dapat dilakukan dengan seoptimal mungkin
tetapi lahan-lahan yang telah digunakan untuk kepentingan penambangan tersebut harus
dipulihkan kembali fungsi lahannya.
Upaya pemulihan fungsi lahan ini telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI
Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Sejalan dengan
Peraturan Pemerintah tersebut, setiap perusahaan skala besar yang memegang IUP (Izin
Usaha Penambangan) yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah
melaksanakan kegiatan reklamasi lahan bekas penambangan, reklamasi yang dilakukan
melalui pengelolaan lahan bekas tambang dengan pola reklamasi fast growing species
seperti cemara laut, sengon laut, akasia. Selain itu ada juga pola yang disesuaikan dengan
kebutuhan penduduk di wilayah tersebut seperti sukun, karet, tanaman buah. Semua
kegiatan reklamasi ini pelaksanaannya dibawah pengawasan Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Badan Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Beberapa dasar perusahaan tersebutdalam melaksanakan kegiatan reklamasi tersebut
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca
Tambang, selain itu dalam usaha memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan
vegetasi hutan yang telah rusak agar dapat kembali berfungsi secara optimal perusahaan
penambang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. kegiatan reklamasi
dan rehabilitasi lahan bekas tambang ini hanya mampu dilakukan oleh penambang timah
dalam skala besar, seperti PT. Timah, Tbk. Karena untuk melakukan kegiatan reklamasi
dan rehabilitasi ini membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga pertambangan timah
rakyat yang skalanya kecil, tidak akan mampu melakukan kegiatan reklamasi dan
rehabilitasi lahan.

26
b. Upaya Non Struktural

Upaya struktural yang dilakukan dalam upaya meminimalisasi dampak


negatif kerusakan lingkungan penanggulangan banjir dan yang bersifat fisik,
harus diimbangi pula dengan langkah-langkah non-fisik atau upaya-upaya
yang bersifat non struktural.

•Kebijakan

1.Kegiatan penanggulangan bencana banjir di Provinsi Kepulauan Bangka


Belitung pada masa tanggap darurat dilakukan dengan dikeluarkannya
kebijakan Surat Pernyataan Tanggap Darurat Bencana Nomor
366/145.a/BPBD/2016 dan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Bangka
Belitung Nomor 188.4/122/BPBD/2016 tentang Status Penetapan Keadaan
Darurat Penanganan Bencana Banjir.

2.Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun


201416tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral.

3.Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 10 Tahun


2016 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Peraturan Daerah
dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan kerusakan lahan di Daerah
Aliran Sungai (DAS) akibat dari pemanfaatan sumber daya alam yang tidak
sesuai dengan prosedur dan peruntukannya.

4.Penyusunan draft pertambangan timah rakyat, Dinas Pertambangan dan


Energi Provinsi Bangka Belitung menyatakan bahwa pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sedang menunggu Peraturan Presiden sebagai
payung hukum untuk melegalkan tambang rakyat tersebut, dan Peraturan
Presiden itu tidak berlaku untuk penambangan di hutan lindung termasuk
konservasi dan kawasan larangan lainnya. Perlu dilakukan kajian untuk
melegalkan tambang rakyat ini.

27
5.Penetapan perencanaan kawasan peruntukan pertambangan di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, pengembangan kawasan pertambangan
dilakukan melalui kegiatan memfasilitasi kegiatan eksplorasi bagi pihak
yang telah mendapatkan ijin usaha pertambangan eksplorasi, peningkatan
status WIUP (Wilayah Ijin Usaha Pertambangan) eksplorasi menjadi WIUP
operasi produksi sesuai hasil kajian teknis, memfasilitasi dan mengawasi
pelaksanaan kegiatan operasi produksi, mengidentifikasi dan menetapkan
wilayah pertambangan rakyat (WPR), memfasilitasi dan mengawasi
pelaksanaan pertambangan rakyat, dan memfasilitasi dan mengawasi
kegiatan reklamasi dan pasca tambang.

6.Penetapan perencanaan kawasan peruntukan pariwisata, melalui


identifikasi kawasan yang potensial dan kawasan wisata yang sudah tumbuh,
menyusun rencana induk pengembangan pariwisata daerah di Pulau Bangka
dan Pulau Belitung, merevitalisasi dan memperbaiki bangunan dan kawasan
wisata yang telah ada, melakukan pengembangan kawasan potensial menjadi
kawasan strategis pariwisata provinsi serta meningkatkan aksebilitas pada
kawasan-kawasan pariwisata yang potensial.

•Alih Fungsi Lahan

Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui wawancara


dengan Kepala Seksi Konservasi Hutan dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan
mengatakan bahwa pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
melakukan kajian alih fungsi lahan yang tujuannya mengubah status
pengelolaan beberapa hutan di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
diantaranya gunung Mangkol, gunung maras, gunung Menumbing, gunung
peremisan, gunung Lalang, dan Jering Penduyung agar kelestarian
ekosistem kawasan hutan ini dapat dengan alasan penting yaitu terwujudnya
kelestarian sumber daya alam.

•Pemetaan Lokasi Rawan Banjir

Sebagai Sistem Peringatan Dini Badan Penanggulangan Bencana Daerah


(BPBD) Provinsi Bangka Belitung menyatakan bahwa Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah membuat data daerah
berpotensi rawan bencana, kegiatan pendataan ini sejalan dengan amanat
dari Undang Undang Nomor 24 Tahun 200717 tentang Penanggulangan
Bencana. Perencanaan kegiatan pendataan daerah rawan bencana di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini juga masuk dalam program wajib
Rencana Strategis (Renstra) 2012-2017 Badan Penanggulangan Bencana
Daerah dalam rangka pengurangan risiko bencana.

28
•Pendidikan dan Sosialisasi

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


menyebutkan bahwa pendidikan dan sosialisasi merupakan bagian dari
kegiatan mitigasi bencana. Sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan sebagai
berikut:

Badan Penanggulangan Bencana Daerah :

1.Sosialisasi tentang penanggulangan bencana ke pelajar dan mahasiswa.

2.Sosialisasi kesiapsiagaan banjir.

3.Pelatihan berkala kesiapsiagaan banjir dilakukan sebagai upaya


mengurangi risiko bencana banjir dan masyarakat, peningkatan
pengetahuaan dan kesadaran agar mampu mengantisipasi bencana banjir.

4.Pendidikan dan pelatihan relawan penanggulangan bencana.

•Badan Lingkungan Hidup Daerah:

1.Sosialisasi kegiatan peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi


dan pemulihan cadangan sumber daya alam, kegiatan ini penting artinya
dalam penentuan keberhasilan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana. Dengan adanya partisipasi masyarakat maka upaya rehabilitasi
dan pemulihan cadangan sumber daya alam dapat dilaksanakan dengan
mudah dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang optimal.

2.Sosialisasi kebijakan, norma, standar, prosedur pengelolaan Ruang


Terbuka Hijau (RTH).

29
•Dinas Kehutanan :

1.Melakukan pelatihan GIS (Geographic Information System) dan


pengukuran hutan, pelatihan GIS (Geographic Information System). ini
berguna untuk penyediaan info spasial.

2.Sosialisasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

3.Bimbingan teknis pengendalian, monitoring dan pelaksanaan rehabilitasi


hutan dan lahan.

30
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika: Jakarta.

Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Rajawali Press: Jakarta.

Bambang Poernomo,1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem


Pemasyarakatan, Liberty: Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan


Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, 2010, Hukum Penistensier Indonesia,


Sinar Grafika: Jakarta.

Ratna Nurul Afiah,1996, Pra Peradilan dan Ruang Lingkupnya, Akademia


Pressindo: Jakarta.

Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme


dan Abolisionisme, Putra A. Bardin: Bandung.

S. Tanusubroto, 1983. Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana,


Alumni: Bandung.Salim HS, 2005, Hukum Pertambangan Di Indonesia, PT
Grafindo Persada: Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas: Jakarta.Soerjono


Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia: Jakarta.

Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP


(Sistem dan Prosedur), Alumni: Bandung

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty: Yogyakarta.

Waluyadi,2009, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju:


Bandung.

Sujitno, Sutedjo. 2007. Dampak Kehadiran Timah Indonesia Sepanjang Sejarah


Pada Aspek Politik Ekonomi Sosial Budaya. Jakarta: Cempaka Publishing.

Fattah, N. (2011). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya.

31
Nazir. M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.

Rusli, Budiman.2013. KEBIJAKAN PUBLIK: Membangun Pelayanan Publik


Yang Responsif. Bandung : Hakim Publishing.

Sapanli, K. (2009). Analisis Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kelautan Di


Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Soemarwoto, O. (1994). Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Djambatan:


Jakarta..

32

Anda mungkin juga menyukai