Anda di halaman 1dari 11

Masalah Lingkungan Dalam Pembangunan Pertambangan Timah di

Kabupaten Bangka

Jepri Arianto 1
1
Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi, Universitas Bangka Belitung, 33172 Kepulauan
Bangka Belitung, Indonesia
Korespondensi:

Abstrak
Keberadaan mineral biji timah di Bangka Belitung merupakan karunia dari Tuhan YME bagi masyarakat di daerah

itu dalam sisi ekonomi yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan penghidupan dari kegiatan penambangan

baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada sisi yang lain keberadaan timah yang tidak dikelola dan diatur

dengan baik oleh aparat pemerintah daerah, disertai dengan tidak adanya kesadaran untuk menjaga kelestarian

lingkungan hidup oleh segenap stake holder di daerah ini telah membawa kehancuran lingkungan hidup dan

ekosistem di Bangka Belitung.Pemerintah daerah harus tegas untuk mengimplementasikan semua aturan tentang

penambangan timah, baik berupa peraturan perundangundangan nasional maupun dalam bentuk peraturan

daerah. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan eksploitasi timah dapat dikendalikan dengan baik, kegiatan

reklamasi dan kegiatan pascatambang dapat berjalan sesuai aturan. Orientasi penjagaan dan pemeliharaan serta

pemulihan kondisi lingkungan hidup harus merupakan fokus utama pemerintah daerah dalam pengelolaan

pertambangan di daerah ini.

Kata Kunci: stake holder, Pemerintah daerah, penambangan timah, reklamasi

1. Pendahuluan
Wilayah Kabupaten Bangka, salah satu penghasil timah di Indonesia1. Bangka merupakan kabupaten di
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung2 dengan luas Wilayah 3.028,794 km2 atau 3.028.794,693 Ha. Wilayah
Kabupaten Bangka terletak di Pulau Bangka. Kabupaten ini memiliki luas wilayah lebih kurang 2.950,68 km2 atau
295.068 Ha. Secara administratif wilayah Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan daratan wilayah
kabupaten/kota lainnya di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu dengan wilayah Kota Pangkalpinang,
Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Barat serta Laut Natuna. Kabupaten Bangka terdiri dari 8
Kecamatan yaitu Kecamatan Sungailiat dengan luas wilayah 146,38 km2, Kecamatan Pemali dengan luas
wilayahnya 127,87 km2, Kecamatan Bakam dengan luas wilayah 488,10 km2, Kecamatan Belinyu dengan luas
wilayah 546,50 km2, Kecamatan Mendo Barat dengan luas wilayah 570,46 km2, Kecamatan Merawang dengan luas
wilayahnya 164,40 km2, Kecamatan Puding Besar dengan luas wilayah 383,29 km2, Kecamatan Riau Silip dengan
luas wilayah 533,68 km2.3 Pertambangan rakyat di Bangka adalah pertambangan mineral logam timah yang mulai
ada sejak 1998,4 karena sebelumnya rakyat dilarang untuk melakukan penambangan. Istilah yang berkembang dan
dikenal oleh masyarakat Kabupaten Bangka adalah Tambang Timah Inkonvensional (TI).
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
pertambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang .
Manajemen paradigma Sumber Daya Alam untuk memaksakan sektor pertambangan sebagai ancaman besar bagi
ekologi dan terutama pada sumber-sumber penghidupan rakyat seperti yang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
(selanjutnya disebut Babel). Berhektar hektar lahan pertanian setiap tahun orang di Babel telah diubah menjadi area
pertambangan. Hanya membutuhkan waktu 3 bulan untuk membongkar 1 ha oleh penambangan timah. Lubang -
lubang itu juga berpotensi menjadi penyebar penyakit endemik. Penyakit menyajikan paling potensial dari tambang
timah bekas adalah demam berdarah dan malaria. Di Babel, khususnya daerah Mendo Barat Sungailiat dan demam
1
berdarah lokasi (DBD) tertinggi. Babel Data departemen kesehatan menunjukkan peningkatan jumlah penderita
demam berdarah setiap tahun sejak tahun 2005, termasuk 3-5 orang meninggal. Lubang bekas tambang timah,
membuat Babel salah satu yang tertinggi di provinsi Indonesia tanah yang rusak oleh kondisi kritis atau sangat
kritis. Sekitar 1,053,253.19 hektar atau 64,12% dari tanah Babel, tertinggi di Pulau Bangka 810,059.87 (76,91%).
Sebagian besar lubang adalah lahan bekas tambang timah milik koorporasi dan masyarakat dengan penambangan
inkonvensionalnya. Kerusakan yang dirasakan masyarakat antara lain menyebabkan hilangnya kesempatan untuk
mendorong ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian dan perkebunan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dampak dari pembangunan pertambangan TI di Kabupaten Bangka terhadap lingkungnan

2. Metodologi Penelitian
data primer berasal dari hasil observasi dan studi kepustakaan yang sudah ada. Lokasi penelitian dilakukan
di wilayah Kabupaten Bangka karena merupakan salah satu penghasil timah terbesar di Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung sehingga representasi kabupaten lainnya propinsi ini. Wilayah yang dipilih
dengan pertimbangan daerah yang banyak terdapat TI yaitu daerah Kecamatan Sungailiat, Belinyu, Bakam
dan wilayah yang tidak terdapat TI yaitu Kecamatan Bakam dan sebagian Wilayah Kecamatan Sungailiat.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah lebih kurang 2.950,68 Km2 atau 295.068 Ha. Secara administratif
wilayah Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan daratan wilayah kabupaten/kota lainnya di
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka
Tengah dan Kabupaten Bangka Barat serta Laut Natuna, dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2007
memiliki jumlah penduduk 242.010 jiwa.

3. Hasil dan Pembahasan


Membangun Ecoliteracy untuk Lingkungan Berkelanjutan Apabila direnungkan dan dikaji secara mendalam makna
slogan; “bumi ini adalah pinjaman generasi sekarang dari generasi yang akan datang” sesungguhnya merupakan
peringatan (warning) bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya nasional. Khusus bagi
pengusahaan bahan galian, perlu diiingat bahwa pengusahaan bahan galian secara berlebihan di masa sekarang
tanpa mematuhi kaidah-kaidah hukum lingkungan, akan menjadi beban berat bagi generasi yang akan datang.
Generasi penerus bangsa Indonesia akan menjadi generasi penanggung beban saja. Hal seperti ini tentu tidak
berlaku secara khusus di negara tertentu saja, melainkan akan terjadi di semua negara yang melakukan langkah
penanganan serupa, terutama sekali dalam pengusahaan bahan mineral untuk tujuan dan kepentingan yang bersifat
sesaat. Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan
kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi
kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu sendiri.17 Secara ekologis, manusia adalah bagian dari
lingkungan hidup. Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya
merupakan lingkungan hidup manusia.

Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan
manusia dan komponen lainnya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi
manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk masa kini maupun masa mendatang. Kelangsungan
hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana
kearifan manusia dalam mengelolanya.Saat ini mulai banyak muncul gerakan atau kelompok yang memandang dan
memperlakukan alam semesta ini secara keseluruhan dan bukan parsial. Selama tigapuluh tahun terakhir, krisis
lingkungan mendorong berlangsungnya proses “penghijauan pemikiran religius ketika para pemikir religius dari
berbagai tradisi mulai memberikan tanggapan secara bermakna pada semakin besarnya kesadaran tentang makhluk
yang begitu rapuh, mudah rusak, dan saling bergantung. Meskipun banyak tradisi religius memiliki cukup banyak
sumber, namun belum banyak yang telah mengembangkan sepenuhnya etika lingkungan yang sistematis yang
relevan dengan masalah-masalah kontemporer. Banyak hal yang muncul dan krisis yang luar biasa besar dari hal
yang disebutkan di atas, oleh karena itu menjelang 1970-an muncul sebuah gerakan eko-keadilan yang berupaya
mengintegrasikan ekologi, keadilan. Terdapat banyak konsensus tentang pentingnya aspek religius dalam bertindak
menghadapi masalah-masalah lingkungan, dan tampak jelas bahwa perjuangan untuk mengintegrasikan ekologi,
keadilan (masyarakat) dan keimanan menjadi pemikiran yang permanen pada masa-masa yang mendatang.

2
Meminjam pemikiran ekologis Fritjof Capra tentang jaring-jaring kehidupan di alam semesta ini bahwa
sesungguhnya ada relasi timbal balik antara manusia dengan alam. Manusia bukanlah penguasa alam semesta
melainkan manusia hanyalah bagian dari jaring-jaring kehidupan yang ada di alam semesta ini. Apapun yang
manusia lakukan terhadap jaring-jaring kehidupan ini pada akhirnya akan berimbas pada manusia itu sendiri sebagai
bagian dari jaring-jaring kehidupan tersebut.

Konsep Capra sebenarnya banyak terinspirasi oleh gaya pemikiran keseimbangan dan keharmonian antara dualitas
yin dan yang. Capra mengambil contoh jaring-jaring kehidupan ini dalam kasus rantai makanan, ada ketergantungan
satu organisme terhadap organisme lain yang mengarah pada kondisi mutualisme. Capra kemudian menuangkan
gagasannya tentang pengelolaan lingkungan ini ke dalam konsep besar, yaitu ecoliteracy. Ecoliteracy lebih
mengarahkan pada upaya membentuk kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup bagi keberlanjutan jaring-jaring
kehidupan. Ecoliteracy, bisa diartikan sebagai situasi melek huruf, paham, atau memiliki pengertian terhadap
bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di bumi. Jadi apa yang perlu dipahami dari ecoliteracy
adalah wisdom of nature (kebijaksanaan alam) yang digambarkan oleh Fritjof Capra sebagai kemampuan sistem-
sistem ekologis planet bumi mengorganisir dirinya sendiri melalui cara-cara halus dan kompleks. Cara sistem-
sistem ekologis ini mengorganisir diri sendiri telah teruji sangat handal untuk melestarikan kehidupan di planet
bumi.Atas dasar kesadaran inilah manusia menata pola dan gaya hidupnya menjadi pola dan gaya hidup yang
selaras dengan lingkungan hidup. Manusia lalu menggunakan kesadaran tersebut untuk menuntun hidupnya dalam
segala dimensinya sampai menjadi sebuah budaya yang merasuki semua anggota masyarakat untuk akhirnya
terciptalah sebuah masyarakat yangberkelanjutan. Secara khusus, Capra juga memaksudkan ecoliteracy sebagai
keadaan di mana orang telah memahami prinsip-prinsip ekologi dan hidup sesuai dengan prinsipprinsip ekologi itu
dalam menata dan membangun kehidupan bersama umat manusia di bumi ini dalam dan untuk mewujudkan
masyarakat berkelanjutan.Masa depan Indonesia dan Pembangunan Berkelanjutan akan sangat bergantung pada
melek ekologis yaitu paham akan prinsip ekologis dan menata hidup serta perilakunya sesuai dengan prinsip ini.
Kesadaran harus menjadi suatu sistem yang bisa dimulai dari perilaku individu sampai dengan penataan struktural
sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan birokrasi. Secara lebih praktis bisa dimulai dari konsumsi kebutuhan
pokok, konsumsi energi, penggunaan teknologi dan peralatan rumah tangga, perawatan rumah, rancangan bangun
rumah dan kantor, pertanian, pengembangan mata pencaharian, pengembangan industri dan bisnis, pengelolaan
kantor. Dengan demikian, masyarakat diajak untuk meninggalkan sikap antroposentrisme, untuk berprinsip pada
ecoliteracy sesuai dengan etika bioesentrisme dan deep ecolology. Sesungguhnya masyarakat juga diajak untuk
kembali pada kearifan lokal dalam memperlakukan alam.

Kearifan lokal dalam mengelola lingkungan hidup, termuat dalam Undang- Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya menggunakan istilah UUPPLH). Pasal 1 angka 30
UUPPLH menjelaskan kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, yang selanjutnya kearifan lokal juga menjadi
salah satu asas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dimuat dalam Pasal 2 huruf (l)
UUPPLH dan diperjelas dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan asas kearifan lokal adalah bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.

a. Dampak Pertambangan Timah Rakyat Terhadap Bencana Banjir Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Peristiwa bencana banjir pada 8 sampai dengan 21 Februari 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
mematahkan anggapan bahwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung relatif aman dari kejadian bencana. Dari hasil
peneltian kegiatan pertambangan timah dilakukan di daerah pinggiran pantai, Daerah Aliran Sungai (DAS), lereng
bukit, hutan dan lahan-lahan reklamasi sisa penambangan PT Timah Tbk, di mana kegiatan pertambangan itu
dilakukan dengan alatalat sederhana maupun alat-alat berat. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerusakan di lokasi
penambangan saja. Kerusakan alam dapat terjadi hingga ke pesisir pantai, tempat bermuara sungaisungai yang
membawa air dan lumpur dari lokasi penambangan liar. Kawasan pantai, hutan di sejumlah lokasi rusak akibat
limbah dari pertambangan timah rakyat. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
khususnya di hutan konservasi yang ditambang dan dipicu oleh intensitas hujan yang sangat lebat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Kodoatie dan Sugiyanto (2002) terjadinya banjir diakibatkan oleh banjir alami dan banjir
tindakan manusia. Banjir tindakan manusia yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pelaku pertambangan
timah rakyat yang menyebabkan perubahan lingkungan, melakukan kegiatan penambangan yang tidak sesuai
dengan peruntukannya seperti melakukan kegiatan penambangan di DAS (Daerah Aliran Sungai), kawasan hutan
lindung maupun konservasi yang berakibat pada banjir. Pernyataan tersebut dapat dikaitkan sekiranya dengan faktor
yang mempengaruhi terjadinya banjir di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Februari 2016 yang lalu, kondisi
3
lingkungan yang mengalami kerusakan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan dipicu dengan hujan dengan
intensitas yang sangat tinggi pada saat itu.Upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Dalam
Penanggulangan Banjir

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan penyelenggaraan


penanggulangan bencana. Secara garis besar tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui tiga
fase/tahapan beserta kegiatannya yaitu perencanaan dan pendanaan serta peran lembaga kebencanaan dengan
kewenangan menjalankan fungsi koordinasi, komando dan pelaksanaan. Sejalan dengan hal diatas pemerintah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melaksanakan upaya-upaya penanggulangan bencana dengan kegiatan
tanggap darurat yang dilakukan pada tanggal 8 sampai dengan 21 Februari 2016 sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
penanggulangan bencana. Kegiatan tanggap darurat yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dalam penanggulangan bencana ini telah sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 4 tahun 200812 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melakukan pengkajian dan penghitungan
kerusakan, kerugian dan sumber daya yang ada.

2. Melakukan penentuan status keadaan darurat bencana, dengan membuat Pernyataan Tanggap Darurat Bencana
Nomor 366/145.a/BPBD/2016 yang di tanda tangani oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan mengeluarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Nomor 188.44/122/BPBD/2016 tentang Penetapan Status
Keadaan Darurat Penanganan Bencana Banjir Di Kepulauan Bangka Belitung

3. Melakukan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, kegiatan yang dilakukan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendirikan posko pengungsian dan
mengevakuasi para korban banjir tersebut

4. Pemenuhan kebutuhan dasar, dilakukan dengan pendirian dapur umum oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penyediaan air bersih untuk para pengungsi di setiap
pengungsian

5. Melakukan perlindungan terhadap para kelompok rentan, dalam membantu para pengungsi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memprioritaskan kaum lansia dan
anak-anak di pengungsian

6. Melakukan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui Tim Reaksi Cepat (TRC) membangun kembali instalasi jembatan
bailey di desa Keretak Kecamatan Simpang Katis Kabupaten Bangka Tengah.

Untuk kegiatan pengendalian dan meminimalisasi dampak banjir dimasa yang akan datang pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung juga melakukan dua metode upaya penanggulangan bencana banjir yaitu upaya teknis
struktural dan upaya non struktural (Sebastian, 2008).

a. Upaya Teknis Struktural Pada upaya teknis struktural ini telah dilakukan beberapa upaya untuk penanggulangan
bencana banjir dan meminimalisir bencana banjir, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melakukan
beberapa upaya teknis struktural yaitu pembangunan/perbaikan prasarana dan sarana, rehabilitasi dan reklamasi
lahan pasca tambang. Pembangunan/Perbaikan Prasarana dan Sarana

1. Pembangunan tanggul penahan abrasi di 3 (tiga) Kabupaten/Kota direncanakan untuk dibangun untuk melindungi
daratan dari erosi gelombang laut dan bahaya banjir yang disebabkan dari limpasan gelombang. Karena Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung berada pulau dan dikelilingi oleh laut berpotensi terjadinya limpasan gelombang.

2. Pembangunan Break Water di muara pantai untuk menanggulangi sedimentasi. Pembangunan ini akan dilakukan
di muara sungai kampung nelayan dua kecamatan Sungailiat. 3. Pembangunan jalur evakuasi di daerah rawan
bencana di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

4. Pengembangan jembatan portabel (Bailey) yang dilakukan secara bertahap di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Jembatan ini sebagai antisipasi terputusnya akses jalan karena bencana banjir. Pada tahun anggaran 2016 Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapat tambangan 1 (satu) unit jembatan
bailey. Hingga jumlahnya menjadi 2 (dua) unit. Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Pasca Tambang Peraturan
4
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan Keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995, dengan jelas mengatur tentang reklamasi lahan
bekas penambangan. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatur tentang cara penambangan yang benar dan
penambangan dapat dilakukan dengan seoptimal mungkin tetapi lahan-lahan yang telah digunakan untuk
kepentingan penambangan tersebut harus dipulihkan kembali fungsi lahannya. Upaya pemulihan fungsi lahan ini
telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi
Hutan. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah tersebut, setiap perusahaan skala besar yang memegang IUP (Izin
Usaha Penambangan) yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melaksanakan kegiatan reklamasi
lahan bekas penambangan, reklamasi yang dilakukan melalui pengelolaan lahan bekas tambang dengan pola
reklamasi fast growing species seperti cemara laut, sengon laut, akasia. Selain itu ada juga pola yang disesuaikan
dengan kebutuhan penduduk di wilayah tersebut seperti sukun, karet, tanaman buah. Semua kegiatan reklamasi ini
pelaksanaannya dibawah pengawasan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan
Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

1. Mengatur Kelautan

Pertambangan, Reklamasi dan Upaya Pemulihan Dilakukan Oleh Orang Atau Pemerintah Dalam Upaya Reklamasi
kerusakan lingkungan akibat penambangan di laut. Mineral pertambangan yang dikelola oleh: a. manfaat, keadilan,
dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas; dan
d. berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pertambangan timah terus sampai diundangkannya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan terus Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara. Koorporasi di Babel dalam UU No.11 / 1967 era didominasi oleh hanya dua perusahaan yaitu PT.
Timah dan PT. Kobatin sejak 1971. Kontrak Karya (KK) berlaku kedua perusahaan telah diperpanjang 30 tahun dari
2003 hingga 2013. Bangka-Belitung dan Singkep dikendalikan oleh PT Timah (BUMN) sementara beberapa di
wilayah selatan Bangka Bangka oleh PT. Kobatin, perusahaan Australia sedang dalam perjalanan sekarang dimiliki
oleh Malaysia Smelting Corporation (MSC) 75% dan PT. 25% timah. Dalam era otonomi daerah meningkatkan
jumlah perusahaan yang beroperasi, pada tahun 2006 saja ada 75 buah pemilik Kuasa Pertambangan (KP) dan 37
buah 40-tahun izin pemilik smelter sudah PT. Kobatin timah tambang dan lebih dari 10.000 lokasi. Penambangan
timah laut di Babel menggunakan kapal isap atau hasil penambangan inkonvensional pencemaran lingkungan cukup
memprihatinkan. Kapal keruk hisap inkonvensional dan tambang apung terus bertambah sehingga otomatis
pencemaran lingkungan juga meningkat, tanpa ada upaya untuk mengatasi masalah kerusakan reklamasi lingkungan
laut, "kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Babel, Amrullah Harun.

Kapal Isap dan tambang timah beroperasi tanpa izin dari orangorang di laut atau yang lebih dikenal dengan TI
apung itu hanya mengambil kandungan timah, terlepas dari dampak lingkungan. Munculnya TI apung sudah
menjadi masalah yang telah lama di Babel dan sampai saat ini belum ada jalan keluar. Meskipun ada peraturan
pemerintah daerah tidak zona tertentu yang dapat dibawa oleh penambang pertambangan izin, tetapi masih banyak
TI apung sengaja melakukan pertambangan di daerah terlarang untuk mendapatkan keuntungan lebih. Selain
merusak ekosistem dasar laut, eksploitasi timah bijih sedimentasi menyebabkan cukup banyak. Dengan gelombang
laut yang terus bergerak dinamis, sedimentasi dapat menyebar ke seluruh perairan Babel dan daerah sekitarnya.
Sedimentasi merupakan salah satu penyebab pemutihan karang (bleaching). Bahkan 11% dari terumbu karang di
seluruh dunia rusak akibat pemutihan. Namun terumbu karang adalah rantai keberlanjutan ekosistem laut vital atau
piramida kehidupan laut. Belum lagi tumpahan minyak, minyak atau bahan kimia lain yang berasal dari kapal isap
termasuk sampah logistik akan mengganggu ekosistem laut. Hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh
Tim Eksplorasi Terumbu Karang dari Universitas Bangka Belitung menemukan kondisi data ekosistem terumbu
karang di Pulau Bangka adalah kondisi yang kurang baik. Kecuali ada ekosistem terumbu karang di pulau-pulau
yang jauh dari daratan Pulau Bangka. Kerusakan yang terjadi bervariasi, mulai dari penurunan penutupan karang
hidup karena akumulasi ekosistem karang sedimentasi yang parah. Lebih dari 50% dari ekosistem terumbu karang
yang telah diamati di Pulau Bangka rusak. Setiap hari 1 buah KIP mampu menghasilkan 2.700 m3 sampah
sedimentasi, dapat dibayangkan jika ada sekitar 50 Kapal Isap Produksi setiap hari, membawa setidaknya sebanyak
49.500.000 per tahun dalam bentuk partikel halus distribusi sedimentasi yang meliputi sebagian besar karang
terumbu karang dan perairan pesisir di pulau pesisir Bangka. Jadi kehancuran Babel, air lebih cepat dan tidak dapat
dihindari jika KIP masih diizinkan beroperasi.

Nelayan yang menjadi korban pertama dari tambang timah di laut. Tidak hanya kerusakan ekosistem laut dan
hilangnya nelayan yang kehilangan mata pencaharian mereka, tetapi konflik horizontal sangat terbuka antara warga
dan perusahaan. Perubahan atau pergeseran nilai-nilai tradisi lokal dan produksi ekonomi penduduk di sekitar lokasi
penambangan dapat menyebabkan antar antara manusia. Tidak sedikit warga lokal yang awalnya nelayan berubah
5
penambang laut juga. Dari tahun 2006 sampai 2011 ada telah setidaknya 12 nelayan konflik dengan pelaku
tambang. Sebagai contoh, di Bangka, nelayan pesisir dengan perusahaan pertambangan laut di Desa Rajik Permis,
Desa Penagan, wilayah Belinyu - Pesaren Batu Atap dan Penyusuk, Belo Laut, Teluk Limau Penganak-Jebus. Salah
satu penyebab konflik karena papan keberpihakan atau memprioritaskan pejabat lokal dan pertambangan dalam
pembangunan daerah. Selain memancing dan perikanan, operasi KIP juga mengakibatkan pelaku pengembanganan
daerah wisata bahari. Diving (menyelam) dan memancing merupakan produk unggulan yang ditawarkan untuk
wisatawan maritim. Kondisi ini sangat sebanding dengan visi pemerintah daerah yang ingin mengembangkan sektor
pariwisata sektor perikanan dan kelautan yang merupakan sektor dominan pasca timah. Provinsi Bangka Belitung
diketahui telah melayani kebutuhan memimpin dunia puluhan tahun terakhir yang tersisa sekarang tidak bisa keluar
dari cengkeraman perusahaan yang terus mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam dalam bentuk pulau-
pulau Mineral Tin seluas tidak lebih dari 1,6 juta hektar persegi. Fakta dari bijih timah di Babel berburu hari lagi
bisa dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh mayoritas pelaku tambang dan pembuat kebijakan
di Babel. Paradigma pengelolaan Sumber Daya Alam yang memaksakan sektor pertambangan sebagai ancaman
besar bagi dihindari ekologi dan terutama pada sumber-sumber kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Sebenarnya, untuk mengatasi masalah tersebut, masyarakat dan pemerintah harus berkomitmen untuk menjaga dan
memantau kondisi laut Babel yang tidak dirusak oleh para penambang yang tidak bertanggung jawab. Dengan
beberapa undangundang, baik di tingkat pusat dan daerah, kelestarian lingkungan dan pasca tambang sekarang dapat
mencegah kerusakan terjadian. beberapa peraturan yang mengatur pertambangan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau

2. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Pertambangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5111);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan
Mineral dan Batubara Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5142);

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reklamasi dan Rehabilitasi Upaya itu Haruskah Do. Secara keseluruhan
jumlah total TI apung di laut, ada 6.200 Bangka dan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Babel 2014,
jumlah kapal dari ekspor luar negeri terus berkembang, sehingga sejumlah apung IT terus untuk tumbuh.
Penggunaan kapal keruk hisap (KIP) untuk kegiatan penambangan lepas pantai di laut atau lebih destruktif, daripada
kapal keruk, yang pernah tampil di zaman Belanda dan PT Timah beberapa waktu lalu, terutama dalam hal cara
kerja proses penambangan, sampai pembuangan dampak polusi tailing. bukan tidak mungkin kondisi berantakan
akhirnya terpojok akibat pertambangan yang selama ini menjadi sumber kerusakan lingkungan. Orang-orang yang
selalu membuat kambing hitam dari keparahan masalah lingkungan di Babel. Orang-orang yang selama ini
terpinggirkan dalam kesempatan ini waktu dan waktu lagi disalahkan.. Penghancuran ekosistem laut pesisir secara
otomatis menurunkan dan mematikan pendapatan nelayan tradisional. Nelayan di Babel saat ini mengalami
penurunan pendapatan dan mengancam akan beralih profesi sebagian karena dampak dari kegiatan penambangan
timah baik yang dilakukan di darat dan laut pantai. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan selama tahapan usaha
pertambangan untuk mengatur, memulihkan, dan meningkatkan kualitas lingkungan dan fungsi ekosistem untuk
mengembalikan sebutan yang tepat. Kegiatan Pasca tambang adalah kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut
setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi
sosial menurut kondisi lokal di daerah pertambangan.

Pejabat di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bangka Belitung mengharapkan peraturan daerah
(Perda) kegiatan penambangan untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang merugikan nelayan dalam regulasi
area. Pemerintah seharusnya mengatur zona tidak boleh ditambang perairan dan zona yang mungkin ditambang,
sehingga tidak akan merugikan perekonomian lebih keluarga tergantung dari sumber daya alam kelautan. Kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh operasi pertambangan mengkhawatirkan karena kerusakan tidak dapat diperbarui
(kerusakan ireversibel). Menjamin dana untuk reklamasi dan pascatambang rehabilitasi. Dana reklamasi dan
jaminan rehabilitasi cukup dan pasti besar akan cukup untuk membiayai program-program reklamasi dan
rehabilitasi sehingga potensi nonpertambangan, seperti pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata akan
6
dikembangkan pasca tambang. Dana jaminan yang disampaikan oleh perusahaan tambang kepada pemerintah
sebelum izin penambangan yang diberikan.

Kegiatan pertambangan yang mengandung timah memiliki unsur mineral ikutan logam tanah jarang yang berupa
zircon. Dalam memperoleh mineral di atas, tidak bisa didapatkan dengan mudah, karena jumlah mineral tersebut
sangat terbatas. Terlebih lagi, mineral tersebut tidak terpisah sendiri, tetapi tercampur dengan mineral lain. Unsur –
unsur yang mendominasi dalam senyawa logam/unsur tanah jarang adalah lanthanum, cerium, dan neodymium.
Sehingga mineral dengan penyusun unsur ini, ekonomis untuk diekstraksi. Adanya unsur logam tanah jarang yang
terdapat didalam kandungan timah megakibatkan rusaknya tingkat kesuburan tanah karena terkontaminasi
kandungan tanah jarang yang mengakibatkan tanaman disekitar kawasan tambang tersebut menjadi mati dan sulit
bagi tanaman untuk tumbuh pada tanah yang telah terkontaminasi sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.
Aktivitas pembukaan lahan di bagian hulu untuk kegiatan pertambangan timah, mengingat sungai merupakan salah
satu sumber air penting bagi masyarakat tidak dapat dikonsumsi dan mangalami krisis air bersih.

Kondisi ini akan semakin parah jika sisa tailing tambang timah juga masih langsung dibuang ke perairan sungai dan
lahan di hulu dibiarkan terbuka. Dengan adanya informasi bahwa budaya masyarakat untuk menjaga kebersihan
sungai sangat rendah dan tidak terkendalinya pembukaan dan pemanfaatan lahan di bagian hulu menciptakan
ketidakpastian yang tinggi, sehingga potensi resikonya semakin sulit dikendalikan. Situasi terburuk yang
diperkirakan akan terjadi pada perairan sungai adalah semakin buruknya kualitas air sungai dan menyebabkan krisis
sumber air bersih bagi masyarakat di Kabupaten Belitung, jika tidak ada upaya mitigasi untuk menangani faktor
pendorong di atas. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menyusun program yang terkait dengan penataan
ruang, penyehatan lingkungan, pertanian/perkebunan ramah lingkungan dan penegakan hukum daerah sebagai
arahan mitigasi. Apabila proses penambangan timah ilegal terus berlangsung, sementara reklamasi berjalan lambat
maka luas lahan kritis akan semakin meningkat, sehingga semakin mempersempit lahan untuk usaha pertanian dan
perkebunan. jika pertambangan timah ilegal tetap dibiarkan maka kondisi lingkungan daratan dan perairan akan
semakin rusak. Pada saat cadangan timah habis, Kabupaten Belitung tidak lagi nyaman untuk ditinggali karena
gersang, generasi muda tidak terdidik semakin besar dan tidak mampu memenuhi kualifikasi kebutuhan tenaga kerja
sektor lainnya.

Kondisi ini hanya akan menguntungkan para investor pertambangan timah dan pekerja tambang timah sesaat,
mengingat timah bukanlah sumber daya alam yang dapat diperbarukan. Yang akan merasakan dampaknya adalah
masyarakat yang tidak bekerja pada sektor pertambangan timah tetapi merasakan tidak nyamannya kualitas
lingkungan sekitarnya baik untuk tempat tinggal atau mencari penghidupan yang layak. Pengalihan fungsi lahan
menyebabkan kelembapan tanah lahan pascatambang dan kelembapan udara di sekitar lahan pascatambang menjadi
lebih rendah, temperatur tanah lahan pascatambang dan temperatur udara di sekitar lahan pascatambang menjadi
lebih tinggi. Dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hasil pertambangan timah inkonvensional di
Kabupaten Belitung yaitu lubang hasil pertambangan, Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan
dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, para pelaku tambang meninggalkan lubang-lubang di bekas areal
pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama
berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat
merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air
tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut.
Di pulau Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat
asam dan sangat berbahaya.

Air asam tambang mengandung logamlogam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka
panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat
alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi
masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahuntahun
kemudian sehingga pihak pemerintah yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap
bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air
permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya. Tailing
dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh
pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup
mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh
makhluk hidup logamlogam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek
yang membahayakan kesehatan. Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan,

7
karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah tambang inkonvensional. Aktivitas tambang inkonvensional
juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum.

Penggunaan lahan berhubungan erat dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan. Peningkatan jumlah
penduduk yang semakin pesat mengakibatkan tingginya pemanfaatan terhadap sumberdaya lahan. Penggunaan
lahan suatu kawasan mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut dan merubah penggunaan lahan berarti merubah
tipe dan proporsi tutupan lahan yang selanjutnya mempengaruhi hidrologinya (Suryani, 2005). Aktivitas dan
kepentingan manusia yang berbeda-beda merupakan hal mendasar terjadinya perubahan suatu penggunaan lahan,
dalam hal ini perubahan penggunaan lahan yang terjadi akibat banyaknya kegiatan tambang timah inkonvensional
yang berdampak terhadap peruntukan fungsi kawasan RTRW sehingga akan menimbulkan kerusakan lingkungan.

Sebagai contoh adalah penggunaan lahan yang di peruntukan untuk kawasan permukiman kemudian menjadi
kawasan tambang timah inkonvensional maka dalam hal ini belum mempertimbangkan dampak yang akan terjadi
dengan beralihnya fungsi kawasan tersebut, sehingga mengakibatkan penggunaan lahan menjadi kurang optimal
ditinjau dari sisi lingkungan yang akan memberikan kontribusi dalam memperparah bencana kerusakan lahan yang
memberikan dampak yang negatif dalam pengendalian dan pemanfaatan lahan peruntukan fungsi kawasan
RTRW.sehingga perlu adanya suatu tindakan dari pihak pemerintah atau semua kalangan masyarakat dalam
pengendalian, pemanfaatan dan pemberian sanksi yang tegas dalam penyalahgunaan penggunaan lahan, sehingga
dalam hal ini bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan mengontrol dengan tepat dalam pengolahan
kegiatan tambang timah inkonvensional. Kondisi penggunaan lahan Kabupaten Belitung sudah dipengaruhi oleh
lahan tambang timah yang memiliki peningkatan penggunaan lahan terhadap pemanfaatan lahan.

Kondisi tersebut mengakibatkan banyaknya pengalihan fungsi lahan terhadap penggunaan lahan tambang timah.
Hal tersebut mempangaruhi kondisi lingkungan yang ada di Kabupaten Belitung. Adanya kerusakan lingkungan
seperti pencemaran aliran sungai, kekeringan, dan dapat menyebabkan krisis sumber air bersih yang merugikan
terhadap masyarakat di Kabupaten Belitung. Dalam kondisi pemanfaatan lahan tersebut diperlukan suatu arahan
penataan kawasan dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mengurangi dampak kegiatan tambah timah
terhadap penggunaan lahan. Selain itu, kerusakan yang mempengaruhi kondisi lingkungan dapat berdampak
terhadap kondisi sosial yang ada seluas 144.435,68 Ha atau sebesar 60.39 % sedangkan yang tidak mengalami
perubahan seluas 94.718,67116 Ha atau sebesar 39.61 %. 2. Dampak kegiatan tambang timah inkonvensional telah
merubah peruntukan penggunaan lahan sebesar 9.62 % dari arahan fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Kabupaten
Belitung (2005-2014).

3. Dampak kegiatan tambang timah inkonvensional terhadap lingkungan : - Kandungan air kolong bekas tambang
timah yang terkontaminasi jenis logam berat antara lain ferum (Fe), timbal (Pb), dan arsen (As) sudah melebihi
ambang batas normal yaitu lebih dari 4 ppm dapat menyebabkan sejumlah penyakit seperti keracunan, kanker dan
penyakit lainnya. - Pencemaran aliran sungai yang menyebabkan kualitas air menjadi kotor dan mengalami
pendangkalan sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. - Terdapat lahan kritis yang semakin meningkat
dengan adanya kegiatan tambang timah inkonvensional. - Pengalihan fungsi lahan menyebabkan kelembaban tanah
lahan pascatambang dan kelembaban udara di sekitar lahan pascatambang menjadi lebih rendah, temperatur tanah
lahan pascatambang dan temperatur udara di sekitar lahan pascatambang menjadi lebih tinggi.

Dampak Operasi Penambangan Timah

Perubahan regulasi dalam tatakelola pertambangan timah telah menjadikan timah sebagai komditas bersifat comman
property. Berbagai pihak yang mengakses dan mengelola pertambangan timah menyebabkan kondisi wilayah
bangkabelitung over eksploration. Kegiatan penambangan telah merambah pada daerah aliran sungai (DAS), hutan
produksi, hutan lindung, lahan pertanian, hingga lautan. Kegiatan penambangan timah setidaknya menimbulkan
dampak negatif yang besar setidaknya dalam tiga hal; 1. aspek lingkungan, 2. aspek ekonomi, 3. aspek sosial.
Tambang rakyat memiliki peran yang besar terhadap kerusakan lingkungan. Tambang rakyat ini (TI) tidak hanya di
lokasi penambangan wilayah daratan, tetapi juga terjadi hingga ke pantai dengan adanya TI Apung. TI menjadi
penyumbang terbesar kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 150.000 hektar atau 30% luas wilayah hutan
Bangka Belitung. Di kawasan pantai dan hutan bakau, terjadi kerusakan akibat lumpur dari lokasi TI. Bekas
penambangan TI umumnya dibiarkan saja tanpa adanya upaya untuk mereklamasi, sehingga menjadi bolong-bolong
pada permukaan tanah yang disebut sebagai ”kolong”. TI juga merusak daerah aliran sungai, hutan lindung dan
hutan produksi. TI saat ini tidak hanya dilakukan di kawasan baru saja, tetapi juga dilakukan di kawasan bekas PT
Timah.

8
Sementara pada lahan bekas tambang PT Timah sedang dilakukan reklamasi, sehingga proses reklamasi menjadi
tidak terlaksana. Di lautan selain tambang rakyat, perusahaan swasta dan PT. Timah memiliki andil yang besar
terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistem di lautan. Penambangan Pada daerah mangrove telah menjadikan
ekosistem perikanan tangkap terganggu. Dampak dari pertambangan didaratan telah menjadikan hutan gundul dan
meninggalakan bekas galian tambang yang gersang. Penambangan rakyat biasanya membuang limbah (tailing)
kesungai mennyebabkan sedimentasi pada daerah aliran sungai (DAS). Dampak dari kegiatan menambangan ini
adalah menjadikan sebagian besar daerah di bangka belitung menjadi daerah yang langganan banjir. Pada aspek
sosial, kegiatan pertambangan, memiliki dampak negatif sosial masyarakat. Kegiatan penambangan telah
menyebabkan kesenjangan sosial yang semakin melebar serta timbulnya budaya konsumerisme dalam masyarakat.
Timbulnya kelas sosial baru rawan akan terjadinya kecemburuan sosial dan juga memicu konflik baik karena
perebutan kawasan pertambangan ataupun pergesekan kepentingan. Pada aspek ekonomi, pertambangan telah
menjadikan pertumbuhan ekonomi baru di daerah Bangka Belitung. Akan tetapi juga memiliki dampak negatif
berupa tingginya inflasi yang menyebabkan harga-harga barang meningkat. Dampak dari tingginya harga barang
akan terasa oleh masyarakat non petambang, terlebih pada petani dan nelayan yang merupakan masyarakat lapisan
bawah yang termarjinalkan.

9
Kesimpulan
1. Keberadaan mineral biji timah di Bangka Belitung merupakan karunia dari Tuhan YME bagi masyarakat
didaerah itu dalam sisi ekonomi yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan penghidupan dari
kegiatan penambangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada sisi yang lain keberadaan timah
yang tidak dikelola dan diatur dengan baik oleh aparat pemerintah daerah, disertai dengan tidak adanya
kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup oleh segenap stake holder di daerah ini telah
membawa kehancuran lingkungan hidup dan ekosistem di Bangka Belitung.
2. PT. Tambang Timah yang telah mengeksploitasi biji timah di daerah ini selama puluhan tahun nampaknya
tidak melakukan reklamasi atau pemulihan kondisi bekas lahan tambangnya dengan baik atau juga
mungkin reklamasi yang telah dilakukan oleh PT. Tambang Timah tidak dijaga dengan baik, kemudian
dirusak kembali oleh warga masyarakat yang melakukan penambangan ilegal dilahan bekas tambang PT.
Tambang Timah tersebut yang kemudian tentu saja tidak direklamasi dan ditinggalkan dalam kondisi porak
poranda.
3. Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi di daratan yang hutannya hancur,
lubang galian menganga terisi air yang oleh penduduk lokal disebut kolong (danau kecil) yang menjadi
sarang berkembang biaknya nyamuk malaria diseluruh wilayah Bangka Belitung. Tetapi juga dipantai yang
menyebabkan rusaknya keindahan pantai yang semula berpasir putih bersih dan berair jernih menjadi kotor
dan air lautnya menjadi keruh oleh kandungan lumpur limbah tambang yang terbawa sungai kelaut. Hutan
bakau (mangrove) mati dan juga terumbu karang hancur oleh sedimen lumpur limbah penambangan timah
didarat yang terbawa ke laut atau juga limbah dari penambangan timah dilaut yang menggunakan kapal
keruk, kapal isap dan T.I apung.
4. Pemerintah daerah harus tegas untuk mengimplementasikan semua aturan
tentang penambangan timah, baik berupa peraturan perundang-undangan nasional maupun dalam bentuk
peraturan daerah. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan eksploitasi timah dapat dikendalikan dengan
baik, kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang dapat berjalan sesuai aturan. Orientasi penjagaan dan
pemeliharaan serta pemulihan kondisi lingkungan hidup harus merupakan fokus utama pemerintah daerah
dalam pengelolaan pertambangan didaerah ini.
Saran
Setelah diperoleh kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, sehingga dari hasil penelitian yang diperoleh, peneliti
merekomendasikan:
1. Bagi Masyarakat; diharapkan dalam melakukan (transaksi) jual beli tidak hanya berpedoman kepada
labelisasi halal yang ditetapkan oleh BPOM/MUI. Meskipun, BPOM/MUI terhimpun SDM yang mumpuni dan
menguasai serta ahli dalam bidangnya masing-masing, di mana perlunya kehati-hatian (selektif) dalam membeli dan
mengkonsumsi produk kemasan. Hal demikian dilakukan agar setiap produk (makanan) yang dibeli dan dikonsumsi
memenuhi standar halal dan baik; yang merupakan prinsip dasar dalam ekonomi Islam.
2. Bagi BPOM/MUI; hendaknya penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan, di mana perlunya
melakukan pengkajian dan analisis sesuai disiplin ilmu dan pedoman dasar ekonomi Islam (al-Qur’an dan al-Hadits)
dalam menilai dan menetapkan suatu produk kemasan yang beredar di masyarat. Sehingga, dapat dipastikan tidak
ada satupun produk yang beredar kecuali produk yang halal.

Daftar Pustaka
Fuady, I., & Dewi, R. (2014). Dampak Penambangan Timah Terhadap Keadilan Sosial dan Kerusakan Lingkungan.
Makalah Seminar TSH, 1-11.

HS, Y. (2017). Analisis Dampak Pertambangan Timah Rakyat Terhadap Bencana Banjir. Jurnal Prodi Manajemen
Bencana, 3(1), 57-73.

Ibrahim, I. (2015). Dampak Penambangan Timah Ilegal Yang Merusak Ekosistem Di Bangka Belitung. SELISIK,
1(1), 77-90.

Manik, J. N. (2010). Kebijakan Pertambangan Laut Timah Yang Berdampak Pada Lingkungan.

10
Pirwanda, F., & Pirngadie, B. H. (2015). Dampak Kegiatan Tambang Timah Inkonvensional Terhadap Perubahan
Guna Lahan Di Kabupaten Belitung. Jurnal Planologi Unpas, 2(3), 177-194

11

Anda mungkin juga menyukai