Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Pertambangan Nikel Indonesia ᄃ

Sejarah pertambangan nikel di Indonesia dimulai pada tahun 1901,


ketika Kruyt, seorang berkebangsaan Belanda, meneliti bijih besi di
pegunungan Verbeek, Sulawesi. Kemudian pada 1909, EC Abendanon,
juga ahli geologi berkebangsaan Belanda, menemukan bijih nikel di
Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penemuan ini dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi pada tahun 1934
oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij. Di
Soroako, pada tahun 1937 seorang ahli geologi bernama Flat Elves
melakukan studi mengenai keberadaan nikel laterit. Pada tahun 1938
dilakukan pengiriman 150.000 ton bijih nikel menggunakan kapal laut
oleh OBM ke Jepang.

Namun baru 30 tahun kemudian, tahun 1968 diterbitkan Kontrak Karya


(KK) untuk penambangan nikel laterit kepada PT International Nickel
Indonesia (INCO) dengan area di beberapa bagian dari tiga provinsi di
Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Tenggara, termasuk Soroako dan Pomalaa. Setelah melalui serangkaian
kegiatan eksplorasi, studi kelayakan dan konstruksi, pada tahun 1978
PT INCO memulai produksi komersial. Saat ini seluruh saham PT INCO
sudah diambil alih oleh perusahan pertambangan nikel dari Brasil dan
berubah nama menjadi PT Vale Indonesia.

Selain itu perusahaan BUMN yang memiliki lokasi cebakan nikel yang
luas yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Lokasi tambangnya
terdapat di Pulau Sulawesi dan Halmahera. Selain menghasilkan bahan
mentah berupa bijih nikel, perusahaan ini juga melakukan pengolahan
yang menghasilkan ferronikel, yaitu suatu paduan logam antara nikel
dan besi.

Sebaran
Kontrak
Karya dan
IUP Nickel
di
Indonesia
Kontrak Karya pertambangan nikel telah diterbitkan pula oleh
pemerintah untuk PT Gag Nickel di Pulau Gag dan PT Weda Bay Nickel
di Pulau Halmahera. Setelah memasuki era otonomi daerah yang
mengatur perizinan kegiatan pertambangan menjadi kewenangan
pemerintah provinsi dan kabupaten, maka banyak sekali diterbitkan
Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, baik izin untuk tahapan eksplorasi
maupun izin operasi produksi. Hampir di seluruh Indonesia yang
memiliki potensi endapan nikel laterit, berada dalam wilayah IUP
tersebut.

2010 All Rights Reserved Blog SukaFisika ᄃ .

Wordpress by Chris Pearson ᄃ - Blogger by Belajar SEO Blogspot ᄃ

SEJARAH PERTAMBANGAN TIMAH


SEJARAH PERTAMBANGAN TIMAH

Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun,
dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam
bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt.
Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh
kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga
Indonesia. Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun,
Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah
selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat
Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di
Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan
timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006).
Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial
Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka
merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya
mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa
Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT
Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai
area KP seluas 321.577 ha. Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang
sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia
Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000).
Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang
sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut
Babel. Permasalahan Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum
mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian
menipis pula.

Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak
sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah
pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang
berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas
penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran
rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang
dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal. Pemberian ijin tambang inkonvesional
(TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat
terjadinya penyeludupan, serta mengancam terkurasnya ketersediaan cadangan timah di
Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin mendukung usaha pertambangan PT Timah
sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua perusahaan tersebut tidak perlu membuka
area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk
ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah
Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat. Mestinya, pemerintah
pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar
hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara.

Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan
melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007,
melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun.
Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun. Kerugian Negara Akibat
Penyelundupan Timah Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun
2006 melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10
miliar per bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu
kelaziman. Pada akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung
pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar. Timah yang diselundupkan ke luar wilayah
Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang rakyat (TI). Awalnya, penambang
mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang timahnya ke PT Timah. Namun,
godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat penjualan timah ke PT Timah
menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi Daerah disahkan dan
Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April 1999 menyatakan
timah dikategorikan sebagai barang bebas. Pemda Bangka Belitung kemudian
menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No.
20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis,
Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya.
Semua peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan
tujuan mengatrol pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah,
Dwi Agus, menyatakan kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT
Timah. Sebab, ujar Dwi, muncul saingan usaha.

Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga
meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang
dilakukan mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan
royalti dan pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah
meliputi dana reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar
oleh penambang liar. Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan
Oktober 2006, harga logam timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam
timah di London Metal Exchange (LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada
level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini
karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan pasokan, karena Indonesia (PT Timah
Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara negara-negara pemasok logam timah
lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak mempunyai kemampuan produksi
yang besar. Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007, Thobrani Alwi, sebelumnya PT
Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007, PT Timah hanya mengirim
3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia masih banyak sekitar
9.000 hingga 10.000 ton. Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu mempengaruhi
harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal.

pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand
mulai minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan
customer-customer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya
pemain-pemain pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa
menjadi price maker. Diharapkan ke depan, Indonesia dapat memegang harga timah
dunia, bila perlu Kualalumpur Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini,
pindah ke Jakarta atau Bangka menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market.
Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton
dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang
dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia. Oleh karena itu, ke
depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor sesuai peraturan. Dengan
harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih besar. Selain
pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi timah pada
industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat. Kemudian,
kalangan industri mulai memerhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.

Pendapatan PT Timah Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliyun,
pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542
Triliyun atau sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah
sekitar Rp. 4, 076 Triliyun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT
Timah memang terus mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden
yang diterima negara pun meningkat. Tabel 1. Produksi Timah Indonesia Sumber: PT
Timah Tbk. Tabel 1 di atas memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT Timah, Indonesia pun memperoleh
pendapatan yang terus meningkat. Khusus 2006, 2007, dan 2008 keuntungan bersih PT
Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp 2 triliun.

Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak
ekonomi dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara
mendapat manfaat yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat. Namun di
sisi lain, aktivitas penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi.
Transaksi penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan
(Kejati Babel, 2006). Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara.
Artinya, negara dirugikan Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus
menipis akibat aktivitas penambangan ilegal merajalela. Sementara itu, faktor harga akan
selalu mempengaruhi pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk
sebagai kas negara. Harga tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$
25.500/ton dan terendah adalah US 10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah
sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat 27 % dari harga rata-rata logam timah dunia
tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton Menurunnya harga logam timah pada triwulan
keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis ekonomi global yang menyebabkan
berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak analis, harga timah tahun 2009
akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun dibandingkan tahun 2008
(Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus membaik seiring dengan
membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan terus meningkat.
Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional Berdasarkan informasi dari US
Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah
sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000
ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan
mampu bertahan sekitar 10 – 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 – 2019. Pada harga
rata-rata US$ 20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke
depan), sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18
miliar atau sekitar Rp 190 triliun.

Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi
ekonomi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan
meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya
di Babel. Ketersediaan timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan
pemerintah pusat, khususnya Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM),
serta pemerintah daerah setempat. Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang
berlangsung 4–5 tahun belakangan ini, berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan
ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun.
Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat
Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri
timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka
kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti
bertambah. Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah. Tabel 2.
Luas KP dan Cadangan Timah
Sumber: PT Timah Tbk.

Pada Tabel 2 kita melihat bahwa


cadangan timah Indonesia memang
semakin menipis. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya
untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus
menggunakannya untuk mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi
dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun,
misalnya 75.000 ton per tahun

Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka
panjang dalam negeri. Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya
timah dengan pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT
Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk
mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus
mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di
pasar internasional. Penegakan hukum dan penerapan sanksi juga sangat penting untuk
mengamankan kebijakan pemerintah dalam industri timah nasional. Indonesia kini
merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen
terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir timah nomor satu di dunia, lebih
dari 90% produksinya diekpor ke manca negara.

Sedangkan Cina mengonsumsi hampir seluruh produksinya untuk kebutuhan domestik.


Perbandingan produksi timah Indonesia dengan negara lain dapat dilihat di Grafik 1.
Grafik 1. Produksi Timah Indonesia, China dan Negara-negara lain. Sumber:
http://www.bhaktisecurities.com Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar
11 juta ton (US Geological Survey, 2009). Jika dikomparasikan dengan empat negara-
negara penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit.
Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta ton,
Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton Dalam konteks ini, pemerintah belum
menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara dan reservasi atau pengamanan
cadangan. Penambangan produksi timah dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk
mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.

Sumber :www.trawang.com

https://beritabangka.wordpress.com/2011/05/26/sejarah-pertambangan-timah/
Uranium

Uranium adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang U dan
nomor atom 92. Sebuah logam berat, beracun, berwarna putih keperakan dan radioaktif
alami, uranium termasuk ke actinide series (seri aktinida). Isotopnya digunakan sebagai
bahan bakar reaktor nuklir dan senjata nuklir. Uranium biasanya terdapat dalam jumlah
kecil di bebatuan, tanah, air,tumbuhan, dan hewan (termasuk manusia).

Anda mungkin juga menyukai