Anda di halaman 1dari 27

KHAWA<RIJ DAN MURJI‘AH

(Sejarah dan Pokok Ajarannya)

Dipresentasekan pada Seminar Mata Kuliah


“Sejarah Pemikiran Islam”
Semester I, Klp 4, Kelas Reguler

Oleh:
Muhammad Dirman Rasyid
80600216003

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, M.A.
Dr. H. Mahmuddin, M.Ag.

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah serta perkembangan pemikiran dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari

sejarah panjang umat ini. Keduanya, saling mempengaruhi saling mengingat sehingga

hubungan keduanya begitu erat. Bahkan bisa dikatakan corak pemikiran yang
berkembang pada suatu masa mempengaruhi sejarah pada masa itu.

Pada masa Rasulullah saw, perkembangan pemikiran di antara umat tak terlihat

begitu jelas sebagaimana dewasa ini. Sebab, Rasulullah saw merupakan tokoh sentral

selain sebagai pemimpin agama, beliau juga sebagai pemimpin negara, berwenang

penuh dalam mengatur dan memimpin keduanya. Apalagi, kepemimpinan Rasulullah

saw tidak lepas dari tuntunan dan petunjuk dari langit (baca: wahyu). Umat pada waktu

itu – para sahabat - berada dalam satu komando serta tunduk dan patuh baik dalam

urusan politik kenegaraan terlebih lagi dalam urusan agama.

Akan tetapi, setelah wafatnya Rasulullah saw. benih perpecahan mulai tampak.

Bahkan sebelum Rasulullah saw dimakamkan, perbedaan pendapat dan pemikiran para

sahabat telah terlihat ketika mempersoalkan siapa yang menggantikan Rasulullah saw.
sebagai pemimpin dalam hal ini dikenal dengan istilah khalifah.

Sedemikian alotnya musyawarah waktu itu hampir saja membuat umat

terpecah, bahkan pemakaman jenazah Rasulullah saw. pun harus menunggu beberapa

hari sampai akhirnya musyawarah menghasilkan keputusan dan mengangkat Abu

Bakar al-S}iddiq sebagai khalifah pertama.1

1
“Limaza Ta’akhkhara al-Sahabah (ridwan Allah ‘alaihim) fi Dafn al-Rasul al-A’zam alaihi
al-Salatu wa al-Salam”, Hiz-but-Tahrir Media Office-Palestine. http://www.pal-tahrir.info/articles1/8-

1
2

Kemudian perpecahan umat ini puncaknya terjadi ketika konflik antara ‘Ali> Ibn

Abi> T{alib dengan Mu‘awiyah Ibn Abi> Sufya>n. Konflik kedua kubu inilah dianggap

sebagai starting point terhadap konflik-konflik yang datang belakangan, bahkan lebih

jauh membagi-bagi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok dan aliran pemikiran.

Meskipun, pada dasarnya konflik antara kedua kubu ini tidak bisa dilepaskan dengan

peristiwa pembunuhan khalifah ketiga Us\ma>n Ibn ‘Affa>n.2

Ketika peristiwa Perang S}iffi>n, ‘Ali> menerima tawaran Mu‘awiyah untuk


menyelesaikan peperangan dengan diplomasi, meski pada awalnya Ali> menolak namun

akhirnya terpaksa menerima tawaran itu karena desakan dari pasukannya sendiri.

Maka, kedua kubu bersepakat diadakanlah tahkim (arbitrasi3), kemudian keputusan

dari arbitase tersebut cukup merugikan ‘Ali> dan menguntungkan pihak Mu‘awiyah.

Keputusan ‘Ali> dan hasil dari arbitase tersebut nampaknya menimbulkan rasa tidak

puas di pasukan ‘Ali> sendiri. Mereka yang tidak puas inilah memisahkan diri dari

barisan ‘Ali> atau melakukan tindakan apa yang dikenal dalam istilah militer dewasa ini

desersi, lalu membentuk kelompok sendiri selanjutnya dikenal dengan istilah

Khawa>rij.4

Selajutnya, setelah dinasti Bani Umayyah berkuasa ada dua kelompok yang
oposisi – dengan motivasi yang berbeda - yang menentang dan ingin menggulingkan

pemerintahan. Kelompok pertama barisan pendukung fanatik ‘Ali> yaitu Syi‘ah dan

%D9%85%D9%82%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%AA/1576--------------.html (22 Desember


2016).
2
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,
2014), h. 83.
3
arbitrasi adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Lihat, Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 85.
4
Ahmad Yani Anshori, “Khawarij”, Jurnal Asy-Syir’ah 43, no. 2 (2009): h. 270.
3

kelompok yang kedua adalah Khawa>rij itu sendiri. Di tengah pertikaian ini bahkan

saling mengkafirkan, muncullah kelompok baru yang lebih lunak – tidak dengan

mudah mengkafirkan - dan menunda (dalam artian biarlah Allah swt. yang

memutuskannya di hari kemudian) memberikan justifikasi kepada pihak-pihak yang

terlibat dalam arbitrasi, yaitu Murji‘ah.5

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya dari sekte Khawa>rij?

2. Bagaimana pokok ajaran dari sekte Khawa>rij?

3. Bagaimana sejarah munculnya dari sekte Murji‘ah?

4. Bagaimana pokok ajaran dari sekte Murji‘ah?

5
Ahmadi Husain, “Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu”, Al-
Fikr 19, no. 1 (2015): h. 42.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Khawa>rij

1. Makna Khawa>rij dan Nama-Namanya

Khawa>rij dari segi bahasa berasal dari term kharaja yang berarti keluar,

mengeluarkan, memberontak.6 Menurut Harun Nasution, nama itu diberikan kepada


mereka, karena mereka keluar keluar dari barisan ‘Ali>.7 Hal ini senada dengan pendapat

al- ’Asy‘ari> sebagaimana dikutip Dr. ‘Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab dalam bukunya

“Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa>’iduhum”, bahwa mereka dinamai

dengan nama ini (Khawa>rij) sebab mereka keluar dari barisan ‘Ali> ra.8

Adapun al- Syahrista>ni>, memberikan pengertian yang lebih luas. Menurutnya

yang dimaksud dengan Khawa>rij, semua yang keluar dari atau memberontak kepada

pemimpin yang sah yang telah disepakati mayoritas dinamakan kha>rijiyyan, baik

pemberontakan itu terjadi pada periode sahabat pada masa khulafa>u al-rasyidi>n atau

imam-imam (pemimpin-pemimpin) pada tiap zaman.9

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu dilandasi atas
ayat 100 dari Surat Al- Nisa>’ yang di dalamnya disebutkan kata “keluar”, yaitu;

6
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 330.
7
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan (Cet. V;
Jakarta: UI-Press, 1986), h. 11.
8
Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa>’iduhum (Cet.
I; Beirut: Da>r al- Kutub al- ‘Ilmiyah, 2005), h. 7.
9
Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al (Cet. III; Beirut: Da>r al- Ma‘rifah, 1993), h. 132.

4
5

‫ٱَّلل‬ ِِۗ ‫ٱَّلل ورسولِِهۦ ُثُه ي ۡد ِۡركه ۡٱلم ۡوت فَ َق ۡد وقَع أ َۡجرهۥ علَى ه‬
‫ٱَّلل َوَكا َن ُه‬ ِ ِ ِ ِِ ۡ ۢ ِ ۡ ۡ
َ ُُ َ َ ُ َ ُ ُ ُ َ َ ‫… َوَمن ََي ُرج من بَيتهۦ ُم َهاجًرا إ ََل ه‬
١٠٠ ‫ورا هرِحي ًما‬
ً ‫َغ ُف‬
… barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah, dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.10

Oleh kaum Khawa>rij, ayat tersebut dipahami bahwa mereka adalah orang yang

keluar dari rumah meninggalkan kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada
Allah swt. dan Rasul-Nya.11 Kaum Khawa>rij juga menyebut diri mereka dengan

“syurah”, berasal dari kata “Yasyri” (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS al-

Baqarah/2: 207 menyatakan:


ۡ ۢ ِ ‫هاس من ي ۡش ِري نَ ۡفسه ۡٱبتِغَآء م ۡرض‬
ِۚ ‫ات ه‬
٢٠٧ ‫وف بِٱلعِبَ ِاد‬ ‫ٱَّللِ َو ه‬
ُ ُ‫ٱَّللُ َرء‬ َ َ َ َُ
ِ
َ َ ِ ‫َوم َن ٱلن‬
dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.12

Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang bersedia mengorbankan

(menjual) diri untuk Allah swt.13 Ada lagi nama yang lain yang dinisbahkan kepada

kaum Khawa>rij ini, di antaranya; a) ahlu al-nahrawa>n, mereka dinamai demikian

sebab di sana tempat mereka diperangi oleh ‘Ali> ra, b) Haru>riyyah, nama ini

dinisbahkan kepada Haru>ra, suatu perkampungan di daerah Kufa. Di sanalah mereka

Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya (Madinah al- Munawwarah: Khadim
10

al- Haramain al- Syarifain al- Malik Fahad li Thiba’ al- Syarifain al- Malik Fahd li Thiba’ah al- Mushab
al- Syarif, 1412 H), h.137.
11
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h.
11. dan Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 84-85
12
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 50.
13
Lihat, Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik,
Klasik, dan Kontemporer (Cet I; Jakarta: Kencana, 2016), h. 29-30., Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h. 11., dan Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah
Pengantar, h. 85.
6

pertama kali berkumpul dan melakukan konsolidasi setelah memisahkan diri dari

barisan ‘Ali> ra, c) Al-Nawa>s{ib, kata tersebut merupakan bentuk plural dari “na>s}ibi>”

(yang memusuhi), nama ini dilekatkan kepada kaum Khawa>rij sebab kebencian mereka

kepada ‘Ali> ra.14 Masih ada lagi nama-nama yang lain untuk kaum Khawa>rij ini.

Namun, dari sekian nama yang dilekatkan pada kelompok ini, nama khawa>rij lah yang

paling populer.

2. Sejarah Munculnya Khawa>rij

Kemunculan Khawa>rij (sebagai suatu sekte atau kelompok) terjadi pada masa

kekhalifaan ‘Ali> ra, pada tahun 37 H, pada masa konflik antara Ali> ra. dengan

Mu‘awiyah ra. beserta pendukungnya. Konflik inilah kemudian yang menjadi titik

awal dari konfilk-konflik dan perselisihan yang terjadi selanjutnya dalam kehidupan

Arab dan umat Islam. Mereka tidak berhenti pada perselisihan dalam batasan-batasan

politik, tetapi juga menyandarkannya kepada agama.15

Sekte Khawa>rij pada mulanya adalah bagian dari sayap militer Khalifah Ali> ra.

yang menolak arbritrasi di Dumatu al-Jandal. Mereka menganggap bahwa semua

pihak yang menerima arbitrase adalah murtad dan kafir karena melanggar dari haluan

yang telah digariskan Allah. Arbritrasi atau tahkim terjadi antara Ali> ra. dan Mu‘awiyah
ra. yang menyepakati gencatan senjata sebagai solusi damai dalam sebuah peperangan

antar keduanya di Siffin.16

Lihat, Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa
14

‘Aqa>’iduhum, h. 8-9.
Lihat, Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi> (Cet. II; Kairo: Dar al-Syuruq, 1991),
15

h. 9.
Ahmad Yani Anshori, “Khawarij”, h. 270.
16
7

Sebenarnya, Ali> ra. awalnya menolak perdamaian yang diajukan Mu‘awiyah

ra. namun karena desakan beberapa sahabat terutama kaum qurra’, seperti Al-Asy’at

Ibn Qais, Mas‘ud Ibn Fudaki al-Tamimi dan Sa‘id Ibn Husein al-T{ai, dengan hati berat,

terpaksa Ali> ra. memerintahkan komandan pasukannya (pengikutnya) untuk

menghentikan peperangan. Akhirnya mereka menerima perdamaian tersebut.17

‘Ali> Ibn Abi T}alib memilih ‘Abdullah Ibn ‘Abbas sebagai arbitrator, namun

penunjukan ini ditolak oleh kaum Khawa>rij dengan alasan bahwa ‘Abdullah Ibn
‘Abbas adalah keluarga Ali> Ibn Abi T}alib. Kaum Khawa>rij mendorong ‘Ali> Ibn Abi

T}alib agar menunjuk Abu Musa al-Asy‘ari untuk menetapkan keputusan yang sesuai

dengan ketentuan al-Qur’an.18 Keputusan tahkim diluar ekspektasi mereka (khususnya

kaum Khawa>rij), hasil dari tahkim ternyata lebih menguntungkan pihak Mu‘awiyah

dan juga sekaligus melemahkan posisi ‘Ali> sebagai khalifah. Sebab di antara keputusan

itu lahir penetapan pencopotan ‘Ali> sebagai khalifah.19

Kaum Khawa>rij kemudian meminta ‘Ali> untuk tidak menerima keputusan

arbitrasi tersebut. Sudah tentu sebagai orang yang beriman lagi berpegang teguh pada

janji ‘Ali> menolak permintaan kaum Khawa>rij itu.20 Menurut kaum Khawa>rij, arbitrasi

tidak dapat diterima karena hukum yang dihasilkan adalah produk manusia, sementara
tidak ada hukum selain dari hukum Allah – inilah kemudian yang menjadi semboyan

mereka (‫)ال حكم إال هلل‬-, bahkan mereka menghukumi kafir yang terlibat dalam arbitrasi

yaitu ‘Ali>, Mu‘awiyah, ‘Amr Ibn al- ‘As}, Abu Musa al-Asy‘ari, juga menghukumi kafir

17
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 86.
18
Ikrom Shaliadi, “Khawarij: Arti, Asal-Usul, Firqah-Firqah, dan Pendapatnya”, Islamuna 2,
no. 1 (2015): h. 20-21.
19
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 86.
Lihat, Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 13.
20
8

bagi siapa saja yang menerima arbitrasi tersebut. Mereka kemudian melandasi

pemikiran dan klaim mereka terhadap yang terlibat arbitrasi dan yang menerimanya

dengan landasan teologis yang berdasar ayat al-Qur’an. Adapun ayat yang dimaksud

QS al-Ma>’idah/5: 44,21 Allah swt. berfirman:


ۡ ٓ ‫… ومن ۡهَّل َۡي ُكم ِِبآ أَنزَل ه‬
٤٤ ‫ك ُه ُم ٱل ََٰك ِف ُرو َن‬
َ ِ‫ٱَّللُ فَأُوَٰلَئ‬ َ َ َ ََ
…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang kafir.22

Karena kecewa dengan hasil arbitrasi tersebut dan kecewa juga dengan sikap

sang Khalifah (‘Ali>) karena menerima hasil dari arbitrasi tersebut, akhirnya mereka

memisahkan diri lalu pergi ke Haru>ra, suatu tempat di daerah Kufah. Di sanalah mereka

berkumpul dan menjadikannya sebagai benteng pertahanan. Di Haru>ra juga mereka

melakukan konsolidasi dan merapikan struktur kepemimpinannya. Syabats Ibn Rabi‘i

al- Tamimi sebagai panglima militer, ‘Abdullah Ibn al- Kawwa’ al- Yasyakra sebagai

kepala agama yang mempunyai otoritas menjadi Imam besar dalam shalat dan

‘Abdullah Ibn Wahab al-Rasaby sebagai kepala pemerintahan yang mempunyai

otoritas mengatur jalannya pemerintahan.23

3. Pokok Ajaran Khawa>rij dan Sekte-Sektenya

Meskipun pada perkembangannya Khawa>rij terpecah ke beberapa sekte, tetapi

ada beberapa pokok ajaran yang sama di antara sekte-sekte tersebut, hal ini kemudian

diistilahkan oleh Muh}ammad ‘Ima>rah “al- Mabadi al- ‘Ammah”24 dalam bukunya

21
Lihat, Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 86.
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 167.
22

Ahmad Yani Anshori, “Khawarij”, h. 272.


23

Lihat, Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 16.


24
9

“Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>". Adapun pokok ajaran yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

a. Dalam masalah ketata-negaraan, kaum Khawa>rij memiliki pandangan yang

lebih demokratis. Mereka berpendapat bahwa semua muslim boleh menjadi

khalifah jika syaratnya terpenuhi.25 Kemudian menurut mereka, khalifah

harus dipilih secara merdeka dan bebas oleh umat Islam.26 Paham ini

merupakan anti-mainstream pada waktu itu. Yang mana pada waktu itu
paham yang berkembang adalah yang harus menjadi khalifah adalah Bangsa

Arab dan dari Suku Quraisy saja. Pada persoalan ini, pandangan Khawa>rij

lebih dekat kepada ruh Islam,27 demikian menurut Dr. Muh}ammad ‘Ima>rah.

b. Dalam persoalan revolusi,28 mereka bersepakat wajibnya “khuru>j”29

terhadap pemimpin yang tidak adil, fasiq dan lemah.30 Jika seorang

menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia wajib dijatuhkan bahkan

dibunuh.31

c. Adapun pandangan mereka terkait kekhalifaan Khulafa>’u al-Rasyidi>n,

mereka tetap menganggap sah kepemimpinan Abu> Bakar al- S}iddiq ra. dan

25
Lihat, Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 87.
26
Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa>’iduhum, h.
190.
27
Lihat, Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 17.
28
Revolusi adalah perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang
dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata). Lihat, Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1302.
29
Khuru>j dalam pemahaman kaum Khawa>rij adalah tidak mengakui atau keluar dari pemimpin
yang dianggap berdosa dan lemah. Lihat, Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 18.
30
Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 18.
31
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h.
12.
10

‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b ra. Adapun kepemimpinan ‘Us\ma>n Ibn ‘Affa>n ra.,

mereka tetap menerimanya, sebelum 6 tahun terakhir dari pemerintahannya.

Demikian pula pada masa kepemimpinan ‘Ali> Ibn Abi> T{alib ra. sebelum

peristiwa arbitrasi.32

d. Dalam persolan dosa-dosa besar, mereka memandang pelakunya telah kafir,

dan kekal di dalam neraka. Kecuali sekte al-Najda>t, yang berpendapat bahwa

pelaku dosa besar itu fa>siq ka>fir maksdunya adalah ia hanya kafir nikmat.33
e. Khalifah ‘Ali> ra., Mu‘awiyah ra, ‘Amr Ibn al- ‘As} dan Abu> Musa al- Asy‘ari

serta pasukan perang Jamal mereka hukumi kafir.34

f. Dalam persoalan umat Islam yang di luar golongan mereka, kaum Khawa>rij

tidak memiliki rasa toleransi dan menganggap bahwa selain dari

golongannya itu bukanlah muslim.

g. Kaum Khawa>rij juga berpendapat bahwa ketidakadilan itu tidak berasal dari

Allah swt. tetapi manusialah yang menciptakannya. Manusia punya

kemampuan dalam menciptkan perbuatannya serta merdeka dalam memilih

takdirnya.35

h. Al- Qur’an adalah makhluk.36

32
Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 18.
33
Lihat, Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa
‘Aqa>’iduhum, h. 197.
34
Lihat, Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 87.
35
Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 19.
36
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 88.
11

Dengan melihat pokok ajaran yang umum bagi Khawa>rij di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa doktrin dari pokok ajarannya pada prinsipnya menyangkut

persolan politik dan teologis.

Pokok ajaran Khawa>rij ini juga tidak terlepas dari pengaruh psikologi dan

sosial-kebudayaan kaum khawa>rij yang didominasi dari Arab Badawi yang tinggal di

padang pasir yang keras. Pola hidup mereka yang berpindah-pindah (nomaden)

membuat hidup mereka miskin, sederhana, keras, berani sekaligus merdeka. Sikap-
sikap demikian, kata Philip K. Hitti, pada akhirnya membentuk karakter demokrasi ala

masyarakat Badawi.37

Sebagai orang Badawi, mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran

Islam, sebagaimana terdapat dalam al- Qur’an dan Hadis, mereka maknai secara

tekstual dan harus dilaksanakan sepenuhnya sebagaimana teksnya. Oleh karena iman

dan paham agama mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam

pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal dan semangat Islam yang

membara, tetapi dangkal lagi sempit akan pemahaman agama ditambah lagi dengan

sikap fanatik. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa mentolerir

penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya


penyimpangan dalam bentuk kecil.38

Di sinilah letaknya penjelasan, mengapa begitu mudahnya golongan Khawa>rij

terpecah ke dalam beberapa sekte. Al- Syahrista>ni>, dalam “al-Milal wa al- Nih}al”

menyebutkan ada 8 sekte yang terbesar, adapun yang lainnya adalah cabang dari

37
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer, h. 32.
38
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h. 13.
12

sekte-sekte tersebut.39 Adapun al- Bagda>di>, menyebutkan bahwa ada 20 sekte dari

Khawa>rij.40

Adapun sekte-sekte yang dimaksud di antaranya sebagai berikut:41

a. Al- Muh}akkimah

Al- Muh}akkimah atau kadang juga disebut al- Muh}akkimah al-U<la, adalah

sekte asli dari Khawa>rij dalam artian yang pertama. Mereka adalah pengikut-pengikut

‘Ali>, yang kemudian memisahkan diri dari pasukan ‘Ali>, lantaran kecewa dengan
kebijakan sang khalifah menerima arbitasi. Mereka inilah yang setelah memisahkan

diri dari barisan ‘Ali>, menuju Haru>ra. Adapun pemimpin-pemimpin mereka adalah;

‘Abdullah Ibn al- Kawa>’, ‘Uta>b Ibn al- A‘war, ‘Abdullah Ibn Wahab al- Ra>si>bi>, dan

‘Urwah Ibn Jurair.42

Menurut mereka, ‘Ali>, Mu‘awiyah beserta kedua juru bicara masing-masing

delegasi yakni Abu> Musa al- Asy‘ari dan ‘Amr Ibn al- ‘As} telah kafir dan keluar dari

Islam. Selanjutnya, makna kafir di sini mereka interpretasikan lebih luas lagi, yakni

bagi mereka yang melakukan dosa besar dianggap kafir dan telah keluar dari Islam.43

Sehingga, menurut paham sekte ini orang yang melakukan perzinahan

dinyatakan kafir dan telah keluar dari Islam. Demikian juga bagi orang yang
membunuh.

b. Al- Aza>riqah

39
Lihat, Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 133.
40
Rujuk, Al- Bagda>di>, Al-Farq baina al-Firaq (Cet. IV; Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah,
2009), h. 49.
41
Pada makalah ini hanya menyebutkan beberapa dari sekte-sekte khawa>rij yang dianggap
penting dan besar peranan, pengaruh serta pengikutnya.
42
Lihat, Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 133.
43
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 88.
13

Al- Aza>riqah, mereka adalah pengikut Nafi‘ Ibn al- Azraq, sekte ini muncul

setelah melemahnya sekte al- Muh}akkimah. Menurut al- Bagda>di>, jumlah pengikut dari

sekte ini lebih dari 20 ribu orang.

Sekte ini lebih keras dan ekstrem dari pendahulunya, mereka tidak lagi

menggunakan term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Yang mana kita ketahui,

bahwa dalam agama Islam tidak ada lagi dosa di atas syirik.44

Tidak sampai di sana, sekte ini berpendapat bahwa bukan hanya pelaku dosa
besar telah musyrik, tetapi golongan apa saja atau kaum muslimin yang tidak sepaham

dengan mereka juga musyrik. Demikian pula, kaum muslimin yang tidak tinggal dalam

satu wilayah kekuasaan dengan mereka juga dianggap musyrik.45

Sekte ini memandang bahwa hanya merekalah yang muslim, semua yang tidak

sepaham dengan mereka dianggap kaum musyrik yang halal darahnya dan wajib untuk

diperangi. Bahkan menurut sekte ini bukan hanya orang dewasanya tergolong musyrik,

tetapi juga anak-anaknya.46

c. Al- Najda>t

Al- Najda>t, adalah sekte pengikut Najdah Ibn ‘Amir al- Hanafi dari Yamamah.

Pada mulanya Najdah ingin menggabungkan diri dengan sekte al- Aza>riqah. Namun,
terjadi perpecahan di dalam tubuh sekte al- Aza>riqah. Mereka menolak pendapat sekte

Aza>riqah yang menyatakan bahwa mereka yang tidak mau berhijrah ke dalam

lingkungan al- Aza>riqah adalah musyrik.47

44
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h. 14.
45
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h 89.
46
Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 140.
47
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h. 15-16.
14

Abu Fudaik dengan teman-teman serta pengikutnya memisahkan diri dari Nafi‘

dan pergi ke Yamamah. Di Yamamah mereka bertemu Najdah dan berhasil menarik

Najdah ke pihak mereka dalam pertikaian dengan Nafi‘. Pengikut Abu Fudaik dan

Najdah kemudian bersatu dan memilih Najdah sebagai Imam baru. Nafi‘ tidak

dianggap lagi sebagai Imam. Bahkan Nafi‘ telah dianggap kafir bagi mereka.48

Paham yang dianut sekte ini berbeda dengan kedua sekte yang telah disebutkan

(al- Muh}akkimah dan al- Aza>riqah). Bagi sekte al- Najda>t, orang Islam yang tidak
sepaham dengan mereka adalah kafir dan kekal dalam neraka. Adapun pelaku dosa

besar bagi para pengikutnya hanya akan mendapat siksaan dan tetap akan masuk

syurga. Dosa kecil bisa menjadi dosa besa jika dikerjakan terus-menerus dan pelakunya

sendiri bisa dikategorikan musyrik.

Sekte ini juga berpendapat bahwa orang-orang yang tidak berhijrah mereka

menamakannya munafik. Kemudian mereka juga membolehkan taqiah49 baik dalam

perkataan maupun perbuatan. Pengetahuan akan Allah dan rasul-rasul-Nya, serta

meyakini apa yang datang dari sisi Allah swt. adalah hal yang wajib diketahui orang

Islam,50 dalam hal ini orang Islam yang dimaksud adalah sekte al- Najda>t.

d. Al- ‘Aja>ridah
Sekte ini merupakan pengikut ‘Abdul Kari>m Ibn ‘Ajrad, salah satu dari ‘At}iah

Ibn al- Aswad al- H{anafi yang merupakan teman dari Najdah Ibn ‘Amir.51

48
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h 89-90.
49
Taqiah adalah menampakkan seseatu hal yang berbeda dari apa yang diyakini dalam hati.
Lihat, Muh}ammad ‘Ima>rah, Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>, h. 219.
50
Rujuk, Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa
‘Aqa>’iduhum, h. 228-229.
51
Lihat, Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa
‘Aqa>’iduhum, h. 235.
15

Menurut sekte ini berhijrah bukanlah merupakan kewajiban, tetapi kebajikan.

Sekte ini juga berpendapat bahwa surat Yu>suf bukanlah bagian dari al- Qur’an, karena

di dalamnya ada kisah percintaan, yang demikian itu tidak mungkin bagi Kalam Ilahi.

Di samping itu menurut mereka, harta orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka

tidaklah halal, kecuali yang telah terbunuh atau meninggal.52

e. Al- S{ufriyah

Sekte ini dipimpin oleh Ziad Ibn al- Asfar, sehingga sekte ini dikenal juga
dengan nama al- Ziadiyyah. Pemahaman sekte ini tidak jauh berbeda dengan al-

Aza>riqah, Al- S{ufriyah juga diklaim sebagai kelompok garis keras. Namun ada

beberapa pemahaman mereka sehingga sekte ini tidak begitu ekstrim.

Sekte ini beranggapan tidak boleh membunuh anak-anak orang musyrik.

Adapun dalam persoalan taqiah, maka hanya boleh secara lisan tidak dibenarkan

dengan perbuatan. Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak

dianggap da>r al-h{arb, hanya camp pemerintah lah yang harus diperangi, anak-anak dan

wanita tidak boleh dijadikan tawanan perang.53 Kemudian menurut sekte ini, kafir ada

2 macam; pertama, kafir nikmat (mengingkari nikmat), kedua, kafir rububiyah

(meningkari ketuhanan).54
f. Al- Iba>d{iyyah

Sekte atau golongan al- Iba>d{iyyah, bisa dikatakan sekte paling moderat di

antara sekte-sekte Khawa>rij. Hal tersebut dapat terlihat dari dokrtin ideologi mereka.

52
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h.
18., dan Ahmad ‘Awad} Abu> al- Syabab, Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa ‘Aqa>’iduhum, h.
246.
53
Lihat, Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h 93.
54
Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 159.
16

Seperti dalam persolan orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan sekte ini, maka

mereka tetap menghukuminya kafir, tetapi masih memperbolehkan bermuamalah

kepada golongan yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan mereka menghukumi

haram membunuhnya. Dalam persoalan dosa besar, maka sekte ini memiliki

pandangan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir millah (mengingkari agama) dan

kafir ni‘mah (mengingkari nikmat). Sehingga, si pelaku tidaklah keluar dari agama.55

Pemahaman dan pemikiran yang cukup moderat inilah yang mungkin menjadi
salah satu faktor mengapa sekte ini masih eksis sampai sekarang. Berbeda dengan

sekte-sekte lainnnya yang telah tiada.

Pada kenyataannya, semua sekte-sekte yang pernah ada pada masa awal

pengikutnya tidak tampak lagi sebagai suatu gerakan atau kelompok yang resmi.

Namun, dewasa ini pengaruhnya tetap ada baik secara pemikiran maupun aksi, disadari

ataupun tidak.

B. Murji‘ah

1. Makna Murji‘ah

Term Murji‘ah berasal dari term bahasa Arab yaitu “al- irja>’”, yang bermakna;
pertama, “al-ta’khi>r” yang artinya pengakhiran atau penundaan56, kedua, “i‘t}a>’ al-

raja>’” yang artinya memberi pengharapan. Penggunaan kata murji‘ah sebagai suatu

kelompok atau sekte sebagaimana ditunjukkan pada makna yang pertama itu benar dan

sesuai. Sebab, dalam paham sekte ini, mengakhirkan amal dari pada niat dan aqidah.

Adapun dengan makna yang kedua juga tepat. Sebab mereka (kaum murji‘ah)

55
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h.
20., dan Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 94.
56
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia, h. 12.
17

berpendapat, kemaksiatan tidak akan membahayakan iman, sebagaimana ketaatan

tidak akan berfaedah bagi orang kafir.57

Menurut al- Syahrista>ni>, Murji‘ah adalah suatu kelompok yang berbicara

tentang iman dan amal (hubungan iman dan amal), tetapi mereka ada kesamaan dengan

Khawa>rij. pada beberapa hal dalam persoalan imamah (kepemimpinan).58

2. Sejarah Munculnya Murji‘ah

Agak sulit menentukan kapan munculnya Murji‘ah sebagai suatu kelompok.

Berbeda ketika membahas Khawa>rij, selain itu ketika merujuk ke literatur-literatur

terkait Murji‘ah tidak sekaya literatur-literatur yang bersentuhan dengan Khawa>rij.

Namun, pada dasarnya hal yang melatar belakangi munculnya Murji‘ah adalah

persoalan ketidakstabilan politik juga, sebagaimana Khawa>rij dan Syi‘ah.

Krisis politik dimulai dari pada masa-masa akhir pemerintahan ‘Utsma>n dan

‘Ali>. Hal ini kemudian memicu pergolakan di tengah umat Islam baik secara pemikiran

maupun dalam bentuk aksi-aksi. Agama kemudian dijadikan payung pelindung akan

sikap dan tindakan mereka, baik bagi kelompok yang menang maupun yang kalah. Dari

sini dapat dikatakan bahwa aliran Kalam atau teologi Islam lahir dari konflik politik

yang dibingkai dengan ajaran agama.


Berbagai perselisihan, bahkan sampai peperangan tak terelakkan dalam masa

krisis politik tersebut. Perang Jamal, antara koalisi T{alh}ah, Zubair, dan ‘Aisyah

melawan ‘Ali>, tak terhindarkan yang mengakibatkan terbunuhnya T{alh}ah dan Zubair

dalam peperangan, dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekah dengan terhormat.59 Belum

Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 161-162.


57

Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 131.


58

59
Lihat, Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 105.
18

lagi, pertentangan ‘Ali> dan Mu‘awiyah yang puncaknya perang Siffin, namun dalam

perang Siffin penyelesaiannya dengan arbitrasi yang hasilnya tidak menguntungkan

pihak ‘Ali>, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Pertentangan politik yang mengakibatkan peperangan dan saling membunuh

antara umat Islam bahkan antara para sahabat merembet ke masalah teologi atau akidah

yang berpangkal dari murtakib al-kaba>’ir (pelaku dosa besar).60

Saling tuding terjadi antara umat Islam, kaum Khawa>rij menuduh semua yang
terlibat arbitrasi dan menerimanya adalah kafir. Syi‘ah berbicara seputar imamah yang

harus berasal dari keturunan ‘Ali>. Dalam hal mengkafirkan Syi‘ah juga ikut bicara,

antara lain sekte Kamiliyah mengkafirkan semua sahabat yang tidak mendukung

pengangkatan ‘Ali>.

Di tengah kemelut politik dan saling mengkafirkan seperti ini, ada segolongan

sahabat yang bersikap netral dan menahan diri untuk membicarakan persoalan tersebut.

Sikap mereka itu didasarkan pada pandangan teologi bahwa penilaian hukum bagi

pelaku dosa besar diserahkan kepada Tuhan. Itulah yang merupakan embrio

terbentuknya sekte Murji‘ah.61

Menurut Nunu Burhanuddin, golongan Murji‘ah pertama kali muncul di


Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah. Murji‘ah pernah mengalami

kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Umayah, namun setelah runtuhnya

Daulah tersebut, golongan Murji‘ah ikut redup dan berangsur-angsur ditelan zaman,

hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi. Namun demikian, sebagian

60
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 106.
61
Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 107.
19

pahamnya masih ada diikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan dengan al-

Qur’an dan Sunnah.62

3. Pokok Ajaran Murji‘ah dan Sekte-Sektenya

Secara umum, pokok ajaran dari Murji‘ah dapat dilihat dari beberapa

pendapatnya, sebagai berikut:

a. Rukun iman ada dua, yaitu: iman kepada Allah dan iman kepada utusan
Allah.

b. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan

bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa, maka segala ketentuannya

tergantung Allah di akhirat kelak.

c. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apa pun terhadap orang bila telah

beriman.

d. Perbuatan kebajikan tidak berarti apa pun apabila dilakukan di saat kafir. Ini

berarti perbuatan-perbuatan “baik” tidak dapat menghapuskan kekafirannya

dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum

masuk Islam.

e. Golongan Murji‘ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam,
sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan lain-lain, sebab mereka

mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun tidak dapat

memengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim.

f. Aliran Murji‘ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau

menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut

62
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer, h. 72.
20

tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tiaknya seseorang itu

tidak dilihat dari segi lahirnya namun tergantung batinnya. Sebab ketentuan

ada pada i‘tiqad seseorang dan bukan segi lahiriahnya.63

Hal lain yang juga menjadi pokok ajaran dari sekte ini, dalam persoalan

menghukumi yang terlibat dalam arbitrasi adalah mereka menunda hukum atas orang-

orang yang terlibat arbitrasi tersebut dan menyerahkan keputusannya kepada Allah di

hari kiamat.64
Secara garis besar, ditinjau dari paham-pahamnya yang berkembang kemudian,

Murji‘ah terbagi menjadi kelompok yang moderat dan kelompok yang ekstrim.

Pertama, Golongan Murji‘ah ekstrim. Golongan ini dipimpin Al- Jahamiyah

(pengikut Jaham Ibn S{afwan), pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang

percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah

kafir, sebab iman dan kafir tempatnya di hati.65

Sekte atau Golongan lain yang termasuk dalam Murji‘ah ekstrim adalah al-

S}alih}iyyah, yakni pengikut Abu H{asan al- S{alih{i. Sekte ini memiliki pendapat bahwa

seseorang yang percaya kepada Allah lalu percaya pada trinitas dan meninggal, maka

orang ini tetap dianggap mukmin. Mereka juga berpendapat bahwa iman adalah

63
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer, h. 73-74.
64
Lihat, Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar, h. 108.
65
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer, h. 74.
21

mengetahui Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan.66 Yang dianggap ibadah

adalah iman saja.67

Sekte yang lain adalah al- Yunusiyyah, pengikut Yunus Aun al- Namiri.

Menurut sekte ini, iman adalah pengetahuan akan Allah, tunduk pada dan tidak

sombong pada-Nya, serta mencintai Allah dengan hati. Adapun yang lainnya dari

perbuatan ketaatan bukanlah bagian dari iman, meniggalkannya tidak mencederai

hakikat iman.68
Kemudian, sekte berikutnya yang termasuk dalam golongan yang ekstrim

adalah al- ‘Ubaidiyyah, pengikut ‘Ubaid al- Muktaib. Bagi al- ‘Ubaidiyyah, dosa apa

pun selain syirik akan diampuni Allah. Kemudian sekiranya ada seseorang yang mati

dalam iman, dosa dan perbuatan jahatnya tidak merugikan yang bersangkutan.69

Kelompok lain yang termasuk dalam Murji‘ah ekstrimis adalah al- Gassaniyah,

pengikut Gassan al- Kufi. Menurut mereka, iman adalah mengetahui Allah dan rasul-

Nya, mengikrarkan apa yang diturunkan Allah serta apa yang datang dari Rasulullah

secaara global dan tidak terperinci. Iman itu bertambah dan tidak berkurang.70

Kedua, Murji‘ah Moderat. Golongan ini berpendapat bahwa orang yang

berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman

66
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer, h. 74-75.
67
Lihat, Al- Bagda>di>, Al-Farq baina al-Firaq, h. 155.
Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 163.
68

Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 163.


69

Al- Syahrista>ni>, Al-Milal wa al-Nih}al, h. 163-164.


70
22

dalam neraka sesuai besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinan Tuhan akan

memberikan ampunan terhadap dosanya.71

Ajaran Murji‘ah moderat sebagaimana disebutkan pada permasalahan diatas,

memiliki kesamaan dengan pendapat ahlu sunnah wal-jama‘ah. Menurut pandangan al-

Asya‘irah (salah satu sekte dalam ahlu wal-jama‘ah) bahwa muslim yang melakukan

dosa besar lalu meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka nasibnya berada di tangan

Tuhan. Kemungkinannya adalah Tuhan tidak memberi ampun atas dosa-dosanya dan
akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya. Setelah itu dia

dimasukkan kedalam surge, karena mukmim tidak mungkin kekal di neraka.72

71
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik, Klasik,
dan Kontemporer, h. 76.
72
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, h. 28.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai sejarah munculnya Sekte Khawa>rij dan Murji‘ah

serta pokok ajaran dari kedua sekte tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Munculnya kedua sekte tersebut akibat dari krisis politik yang dialami umat
Islam, pada masa akhir-akhir dari pemerintahan Us\ma>n Ibn ‘Affa>n. Lalu, mencapai

puncaknya pada masa ‘Ali> Ibn Abi> T{alib, khususnya ketika terjadi perseteruan antara

‘Ali> Ibn Abi> T{alib dan Mu‘awiyah Ibn Abi> Sufya>n. Khawa>rij adalah sebuah sekte yang

lahir sebagai reaksi atas penolakan terhadap arbitrasi dalam penyelesaian konflik antara

‘Ali> Ibn Abi> T{alib dan Mu‘awiyah Ibn Abi> Sufya>n. Kemudian, sekte ini melandasi

sikap politik mereka dengan landasan berbau teologis, bahkan lebih jauh mereka masuk

ke dalam wilayah mengkafirkan pelaku dosa besar. Para sahabat yang mulia pun tak

lepas dari tuduhan kafir yang dilontarkan sekte ini. Sekte ini dinamakan Khawa>rij

sebab mereka keluar atau memisahkan diri dari pasukan ‘Ali> Ibn Abi> T{alib.

2. Murji‘ah, sekte yang berlawanan dengan sekte Khawa>rij. Khususnya dalam hal

mengkafirkan, paham sekte ini sangat kontradiksi dengan paham Khawa>rij. Murji‘ah
muncul sebagai suatu reaksi akan situasi pada saat itu yang dengan mudahnya

menghukumi orang Islam menjadi kafir. Sekte ini dinamakan Murji‘ah sebab paham

mereka yang mengakirkan amal dari pada iman serta memberikan pengharapan

khususnya kepada pelaku dosa besar, bahwa selama ia beriman, maka dosa tersebut

tidak akan mengeluarkannya dari Islam.

23
24

3. Adapun pokok ajaran Khawa>rij di antaranya, tentang kepemimpinan yang

menurut mereka tidak mesti dari Arab dan dari suku Quraisy, wajibnya melakukan

perlawanan kepada pemimpin yang keluar dari ajaran-ajaran Islam, menghukumi kafir

bagi pelaku dosa besar dan kekal di dalam neraka, bahkan menghukumi kafir juga bagi

orang Islam yang tidak termasuk golongannya. Dari sini terlihat ajaran Khawa>rij keras,

radikal dan bersifat eksklusif. Sekte ini adalah cerminan dari iman yang tebal tapi

minim akan pengetahuan dan cara pandang yang sempit sehingga menghukumi seseatu
hanya secara tekstual.

4. Murji‘ah, memiliki pokok ajaran yang sangat longgar seperti rukun iman

menurutnya hanya ada 2 yaitu iman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, iman menurut

kebanyakan dari sekte-sekte Murji‘ah adalah pengetahuan akan Allah dan rasul-Nya,

sedangkan kafir adalah ketidaktahuan pada Allah. Sekte ini memandang bahwa iman

lah yang utama bukan amal sehingga menjadi ciri khas dari sekte ini pernyataan bahwa

kemaksiatan tidak akan berdampak apa-apa (buruk) bagi orang yang beriman dan

kebaikan tidaklah ada manfaatnya bagi orang yang kafir. Murji‘ah adalah cerminan

dari tasahhul dalam beragama.

5. Meskipun, kedua sekte ini baik Khawa>rij dan Murji‘ah sudah tidak ada secara
kelompok dengan menggunakan nama kedua nama tersebut. Sesungguhnya, secara

pemikiran dan aksi masih terus eksis sampai sekarang, namun terkadang tak disadari.

Atau, mungkin telah bertransformasi dengan wajah baru tapi tetap dengan pemikiran

dan paham yang sama.

B. Saran

Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbang saran serta
25

kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan makalah kami untuk yang akan datang.

Wallahu a‘lam.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nurlaela. Ilmu Kalam; Sebuah Pengantar. Cet. I; Makassar: Alauddin


University Press, 2014
Abu> al- Syabab, Ahmad ‘Awad. Al- Khawa>rij: Ta>ri>khuhum, Firaquhum, wa
‘Aqa>’iduhum. Cet. I; Beirut: Da>r al- Kutub al- ‘Ilmiyah, 2005.
Anshori, Ahmad Yani. “Khawarij”. Jurnal Asy-Syir’ah 43, no. 2 (2009): h. 269-296.
al- Bagda>di>, Abdul Qahir. Al-Farq baina al-Firaq. Cet. IV; Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2009.
Burhanuddin, Nunu. Ilmu Kalam, Dari Tauhid Menuju Keadilan; Ilmu Kalam Tematik,
Klasik, dan Kontemporer. Cet I; Jakarta: Kencana, 2016.
Departemen Agama RI. Al- Qur’an dan Terjemahannya. Madinah al- Munawwarah:
Khadim al- Haramain al- Syarifain al- Malik Fahad li Thiba’ al- Syarifain al-
Malik Fahd li Thiba’ah al- Mushab al- Syarif, 1412 H/1971 M.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.
Husain, Ahmadi. “Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan
Wahyu”. Al-Fikr 19, no. 1 (2015): h. 37-54.
‘Ima>rah, Muh}ammad. Tayya>rat al-Fikri al-Isla>mi>. Cet. II; Kairo: Dar al-Syuruq, 1991.
“Limaza Ta’akhkhara al-Sahabah (ridwan Allah ‘alaihim) fi Dafn al-Rasul al-A’zam
alaihi al-Salatu wa al-Salam”. Hiz-but-Tahrir Media Office-Palestine.
http://www.pal-tahrir.info/articles1/8-
%D9%85%D9%82%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%AA/1576--------------
.html (22 Desember 2016).
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan.
Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986.
Shaliadi, Ikrom. “Khawarij: Arti, Asal-Usul, Firqah-Firqah, dan Pendapatnya”,
Islamuna 2, no. 1 (2015): h. 17-28.
al- Syahrista>ni>, Abi al- Fath Muhammad Ibn Abdul Karim Ibn Abi Bakr. Al-Milal wa
al-Nih}al. Cet. III; Beirut: Da>r al- Ma‘rifah, 1993.

26

Anda mungkin juga menyukai