Anda di halaman 1dari 27

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

PENDIDIKAN AKIDAH NAJMIANUR HASANATUN


DAN AKHLAK NIDA, S.Pd.I, M.Pd

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN


ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
(KHAWARIJ, SYI’AH, QADARIAH, JABARIAH, MU’TAZILAH,
ASY’ARIYAH, MURJI’AH, DAN MATURIDIYAH)
OLEH

KHARISMA YUNITA : 220101010724


SISKA WULAN DARI : 220101010141

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2023 M/1444 H
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ......................................................................................................... i
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 1
PEMBAHASAN ......................................................................................................
A. KHAWARIJ..................................................................................................
B. SYI’AH.........................................................................................................
C. QADARIAH................................................................................................
D. JABARIAH..................................................................................................
E. MU’TAZILAH...............................................................................................
F. ASY’ ARIYAH............................................................................................
G. MURJI’AH...................................................................................................
H. MATURIDIYAH.........................................................................................
PENUTUP ................................................................................................................
A. Kesimpulan .................................................................................................
B. Saran ............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

i
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

1
PEMBAHASAN

A. KHAWARIJ
Kata Khawarij adalah isim fa'il dari fi'il madhi "kharaja" yang berarti keluar.
Dengan demikian khawarij berarti orang-orang yang keluar. Yang dimaksud dengan
orang-orang yang keluar di sini ialah orang-orang yang keluar dari barisan atau pasukan
yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib. Sebelumnya mereka merupakan pengikut dan
pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Kemudian setelah pihak Ali mengalami kekalahan
dalam peristiwa tahkim sesudah perang Shiffin, mereka keluar karena kecewa atas sikap
Ali yang menyetujui dilaksanakannya tahkim atau perundingan damai yang ditawarkan
Mu'awiyah. Selain terkait dengan masalah tahkim, ada pula yang mengarti kan khawarij
dengan keluar untuk berperang guna menegakkan kebenaran. Dan meareka menamakan
diri dengan sebutan Kaum Syurah yang berarti orang-orang yang mengorbankan dirinya
untuk kepentingan mencari keridhoan Allah Swt. Hal ini mereka dasarkan pada surah al-
baqarah ayat 207:

‫وف بِالْعِبَ ِاد‬


ٌ ُ‫ات اللَّ ِه َواللَّهُ َرء‬
ِ ‫َّاس من ي ْشرى َن ْفسه ابتِغَاء مرض‬
َ َْ َ ْ ُ َ
ِ
َ َ ِ ‫َوم َن الن‬
Artinya: “Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.
Dengan ayat di atas, kaum Khawarij mengklaim diri mereka sebagai orang-orang yang
bersedia mengorbankan diri untuk berjuang di jalan Allah.1
Adapun diceritakan yang pertama kali mengobarkan perselisihan di antara para
pengikut Ali ibn Abu Thalib itu ialah Nafi' ibn Azraq al-Hanafi, di mana dia mencela
orang-orang yang menyetujui tahkim, bahkan mengkufurkan orang-orang yang menentang
anggapannya. Diceritakan (dalam versi lain) yang pertama kali beranggapan seperti itu
sebenarnya Abdu Rabih al-Kabir. Tetapi diceritakan pula yang pertama kali beranggapan
seperti itu sebenar nya bukan kedua orang tersebut, melainkan Abdullah ibn al-Wadhin.
Maka akhirnya diceritakan, pada mulanya Nafi' ibn al-Azraq menentan anggapan
Abdullah ibn al-Wadhin, tetapi, setelah Abdullah ibn al-Wadhin meninggal , Nafi ibn al-

1
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).

2
Azraq pun balik mengikuti anggapannya. Kemudian Nafi' ibn al-Azraq menganggap
dirinya yan paling benar, sehingga dia pun mengkufurkan orang-orang yan menentang
anggapannya.2
Tokoh-tokoh yang mendoktrin aliran ini yaitu: Abdullah bin Wahhab Ar-
Rasyidi, Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah Al-Asadi, Quraib bin Maruah,
Nafi’ bin Al-Azraq, Abdullah bin Basyir, Najdah bin Amir Al-Hanaf. Doktrin dalam
aqidah dalam aliran ini antara lain:
a) Kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan,
apakah dalam berpikir, maupun dalam segala perbuatannya, apabila segala
tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya
dihukumkan kafir.
b) Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan
orang yang jahat harus masuk neraka).
c) mereka beranggapan bahwa Qur’an adalah makhluk.
d) Setiap umat Muhammad Saw. yang terus menerus melakukan dosa besar hingga
matinya belum melakukan taubat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
e) Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara
tersebut khianat dan zalim.3

B. SYIAH
Kata Syi'ah memiliki arti: golongan, sahabat, pengikut dan penolong. Makna
yang demikian ini dapat ditemui di dalam Al-Qur'an surah Al-Qashash (28) ayat 15 yang
berbunyi:

‫ني َغ ْفلَ ٍة ِّم ْن َْأهلِ َها َف َو َج َد فِ َيها َر ُجلَنْي َي ْقتَتِاَل ن َه َذا ِمن ِش َيعتِ ِه َو َه َذا ِم ْن‬
ِ ‫و َد َخل الْم ِدينَةَ َعلَى ِح‬
َ َ َ
‫اسَتغَتَهُ الَّ ِذي ِمن ِش َيعتِ ِه َعلَى الَّ ِذي ِم ْن َع ُد ِّو ِه‬ ِ
ْ َ‫َع ُد ّوه ف‬
Artinya: “Dan ia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah,
maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari
golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang

2
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam,
(Bandung : CV. PUSTAKA SETIA, 1998).
3
https://www.bacaanmadani.com/2018/01/aliran-khawarij-tokoh-tokohnya-doktrin.html?m=1

3
yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang
dari musuhnya.”
Pada ayat pertama di atas, kata Syi'ah berarti golongan, dan pada ayat kedua
berarti pengikut yang setuju dalam pendapat atau pemikiran dan ajaran. Adapun yang
dimaksud dengan Syi'ah dalam uraian ini adalah suatu golongan atau aliran dalam Islam
yang menganut suatu paham bahwa khalifah atau imam itu bukanlah suatu masalah untuk
kemaslahatan umum yang dapat diserahkan kepada umat untuk memilihnya sesudah nabi
wafat. Mereka berpendapat bahwa orang yang paling tepat untuk menjadi khalifah atau
imam adalah Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, dan nabi sendiri telah melantiknya di Ghadir
Khum, suatu tempat dekat Arafah, pada waktu melakukan haji Wada', dan selanjutnya
diwarisi oleh anak cucunya. Dengan demikian, dalam paham Syi'ah keturunan nabi adalah
orang-orang yang paling berhak menjadi khalifah atau imam. Karena itu mereka
memandang Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman adalah tidak sah karena telah
merampas hak Sayyidina Ali dan keturunannya.4
Aliran Syi'ah terbagi dalam empat golongan. Adapun mereka disebut Syi'ah,
karena mereka mengikuti 'Ali ibn Abu Thalib dan melebihkannya ketimbang sahabat-
sahabat Rasulullah SAW lainnya.
1) Syi'ah Ghaliyyah
Dari ketiga golongan (Syi'ah) ini salah satunya adalah golongan Syi'ah
ekstrim (Syi'ah Ghaliyyah), di mana mereka begitu melebihkan Ali ibn Abu Thalib
sebagai makhluk yang termulia yang memiliki ajaran tinggi dan agung. Golongan
syiah ini dipandang ekstrim karena memiliki beberapa doktrin yang menyimpang
yaitu:
a. Al-Tanasukh yakni paham bahwa ruh keluar dan berpindah dari satu jasad ke jasad
yang lain. Menurut mereka ruh Allah berpindah kepada jasad Adam, dan seterusnya
berpindah kepada para imam secara turun temurun.
b. Al-Bada', yaitu keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak- Nya sejalan dengan
perubahan imu-Nya, serta dapat memerin- tahkan suatu perbuatan kemudian
memerintahkan yang sebaliknya.
c. Al-Raj'ah, yaitu keyakinan akan kembalinya imam yang ditunggu. Mereka
berkeyakinan bahwa salah seorang imam yang dinyatakan gaib akan kembali ke
dunia menjelang hari kiamat. Imam yang akan kembali itu diberi gelar Imam Mahdi

4
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).

4
al-Muntazhar. Dengan demikian doktrin Raj'ah ini erat hubungannya dengan doktrin
al-Mahdi. Doktrin ini dianut oleh kaum Syi'ah kecuali kelompok Zaidiyah. Namun
setiap golongan berbeda mengenai imam yang akan kembali tersebut.
d. Al-Tasybib yaitu menyerupakan atau menyamakan Tuhan dengan makhluk. Dalam
hal ini, sebagian mereka berkeyakinan bahwa Tuhan layaknya makhluk memiliki
anggota jasmani seperti wajah, mata, tangan, dan sebagainya.
e. Al-Hulul yaitu keyakinan bahwa Tuhan menjelma ke dalam diri Ali dan para imam
lainnya. Dengan kata lain bahwa para imam itu adalah jelmaan atau tetesan Tuhan.
Oleh karena itulah mereka kemudian berpendapat bahwa para imam itu lebih mulia
dari nabi dan mereka bersifat ma'shum atau suci tanpa dosa.

2) Syi'ah Rafidhah
Yang dimaksud golongan Syi'ah Rafidhah ini adalah golong an Syi'ah yang
mempunyai paham atau pemikiran yang menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar
dan sebagian besar sahabat nabi, disertai sikap mencaci maki mereka karena diklaim
bahwa sahabat nabi tersebut telah mengingkari atau menentang wasiat penunjukan
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pasca Rasulullah. Istilah rafidbab ini berasal dari
ucapan Zaid bin Ali Zainal Abidin ketika beliau ditinggalkan pengikutnya yang
meminta beliau untuk mencela khalifah Abu Bakar dan Umar. Karena beliau tidak
mau, maka pengikutnyapun meninggalkannya, dan terlontarlah dari beliau kata-kata
"rofadhtumuni" (kalian telah menolakku). Dari ucapan Zaid bin Ali itulah lahir
istilah yang kemudian populer yaitu "rafidbab" bagi kelompok Syi'ah yang menolak
Abu Bakar dan Umar dan mencaci maki keduanya.

3) Syi'ah Zaidiyah)
Golongan Zaidiyah ini adalah pengikut Zaid bin Ali bin al- Husein bin Ali
bin Abu Thalib. Zaib bin Ali dinobatkan oleh para pengikutnya di Kufah pada masa
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan, di mana yang menjadi gubernur
Kufah waktu itu adalah Yusuf bin Amr al-Tsaqafi. Dalam masalah imamah,
sekalipun Zaid mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, namun pada
kenyataannya dia lebih memuliakan Ali daripada kedua sahabat rasulullah tersebut.
Sehingga ketika dia berada di Kufah, banyak pengikutnya yang berbai'at tidak lagi
mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Dia juga menganjurkan untuk
mengadakan perlawanan terhadap para pemimpin yakni Khalifah Hisyam bin Abdul
5
Malik. Syi'ah Zaidiyah ini merupakan aliran yang mempunyai paham atau ajaran
yang agak moderat bahkan dekat kepada kaum Sunni, karena mereka tidak
mengangkat para imam ke derajat kenabian. Namun mereka memandang para imam
sebagai manusia paling utama sesudah nabi Muhammad. Mereka pun tidak
mengafirkan para sahabat, khususnya mereka yang dibai'at Ali, dan mengakui
kepemimpinan mereka.5

4) Syi'ah Isma'iliyah
Golongan Syi'ah Ismailiyah adalah yang mengakui bahwa imam yang ketujuh
adalah Ismail bin Ja'far. Karenanya golongan ini dinamakan Isma'iliyah. Juga
dinamakan dengan golongan Sab'iyyah karena mereka mempercayai tujuh orang
imam. Dari imam yang pertama yaitu Ali bin Abi Thalib sampai iman keenam yaitu
Ja'far al-Shadiq, mereka sepakat dengan Syi'ah Imamiyah. Namun setelah Ja'far
meninggal dunia, golongan ini mengalami perpecahan dalam menentukan anaknya
yang akan menjadi imam ketujuh. Syi'ah Isma'iliyah menetapkan Isma'il anak Ja'far
yang tertua menjadi imam ketujuh. Sedangkan Syi'ah Imamiyah menetapkan Musa
al-Kazhim anak Ja'far termuda sebagai imam ketujuh. Ada dua riwayat sekitar
penyebab Imam Ja'far mengalihkan jabatan keimaman itu dari Ismail kepada
adiknya Musa yaitu: Pertama karena Ismail tidak layak untuk menjadi imam
disebabkan akhlaknya buruk, gemar minum khamar, main perempuan, dll.
Disamping juga karena hubungannya dengan beberapa mazhab ekstrim seperti
Khithabiyah yang mempertahankan Ja'far sendiri. Kedua adalah karena Ismail telah
meninggal dunia selagi Ja'far masih hidup. Adalah logis dengan sebab itu Imam
Ja'far memindahkan "hak suci" itu dari Ismail kepada adiknya Musa yang dikenal
sebagai orang saleh dan takwa untuk menjadi imam ketujuh.
Di antara tokoh Aliran Syiah yang terkenal adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad
bin Al aswad, Ammar bin Yasir dan sejumlah ulama yang menyatakan diri sebagai
keluarga Nabi Muhammad saw (Ahlul Bait).6

5
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).
6
https://m.kumparan.com/berita-hari-ini/mengenal-syiah-aliran-ilmu-kalam-yang-jadi-pembela-
ali-bin-abi-thalib-1wGUFjOwBnp/2.

6
C. QADARIYAH
Abu Zahrah menjelaskan bahwa pada akhir masa Khulafa Al-ARasyidin dan
awal masa pemerintahan Bani Umayyah, kaum muslimin banyak mendiskusikan tentang
masalah taqdir. Sebagian lagi memahami juga secara berlebihan sampai mengatakan
bahwa perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Tuhan.
Mereka itulah yang menganut paham qadariyah. Qadariyah berasal dari kata qadara yang
memiliki dua pengertian yaitu berarti memutuskan dan juga berarti mempunyai kekuatan
atau kemampuan. Sedangkan Qadariyah yang dimaksud di sini adalah suatu paham bahwa
manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan punya kemampuan untuk berbuat.
Kelompok yang menganut paham ini berkeyakinan bahwa semua perbuatan manusia
terwujud karena kehendaknya dan kemampuannya sendiri.7 Di Damaskus, ajaran
Qadariyah dikembangkan pula oleh Ja'ad Dirham yang sekaligus juga sebagai penyebar
paham Qadariyah. Akan tetapi, akhirnya dia terbunuh pada tahun 105 H. Ajaran pokok
Qadariyah, sebagaimana dikemukakan Gailan adalah bahwa manusia mempunyai
kekuasaan atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan
baik atau jelek atas kemauan dan kekuasaan serta daya yang ada pada dirinya. Jadi,
menurut paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya." Dari prinsip-prinsip ini,
paham Qadariyah menolak paham yang menyatakan bahwa manusia dalam perbuatan-
perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azali.
Untuk mendukung pendapat-pendapatnya, kaum Qadariyah mencari ayat-ayat Al-Qur'an
yang menggambarkan tentang kebebasan manusia, tentang kebebasan menentukan iman
atau kufur terdapat dalam Surat Al-Kahfi Ayat 29 :
ِِ ِ ِ ِ
َ ‫َوقُ ِل احْلَ ُّق م ْن َربِّ ُك ْم َم ْن َشاءَ َف ْلُيْؤ م ُن َو َم ْن َشاء َف ْليَ ْك ُف ُر انا اعتدنا للظَّلم‬
‫ني نَ ًارا‬
Artinya: Katakanlah "kebenaran datang dari Tuhan kalian; barangsiapa suka beriman,
berimanlah, barangsiapa suka ingkar (kufur) maka ingkarlah." Kami telah siapkan neraka
bagi yang zalim.... (QS Al-Kahfi: 29).8 Tokoh Aliran Qadariyah antara lain: Ma’bad al-
Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi.9

7
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).
8
M. Amin Syukur, Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern,(2003).
9
 https://www.bacaanmadani.com/2018/02/pengertian-qadariyah-tokoh-aliran.html

7
D. JABARIYAH
Kata Jabariyah berasal dari jabara yang berarti terpaksa. Yang dimaksud dengan
Jabariyah dalam uraian ini adalah suatu paham bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan berkehendak dan perbuatan-perbuatannya, manusia dipaksa dengan tidak ada
pilihan, tidak ada inisiatif, dan tidak ada kekuasaannya. Pahum ini disebut juga fatalism
atau predestination. Menurut paham ini, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia
adalah diciptakan Tuhan dan manusia dipaksa untuk melakukannya. Dengan demikian,
dalam paham Jabariyah ini segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Karenanya, kalau seseorang mencuri, maka perbuatan mencuri tersebut tidaklah terjadi
atas kemauannya dan kemampuannya, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian. Dengan kata lain, ia mencuri bukanlah atas kehendaknya,
melainkan karena kehendak Tuhan. Tuhanlah yang memaksanya mencuri. Paham
Jabariyah yang merupakan kebalikan dari paham Qadariyah ini digagas pertama sekali
oleh Ja'ad bin Dirham (w.124H) dan kemudian disebarkan oleh Jahm bin Safwan (60-128
H) dari Khurasan.10

E. MU’TAZILAH
Persoalan yang cukup ramai diperbincangkan yaitu tentang status orang beriman
yang melakukan dosa besar, apakah masih mukmin atau sudah tidaak mukmin lagi.
Persoalan tersebut muncul setelah dipertanyakan oleh salah seorang peserta pengajian
kepada Hasan al-Basri. Pada saat Hasan al-Basri berpikir untuk menjawab, seorang peserta
pengajian yang lain yakni Wasil ibn Atha (80-131 H/699-749 M) menjawab. Menurut
pendapat saya, katanya, orang mukmin yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin tapi
juga tidak kafir. Dia berada di antara dua posisi yang disebutnya al-manzilah bain al-
manzilatain. Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Wasil berdiri dan langsung
meninggalkan forum pengajian dan diikuti oleh temannya 'Amr ibn Ubaid. Mereka
langsung menuju ruangan lain di masjid tersebut.
Melihat tindakan Washil tersebut, Hasan al-Basri pun berkomentar dengan
mengatakan I'tazala 'Anna, (ia telah memisahkan diri dari kita). Semenjak peristiwa itulah
Washil dan temannya disebut dengan Mu'tazilah yang diambil dari ucapan Hasan al-Basri

10
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).

8
tadi. Kata Mu'tazilah mengandung arti orang yang memisahkan diri, berasal dari kata
I'tazala. Peristiwa inilah dianggap sebagai awal lahirnya aliran Mu'tazilah. Menurut
Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sebetulnya sudah pernah muncul seratus tahun sebelum
terjadinya peristiwa yang melibatkan Wasil dan Hasan al-Basri tersebut. Sebutan
Mu'tazilah ketika itu merupakan julukan bagi orang-orang yang menjauhi urusan politik,
dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata. Lebih khusus julukan itu
diberikan kepada mereka yang tidak mau ikut perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi
Thalib melawan pasukan Siti Aisyah, dan juga perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib
melawan pasukan Mu'awiyah. Kedua peperangan ini terjadi akibat persoalan politik
(perebutan jabatan khalifah).
Selanjutnya al-Nasysyar mengatakan bahwa kata l'tazala dan al-Mu'tazilah tidak
dapat dipakai untuk satu golongan tertentu. Terkadang dipakai untuk orang yang
menjauhkan diri dari peperangan, menjauhkan diri dari kelompok Ali dan sebagainya.
Orang yang demikian pada dasarnya menjauhkan diri dari masyarakat umum dan
memusatkan perhatian pada masalah ilmu dan ibadah. Dengan demikian Mu'tazilah kedua
timbul dari golongan yang mengasingkan diri untuk ilmu dan ibadah, bukan dari golongan
yang disebut sebagai aliran politik.
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, kaum Mu'tazilah berpegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau
akal. Mereka mempercayaai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul
mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal, mereka terima, dan yang tidak
dapat diterima akal mereka tolak. Dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu'tazilah
merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi secara lebih mendalam
dan bersifat filosofis dibanding aliran-aliran lain. Hal ini karena mereka banyak
dipengaruhi filsafat dan logika. Dalam membahas dan memecahkan masalah-masalah
teologi, mereka lebih banyak menggunakan kekuatan akal. Mereka memberikan daya yang
besar kepada akal. Karenanya maka teologi yang mereka kembangkan lebih bercorak
rasional dan liberal. Tidak heran jika mereka dijuluki dengan sebutan "kaum rasionalis
Islam."
Kaum Mu'tazilah menganut dan mengembangkan lima ajaran pokok yang lazim
disebut dengan al-Ushul al-khamsah. Kelima ajaran pokok itu adalah :
1. Al-tauhid (keesaan Tuhan), doktrin Mu‟tazilah mengatakan bahwa tidak ada satu
pun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya , Tuhan tidak serupa
dengan mahlukNya. seperti pada ayat Al-Qur’an surah Asy-Syura (11) :

9
ِِ
ٌ‫س َكمثْله َش ْيء‬
َ ‫لَْي‬
Artinya : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
2. Al-'adl (keadilan Tuhan), keadilan berarti meletekkan tanggung jawab manusia
atas perbuatan-perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena kekuasaan dijadikan Tuhan
pada diri manusia.
3. Al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman), Tuhan berjanji akan memberi pahala dan
mengancam akan memberikan siksaan, pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah
menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik maka dibalas dengan kebaikan
juga dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan
pula. Tidak ada ampunan bagi orang yang melakukan dosa besar tanpa tobat,
sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik tidak menerima pahala.
4. Al-manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi), dalam artian posisi
ditengah. Menurut pandangan Mu‟tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan
mu’min secara mutlak. Karena keimanannya menurutnya adalah kepatuhan
terhadap Tuhan, tidak cukup dengan pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar
bukanlah kepatuhan tapi kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir
secara mutlak, karena masih percaya terhadap Tuhan, Rasul-Nya dan mengerjakan
pekerjaan yang baik, hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat ia
dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang mu’min masuk syurga
dan orang kafir masuk neraka, orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja
siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir.
5. Al-amr bi al-ma'ruf wa al-naby 'an al-munkar (memerintah berbuat kebajikan dan
mencegah berbuat munkar).11
Kelima ajaran pokok tersebut harus diyakini dan dilaksan kan oleh setiap kaum
Mu'tazilah. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang tokoh Mu'tazilah al-Khayyath
bahwa seseorang belum bisa diakui sebagai pengikut Mu'tazilah kalau belum menga nut
kelima ajaran tersebut. Apabila seseorang telah menganut kelima doktrin pokok itu,
barulah ia diakui sebagai pengikut Mu'tazilah yang benar. Adapun pemuka-pemuka
Mu’tazilah yang berada di Basrah adalah Wasil bin Atha (80-131 H), Al-Allaf (135-226
H/ 752-840 M), Al-Nazzham (231 H/ 845 M), Al-Jubba’I (235-303 H/ 849-917 M). dan
11
https://almaiyyah.iainpare.ac.id/index.php/diktum/article/download/437/333/.

10
pemuka-pemuka Mu’tazilah yang berada di Baghdad adalah Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat
226 H/840 M), Al-Khayyath (wafat 300 H/912 M), Al-Qadhi Abdul Jabbar (325-415 H),
Al-Zamakhsyari (467-538 H/1075-1144 M).12

F. ASY’ARIYAH
Nama aliran Asy'ariyah diambil atau dikaitkan dengan nama seorang tokoh
pendirinya yaitu Imam Al-Asy'ari. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail
bin Abi Basyr bin Salam bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Musa al-
Asy'ari. Dengan menisbahkan kepada nama terakhir tokoh itulah kemudian aliran yang
dipeloporinya dinamakan dengan aliran Asy'ariyah. Dari nama tersebut, tampak bahwa Al-
Asy'ari merupakan cucu dari Abu Musa al-Asy'ari seorang tokoh yang pernah mewakili
Ali bin Abi Thalib dalam perundingan dengan kelompok Mu'awiyah dalam perang Siffin.
Al-Asy'ari lahir di Basrah tahun 260 H/873 M, wafat tahun 324H/935M, adapula yang
berpendapat tahun 320 dan tahun 330 H.
Dalam mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahun, ia berguru pada seorang
tokoh aliran Mu'tazilah yaitu Abu Ali Al- Jubba'i yang tak lain adalah ayah tiri Al-Asy'ari
sendiri. Melalui tokoh inilah Al-Asy'ari banyak mendapat ilmu pengetahuan dan juga
bimbingan mengenai paham Mu'tazilah. Al-Asy'ari memang sejak kecil hidup dalam
lingkungan keluarga Mu'tazilah hingga usianya yang ke-40 tahun. Banyak pendapat para
ahli sekitar faktor penyebab Al-Asy'ari keluar dan meninggalkan aliran Mu'tazilah dan
mendirikan aliran baru. Ahmad Amin menjelaskan bahwa pada usianya yang ke 40 tahun,
Al-Asy'ari semakin meragukan kebenaran pemikiran kaum Mu'tazilah. Keraguan ini
akhirnya mencapai puncaknya setelah berdebat dengan gurunya Al-Jubba'i mengenai nasib
tiga orang manusia di akhirat.
Keraguan Al-Asy'ari terhadap aliran Mu'tazilah tidak hanya setelah terjadinya
perdebatan, tetapi keraguan itu dipicu pula oleh perbedaan latar belakang mazhab fikih
yang dianut. Sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul
karena Al-Asy'ari menganut mazhab Syafi'i. Al-Syafi'i mempunyai pendapat yang
berlainan dengan paham- paham Mu'tazilah, antara lain Al-Quran bersifat kadim dan
bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Itulah analisis dari para ahli sekitar faktor
pendorong keluarnya Al-Asy’ari dari dikemukakan Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru

12
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).

11
yang kemudian lebih dikenal dengan aliran Asy’ariyah. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun
912 M, dua tahun sebelum gurunya (Al-Jubba’i) meninggal dunia yakni tahun 915 M.
Sebab-sebab Al-Asy’ari keluar dari aliran Mu’tazilah dan membangun aliran
sendiri adalah :
a. Bermimpi bertemu rasulullah dan dalam mimpi itu rasul menyatakan bahwa yang
benar adalah golong ahli hadis dan kaum Mu'tazilah adalah salah.
b. Adanya perdebatan dengan gurunya Al-Jubba'i tentang nasib tiga orang manusia.
Dalam perdebatan itu Al-Jubba'i tidak dapat menjawab ketika ditanyakan
mengapa Tuhan tidak memelihara keselamatan orang kafir.
c. Al-Asy'ari mempelajari hadis nabi dan menemukan perbedaan antara ajaran
Mu'tazilah dengan ajaran Islam.
d. Adanya kekhawatiran apabila dibiarkan, Al-Quran dan hadis akan menjadi korban
dari aliran Mu'tazilah yang sangat mengutamakan kemampuan akal pikiran.
Karena itu ia berpendapat harus ada jalan tengah yang mempertemukan antara
paham rasional dan tekstualis. Ternyata gagasannya ini dapat diterima oleh
mayoritas kaum muslimin.
e. Faktor lain, kondisi aliran Mu'tazilah pada waktu itu sedang memasuki fase
kemunduran.
Adapun pemuka-pemuka aliran Asy’ariyah adalah Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-
Ghazali, Alauddin al-Ijil, Al-Sanusi, Fakhruddin Al-Razi, Al-Syahrastani, dan Al-
Baghdadi.
Metode pemikiran yang digunakan Al-Asy'ari sebagai pimpinan Asy'ariyah
pada dasarnya adalah jalan tengah atau sintise. Ia mengambil yang baik dari metode
rasional Mu'tazilah dan metode tekstual Salafiyah, sehingga dia mempergunakan akal dan
naqal secara seimbang. Mempergunakan akal semaksimal mungkin, tetapi tidak sekuat
dan serasional Mu'tazilah, dan memegang naqal secara kuat namun tidak seketat Salafiyah.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sepeninggal Al-Asy'ari, metode sintise atau jalan
tengah ini mengalami pergeseran bahkan mendekati metode rasional Mu'tazilah.
Pergeseran metode ini disebabkan oleh adanya sikap berlebihan karena ada sebagian tokoh
dari aliran Asy’ariyah ini sering berdiskusi dengan penganut aliran Mu’tazilah sehingga
membuat terpengaruh oleh metode rasional Mu’tazilah.13

13
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo,2016), h. 161-178.

12
Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
demikian teratur, alam tidak aka nada kecuali diciptakan oleh Allah yang memiliki ilmu.
Argumen ini antara lain diperkuat oleh firman Allah dalam QS. al-Nisa/ 4: 166.

‫ك اَْنَزلَه بِعِْل ِمه ۚ َوالْ َم ٰلۤ ِٕى َكةُ يَ ْش َه ُد ْو َن ۗ َو َك ٰفى بِال ٰلّ ِه َش ِهْي ًد ۗا‬ ِ ٰ
َ ‫ٰل ِك ِن اللّهُ يَ ْش َه ُد مِب َٓا اَْنَز َل الَْي‬
Artinya :  Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur'an) yang diturunkan-Nya kepadamu
(Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat pun
menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.
Menurut al-Asy’ari ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengetahui dengan
ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu zat-Nya. Jika Allah mengetahui dengan zat-
Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Dan mustahil al-‘ilm (pengetahuan)
merupakan ‘Alim (Yang Mengetahui), atau al’Alim (Yang Mengetahui) merupakan
al-‘ilm (pengetahuan) atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifatnya. Oleh karena mustahil
Allah mengetahui dengan zat-Nya sendiri, karena dengan demikian zat-Nya adalah
pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengetahuan. Allah bukan pengetehuan (‘ilm) tetapi
yang Mengetahui (‘Alim). Dengan demikian menurut al-Asy’ari, Allah mengetahui
dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya.
Dan dalam faham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan
Tuhan. Dan tidak ada pembua kecuali Allah. Dengan perkataan lain, yang mewujudkan
perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari adalah Allah sendiri. Bahwa perbuatan manusia
sebenarnya adalah perbuatan Allah. Al-Asy'ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki
segala apa yang mungkin dikehendaki. Tidak satupun di alam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada, dan jika
Allah tidak menghendakinya niscaya ia tiada. Firman Allah dalam QS. At-Takwir (29) :

ِ ُّ ‫ࣖ وما تَ َشاۤءو َن آِاَّل اَ ْن يَّ َشاۤء ال ٰلّه ر‬


َ ‫ب الْ ٰعلَمنْي‬ َُ َ ُْ ََ
Artinya : Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.
Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tidak bisa menghendaki
sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Ini

13
mengandung arti bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Allah, dan
kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak lain dari kehendak Allah.14

G. MURJI’AH
Secara etimologis, Murjiah berasal dari kata "arja'd" atau "arjd" yang berarti "
menangguhkan atau memberi pengharapan. Dengan demikian Murji'ah berarti orang yang
menangguhkan atau yang memberi pengharapan. Sedangkan maksud Murji'ah secara
terminologis adalah orang-orang yang tidak mau ikut terlibat memperdebatkan mengenai
masalah kafir dan mukmin, tidak ikut memvonis kafir atau tidak kafir terhadap sesama
umat Islam seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij, di mana mereka mengatakan
bahwa semua yang melakukan tahkim pasca perang Siffin adalah berdosa besar dan orang
yang berdosa besar adalah kafir. Menurut kaum Murjiah, masalah kafir tidaknya orang-
orang yang terlibat dalam tahkim dan orang-orang yang melakukan dosa besar, tidak dapat
diketahui dan tidak dapat ditentukan sekarang. Mereka punya pandangan bahwa lebih baik
menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan menyerahkannya kepada keputusun
Allah di hari kemudian yakni pada hari kiamat nanti. Karena mereka bersikap
menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, maka mereka disebut kaum Murji'ah.
Ada juga yang mengatakan, disebut Murji’ah karena mereka memberi
pengharapan. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak menjadi kafir,
melainkan masih tetap mukmin dan tidak akan kekal di dalam neraka. Pendapat mereka ini
berisi pemberian harapan akan masuk surga bagi orang Islam yang berdosa besar. Karena
itu mereka disebut kaum Murji'ah. Golongan ini muncul di tengah ramainya orang
memperdbatkan masalah status orang beriman yang melakukan dosa besar, apakah tetap
mukmin atau sudah keluar dari mukmin. Menurut Khawarij orang itu telah keluar dari
mukmin dan menjadi kafir, sedangkan menurut Mu'tazilah orang itu tidak mukmin lagi
namun tidak kafir. Di tengah-tengah pertentangan pendapat seperti itulah Murji'ah muncul
dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan sebagaimana ketaatan tidak
memberi manfaat bagi orang kafir.
Ketika pertentangan pendapat semakin memuncak dan masalah yang
diperdebatkan tidak hanya masalah hukum atas kasus peperangan, tetapi termasuk juga
masalah pelaku dosa besar, muncullah suatu kelompok yang menempuh sikap
menangguhkan persoalan (irja) terhadap pelaku dosa besar, suatu sikap yang ditempuh
14
https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article/view/1301/1269.

14
sekelompok sahabat terdahulu. Mereka ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar
ditangguhkan dan diserahkan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang
tersembunyi. Mereka menahan diri dari memperbincangkan pertentangan politik karena
dasar pertentangannya adalah hukum kafir yang dijatuhkan golongan Khawarij terhadap
semua orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Terhadap mereka yang bertikai,
Murji'ah menyatakan bahwa mereka tetap muslim, bukan kafir, karena mereka masih
mengucap dua kalimah syahadat. Persoalannya kita serahkan kepada Allah untuk
menentukannya.
Kalau ditinjau dari segi pemikiran atau ajarannya, Murji'ah terbagi kepada dua
golongan yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji'ah moderat berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, tidak kafir dan tidak pula kekal di dalam neraka.
Mereka disiksa sesuai dosanya. Jika Allah mengampuni, maka ia tidak dimasukkan ke
neraka, tapi akan dimasukkan ke surga. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan
rasul-rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis
besar. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Penggagas pendapat ini adalah al-Hasan
bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.
Menurut golongan ini sebagaimana dikemukakan Abu Hanifah. Adapun golongan Murjiah
ekstrim terdiri atas beberapa kelompok antara lain al-Jabwiyah, Ash-Shalibiyah, Al-
Yunusiyah, Al- Ghasaniyah, Ats-Tsaubaniyh, Ats-Tsaumaniyah, Al-Najariyah, dan Al-
Karama. Tiap-tiap kelompok tersebut memiliki pandangan teologi masing-masing yaitu:
A. Al-Jahmiyah, mereka adalah pengikut Jahm bin Safwan. Mereka berpendapat
bahwa orang yang percaya kepada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya
secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam
hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia. Bahkan walaupun orang itu
menyembah berhala atau melaksanakan ajaran agama Yahudi atau Kristen dan
kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap seorang mukmin yang sempurna
imannya.
B. Ash-Shalihiyah, mereka adalah pengikut Abu Hasan Shalih ibn Umar Ash-
Shalihi. Ash-Shalihi berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedang
kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Makrifah kepada Allah itu adalah
mahabbah dan tunduk kepada Allah. Iman tumbuh dari pemberitaan rasul dan
menurut ukuran akal mungkin wajib beriman kepada Allah dan mungkin tidak
beriman kepada Rasul, namun Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang tidak
beriman kepadaku maka ia tidak beriman kepada Allah" Menurut Ash Shalihi

15
shalat bukan merupakan ibadah, kecuali dari orang yang beriman kepada-Nya,
karena ia sudah mengenal kepada-Nya. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah
ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. Yang disebut ibadat
hanyalah iman. Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
C. al- Yunusiyah, mereka adalah pengikut Yunus ibn Aun al- Numairi. Golongan ini
mengemukakan pendapat bahwa iman itu ialah pengenalan terhadap Allah, patuh
atas perintah-Nya, tidak bersikap sombong kepada-Nya dan mencintai-Nya. Kalau
hal ini terhimpun pada diri seseorang, maka dia disebut mukmin. Perbuatan taat
selain yang disebutkan di atas tidak termasuk iman. Karena kalau ditinggalkan
tidak merusak iman dan juga tidak disiksa karena meninggalkannya selama
imannya kuat dan mantap. Barang siapa yang dapat menanamkan rasa kepatuhan
hanya kepada Allah semata dan mencintai-Nya sepenuh hati, sekalipun ia berbuat
maksiat, tidaklah hal itu mengurangi nilai iman dan keikhlasannya kepada Allah.
Karena orang beriman masuk surga bukan karena ketaatannya, melainkan karena
keikhlasan dan kecintaannya kepada Allah.
D. al-Ghassaniyah, yaitu pengikut Ghassan al-Kufi. Mereka berpendapat bahwa
iman ialah mengenal Allah dan rasul-Nya dan membenarkan segala apa yang
datang dari keduanya, mengakui dengan lisan akan kebenaran yang diturunkan
Allah secara global, tidak secara rinci. Iman itu tidak bertambah dan tidak
berkurang. Masalah-masalah di luar iman tidaklah mempengaruhi kepada iman.
Apabila ada orang berkata: Tuhan mengharamkan memakan daging babi, namun
aku tidak tahu babi mana yang diharamkan, apakah termasuk kambing. Allah
mewajibkan naik haji, tapi saya tidak tahu tempat ka'bah itu, apakah di India atau
di negara lain. Orang yang demikian tetap mukmin bukan kafir.
E. Al-Tsaubaniyah, yaitu pengikut Abu Tsauban al-Murji yang berpendapat bahwa
iman adalah pengenalan dan pengakuan lisan kepada Allah, rasul dan kepada
semua perbuatan yang menurut akal tidak boleh dikerjakan dan perbuatan yang
menurut akal boleh dikerjakan tidak termasuk iman. Iman lebih dahulu daripada
amal. Mereka juga berpendapat bahwa Allah memaafkan orang yang berbuat
maksiat pada hari kiamat, tentunya juga Allah memaafkan setiap orang yang
beriman yang berbuat maksiat. Dan kalau Allah mengeluarkan satu orang dari
neraka, tentunya Allah akan mengeluarkan siapa saja yang bersamanya di dalam
neraka. Kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tauhid. Orang beriman tidak
dimasukkan ke neraka.

16
F. Al-Tuminiyah, mereka adalah pengikut Abu Mu'az al- Tuminy. Mereka
berpendapat bahwa iman intinya adalah ma'rifah, membenarkan, mahabbah, ikhlas
dan iqrar atas segala yang dibawa oleh rasulullah. Inilah inti keimanan. Selain itu
tidak akan membawa kepada kekufuran. Selanjutnya mereka juga berpendapat
bahwa iman adalah terpelihara dari kekufuran. Iman nama dari perbuatan yang
apabila ditinggalkan akan menjadi kafir. Karena itu tidak boleh setengah-setengah,
beriman pada sebagian dan kafir terhadap sebagian. Setiap perbuatan jahat, baik
yang termasuk dosa besar maupun dosa kecil dapat dikatakan fasik atau maksiat.
Iman adalah tashdiq dengan hati dan lisan, dan kekafiran ialah keras kepala dan
engkar. Orang yang menyembah matahari, bulan dan patung tidak dikatakan kafir
tetapi hanya merupakan tanda kekafiran.
G. Al-Najariyah, yaitu pengikut Husein ibn Muhammad al- Najjar. Mereka
berpendapat bahwa iman itu adalah mengenal Allah, rasul-Nya, dan segenap
kewajiban dari-Nya, serta patuh atas semua yang diwajibkan-Nya dan menyatakan
ikrar secara lisan. Karena itu, apabila seseorang tidak mengenal semua itu, atau
pun hanya mengenal tetapi tidak menyatakan ikrar maka dia pun disebut sebagai
orang kafir, sebab keimanan itu bukanlah terdiri dari bagian perbagian. Mereka
beranggapan bahwa keimanan itu merupakan ketaatan, sehingga kalau seseorang
hanya berbuat salah satu dari hal ini dengan meninggalkan sebagian lainnya,
niscaya diapun tidak disebut sebagai orang taat. Bahkan kalau seseorang hanya
mengenal Allah tanpa menyatakan ikrar niscaya tidaklah ada ketaatan baginya,
karena Allah memerintahkan keimanan yang total. Barang siapa yang tidak
berbuat sesuatu yang diperintahkan, niscaya tidaklah ia disebut berada dalam
ketaatan.
H. Al-Karamiyah, yaitu pengikut Muhammad ibn Karam. Mereka berpendapat
bahwa iman itu adalah menyatakan ikrar dan pembenaran secara lisan, sehingga
mereka pun mengingkari kalau pengenalan dengan hati ataupun pembenaran yang
bukan dengan lisan itu disebut sebagai iman. Bahkan orang-orang munafik di
zaman Rasulullah menurut anggapan mereka pada dasarnya adalah orang-orang
mukmin. Karena itu seseorang disebut kafir, kalau dia membangkang dan
mengingkari Allah secara lisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut kaum Murji'ah yang
penting adalah iman di dalam hati, sedangkan ucapan dan amal perbuatan tidak
mempengaruhi iman. Menurut Harun Nasution, aliran Murjiah ini baik yang moderat

17
maupun yang ektrim sudah tidak berkembang lagi sebagai sebuah aliran, akan tetapi
pemikiran-pemikiranya terutama pemikiran kaum Murji’ah ekstrim kemungkinan masih
ada pada sebagian umat Islam. Sementara itu sebagian paham Murji’ah moderat
tampaknya telah masuk ke dalam golongan Ahlussunnah Waljamaah seperti tentang
batasan iman, batasan kafir dan status pelaku dosa besar.
Jika dilihat pemikiran Murji’ah ini, maka menurut Abu Zahrah golongan ini
terbagi kepada kelompok macam yaitu yang bersikap pasif dalam menetapkan hukum atas
pertentangan yang terjadi di antara para sahabat dan yang terjadi pada masa Bani Umayah.
Kelompok kedua adalah yang memandang ampunan Allah amat luas meliputi segalanya.
Allah mengampuni segala dosa kecuali syirik, sehinga perbuatan dosa tidak merusak
keimanan, sebagaimana perbuatan taat tidak menolong kekufuran. Pemikiran kelompok
kedua ini telah membuat citra Murji'ah menjadi buruk dan bahkan dikutuk oleh para ulama
dan golongan lainnya.
Di sisi lain, Abu Zahrah juga menyatakan bahwa para ulama membagi penganut
Murji'ah ke dalam dua golongan. Pertama adalah Murji'ah al-Sunnah, yaitu yang
berpendapat bahwa pendosa akan disiksa sesuai dengan dosanya, dan tidak kekal di
neraka, bisa saja Allah akan memaafkan dan mencurahkan rahmat sehingga ia tidak
disiksa, dan itu merupakan karunia yang diberikan Allah kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Termasuk dalam kelompok ini sebagian besar ulama fikih dan hadis.
Kelompok kedua adalah Murji'ah al-Bid'ah yaitu mereka yang secara khusus memakai
nama Murji'ah di kalangan kaum muslimin. Mereka inilah yang berhak mendapat
penilaian buruk dari semua pihak. Sebaiknya, menurut Abu Zahrah, pemberian label
Murji'ah dijauhkan dari para tokoh ulama. Maksudnya jangan mengaitkan nama-nama
ulama tertentu ke dalam golongan ini, sehingga tidak disamakan dengan mereka yang
membolehkan segala-galanya.15

H. MATURIDIYAH
Aliran Maturidiyah dipelopori oleh Imam Al-Maturidi, nama lengkapnya adalah
Abu Manshur Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mahmud al-Maturidi. Ia lahir di
Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand wilayah Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak

15
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).

18
diketahui dengan pasti. Namun ada yang berpendapat bahwa ia lahir sekitar tahun 238
H/853 M. Ia wafat pada tahun 333 H bertepatan tahun 944 M di kota Samarkand. Karena
lahir di Maturid itulah maka kemudian ia dikenal dengan sebutan Imam Al-Maturidi, dan
aliran yang dipeloporinya dinamakan dengan Maturidiyah.
Mengenai riwayat hidupnya tidak banyak yang mengetahui. Secara singkat
dikatakan bahwa dalam menuntut ilmu fikih dan ilmu kalam ia berguru kepada beberapa
ulama, yaitu Nashr Ibnu Yahya al-Balkhi yang wafat tahun 268 H, Abu Bakar Muhammad
al-Jauzajani, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Shalih al-Jauzajani, dan Muhammad bin
Muqatil al-Razi (w. 266 H.). Memperhatikan tahun lahir dan wafatnya, dapat dipastikan
bahwa Al-Maturidi sezaman dengan Al-Asy'ari (260-324 H/873- 935 M) dan keduanya
sama-sama menentang paham-paham Mu'tazilah. Karena itulah maka dalam teologi, aliran
Maturidiyah dimasukkan ke dalam golongan Ahlussunnah Waljama'ah, sebagai mitra
aliran Asy'ariyah. Walaupun demikian, pemikiran kedua tokoh ini tidak selamanya sama.
Sebagian pemikiran Al-Maturidi berbeda dengan pemikiran Al-Asy'ari. Kalau pemikiran
Al-Asy'ari seluruhnya berlawanan dengan pemikiran Mu'tazilah, sedangkan pemikiran Al-
Maturidi sebagiannya sama dengan pemikiran Al-Asy'ari, tapi sebagiannya lagi hampir
sama dengan pemikiran kalam kaum Mu'tazilah. Perbedaan pemikiran ini kemungkinan
dilatarbelakangi oleh perbedaan mazhab fikih yang mereka ikuti. Kalau Al-Asy'ari
menganut mazhab fikih Syafi'i, sedangkan al-Maturidi menganut mazhab Hanafi.
Pemikiran-pemikiran Kalam al-Maturidi dapat diketahui melalui karya tulisnya
yaitu Kitab al-Tauhid. Kitab ini sudah diterbitkan dan ditahqiq oleh Dr. FathullahKhalif.
Melalui kitab ini dapat diketahui pemikiran-pemikiran al-Maturidi yang kemudian menjadi
paham aliran Maturidiyah khususnya golongan Samarkand. Pengikut al-Maturidi yang
cukup terkenal adalah Imam al-Bazdawi, yang kemudian menjadi tokoh Maturidiyah di
Bukhara. Nama lengkapnya adalah Abu Yusr Muhammad bin Abd al-Karim al-Bazdawi.
Ia dilahirkan tahun 421 H dan wafat tahun 493 H. Tidak diketahui dengan pasti tempat
kelahiran dan wafatnya. Memperhatikan tahun lahirnya, berarti ia hidup satu abad sesudah
al-Maturidi. Dengan demikian, ia tak sempat berguru dengan al-Maturidi. Namun nenek
al-Bazdawi sempat berguru dengan al-Maturidi. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-
murid dan salah seorang diantaranya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537
H), pengarang buku al-Aqaid inda al-Nasafiah. Ia merupakan tokoh pendukung al-
Maturidi di Bukhara.
Pemikiran-pemikiran Kalam al-Bazdawi dapat dilihat di dalam karya tulisnya
Kitab Ushuluddin. Walaupun ia pengikut al-Maturidi, namun tidak seluruh pemikirannya

19
sejalan dengan pemikiran Kalam al-Maturidi. Kalau al-Maturidi dikemukakan di atas,
lebih cenderung kepada pemikiran kaum Mu'tazilah, maka pemikiran al-Bazdawi lebih
cenderung kepada pemikiran kaum Asy'ariah. Dengan demikian aliran Maturidiyah ini
terbagi menjadi dua golongan yang dikaitkan dengan nama daerah tempat berkembangnya.
Sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, bahwa aliran Maturidiyah terdiri dari dua
golongan yaitu, golongan Samarkand adalah pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan
golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand
mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham Mu'tazilah, sedangkan
golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang dekat kepada pendapat-pendapat
al-Asy'ari. Perbedaan paham antara kedua tokoh ini mungkin dilatarbelakangi oleh
berbedanya pola pikir dan tempat tinggal masing-masing.16
Adapun pemikiran-pemikiran Maturidiyah adalah :
1. Kewajiban Mengetahui Tuhan
Menurut al-Maturidi, akal bisa mengetahi kewajiban untuk mengetahui Tuhan,
seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Quran untuk menyelidiki
(memperkatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup
mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui sendirinya hukum-hukum taklifi
(perintah-perintah tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari abu Hanifah.

2. Kebaikan dan Keburukan Menurut Akal


Aliran Mu’tazilah juga mempunyaialiran ayang sama seperti yangdikutip oleh
al-jubbai, dimana ia mengatakan bahwa apa yang diketahui kebaikannya oleh akal, harus
dikerjakan berdasarkan perintah akal dan yang diketahuii keburukannya harus
ditinggalkan menurut keharusan akal. Al-Maturidi tidak mengikuti aliran Mu’tazilah
tersebut, tetapi mengikuti pendapat Abu Hanifah, yaitu meskipun akal sanggup
mengetahui, namun kewajiban itu datangnya dari syara’, karena akal semata-mata tidak
dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklif
(mengekuarkan perintah-perintah agama) hanya Tuhan sendiri.

3. Hikmah Dan Tujuan Perbuatan Tuhan


Menurut al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan mengandung
kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaaNya maupun dalam perintahdan
16
Mawardy Hatta, Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2016).

20
larangan-larangannya, tetapi perbuatan Tuhan tersebut tidak karena paksaan. Karena itu
tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dari
iradahnya.

4. Sifat-Sifat Allah
Al-Maturidi kemudian muncul dan menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, tetapi
ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya ,bukan pula sifat-
sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pulah terpisah dari Dzat-Nya. Sifat-sifat
tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat, sehingga tidak dapat
dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada banyaknya yang qadim
(kekal).

5. Melihat Allah Subhanahu Wataa’la


Ada beberapa nash al-Qur’an yang menegaskan bahwa allah dapat
dilihat, seperti firman allah QS. Al-Qiyamah (22 dan 23) :
ِ ‫وجوه يومِئ ٍذ ن‬
ٌ‫َّاضَرة‬ َ َْ ٌ ُ ُ
Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.

ِ َ‫ِإىَل ٰ ر ِّبها ن‬
ٌ‫اظَرة‬ َ َ
Artinya : Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat
menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu keadaan khusus hari kiamat, sedangkan
keadaan itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Kita tidak
mengetahui tentang hari kiamat kecuali melalui berbagai ungkapan dan pernyataan yang
menetapkannya, tanpa mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya.

6. Pelaku Dosa Besar


Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang
mukmin, sekalipun ia masih diakui sebagai orang muslim. Hanya saja, ia akan kekal
dalam neraka selama ia belum bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksannya
lebih ringan dibandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Berkenaan dengan hal ini ia mengatakan bahwa Allah telah menjelaskan

21
dalam al-Qur’an bahwa dia tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan kejahatan yang
serupa. Allah berfirman pada QS. Al-An’am (6) :

‫السيَِّئ ِة فَاَل جُيْ ٰ ٓزى اِاَّل ِم ْثلَ َها َو ُه ْم اَل يُظْلَ ُم ْو َن‬
َّ ِ‫َم ْن َجاۤءَ بِاحْلَ َسنَ ِة َفلَه َع ْش ُر اَْمثَاهِلَا ۚ َو َم ْن َجاۤءَ ب‬
Artinya : Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan
barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun
tidak dirugikan (dizalimi).
Allah telah menetapkan kekekalan dalam neraka sebagai siksaaan bagi
kemusyrikan dan kekufuran. Maka sekiranya pelaku dosa besar disiksa sebagaiman
siksaan terhadap orang kafir, padahal ia beriman, niscaya hukumannya itu melebihi kadar
dosanya.17

PENUTUP

A. Kesimpulan

17
https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/download/397/pdf_34/.

22
Khawarij adalah isim fa'il dari fi'il madhi "kharaja" yang berarti keluar. Dengan
demikian khawarij berarti orang-orang yang keluar.
Adapun dengan Syi'ah dalam uraian ini adalah suatu golongan atau aliran dalam
Islam yang menganut suatu paham bahwa khalifah atau imam itu bukanlah suatu masalah
untuk kemaslahatan umum yang dapat diserahkan kepada umat untuk memilihnya sesudah
nabi wafat. Aliran Syi'ah terbagi dalam empat golongan. Adapun mereka disebut Syi'ah,
karena mereka mengikuti 'Ali ibn Abu Thalib dan melebihkannya ketimbang sahabat-
sahabat Rasulullah SAW lainnya.
Qadariyah adalah suatu paham bahwa manusia mempunyai kebebasan
berkehendak dan punya kemampuan untuk berbuat. Kelompok yang menganut paham ini
berkeyakinan bahwa semua perbuatan manusia terwujud karena kehendaknya dan
kemampuannya sendiri.
Jabariyah adalah suatu paham bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan
berkehendak dan perbuatan-perbuatannya, manusia dipaksa dengan tidak ada pilihan, tidak
ada inisiatif, dan tidak ada kekuasaannya.
Mu'tazilah merupakan aliran teologi yang mengedepankan akal sehingga
mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam.” Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
dibanding dengan persoalan persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji'ah.
Metode pemikiran yang digunakan Al-Asy'ari sebagai pimpinan Asy'ariyah
pada dasarnya adalah jalan tengah atau sintise. Ia mengambil yang baik dari metode
rasional Mu'tazilah dan metode tekstual Salafiyah, sehingga dia mempergunakan akal dan
naqal secara seimbang. Mempergunakan akal semaksimal mungkin, tetapi tidak sekuat
dan serasional Mu'tazilah, dan memegang naqal secara kuat namun tidak seketat Salafiyah.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sepeninggal Al-Asy'ari, metode sintise atau jalan
tengah ini mengalami pergeseran bahkan mendekati metode rasional Mu'tazilah.
Pergeseran metode ini disebabkan oleh adanya sikap berlebihan karena ada sebagian tokoh
dari aliran Asy’ariyah ini sering berdiskusi dengan penganut aliran Mu’tazilah sehingga
membuat terpengaruh oleh metode rasional Mu’tazilah.
Murji'ah berarti orang yang menangguhkan atau yang memberi pengharapan.
Sedangkan maksud Murji'ah secara terminologis adalah orang-orang yang tidak mau ikut
terlibat memperdebatkan mengenai masalah kafir dan mukmin, tidak ikut memvonis kafir
atau tidak kafir terhadap sesama umat Islam seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij,
di mana mereka mengatakan bahwa semua yang melakukan tahkim pasca perang Siffin

23
adalah berdosa besar dan orang yang berdosa besar adalah kafir. Menurut kaum Murjiah,
masalah kafir tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang-orang yang
melakukan dosa besar, tidak dapat diketahui dan tidak dapat ditentukan sekarang. Mereka
punya pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan
menyerahkannya kepada keputusun Allah di hari kemudian yakni pada hari kiamat nanti.
Karena mereka bersikap menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, maka mereka
disebut kaum Murji'ah.
Maturidiyah adalah aliran pemikiran kalam yang berpegang pada keputusan akal
pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara'. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara', maka akal harus tunduk kepada keputusan syara.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami dari penyusun
berharap agar pembaca dapat memanfaatkan makalah ini dengan baik. Segala kritikan
maupun saran dari pembaca akan kami terima dengan lapang dada untuk menambah
wawasan serta perbaikan penyusunan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Hatta Mawardy. Aliran-Aliran Kalam/Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam.


Yogyakarta : Aswaja Pressindo. (2016).

24
Muliati. Implementasi Hukum Islam Dalam Pemikiran Mu’tazilah. Parepare : STAIN
Parepare. (2017).
https://almaiyyah.iainpare.ac.id/index.php/diktum/article/download/437/333/.

Supriadin. Al-Asy’ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-Doktrin


Teologinya). Makassar : PPS UIN Alauddin. (2014).
https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article/view/1301/1269.

Abu Zar. Pemikiran Al-Maturidiyah Dalam Pemikiran Islam. Makassar : UIN Alauddin
Makassar. (2014).
https://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/download/397/
pdf_34/.

Abdul Hamid Muhyiddin Muhammad. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam.


Bandung : CV. PUSTAKA SETIA. (1998).

https://www.bacaanmadani.com/2018/01/aliran-khawarij-tokoh-tokohnya-doktrin.html?
m=1

https://m.kumparan.com/berita-hari-ini/mengenal-syiah-aliran-ilmu-kalam-yang-jadi-
pembela-ali-bin-abi-thalib-1wGUFjOwBnp/2.

Syukur Amin M. Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern. (2003).

https://www.bacaanmadani.com/2018/02/pengertian-qadariyah-tokoh-aliran.html

25

Anda mungkin juga menyukai