Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh Siyasah

Dosen Pengampu : Zulkifli Ritonga, M.Ag

Disusun Oleh :

Rina Anggraini (0205201028)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW, kepada keluarga, para sahabatnya tabiin dan tabiat hingga sampai kepada
kita sebagai umatnya.

Alhamdulillah pada kesempatan ini penyusun telah menyelesaikan tugas


makalah yang berjudul "Pemikiran Politik Khawarij” Sebagai salah satu tugas
kelompok mata kuliah Fiqh Siyasah. Pada kesempatan ini penyusun sampaikan
ucapan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Fiqh Siyasah, yang telah
memberikan arahan sehingga tugas ini terselesaikan dengan baik. Tidak lupa
kepada teman-teman mahasiswa yang telah memberikan dorongan semangat dan
motivasi kepada penyusun.

Penyusun menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Semoga dengan adanya makalah ini bisa dijadikan sebagai
bahan kajian dan informasi kepada pihak-pihak yang akan mengembangkan lebih
jauh untuk kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Table of Contents
BAB I..................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................2
BAB II.................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................3
A.    Pengertian Khawarij................................................................................................3
B.     Asal-Usul Aliran......................................................................................................3
C.    Aliran Khawarij........................................................................................................4
D.    Sekte-Sekte.............................................................................................................6
E.     Pemikiran Penting Tentang Politik Khawarij.........................................................10
BAB III..............................................................................................................................14
PENUTUP.........................................................................................................................14
A. Kesimpulan..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut ‘Ali Ibn Talib yang
meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali Ibn Talib dalam
menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang
khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Nama Khawarij berasal dari kata
kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka
keluar dari barisan “Ali Ibn Talib. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surat Al-Nisa’, yang
dalamnya disebutkan: “keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang
meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada
Allah dan Rasul-Nya.
            Selanjutnya mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata
Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam ayat 207 dari surat al-baqarah:
“ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridlaan Allah”.
Maksudnya mereka adalah orang yang sedia mengorbankan diri untuk Allah.
Nama lain yang diberikan kepada mereka ialah Haruriah, dari kata Harura, satu
desa yang terletak di dekat kata kufah, di Irak.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa itu Khawarij?

2.      Dari mana asal-usul Khawarij itu?

3.      Berapa sekte dalam khawarij dan apa saja?

4.      Apa pemikiran Politiknya?

1
C. Tujuan
Untuk mengetahui apa itu khawarij, dari mana asal-usul khawarij, ada berapa
sekte dalam khawarij dan apa saja, serta apa pemikiran politiknya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Secara
etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa arab yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul atau memberontak. Menurut  Abi Bakar Ahmad Al-
Syarastani, bahwa yang disebut khawarij adalah setiap orang yang keluar dari
Imam yang hak dan telah disepakati jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat
Khulafaur Rasyidin atau pada masa Tabi’in secara baik-baik. Berdasarkan
pengertian Etimologi ini pula, Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar
dari kesatuan umat Islam.
Adapun yang dimaksud Khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffin pada tahun 378/648M, dengan
kelompok buqhat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan
khalifah.

B.     Asal-Usul Aliran
Golongan khawarij timbul setelah perang Siffin. Perang yang terjadi antara
Ali bn Abi Thalib dan Muawiyah di suatu daerah di Irak yang bernama Saffin
pada tahun 37 H/657M. peperangan ini cukup besar, terbukti dengan banyaknya
korban di pihak ‘Ali, gugur kurang lebih 25.000 orang dan dipihak muawiyah
kurang lebih 45.000 orang. Ini merupakan bala yang besar bagi ummat Islam
dalam abad-abadnya yang pertama.
Jalannnya peperangan menguntungkan pasukan ‘Ali, hampir seluruh pasukan
‘Ali, hampir seluruh pasukan muawiyah lari kucar-kacir. Akan tetapi mereka
menjalankan atau menyerukan “Cease Fire” yaitu penghentian tembak-menembak
mereka mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur’an di ujung tombak mereka dan

3
mengacungkannya ke atas sambil meneriakkan penghentian tembak-menembak
yang berhukum kepada Al-Qur’an.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan ajakan damai kelompok muawiyah
sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan
sebagian pengikutnya terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin
Fudaki Al-Tamimi dan Zaid bin Husein Ath-Thai. Dengan sangat terpaksa
Ali  memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan
peperangan.
Namun, sebagian lagi diantara pasukan ‘Ali ada yang tidak menerima ajakan
Tahkim tersebut, karena mereka menganggap bahwa orang yang mau berdamai
ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya dalam kebenaran
peperangan yang ditegakkan. Hukum Allah sudah nyata kata mereka. Siapa yang
melawan khalifah yang sah harus diperangi. Mereka juga tidak menyukai
berhukum kepada Al-Qur’an seperti yang diserukan muawiyah karena mereka
berpaham:
1.      Berhukum kepada Qur’an itu hanya ucapan bibir saja, sedang hakikatnya akan
berhukum pada “delegasi” yang berunding.
2.      Menerima penghentian tembak-menembak itu berarti ragu atas kebenaran
pendiriannya.
3.      Orang yang ragu-ragu tidak berhak menjadi imam, kata mereka. Kaum ini
akhirnya membenci sayyidina ‘Ali karena dianggapnya lemah dalam menegakkan
kebenaran, sebagaimana mereka membenci muawiyah yang melawan khalifah
yang sah. Inilah asal-usul kaum khawarij.

C.    Aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak eksfremitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Aksfremitas diatas disamping didukung
oleh watak kerasnya yang dibangun oleh kondisi geografis gurun pasir, juga
dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nash-nash Al-Qur’an dan Hadis.
Tidak heran jika aliran ini memiliki pandangan ekstrim tentang status pelaku dosa
besar. Aliran ini memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa

4
tahkim, yaitu ‘Ali, Muawiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah
kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah Ayat 44.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah
maka mereka itulah orang-orang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (mur-takib al-kabirah), menurut semua subsekte
khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan disiksa di Neraka selama-lamanya.
Lebih keras dari itu, subsekte khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, bahkan
menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari kafir , yaitu musyrik. Mereka
memandang musyrik bagi umat islam yang tidak mau bergabung ke dalam
barisannya. Pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (Agama), dan telah keluar dari Islam. Kafir
semacam ini akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tidak jauh berbeda dari Azariqah. Apabila predikat musyrik
disandangkan oleh Azariqah kepada ummat Islam tidak mau bergabung ke dalam
kelompok mereka, predikat yang sama disandang pula oleh Najdah kepada
siapapun dari umat Islam yang secara kesinambungan mengerjakan dosa kecil.
Sama halnya dengan dosa besar, apabila tidak dilakukan secara kontinu,
pelakunya tidak dipandang musyrik, tetapi kafir jika dilaksanakan akan menjadi
musyrik.
Walaupun secara umum subsekte aliran khawarij sependapat bahwa pelaku
dosa besar dianggap kafir, tetapi masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku
dosa besar yang diberi predikat kafir. Bagi subsekte Al-Muhakimat, Ali
Muawiyah, kedua pengantarnya (‘Amr bin Al’Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan
semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya,
hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang
yang berbuat dosa besar.
Pandangan yng berbeda dikemukakan subsekte An-Nadjat. Subsekte ini
berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi besar kafir dan kekal di
dalam neraka hanya orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya.
Adapun pengikutnya jika mengejakan dosa besar akan mendapatkan siksaan di
neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk masuk surga. Sementara itu, subsekte
As-Sufriah membagi dosa besar ke dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada

5
sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat
dosa kategori pertama tidak dipandang kafir. Hanya orang yang melaksanakan
dosa kategori kedua yang menjadi kafir.

D.    Sekte-Sekte
Para pengamat telah berbeda pendapat tentang berapa banyak perpecahan
yang terjadi dalam tubuh kaum khawarij. Al-Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini
telah pecah menjadi 20 subsekte. Harun mengatakan sekte ini telah pecah menjadi
18 subsekte. Al-Asfarayani mengatakan sekte ini menjadi 22 subsekte. Terlepas
dari banyaknya subsekte perpecahan khawarij, tokoh-tokoh diatas membagi
beberapa subsekte yang besar, yaitu:
1.      Al-Muhakkimah
Golongan khawarij asli dan teridir dari pengikut-pengikut Ali. Disebut
golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Mu’awiyyah, kedua disebut
pengantara ‘Amr Ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang
menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini
mereka luaskan artinya sehingga termasuk ke dalamnya tiap orang yang berbuat
dosa besar.
Berbuat zinah dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut
golongan ini orang yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar dari
Islam. Begitu pula membunuh sesame manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa
besar. Maka perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari
Islam dan menjadi kafir. Demikianlah seterusnya dengan dosa-dosa besar lainnya.
2.      Al-Azariqah
Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini
diambil dari Nafi’Ibn al-Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah
lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri
dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mu’minin. NAfi’ mati dalam
pertempuran di Irak pada tahun 686 M.

6
Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi
memakai term kafir, tetapi term musyrikk atau polytheist. Dan di dalam Islam
Syirk atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar lebih besar dari kufr.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang islam yang tak
sepaham dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah,
tetapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.
Dengan lain perkataan, orang al-Azariqah sendiri, yang tinggal di luar lingkungan
mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang
musyrik. Dan barangsiapa yang datang ke daerah mereka dan mengaku pengikut
al-Azariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya
diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima
dengan baik, tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri
yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu, member keyakinan
kepada mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut paham al-
Azariqah. Bukan hanya orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan
anak istri orang-orang yang demikian pun boleh ditawan dan dijadikan budak atau
dibunuh. Memang dalam anggapan mereka, hanya daerah merekalah yang
merupakan dar al-Islam, sedangkan daerah Islam yang lainnya adalah dar al-kufr
yang wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik, bukan hanya orang-
orang dewasa, tetapi juga anak-anak dari orang yang dipandang musyrik.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya
orang Islam. Orang Islam yang dilingkungan mereka adalah kaum musyrik yang
harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagai disebut Ibn Al-Hazm,
selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan
seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang lain yang tak
termasuk dalam golongan Al-Azariqah, mereka dibunuh.

3.      Al-Najdat
Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yammah dengan pengikut-pengikutnya pada
mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam
golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-

7
pengikut Nafi‘ Ibn al-Azraq, di antaranya Abu Fudaik, Rasyid al- Tawil dan Atiah
al- Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau
berhijrah ke dalam lingkungan al- Azariqah adalah musyrik.
Abu Fudaik dengan teman- teman serta pengikutnya memisahkan diri dari
Nafi’ dan pergi ke Yammah. Di sini mereka dapat menarik najalah ke pihak
mereka dalam pertikaian paham dengan Nafi’, sehingga Najdah dengan pengikut-
pengikutnya membatalkan rencana untuk berhijrah ke daerah kekuasaan al-
Azariqah. Pengikut abu dan pengikut najdah bersatu dan memilih najdah sebagai
imam baru. Nafi’ ibn al- azraq tidak lagi diakui sebagai imam. Nafi’ telah mereka
pandang kafir dan demikian pula orang yang masih mengakuinya sebagai imam.
Najdah, berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapat bahwa orang
berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang islam
yang tak sepaham dengan golongannya
Dalam lapangan politik najdah berpendapat bahwa adanya imam perlu, hanya
jika maslahat menghendaki yang demikian. Manusia pada hakikatnya tidak
berhajat pada adanya imam untuk memimpin mereka.
Dalam kalangan al-khawarij, golongan inilah kelihatannya yang pertama
membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan
untuk keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut pendapat mereka, bukan hanya
dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan.
Perpecahan dikalangan mereka kelihatannya ditimbulkan oleh pembagian
ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil Najdah kepada
khalifah ‘Abd al=Malik Ibn Marwan dari dinasti Bani Umayyah.Dalam pepecahan
ini Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan ‘Atiah al-Hannafi memisahkan diri dari
Najdah. ‘Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abu Fudaik dan
Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka
tangkap dan penggal lehernya.

4.      Al-‘Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut as-
Syahrastani merupakan salah satu teman dari ‘Atiah Hanafi. Kaum al-‘Ajaridah
bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan

8
kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya
merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum ‘Ajaridah boleh tinggal diluar
daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap kafir. Disamping itu harta yang
dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh.
Sebagai golongan khawarij lain, golongan ‘Ajaridah ini juga terpecah belah
menjadi golongan-golongan kecil. Diantara mereka, yaitu golongan al-Maimunah,
menganut paham qadariah. Bagi mereka semua perbuatan manusia senndiri.
Golongan al-hamziah juga mempunyai paham yang sama.
Tetapi golongan al-Syu’aibiah dan al-Hamzimiah menganut paham
sebaliknya. Bagi mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
manusia. Manusia tidak dapat menentang Allah.

5.      Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham, mereka dapat
sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan
yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah
pendapat-pendapat berikut:
a.       Orang Surfiah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
menjadi musyrik.
d.      Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu
daerah yang harus diperangi, yang diperangi hanyalah ma’askar atas camp
pemerintahan sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.
e.       Kurf dibagi dua: kurf bin inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan
kurf bi inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir
tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.
Disamping pendapat-pendapat di atas terdapat pendapat-pendapat yang
spesifik bagi mereka:
a.       Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.      Tetapi sesungguhnya demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh
kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.

9
6.      Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan
khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686M,
memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat
dari ajaran-ajaran berikut:
a.       Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah
musyrik, tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan
hubungan perkawinan dan hubungan warisan, Syahadat mereka dapat diterima.
Membunuh mereka adalah haram.
b.      Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah
merupakan dar tauhid, daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, dan tidak boleh
diperangi, hanyalah ma’askar pemerintah.
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah Muwahhid yang meng-Esakan
Tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kafir al-Millah, yaitu kafir Agama.
d.      Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak
harus dikembalikan kepada orang empunya.
Tidaklah mengherankan kalau paham moderat seperti digambarkan di atas
membuat ‘Abdullah Ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam
melawan pemerintahandinasti ummayyah.Oleh karena itu, jika golongan khawarij
lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan all-Ibadiah ini
masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan
Arabia
.
E.     Pemikiran Penting Tentang Politik Khawarij
Khawarij adalah kelompok yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah
Arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan
Muawiyyah di Siffin. Mereka merasa kecewa terhadap hasil arbitrase yang
merugikan Ali. Sebagai redaksi, mereka menolak hasil arbitrase dan keluar dari
pasukan Ali. Mereka membenci Ali karena ia mau berdamai dengan pemberontak
muawiyyah, tetapi lebih membanci lagi muawiyyah yang telah mencurangi Ali.
Pengikut khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara

10
berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima
perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada diluar kelompoknya
adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrim ini pula yang membuat
mereka terpecah menjadi beberapa sekte.
Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syiah, mereka tidak mengakui hak-hak
istimewa orang atau kelompok tertentu untuk meduduki jabatan khalifah. Jabatan
tersebut bukanlah monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni,
juga bukan hak khusus Ali dan keluarganya sebagaimana klaim kelompok syiah.
Menurut mereka siapa saja berhak mendududki jabatan khalifah, kalau memang
mampu. Bahkan mereka mengutamakan orang non-Arab sebagai khalifah, supaya
mereka bisa menjatuhkannya atau membunuhnya kalau ternyata tidak
menjalankan tugasnya sesuai dengan syariat atau bertentangan dengan kebenaran.
Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Karena itu
kelompok khawarij tidak mempertimbangkan ‘ashabiyah atau keluarga untuk
mengangkat pemimpin mereka.
Dari pemikiran ini, pengikut khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan
bukanlah kewajiban yang berdasarkan (syar’i/agama). Sebagaimana pandangan
Al-Ghazali dan Al-Mawardi serta Syiah. Pengangkatan dan pembentukan Negara
adalah masalah kemaslahatan manusia saja. Kalau pertimbangan akal lebih
maslahat mengangkat khalifah dan membentuk Negara, maka hal tersebut boleh
dilakukan tetapi bila ternyata tanpa kepemimpinan mereka dapat menjalankan
agama dan mencapai kemaslahatan, maka lembaga khalifah tidak perlu dibentuk.
Berbeda dengan Sunni dan Syiah, mereka tidak menganggap kepala Negara
sebagai orang yang sempurna. Ia adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari
kesalahan dan dosa. Karenanya mereka menggunakan mekanisme syura’ untuk
mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala Negara
menyimpang dari semestinya, dia dapat diberhentikan dan dibunuh.
Pandangan khawarij yang lebih demokratis ini agaknya bisa dipahami dari
sosiologis masyarakat Arab yang mengutamakan Syura’. Dalam pengambilan
keputusan. Merek ingin menegakkan kembali tradisi Syura yang mendapat
justifikasi dalam Islam, setelah “terkubur” oleh ambisi politik muawiyyah bin Abi
Sufyan. Disamping itu, realita politik yang ditandai oleh pertentangan Ali dan

11
Muawiyyah ikut memengaruhi kristalisasi pemikiran tersebut. Mereka
menganggap kedua orang ini sebagai penyebab terjadinya chaos dalam tubuh
umat Islam. Tidak berkembanganya tradisi syura’ dan menonjolkan ambisi pribadi
atau golongan untuk mendududki jabatan khalifah juga menjadikan mereka
sebagai kelompok yang berusaha kembali ke prinsip demokrasi dengan
mengabaikan ambisi-ambisi tersebut.

Setelah Usman bin Affan, khalifah ketiga wafat, sebagai calon terkuat adalah Ali
bin Abi Thalib tanggal 24 Juni 656H bertempat di majid Madinah beliau
diresmikan menjadi khalifah ke empat akan tetapi thalhah dan Zubair yang
mewakili Mekkah menolak mengakui Ali, bahkan isteri Nabi sendiri, Siti Aisyah
termasuk yang tidak mengakui Ali, perselisihan Ali dengan Aisyah menimbulkan
perang Jamal dan perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Ali
menjalankan pemerintah Ali memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah,
kemudian memecat semua gubernur yang telah diangkat oleh khalifah Usman
diantaranya Muawiyyah bin Abi Sofyan, Gubernur Damaskus. Pertarungan antara
Ali dan Muawiyyah kamin lama makin berlanjut hingga menjadi pertarunagn
antara Bani Hayim dengan Bani Umayyah dan puncaknya pecahlah perang Siffin.
Dalam perang Siffin terjadi Tahkim (perdaimaian). Tetapi sebagian tentara ali
khawarij kadang menyebut dirinya “syurah” artinya golongan yang
mengorbankan dirinya untuk kepentingan keridlaan Allah. Sebagaimana
tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 207 selain itu sering juga mereka
menamakan dirinya “Haruriyyah”. Istilah ini berasal dari kata “Harura” yaitu
suatu nama tempat di Kufah. Di Harura ini tempat penyesalan mereka, karena Ali
mau berdamai dengan Muawiyyah. Intisari pandangan-pandangan politik mereka
adalah:
1.      Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, adapun
Usman menurut pendapat mereka telah menyimpang pada akhir masa khilafahnya
dari keadilan dan kebenaran, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan.
Dan Ali telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah.
2.      Dosa pada pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan
pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat.

12
3.      Khilafah tidak sah kecuali dengan adanya pemikiran bebas antara kaum
muslimin dan tidak dengan cara apapun selain itu.
4.      Mereka sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang
khalifah haruslah dari suku quraisy.
5.      Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih
berada di jalan keadilan dan kebaikan.

Teori kelompok ini mengenai kekhalifahan merupakan teori kepemimpinan


masyarakat muslim bisa berlaku bagi setiap orang Arab. Karena khalifah dipilih,
maka seharusnya ia tidak turun tahta dan tidak melepaskan haknya dalam hal
apapun juga. Namun demikian, jika dia bersifat tidak adil, dia seharusnya dipecat
atau bahkan dibunuh jika keadaan memaksa.

Pandangan politik kelompok ini dapat disimpulkan sebagai berikut:


1.   Menegakkan sebuah Negara adalah wajib menurut syari’at. Tapi sebagian
kelompok ini ada juga berpendapat tidak harus ada seorang imam terutama jika
umat dengan sendirinya dapat menegakkan dasar-dasar keadilan.
2.   Pemilihan umum diserahkan kepada umat. Tidak sah imam kecuali dengan
pemilihan umum.
3.    Umat dapat memilih seseorang dari kalangan muslim yang dianggap paling baik
dan paling memiliki keahlian, tanpa terikat persyaratan apakah ia berasal dari
suku Quraisy atau bukan, atau bahkan apakah ia seorang Arab atau ‘Ajam (asing).

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Secara
etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul atau memberontak. Menurut Abi Bakar Ahmad Al-
Syarastani, bahwa yang disebut khawarij adalah setiap orang yang keluar dari
Imam yang hak dan telah disepakati jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat
Khulafaur Rasyidin atau pada masa Tabi’in secara baik-baik. Khawarij berarti
setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam. Golongan khawarij
timbul setelah perang Siffin. Sekte-sekte dari khawarij yaitu:
1.      al-Muhakkimah.
2.      Al-Azariqah.
3.      Al-Najdat.
4.      Al-‘Ajaridah.
5.      Al-Sufriah.
6.      Al-Ibadiah.
Pengikut khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah kewajiban yang
berdasarkan (syar’i/Agama). Sebagaimana pandangan Al-Ghazali dan Al-
Mawardi serta Syiah. Pengangkatan dan pembentukan Negara adalah masalah
kemaslahatan manusia saja.

14
DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul. Rosihan Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Media.


Nata, Abuddin. Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo.
Nasution, Harun. 1985. Teologi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: uipress.
Abbas Sirajuddin. 2006. I’tiqal Ahlu Sunnah Waljamaah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah.
Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.
Jakarta: Prenadamedia Group.

15

Anda mungkin juga menyukai