Anda di halaman 1dari 65

Banon Gautama

NASKAH ” MEGA-MEGA ” Karya : Arifin C. Noer


banongautama

4 years ago

Naskah Mega-Mega Karya Arifin C Noer

BAGIAN PERTAMA
di bawah mega

( Beberapa saat sebelum layar disingkirkan, kedengaran seorang perempuan muda


menyanyikan sebuah tembang Jawa. Kemudian penonton akan menyaksikan perempuan
muda itu menyanyi dengan gairah sekali. Ia berdiri dan bersandar pada batang beringin
yang tua berkeriput itu. Di antara jemari tangannya terselip sebatang rokok kretek. Ia
biasa dipanggil kawan-kawannya dengan panggilan RETNO.

Sementara itu, disebelahnya seorang perempuan tua bersandar. Ia adalah seorang


perempuan tua dengan bentuk bibir yang selalu nampak tersenyum dan dengan kelopak
matanya yang biru. Senyum itu rupanya ditujukan pada suatu harapan yang telah lama
dinantikanya ; tak kunjung tiba. Adapun malam yang selalu ia isi dengan perhatian itu
agaknya hanya memberikan warna gelap pada sekeliling matanya. Ia biasa dipanggil
MAE.

Sesekali di antara nyanyian itu terjadi percakapan yang sama sekali tak diharapkan
Retno sendiri )

MAE : Tidak kalah dibanding Srimulat. Tambahan dia cantik. Seperti aku! Persis. (
diam ) Cantik dan tersia. ( tiba-tiba seperti mencari sesuatu di sekelilingnya, tapi ia pun
tersenyum apabila sadar yang dicarinya itu sebenarnya tak ada. Lalu ia berseru keras )
Retno! Suaramu merdu.

RETNO : Ho-oh! ( kembali menyanyi)

MAE : Percaya. Asli! tidak dibuat-buat.

( Mereka bercakap tanpa saling menengok dan keduanya menerima cahaya listrik dari
lampu yang tergantung pada tiang listrik yang berhadapan dengan beringin itu )
MAE : Sebenarnya dia bisa mbarang (berseru) kau bisa mbarang* (*maksudnya
ngamen)

RETNO : Kenapa tidak? Segala bisa. Asal mau. Apalagi cuma mbarang.

MAE : Kenapa kau tidak mbarang saja?

RETNO : Sama saja. (Menyanyi lagi)

MAE : Tidak. Kalau kau mbarang untung-untung bisa masuk radio. Pasti bisa. Kalau
kau masuk radio kau akan lebih baik.

RETNO : (meludah)

MAE : Semuanya harus dicoba!

RETNO : Sama saja. Sama edan. (menyanyi lagi tapi baru sekecap ia berhenti). Sama
edan. Sama…alaaahh setan! (menyanyi lagi)

( Sejenak tak ada bicara. Tiba-tiba Retno berhenti menyanyi sebab ada seorang pemuda
lewat )

MAE : Saya kira enak mbarang. Cobalah. Tidak salahnya. Kenapa?

RETNO : Diam (pada yang lewat). Mampir Mas!

( Pemuda itu cuma lewat tapi jels ia naik nafsu )

RETNO : Banci edan! (meludah) Sinting!

MAE : Kenapa? Siapa?

RETNO : Laki-laki itu.

MAE : Kenapa?

RETNO : Saya cantik, kan?

MAE : Lantas?

RETNO : ( tertawa lalu meludah ). hanya orang banci saja yang lewat di sini tanpa
sekerlingpun melihat pinggang saya.

MAE : Memang. Kau cantik.

RETNO : Tidak cuma itu. Montok. (tertawa lalu meludah). Kadang-kadang saya ingin
berpidato di alun-alun ini. Pidato dihadapan berjuta-kuta laki-laki. Telanjang. Kalau
tidak, –sebentar! Pemuda itu berdiri saja dipojok jalan itu. (membetulkan letak
kutangya) Rejeki tidak boleh terbang percuma begitu saja. (pergi menyusup gelap)

( Sepeninggal Retno, Mae dicekam suasana sepi. Ia menatap keliling : Kegelapan dan
kesenyapan. Ia menggigil. Dingin. Takut. Aneh. Angin kencang lewat. Ia tersenyum
waktu matanya bertemu dengan bulan yang gendut dilangit. Dan ia pun keramaian
dirinya dengan khayalan-khayalan. Sekonyong-konyong ia marah. Ia membayangkan
seakan ia kini mengorek-ngorek bulan itu )

MAE : Sinuwun! Sinuwun! malam lagi! ini malam syura. Malam Syura Apa?
(menggeleng-geleng dengan sedih. Ia menangis tapi ia sudah cape).
Diam, nak. Diam sayang. kalau tidak juga kita dapatkan disini, tentu kita pindah lagi. Di
sini sayangku. Kita tidur di sini malam ini. cah bagus. Ini malam syura, Kita tidur
bersama Sinuwun Gusti Pangeran di alun-alun keramat ini. ( dengan kasih ia
meninabobokan anak-nya dengan sebuah tembang jawa)

( Muncul Seorang pemuda remaja. Ia mendekati Mae dengan isyarat-isyarat tangannya,


berlaku seperti orang bisu. Namanya PANUT.)

PANUT : (menunjuk-nunjuk perutnya dengan mulutnya)


bbbbb….aaaaa..a….bbbb..bbb,,aaaa

MAE : (jantungnya bergertar sangat cepat) Kenapa? Kenapa kau? Kenapa kau? Kenapa
kau, Panut? Panut?

PANUT : bbbbb….aaaaaa..bbb….

MAE : Gustiku. Gusti Pangeran. Kenapa? Gusti. Kenapa kau jadi bisu?

PANUT : (menggeleng-geleng) AAAaaaaa..aaa..bbbbb..

MAE : (menangis) Gusti. Saya jadi bingung. Siapa yang salah? Kenapa? Panut, anakku
Panut.

( Tiba-tiba Panut tertawa sangat keras.)

MAE : Edan!!

(Panut terus tertawa)

MAE : Kurang ajar (mengambil sebilah kayu dan mengacung-acungkan kayu itu) Awas
kalau kau ulangi. Ayo!

( Panut menyusup kegelapan seraya tertawa )

MAE : Kurang ajar. Anak nakal……Tidak. Bukan kau sayang. Diam, sayang,
(melemparkan kayu itu) Nah, diam sekarang. Panut nakal, ya?

( Panut muncul lagi. Ia masih tertawa )

PANUT : Gampang. Gampang, Mae! Lebih gampang dari mencopet,

MAE : Kau ini sedang apa?

PANUT : Tapi ada cara lain. Menari. (menari jawa seraya mulutnya memusiki). Ha, ini
lebih gampang tapi saya harus membedaki dan menghiasi muka segala. Terlalu banyak
kerja.

MAE : Nanti dulu. Kau ini sedang bicara apa?


PANUT : Saya tidak akan mencopet lagi.

MAE : Berapa kali Mae bilang? tidak usah kau belajar mencopet. tidak baik.

PANUT : Soal baik tidaknya saya tidak peduli. Soalnya tangan ini. Sial. Setengah tahun
sudah latihan tapi sekalipun tak pernah saya berhasil. Bagaimana saya tidak jengkel.

MAE : Jengkel pada siapa?

PANUT : Pada diri saya sendiri. Coba di pasar Bringharjo. Jelas laki-laki itu orang yang
ceroboh. Artinya kalau saja pinter dan cekatan tentu pulpennya sudah saya dapatkan.
Tapi saya gemetaran. karena gemetar rusak segalanya. Pulpen sudah ditangan tapi kaki
sukar dilangkahkan. Terpaksa saya berikan pulpen itu ketika mata laki-laki itu melotot
dan segera saya menghilang.

MAE : Apa kata Mae? Nguli saja, nguli saja. Kau nekat coba-coba nyopet. Nguli lebih
baik dari apapun yang dapat kau lakukan. Mae juga ingin nguli saja kalau ada orang
yang suka. Tapi Mae sudah terlalu tua. Cari kerja untuk orang semacam Mae yang tidak
punya tempat tinggal tentu sangat sukar. Orang takut kepada kita. Orang sukar percaya.
Percayalah Panut. kalau nguli kau bisa merasa senang.

PANUT : Saya tidak akan mencopet lagi.

MAE : Nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang baik. Kau pernah
dengar suara adzan tidak?

PANUT : Setiap kali saya dengar.

MAE : Maksudku kau percaya pada Tuhan tidak?

PANUT : Seperti setiap orang. Tapi Mas Woto bilang Tuhan itu tidak ada. Tuhan itu
racun. Tuhan itu arak. Candu. Tuhan itu asap rokok. Kata Mas Marwoto.

MAE : Itu tidak perlu. Kau sendiri percaya tidak? kalau kau percaya memang tak layak
kau mencopeti barang milik orang lain.

PANUT : Saya bilang saya tidak akan mencopet lagi. Bajingan. Kemarin saya coba-coba
bantu Mas Wiryo tapi sial juga.

MAE : Membantu apa?

PANUT : Maling.

MAE : Astaga.

PANUT : Untung saya tidak tertangkap. Kasihan Mas Wiryo

MAE : Maling itu kan lebih jahat daripada mencopet.

PANUT : Tentu saja, maling itu kan tidak berjiwa ksatria seperti pencopet.

MAE : Bukan itu maksud mae!


PANUT : Soalnya tangan ini Mae. Sial. Tapi Tunggu dulu. Tad itu Mae betul-betul
percaya to? Kalau Panut bisu?

MAE : Haduuuuuuh, hampir Mae tidak bisa bernapas tadi. Kaget bukan kepalang. Kok
tiba-tiba kamu jadi bisu tadi. Padahal kamu itu anak mae yang paling cerewet. Banyak
omong banyak cerita.

PANUT : Itu sudah cukup. Itu namanya saya berhasil. Besok pagi saya akan mulai

MAE : Mulai apa?

PANUT : Ngemis

MAE : Astaga

PANUT : Apa salah?

MAE : Panut! Kalau kamu anak saya, kupingmu itu sudah saya jewer. Otot mu masih
kuat tubuh mu masih utuh. Kamu mau minta-minta seperti tua bangka yang tersia
sebatang kara? Oalah le le. Kakimu itu akan membusuk kalau tidak dipakai buat bekerja.

PANUT : Ngemis kan juga kerja. Kamu kira ngemis itu enteng? Kan makan tenaga dan
perasaan juga. Soalnya bukan itu. Soalnya sial saya ini. Dan lagi soal makan, bukan soal
perasaan.

MAE : Ya, tapi kau masih kuat untuk bekerja. Bekerja baik-baik maksud Mae. Tidak
mencelakakan. Nguli misalnya. Kau bisa seperti Tukijan. Begitu rajin dia bekerja di
pasar. Tapi dasar orang suka bekerja dan rajin. Tadi pagi-pagi benar ia pergi ke
Sumantrah.

PANUT : Siapa?

MAE : Tukijan. Pagi tadi ia naik kereta api ke jakarta. Dari sana nanti ia nyeberang ke
Sumantrah.

PANUT : Mulut rusak. Baru saja saya lihat dia sedang nongkrong dekat bioskop Indra.

MAE : Siapa?

PANUT : Tukijan.

MAE : Kau salah lihat pasti. Bukan Tukijan yang kudisan. Tukijan yang bersih ganteng.

PANUT : Ya, Tukijan yang gandrung pada si Retno kemayu itu to.

MAE : Kau sungguh-sungguh?

PANUT : Biar buta mata saya kalau saya bohong. Kemaren Tukijan memang bilang
begitu pada semua orang. Tadi saya lihat sendiri ia sedang nongkrong dekat bioskop
Indra.

MAE : Sedang apa dia?


PANUT : Tukijan?

MAE : Ya

PANUT : Nongkrong, Melamun, seperti Gatotkaca kehilangan sayap.

MAE : Saya tidak percaya

PANUT : Percaya terserah, tidak terserah. Bukan urusan saya! Tikarnya Mae. Saya kira
enak sekali malam terang bulan ini tidur di tengah alun-alun (tertawa) Tukijan, Tukijan.

Mae memberikan sehelai tikar buruk pada panut. Tiba-tiba muncul Retno dari
kegelapan.

RETNO : Sial!

PANUT : (seraya membaringkan badan)

RETNO : Apa?

PANUT : Tidak (baring)

MAE : Siapa yang sial?

RETNO : (meludah) Siapa lagi? Pemuda itu. (meludah)

MAE : Bukan kau?

RETNO : tentu saja dia. Tengik. Akik

PANUT : (tertawa)

MAE : Kau memang cantik.

RETNO : Luar biasa! (tertawa pahit. lalu menarik nafas kesal) Setan. Tukijan edan!

MAE : Siapa yang kau kutuk? Sejak sore tidak habis-habis kau mengutuk. Selalu kau
marah-marah.

(sunyi sebentar)

RETNO : Lama-lama aku jadi ingin pergi dari Jogja ini.

MAE : Kemana?

RETNO : Kemana saja. (tiba-tiba) Aduuuuuuh!

MAE : Kalau kau bilang begitu pada Tu…..

RETNO : Diam! SI banci itu lewat lagi.

(Pemuda yang tadi muncul lagi dari kegelapan)


RETNO : ( membusungkan dadanya) Mlampah-mlampah dik?

( Setelah beberapa lama berpaling dengan nafas yang kacau segera pemuda itu
menghilang dalam kegelapan)

RETNO : Banci sintiiing banci sinting banci sintiing! UUuuh! (meludah) Pasti
Mahasiswa dia. Nafsu melimpah uang cuma serupiah.

PANUT : Ngaku santri lagi.

RETNO : Tahu saya. Kita sering lihat dia lewat. Rumahnya pastidekat rumah Haji Bilal.
Kalau saya sedang mencuci ia selalu lewat. Kalau siang ia buang mukanya jauh-jauh
dari saya (meludah). Tapi kalau malam niak turun nafasnya melihat kecantikan saya
(tertawa). Besok malam saya peluk dia dari belakang (meludah) Pura-pura.

MAE : Kau memang cantik.

RETNO : Menggiurkan! (tertawa pahit lalu meludah)

MAE : kau tidak pernah mengandung?

PANUT : (tertawa keras)

RETNO : Apa?

MAE : Kau tidak pernah mengandung?

RETNO : Gila! (senyum pahit tapi genit) Diam!

MAE : Tidak habis-habis kau mengutuk.

RETNO : (tak tahu kepada siapa) Gara-gara kau semuanya serba sial.

MAE : Tidak baik. Apalagi untuk malam ini. Aku bilang sekarang. Malam ini malam
terang bulan. Sangat menyenangkan tidur di alun-alun ini. Di muka pagelaran. Berkat.
Sinuwun itu sakti. Alangkah segarnya. Kita boleh melalmun dengan sempurna di sini.

PANUT : Tidak bau air kencing seperti di Musium

MAE : Nyaman. Banyak angin. Tapi juga angin yang baik. Bersih. Anak-anak mesti
dilindungi dari angin yang terbaik sekalipun (menina-bobokan lagi anaknya dengan
sebuah tembang jawa).

RETNO : Tukijan edam!

MAE : Apa?

RETNO : Bulan—–AH, Setan!

MAE : Kuning montok seperti kau (diam) Kau kira enak orang tidak punya anak?

RETNO : (diam)
PANUT : (menyanyikan sebuah lagu picisan tema cinta)

MAE : Retno!

RETNO : (malas) Hmmmm? (Makin kesal) Alaaaah setan!

MAE : Kau kira enak orang tidak punya anak?

RETNO : (diam)

MAE : Kau pernah mengandung?

RETNO : Ho-oh!

MAE : Berapa kali?

RETNO : Satu kali tapi persetan!

MAE : Berapa?

RETNO : Satu!!

MAE : Enak?

RETNO : Sakit!

MAE : Jadi sungguh-sungguh?

RETNO : (diam) Persetan!

MAE : Sungguh-sungguh sakit?

RETNO : Iya. kalau Mae ingin tahu, melahirkan itu rasanya sakit.

PANUT : (tertawa)

RETNO : Ketawa

PANUT : Sakit (tertawa)

(Mae tertawa juga. Retno juga akhirnya)

RETNO : Memang lucu juga.

MAE : Melahirkan. Sakit. Semuanya.

(Sunyi sebentar)

MAE : Anak-anak manis. Semua orang berjuang untuk mereka. (tiba-tiba bergetar
dadanya) Aduuuuh biyuuuung…..(kepada Retno) Kemana anak itu?

RETNO : (meledak) Mati!!!! (menyesal) Dia mati!!!


MAE : (marah) Kau juga yang salah.

RETNO : (meledak) Jangan banyak mulut!!! (diam) Maaf Mae

MAE : Kau yang patut disalahkan. Sebenarnya kau bisa berrbuat yang lebih baik.

RETNO : Memang. (tiba-tba) Aduuh! Setan!

MAE : Memang. Selalu ada pemecahan buat setiap persoalan. Tapi kau malas mencari.

RETNO : Bukan aku.

MAE : Kau!

RETNO : Bukan.

MAE : Orang punya anak itu mesti prihatin! Mesti hati-hati. kau tahu, Retno? Angin itu
lembut ya? Nyaman ya? Tapi Angin itu berbahaya bagaimanapun juga. Yang enak di
badan tidak selamanya enak di hati. Yang enak di hati tidak enak di badan. Kau harus
jujur. He, Retno angin bukan? Angin itu kosong kelihatannya padahal setan isinya. Kau
tidak hati-hati. Tidak mau, kau salah.

RETNO : Bukan aku. Suamiku.

MAE : Kau! Kau adalah Ibunya!

RETNO : Dan suamiku adalah bapaknya! Dia harus cari makan.

MAE : Apa dia tidak cari makan?

RETNO : Cari makan! Untuk perkutut! (tiba-tiba ia menangis. ia menghindar. Beberapa


lama ia tersedu) Sebenarnya aku sangat sayang padanya.

PANUT : (bangkit). Tadi Koyal makan, Mae? (karena Mae tidak menjawab, ia kembali
berbaring)

RETNO : Sejak gadis dulu aku mengidamkan dapat melahirkan anak laki-laki. Anak itu
laki-laki dengan mata yang teduh seperti kolam. Hatiku selalu bergetaran menyanyi
setiap kali bertemu dengan mata itu. Tapi makin lama mata itu makin kering sebab
bapaknya tidak pernah melakukan apa-apa. Suatu ketika aku sakit. (lama diam) Anak itu
sakit. Kelaparan. Ia mati. Sejak itu aku hampir gila oleh perasaan kecewa dan kesal.
(diam) Suatu hari suamiku pulang setelah menuntaskan bergelas-gelas arak. Bukan main
aku marah. Dan sekonyong nasib turut campur. Rumah itu terbakar (gerahamnya
merapat ketat) Setan! Setan!

MAE : Pendeknya kalian berdua. Kalian berdua salah. Kalian malas. Kalau anak itu
sekarang masih hidup, barangkali ia sudah cukup mampu menolong kau. Saya yakin kau
sangat menyesal dan suatu ketika kau bisa gila bila kau merasa kangen kepada anak
yang malang itu.

RETNO : Sudahlah.
MAE : Retno….

RETNO : (diam pergi dan bersandar pada tiang listrik)

MAE : Tapi tidak semua orang melahirkan anak.

PANUT : Laki-laki tidak.

RETNO : Dan….

MAE : Dan?

RETNO : Dan perempuan seperti aku. Lonte.

MAE : Tidak.

RETNO : Kenapa?

MAE : Perempuan seperti Mae. Ya, tidak?. Tidak semua perempuan. Saya telah
menjalani hidup tidak kurang dari lima puluh tahun, panjang dan lengang. Tidak pernah
sekalipun melahirkan anak.

RETNO : Mae memang mandul.

MAE : (marah) Saya tahu! Tahu! Tahu! Saya tahu! (menangis dan mengusap-usap
matanya)

RETNO : (menyesal akan omong tadi tapi didahului Mae)

MAE : (seraya menangis) Setiap orang dijagat raya. Semuanya. Seluruh isi jagat. Semut-
semut pun tahu saya perempuan mandul. Tapi tidak sepatutnya kau berkata begitu
dihadapan saya.

RETNO : Saya minta maaf. Mae

MAE : (makin reda tangisnya) Saya kesepian. Saya sungguh-sungguh kesepian sebagai
perempuan. Tidak itu saja. Bahkan saya sangat kesepian sebagai manusia. Sampai-
sampai saya sangsi pada diri saya sendiri. Sampai-sampai saya tidak tahu lagi dimana
saya ini berada. Betul-betul seperti mimpi. Mimpi yang sangat buruk! Kalau sampai
pada tempat itu alangkah ngerinya. Saya tidak lagi dapat melihat apa-apa. Saya mulai
menyangsikan semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau tidak ada. Atau apakah yang
ada dan apa yang tidak ada. Apakah saya yang ada dan yang lain tidak ada. Atau apakah
yang lain ada dan saya tidak ada. apakah….tak taulah! Seluruhnya hanyalah jalanan
panjang yang lengang tak berujung. Sementara tapak kaki mulai kabur.(diam) Segala
yang hidup disibuki oleh tugas kewajibannya masing-masing. Tapi Mae…perempuan
kertas yang dipinjami nyawa cuma. Tersia dan disingkirkan dimana-mana.

RETNO : Kita sama-sama Mae.

(Sekonyong-konyong muncul HAMUNG si Kaki Pincang)


HAMUNG : Maunyya kita sama-sama, tapi si Tukijan itu plintat-plintut seperti orang
banci. Saya kira dia sudah tidur di Senen dan niat saya pagi nanti akan menyusulnya.
Setidaknya saya tidak langsung ke Sumatera. Saya memang belum berniat kesana. Ee,
tahu-tahu, baru saja keluar dari stasiun Tugu sore tadi, keluar dengan karcis di tangan,,
nyelonong hidungnya.

RETNO : Hidung siapa?

HAMUNG : Tukijan.

MAE : Betul, Retno. Panut juga bilang begitu.

PANUT : (bangkit) Betul. Aku juga melihatnya di Bioskop Indra. Mula-mula aku kira
mataku yang salah. dan aku mengira cuma hantu atau rohnya., (tertawa) agaknya
memang Tukijan.Jaaaaan!….. Jan! Lama sudah ia memimpikan tanah. Selalu ia
ceritakan nenek-neneknya. Petani semuanya. Tanah itu kotak wasiat, katanya (tertawa)
Kotak wasiat. Pernah satu kali saya diajak olehnya ke Bantul Lihat-lihat sawah, katanya.
(tertawa) Lihat-lihat sawah. Saya tahu dia punya kemauan keras. Saya hormat
kepadanya. Apalagi saya jauh lebih muda. Tapi saya tak salah kalau mengajak dia
supaya meniru perbuatan saya. Terus terang saja saya bilang bahwa mencopet itu
penghasilannya banyak. Kuncinya tentu saja terletak pada keterampilan. dan kelincahan
kita. Mas Marwoto sendiri mengatakan bahwa mencopet itu seni hidup yang paling
tinggi. Seperti halnya berjudi, dasarnya memang untung-untungan. Tapi kata Mas Woto,
untung-untungan itu sudah sifatnya dunia, sifatnya……

HAMUNG : Tutup moncongmu, bocah.

RETNO : Jadi…..

MAE : Saya juga heran.

PANUT : Kan saya sudah bilang tadi Dia saya temi dekat bioskop Indra. Lagi melamun.
Tapi juga seperti orang bingung. Ah, dia itu. Seperti bukan laki-laki saja. Nih, lihat.
Panut!

RETNO : (tak ambil perduli pada Panut seperti yang lainnya juga) Kalau
begitu….(tersenyum dan dibalik senyumnya ia menyembunyikan sesuatu) Aneh sekali
bukan?

HAMUNG : Aneh sekali. Dia itu orang yang teguh pendirian. Tapi, eh. Mengherankan
sekali. Saya tanya kenapa dia belum berangkat padahal dia sudah pamit pada kita, ia
cuma diam.

PANUT : Bukan mustahil ia pun telah pamit dan minta restu pada Kanjeng Sinuwun.
(tertawa) Memang sedih juga kalau dia jadi berangkat. Tapi memang aneh….

MAE : Waktu adzan subuh tadi pagi untuk pertama kalinya saya menangis seperti
seorang Ibu yang sedang melepas anaknya pergi jauh. Tidak kurang dari satu jam mata
saya meneteskan air. Berkali-kali saya menggelengkan kepala. Mulut saya tak henti-
henti berdoa. Eh, tahu-tahu dia belum berangkat. Betul kata orang dulu. Orang yang
bepergian tak merasa tenang kalau ada diantara orang yang ditinggalkannya belum rela.
(Panut bangkit berdiri dan sekonyong-konyong bisu-bisuan lagi)

PANUT : Bbbb….Aaaaaa…..bBbbbb.

HAMUNG : Kumat. Kemasukan setan! Kalau tidak ayan.

PANUT : Bajigur.

HAMUNG : Habis kau seperti orang yang kehilangan kepala, Kalau kau terus begitu
kau bisa sinting.. Tapi ya bagus juga. Kalau kamu miring, si Koyal ada kawannya. Ya,
tentu ada bedanya. Kalau Koyal kesana kemari pamer bahwa dia anaknya Kumico dan
bangga akan badannya yang jangkung seperti opsir Belanda. Sebaliknya tentu kamu
gembar-gembor bilang masih keturunan Jepang (tertawa)

PANUT : Jangan menghina begitu Mung! Kan tidak kamu saja yang punya perasaan?

HAMUNG : Tidak. Celeng juga punya perasaan.

MAE : Sudah Hamung. Jangan kau teruskan seperti kemarin. Nanti dia nangis lagi. Eh,
siapa yang nangis kemarin?

PANUT : Bukan saya! Koyal. Dia cemburu, pacarnya serong. Tiap malam pacarnya
digandeng orang katanya.

RETNO : Biasanya dia sudah datang.

PANUT : Siapa? Tukijan?

RETNO : (genit) Cih! Koyal!

PANUT : O, Koyal. Daripada menunggu lama-lama, Kan ada saya? (tertawa)

RETNO : Ee

MAE : Memang. Biasanya Koyal terus saja nyelonong kalau kita sedang asyik-asyinya
ngobrol

HAMUNG : Yakin saya. Dia bisa gila. Setengah mati dia ingin jadi orang kaya.

PANUT : Impiannya selangit

HAMUNG : Lucunya dia cumua ingin punya uang bertumpuk. Tapi sintingnya,
sedikitnpun ia tidak mau bekerja. Ia cuma ngemis.

PANUT : Makan pun tak mau ia urunan seperti kita-kita ini. Dia cuma makan. Bayar
tidak mau.

RETNO : (tertawa) Dan edannya uang hasil minta-minta nya ia belikan lotre. Entah
sudah berapa puluh lembar lotre dibelinya. Satu kalipun belum pernah ia menang.

MAE : Biarkan ia tidak urunan. Ini permintaan Mae. Mae bilang, kalau kalian semua
yang Mae masakkan boleh Mae anggap sebagai anak-anak Mae. Dan sudah umumnya
anak-anak. Tidak semuanya rajin. Mesti ada saja yang nakal ataupun malas. Mae ingin
kalian semua rukun satu sama lain. Sedikit-sedikit yang malas diajar kerja. Sedikit-
sedikit yang suka nyopet diajar kerja. Mae ingin semua senang lahir batin.

(Terdengar suara daari jauh : NUUUUT!! AYO!! )

PANUT : Itu suara Mas Woto. (berseru) Hooooiiii!!

MAE : Tak usah turut Panut. Tak usah. Lebih baik kau pura-pura tak dengar.

PANUT : (berseru) Kemana Mas?

( Terdengar dari jauh : Ada makanan! Cepat! )

MAE : (gelisah) Jangan turut, Nak. Jangan. Kasihan dirimu.

PANUT : (semangat) Sebentar Moaaasss!

( Panut pergi Mae terluka dan sedih )

MAE `: Dia pasti mednapat celaka! Pasti mendaat celaka! Tapi memang dia masih
bocah. Bukan salahnya (menangis)

HAMUNG : Jangan pedulikan

MAE : Dia tidak bersalah. Dia masih bocah. Setiap orang harus…….

HAMUNG : Sama sekali tak ada salahnya. Tak ada yang salah.

MAE : Orang tuanya yang salah. Tapi siapa orang tuanya? Di sini saya orang tuanya.
Jadi saya yang bersalah. Seharusnya saya terus menahannya.

HAMUNG : Tak ada gunanya.

RETNO : Mae tak usah terlalu susah.

MAE : Siapa bilang? Mae tak pernah bertanggung jawab. Sekarang disini Mae berusaha
jadi Ibu kalian. Salah satu di antara kalian sedang menuju ke penjara tanpa di sadarinya.
Apakah Mae harus diam saja? Kalian tahu? Dialah yang satu-satunya yang Mae
harapkan selain Koyal. Hamung, kau besok ke Jakarta. Mungkin juga Tukijan. Dan
kemudian Retno. Dan kalau Mae biarkan Panut masuk penjara dan koyal pergi ke
tempat lain, apakah yang terjadi atas diri Mae? Pulang ke Tegal? Tempat itu bukan lagi
tempat Mae…….Tak ada tempat. Mae akan kembali seperti ketika pertama Mae datang
kemari. Sebatang kara. Kering.

RETNO : Mae tak usah khawatir. Saya tak akan meninggalkan Mae.

MAE : Semua akan meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku yang pertama pun
berkata begitu dulu, tapi akhirnya ia pun mengusirku juga. Dan kemudian suamiku yang
bernama Sutar meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan paling tua pergi
juga. dimakan gunung merapi.

RETNO : Tidak, Mae. Saya juga sebatang kara. Saya juga tersia. sebab itu saya lebih
senang dengan Mae. Berkumpul sangat membantu mengurangi kesusahan.
MAE : Tidak. Kau tidak tersia. Kau masih muda. Belum masanya kau berputus asa.
Sekiranya kau menurut nasihat Mae dan tak usah kau menjadi….

RETNO : (memotong) Mae.

MAE : Retno. Mae sayang sekali padamu. Pada Hamung, pada Tukijan, pada Koyal,
pada Panut dan pada siapa saja yang memandang Mae sebagai Ibunya, Seperti juga Mae
sangat sayang pada Mas Ronggo (diam) Ia kena lahar (diam) Retno, diam-diam perasaan
Mae remuk waktu Tukijan pamit tadi pagi. Tambah lagi Hamung……dan Panut.

RETNO : Sudahlah Mae.

HAMUNG : Ya Mae. Retno akan tinggal di sini dan akan selalu bersama Mae.

MAE : Keinginan Mae memang begitu juga, tetapi sebaliknya bagi Retno….

HAMUNG : Setidak-tidaknya dia tidak akan melupakan Mae (menguap)

RETNO : Percayalah Mae. Kami tak akan begitu saja melupakan Mae. Kami juga
menganggap diri kami sebagai putra-putri Mae yang nakal-nakal. Bukan Panut dan
Koyal yang nakal, tapi kami semua juga nakal-nakal. (tersenyum menghibur) Dan
kenakalan kami tidak mengurangi cinta kami pada Mae.

MAE : (menangis)

RETNO : Mae, jangan menangis begitu. Mae.

MAE : Mae kesepian.

RETNO : Mae sendiri yang bilang dan selalu bilang pada si Koyal bahwa kawan kita
banyak. Bintang-bintang , Bulan, Langit…

MAE :Mae bahkan lupa pada wajah Mae sendiri.

RETNO : Mae.

MAE : Kalau kau menurut kata Mae, kau kawin dan Mae kau tinggalkan. Sebaliknya
kalau kau tetap tinggal disini dan kau terus begini…oh, Mae tak tahu apa yang Mae
kehendaki.

( Ketika cuma beberapa angin yang berkata. Tiba-tiba terdengar teriakan Koyal :
HOOOOIIII! Aku dapat lotre!! Hoooiiii!!! Aku menang!! )

MAE : (menghapus air matanya) Koyal.

RETNO : Dapat lotre. Dia menang.

HAMUNG : Memuncak sintingnya.

( Lelaki kurus tinggi berkulit terang, meski banyak daki, dan berambut lurus, muncul
dengan nafas kacau)

KOYAL : Wah! saya cari kemana-mana, rupanya kalian disini


MAE : Kita disini malam ini. Malam terang bulan. Malam syyura. Malam penuh berkah.

HAMUNG : Kau nanti….

KOYAL : Betul! Malam berkah melimpah (tertawa menang) Lihatlah kedua tanganku.
Di tangan kiri ; lembaran lotre. Di tangan kanan sobekan koran.! Kalian tahu? Aku telah
menyobek koran yang terpasang di muka gedung Agung. Aku terlalu girang. Aku sobek
saja koran itu. Tak peduli! ( tertawa )

MAE : Koyal…..

RETNO & HAMUNG : (hampr bersamaan) Kau menang?

KOYAL : ( tersenyum bangga ) Hampir!

RETNO : Ha?

KOYAL : (tersenyum bangga) Hampir! Cuma beda sedikit. Beda satu (tertawa)

RETNO : Edan.

HAMUNG : Biasa. Kepala penjol otaknya ya penjol.

MAE : ( riang ) Anakku dapat lotre!

KOYAL : (bangga) Hampir Mae.

MAE : Syukur. Syukurlah. Hampir.

KOYAL : Kau lihat, Mung. Pada koran ini tertulis : “hadiah seratus juta jatuh pada
nomer 432480, Solo”, sedangkan punyaku 432488. Ha, beda satu, kan? (tertawa senang)
Hampir aku menang. Betul tidak?

HAMUNG : Belum menang sudah hilang ingatan.

KOYAL : Tak ambil pusing aku. Yang penting aku hampir menang. Artinya tak lama
lagi aku pasti menang. Kau lihat, Muung. (menunjukan lot yang lain) Nih, aku sudah
beli lagi. tidak cuma itu malah. Baru saja aku tanya tukang nujum. Burung glatik yang
cerdik itupun menjanjikan kemenangan itu. Satu kartu dengan gambar bunga mawar,
satu kartu dengan gambar sapi, satu kartu dengan gambar rumah. kau mesti tak percaya?

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Tentu saja. Saya sudah bayar kok

HAMUNG : Ya, udah. Sama saja.

KOYAL : Apanya yang sama?

HAMUNG : Ya, kalau kau sendiri percaya pada tukang nujum itu, saya ya turut-turut
percaya. Biar kau senang. Kau kan slalu ingin senang?

KOYAL : (tertawa) Bagaimana kau ini. Senang itu kan tujuan semua orang?
HAMUNG : Syukur, kalau kau mengerti itu.

KOYAL : Ah. Kalau kau percaya saya mengerti itu. Itu sudah sejak semua orang tua
saya hilang.

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Ha?

HAMUNG : Ya, sudah. Percaya. (diam) Nah saya yakin kau telah melupakan sesuatu.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Nah betul kan? Belum kejatuhan uang kau sudah melupakan sahabatmu
sendiri.

KOYAL : Ikat pinggang ini? Kau kira dapat mencuri? Tidak. Saya tidak mau seperti
Panut. Juga lantaran Bapak saya dulu kumico. Sungguh mati. Ikat pinggang ini
dihadiahkan Tukijan sendiri waktu ia akan berangkat tadi pagi.

HAMUNG : Apa ikat pinggang itu sahabatmu? Betul-etul kau lupa. Suling mu Yal!

KOYAL : (tertawa) mana bisa saya lupa? (mengambil suling dari selipan ikat
pinggangnya). Mau lagu apa?

MAE : Leloledung, Yal

KOYAL : Aduh. Lagu nenek-nenek

RETNO : Koyal sih biasanya lagu India.

KOYAL : Itu dia. Selera kita ternyata sama. Kau ingat Retno? Nanti dulu. Kau ini
harum sekali. ( pada Hamung ) Retno cantik ya? (tertawa) Nah, kau ingat lakon Ali
Baba?

RETNO : Yang main…eee…

KOYAL : Kura-kura makan kelapa, ya? Pura-pura lupa, biar orang lain bilang; eh Retno
kau persis bintang Film Sakila (tertawa)

RETNO : Dan kau seperti Mahipal.

KOYAL : Kalau begitu tepat sekali kita menyanyi malam ini. Dengar. (memainkan
sulinhg) (jangan lupa; sebenarnya permainannya sumbang)

HAMUNG : Koyal pintar ya?

RETNO : Kau memang pintar, Yal.

MAE : Anakku pinter…..


KOYAL : (berhenti) Itu sudah bakat. Pinter itu sudah bakat saya. Kau sendiri pernah
dengar cerita ayah saya yang dulu pernah jadi Kumico. Sudah lumrah kalau ia punya
anak sepintar saya. Cuma sayangnya mereka terlampau cepat mati.

HAMUNG : Maumu kapan?

KOYAL : Apanya yang kkapan?

MAE : Hamung, sudah.

HAMUNG : (keras) Maumu kapan orang tuamu mati?

KOYAL : Mau saya setelah saya dewasa. Tapi mereka terburu matii dan membiarkan
saya terlunta-lunta (melamun) Kalau saya ingat nasib saya, ingat saya pada filem
Malaya. P. Ramli Maksud saya. Retno tentu ingat juga.

RETNO : Jambulnya jambul onta

KOYAL : Betul lho. Saya ingat nasib saya kalau dengar lagu-lagunya. Saya jadi ingat
ibu bapak saya. Terutama saya tidak bisa melupakan pipa gadingnya yang panjang itu.
Pipa itu dikagumi semua orang. Ah (diam) He, Mung. Kau lahir dimana?

HAMUNG : Tak ambil pusing.

KOYAL : Orang ditanya tempat lahirnya dimana kok, jawabnya tak ambil pusing.

HAMUNG : Habis? Apa kau kira saya tahu tempat dimana saya dilahirkan? Apa orang
lain pun tahu tempat dimana dia dilahirkan? Apa kau tahu?

KOYAL : Kenapa tidak tahu?

HAMUNG : Kau tahu darimana ?

KOYAL : Dari ibu bapak saya tentu saja.

HAMUNG : Atau dari tetangga-tetanggamu.

KOYAL : Tidak. Dari ibu bapak saya sendiri

HAMUNG : Sama saja.

KOYAL : Ya, tidak.

HAMUNG : Ya, sama. Artinya kau sendiri tidak tahu. Apa kau dilahirkan di ranjang
atau di atas rumput tentu kau sendiri tidak tahu. Dan bagaimana bisa tahu? (tertawa)

KOYAL : Kau ini main-main. Ditanya betul-betul kok.

HAMUNG : Kau kira saya main-main? Tanyalah lagi saya. He, Mung, di mana kau
lahir? Atau di atas ranjang atau di meja kau dilahirkan?

KOYAL : He, Mung. Di mana kau lahir?


HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Pasti kau anggap itu main-main. Coba kau fikirkan.
atau coba kau tanya lagi. He, Mung, Bagaimana kakimu bisa pincang?

KOYAL : He, Mung. Bagaimana kakimu bisa pengkor?

HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Ha, kau anggap saya main-main lagi? Tidak. Coba
kau fikirkan. Saya tahu bahwa saya ada, tatkala saya merasa sakit hati kalau kaki
pincang saya dijadikan ejekan oleh kawan-kawan saya.

KOYAL : (keras gembira) Nah, disanalah kampung halamanmu.

HAMUNG : Rumah tempat saya tinggal maksudmu>

KOYAL : Dimana lagi?

HAMUNG : Rumah itu berisi puluhan anak-anak kalau kau mau tahu.

KOYAL : Keluarga apa itu? Berapa ibunya?

HAMUNG : Rumah itu, rumah yatim piatu. Rumah itu musnah waktu pecah perang
dulu. Nah, bagaimana saya bisa tahu di mana saya dilahirkan? Atau tanyalah. He, Mung,
siapa orang tuamu?

KOYAL : He, Mung. Siapa oorang tuamu?

HAMUNG : Tidak tahu. (tertawa) Mengerti? (tertawa) Karena itu kenapa saya mesti
ambil pusing? Yang penting sekarang saya ada. Sebab itu saya harus memberi diri saya
makan.

KOYAL : Itu kau. Saya tetap ambil pusing. Habis saya punya orang tua. Hanya sayang
mereka, juga paman saya dan keluarganya, semuanya dicincang pemuda-pemuda waktu
revolusi dulu. Mereka membantu Belanda dan Jepang. Bagaimana lagi? Kami perlu
makan. Akhirnya tinggal saya seorang. Kalau saya kaya tentu…

HAMUNG : ( memotong ) …tentu tidak miskin (tertawa)

MAE : Sudah, Hamung.

( Retno yang sejak tadi gelisah, dalam diamnya, sekarang turut tertawa )

KOYAL : Tidak, tentu saya bisa memperkembangkan bakat kepintaran saya. Lalu saya
fikir…

HAMUNG : (memotong) Lalu saya melamun (tertawa)

MAE : Hamung.

RETNO : (tertawa)

KOYAL : ( tidak peduli ) Lalu saya fikir saya harus punya banyak uang dulu. Malah
akhir-akhir ini saya mencintai uang. Mengapa tidak? Saya telah melihat rumah yang
bagus-bagus. Saya telah melihat mobil yang bagus-bagus. Saya telah melihat segala apa
saja yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Lalu…
HAMUNG : …..ngemis (tertawabersama Retno)

KOYAL : ……lalu saya mulai mengumpulkan uang. Tapi pasti terlalu lama. Lalu saya
belikan lotre. Dan baru saja saya hampir menang (tertawa) Itu tandanya tidak lama lagi
saya akan menang. Dan kalau saya menang dan menang dan menang dan menang…dan
menang lagi….oh, uang saya. Bertumpuk setinggi gunung Merapi. (tertawa) Ya, Mung.
Kau boleh pergi ke Jakarta besok dan membuat rumah setinggi pohon kelapa, dan di
sebelahnya, Tukijan boleh membangun rumah yang besarnya lima kali keraton. Apa
yang saya perbuat?

HAMUNG : Ngemis. (tertawa bersama Retno)

KOYAL : Tidak. Saya akan mendirikan di antara rumah raksasa itu hanya sebuah gubug
kecil saja. Tapi..dengar. Kalau jam tujuh pagi saya, Raja Uang, Keluar dari gubug itu
dengan dua buah koper penuh berisi uang. Jangan lupa, becak langganan saya sudah
menunggu di muka. Dengan dua koper itu saya berkeliling kota. (tertawa) Orang-orang
di sepanjang jalan bersorak sorak ; Hidup Raja Uang, Hiduup Raja uang! Tentu saja
saya hanya manggut-manggut. Dan dari koper itu, saya hambur-hamburkan uang. Pasti
saya tertawa menyaksikan orang-orang berebutan uang seperti anak-anak ayam. Nah,
kalau sudah jam 2 siang saya pulang. Uang habis sama sekali. Dalam gubug ajaib itu
saya tidur siang. Tidur di atas kasur yang berisi uang. Berbantalkan bantal yang berisi
uang, seraya memeluk guling berisi uang (tertawa). Sorenya saya keluar jalan-jalan
dengan empat buah koper berisi uang. Tentu saja kali ini saya mesti menyewa mobil.
Tiap-tiao rumah saya masuki dan saya taburi dengan uang. Terutama sekali rumah kau
dan rumah Tukijan. (tertawa) Dan kalau sudah habis…

HAMUNG : (memotong) Ngemis lagi.

(Sekonyong muncul Panut dengan tergesa.)

PANUT : Tidak usah, Yal. He, Yal. Dengan gampang kau akan punya banyak uang asal
kau mau turut saja malam ini.

KOYAL : Kemana?

PANUT : Turut sajalah.

HAMUNG : Ya, turut saja biar penjolmu bertambah penjol.

MAE : Jangan. Ayo, Panut, kau membantah Mae. Jangan pergi! Disini saja! Koyal, kau
pun tak usah pergi.

PANUT : Ayo, Yal. Jangan seperti kerbau banci.

KOYAL : Mencuri?

PANUT : Turut saja. Tanggung beres.

KOYAL : Tidak. Saya tidak mau.

MAE : Nah, kau anak pintar, Koyal.


PANUT : Betul kau tidak mau uang?

KOYAL : Kalau uang saya mau.

PANUT : Turut lah dengan saya. Segera.

KOYAL : (lama) Tidak mau.

PANUT : Betul?

KOYAL : ……

MAE : Panut, turut kata Mae. Jangan pergi. Jangan. Kemanapun jangan.

PANUT : Betul, Yal? Betul kau tidak mau?

KOYAL : (melihat pada bulan)

PANUT : Syukur. ( melihat kejauhan ) Nah, kebetulan ada seekor kerbau yang lain. Itu
jantan sungguh. Sijio. ( Berseru ) Jioooo!! (pada Koyal ) Kerbau yang itu akan
berkubang uang.( pergi segera )

MAE : ( patah ) Panut! ( marah ) Harus ada yang dimarahi! Siapa? Jangan diam saja!
Kenapa diam saja! (amarahnya terkumpul pada wajahnya)

HAMUNG : (melihat kejauhan) Itu dia si Tukijan. Ia sedang menuju kemari.

RETNO : ( berdebar ) Mana?

KOYAL : ( tak percaya ) Mana? Ah, kau pasti main-main kan. Dia sudah berangkat ke
Jakarta tadi pagi? ( melihat ) Eh, betul Mae, si Tukijan. (gemetar) Celaka. Celaka.

HAMUNG : Ada apa?

KOYAL : Tidak (gugup) Itu. Mungkin. Mungkin dia dapat celaka. Barangkali. Ia
(gugup mencari sarung dari dalam kantongnya). (lalu tiba-tiba seperti kedinginan)
Hhhhhh, dinginnya. Hhhhhh. (dikenakannya sarungnya sehingga celananya tak
nampak).

MAE : Betul si Tukijan? Kau betul…

HAMUNG : Betul. Kenapa?

MAE : Kalau dia berniat pergi lagi besok atau lusa atau besok atau lusa seharusnya dia
tidak menolak. Tapi kenapa? (diam) Tak tahu saya. Tak tahu. (melihat arah darimana
Tukijan akan muncul)

HAMUNG : Barangkali banyak untungnya kelak. Siapa tahu? Barangkali kau lebih
senang juga. Tapi itu urusanmu. Nah, saya tentu saja tak hendak mencampuri sedikitpun.
Memang bukan watak saya ambil peduli urusan orang lain. Salah-salah malah
menjerumuskan.

MAE : Kelihatannya sangat aneh. Sangat lesu kelihatannya.


KOYAL : (semakin gemetar dan itu diselimutinya dengan gigilan dingin yang dibuat-
buat) Hhuuuuufff. Hhhhhhh, dinginya..

(Muncul seorang laki-laki sebaya dengan Hamung. Agaknya orang ini pendiam tapi
matanya tajam dan segera mengesankan sebagai seorang lelaki yang penuh
kesungguhan. Namun ia juga emosionil. Dia langsung duduk disebelah Mae. Retno tidak
pernah melihat kepadanya. Hamung bangkit.)

KOYAL : Kemana, Mung?

HAMUNG : Ngopi. (lenyap dalam kegelapan)

KOYAL : Ikut, Mung. (bangkit lalu lenyap dalam kegelapan)

(Sepi berapa detik. Angin)

TUKIJAN : Mae.

MAE : Mae mengerti (menangis)

TUKIJAN : Kalau sekali ini juga gagal lagi, saya berharap subuh nanti saya sungguh-
sungguh sudah punya ketetapan hati yang teguh; setidaknya sudah beli karcis lagi;
seharusnya memang begitu.

( Samar-samar dari kejauhan kedengaran orkes jalanan sedang memainkan keroncong


langgeng jawa tema cinta “erotik )

TUKIJAN : Mae tentu mengerti.

MAE : (mengangguk dalam sisa tangisnya)

TUKIJAN : Sama sekali salah kalau orang mengira bahwa niat saya ini didorong oleh
rasa ingin menolong. Kalau hanya lantaran perasaan itu barangkali tak perlu sampai-
sampai saya harus memperistri kau. Saya membutuhkan kau. Tak lebih dari itu.

RETNO : (Masih membisu)

TUKIJAN : Impian itu mesti diwujudkan, barulah ada artinya.

RETNO : (cuma memandang laki-laki itu. Itupun cuma beberapa saat).

TUKIJAN : Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semuanyya masih bakal. Yang
saya miliki hanya kemauan. Dan lagi kita hanya mendengar bahwa tanah di seberang
penuh kekayaan yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masih terpendam.
Segalanya. Di dalam tanah dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-sungguh
menghendaki, kita harus mengangkatnya ke permukaan hidup kita. Saya kira begitu.

RETNO : (kembali memandang lelaki itu).

TUKIJAN : Retno! Kau percaya? Saya tak peduli siapa kau. Saya hanyya membutuhkan
kau. Tak lebih dari itu. Saya tidak tahu tapi betul saya tak akan melakukan apa-apa
seandainya kau tak ada. Itu saja. Itu pun.
RETNO : Lantaran saya sangat mencintaimu, saya terpaksa menolak kau ajak.
Percayalah, kau akan lebih senang sekiranya kau berangkat sendiri. Tak ada orang yang
akan merepoti kau. Waktu kau lebih banyak.

TUKIJAN : ( bernafas berat. Sebentar menundukan kepalanya lalu melihat pada Mae ).

MAE : ( memandang kosong. ia hanya membayangkan dirinya menangis. kosong).

RETNO : ( tiba-tiba ) Setan! Setan! ( sebentar menutup mukanya lalu sekonyong ia


melangkah menyusup dan lenyap dalam kegelapan )

( Tukijan meludah. Bersama orkes jalanan yang sayup-sayup suaranya. Cahaya pentas
pun menyusup surut dan gelap mutlak akhirnya. istirahat Sesaat.)

BAGIAN KEDUA
Di Atas Mega

( Bersamaan dengan makin terangnya cahaya pentas, terdengar suara seruling Koyal
yang sumbang itu menyusup di sela-sela angin malam yang bergemuruh. Mae, Retno
dan Hamung sudah nyenyak tidur. Tukijan terbaring gelisah setengah tidur di atas tikar.
Sedangkan Koyal masih asyik masyuk di tengah impian-impiannya dengan serulingnya
duduk di bawah tiang listrik )

KOYAL : ( Berhenti main suling ) Uuuu. Uuuuu! Uuuuuu!! ( melepas nafas kepada
beringin ) Selamat malam, beringin tua. ( kepada bulan ) Selamat malam, bulan gendut. (
kepada rumputan ) Selamat malam rumput, ( memandang keliling ) Selamat malam
semuanya. Huh, malam! ( kepada bulan ) Apa? Melamun? Enak memang. Melamun itu
nikmat. ( kepada beringin ) Melamun juga kerja kan? Dan tidak cuma itu, Aku membeli
lotre untuk menjelmakan keinginanku. Uang! Uang! Uang! ( tertawa memperlihatkan
lotnya ) Lihat. ( kepada bulan ) Menang? ……Akan menang. Baru hammpir menang. (
kepada rumputan ) Kau yang tuli! ( kepada bulan ) Aku baru akan
menang…Tidak…satu bedanya (memperlihatkan sobekan koran ) Aku bacakan ya! (
membacanya lambat-lambat ) Di koran tertulis 4-3-2-4-8-0, sedangkan kepunyaan saya :
4-3-2-4-8-0, ( terkejut ) Heran aku (tak pecaya) Ah, mungkin aku salah baca. 4-3-2-4-8-
….0 ( kepada bulan ) He, aku menang artinya ( matanya makin melotot ) aku menang
sekarang ( tertawa ) Aku menang. Aku menang. Tentu engkau yang telah menyulap.
Bulan, kau, main-main. Tapi biarlah. aku senang ( tertawa ) Aku menang. He, rumpur
aku menang. (tertawa) Biar! Aku menang beringin tua. (tertawa) Biar. Enak! ( kepada
bulan ) Terimakasih, bulan. Terimakasih….Ya, enak. Segar, ya? Horeee!!! Hiudp bulan!
Hidup impian! Dongnengmu indah, sangat indah, bulanku. Horeeee!!!

( Sejak itu maka cahaya pentas pun berubah dengan cahaya yang fantastis. Koyal
berteriak kegirangan )

KOYAL : Horee!! Aku menang lotre!! Horee (diam) Melamun sendirian kurang nikmat.
Lebih asyik kalau kubangunkan semua orang. Semua saja (berteriak) Hoooooooiiiiiii!!!
Koyal menaaaaaaaaang!!! Aku menang lotreeeeeeeee!!! (tertawa) Kubangunkan saja
orang-orang itu.

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Mae bangun )


KOYAL : (berhenti main suling) Mae, lihat (menunjukan lotnya serta sobekan
korannya) Aku menang. Baca. Ayo, baca. Sama ya?

MAE : Mae tidak bisa membaca.

KOYAL : Mae bilang saja. Koyal menang!

MAE : Koyal menang! O, ya. Koyal menang!

KOYAL : (tertawa) Horeeee! Koyal menang!!!!

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Retno bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Ha, lihat. Aku menang, ya?

RETNO : Tadi kau bilang baru hampir menang?

KOYAL : Sekarang bilanglah; Kau menang!

RETNO : Kau menang – Setan

KOYAL : (tertawa) Horeee!!! Menang!!! Menang!!!

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Hamung bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Lihat Mung. Sama kan? 432480, di koran dan punyaku
juga 432480.

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Tentu saja. Kau?

HAMUNG : Ya percayaaaa.

KOYAL : Horeee!!! (tertawa) Menang!!! Horeee!!!

(Fantastis Koyal meniup sulingnya. Tukjan malas bangkit)

KOYAL : (berhenti main suling) Jan, katakan aku menang.

TUKIJAN : (diam dan jengkel)

KOYAL : Jan, katakan. Aku menang. Katakan.

TUKIJAN : (masih diam)

KOYAL : Jan.

TUKIJAN : (sekonyong meletus) Diam, anjing!

KOYAL : Tentu aku akan diam nanti setelah kau bilang aku menang.

TUKIJAN : (menahan amarhnya)


KOYAL : Jan, tolong. Tolonglah. Katakan aku menang lotre.

TUKIJAN : DIam tidak?

KOYAL : Tentu. Tapi katakan dulu.

TUKIJAN : Kutampar kau nanti.

KOYAL : Kau mau. Pasti. Pasti. Nah, katakan. Aku menang.

TUKIJAN : (dengan kesal) Kau menang! Monyet!

KOYAL : Ah, aku senang (tertawa) Horeee!!!

TUKIJAN : Mampus kau nanti. Gila.

KOYAL : Horeee!!! Koyal dapat lottre!!!

MAE : Kau tak boleh enak sendiri.

HAMUNG : Tak boleh

RETNO : Sama sekali tak boleh.

MAE : Kau tak boleh mengucapkan Koyal menang lotre. Di sini kau harus bilang; Kita
menang lotre (berteriak) KIta menang lotre!!!

KOYAL : Betuul (berteriak) Horeeee!!! Kita menang lotre!!! (tertawa)

MAE : Kau juga harus serukan itu. Retno.

HAMUNG : Ya, kau juga, Retno.

KOYAL : Kau juga, Hamung.

MAE : Juga Tukijan.

KOYAL : Ayo serukan, Retno.

RETNO : Aku menang lotreeee!!!

MAE : KIta.

KOYAL : Bukan kau!

RETNO : Kita menang lotreeee!!!!

KOYAL : Kau, Hamung.

HAMUNG : Kita menang lotreeee!!!

MAE : Sekarang kau, Tukijan.


TUKIJAN : (terpaksa) Kita menang lotre!

MAE : Sekarang kita sama-sama.

KOYAL : Ya. Kita sama-sama berseru sekarang. Satu, dua, tiga.

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Kurang keras. satu, dua tiga!

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Sedikit keras lagi. Biar orang mendengar seruan kita.

MAE : Ya, biar langit terbelah dan mengirimkan keajaibannya.

KOYAL : Satu, dua, tiga!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Satu, dua, tiga!!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!!

KOYAL : Satu, dua, tiga!!!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!!!!

TUKIJAN : Ini gila. Ini gila. Mimpi gila!

KOYAL : Biar. Lezat. (tertawa) Jangan terlampau sadar. Kita sibuk sekarang. Kita harus
urus kemenangan kita. Jangan biarkan waktu jadi terbuang. Kita harus punya rancangan.
Jadi pertama-tama kita harus menukarkan lot ini ke bank. Betul, Mung?

HAMUNG : Betul.

KOYAL : Uang! Uang! Uang! (tertawa) Kita ke bank sekarang.

RETNO : Jam berapa sekarang?

( Lonceng keraton berdentang tiga kali.)

RETNO : Terang sudah tutup.

KOYAL : Perduli amat. Begitu, kan Mung?

HAMUNG : Begitu.

KOYAL : KIta mulai, bulan sayang (pada Retno) Iya. Perduli tutup perduli buka. Uang,
uang kita. Kalau perlu bank itu kita beli. Akur, Mung?

HAMUNG : Akur.
KOYAL : Uang. (tertawa) Kita ke Bank sekarang. Tidak jauh dari sini. Dekat kantor
pos. Setuju?

SEMUA : Setuju.

KOYAL : Kemana kita?

SEMUA : Ke Bank.

KOYAL : Tukar apa kita?

SEMUA : Tukar uang.

KOYAL : Uang siapa punya?

SEMUA : Uang kita punya.

KOYAL : Siap semua!

(Semua siap berbaris)

KOYAL : Kita serbu gudang uang. Maju jalan!

SEMUA : (sambil jalan ke krii) Kita serbu gudang uang. Kita bongkar kantor Bank.

( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai sayup-sayuo dan lenyap. Lampu jalan
tergoyang-goyang. Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa
lama. Dari sebelah kanan itu muncul mereka berada di muka Bank sekarang. Gednug itu
bertingkat dua.)

KOYAL : Untung sekali kita. Direktur Bank ini berumah di bagian atas gedung ini.

MAE : Mae pernah tidur disana.

HAMUNG : Saya pernah tidur dimana-mana.

RETNO : Tapi kita agak payah juga. Kita tak bisa mengetuk pintu itu. Bagaimana bisa?
Ketukan kita tak akan ada artinya. Sama sekali pada pintu berterali besi itu.

KOYAL `: Susah-susah. Apa tidak ada yang bernama batu di atas dunia ini. (tertawa)
Akur tidak, Mung?

HAMUNG : Akur.

MAE : Tapi sebelum kita pergunakan batu, kita coba dulu dengan seruan kita.

KOYAL : Boleh juga. (berseru) Pak Direktur!!! Ayolah.

SEMUA : Pak Direktur!!! (tertawa) Pak DIrektur!!!! (Tertawa) Pak Direktur!!!!

MAE : Kerbau juga tidur orang gede itu.


HAMUNG : Baru tau? Orang gede itu daging semuanya. Seperti kerbau. Apalagi kalau
sedang tidur.

KOYAL : Terpaksa dengan batu.

RETNO : Kalau dia marah?

KOYAL : Kita kan punyya uang. Sumbat saja mulutnya dengan uang.

HAMUNG : Uang itu sumbat ajaib.

KOYAL : Ayo, ambil batu yang besar. Masing-masing satu.

(Semua ambil batu)

KOYAL : Ayo, kita ketuk saja keras-keras.

(Lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi.


Sound Effect.. Lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi.
Sound Effect)

SEMUA : Pak Direktut!!!

( lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi. Sound effect )

RETNO : (menunjuk ke atas) Itu dia. Kasihan. Masih dalam kanttuknya.

MAE : Hmmmm. Gemuknya. Persis babi.

HAMUNG : Tidak,. Babi di kebiri.

SEMUA : (tertawa)

RETNO : Hush. Betul kataku. Dia marah-marah.

KOYAL : Maaf, pak–Kebutuhan mendesak.

MAE : Betu;, Tuan.

RETNO : — Tapi sangat mendesak sekali.

KOYAL : —Tukar lotre, pak. Maksud kami, kami menang lotre. Kami mau tukar. —
Tidak pak. Kami butuh malam ini.

RETNO : Kasihan dia. Menguap terus.

MAE : Husssh.

KOYAL : Tapi uang, uang kami kan? Kenapa mesti tunggu segala? — Tidak, pak.
Tidak bisa.

HAMUNG : Tidak.
MAE : Tidak bisa

RETNO : Tidak. Tidak.

KOYAL : — Apa? —- Sungguh-sungguh pak? — (pada kawan-kawannya) Apa betul


omongannya?

RETNO : Tentu saja betul.

MAE : Tentu saja.

HAMUNG : Tentu.

KOYAL : Bagaimana, Jan?

TUKIJAN : (marah) Betul!!!!

KOYAL : (tertawa) Jadi betul kita bebas beli apa saja cuma dengan menunjukan lot ini,
Mung?

HAMUNG : Betul.

KOYAL : Cuma dengan menunjukan lot?

HAMUNG : Cuma dengan menunjukan lot.

KOYAL : (tertawa besar kesenangan) Horeee!! Hidup Pak Direktur!!!!

SEMUA : Hidup!!

KOYAL : Hidup uang!!!

SEMUA : Hidup!!!

KOYAL : Terimakasih, Pak. Silakan meneruskan tidur.

SEMUA : Selamat tidur, Pak (tertawa).

KOYAL : Kemana kita sekarang?

RETNO : Ke mana?

KOYAL : Mae?

MAE : Mae? Mae ingin makan.

RETNO : Makan gudeg.

MAE : Iya, gudeg.

KOYAL : Ke mana, Mung?

HAMUNG : Ke mana saja.


MAE : Ke tempat di mana kita paling sering dihina orang.

KOYAL : Ke pasar Gede Beringharjo.

MAE : Itu salah satunya. Tapi baik juga.

KOYAL : Ayo, Siap semua.

( semua berbaris )

KOYAL : Ke pasar makan gudeg.

SEMUA : (ambil jalan ke kanan) Ke pasar makan gudeg.

( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup


kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai makin jelas lagi kedengarannya agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka pasar sekarang. Di sana banyak becak
yang parkir. Juga bakull-bakul sudah mulai meramaikannya dengan jual beli mereka )

RETNO : Kebetulan sekali. Cuma ada seorang disana yang sedang makan.

KOYAL : Nampaknya malah sudah selesai.

MAE : Sudah ramai benar pasar.

HAMUNG : Memang waktunya. Sekarang sudah hampir pagi.

TUKIJAN : Kita ini mimpi.

KOYAL : Cerewet! Soalnya kan kita cari kenikmatan!

TUKIJAN : (menantang) Apa?

KOYAL : (ketakutan) Tidak—Kenapa takut? Bukankah malam ini saya yang jadi raja?
(pada bulan) Bukankah begitu bulan?—-Harus? Baik (seketika berubah sikap untuk
meyakinkan dirinya ia bertolak pinggang) He, Jan! Dengar!

TUKIJAN : (takut) Ya, Yal.

KOYAL : Kamu jangan banyak cerewet ya?

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Malam ini kita akan makan kabut.

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Dan menelan bulan.

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Kita akan mengenakan pakaian dari angin.


TUKIJAN : Iya, Yal.

MAE : Kalau perlu kita akan mencoba meniti garis kaki langit.

TUKIJIAN : Ya, Yal.

KOYAL : (pada bulan) Begitukah, bulan? (tertawa) Enak juga.

RETNO : E, kita ini jadi makan apa tidak?

KOYAL : Kenapa pula urung. Ayo. Makan sekenyang-kenyangnya. Toh cuma mega—-
Hamung, yang baik cara kau berjalan.

HAMUNG : Lupa? Pincang (menunjuk kakinya)

KOYAL : (tersenyum agung) O, ya (pada mae) Mae, cepat sedikit berjalan supaya tidak
kalah dengan matahari. Kalau ketinggalan akan sia-sia saja pesta kita. Nah, ambil tempat
duduk masing-masing. Hamung, sopan sedikit. Sopan santun diperlukan bagi siapa saja
yang memilki kekayaan. Dan kita? Kaya. Mulya. Faham? (akan duduk) Permisi, mas
(duduk) Retno di sisi saya. Yang lain satu deret. (diam) Jangan pergi dulu, mas.
Saksikan dulu pesta kami —- Makan lagi? Boleh saja. Sepuas anda (tertawa) Dunia kita
yang punya. Semuanya kita yang punyya (tertawa) Monggo, monggo. Silahkan. Sampai
ketemu. Kalau kesusahan soal uang temui saja saya mas. Rumah kami di…… (pada
Mae) Di mana, Mae?

MAE : Baru dibangun besok. Besok jadi.

KOYAl : Baru dibangun. Besok jadi. (tertawa) Monggo. Monggo

HAMUNG : Kopi susu panas, pak!

RETNO : Saya coklat susu panas, pak!

KOYAL : Mae apa?

MAE : Teh susu panas.

KOYAL : Teh susu panas satu. Lalu satu gelas campuran dari ketiga macam minuman
yang tadi (oada Tukijan) Segera kau pesan, Jan. Jangan sampai kadaluarsa seperti
Sangkuriang.

TUKIJAN : Minuman yang tidak ada, pak!

RETNO : Bagaimana, mbak yu? — Dada mentok.

KOYAL : Saya juga mbakyu. (pada yang lain) Kalian sama?

HAMUNG : Tambah telor lima butir.

MAE : Yang lain tidak usah kecuali enam potong hati dan rempelo.

TUKIJAN : Campur aduk bijih besi dan kawat yang ruwet.


( Begitulah mereka mendapatkan minuman mereka masing-masing. Begitulah mereka
mendapatkan makanan mereka masing-masing. Mereka bersantap dengan sopan dan
rakus sekali, kecuali Tukijan )

KOYAL : Enak jadi orang kaya, bukan?

RETNO : Ya. Terang enak. ( pada Mae ) Bagaimana, Mae?

MAE : Tidak tahu.

KOYAL : Bagaimana menurut kau, Mung?

HAMUNG : Sama saja.

KOYAL : Tentu saja tidak sama.

HAMUNG : Ya, tidak sama.

KOYAL : Sudah kenyang semua?

SEMUA : Sudah.

KOYAL : Minuman dulu. Hitung, pak. — Gudeg berapa, mbak yu? — Ya, semuanya
saja lihat lot ini dan lihat sobekan koran ini. —- Ha, beres? — (tertawa) Kalian lihat?
(tertawa)

SEMUA : (tertawa)

KOYAL : Ke mana lagi kita?

RETNO : Sesudah makan tentu saja harus kita fikirkan soal pakaian.

HAMUNG : Tangkas sekali fikiranmu.

KOYAL : Ya, untuk melengkapi sopan-santun, kita harus membalut badan kita dengan
pakaian yang gemerlapan sehingga segalanya tersembunyi rapih.

RETNO : Kita ke toko Kim Sin.

KOYAL : Kita borong semua yang ada.

MAE : Saya akan ambil boneka.

HAMUNG : Betul semuanya.

TUKIJAN : Betul sekali. Saya butuh kampak dan cangkul.

KOYAL : Baiklah kita semuanya siap berangkat sekarang. Kita ke toko Kim SIn

( Beberapa kali mereka menyuarakan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka toko ramai sekarang. Pengusaha toko
kebetulan ada di muka pintu )

RETNO : ( gugup senang ) Selamat malam, taokeh.

KOYAL : Jangan sebut taokeh. Kita ini pembeli.

MAE : Selamat pagi, tuan.

KOYAL : Apa kita budaknya? Dan lagi sekarang belum waktunya matahari
mempertontonkan dirinya. Kalau sempat waktunya, tentulah selesai pula kita memiliki
kekuasaan ini. (dengan cara merendahkan Cina itu dan memegang pundah Cina itu)
Selamat malam menjelang pagi. Heh, selamat malam menjelang pagi. (Cina itu
melepaskan diri dari tangan Koyal) Apa? Sopan? —- Memang kamu bukan budak saya
— (kejam) Ya, tadi memang kamu bukan budak saya. Tapi dalam beberapa menit ini
kamu adalah budak saya. Di tangan saya ada cukup uang untuk mmenjadikan siapa saja
budak-budak saya — Jangan ajari saya soal kesopanan. Saya tahu saya kaya. Dan saya
tahu sopan santun itu cuma milik mutlak orang kaya dan saya…

MAE : Kita!

KOYAL : Kita…

RETNO : Kita!

KOYAL : Kami. Kami adalah orang-orang kaya pada saat ini. Lagi pula apa sebenarnya
yang mendorong kamu orang untuk tersinggung? padahal saya…

MAE : Kami datang akan menimbuni kamu orang dengan keuntungan yang berlebihan
dibanding dengan kebutuhan kamu orang untuk makan — Ya, pakaian biar sopan —
Bukan. Bukan untuk menghindari dingin. Demi sopan santun. Kalau hanya karena
dingin kita berpakaian maka pada musim kemarau kita tak perlu berpakaian artinya.
Jadi, biar sopan. Paham? Biar semuanya tersembunyi. Tapi apa perlunya kita berbincang
soal ini. Yang penting ini. Untuk kamu orang keuntungan, dan untuk kami orang
pakaian. Beres? (pada kawan-kawannya) Ketawa dia.

(semua ketawa)

KOYAL : (pada cina) Ya, ya …. (pada kawan-kawannya) Ayo masuk kita (pada cina)
Tidak. Tidak usah dibuka semua pintu. Cukup pintu ini saja. Kami maklum sebenarnya
toko sudah tutup kan.

( Semuanya masuk melalui pintu yang sempit itu. Mereka menyerbu lemari-lemari di
mana pakaian-pakaian bertumpukan dan juga barang-barang lain dipamerkan)

RETNO : Oh, Tuhan. Betapa bahagia saya. Sudah lama saya impi-impikan barang ini
(pada Mae) Lihatlah, Mae. Mungil. B-H ini sangat bagus, bukan?

MAE : Bagus sekali, Retno. Bagus sekali. Coba pilihkan Mae satu.
KOYAL : Satu! Satu kotak sekalian. Kamu tidak boleh begitu gampang melupakan
bentuk pakaian yang pertama setelah lama nenek-nenek kita kedinginan, eh bukan!
Setelah lama nenek-nenek kita tidak sopan.

HAMUNG : Bisa terus pakai di sini. Bah? — Terima kasih. Ah, pelayanannya sangat
memuaskan sekali ( ke tempat ganti pakaian)

( Koyal mendekati Hamung. Dia juga ganti pakaian. Dia mengenakan kemeja lebih dulu
kemudian celana. Setelah bercermin, ia bercermin pada Hamung)

HAMUNG : Kau tampak kukuh sekarang.

KOYAL : Persis bapak saya. Seperti orang Belanda, ya? (bangga)

( Lalu ia mencari dasi sekarang )

HAMUNG : Ah, pakai dasi segala.

KOYAL : Embel-embel. Biar sopan. Sopan itu embel-embel. Di sini (tertawa)


Bagaimana cara memasangnya?

HAMUNG : Kira-kira saja. Asal pantas.

( Koyal kini mondar-mandir menikmati pakaiannya. Demikian juga Hamung. Tukijan


sampai saat itu belum mendapatkan apa yang dikehendaki. Bahkan ia dibantu oleh Cina
pemilik toko. Tiba-tiba Retno dan Mae exit )

KOYAL : Hai, mau ke mana?

RETNO & MAE : (off stage) Ganti pakaian!

TUKIJAN : Ini dia! (begitu senangnya tangan pada dadanya)

KOYAL : Apa?

TUKIJAN : Kampak.

HAMUNG : COba sebatang, Yal.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Rokok.

(Koyal dan Hamung merokok)

TUKIJAN : Itu dia! (lari mendapatkan) Oh.

KOYAL : Apa Jan?

TUKIJAN : Cangkulku. Cangkulku. Hidupku. Hatiku

( Mae muncul, begitu lari ia mendapatkan sesuatu. Dipeluknya dan diciumnya kini. Dia
menangis kini)
MAE : Kangen….kangen….oh, anakku….kangen….. cah
bagus…..bonekaku…mataku….hidungku…tanganku….kakiku….
KOYAL : (heran takjub luar biasa) Aduuuh!

HAMUNG : Ada apa?

KOYAL : (menggeleng-geleng kagum dan nafasnya turun naik) Aduuuh, bidadari


sungguh-sungguh. Ratu bidadari. Aduuuuh, seribu bidadadri jadi satu.

( Retno dengan kemayu muncul )

KOYAL : Semuanya takluk. Aduuuh. Bagaimana bisa begitu cantik. Bisa-bisanya kau
jadi bidadari.

HAMUNG : Kau, cantik, Retno.

RETNO : Baru tahu sekarang?

KOYAL : Maksud saya kau jauh lebih, jauh lebih cantik dalam pakaian merah menyala
dengan ukuran yang ketat seperti itu.

( Tukijan membuang kampaknya )

KOYAL : He, kenapa? Kenapa dia buang kampaknya?

Tukijan membuang cangkulnya.

KOYAL : He, nanti dulu. Kenapa dia lempar cangkulnya?

MAE : Cemburu dia.

HAMUNG : Biasa. Tukijan. Cemburu.

KOYAL : Betul kau cemburu, Jan?

TUKIJAN : (melotot)

KOYAL : Lalu kenapa?

TUKIJAN : (melotot)

RETNO : Memang dia cemburu. Tidak mungkin dia tidak cemburu.

MAE : Tukijan, anakku sayang.

( Tukijan diam saja )

KOYAL : Kau jangan diam saja, Retno.

RETNO : (dengan genit) Kau cemburu, Mas Jan?

TUKIJAN : (sekonyong meleddak) Cape, Bangsat! Orang bisa cape oleh impian apa
oun. Lumpuh. Bajingan! Bajingan!
( Koyal menengadah )

KOYAL : Bagaimana, bulan? Apakah saya masih berkuasa? — Baik (bertolak


pinggang) He, Jan. Kau jangan mentang-mentang, ya!

TUKIJAN : (ketakutan) Tidak, Yal. Sungguh mati saya tidak mentang-mentang.

KOYAL : (lebih bangga) Saya tahu kau cape. Ya?

TUKIJAN : Cape.

KOYAL : Ingin istirahat? Mengaso?

TUKIJAN : Mengaso.

KOYAL : Katakan saja itu lebih baik. Ini peringatan terakhir ; ingat-ingat dengan baik
perananmu malam ini.

TUKIJAN : Saya usahakan.

KOYAL : Juga yang lainnya.

SEMUA : Saya usahakan.

KOYAL : Nah, karena saya juga cape kita harus mengaso. Tapi karena kita orang-orang
terkaya di seluruh jagat raya ini maka sudah sepatutnya tempat istirahat kita pun
terhebat. Ada usul?

MAE : Kaliurang.

RETNO : Kita semua pernah ke sana. Saya kira akan menyenangkan sekali kalau kita ke
Tawangmangu.

TUKIJAN : Sama saja.

MAE : Yang penting saya boleh naik kuda, kuda putih.

KOYAL : Bagaimana?

SEMUA : Tawangmangu.

KOYAL : Siap semua. (semua berbaris) Kita ke stanplat bus.

SEMUA : (sambil jalan ke kiri) Kita ke stanplat bus.

( Beberapa kali mereka menyerukan itu sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu-lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai lagi jelas kedengarannya setelah agak beberapa lama. Dari sebelah
kanan mereka muncul. Mereka di stanplat bus kini)

KOYAL : (tergesa) Ha, itu dia (mengejar) Solo! Solo! Sombong betul dia. Bagaimana
kalau kita sewa sedan saja?
HAMUNG : Kita bisa langsung.

RETNO : Begitu lebih baik. Kita bisa langsung. Bisa lebih cepat.

( Koyal mendekati sedan itu. Dia tampak berunding. Tapi kita tidak bisa mendengar apa
yang mereka cakapkan sebab mereka agak jauh. Akhirnya kita tahu koyal tersenyum dan
melambaikan tangannya. )

KOYAL : Ayo!

( Semua mendekati sedan itu. Satu demi satu masuk ke dalamnya. Koyal dengan Retno
duduk di muka di samping supir. Tak berapa lama mereka pun berangkat )

MAE : Naik apa kita?

KOYAL : Sedan!

MAE : (tersenyum) Lupa.

(Angin menderu-deru)

RETNO : Kita tidak mampir dulu ke prambanan?

HAMUNG : Mungkin saya dilahirkan di dalam candi sana.

KOYAL : Betul?

HAMUNG : Saya bilang mungkin. Mungkin saja saya dilahirkan di atas pohon kelapa
(tertawa)

RETNO : Kita tidak singgah dulu?

( Sekonyong kendaraan itu sangat kencang larinya. Mereka tegang. Retno akan
mengucapkan sesuatu tapi Mae mengisyaratkan dengan jari pada bibirnya. Sekonyong
sedan itu berhenti tiba-tiba. Tentu saja mereka sangat terkejut dan terdorong ke depan )

KOYAL : (pada sopir) Betul. Hampir saja.

( Sedan berangkat lagi )

RETNO : Apa?

KOYAL : Hampir ketabrak. Untung sopir kita ini seroang sopir tua yang cekatan.

RETNO : Cuma hampir. Untung sekali.

KOYAL : Lebih dari untung.

RETNO : Panjang umur orang itu.

KOYAL : Bukan orang. bebek!


MAE : Bukan bebek. Ayam. Di tawangmangu banyak benar orang jual sate ayam yang
bukan ayam.

TUKIJAN : (jengkel) Mana ada sate ayam yang bukan dari ayam.

MAE : Ada. Sate kelinci

KOYAL : Ya namanya sate kelinci.

MAE : Tidak. Namanya sate ayam.

RETNO : Kenapa?

MAE : Tidak apa-apa. Cuma satu cara untuk cari keuntungan.

TUKIJAN : Habis perkara.

( Angin. Dari jauh kedengarannya anak-anak menyanyikan “naik-naik ke tawangmangu”


)

(Fade in. Fade Out)

MAE : Nah, yang berbaju kembang-kembang itu. Yang rambutnya agak keriting

KOYAL : Apa?

MAE : Dia turut dalam truk anak-anak sekolah itu.

KOYAL : Kenapa?

MAE : Anak Mae dia

RETNO : Sampai kita.

KOYAL : Kita sudah sampai.

MAE : Sampai (girang sekali) Tawangmangu.

( Secara mekanis ia menunjukan lot pada sopir lalu ke luar dari sedan setelah sang sopir
mengangguk )

KOYAL : Terima kasih.

( Semua keluar dari sedan itu )

RETNO : Bangun. Mas Hamung, bangun.

( Dengan malas Hamung bangun dari tidurnya. Ia telah tertidur lama sekali. Begitu
bangun keluar dan begitu mendekati salah seorang penjual jeruk )

KOYAL : Segar sampai ke tulang.


HAMUNG : Sungguh-sungguh manis? —- Ya, saya tahu jeruk ini jeruk Tawangmangu.
—- Berapa sepuluh? — Berapa? Mahal betul?

( Retno segera menuju ke tempat di mana beragam kembang tumbuh. Sedang Mae sibuk
memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk. Dan Tukijan jongkok memandang
sawah ladang yang membentang. Adapun Koyall sedang menatap tuannya, sang
purnama )

TUKIJAN : Cuma otot dan otak yang dibutuhkan tanah-tanah itu Sumatera.

HAMUNG : Mahal ah.

MAE : (melihat kabut) Kabut itu. Hidup ini.

HAMUNG : Kenapa di sini justru lebih mahal? (berseru) Yal !

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Beli jeruk.

KOYAL : (menunjukkan lot) Nah, lihat!

HAMUNG : (pada penjual jeruk) Lihat! (dengan cuma-cuma mengambil tiga buah)

KOYAL : Terimakasih, bulan saya sangat terharu. Terimakasih.

MAE : Saya membutuhkan seekor untuk mendaki kabut itu.

HAMUNG : (berseru) Jan! (melemparkan sebuah padanya)

TUKJAN : (setelah dipandangnya jeruk itu lalu dengan malas dilemparnya)

( Hamung mendekati Mae dan menyerahkan sebuah )

MAE : Saya tidak membutuhkan jeruk. Saya tidak pernah ngidam. (menangis) Saya
ingin naik kuda.

RETNO : Saya juga butuh seekor. Biar tidak cape kita mendaki puncak sana. Ah, betapa
indahnya air terjun itu pasti.

KOYAL : Tu ada seekor — Mana lagi mas?

RETNO : Ada seekor lagi. Warnanya putih sama sekali.

MAE : Yang berwarna putih untuk Mae — Menunggang awan.

KOYAL : Kurang berapa? Satu. kan?

HAMUNG : Itu dia.

KOYAL : (kepada para pemilik kuda) Saudara-saudara kami memerlukan kuda-kuda


itu. Sekarang lihat! (memperlihatkan lot) Beres. Beres — (tertawa) — Beres (bangga)
Ayo. Naiklah sendiri-sendiri.
( Pertama Retno. agak kesukaran )

RETNO : Tidak galak tho. pak’e?

MAE : Kebetulan kecil sekali. Kecil mungil oh, putih seperti awan. Tolong Mae dibantu
sedikit (dengan dibantu dan agak susah menunggang kuda)

KOYAL : Ah, sekarang saya jadi koboy (tertawa senang)

( Semua sudah siap di punggung kuda masing-masing )

RETNO : Kita ke tempat air terjun. Pake— Yuk, kita berangkat.

( mereka berangkat )

MAE : Menyenangkan. Bukan main menyenangkan menunggang awan.

( Mereka lenyap ke kiri lalu muncul lagi dari sebelah kanan )

HAMUNG : Dingin kau, Yal?

KOYAL : (tertawa) Mana dingin? Saya mengenakan jas dan dasi. Bukan dingin, tapi
segar. Segar bugar. Bahkan kita seperti telanjang badan.

MAE : Ini namanya kesejatian. Nafas bayi — lepaskan, le. Saya akan melarikan kuda ini
cepat-cepat ( dibawa lari oleh kudanya )

RETNO : Hei, nanti jatuh, Mae!

( Mae telah lenyap. )

RETNO : Lepaskan Pak’e

HAMUNG : Lepaskan, Mas.

KOYAL : Lepaskan, dik.

TUKIJAN : Lepaskan.

( Dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. Mereka muncul. Mereka
lenyap. Mereka muncul lagi )

( Angin mengaduk-aduk. Cahaya semakin suram )

RETNO : Di mana dia?

KOYAL : Di sana tak ada.

RETNO : Di situ tak ada.

HAMUNG : Di sebelah sana juga tak ada.

KOYAL : Di sebelah situ juga tak ada.


RETNO : Kita terus saja ke ujung sana.

( Lagi dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. mereka muncul.
Mereka lenyap. Mae muncul dengan kudanya yang larat dan berhenti tiba-tiba di sudut
panggung kiri atas. Cahaya hampir hilang sama sekali )

( keempat yang lain muncul, dan berhenti. Angin sama sekali tak ada. Kini seluruhnya
hanya ilhuet )

RETNO : Itu dia. (berseru) Mae! — Ia tersangkut di kabut.

MAE : Mae!

HAMUNG : Mae!

TUKIJAN : Mae!

MAE : Mae sedang mengecap bahagia.

KOYAL : Ada apa disana?

MAE : Kabut ini maksudmu?

KOYAL : Ya, ada apa disana?

MAE : Asap dupa.

( Mereka tak mengerti mereka bertanya-tanya )

RETNO : Apa lagi Mae?

MAE : Air mata.

( Mereka tak mengerti mereka bertanya-tanya )

HAMUNG : Yang lainnya, Mae?

MAE : Kuburan.

TUKIJAN : Kuburan siapa, Mae?

MAE : Mae sangka mereka pahlawan-pahlawan. Ada tulisan jawa pada sebilah batu
besar.

TUKIJAN : Apa bunyinya?

MAE : “Jawabannya adalah sunyi. Merekalah yang mencoba menjawab, namun


sesunggunya mereka jualah ujud jawabannya. Sunyi ”

RETNO : (tiba-tiba ketakutan) Kita harus segera turun. Harus segera. Tak tahan.

KOYAL : Mae! Turunlah segera dari kabut itu.


SEMUA : (kecuali Retno yang menangis) Turun! Turun! Mae!

( Mae melarikan kudanya dan lenyap. Setelah agak lama ia muncul di muka mereka.
Tanpa kata. Dalam sunyi mereka segera berbalik dan melarikan kudanya masing-masing
kembali ke tempat semula. Mereka lenyap. Mereka muncul. Angin. Cahay demi sedikit
kembali terang)
( Mereka semua turun dari kudanya. Retno terus menangis )

MAE : Kenapa menangis, nak Retno?

RETNO : Terus menangis.

MAE : Kenapa? Kenapa, nak Retno?

RETNO : ( dalam tangisnya ) Pulang.

MAE : Benar. Kita harus pulang. Semua orang setelah sejauh apapun berjalan mesti
kembali pulang ke rumahnya. Tapi dimana rumah kita?

RETNO : Ya, kemana kita akan pulang?

MAE : Ini juga pertanyaan.

KOYAL : Di mana?

HAMUNG : Di mana saja. Rumah saya dunia.

MAE : Keraton.

HAMUNG : Beli saja.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Kalau perlu kau beli saja keraton Mataram itu.

KOYAL : (terbahak-bahak) Setuju. Semua menyiapkan diri.

( Semua berbaris )

KOYAL : Kita berangkat. Keraton kita beli.

SEMUA : (seraya berangkat) Keraton kita beli. Raja kita beli. Keraton kita beli.

( Beberapa kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayp
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduk-aduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Lonceng Keraton berdentang satu kali; setengah tiga. Suara mereka kembali jelas setelah
agak beberapa lama. Dan lalu muncullah mereka. Di sitihinggil kini.

MAE : (melihat keliling) Keramat. Keramat. (gemetar) Sinuwun Gusti Ndalem nyuwun
ngapunten.
KOYAL : (menunjuk dirinya) Inii Sinuwun Gusti. Semua jangan salah dan keliru.
(berlagak raja jawa) Ha, ha, ha…..Kebetulan. Mereka telah boyong, sebelum kita
menghunus keris dan tombak-tombak prajurit diangkkatkan, paman patih.

HAMUNG : (berlaku sebagai patih) Demikianlah yang tersedia, Gusti.

KOYAL : Ajow, kemenangan tanpa setitik keringat.

HAMUNG : Demikianlah adanya, Gusti. Kemenangan angan-angan.

KOYAL : Paman Patih.

HAMUNG : Hamba, Gusti Prabu?

KOYAL : Ibunda.

MAE : Ada apa, ananda Raja?

KOYAL : Cuma memanggil. (diam) Rajinda.

RETNO : Kanda.

KOYAL : Paman Patih.

HAMUNG : Adakah yang dapat hamba lakukan, Gusti?

KOYAL : Aku hanya memanggil. (tertawa) Bulan, sejak kini permainan yang kau
ciptakan luar biasa sekali. Kenikmatan yang kau kirim terasa sangat aneh. Badan saya
tergetar-getar jadinya. Enak. Enak. (tergetar-getar seperti kedinginan) Nikmat. Nikmat.
(tertawa) Ibunda.

MAE : Mengapa, nanda sayang?

KOYAL : Sewaktu Ibunda melahirkan ananda, apakah mendiang ayahanda tidak


kelupaan sesuatu?

MAE : Kelupaan apa, ananda?

KOYAL : Memberi nama ananda.

MAE : Betul juga. Oh, baru ibunda ingat sekarang. (pada Hamung) Patih.

HAMUNG : Hamba, bunda Ratu?

MAE : Kita harus mencari nama sekarang.

HAMUNG : Apa tidak sebaiknya nama koyal saja, Gusti?

KOYAL : Nama siapa itu?

HAMUNG : Nama Gusti Prabu.

KOYAL : Cuma satu? Begitu pendek.


MAE : Itu nama kecil (pada Hamung) Sekarang marilah kita cari nama gelar yang
sepadan dengan kesaktian dan keagungan dan cita-cita ananda Prabu.

HAMUNG : Tepat saatnya. Bulan Syura. Sang Dewa Waktu telah berkenan hadir
malam ini untuk meramaikan keraton jaya ini, dengan anugerah kemenangan besar
kerajaan mega dan berkenan pula semoga Sang Hyang membisikkan ilham wahyu
sebuah nama yang gagah megah pada telinga Sinuwun Gusti Koyal. Sehingga karenanya
kerajaan mega dengan rakyatnya yang bergumpal-gumpal banyaknya akan beroleh raja
gagah megah dengan nama gelar yang megah gagah.

MAE : Dengarlah; Sultan Batara Nirwana. Apakah bukan anam yang merdu?

KOYAL : Cukup merdu tapi terlampau pendek untuk bisa dinyanyikan.

HAMUNG : Sekiranya hamba diperkenankan, Gusti?

KOYAL : Tentu. Cobalah.

HAMUNG : Sultan Raja Purnama Maha Raja.

RETNO : Kanda.

KOYAL : Ya. Adinda?

RETNO : Apa tidak kena kalau kanda bergelar Pangeran Endah Takterperi?

KOYAL : (manggut) Bagus sangat. Tapi saya kira ketiga-tiganya sama-sama bagus.

HAMUNG : Jatuh tersila pada Sinuwun Gusti Prabu tentunya.

KOYAL : Saya tidak usah memilih. Yang terbaik adalah menggunakan ketiga-tiganya.

HAMUNG : Bagaimana, Gusti?

KOYAL : Malam ini saya bergelar, siapa Rajinda?

RETNO : Pangeran Endah Takterperi.

KOYAL : Lengkapnya begini; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, kau punya usul,
Paman?

HAMUNG : Sultan Raja Purnama Maha Raja.

KOYAL : Jadi, Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh Purnama Maha Raja, eh, Ibu
punya kemauan bagaimana tadi?

MAE : Sultan Batara Nirwana.

KOYAL : Komplit ; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh, Purnama, eh, Maha
Raja, eh, Batara Nirwana. Bagaimana Paman Patih?

HAMUNG : Agung nian, Gusti Prabu.


KOYAL : Coba kau yang sebutkan.

HAMUNG : Tidakkah lidah hamba terlampau pendek?

KOYAL : Maksud, paman?

HAMUNG : Ampuni hamba, Gusti, hamba bertanya tidakkah nama sepanjag itu tidak
sukar menyimpannya.

KOYAL : Panjang sekali sukar dihafal, pendek sekali sukar untuk dinyanyikan. (diam)
Kita bagi empat saja. Begini. Pertama, setiap kali saya menyebutkan Pangeran Raja
Sultan.

RETNO : (segera) Endah Takterperi.

HAMUNG : (segera) Purnama Maha Raja.

MAE : (segera) Indera Kehiyangan.

KOYAL : (tertawa) Ya, begitu maksud saya. Raja Pangeran Sultan.

RETNO : Endah Takterperi.

HAMUNG : Purnama Maha Raja.

MAE : Indera Nirwana, eh, Batara Nirwana.

TUKIJAN : Ampuni hamba, Gusti.

KOYAL : Ya.

TUKIJAN : Apakah jabatan hamba dalam kerajaan mega ini, Gusti?

KOYAL : Boleh kau pilih sesuka kau.

TUKIJAN : Kalau begitu hamba akan bertindak, selaku Bendaha Istana sahaja.

KOYAL : Terserah.

TUKIJAN : Ampuni hamba, Sinuwun Gusti. Sehubungan dengan kewajiban hamba,


perkenankanlah hamba bertanya bukankah tatkala Paduka berkenan belanja di toko Kim
Sin Paduka telah khilaf, maksud saya Paduka belum bayar?

KOYAL : Apa benar demikian, Paman Patih?

KOYAL : Apakah benar demikian, Ibunda?

MAE : Apakah itu tidak berarti dengan semena-mena kita dituduh ceroboh dan tidak
senonoh?

KOYAL : Jadi?

HAMUNG & MAE & RETNO : Ada udang dibalik batu.


KOYAL : (pada Tukijan) Bagaimana?

TUKIJAN : Sama saja.

KOYAL : (tersinggung) Sama bagaimana?

TUKIJAN : Semuanya mega.

KOYAL : Benar juga.

TUKIJAN : Kalau begitu mari ramai-ramai kita bakar saja kerajaan ini.

KOYAL : (murka) Mau berontak?

MAE : (semangat) Pemberontakan?

HAMUNG : Pemberontakan?

RETNO : Pemberontakan?

TUKIJAN : (meledak) Cape! Kita jadi sinting semua!

MAE : (semangat) Penghinaan!

KOYAL : (murka) Saya yang di sini jadi raja yang bergelar Pangeran Sultan Raja.

RETNO : (murka) Endah Takterperi!

HAMUNG : (murka) Purnama Maha Raja!

MAE : (murka) Batara Durga!

KOYAL : (tertawa dibuat-buat seperti raja) Jangan bicara sembarang bicara. Bicara
sopan besar anugrahnya. Penghinaan, perang akibatnya. Di sini raja bukan sembarang
raja. Raja sakti mandraguna (manggut-manggut). Masih ada ampunan. Nah, kalau kau
ada usul apa usulmu, kalau ada kehendak, ucapkan semerdu-merdunya.

TUKIJAN : Hamba cape. Kita semua nanti bisa jadi hilang fikiran dan hilang ingatan.

RETNO : Penghinaan lagi!

MAE : Habiskan riwayatnya!

HAMUNG : Huru Hara!

KOYAL : Sabar. Sabar. (pada Tukijan) Ulangi kalimat pertama saja. Kalimat
selanjutnya kau simpan saja sendiri. Itu namanya kesopanan.

TUKIJAN : Hamba cape. Kita….

KOYAL : Cukup (pada Hamung) Bagaimana, usul itu ditimbnang, Paman Patih?
HAMUNG : Berdasarkan kebutuhan kerajaan usul itu sangat tepat. Memang sebaiknya
kita harus segera menukar tenaga yang lelah setelah berkeras menghalau prajurit musuh
dalam perang laga baru saja.

KOYAL : Usul diterima. Gatutkoco pun telah binaa. Tak ada lagi kebutuhan tenaga
(bertepuk sekali) Mari Rajinda mana gundik-gundik saya?

HAMUNG : Dalam jumlah yang cukup memadai hasrat telah tersedia dan tersaji dalam
peraduannya masing-masing.

KOYAL : Tak sabar yang ada (menahan nafasnya). Perintah! Paman Patih tidur di
kamar sana. Dan selama saya beradu, umumkan pada rakyat bahwa kerajaan dalam
bahaya.

HAMUNG : Titah hamba agungkan, Gusti Paduka. (menyingkir dan tidur)

KOYAL : Bendahara hanya boleh tiduran. Rancangkan sumber harta dan kekayaan.

TUKIJAN : Hamba patuh, Gusti Prabu. (menyingkir lalu terbaring).

KOYAL : Ibunda.

MAE : Bunda di kamar sana.

KOYAL : Bunda bebas memilih ranjang. Hanya satu yang tabu. Ranjang ananda.

MAE : Tentu (menyingkir terus tidur)

( Semuanya ke kamarnya masing-masing )

KOYAL : ( dengan corong tangannya berseru ) Paman Patih!

HAMUNG : (dengan nada jauh) Hamba, Gusti.

KOYAL : Berapa gundik paman?

HAMUNG : Cuma tujuh belas. Perawan semua.

( Koyal tertawa terpingkal-pingkal )

KOYAL : (pada bulan) Kau lucu sekali, bulan gendut. (tertawa) Enak sekali (tertawa)
Uang! Uang! (tertawa terpingkal-pingkal)

( Sementara angin makin kencang dan sementara kawan-kawannya tertidur semua dan
sementara cahaya mulai surut, Koyal terus terpingkal-pingkal. Dalam kegelapan dan
angin yang deras masih juga ia terpingkal-pingkal. Selanjutnya, istirahat )

( BAGIAN KETIGA )
DI ATAS MEGA

( Bagian ketiga ini dimulai dengan tangis panjang tokoh kita, Koyal. Cahay demi sedikit
menyibak kegelapan. Hanya seroang saja di antara kawan-kawannya yang belum puas
tidur yaitu Tukijan. Yang sejak sore tadi hanya berguling-guling setengah tidur. Di
bawah tiang listrik Koyal berjongkok membelakangi penonyon. Ia menangis )

KOYAL : Semua orang sudah tahu Koyal menang lotre. Kau juga sudah tahu. Kelelawar
juga sudah tahu, saya telah menjadi orang yang terkaya. Kau juga, rumput. Kau juga
maklum, beringin tua. Lebih-lebih kau bulan. Kaulah yang paling tahu segala apa yang
sekarang ada pada saya. Seantero jagat raya tahu segalanya tentang diri saya. Tapi
semuanya, juga kau bulan gendut tak pernah tahu, tak pernah mau tahu……oh
kalian…….oh, kau……tak pernah peduli………pasti! Semuanya tidak tahu bahwa sejak
lama Koyal jatuh cinta……jatuh cinta pada Retno……Kau menertawakan saya, ndut?
Biar. Rumput-rumputan juga mencibir. Biar. Kau juga terkekeh-kekeh, beringin tua.
Biar. Sudah sejak lama saya selalu ingin memegang kakinya. (berhenti menangis)
Malam ini, ya? Ya? Saya akan pegang kaki itu. (tertawa) Bulan, kau pasti jatuh hati pada
kaki itu. Nah, saya pegang dia. — Berani. Kenapa? —- Biar. Kalau dia marah beri saja
dia uang seratus dua ratus —- ribu. Saya orang kaya — (tertawa) Kaya (tertawa) Kaki.
Biar. (Bangkit perlahan dan dengan bergetar dan nafas berdesah. Ia mendekati Retno
yang lelap tidur berselimut kain. Betisnya kelihatan. Beberapa saat Koyal cuma
memandangi saja dan sesekali ia meminta pertimbangan sang rembulan. Lalu dengan
hati-hati sekali ia menyibak ujung selimutnya sehingga betis Retno nampak lebih jelas.
Lalu dengan nafasnya yang makin kacau ia meraba betis Retno. Baru saja sedikit kulit
tangannya menyentuh kulit betis itu segera ditariknya lagi seperti tersentuh api.
tersenyum) Bulan……(turun naik nafasnya) Kaki, eh, betis perempuan itu lain, ya?
(tertawa berdesis) Halus….. (dirabanya lagi kaki itu) Halus….. Dia diam saja. (tertawa
berdesis) Barangkali dia juga senang….. (dipegangnya kaki itu agak lama) Bulan,
(tertawa) Kau tidak ingin pegang? ………. Mana yang lebih enak, uang atau betis
perempuan? ……. Saya jadi agak pusing. Pusing-pusing enak. (tertawa berdesis)

( Sekonyong-konyong Tukijan bangkit dan segera menangkap leher baju Koyal.


Sehingga baju yang buruk itu tentu robek sebagian. Karena sobek maka Tukijan
menjambak lengan bajunya )

TUKIJAN : Bajingan. ( diludahi muka Koyal )

KOYAL : (terkejut dan takut amat). Tidak, eh, tidak.

TUKIJAN : Tidak? Kau kurang ajar. Kau bangsat. Kau gila.

KOYAL : ….tidak,….

TUKIJAN : Kau mau melawan?

KOYAL : Tidak.

TUKIJAN : Kenapa kau lakukan itu? Kenapa?

KOYAL : Eh, ….. tidak.

TUKIJAN : Tidak?

KOYAl : Tidak.

TUKIJAN : Tidak? Bilang.


KOYAL : Tidak…..tidak sengaja…….barangkali.

TUKIJAN : Barangkali? Barangkali apa?

KOYAL : Barangkali……saya…..saya…..sedang mimpi….

TUKIJAN : Apa?

KOYAL : …..tidak…..

TUKIJAN : Kau gila. Bilang (meledak) Gila!

KOYAL : …..Gila…..

TUKIJAN : Bangsat!

( Sekali Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal menangis meraung-raung)

TUKIJAN : Lagi?

KOYAL : …….tidak…..

TUKIJAN : Bajingan!

( Sekali lagi Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal meraung-raung kesakitan
sehingga karenanya Mae terkejut dan terjaga dari tidurnya. Jantung perempuan tua itu
kencang berdenyut. Segera ia masuk ke dalam persoalan itu )

MAE : E,ee ada apa ini? Kenapa? Jan, jangan pukul dia.

TUKIJAN : Bangsat!

MAE : Ada apa? Kenapa?

TUKIJAN : Kamu telah menghina saya, Yal. Kamu telah mengejek saya. Berapa kali
telah saya katakan tentang ini semuua? Kamu boleh, boleh melakukan apa saja dengan
dia. Siapa bisa melarang? Memang dia lonte. Saya tahu, Yal. Dia lonte. Karena itu tidak
ada yang bisa melarang kau berbuat apa saja dengan dia. Tidak peduli kamu tidak waras.
Tapi janghan di muka hidung saya. Berapa kali telah saya katakan? Jangan di muka
saya. Semua kawan mengerti. Tapi diam-diam rupanya kamu memancing-mancing
amarah saya.

( Retno Terbangun )

RETNO : Ada apa?

( Hamung terbangun )

HAMUNG : Tidak ada apa-apa.

RETNO : Mae?
MAE : Nanti dulu. Nanti dulu. (baru saja ia membayangkan. Tukijan seolah-olah akan
memukul Koyal) Nanti dulu. (mencucur air dari matanya) Sabar. Sabar. (mendekati
Koyal yang masih terisak dan membelai kepalanya) Kenapa mesti bertengkar? Kenapa
mesti?

TUKIJAN : Ikat pinggang saya. Bajingan. Setengah mati saya putar-putar mencari
barang itu, Kembalikan!

KOYAL : (seraya terisak) Saya tidak mencurinya. Saya menemukannya.

TUKIJAN : Menemukan di tempat saya.

KOYAL : Tidak.

TUKIJAN : Lepaskan, bangsat.

KOYAl : Saya tidak mencuri. Saya menemukannya.

MAE : Lepaskan nak. Kau nanti boleh beli ikat pinggang yang baru. Lepaskan.

KOYAL : Saya tidak mencuri.

TUKIJAN : Bilang lagi!

KOYAL : Tidak. Saya diberi.

TUKIJAN : Bangsat! Siapa yang memberi kamu? Setan?

KOYAL : Bukan. Orang.

TUKIJAN : Bangsat. Siapa?

KOYAL : Bukan. Dia.

TUKIJAN : Dia siapa? Ayo, lepaskan dulu.

KOYAL : (takut menyerahkan ikat pinggang) Jangan pukul saya. Saya diberi kok.

TUKIJAN : (menyambar ikat pinggangnya) Diberi pangeranmu! Siapa yang memberi


kamu?

( Koyal melihat kepada Retno )

TUKIJAN : Siapa?

KOYAL : Dia?

TUKIJAN : Dia siapa?

KOYAL : Retno.

( Retno pergi menyusup kegelapan yang mulai agak tipis. Sejak itu agak lama tak terjadi
percakapan. Angin semakin kencang )
TUKIJAN : Yal, kemari.

( Koyal diam saja )

TUKIJAN : Ke sini.

KOYAL : (takut-takut) Apa?

TUKIJAN : Maaf, ya?

KOYAL : Saya tidak mau mencuri.

TUKIJAN : Ke sini kau.

KOYAL : Saya juga tidak mau dipukul.

TUKIJAN : Tidak.

KOYAL : Tidak mau.

TUKIJAN : Kalau kau tidak mau ke sini malah saya pukul.

( Takut-takut Koyal mendekati Tukijan )

TUKIJAN : Yal.

( Curiga Koyal memandang Tukijan )

TUKIJAN : Kau tahu…

KOYAL : Tidak tahu.

TUKIJAN : Ya, kalau kau tahu artinya kau waras Yal. Kau ingin sembuh?

KOYAL : Saya tidak sakit kok. Bagaimana?

TUKIJAN : Kau memang tidak sakit. Kau cuma tidak waras.

MAE : Tukijan! Jaga bicaramu! Tak patut kata-katamu!

TUKIJAN : Biar dia sembuh, Mae.

MAE : Tidak begitu caranya. Lagi pula dia masih bisa merasa sakit hati seperti kau. Dia
juga manusia seperti kau. — Dan adakah perlunya?

HAMUNG : Diam saja. Mae.

MAE : Kau memang begitu. Kau tak pernah ambil pusing.

HAMUNG : Siapa orangnya yang rela pusing dan pusing-pusing, Mae? Mae, jagat ini
sangat besar dan tidak pernah menghiraukan siapa saja. Sebaiknya Mae diam. Mae akan
senang.
MAE : Saya bukan kau.

TUKIJAN : Saya juga. Saya sebenarnya sayang pada Koyal.

HAMUNG : Mae nanti kecewa. Kita tidak akan mendapatkan apa yang kita minta.
Orang lain tidak akan memberikan apa-apa pada kita. Lebih baik diam. Dan apa
gunanya?

MAE : Kau memang tak punya hati, Hamung.

HAMUNG : Sama saja.

TUKIJAN : Tapi saya punya. He, Yal. Kau butuh apa?

KOYAL : Uang.

TUKIJAN : kalau begitu serahkan kepada saya lot itu?

( Koyal menyerahkan semua lotnya, ragu-ragu dengan tanda tanya )

TUKIJAN : Kau ingin uang?

KOYAL : Yang banyak.

TUKIJAN : Kau bisa mendapatkannya lebih banyak tanpa kertas ini.

KOYAL : Kali ini saya pasti menang.

TUKIJAN : Saya kira kau nanti akan sembuh kalau saya berani melakukan sesuatu.
Betul kau ingin uang banyak?

KOYAL : Betul?

TUKIJAN : Pasti suatu ketika kau akan menjadi orang kaya, kaya harta dan kaya
segalanya. ( disobeknya lot itu).

KOYAL : Jangan! Mae, dia menyobek uang saya.

MAE : (benci) Kau telah menyakiti hatinya.

TUKIJAN : Ini lebih baik.

HAMUNG : Tak ada yang lebih baik. Juga sebaliknya.

TUKIJAN : Jangan menangis. Kau bukan anak kecil. Kalau kau tetap menangis kau tak
akan pernah mendapatkan uang yang banyak itu, kecuali angka-angka.

KOYAL : kau jahat (bangkit takut-takut mengancam Tukijan). Berikan lot itu!

TUKIJAN : Tak ada gunanya.

KOYAL : Kau terlalu jahat. Berikan lot itu.


TUKIJAN : Lebih berguna untuk angin. (dilemparkannya sobekkan lot itu tepat tatkala
angin menderas).

KOYAL : Mae, dia jahat sekali. Oh, uang saya diterbangkan angin. (mengejar sobekan
lot) Tolong….!

( Seraya berteriak-teriak Koyal terus mengejar sobekan-sobekan itu dan menyusup


kegelapan. sementara itu Tukijan duduk terpekur dan Hamung menyatakan
ketidaksenangannya )

HAMUNG : Kau sebenarnya ingin menampar Retno.

( Tukijan cuma menarik nafas berat )

HAMUNG : Kalau saya jadi kau tentu pipi Retno yang saya tampar dan bukan pipi
orang lain, apalagi pipi si kepala kopong itu.

TUKIJAN : Diam, Mung.

HAMUNG : Kau juga tahu saya bisa melakukan hal yang serupa atas diri kau. Saya
anggap kau sama dengan Koyal.

MAE : Sudah. semuanya diam.

HAMUNG : Tidak apa-apa, Mae

MAE : Cukup. Mae tak suka ada percekcokan lagi.

HAMUNG : Kau telah memperkosa kebahagiaan orang lain.

MAE : Cukup. Sekali lagi Mae minta. Berhenti kalian bertengkar mulut. Kalian mulai
lupa. Kalian sudah lupa. Kalian anak-anak Mae. Sekarang Ibu kalian menyuruh kalian
diam. — Oh Betapa enaknya dunia ini tanpa….tanpa…Maksud saya kita akan lebih
bahagia tanpa pertengkaran.

HAMUNG : Jangan harapkan itu Mae.

MAE : Ini malam syura. Di alun-alun ini bertebaran semalam suntuk berbagai ragam
berkah. Semuanya. Seluruhnya bernama berkah.

HAMUNG : Kecewa pada akhirnya. Jangan terlalu banyak berharap.

( Seorang pemuda dengan wajah kusut dan pucat karena semalaman tak tidur dengan
gemetar lewat. Ia adalah pemuda yang tadi sore dikejar Retno. Begitu ia keluar,
langsung muncul beberapa orang peronda. Sebelum mereka keluar. Salah seorang
diantara mereka menyorotkan lampu senter pada sekitar yang gelap. Tak luput wajah
tokoh kita. Begitu mereka lenyap, terdengar suara mereka )

TUKIJAN : Bajingan.

MAE : Sabar.

HAMUNG : Susah, bukan ? Lebih baik tidak ambil pusing.


TUKIJAN : Mereka kira semua yang tidur di emper-emper adalah pencuri-pencuri.

MAE : Biarkan saja.

TUKIJAN : Mereka orang-orang beragama. Saya berani taruhan, sebagian besar dari
mereka lebih jahat daripada penghuni emper-emper toko. Untung saja mereka punya
pakaian yang bagus-bagus dan bersih-bersih.

HAMUNG : Kau sendiri diam-diam menyamaratakan mereka.

TUKIJAN : Tidak.

HAMUNG : Mudah-mudahan.

( Muncul Retno )

RETNO : Mae, kemana dia?

MAE : Siapa?

RETNO : Si banci tadi. Kemana dia? Saya melihatnya tadi dekat masjid.

MAE : Pemuda?

RETNO : Ya. Kemana?

MAE : Kemana ya? Mae kira kesana. Ke arah bioskop Sobo.

RETNO : Huh, patah lehernya nanti, saya cekik. Betul bukan? Sampai tujuh keliling si
banci itu akan berputar-putar sekitar alun-alun ini membuntuti saya. Kemana tadi?

MAE : Ke Sobo. Tapi kenapa harus kesana? Lagipula sudah pagi.

RETNO : Ke Sobo? Saya peluk dia ( Menyusup kegelapan )

( Mae memandangi Tukijan yang menahan jengkel )

TUKIJAN : Saya bunuh dia.

HAMUNG : Kenapa ?

( Sekonyong-konyong Retno muncul lagi )

RETNO : Mana bedak saya?

( Retno membedaki wajahnya )

MAE : Kau tidak akan pergi bukan?

RETNO : Pergi kemana?

MAE : Pergi jauh.


RETNO : Saya senang disini.

MAE : Ya, seharusnya kau berpikir begitu.

( Tapi Retno pergi lagi )

MAE : Ya, saya harap begitu. Saya harus merebutnya. Oh, saya tiba-tiba takut sekali.
Hamung sebentar lagi pergi. Sebentar lagi. Semuanya akan kembali sepi, Kenapa
jantung saya? Saya gemetar sekali. ( Sekonyong-konyong menubruk dan memeluk
Tukijan ) Jan! ( Dalam isak ) Jan. ( dalam isak ) Kenapa sama sekali kau tak punya rasa
terimakasih? Tapi siapa yang memilikinya? Tapi kau anakku. Kalau sama sekali kau tak
punya apa-apa namun paling sedikit kau harus punya rasa terimakasih. Sekarang kau
diam saja serupa patung-patung di musium. Kau tak melihat saya dalam memandang
saya. Sebab itu gampang saja kau akan tinggalkan ibumu sendiri di alun-alun ini, di
tanah bebas yang tidak bebas ini. ( melepaskan dirinya dari Tukijan dan duduk
menunduk ) Kalau saya muda pasti saya tak akan mengucapkan kata-kata itu. Hamung
sekalipun cintamu samar-samar, tapi pasti kepergianmu nanti akan melengkapi kesepian
saya. ( Setelah mengosongkan dirinya ) Tapi sebagai orang tua, sebagai seorang Ibu
yang tabah tentu saja saya harus melepaskan kalian berdua dengan doa restu, dan saya
akan menyertai kalian dengan keprihatinan saya. Ikhtiar. ( Tersenyum sementara air
mata itu masih kemerlap pada bulu matanya yang kelabu itu ) Nah, beginilah memang
kesudahannya.

HAMUNG : ( Menyalakan rokok ) Kita tak usah buru-buru. Kereta yang akan membawa
kita bertolak ke Solo jam empat. Paling cepat, biasanya setengah tujuh kereta itu
berangkat dari Tugu. Dulu ada kereta yang berangkat pagi dari sini. Kata Mas Dharmo,
kita nanti memasuki Senen jam sembilan atau delapan. Tapi jangan harapkan. Lebih
baik kita bayangkan lusa baru sampai. — Barangmu dimana?

( Tukijan tidak menyahut )

HAMUNG : Barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali ke pekerjaan lama ;
becak. Tapi saya akan berusaha jadi calo. Kau harus membesarkan otot di Sumatera.
Musuhmu bukan saja binatang tapi batang pohon raksasa. Kau pernah dengar cerita
Mbah Wirjo tentang sebuah keluarga yang habis musnah karena didatangi seekor
ular?— (tertawa) Saya tidak punya apa-apa, tapi saya ingin apa-apa kalau sudah lama
saya tinggal di Jakarta. Saya kira saya harus belajar pada orang-orang Batak. Kau pernah
dengar bagaimana mereka menguasai stanplat bus? Mereka sungguh-sungguh penguasa.
Jangan harap polisi bisa berbuat sesuatu disana. Juga yang lain jangan kau harapkan.
Saya pikir begitu. Saya harus seperti mereka. Kalau ukuran mereka mati, saya
pun harus demikian. Saya tidak punya apa-apa.— Dimana barangmu?

( Tukijan masih diam )

HAMUNG : Gelagatnya kau akan mengurungkan kepergianmu lagi. Jangan kau


hiraukan orang lain. Apalagi Mae. Biasa. Orang tua. Katakan saja kau tidak akan
melupakannya. Katakan saja, kelak kalau ada rejeki dan kau bisa pulang, kau tentu akan
menengoknya dan membawa oleh-oleh, niscaya perempuan tua itu pasti senang. Jangan
pedulikan kau tepati atau tidak janji-janji itu. Tadi sore saya sudah mengatakannya.
Sekarang kau.
( Tukijan meninggalkan tempay itu dan pergi. Hamung menyanyikan sebuah lagu jawa.
Dengan wajah pucat Panut muncul. Hamung berhenti menyanyi. Hamung tajam
memperhatikan Panut )

HAMUNG : Darimana kau?

PANUT : Tikarnya, Mae (berbaring)

( Mae menangis lagi )

MAE : Darimana?

PANUT : Mana tikar yang satu lagi. Dingin sekali.

( Hamung menyanyi lagi )

MAE : Dengan diam, justru kau mengatakan semuanya begitu lengkap. Tidak usah.
Seharusnya kau tidak menceritakan dengan cara apapun. Lebih baik begitu. Lebih baik
bagi kau sendiri. Juga bagi orang lain. Terutama bagi Mae. Lebih baik tak ada apa-apa
kalau saya sendiri tidak pernah punya apa-apa.

( Panut bangkit menawarkan rokok )

PANUT : Rokok, Mas Hamung.

( Setelah beberapa lama memperhatikan Panut, Hamung tersenyum dan mengambil


sebatang. Tanpa diminta, Panut menggoreskan sebatang geretan dan akhirnya
menyalalah kedua ujung rokok. Lagi, Hamung memperhatikan Panut. Karena pandangan
itu Panut jadi agak risih dan merasa tidak enak. Lalu melentangkan badan )

HAMUNG : Rokok mahal itu marem.

MAE : Kau sekarang bukan bayi lagi. Kau sekarang seorang lelaki setengah baya
dengan kumis yang panjang dan mata yang amat tajam. Di mana kau, Panut?

( Panut bangkit )

MAE : Bayi itu maksud saya.

( Panut merebahkan badannya lagi )

HAMUNG : Berapa harganya sebungkus?

MAE : Sebaiknya saya juga merokok. Barangkali saya bisa lebih baik. Berikan sebatang
pada saya.

( Panut bangkit dan menyerahkan sebatang rokok. Tatkala rokok itu di bibir Mae itu
menyala, Panut mulai bisa tersenyum. Satu kali hisapan Mae tidak apa-apa. Dua kali
hisapan juga tidak apa-apa. Tiga kali hisapan ia batuk-batuk. Hamung dan Panut tertawa
)

MAE : Tidak enak. ( Sambil batuk-batuk) Tidak enak. Tidak ada yang enak.
PANUT : Belum biasa.

MAE : Kalau sudah biasa?

PANUT : Enak.

MAE : Tidak begitu. Kalau sudah biasa kita tidak akan lagi merasakan pahitnya.

PANUT : Nih. (mengisap dengan nikmat dan menghembuskannya) Nikmat.

MAE : Seperti mencuri.

PANUT : (Marah) Saya tidak mencuri! Bilang lagi!

MAE : Saya tidak mengatakan kau mencuri. Saya hanya bilang kalau sudah biasa
mencuri lama-lama juga kita tidak rasakan seperti kerjaan yang jahat.

PANUT : Saya tidak mencuri! Bilang lagi! Saya pukul! Dengar!

MAE : Saya tidak bilang kau mencuri. Kau pasti tidak pernah mencuri. Dan kalau pun
pernah melakukannya, kau pasti tak akan mengatakannya.

PANUT : Mas Hamung, rokok ini untuk Mas Hamung (menyerahkan sebungkus rokok)

HAMUNG : Buat saya?

PANUT : Buat Mas Hamung.

HAMUNG : Nanti dulu, dari siapa rokok itu?

PANUT : Dari……

HAMUNG : (menerima rokok) Jangan teruskan. Tak perlu. Tak ada bedanya bagi saya.
Yang penting rokok.

PANUT : Saya senang.

HAMUNG : Tidak perduli. Yang terang ini rokok mahal.

PANUT : Rokok kretek termahal.

HAMUNG : Kau masih punya?

PANUT : Masih. Barangkali tinggal enam batang.

HAMUNG : Coba beri saya sebatang. Saya isap sekarang.

( Panut memberikan sebatang lagi pada Hamung )

HAMUNG : Yang masih utuh baru saya buka nanti kalau kereta api itu telah membawa
saya ke arah barat. Coba nyalakan.

( Panut menggoreskan geretan )


HAMUNG : Nah, lihat. Sekarang saya punya dua sekaligus. Sekali waktu memang tak
ada jeleknya kita menikmati sesuatu lebih dari biasanya (tertawa)

PANUT : Saya sungguh-sungguh senang.

HAMUNG : Kau pikir begitu? Kau senang kalau saya mengisap rokok pemberianmu
ini?

PANUT : Senang.

HAMUNG : Biar kau lebih senang, berikan rokok itu semua.

PANUT : Jangan, yang lima batang ini untuk saya sendiri.

HAMUNG : Dan kau senang?

PANUT : Senang.

HAMUNG : Bagus. Kalau begitu kelak kau akan jadi laki-laki yang jantan.

PANUT : Saya makin senang sekarang.

HAMUNG : Dan kalau kereta api itu membawa saya ke arah barat, kau juga tetap
senang?

PANUT : Tidak.

HAMUNG : Kenapa?

PANUT : Karena saya sedih.

HAMUNG : Jadi kau tidak senang karena kau sedih?

PANUT : Saya tidak senang karena kita berpisah.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Betul.

HAMUNG : Betul tidak senang?

PANUT : Tidak senang.

HAMUNG : Betul sedih?

PANUT : Sedih sekali

HAMUNG : Sungguh sayang. Kalau begitu kau akan jadi laki-laki yang tidak bahagia.

PANUT : Saya sungguh-sungguh tidak paham.

HAMUNG : Kau memang masih bocah.


PANUT : Tapi kau seharusnya menerangkan semua itu. Saya ingin menjadi laki-laki
yang jantan.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Betul. Bagaimana?

HAMUNG : Itu gampang.

PANUT : Bagaimana?

HAMUNG : Kalau saya berangkat nanti, tepat sewaktu saya melangkahkan kaki kesana
kau harus membenci saya. Setidak-tidaknya kau tidak boleh menyimpan perasaan apa
pun karena peristiwa itu. Sekalipun kita sudah lama sekali bergaul.

PANUT : Kenapa mesti begitu?

HAMUNG : Tidak apa-apa. Memang harus begitu.

( Lama Panut berpikir. Mereka bertatapan )

PANUT : Bisa.

HAMUNG : Bisa ?

PANUT : Bisa.

HAMUNG : Kau yakin akan berhasil?

PANUT : Yakin. Dua hari ini saya selalu merasa yakin. Memang harus begitu.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Percayalah, Mas. Saya tidak tahu kenapa.

HAMUNG : Kalau begitu saya juga yakin kelak kau akan bisa jantan dan bahagia.

( Panut menyalakan rokok lagi menyambung rokoknya sendiri )

PANUT : Semalam ini saya sudah menghabiskan sebungkus lebih.

HAMUNG : Kuat betul kau.

PANUT : Saya sudah dewasa.

HAMUNG : Saya lihat begitu.

MAE : Saya lihat malah dia seperti telah beruban rambutnya. Tapi kenapa kumisnya
panjang sekali dan amat tajam ujungnya.

HAMUNG : Bukan main.

MAE : Gatotkoco.
PANUT : Saya lebih suka Ontorejo.

HAMUNG : (seraya mengamati karcis sepur) Pas Betul uang saya.

PANUT : Saya punya uang.

HAMUNG : Banyak?

PANUT : Tidak. Tapi lebih banyak dari biasanya.

HAMUNG : Berapa?

PANUT : Saya hitung dulu.

HAMUNG : Tidak usah. Saya anggap saja jumlahnya terlampau banyak sehingga sukar
dihitung oleh tiga orang.

MAE : (mengancam) jangan berani kau merampasnya, Hamung. Jangan sekali-kali kau
ambil uangnya. Uang itu hak miliknya.

HAMUNG : Siapa yang akan merampas uangmu, Nut?

PANUT : Tidak ada. Malah saya ingin memberikan kepada Mas Hamung sedikit.

MAE : Jangan. kau anak tolol. Uang itu uangmu sendiri. Kenapa kau berikan kepada
orang lain?

PANUT : Tidak semuanya.

MAE : Jangan.

PANUT : Mae nanti juga saya beri.

MAE : Jangan.

PANUT : Ini uang saya. Uang saya sendiri.

MAE : Tapi kau anak saya.

PANUT : Tapi kau bukan ibu saya.

( Hamung tersenyum. Lama diam mereka )

PANUT : Terimalah uang ini, Mas Hamung. Untuk jajan di jalan.

HAMUNG : (setelah menerima uang itu) Sekarang saya akan pergi ke musium. Saya
akan mandi. Lalu saya berangkat ke stasiun.

( Hamung dan Panut saling memandang )

HAMUNG : Kita mulai.

( Hamung lenyap dalam kabut pagi. Lonceng keraton berdentang empat kali.
PANUT : Mae, terimalah uang ini.

( Mae cuma menangis )

PANUT : Terimalah, Mae. Semuanya dapat bagian.

MAE : Kau telah mencuri.

PANUT : (marah) Bilang lagi! Saya pukul!

MAE : Saya tidak bertanggung jawab. Saya salah.

PANUT : (menahan diri) Karena saya bukan anak Mae. Lebih baik begitu. Mae nanti
bisa senang. Terimalah, Mae.

MAE : Saya tidak mau makan tanpa lebih dulu saya bekerja.

PANUT : (marah) Saya sudah bekerja!

MAE : Kalau begitu makanlah sendiri.

PANUT : (luka) Mae.

( Mae cuma menangis )

PANUT : (pasti) Saya harus jadi laki-laki, tapi saya sedih. Lebih baik merokok banyak-
banyak. (membuang ingusnya) Saya mulai merasa benci entah pada siapa. Persetan..

( Setelah menyalakan rokok. Panut pergi. Adzan pertama di angkasa )

MAE : Saya harus mempertahankan Retno. Kalau dia juga pergi saya akan merasa
hilang.

( REtno dan Tukijan muncul )

RETNO : Sebagian di musium. Biar saya saja yang berkemas. — Tapi nanti dulu. Kau
tahu aku tak akan memberi kau anak?

TUKIJAN : Saya tidak butuh anak. Saya butuh kau.

RETNO : Tapi sebenarnya kita butuh.

TUKIJAN : Bukan halangan.

( Retno mengemasi barang-barangnya yang terbungkus di bawah beringin. Tatkala


terpandang Mae yang tengah menangis, ia berhenti bekerja. Lama diam saja )

TUKIJAN : Apalagi yang kau tunggu?

( Masih diam )

TUKIJAN : Kita nanti terlambat.


( Masih diam )

TUKIJAN : Apalagi yang dipikirkan? Kita sudah kehilangan waktu satu hari.

( Retno memandang Mae )

TUKIIJAN : Retno.

RETNO : Kau saja yang pergi.

TUKIJAN : Kenapa? Apalagi?

RETNO : Saya tidak tahu.

TUKIJAN : Semuanya hanya berkisar pada perasaan saja. Ruwet jadinya. Semua tidak
ada yang terwujud.

( Di kejauhan melengking peluit kereta api )

RETNO : Saya tidak bisa.

TUKIJAN : Kenapa?

( Retno diam )

TUKIJAN : Berubah lagi. Kau harus berpikir, bukan merasakan.

RETNO : Dan saya tidak sanggup.

( Tukijan memandang beringin tua )

RETNO : Saya mencintai kau, tapi juga mencintai yang lain.

TUKIJAN : Siapa?

RETNO : Saya tidak bisa berdusta.

TUKIJAN : Ya, kau mencintai dirimu juga. Kau tidak pernah mencintai siapapun
kecuali mencintai gincumu.

RETNO : (bangkit marah) Apa kau pikir kau juga mencintai saya? Omong kosong! Kau
cuuma mencintai dirimu sendiri. saya akui yang paling saya cintai tentu diri saya sendiri,
sebab tak ada orang yang mencintai orang lain lebih daripada mencintai dirinya sendiri.

TUKIJAN : Kenapa kau jadi marah-marah begitu?

RETNO : (marah) Siapa yang mulai?

TUKIJAN : Saya marah karena kau berubah sikap lagi.

RETNO : Saya marah karena kau marah. Belum apa-apa sudah berani marah-marah.
Akan kau jadikan apa saya di tanah seberang sana? Jadi babu? Seenaknya saja. Apa kau
pikir saya akan mati kelaparan kalau tetap tinggal di sini? (tiba-tiba menangis) Saya jadi
bingung.

TUKIJAN : Tentu saja kau jadi bingung. Sudah saya bilang yang harus kau lakukan
sekarang adalah berpikir bukan merasakan.

RETNO : Saya bingung karena terlampau banyak orang yang saya cintai. Dan, O Gusti,
saya tidak bisa melupakannya. Saya sangat mencintai perempuan tua itu juga.

TUKIJAN : Saya mengerti. Bukan kau saja yang mencintainya. Banyak orang yang
mencintainya. Kita semua berhutang budi kepada mae. Dengan sayang ia mengurus
makanan kita. Paling tidak saya tidak bisa melupakan masakannya. Kita selalu tidak
percaya bahwa dengan bahan-bahan yang kacau kita dapat menikmati makanan yang
luar biasa lezatnya. Saya yakin, orang-orang yang berumah mewah akan menghabiskan
makanan itu dalam sekejap, sekiranya makanan itu disajikan dalam wadah yang biasa
dipergunakan mereka. Apalagi kalau disajikan dalam wadah yang berukir dari keraton
(diam) Tapi apa kau pikir demikian picik Mae, sehingga Mae mengharapkan balasan
dari setiap yang dilakukannya untuk kita? Mae orang tua. Orang tua tidak pernah
mengharap apa-apa. Mereka cuma mengharapkan anak-anaknya senang dan bahagia;
jauh lebih senang daripada dia sendiri.

RETNO : Justru karena itu saya tidak tega. Saya tidak bisa. Sudahlah. Kau nanti
terlambat. Pergilah kau. kalau mungkin, saya akan menyusul kelak. Percayalah, saya
mencintai kau kapan saja. Saya akan selalu mengenangkan kau.

TUKIJAN : Betul-betul kau tidak punya kepala. Apa kau mau makan tanah karena
perempuan bangka itu?

MAE : Retno putriku.

RETNO : Ya, Mae (pada Tukijan) Kau tidak tahu. Seminggu yang lalu dia terjatuh di
parit sana. Sudah sangat lemah. Tidak lama lagi.

MAE : Retno. Dekatlah kemari.

RETNO : (mendekati Mae) Saya tidak akan pergi, Mae. Saya tidak mau.

MAE : Mae akan mengatakan sesuatu.

RETNO : Kali ini saya akan mendengarkan lebih dari yang pernah saya lakukan.

MAE : Kau memang anak perempuan saya. Kau cantik dan baik budi. Itulah yang
sebenarnya. Sayang, kau sendiri tidak tahu (diam) Sekarang sebagai anak yang baik
turutlah apa kata Mae; Pergilah dengan Tukijan.

RETNO : (menangis dan memeluk) Tidak, Mae. Saya tidak bisa.

MAE : Tentu kau tidak bisa. Dan siapa yang suka ajal? Tidak ada. Tapi siapa yang bisa
menolaknya? Juga tidak ada. Dan apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi
meninggalkan Mae? (Retno menggeleng kepalanya) Tidak, bukan? Mae juga tidak mau
kau tinggalkan. Mae sangat mencintai kau lantaran kau anak perempuanku satu-satunya.
Kalau kau pergi, Mae tidak akan pernah mempunyai anak secantik dan sebaik kau lagi.
Tapi apakah kau berpikir Mae juga ingin mempertahankan kau tetap di sini dan terus
menjual diri?

( Retno menutup bibir Mae )

RETNO : Saya mengerti.

MAE : Kenapa saya tiba-tiba melihat kau sedang menimang anak di suatu rumah yang
teduh di bawah pohon-pohon yang rimbun?

RETNO : Melihat saya?

MAE : Dalam khayalan Mae. Tapi saya harap demikianlah yang sebenarnya. Kau nanti
dapat berkah. Sebagai anak perempuan Mae, pergilah kau sebab masih banyak yang
lebih baik yang perlu kau kerjakan. Kau harus lebih cepat dari pada matahari sekarang.
Apalagi di sana.

TUKIJAN : Segera, Retno.

RETNO : Mae.

MAE : Lebih baik kau tak mengucapkan apa-apa.

RETNO : Saya tidak bisa.

MAE : Apa dulu kau menyangka bisa melakukan apa yang selama ini kau lakukan di
sini setiap malam?

RETNO : Mae.

MAE : Percayalah. lama-lama kau bisa dan biasa.

TUKIJAN : Minta pangestu, Mae.

( Mae cuma memandang kosong tatkala mereka melangkah perlahan dan lenyap. Begitu
mereka lenyap, begitu berdentang lonceng keraton satu kali )

( Kedengaran Koyal berteriak-teriak. Ia lalu muncul dengan memegang kepalanya )

KOYAL : Mae, mereka memukuli saya. Tolong. Mereka memukuli saya. Kepala saya
berdarah.

MAE : (berdebar meraba kepala Koyal. Lama ia mencari luka itu) Tak ada darah.

KOYAL : Ada. Tadi saya raba. Tangan saya merah. Lihat.

MAE : Tangamu kotor. hitam.

KOYAL : Tadi merah. Tapi kepala saya berdarah.

MAE : Sekarang tidak.

KOYAL : Pening. Sakit bukan main


MAE : Kenapa mereka memukul kepalamu?

KOYAL : Ada tiga orang laki-laki menyuruh saya menyobeki gambar yang terpancang
di muka kantor pos sana.

MAE : Gambar bioskop?

KOYAL : Bodoh. Gambar partai.

MAE : Lalu?

KOYAL : Tiga laki-laki itu menyuruh saya menguliti gambar itu.

MAE : Siapa mereka?

KOYAL : Siapa. Bodoh. Mereka yang punya hambar. Mereka perlu memperbarui.
Kalau sudah selesai nanti saya diberi upah.

MAE : Mana uang itu sekarang?

KOYAL : Tidak ada.

MAE : Tidak ada?

KOYAL : Tidak ada.

MAE : Kenapa?

KOYAL : Kenapa. Bodoh. belum selesai. lalu mereka memukuli kepala saya.

MAE : Tiga orang tadi?

KOYAL : Tiga orang tadi. Bodoh. Ada beberapa orang lain dari arah barat datang dan
segera memukuli kepala saya sehingga kepala saya berdarah. Lihat.

MAE : (setelah meraba) Tidak ada.

KOYAL : Tadi ada. (tiba-tiba) Mae! Mereka mengejar saya! Mereka mengejar saya!

MAE : Mana mereka? Mana?

KOYAL : Mereka! Mereka datang! Mereka! Mae! Masing-masing membawa kayu yang
sangat besar. Tolong, Mae. Tolong! Kayu itu sangat besar!

MAE : Mana?

KOYAL : Jangan pukul kepala saya! Jangan! Aduh! Sakit! Berdarah. Jangan! Tolong!
Tolooooong! (seraya menjerit-jerit ia lari menyusup kabut yang biru itu, setelah
berputar-putar menghindari pukulan-pukulan yang tak ada itu. Dengan sedih, Mae
mengikuti pusingan-pusingan Koyal)

( Adzan subuh berkumandang di udara di sela-sela garis cahaya fajar yang lembut. Lalu
Mae muncul lagi )
MAE : Gusti Pangeran. (anaknya bangun) Kau babngun, sayang. Kau tertawa, sayang.
(memainkan anak itu) Nah, cah bagus. Kita tak pernah mendapatkan, tapi selalu meraa
kehilangan. (memejamkan mata) Tak ada. Sama saja —- gustiku, cuma kita berdua.

( Lama-lama Mae tertidur bersandar pada batang beringin. Warna fajar. Lalu beragam
warna waktu berputar di sana berbagai warna. sementara itu secara perlahan layar
diturunkan bagai kelambu sutera )

SELESAI

Categories: Naskah Mega-Mega

Leave a Comment

Banon Gautama

Blog at WordPress.com.
Back to top

Anda mungkin juga menyukai