Naskah Drama Mega Mega
Naskah Drama Mega Mega
4 years ago
BAGIAN PERTAMA
di bawah mega
Sesekali di antara nyanyian itu terjadi percakapan yang sama sekali tak diharapkan
Retno sendiri )
MAE : Tidak kalah dibanding Srimulat. Tambahan dia cantik. Seperti aku! Persis. (
diam ) Cantik dan tersia. ( tiba-tiba seperti mencari sesuatu di sekelilingnya, tapi ia pun
tersenyum apabila sadar yang dicarinya itu sebenarnya tak ada. Lalu ia berseru keras )
Retno! Suaramu merdu.
( Mereka bercakap tanpa saling menengok dan keduanya menerima cahaya listrik dari
lampu yang tergantung pada tiang listrik yang berhadapan dengan beringin itu )
MAE : Sebenarnya dia bisa mbarang (berseru) kau bisa mbarang* (*maksudnya
ngamen)
RETNO : Kenapa tidak? Segala bisa. Asal mau. Apalagi cuma mbarang.
MAE : Tidak. Kalau kau mbarang untung-untung bisa masuk radio. Pasti bisa. Kalau
kau masuk radio kau akan lebih baik.
RETNO : (meludah)
RETNO : Sama saja. Sama edan. (menyanyi lagi tapi baru sekecap ia berhenti). Sama
edan. Sama…alaaahh setan! (menyanyi lagi)
( Sejenak tak ada bicara. Tiba-tiba Retno berhenti menyanyi sebab ada seorang pemuda
lewat )
MAE : Kenapa?
MAE : Lantas?
RETNO : ( tertawa lalu meludah ). hanya orang banci saja yang lewat di sini tanpa
sekerlingpun melihat pinggang saya.
RETNO : Tidak cuma itu. Montok. (tertawa lalu meludah). Kadang-kadang saya ingin
berpidato di alun-alun ini. Pidato dihadapan berjuta-kuta laki-laki. Telanjang. Kalau
tidak, –sebentar! Pemuda itu berdiri saja dipojok jalan itu. (membetulkan letak
kutangya) Rejeki tidak boleh terbang percuma begitu saja. (pergi menyusup gelap)
( Sepeninggal Retno, Mae dicekam suasana sepi. Ia menatap keliling : Kegelapan dan
kesenyapan. Ia menggigil. Dingin. Takut. Aneh. Angin kencang lewat. Ia tersenyum
waktu matanya bertemu dengan bulan yang gendut dilangit. Dan ia pun keramaian
dirinya dengan khayalan-khayalan. Sekonyong-konyong ia marah. Ia membayangkan
seakan ia kini mengorek-ngorek bulan itu )
MAE : Sinuwun! Sinuwun! malam lagi! ini malam syura. Malam Syura Apa?
(menggeleng-geleng dengan sedih. Ia menangis tapi ia sudah cape).
Diam, nak. Diam sayang. kalau tidak juga kita dapatkan disini, tentu kita pindah lagi. Di
sini sayangku. Kita tidur di sini malam ini. cah bagus. Ini malam syura, Kita tidur
bersama Sinuwun Gusti Pangeran di alun-alun keramat ini. ( dengan kasih ia
meninabobokan anak-nya dengan sebuah tembang jawa)
MAE : (jantungnya bergertar sangat cepat) Kenapa? Kenapa kau? Kenapa kau? Kenapa
kau, Panut? Panut?
PANUT : bbbbb….aaaaaa..bbb….
MAE : Gustiku. Gusti Pangeran. Kenapa? Gusti. Kenapa kau jadi bisu?
MAE : (menangis) Gusti. Saya jadi bingung. Siapa yang salah? Kenapa? Panut, anakku
Panut.
MAE : Edan!!
MAE : Kurang ajar (mengambil sebilah kayu dan mengacung-acungkan kayu itu) Awas
kalau kau ulangi. Ayo!
MAE : Kurang ajar. Anak nakal……Tidak. Bukan kau sayang. Diam, sayang,
(melemparkan kayu itu) Nah, diam sekarang. Panut nakal, ya?
PANUT : Tapi ada cara lain. Menari. (menari jawa seraya mulutnya memusiki). Ha, ini
lebih gampang tapi saya harus membedaki dan menghiasi muka segala. Terlalu banyak
kerja.
MAE : Berapa kali Mae bilang? tidak usah kau belajar mencopet. tidak baik.
PANUT : Soal baik tidaknya saya tidak peduli. Soalnya tangan ini. Sial. Setengah tahun
sudah latihan tapi sekalipun tak pernah saya berhasil. Bagaimana saya tidak jengkel.
PANUT : Pada diri saya sendiri. Coba di pasar Bringharjo. Jelas laki-laki itu orang yang
ceroboh. Artinya kalau saja pinter dan cekatan tentu pulpennya sudah saya dapatkan.
Tapi saya gemetaran. karena gemetar rusak segalanya. Pulpen sudah ditangan tapi kaki
sukar dilangkahkan. Terpaksa saya berikan pulpen itu ketika mata laki-laki itu melotot
dan segera saya menghilang.
MAE : Apa kata Mae? Nguli saja, nguli saja. Kau nekat coba-coba nyopet. Nguli lebih
baik dari apapun yang dapat kau lakukan. Mae juga ingin nguli saja kalau ada orang
yang suka. Tapi Mae sudah terlalu tua. Cari kerja untuk orang semacam Mae yang tidak
punya tempat tinggal tentu sangat sukar. Orang takut kepada kita. Orang sukar percaya.
Percayalah Panut. kalau nguli kau bisa merasa senang.
MAE : Nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang baik. Kau pernah
dengar suara adzan tidak?
PANUT : Seperti setiap orang. Tapi Mas Woto bilang Tuhan itu tidak ada. Tuhan itu
racun. Tuhan itu arak. Candu. Tuhan itu asap rokok. Kata Mas Marwoto.
MAE : Itu tidak perlu. Kau sendiri percaya tidak? kalau kau percaya memang tak layak
kau mencopeti barang milik orang lain.
PANUT : Saya bilang saya tidak akan mencopet lagi. Bajingan. Kemarin saya coba-coba
bantu Mas Wiryo tapi sial juga.
PANUT : Maling.
MAE : Astaga.
PANUT : Tentu saja, maling itu kan tidak berjiwa ksatria seperti pencopet.
MAE : Haduuuuuuh, hampir Mae tidak bisa bernapas tadi. Kaget bukan kepalang. Kok
tiba-tiba kamu jadi bisu tadi. Padahal kamu itu anak mae yang paling cerewet. Banyak
omong banyak cerita.
PANUT : Itu sudah cukup. Itu namanya saya berhasil. Besok pagi saya akan mulai
PANUT : Ngemis
MAE : Astaga
MAE : Panut! Kalau kamu anak saya, kupingmu itu sudah saya jewer. Otot mu masih
kuat tubuh mu masih utuh. Kamu mau minta-minta seperti tua bangka yang tersia
sebatang kara? Oalah le le. Kakimu itu akan membusuk kalau tidak dipakai buat bekerja.
PANUT : Ngemis kan juga kerja. Kamu kira ngemis itu enteng? Kan makan tenaga dan
perasaan juga. Soalnya bukan itu. Soalnya sial saya ini. Dan lagi soal makan, bukan soal
perasaan.
MAE : Ya, tapi kau masih kuat untuk bekerja. Bekerja baik-baik maksud Mae. Tidak
mencelakakan. Nguli misalnya. Kau bisa seperti Tukijan. Begitu rajin dia bekerja di
pasar. Tapi dasar orang suka bekerja dan rajin. Tadi pagi-pagi benar ia pergi ke
Sumantrah.
PANUT : Siapa?
MAE : Tukijan. Pagi tadi ia naik kereta api ke jakarta. Dari sana nanti ia nyeberang ke
Sumantrah.
PANUT : Mulut rusak. Baru saja saya lihat dia sedang nongkrong dekat bioskop Indra.
MAE : Siapa?
PANUT : Tukijan.
MAE : Kau salah lihat pasti. Bukan Tukijan yang kudisan. Tukijan yang bersih ganteng.
PANUT : Ya, Tukijan yang gandrung pada si Retno kemayu itu to.
PANUT : Biar buta mata saya kalau saya bohong. Kemaren Tukijan memang bilang
begitu pada semua orang. Tadi saya lihat sendiri ia sedang nongkrong dekat bioskop
Indra.
MAE : Ya
PANUT : Percaya terserah, tidak terserah. Bukan urusan saya! Tikarnya Mae. Saya kira
enak sekali malam terang bulan ini tidur di tengah alun-alun (tertawa) Tukijan, Tukijan.
Mae memberikan sehelai tikar buruk pada panut. Tiba-tiba muncul Retno dari
kegelapan.
RETNO : Sial!
RETNO : Apa?
PANUT : (tertawa)
RETNO : Luar biasa! (tertawa pahit. lalu menarik nafas kesal) Setan. Tukijan edan!
MAE : Siapa yang kau kutuk? Sejak sore tidak habis-habis kau mengutuk. Selalu kau
marah-marah.
(sunyi sebentar)
MAE : Kemana?
( Setelah beberapa lama berpaling dengan nafas yang kacau segera pemuda itu
menghilang dalam kegelapan)
RETNO : Banci sintiiing banci sinting banci sintiing! UUuuh! (meludah) Pasti
Mahasiswa dia. Nafsu melimpah uang cuma serupiah.
RETNO : Tahu saya. Kita sering lihat dia lewat. Rumahnya pastidekat rumah Haji Bilal.
Kalau saya sedang mencuci ia selalu lewat. Kalau siang ia buang mukanya jauh-jauh
dari saya (meludah). Tapi kalau malam niak turun nafasnya melihat kecantikan saya
(tertawa). Besok malam saya peluk dia dari belakang (meludah) Pura-pura.
RETNO : Apa?
RETNO : (tak tahu kepada siapa) Gara-gara kau semuanya serba sial.
MAE : Tidak baik. Apalagi untuk malam ini. Aku bilang sekarang. Malam ini malam
terang bulan. Sangat menyenangkan tidur di alun-alun ini. Di muka pagelaran. Berkat.
Sinuwun itu sakti. Alangkah segarnya. Kita boleh melalmun dengan sempurna di sini.
MAE : Nyaman. Banyak angin. Tapi juga angin yang baik. Bersih. Anak-anak mesti
dilindungi dari angin yang terbaik sekalipun (menina-bobokan lagi anaknya dengan
sebuah tembang jawa).
MAE : Apa?
MAE : Kuning montok seperti kau (diam) Kau kira enak orang tidak punya anak?
RETNO : (diam)
PANUT : (menyanyikan sebuah lagu picisan tema cinta)
MAE : Retno!
RETNO : (diam)
RETNO : Ho-oh!
MAE : Berapa?
RETNO : Satu!!
MAE : Enak?
RETNO : Sakit!
RETNO : Iya. kalau Mae ingin tahu, melahirkan itu rasanya sakit.
PANUT : (tertawa)
RETNO : Ketawa
(Sunyi sebentar)
MAE : Anak-anak manis. Semua orang berjuang untuk mereka. (tiba-tiba bergetar
dadanya) Aduuuuh biyuuuung…..(kepada Retno) Kemana anak itu?
MAE : Kau yang patut disalahkan. Sebenarnya kau bisa berrbuat yang lebih baik.
MAE : Memang. Selalu ada pemecahan buat setiap persoalan. Tapi kau malas mencari.
MAE : Kau!
RETNO : Bukan.
MAE : Orang punya anak itu mesti prihatin! Mesti hati-hati. kau tahu, Retno? Angin itu
lembut ya? Nyaman ya? Tapi Angin itu berbahaya bagaimanapun juga. Yang enak di
badan tidak selamanya enak di hati. Yang enak di hati tidak enak di badan. Kau harus
jujur. He, Retno angin bukan? Angin itu kosong kelihatannya padahal setan isinya. Kau
tidak hati-hati. Tidak mau, kau salah.
PANUT : (bangkit). Tadi Koyal makan, Mae? (karena Mae tidak menjawab, ia kembali
berbaring)
RETNO : Sejak gadis dulu aku mengidamkan dapat melahirkan anak laki-laki. Anak itu
laki-laki dengan mata yang teduh seperti kolam. Hatiku selalu bergetaran menyanyi
setiap kali bertemu dengan mata itu. Tapi makin lama mata itu makin kering sebab
bapaknya tidak pernah melakukan apa-apa. Suatu ketika aku sakit. (lama diam) Anak itu
sakit. Kelaparan. Ia mati. Sejak itu aku hampir gila oleh perasaan kecewa dan kesal.
(diam) Suatu hari suamiku pulang setelah menuntaskan bergelas-gelas arak. Bukan main
aku marah. Dan sekonyong nasib turut campur. Rumah itu terbakar (gerahamnya
merapat ketat) Setan! Setan!
MAE : Pendeknya kalian berdua. Kalian berdua salah. Kalian malas. Kalau anak itu
sekarang masih hidup, barangkali ia sudah cukup mampu menolong kau. Saya yakin kau
sangat menyesal dan suatu ketika kau bisa gila bila kau merasa kangen kepada anak
yang malang itu.
RETNO : Sudahlah.
MAE : Retno….
RETNO : Dan….
MAE : Dan?
MAE : Tidak.
RETNO : Kenapa?
MAE : Perempuan seperti Mae. Ya, tidak?. Tidak semua perempuan. Saya telah
menjalani hidup tidak kurang dari lima puluh tahun, panjang dan lengang. Tidak pernah
sekalipun melahirkan anak.
MAE : (marah) Saya tahu! Tahu! Tahu! Saya tahu! (menangis dan mengusap-usap
matanya)
MAE : (seraya menangis) Setiap orang dijagat raya. Semuanya. Seluruh isi jagat. Semut-
semut pun tahu saya perempuan mandul. Tapi tidak sepatutnya kau berkata begitu
dihadapan saya.
MAE : (makin reda tangisnya) Saya kesepian. Saya sungguh-sungguh kesepian sebagai
perempuan. Tidak itu saja. Bahkan saya sangat kesepian sebagai manusia. Sampai-
sampai saya sangsi pada diri saya sendiri. Sampai-sampai saya tidak tahu lagi dimana
saya ini berada. Betul-betul seperti mimpi. Mimpi yang sangat buruk! Kalau sampai
pada tempat itu alangkah ngerinya. Saya tidak lagi dapat melihat apa-apa. Saya mulai
menyangsikan semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau tidak ada. Atau apakah yang
ada dan apa yang tidak ada. Apakah saya yang ada dan yang lain tidak ada. Atau apakah
yang lain ada dan saya tidak ada. apakah….tak taulah! Seluruhnya hanyalah jalanan
panjang yang lengang tak berujung. Sementara tapak kaki mulai kabur.(diam) Segala
yang hidup disibuki oleh tugas kewajibannya masing-masing. Tapi Mae…perempuan
kertas yang dipinjami nyawa cuma. Tersia dan disingkirkan dimana-mana.
HAMUNG : Tukijan.
PANUT : (bangkit) Betul. Aku juga melihatnya di Bioskop Indra. Mula-mula aku kira
mataku yang salah. dan aku mengira cuma hantu atau rohnya., (tertawa) agaknya
memang Tukijan.Jaaaaan!….. Jan! Lama sudah ia memimpikan tanah. Selalu ia
ceritakan nenek-neneknya. Petani semuanya. Tanah itu kotak wasiat, katanya (tertawa)
Kotak wasiat. Pernah satu kali saya diajak olehnya ke Bantul Lihat-lihat sawah, katanya.
(tertawa) Lihat-lihat sawah. Saya tahu dia punya kemauan keras. Saya hormat
kepadanya. Apalagi saya jauh lebih muda. Tapi saya tak salah kalau mengajak dia
supaya meniru perbuatan saya. Terus terang saja saya bilang bahwa mencopet itu
penghasilannya banyak. Kuncinya tentu saja terletak pada keterampilan. dan kelincahan
kita. Mas Marwoto sendiri mengatakan bahwa mencopet itu seni hidup yang paling
tinggi. Seperti halnya berjudi, dasarnya memang untung-untungan. Tapi kata Mas Woto,
untung-untungan itu sudah sifatnya dunia, sifatnya……
RETNO : Jadi…..
PANUT : Kan saya sudah bilang tadi Dia saya temi dekat bioskop Indra. Lagi melamun.
Tapi juga seperti orang bingung. Ah, dia itu. Seperti bukan laki-laki saja. Nih, lihat.
Panut!
RETNO : (tak ambil perduli pada Panut seperti yang lainnya juga) Kalau
begitu….(tersenyum dan dibalik senyumnya ia menyembunyikan sesuatu) Aneh sekali
bukan?
HAMUNG : Aneh sekali. Dia itu orang yang teguh pendirian. Tapi, eh. Mengherankan
sekali. Saya tanya kenapa dia belum berangkat padahal dia sudah pamit pada kita, ia
cuma diam.
PANUT : Bukan mustahil ia pun telah pamit dan minta restu pada Kanjeng Sinuwun.
(tertawa) Memang sedih juga kalau dia jadi berangkat. Tapi memang aneh….
MAE : Waktu adzan subuh tadi pagi untuk pertama kalinya saya menangis seperti
seorang Ibu yang sedang melepas anaknya pergi jauh. Tidak kurang dari satu jam mata
saya meneteskan air. Berkali-kali saya menggelengkan kepala. Mulut saya tak henti-
henti berdoa. Eh, tahu-tahu dia belum berangkat. Betul kata orang dulu. Orang yang
bepergian tak merasa tenang kalau ada diantara orang yang ditinggalkannya belum rela.
(Panut bangkit berdiri dan sekonyong-konyong bisu-bisuan lagi)
PANUT : Bbbb….Aaaaaa…..bBbbbb.
PANUT : Bajigur.
HAMUNG : Habis kau seperti orang yang kehilangan kepala, Kalau kau terus begitu
kau bisa sinting.. Tapi ya bagus juga. Kalau kamu miring, si Koyal ada kawannya. Ya,
tentu ada bedanya. Kalau Koyal kesana kemari pamer bahwa dia anaknya Kumico dan
bangga akan badannya yang jangkung seperti opsir Belanda. Sebaliknya tentu kamu
gembar-gembor bilang masih keturunan Jepang (tertawa)
PANUT : Jangan menghina begitu Mung! Kan tidak kamu saja yang punya perasaan?
MAE : Sudah Hamung. Jangan kau teruskan seperti kemarin. Nanti dia nangis lagi. Eh,
siapa yang nangis kemarin?
PANUT : Bukan saya! Koyal. Dia cemburu, pacarnya serong. Tiap malam pacarnya
digandeng orang katanya.
RETNO : Ee
MAE : Memang. Biasanya Koyal terus saja nyelonong kalau kita sedang asyik-asyinya
ngobrol
HAMUNG : Yakin saya. Dia bisa gila. Setengah mati dia ingin jadi orang kaya.
HAMUNG : Lucunya dia cumua ingin punya uang bertumpuk. Tapi sintingnya,
sedikitnpun ia tidak mau bekerja. Ia cuma ngemis.
PANUT : Makan pun tak mau ia urunan seperti kita-kita ini. Dia cuma makan. Bayar
tidak mau.
RETNO : (tertawa) Dan edannya uang hasil minta-minta nya ia belikan lotre. Entah
sudah berapa puluh lembar lotre dibelinya. Satu kalipun belum pernah ia menang.
MAE : Biarkan ia tidak urunan. Ini permintaan Mae. Mae bilang, kalau kalian semua
yang Mae masakkan boleh Mae anggap sebagai anak-anak Mae. Dan sudah umumnya
anak-anak. Tidak semuanya rajin. Mesti ada saja yang nakal ataupun malas. Mae ingin
kalian semua rukun satu sama lain. Sedikit-sedikit yang malas diajar kerja. Sedikit-
sedikit yang suka nyopet diajar kerja. Mae ingin semua senang lahir batin.
MAE : Tak usah turut Panut. Tak usah. Lebih baik kau pura-pura tak dengar.
MAE `: Dia pasti mednapat celaka! Pasti mendaat celaka! Tapi memang dia masih
bocah. Bukan salahnya (menangis)
MAE : Dia tidak bersalah. Dia masih bocah. Setiap orang harus…….
HAMUNG : Sama sekali tak ada salahnya. Tak ada yang salah.
MAE : Orang tuanya yang salah. Tapi siapa orang tuanya? Di sini saya orang tuanya.
Jadi saya yang bersalah. Seharusnya saya terus menahannya.
MAE : Siapa bilang? Mae tak pernah bertanggung jawab. Sekarang disini Mae berusaha
jadi Ibu kalian. Salah satu di antara kalian sedang menuju ke penjara tanpa di sadarinya.
Apakah Mae harus diam saja? Kalian tahu? Dialah yang satu-satunya yang Mae
harapkan selain Koyal. Hamung, kau besok ke Jakarta. Mungkin juga Tukijan. Dan
kemudian Retno. Dan kalau Mae biarkan Panut masuk penjara dan koyal pergi ke
tempat lain, apakah yang terjadi atas diri Mae? Pulang ke Tegal? Tempat itu bukan lagi
tempat Mae…….Tak ada tempat. Mae akan kembali seperti ketika pertama Mae datang
kemari. Sebatang kara. Kering.
RETNO : Mae tak usah khawatir. Saya tak akan meninggalkan Mae.
MAE : Semua akan meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku yang pertama pun
berkata begitu dulu, tapi akhirnya ia pun mengusirku juga. Dan kemudian suamiku yang
bernama Sutar meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan paling tua pergi
juga. dimakan gunung merapi.
RETNO : Tidak, Mae. Saya juga sebatang kara. Saya juga tersia. sebab itu saya lebih
senang dengan Mae. Berkumpul sangat membantu mengurangi kesusahan.
MAE : Tidak. Kau tidak tersia. Kau masih muda. Belum masanya kau berputus asa.
Sekiranya kau menurut nasihat Mae dan tak usah kau menjadi….
MAE : Retno. Mae sayang sekali padamu. Pada Hamung, pada Tukijan, pada Koyal,
pada Panut dan pada siapa saja yang memandang Mae sebagai Ibunya, Seperti juga Mae
sangat sayang pada Mas Ronggo (diam) Ia kena lahar (diam) Retno, diam-diam perasaan
Mae remuk waktu Tukijan pamit tadi pagi. Tambah lagi Hamung……dan Panut.
HAMUNG : Ya Mae. Retno akan tinggal di sini dan akan selalu bersama Mae.
MAE : Keinginan Mae memang begitu juga, tetapi sebaliknya bagi Retno….
RETNO : Percayalah Mae. Kami tak akan begitu saja melupakan Mae. Kami juga
menganggap diri kami sebagai putra-putri Mae yang nakal-nakal. Bukan Panut dan
Koyal yang nakal, tapi kami semua juga nakal-nakal. (tersenyum menghibur) Dan
kenakalan kami tidak mengurangi cinta kami pada Mae.
MAE : (menangis)
RETNO : Mae sendiri yang bilang dan selalu bilang pada si Koyal bahwa kawan kita
banyak. Bintang-bintang , Bulan, Langit…
RETNO : Mae.
MAE : Kalau kau menurut kata Mae, kau kawin dan Mae kau tinggalkan. Sebaliknya
kalau kau tetap tinggal disini dan kau terus begini…oh, Mae tak tahu apa yang Mae
kehendaki.
( Ketika cuma beberapa angin yang berkata. Tiba-tiba terdengar teriakan Koyal :
HOOOOIIII! Aku dapat lotre!! Hoooiiii!!! Aku menang!! )
( Lelaki kurus tinggi berkulit terang, meski banyak daki, dan berambut lurus, muncul
dengan nafas kacau)
KOYAL : Betul! Malam berkah melimpah (tertawa menang) Lihatlah kedua tanganku.
Di tangan kiri ; lembaran lotre. Di tangan kanan sobekan koran.! Kalian tahu? Aku telah
menyobek koran yang terpasang di muka gedung Agung. Aku terlalu girang. Aku sobek
saja koran itu. Tak peduli! ( tertawa )
MAE : Koyal…..
RETNO : Ha?
KOYAL : (tersenyum bangga) Hampir! Cuma beda sedikit. Beda satu (tertawa)
RETNO : Edan.
KOYAL : Kau lihat, Mung. Pada koran ini tertulis : “hadiah seratus juta jatuh pada
nomer 432480, Solo”, sedangkan punyaku 432488. Ha, beda satu, kan? (tertawa senang)
Hampir aku menang. Betul tidak?
KOYAL : Tak ambil pusing aku. Yang penting aku hampir menang. Artinya tak lama
lagi aku pasti menang. Kau lihat, Muung. (menunjukan lot yang lain) Nih, aku sudah
beli lagi. tidak cuma itu malah. Baru saja aku tanya tukang nujum. Burung glatik yang
cerdik itupun menjanjikan kemenangan itu. Satu kartu dengan gambar bunga mawar,
satu kartu dengan gambar sapi, satu kartu dengan gambar rumah. kau mesti tak percaya?
HAMUNG : Ya, kalau kau sendiri percaya pada tukang nujum itu, saya ya turut-turut
percaya. Biar kau senang. Kau kan slalu ingin senang?
KOYAL : (tertawa) Bagaimana kau ini. Senang itu kan tujuan semua orang?
HAMUNG : Syukur, kalau kau mengerti itu.
KOYAL : Ah. Kalau kau percaya saya mengerti itu. Itu sudah sejak semua orang tua
saya hilang.
KOYAL : Ha?
HAMUNG : Ya, sudah. Percaya. (diam) Nah saya yakin kau telah melupakan sesuatu.
KOYAL : Apa?
HAMUNG : Nah betul kan? Belum kejatuhan uang kau sudah melupakan sahabatmu
sendiri.
KOYAL : Ikat pinggang ini? Kau kira dapat mencuri? Tidak. Saya tidak mau seperti
Panut. Juga lantaran Bapak saya dulu kumico. Sungguh mati. Ikat pinggang ini
dihadiahkan Tukijan sendiri waktu ia akan berangkat tadi pagi.
HAMUNG : Apa ikat pinggang itu sahabatmu? Betul-etul kau lupa. Suling mu Yal!
KOYAL : (tertawa) mana bisa saya lupa? (mengambil suling dari selipan ikat
pinggangnya). Mau lagu apa?
KOYAL : Itu dia. Selera kita ternyata sama. Kau ingat Retno? Nanti dulu. Kau ini
harum sekali. ( pada Hamung ) Retno cantik ya? (tertawa) Nah, kau ingat lakon Ali
Baba?
KOYAL : Kura-kura makan kelapa, ya? Pura-pura lupa, biar orang lain bilang; eh Retno
kau persis bintang Film Sakila (tertawa)
KOYAL : Kalau begitu tepat sekali kita menyanyi malam ini. Dengar. (memainkan
sulinhg) (jangan lupa; sebenarnya permainannya sumbang)
KOYAL : Mau saya setelah saya dewasa. Tapi mereka terburu matii dan membiarkan
saya terlunta-lunta (melamun) Kalau saya ingat nasib saya, ingat saya pada filem
Malaya. P. Ramli Maksud saya. Retno tentu ingat juga.
KOYAL : Betul lho. Saya ingat nasib saya kalau dengar lagu-lagunya. Saya jadi ingat
ibu bapak saya. Terutama saya tidak bisa melupakan pipa gadingnya yang panjang itu.
Pipa itu dikagumi semua orang. Ah (diam) He, Mung. Kau lahir dimana?
KOYAL : Orang ditanya tempat lahirnya dimana kok, jawabnya tak ambil pusing.
HAMUNG : Habis? Apa kau kira saya tahu tempat dimana saya dilahirkan? Apa orang
lain pun tahu tempat dimana dia dilahirkan? Apa kau tahu?
HAMUNG : Ya, sama. Artinya kau sendiri tidak tahu. Apa kau dilahirkan di ranjang
atau di atas rumput tentu kau sendiri tidak tahu. Dan bagaimana bisa tahu? (tertawa)
HAMUNG : Kau kira saya main-main? Tanyalah lagi saya. He, Mung, di mana kau
lahir? Atau di atas ranjang atau di meja kau dilahirkan?
HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Ha, kau anggap saya main-main lagi? Tidak. Coba
kau fikirkan. Saya tahu bahwa saya ada, tatkala saya merasa sakit hati kalau kaki
pincang saya dijadikan ejekan oleh kawan-kawan saya.
HAMUNG : Rumah itu berisi puluhan anak-anak kalau kau mau tahu.
HAMUNG : Rumah itu, rumah yatim piatu. Rumah itu musnah waktu pecah perang
dulu. Nah, bagaimana saya bisa tahu di mana saya dilahirkan? Atau tanyalah. He, Mung,
siapa orang tuamu?
HAMUNG : Tidak tahu. (tertawa) Mengerti? (tertawa) Karena itu kenapa saya mesti
ambil pusing? Yang penting sekarang saya ada. Sebab itu saya harus memberi diri saya
makan.
KOYAL : Itu kau. Saya tetap ambil pusing. Habis saya punya orang tua. Hanya sayang
mereka, juga paman saya dan keluarganya, semuanya dicincang pemuda-pemuda waktu
revolusi dulu. Mereka membantu Belanda dan Jepang. Bagaimana lagi? Kami perlu
makan. Akhirnya tinggal saya seorang. Kalau saya kaya tentu…
( Retno yang sejak tadi gelisah, dalam diamnya, sekarang turut tertawa )
KOYAL : Tidak, tentu saya bisa memperkembangkan bakat kepintaran saya. Lalu saya
fikir…
MAE : Hamung.
RETNO : (tertawa)
KOYAL : ( tidak peduli ) Lalu saya fikir saya harus punya banyak uang dulu. Malah
akhir-akhir ini saya mencintai uang. Mengapa tidak? Saya telah melihat rumah yang
bagus-bagus. Saya telah melihat mobil yang bagus-bagus. Saya telah melihat segala apa
saja yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Lalu…
HAMUNG : …..ngemis (tertawabersama Retno)
KOYAL : ……lalu saya mulai mengumpulkan uang. Tapi pasti terlalu lama. Lalu saya
belikan lotre. Dan baru saja saya hampir menang (tertawa) Itu tandanya tidak lama lagi
saya akan menang. Dan kalau saya menang dan menang dan menang dan menang…dan
menang lagi….oh, uang saya. Bertumpuk setinggi gunung Merapi. (tertawa) Ya, Mung.
Kau boleh pergi ke Jakarta besok dan membuat rumah setinggi pohon kelapa, dan di
sebelahnya, Tukijan boleh membangun rumah yang besarnya lima kali keraton. Apa
yang saya perbuat?
KOYAL : Tidak. Saya akan mendirikan di antara rumah raksasa itu hanya sebuah gubug
kecil saja. Tapi..dengar. Kalau jam tujuh pagi saya, Raja Uang, Keluar dari gubug itu
dengan dua buah koper penuh berisi uang. Jangan lupa, becak langganan saya sudah
menunggu di muka. Dengan dua koper itu saya berkeliling kota. (tertawa) Orang-orang
di sepanjang jalan bersorak sorak ; Hidup Raja Uang, Hiduup Raja uang! Tentu saja
saya hanya manggut-manggut. Dan dari koper itu, saya hambur-hamburkan uang. Pasti
saya tertawa menyaksikan orang-orang berebutan uang seperti anak-anak ayam. Nah,
kalau sudah jam 2 siang saya pulang. Uang habis sama sekali. Dalam gubug ajaib itu
saya tidur siang. Tidur di atas kasur yang berisi uang. Berbantalkan bantal yang berisi
uang, seraya memeluk guling berisi uang (tertawa). Sorenya saya keluar jalan-jalan
dengan empat buah koper berisi uang. Tentu saja kali ini saya mesti menyewa mobil.
Tiap-tiao rumah saya masuki dan saya taburi dengan uang. Terutama sekali rumah kau
dan rumah Tukijan. (tertawa) Dan kalau sudah habis…
PANUT : Tidak usah, Yal. He, Yal. Dengan gampang kau akan punya banyak uang asal
kau mau turut saja malam ini.
KOYAL : Kemana?
MAE : Jangan. Ayo, Panut, kau membantah Mae. Jangan pergi! Disini saja! Koyal, kau
pun tak usah pergi.
KOYAL : Mencuri?
PANUT : Betul?
KOYAL : ……
MAE : Panut, turut kata Mae. Jangan pergi. Jangan. Kemanapun jangan.
PANUT : Syukur. ( melihat kejauhan ) Nah, kebetulan ada seekor kerbau yang lain. Itu
jantan sungguh. Sijio. ( Berseru ) Jioooo!! (pada Koyal ) Kerbau yang itu akan
berkubang uang.( pergi segera )
MAE : ( patah ) Panut! ( marah ) Harus ada yang dimarahi! Siapa? Jangan diam saja!
Kenapa diam saja! (amarahnya terkumpul pada wajahnya)
KOYAL : ( tak percaya ) Mana? Ah, kau pasti main-main kan. Dia sudah berangkat ke
Jakarta tadi pagi? ( melihat ) Eh, betul Mae, si Tukijan. (gemetar) Celaka. Celaka.
KOYAL : Tidak (gugup) Itu. Mungkin. Mungkin dia dapat celaka. Barangkali. Ia
(gugup mencari sarung dari dalam kantongnya). (lalu tiba-tiba seperti kedinginan)
Hhhhhh, dinginnya. Hhhhhh. (dikenakannya sarungnya sehingga celananya tak
nampak).
MAE : Kalau dia berniat pergi lagi besok atau lusa atau besok atau lusa seharusnya dia
tidak menolak. Tapi kenapa? (diam) Tak tahu saya. Tak tahu. (melihat arah darimana
Tukijan akan muncul)
HAMUNG : Barangkali banyak untungnya kelak. Siapa tahu? Barangkali kau lebih
senang juga. Tapi itu urusanmu. Nah, saya tentu saja tak hendak mencampuri sedikitpun.
Memang bukan watak saya ambil peduli urusan orang lain. Salah-salah malah
menjerumuskan.
(Muncul seorang laki-laki sebaya dengan Hamung. Agaknya orang ini pendiam tapi
matanya tajam dan segera mengesankan sebagai seorang lelaki yang penuh
kesungguhan. Namun ia juga emosionil. Dia langsung duduk disebelah Mae. Retno tidak
pernah melihat kepadanya. Hamung bangkit.)
TUKIJAN : Mae.
TUKIJAN : Kalau sekali ini juga gagal lagi, saya berharap subuh nanti saya sungguh-
sungguh sudah punya ketetapan hati yang teguh; setidaknya sudah beli karcis lagi;
seharusnya memang begitu.
TUKIJAN : Sama sekali salah kalau orang mengira bahwa niat saya ini didorong oleh
rasa ingin menolong. Kalau hanya lantaran perasaan itu barangkali tak perlu sampai-
sampai saya harus memperistri kau. Saya membutuhkan kau. Tak lebih dari itu.
TUKIJAN : Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semuanyya masih bakal. Yang
saya miliki hanya kemauan. Dan lagi kita hanya mendengar bahwa tanah di seberang
penuh kekayaan yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masih terpendam.
Segalanya. Di dalam tanah dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-sungguh
menghendaki, kita harus mengangkatnya ke permukaan hidup kita. Saya kira begitu.
TUKIJAN : Retno! Kau percaya? Saya tak peduli siapa kau. Saya hanyya membutuhkan
kau. Tak lebih dari itu. Saya tidak tahu tapi betul saya tak akan melakukan apa-apa
seandainya kau tak ada. Itu saja. Itu pun.
RETNO : Lantaran saya sangat mencintaimu, saya terpaksa menolak kau ajak.
Percayalah, kau akan lebih senang sekiranya kau berangkat sendiri. Tak ada orang yang
akan merepoti kau. Waktu kau lebih banyak.
TUKIJAN : ( bernafas berat. Sebentar menundukan kepalanya lalu melihat pada Mae ).
( Tukijan meludah. Bersama orkes jalanan yang sayup-sayup suaranya. Cahaya pentas
pun menyusup surut dan gelap mutlak akhirnya. istirahat Sesaat.)
BAGIAN KEDUA
Di Atas Mega
( Bersamaan dengan makin terangnya cahaya pentas, terdengar suara seruling Koyal
yang sumbang itu menyusup di sela-sela angin malam yang bergemuruh. Mae, Retno
dan Hamung sudah nyenyak tidur. Tukijan terbaring gelisah setengah tidur di atas tikar.
Sedangkan Koyal masih asyik masyuk di tengah impian-impiannya dengan serulingnya
duduk di bawah tiang listrik )
KOYAL : ( Berhenti main suling ) Uuuu. Uuuuu! Uuuuuu!! ( melepas nafas kepada
beringin ) Selamat malam, beringin tua. ( kepada bulan ) Selamat malam, bulan gendut. (
kepada rumputan ) Selamat malam rumput, ( memandang keliling ) Selamat malam
semuanya. Huh, malam! ( kepada bulan ) Apa? Melamun? Enak memang. Melamun itu
nikmat. ( kepada beringin ) Melamun juga kerja kan? Dan tidak cuma itu, Aku membeli
lotre untuk menjelmakan keinginanku. Uang! Uang! Uang! ( tertawa memperlihatkan
lotnya ) Lihat. ( kepada bulan ) Menang? ……Akan menang. Baru hammpir menang. (
kepada rumputan ) Kau yang tuli! ( kepada bulan ) Aku baru akan
menang…Tidak…satu bedanya (memperlihatkan sobekan koran ) Aku bacakan ya! (
membacanya lambat-lambat ) Di koran tertulis 4-3-2-4-8-0, sedangkan kepunyaan saya :
4-3-2-4-8-0, ( terkejut ) Heran aku (tak pecaya) Ah, mungkin aku salah baca. 4-3-2-4-8-
….0 ( kepada bulan ) He, aku menang artinya ( matanya makin melotot ) aku menang
sekarang ( tertawa ) Aku menang. Aku menang. Tentu engkau yang telah menyulap.
Bulan, kau, main-main. Tapi biarlah. aku senang ( tertawa ) Aku menang. He, rumpur
aku menang. (tertawa) Biar! Aku menang beringin tua. (tertawa) Biar. Enak! ( kepada
bulan ) Terimakasih, bulan. Terimakasih….Ya, enak. Segar, ya? Horeee!!! Hiudp bulan!
Hidup impian! Dongnengmu indah, sangat indah, bulanku. Horeeee!!!
( Sejak itu maka cahaya pentas pun berubah dengan cahaya yang fantastis. Koyal
berteriak kegirangan )
KOYAL : Horee!! Aku menang lotre!! Horee (diam) Melamun sendirian kurang nikmat.
Lebih asyik kalau kubangunkan semua orang. Semua saja (berteriak) Hoooooooiiiiiii!!!
Koyal menaaaaaaaaang!!! Aku menang lotreeeeeeeee!!! (tertawa) Kubangunkan saja
orang-orang itu.
KOYAL : (berhenti main suling) Lihat Mung. Sama kan? 432480, di koran dan punyaku
juga 432480.
HAMUNG : Ya percayaaaa.
KOYAL : Jan.
KOYAL : Tentu aku akan diam nanti setelah kau bilang aku menang.
MAE : Kau tak boleh mengucapkan Koyal menang lotre. Di sini kau harus bilang; Kita
menang lotre (berteriak) KIta menang lotre!!!
MAE : KIta.
KOYAL : Biar. Lezat. (tertawa) Jangan terlampau sadar. Kita sibuk sekarang. Kita harus
urus kemenangan kita. Jangan biarkan waktu jadi terbuang. Kita harus punya rancangan.
Jadi pertama-tama kita harus menukarkan lot ini ke bank. Betul, Mung?
HAMUNG : Betul.
HAMUNG : Begitu.
KOYAL : KIta mulai, bulan sayang (pada Retno) Iya. Perduli tutup perduli buka. Uang,
uang kita. Kalau perlu bank itu kita beli. Akur, Mung?
HAMUNG : Akur.
KOYAL : Uang. (tertawa) Kita ke Bank sekarang. Tidak jauh dari sini. Dekat kantor
pos. Setuju?
SEMUA : Setuju.
SEMUA : Ke Bank.
SEMUA : (sambil jalan ke krii) Kita serbu gudang uang. Kita bongkar kantor Bank.
( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai sayup-sayuo dan lenyap. Lampu jalan
tergoyang-goyang. Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa
lama. Dari sebelah kanan itu muncul mereka berada di muka Bank sekarang. Gednug itu
bertingkat dua.)
KOYAL : Untung sekali kita. Direktur Bank ini berumah di bagian atas gedung ini.
RETNO : Tapi kita agak payah juga. Kita tak bisa mengetuk pintu itu. Bagaimana bisa?
Ketukan kita tak akan ada artinya. Sama sekali pada pintu berterali besi itu.
KOYAL `: Susah-susah. Apa tidak ada yang bernama batu di atas dunia ini. (tertawa)
Akur tidak, Mung?
HAMUNG : Akur.
MAE : Tapi sebelum kita pergunakan batu, kita coba dulu dengan seruan kita.
KOYAL : Kita kan punyya uang. Sumbat saja mulutnya dengan uang.
( lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi. Sound effect )
SEMUA : (tertawa)
KOYAL : —Tukar lotre, pak. Maksud kami, kami menang lotre. Kami mau tukar. —
Tidak pak. Kami butuh malam ini.
MAE : Husssh.
KOYAL : Tapi uang, uang kami kan? Kenapa mesti tunggu segala? — Tidak, pak.
Tidak bisa.
HAMUNG : Tidak.
MAE : Tidak bisa
HAMUNG : Tentu.
KOYAL : (tertawa) Jadi betul kita bebas beli apa saja cuma dengan menunjukan lot ini,
Mung?
HAMUNG : Betul.
SEMUA : Hidup!!
SEMUA : Hidup!!!
RETNO : Ke mana?
KOYAL : Mae?
( semua berbaris )
RETNO : Kebetulan sekali. Cuma ada seorang disana yang sedang makan.
KOYAL : (ketakutan) Tidak—Kenapa takut? Bukankah malam ini saya yang jadi raja?
(pada bulan) Bukankah begitu bulan?—-Harus? Baik (seketika berubah sikap untuk
meyakinkan dirinya ia bertolak pinggang) He, Jan! Dengar!
MAE : Kalau perlu kita akan mencoba meniti garis kaki langit.
KOYAL : Kenapa pula urung. Ayo. Makan sekenyang-kenyangnya. Toh cuma mega—-
Hamung, yang baik cara kau berjalan.
KOYAL : (tersenyum agung) O, ya (pada mae) Mae, cepat sedikit berjalan supaya tidak
kalah dengan matahari. Kalau ketinggalan akan sia-sia saja pesta kita. Nah, ambil tempat
duduk masing-masing. Hamung, sopan sedikit. Sopan santun diperlukan bagi siapa saja
yang memilki kekayaan. Dan kita? Kaya. Mulya. Faham? (akan duduk) Permisi, mas
(duduk) Retno di sisi saya. Yang lain satu deret. (diam) Jangan pergi dulu, mas.
Saksikan dulu pesta kami —- Makan lagi? Boleh saja. Sepuas anda (tertawa) Dunia kita
yang punya. Semuanya kita yang punyya (tertawa) Monggo, monggo. Silahkan. Sampai
ketemu. Kalau kesusahan soal uang temui saja saya mas. Rumah kami di…… (pada
Mae) Di mana, Mae?
KOYAL : Teh susu panas satu. Lalu satu gelas campuran dari ketiga macam minuman
yang tadi (oada Tukijan) Segera kau pesan, Jan. Jangan sampai kadaluarsa seperti
Sangkuriang.
MAE : Yang lain tidak usah kecuali enam potong hati dan rempelo.
SEMUA : Sudah.
KOYAL : Minuman dulu. Hitung, pak. — Gudeg berapa, mbak yu? — Ya, semuanya
saja lihat lot ini dan lihat sobekan koran ini. —- Ha, beres? — (tertawa) Kalian lihat?
(tertawa)
SEMUA : (tertawa)
RETNO : Sesudah makan tentu saja harus kita fikirkan soal pakaian.
KOYAL : Ya, untuk melengkapi sopan-santun, kita harus membalut badan kita dengan
pakaian yang gemerlapan sehingga segalanya tersembunyi rapih.
KOYAL : Baiklah kita semuanya siap berangkat sekarang. Kita ke toko Kim SIn
( Beberapa kali mereka menyuarakan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka toko ramai sekarang. Pengusaha toko
kebetulan ada di muka pintu )
KOYAL : Apa kita budaknya? Dan lagi sekarang belum waktunya matahari
mempertontonkan dirinya. Kalau sempat waktunya, tentulah selesai pula kita memiliki
kekuasaan ini. (dengan cara merendahkan Cina itu dan memegang pundah Cina itu)
Selamat malam menjelang pagi. Heh, selamat malam menjelang pagi. (Cina itu
melepaskan diri dari tangan Koyal) Apa? Sopan? —- Memang kamu bukan budak saya
— (kejam) Ya, tadi memang kamu bukan budak saya. Tapi dalam beberapa menit ini
kamu adalah budak saya. Di tangan saya ada cukup uang untuk mmenjadikan siapa saja
budak-budak saya — Jangan ajari saya soal kesopanan. Saya tahu saya kaya. Dan saya
tahu sopan santun itu cuma milik mutlak orang kaya dan saya…
MAE : Kita!
KOYAL : Kita…
RETNO : Kita!
KOYAL : Kami. Kami adalah orang-orang kaya pada saat ini. Lagi pula apa sebenarnya
yang mendorong kamu orang untuk tersinggung? padahal saya…
MAE : Kami datang akan menimbuni kamu orang dengan keuntungan yang berlebihan
dibanding dengan kebutuhan kamu orang untuk makan — Ya, pakaian biar sopan —
Bukan. Bukan untuk menghindari dingin. Demi sopan santun. Kalau hanya karena
dingin kita berpakaian maka pada musim kemarau kita tak perlu berpakaian artinya.
Jadi, biar sopan. Paham? Biar semuanya tersembunyi. Tapi apa perlunya kita berbincang
soal ini. Yang penting ini. Untuk kamu orang keuntungan, dan untuk kami orang
pakaian. Beres? (pada kawan-kawannya) Ketawa dia.
(semua ketawa)
KOYAL : (pada cina) Ya, ya …. (pada kawan-kawannya) Ayo masuk kita (pada cina)
Tidak. Tidak usah dibuka semua pintu. Cukup pintu ini saja. Kami maklum sebenarnya
toko sudah tutup kan.
( Semuanya masuk melalui pintu yang sempit itu. Mereka menyerbu lemari-lemari di
mana pakaian-pakaian bertumpukan dan juga barang-barang lain dipamerkan)
RETNO : Oh, Tuhan. Betapa bahagia saya. Sudah lama saya impi-impikan barang ini
(pada Mae) Lihatlah, Mae. Mungil. B-H ini sangat bagus, bukan?
MAE : Bagus sekali, Retno. Bagus sekali. Coba pilihkan Mae satu.
KOYAL : Satu! Satu kotak sekalian. Kamu tidak boleh begitu gampang melupakan
bentuk pakaian yang pertama setelah lama nenek-nenek kita kedinginan, eh bukan!
Setelah lama nenek-nenek kita tidak sopan.
HAMUNG : Bisa terus pakai di sini. Bah? — Terima kasih. Ah, pelayanannya sangat
memuaskan sekali ( ke tempat ganti pakaian)
( Koyal mendekati Hamung. Dia juga ganti pakaian. Dia mengenakan kemeja lebih dulu
kemudian celana. Setelah bercermin, ia bercermin pada Hamung)
KOYAL : Apa?
TUKIJAN : Kampak.
KOYAL : Apa?
HAMUNG : Rokok.
( Mae muncul, begitu lari ia mendapatkan sesuatu. Dipeluknya dan diciumnya kini. Dia
menangis kini)
MAE : Kangen….kangen….oh, anakku….kangen….. cah
bagus…..bonekaku…mataku….hidungku…tanganku….kakiku….
KOYAL : (heran takjub luar biasa) Aduuuh!
KOYAL : Semuanya takluk. Aduuuh. Bagaimana bisa begitu cantik. Bisa-bisanya kau
jadi bidadari.
KOYAL : Maksud saya kau jauh lebih, jauh lebih cantik dalam pakaian merah menyala
dengan ukuran yang ketat seperti itu.
TUKIJAN : (melotot)
TUKIJAN : (melotot)
TUKIJAN : (sekonyong meleddak) Cape, Bangsat! Orang bisa cape oleh impian apa
oun. Lumpuh. Bajingan! Bajingan!
( Koyal menengadah )
TUKIJAN : Cape.
TUKIJAN : Mengaso.
KOYAL : Katakan saja itu lebih baik. Ini peringatan terakhir ; ingat-ingat dengan baik
perananmu malam ini.
KOYAL : Nah, karena saya juga cape kita harus mengaso. Tapi karena kita orang-orang
terkaya di seluruh jagat raya ini maka sudah sepatutnya tempat istirahat kita pun
terhebat. Ada usul?
MAE : Kaliurang.
RETNO : Kita semua pernah ke sana. Saya kira akan menyenangkan sekali kalau kita ke
Tawangmangu.
KOYAL : Bagaimana?
SEMUA : Tawangmangu.
( Beberapa kali mereka menyerukan itu sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu-lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai lagi jelas kedengarannya setelah agak beberapa lama. Dari sebelah
kanan mereka muncul. Mereka di stanplat bus kini)
KOYAL : (tergesa) Ha, itu dia (mengejar) Solo! Solo! Sombong betul dia. Bagaimana
kalau kita sewa sedan saja?
HAMUNG : Kita bisa langsung.
RETNO : Begitu lebih baik. Kita bisa langsung. Bisa lebih cepat.
( Koyal mendekati sedan itu. Dia tampak berunding. Tapi kita tidak bisa mendengar apa
yang mereka cakapkan sebab mereka agak jauh. Akhirnya kita tahu koyal tersenyum dan
melambaikan tangannya. )
KOYAL : Ayo!
( Semua mendekati sedan itu. Satu demi satu masuk ke dalamnya. Koyal dengan Retno
duduk di muka di samping supir. Tak berapa lama mereka pun berangkat )
KOYAL : Sedan!
(Angin menderu-deru)
KOYAL : Betul?
HAMUNG : Saya bilang mungkin. Mungkin saja saya dilahirkan di atas pohon kelapa
(tertawa)
( Sekonyong kendaraan itu sangat kencang larinya. Mereka tegang. Retno akan
mengucapkan sesuatu tapi Mae mengisyaratkan dengan jari pada bibirnya. Sekonyong
sedan itu berhenti tiba-tiba. Tentu saja mereka sangat terkejut dan terdorong ke depan )
RETNO : Apa?
KOYAL : Hampir ketabrak. Untung sopir kita ini seroang sopir tua yang cekatan.
TUKIJAN : (jengkel) Mana ada sate ayam yang bukan dari ayam.
RETNO : Kenapa?
MAE : Nah, yang berbaju kembang-kembang itu. Yang rambutnya agak keriting
KOYAL : Apa?
KOYAL : Kenapa?
( Secara mekanis ia menunjukan lot pada sopir lalu ke luar dari sedan setelah sang sopir
mengangguk )
( Dengan malas Hamung bangun dari tidurnya. Ia telah tertidur lama sekali. Begitu
bangun keluar dan begitu mendekati salah seorang penjual jeruk )
( Retno segera menuju ke tempat di mana beragam kembang tumbuh. Sedang Mae sibuk
memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk. Dan Tukijan jongkok memandang
sawah ladang yang membentang. Adapun Koyall sedang menatap tuannya, sang
purnama )
TUKIJAN : Cuma otot dan otak yang dibutuhkan tanah-tanah itu Sumatera.
KOYAL : Apa?
HAMUNG : (pada penjual jeruk) Lihat! (dengan cuma-cuma mengambil tiga buah)
MAE : Saya tidak membutuhkan jeruk. Saya tidak pernah ngidam. (menangis) Saya
ingin naik kuda.
RETNO : Saya juga butuh seekor. Biar tidak cape kita mendaki puncak sana. Ah, betapa
indahnya air terjun itu pasti.
MAE : Kebetulan kecil sekali. Kecil mungil oh, putih seperti awan. Tolong Mae dibantu
sedikit (dengan dibantu dan agak susah menunggang kuda)
( mereka berangkat )
KOYAL : (tertawa) Mana dingin? Saya mengenakan jas dan dasi. Bukan dingin, tapi
segar. Segar bugar. Bahkan kita seperti telanjang badan.
MAE : Ini namanya kesejatian. Nafas bayi — lepaskan, le. Saya akan melarikan kuda ini
cepat-cepat ( dibawa lari oleh kudanya )
TUKIJAN : Lepaskan.
( Dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. Mereka muncul. Mereka
lenyap. Mereka muncul lagi )
( Lagi dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. mereka muncul.
Mereka lenyap. Mae muncul dengan kudanya yang larat dan berhenti tiba-tiba di sudut
panggung kiri atas. Cahaya hampir hilang sama sekali )
( keempat yang lain muncul, dan berhenti. Angin sama sekali tak ada. Kini seluruhnya
hanya ilhuet )
MAE : Mae!
HAMUNG : Mae!
TUKIJAN : Mae!
MAE : Kuburan.
MAE : Mae sangka mereka pahlawan-pahlawan. Ada tulisan jawa pada sebilah batu
besar.
RETNO : (tiba-tiba ketakutan) Kita harus segera turun. Harus segera. Tak tahan.
( Mae melarikan kudanya dan lenyap. Setelah agak lama ia muncul di muka mereka.
Tanpa kata. Dalam sunyi mereka segera berbalik dan melarikan kudanya masing-masing
kembali ke tempat semula. Mereka lenyap. Mereka muncul. Angin. Cahay demi sedikit
kembali terang)
( Mereka semua turun dari kudanya. Retno terus menangis )
MAE : Benar. Kita harus pulang. Semua orang setelah sejauh apapun berjalan mesti
kembali pulang ke rumahnya. Tapi dimana rumah kita?
KOYAL : Di mana?
MAE : Keraton.
KOYAL : Apa?
( Semua berbaris )
SEMUA : (seraya berangkat) Keraton kita beli. Raja kita beli. Keraton kita beli.
( Beberapa kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayp
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduk-aduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Lonceng Keraton berdentang satu kali; setengah tiga. Suara mereka kembali jelas setelah
agak beberapa lama. Dan lalu muncullah mereka. Di sitihinggil kini.
MAE : (melihat keliling) Keramat. Keramat. (gemetar) Sinuwun Gusti Ndalem nyuwun
ngapunten.
KOYAL : (menunjuk dirinya) Inii Sinuwun Gusti. Semua jangan salah dan keliru.
(berlagak raja jawa) Ha, ha, ha…..Kebetulan. Mereka telah boyong, sebelum kita
menghunus keris dan tombak-tombak prajurit diangkkatkan, paman patih.
KOYAL : Ibunda.
RETNO : Kanda.
KOYAL : Aku hanya memanggil. (tertawa) Bulan, sejak kini permainan yang kau
ciptakan luar biasa sekali. Kenikmatan yang kau kirim terasa sangat aneh. Badan saya
tergetar-getar jadinya. Enak. Enak. (tergetar-getar seperti kedinginan) Nikmat. Nikmat.
(tertawa) Ibunda.
MAE : Betul juga. Oh, baru ibunda ingat sekarang. (pada Hamung) Patih.
HAMUNG : Tepat saatnya. Bulan Syura. Sang Dewa Waktu telah berkenan hadir
malam ini untuk meramaikan keraton jaya ini, dengan anugerah kemenangan besar
kerajaan mega dan berkenan pula semoga Sang Hyang membisikkan ilham wahyu
sebuah nama yang gagah megah pada telinga Sinuwun Gusti Koyal. Sehingga karenanya
kerajaan mega dengan rakyatnya yang bergumpal-gumpal banyaknya akan beroleh raja
gagah megah dengan nama gelar yang megah gagah.
MAE : Dengarlah; Sultan Batara Nirwana. Apakah bukan anam yang merdu?
RETNO : Kanda.
RETNO : Apa tidak kena kalau kanda bergelar Pangeran Endah Takterperi?
KOYAL : (manggut) Bagus sangat. Tapi saya kira ketiga-tiganya sama-sama bagus.
KOYAL : Saya tidak usah memilih. Yang terbaik adalah menggunakan ketiga-tiganya.
KOYAL : Lengkapnya begini; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, kau punya usul,
Paman?
KOYAL : Jadi, Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh Purnama Maha Raja, eh, Ibu
punya kemauan bagaimana tadi?
KOYAL : Komplit ; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh, Purnama, eh, Maha
Raja, eh, Batara Nirwana. Bagaimana Paman Patih?
HAMUNG : Ampuni hamba, Gusti, hamba bertanya tidakkah nama sepanjag itu tidak
sukar menyimpannya.
KOYAL : Panjang sekali sukar dihafal, pendek sekali sukar untuk dinyanyikan. (diam)
Kita bagi empat saja. Begini. Pertama, setiap kali saya menyebutkan Pangeran Raja
Sultan.
KOYAL : Ya.
TUKIJAN : Kalau begitu hamba akan bertindak, selaku Bendaha Istana sahaja.
KOYAL : Terserah.
MAE : Apakah itu tidak berarti dengan semena-mena kita dituduh ceroboh dan tidak
senonoh?
KOYAL : Jadi?
TUKIJAN : Kalau begitu mari ramai-ramai kita bakar saja kerajaan ini.
HAMUNG : Pemberontakan?
RETNO : Pemberontakan?
KOYAL : (murka) Saya yang di sini jadi raja yang bergelar Pangeran Sultan Raja.
KOYAL : (tertawa dibuat-buat seperti raja) Jangan bicara sembarang bicara. Bicara
sopan besar anugrahnya. Penghinaan, perang akibatnya. Di sini raja bukan sembarang
raja. Raja sakti mandraguna (manggut-manggut). Masih ada ampunan. Nah, kalau kau
ada usul apa usulmu, kalau ada kehendak, ucapkan semerdu-merdunya.
TUKIJAN : Hamba cape. Kita semua nanti bisa jadi hilang fikiran dan hilang ingatan.
KOYAL : Sabar. Sabar. (pada Tukijan) Ulangi kalimat pertama saja. Kalimat
selanjutnya kau simpan saja sendiri. Itu namanya kesopanan.
KOYAL : Cukup (pada Hamung) Bagaimana, usul itu ditimbnang, Paman Patih?
HAMUNG : Berdasarkan kebutuhan kerajaan usul itu sangat tepat. Memang sebaiknya
kita harus segera menukar tenaga yang lelah setelah berkeras menghalau prajurit musuh
dalam perang laga baru saja.
KOYAL : Usul diterima. Gatutkoco pun telah binaa. Tak ada lagi kebutuhan tenaga
(bertepuk sekali) Mari Rajinda mana gundik-gundik saya?
HAMUNG : Dalam jumlah yang cukup memadai hasrat telah tersedia dan tersaji dalam
peraduannya masing-masing.
KOYAL : Tak sabar yang ada (menahan nafasnya). Perintah! Paman Patih tidur di
kamar sana. Dan selama saya beradu, umumkan pada rakyat bahwa kerajaan dalam
bahaya.
KOYAL : Bendahara hanya boleh tiduran. Rancangkan sumber harta dan kekayaan.
KOYAL : Ibunda.
KOYAL : Bunda bebas memilih ranjang. Hanya satu yang tabu. Ranjang ananda.
KOYAL : (pada bulan) Kau lucu sekali, bulan gendut. (tertawa) Enak sekali (tertawa)
Uang! Uang! (tertawa terpingkal-pingkal)
( Sementara angin makin kencang dan sementara kawan-kawannya tertidur semua dan
sementara cahaya mulai surut, Koyal terus terpingkal-pingkal. Dalam kegelapan dan
angin yang deras masih juga ia terpingkal-pingkal. Selanjutnya, istirahat )
( BAGIAN KETIGA )
DI ATAS MEGA
( Bagian ketiga ini dimulai dengan tangis panjang tokoh kita, Koyal. Cahay demi sedikit
menyibak kegelapan. Hanya seroang saja di antara kawan-kawannya yang belum puas
tidur yaitu Tukijan. Yang sejak sore tadi hanya berguling-guling setengah tidur. Di
bawah tiang listrik Koyal berjongkok membelakangi penonyon. Ia menangis )
KOYAL : Semua orang sudah tahu Koyal menang lotre. Kau juga sudah tahu. Kelelawar
juga sudah tahu, saya telah menjadi orang yang terkaya. Kau juga, rumput. Kau juga
maklum, beringin tua. Lebih-lebih kau bulan. Kaulah yang paling tahu segala apa yang
sekarang ada pada saya. Seantero jagat raya tahu segalanya tentang diri saya. Tapi
semuanya, juga kau bulan gendut tak pernah tahu, tak pernah mau tahu……oh
kalian…….oh, kau……tak pernah peduli………pasti! Semuanya tidak tahu bahwa sejak
lama Koyal jatuh cinta……jatuh cinta pada Retno……Kau menertawakan saya, ndut?
Biar. Rumput-rumputan juga mencibir. Biar. Kau juga terkekeh-kekeh, beringin tua.
Biar. Sudah sejak lama saya selalu ingin memegang kakinya. (berhenti menangis)
Malam ini, ya? Ya? Saya akan pegang kaki itu. (tertawa) Bulan, kau pasti jatuh hati pada
kaki itu. Nah, saya pegang dia. — Berani. Kenapa? —- Biar. Kalau dia marah beri saja
dia uang seratus dua ratus —- ribu. Saya orang kaya — (tertawa) Kaya (tertawa) Kaki.
Biar. (Bangkit perlahan dan dengan bergetar dan nafas berdesah. Ia mendekati Retno
yang lelap tidur berselimut kain. Betisnya kelihatan. Beberapa saat Koyal cuma
memandangi saja dan sesekali ia meminta pertimbangan sang rembulan. Lalu dengan
hati-hati sekali ia menyibak ujung selimutnya sehingga betis Retno nampak lebih jelas.
Lalu dengan nafasnya yang makin kacau ia meraba betis Retno. Baru saja sedikit kulit
tangannya menyentuh kulit betis itu segera ditariknya lagi seperti tersentuh api.
tersenyum) Bulan……(turun naik nafasnya) Kaki, eh, betis perempuan itu lain, ya?
(tertawa berdesis) Halus….. (dirabanya lagi kaki itu) Halus….. Dia diam saja. (tertawa
berdesis) Barangkali dia juga senang….. (dipegangnya kaki itu agak lama) Bulan,
(tertawa) Kau tidak ingin pegang? ………. Mana yang lebih enak, uang atau betis
perempuan? ……. Saya jadi agak pusing. Pusing-pusing enak. (tertawa berdesis)
KOYAL : ….tidak,….
KOYAL : Tidak.
TUKIJAN : Tidak?
KOYAl : Tidak.
TUKIJAN : Apa?
KOYAL : …..tidak…..
KOYAL : …..Gila…..
TUKIJAN : Bangsat!
TUKIJAN : Lagi?
KOYAL : …….tidak…..
TUKIJAN : Bajingan!
( Sekali lagi Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal meraung-raung kesakitan
sehingga karenanya Mae terkejut dan terjaga dari tidurnya. Jantung perempuan tua itu
kencang berdenyut. Segera ia masuk ke dalam persoalan itu )
MAE : E,ee ada apa ini? Kenapa? Jan, jangan pukul dia.
TUKIJAN : Bangsat!
TUKIJAN : Kamu telah menghina saya, Yal. Kamu telah mengejek saya. Berapa kali
telah saya katakan tentang ini semuua? Kamu boleh, boleh melakukan apa saja dengan
dia. Siapa bisa melarang? Memang dia lonte. Saya tahu, Yal. Dia lonte. Karena itu tidak
ada yang bisa melarang kau berbuat apa saja dengan dia. Tidak peduli kamu tidak waras.
Tapi janghan di muka hidung saya. Berapa kali telah saya katakan? Jangan di muka
saya. Semua kawan mengerti. Tapi diam-diam rupanya kamu memancing-mancing
amarah saya.
( Retno Terbangun )
( Hamung terbangun )
RETNO : Mae?
MAE : Nanti dulu. Nanti dulu. (baru saja ia membayangkan. Tukijan seolah-olah akan
memukul Koyal) Nanti dulu. (mencucur air dari matanya) Sabar. Sabar. (mendekati
Koyal yang masih terisak dan membelai kepalanya) Kenapa mesti bertengkar? Kenapa
mesti?
TUKIJAN : Ikat pinggang saya. Bajingan. Setengah mati saya putar-putar mencari
barang itu, Kembalikan!
KOYAL : Tidak.
MAE : Lepaskan nak. Kau nanti boleh beli ikat pinggang yang baru. Lepaskan.
KOYAL : (takut menyerahkan ikat pinggang) Jangan pukul saya. Saya diberi kok.
TUKIJAN : Siapa?
KOYAL : Dia?
KOYAL : Retno.
( Retno pergi menyusup kegelapan yang mulai agak tipis. Sejak itu agak lama tak terjadi
percakapan. Angin semakin kencang )
TUKIJAN : Yal, kemari.
TUKIJAN : Ke sini.
TUKIJAN : Tidak.
TUKIJAN : Yal.
TUKIJAN : Ya, kalau kau tahu artinya kau waras Yal. Kau ingin sembuh?
MAE : Tidak begitu caranya. Lagi pula dia masih bisa merasa sakit hati seperti kau. Dia
juga manusia seperti kau. — Dan adakah perlunya?
HAMUNG : Siapa orangnya yang rela pusing dan pusing-pusing, Mae? Mae, jagat ini
sangat besar dan tidak pernah menghiraukan siapa saja. Sebaiknya Mae diam. Mae akan
senang.
MAE : Saya bukan kau.
HAMUNG : Mae nanti kecewa. Kita tidak akan mendapatkan apa yang kita minta.
Orang lain tidak akan memberikan apa-apa pada kita. Lebih baik diam. Dan apa
gunanya?
KOYAL : Uang.
TUKIJAN : Saya kira kau nanti akan sembuh kalau saya berani melakukan sesuatu.
Betul kau ingin uang banyak?
KOYAL : Betul?
TUKIJAN : Pasti suatu ketika kau akan menjadi orang kaya, kaya harta dan kaya
segalanya. ( disobeknya lot itu).
TUKIJAN : Jangan menangis. Kau bukan anak kecil. Kalau kau tetap menangis kau tak
akan pernah mendapatkan uang yang banyak itu, kecuali angka-angka.
KOYAL : kau jahat (bangkit takut-takut mengancam Tukijan). Berikan lot itu!
KOYAL : Mae, dia jahat sekali. Oh, uang saya diterbangkan angin. (mengejar sobekan
lot) Tolong….!
HAMUNG : Kalau saya jadi kau tentu pipi Retno yang saya tampar dan bukan pipi
orang lain, apalagi pipi si kepala kopong itu.
HAMUNG : Kau juga tahu saya bisa melakukan hal yang serupa atas diri kau. Saya
anggap kau sama dengan Koyal.
MAE : Cukup. Sekali lagi Mae minta. Berhenti kalian bertengkar mulut. Kalian mulai
lupa. Kalian sudah lupa. Kalian anak-anak Mae. Sekarang Ibu kalian menyuruh kalian
diam. — Oh Betapa enaknya dunia ini tanpa….tanpa…Maksud saya kita akan lebih
bahagia tanpa pertengkaran.
MAE : Ini malam syura. Di alun-alun ini bertebaran semalam suntuk berbagai ragam
berkah. Semuanya. Seluruhnya bernama berkah.
( Seorang pemuda dengan wajah kusut dan pucat karena semalaman tak tidur dengan
gemetar lewat. Ia adalah pemuda yang tadi sore dikejar Retno. Begitu ia keluar,
langsung muncul beberapa orang peronda. Sebelum mereka keluar. Salah seorang
diantara mereka menyorotkan lampu senter pada sekitar yang gelap. Tak luput wajah
tokoh kita. Begitu mereka lenyap, terdengar suara mereka )
TUKIJAN : Bajingan.
MAE : Sabar.
TUKIJAN : Mereka orang-orang beragama. Saya berani taruhan, sebagian besar dari
mereka lebih jahat daripada penghuni emper-emper toko. Untung saja mereka punya
pakaian yang bagus-bagus dan bersih-bersih.
TUKIJAN : Tidak.
HAMUNG : Mudah-mudahan.
( Muncul Retno )
MAE : Siapa?
RETNO : Si banci tadi. Kemana dia? Saya melihatnya tadi dekat masjid.
MAE : Pemuda?
RETNO : Huh, patah lehernya nanti, saya cekik. Betul bukan? Sampai tujuh keliling si
banci itu akan berputar-putar sekitar alun-alun ini membuntuti saya. Kemana tadi?
HAMUNG : Kenapa ?
MAE : Ya, saya harap begitu. Saya harus merebutnya. Oh, saya tiba-tiba takut sekali.
Hamung sebentar lagi pergi. Sebentar lagi. Semuanya akan kembali sepi, Kenapa
jantung saya? Saya gemetar sekali. ( Sekonyong-konyong menubruk dan memeluk
Tukijan ) Jan! ( Dalam isak ) Jan. ( dalam isak ) Kenapa sama sekali kau tak punya rasa
terimakasih? Tapi siapa yang memilikinya? Tapi kau anakku. Kalau sama sekali kau tak
punya apa-apa namun paling sedikit kau harus punya rasa terimakasih. Sekarang kau
diam saja serupa patung-patung di musium. Kau tak melihat saya dalam memandang
saya. Sebab itu gampang saja kau akan tinggalkan ibumu sendiri di alun-alun ini, di
tanah bebas yang tidak bebas ini. ( melepaskan dirinya dari Tukijan dan duduk
menunduk ) Kalau saya muda pasti saya tak akan mengucapkan kata-kata itu. Hamung
sekalipun cintamu samar-samar, tapi pasti kepergianmu nanti akan melengkapi kesepian
saya. ( Setelah mengosongkan dirinya ) Tapi sebagai orang tua, sebagai seorang Ibu
yang tabah tentu saja saya harus melepaskan kalian berdua dengan doa restu, dan saya
akan menyertai kalian dengan keprihatinan saya. Ikhtiar. ( Tersenyum sementara air
mata itu masih kemerlap pada bulu matanya yang kelabu itu ) Nah, beginilah memang
kesudahannya.
HAMUNG : ( Menyalakan rokok ) Kita tak usah buru-buru. Kereta yang akan membawa
kita bertolak ke Solo jam empat. Paling cepat, biasanya setengah tujuh kereta itu
berangkat dari Tugu. Dulu ada kereta yang berangkat pagi dari sini. Kata Mas Dharmo,
kita nanti memasuki Senen jam sembilan atau delapan. Tapi jangan harapkan. Lebih
baik kita bayangkan lusa baru sampai. — Barangmu dimana?
HAMUNG : Barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali ke pekerjaan lama ;
becak. Tapi saya akan berusaha jadi calo. Kau harus membesarkan otot di Sumatera.
Musuhmu bukan saja binatang tapi batang pohon raksasa. Kau pernah dengar cerita
Mbah Wirjo tentang sebuah keluarga yang habis musnah karena didatangi seekor
ular?— (tertawa) Saya tidak punya apa-apa, tapi saya ingin apa-apa kalau sudah lama
saya tinggal di Jakarta. Saya kira saya harus belajar pada orang-orang Batak. Kau pernah
dengar bagaimana mereka menguasai stanplat bus? Mereka sungguh-sungguh penguasa.
Jangan harap polisi bisa berbuat sesuatu disana. Juga yang lain jangan kau harapkan.
Saya pikir begitu. Saya harus seperti mereka. Kalau ukuran mereka mati, saya
pun harus demikian. Saya tidak punya apa-apa.— Dimana barangmu?
MAE : Darimana?
MAE : Dengan diam, justru kau mengatakan semuanya begitu lengkap. Tidak usah.
Seharusnya kau tidak menceritakan dengan cara apapun. Lebih baik begitu. Lebih baik
bagi kau sendiri. Juga bagi orang lain. Terutama bagi Mae. Lebih baik tak ada apa-apa
kalau saya sendiri tidak pernah punya apa-apa.
MAE : Kau sekarang bukan bayi lagi. Kau sekarang seorang lelaki setengah baya
dengan kumis yang panjang dan mata yang amat tajam. Di mana kau, Panut?
( Panut bangkit )
MAE : Sebaiknya saya juga merokok. Barangkali saya bisa lebih baik. Berikan sebatang
pada saya.
( Panut bangkit dan menyerahkan sebatang rokok. Tatkala rokok itu di bibir Mae itu
menyala, Panut mulai bisa tersenyum. Satu kali hisapan Mae tidak apa-apa. Dua kali
hisapan juga tidak apa-apa. Tiga kali hisapan ia batuk-batuk. Hamung dan Panut tertawa
)
MAE : Tidak enak. ( Sambil batuk-batuk) Tidak enak. Tidak ada yang enak.
PANUT : Belum biasa.
PANUT : Enak.
MAE : Tidak begitu. Kalau sudah biasa kita tidak akan lagi merasakan pahitnya.
MAE : Saya tidak mengatakan kau mencuri. Saya hanya bilang kalau sudah biasa
mencuri lama-lama juga kita tidak rasakan seperti kerjaan yang jahat.
MAE : Saya tidak bilang kau mencuri. Kau pasti tidak pernah mencuri. Dan kalau pun
pernah melakukannya, kau pasti tak akan mengatakannya.
PANUT : Mas Hamung, rokok ini untuk Mas Hamung (menyerahkan sebungkus rokok)
PANUT : Dari……
HAMUNG : (menerima rokok) Jangan teruskan. Tak perlu. Tak ada bedanya bagi saya.
Yang penting rokok.
HAMUNG : Yang masih utuh baru saya buka nanti kalau kereta api itu telah membawa
saya ke arah barat. Coba nyalakan.
HAMUNG : Kau pikir begitu? Kau senang kalau saya mengisap rokok pemberianmu
ini?
PANUT : Senang.
PANUT : Senang.
HAMUNG : Bagus. Kalau begitu kelak kau akan jadi laki-laki yang jantan.
HAMUNG : Dan kalau kereta api itu membawa saya ke arah barat, kau juga tetap
senang?
PANUT : Tidak.
HAMUNG : Kenapa?
HAMUNG : Betul?
PANUT : Betul.
HAMUNG : Sungguh sayang. Kalau begitu kau akan jadi laki-laki yang tidak bahagia.
HAMUNG : Betul?
PANUT : Bagaimana?
HAMUNG : Kalau saya berangkat nanti, tepat sewaktu saya melangkahkan kaki kesana
kau harus membenci saya. Setidak-tidaknya kau tidak boleh menyimpan perasaan apa
pun karena peristiwa itu. Sekalipun kita sudah lama sekali bergaul.
PANUT : Bisa.
HAMUNG : Bisa ?
PANUT : Bisa.
PANUT : Yakin. Dua hari ini saya selalu merasa yakin. Memang harus begitu.
HAMUNG : Betul?
HAMUNG : Kalau begitu saya juga yakin kelak kau akan bisa jantan dan bahagia.
MAE : Saya lihat malah dia seperti telah beruban rambutnya. Tapi kenapa kumisnya
panjang sekali dan amat tajam ujungnya.
MAE : Gatotkoco.
PANUT : Saya lebih suka Ontorejo.
HAMUNG : Banyak?
HAMUNG : Berapa?
HAMUNG : Tidak usah. Saya anggap saja jumlahnya terlampau banyak sehingga sukar
dihitung oleh tiga orang.
MAE : (mengancam) jangan berani kau merampasnya, Hamung. Jangan sekali-kali kau
ambil uangnya. Uang itu hak miliknya.
PANUT : Tidak ada. Malah saya ingin memberikan kepada Mas Hamung sedikit.
MAE : Jangan. kau anak tolol. Uang itu uangmu sendiri. Kenapa kau berikan kepada
orang lain?
MAE : Jangan.
MAE : Jangan.
HAMUNG : (setelah menerima uang itu) Sekarang saya akan pergi ke musium. Saya
akan mandi. Lalu saya berangkat ke stasiun.
( Hamung lenyap dalam kabut pagi. Lonceng keraton berdentang empat kali.
PANUT : Mae, terimalah uang ini.
PANUT : (menahan diri) Karena saya bukan anak Mae. Lebih baik begitu. Mae nanti
bisa senang. Terimalah, Mae.
MAE : Saya tidak mau makan tanpa lebih dulu saya bekerja.
PANUT : (pasti) Saya harus jadi laki-laki, tapi saya sedih. Lebih baik merokok banyak-
banyak. (membuang ingusnya) Saya mulai merasa benci entah pada siapa. Persetan..
MAE : Saya harus mempertahankan Retno. Kalau dia juga pergi saya akan merasa
hilang.
RETNO : Sebagian di musium. Biar saya saja yang berkemas. — Tapi nanti dulu. Kau
tahu aku tak akan memberi kau anak?
( Masih diam )
TUKIJAN : Apalagi yang dipikirkan? Kita sudah kehilangan waktu satu hari.
TUKIIJAN : Retno.
TUKIJAN : Semuanya hanya berkisar pada perasaan saja. Ruwet jadinya. Semua tidak
ada yang terwujud.
TUKIJAN : Kenapa?
( Retno diam )
TUKIJAN : Siapa?
TUKIJAN : Ya, kau mencintai dirimu juga. Kau tidak pernah mencintai siapapun
kecuali mencintai gincumu.
RETNO : (bangkit marah) Apa kau pikir kau juga mencintai saya? Omong kosong! Kau
cuuma mencintai dirimu sendiri. saya akui yang paling saya cintai tentu diri saya sendiri,
sebab tak ada orang yang mencintai orang lain lebih daripada mencintai dirinya sendiri.
RETNO : Saya marah karena kau marah. Belum apa-apa sudah berani marah-marah.
Akan kau jadikan apa saya di tanah seberang sana? Jadi babu? Seenaknya saja. Apa kau
pikir saya akan mati kelaparan kalau tetap tinggal di sini? (tiba-tiba menangis) Saya jadi
bingung.
TUKIJAN : Tentu saja kau jadi bingung. Sudah saya bilang yang harus kau lakukan
sekarang adalah berpikir bukan merasakan.
RETNO : Saya bingung karena terlampau banyak orang yang saya cintai. Dan, O Gusti,
saya tidak bisa melupakannya. Saya sangat mencintai perempuan tua itu juga.
TUKIJAN : Saya mengerti. Bukan kau saja yang mencintainya. Banyak orang yang
mencintainya. Kita semua berhutang budi kepada mae. Dengan sayang ia mengurus
makanan kita. Paling tidak saya tidak bisa melupakan masakannya. Kita selalu tidak
percaya bahwa dengan bahan-bahan yang kacau kita dapat menikmati makanan yang
luar biasa lezatnya. Saya yakin, orang-orang yang berumah mewah akan menghabiskan
makanan itu dalam sekejap, sekiranya makanan itu disajikan dalam wadah yang biasa
dipergunakan mereka. Apalagi kalau disajikan dalam wadah yang berukir dari keraton
(diam) Tapi apa kau pikir demikian picik Mae, sehingga Mae mengharapkan balasan
dari setiap yang dilakukannya untuk kita? Mae orang tua. Orang tua tidak pernah
mengharap apa-apa. Mereka cuma mengharapkan anak-anaknya senang dan bahagia;
jauh lebih senang daripada dia sendiri.
RETNO : Justru karena itu saya tidak tega. Saya tidak bisa. Sudahlah. Kau nanti
terlambat. Pergilah kau. kalau mungkin, saya akan menyusul kelak. Percayalah, saya
mencintai kau kapan saja. Saya akan selalu mengenangkan kau.
TUKIJAN : Betul-betul kau tidak punya kepala. Apa kau mau makan tanah karena
perempuan bangka itu?
RETNO : Ya, Mae (pada Tukijan) Kau tidak tahu. Seminggu yang lalu dia terjatuh di
parit sana. Sudah sangat lemah. Tidak lama lagi.
RETNO : (mendekati Mae) Saya tidak akan pergi, Mae. Saya tidak mau.
RETNO : Kali ini saya akan mendengarkan lebih dari yang pernah saya lakukan.
MAE : Kau memang anak perempuan saya. Kau cantik dan baik budi. Itulah yang
sebenarnya. Sayang, kau sendiri tidak tahu (diam) Sekarang sebagai anak yang baik
turutlah apa kata Mae; Pergilah dengan Tukijan.
MAE : Tentu kau tidak bisa. Dan siapa yang suka ajal? Tidak ada. Tapi siapa yang bisa
menolaknya? Juga tidak ada. Dan apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi
meninggalkan Mae? (Retno menggeleng kepalanya) Tidak, bukan? Mae juga tidak mau
kau tinggalkan. Mae sangat mencintai kau lantaran kau anak perempuanku satu-satunya.
Kalau kau pergi, Mae tidak akan pernah mempunyai anak secantik dan sebaik kau lagi.
Tapi apakah kau berpikir Mae juga ingin mempertahankan kau tetap di sini dan terus
menjual diri?
MAE : Kenapa saya tiba-tiba melihat kau sedang menimang anak di suatu rumah yang
teduh di bawah pohon-pohon yang rimbun?
MAE : Dalam khayalan Mae. Tapi saya harap demikianlah yang sebenarnya. Kau nanti
dapat berkah. Sebagai anak perempuan Mae, pergilah kau sebab masih banyak yang
lebih baik yang perlu kau kerjakan. Kau harus lebih cepat dari pada matahari sekarang.
Apalagi di sana.
RETNO : Mae.
MAE : Apa dulu kau menyangka bisa melakukan apa yang selama ini kau lakukan di
sini setiap malam?
RETNO : Mae.
( Mae cuma memandang kosong tatkala mereka melangkah perlahan dan lenyap. Begitu
mereka lenyap, begitu berdentang lonceng keraton satu kali )
KOYAL : Mae, mereka memukuli saya. Tolong. Mereka memukuli saya. Kepala saya
berdarah.
MAE : (berdebar meraba kepala Koyal. Lama ia mencari luka itu) Tak ada darah.
KOYAL : Ada tiga orang laki-laki menyuruh saya menyobeki gambar yang terpancang
di muka kantor pos sana.
MAE : Lalu?
KOYAL : Siapa. Bodoh. Mereka yang punya hambar. Mereka perlu memperbarui.
Kalau sudah selesai nanti saya diberi upah.
MAE : Kenapa?
KOYAL : Kenapa. Bodoh. belum selesai. lalu mereka memukuli kepala saya.
KOYAL : Tiga orang tadi. Bodoh. Ada beberapa orang lain dari arah barat datang dan
segera memukuli kepala saya sehingga kepala saya berdarah. Lihat.
KOYAL : Tadi ada. (tiba-tiba) Mae! Mereka mengejar saya! Mereka mengejar saya!
KOYAL : Mereka! Mereka datang! Mereka! Mae! Masing-masing membawa kayu yang
sangat besar. Tolong, Mae. Tolong! Kayu itu sangat besar!
MAE : Mana?
KOYAL : Jangan pukul kepala saya! Jangan! Aduh! Sakit! Berdarah. Jangan! Tolong!
Tolooooong! (seraya menjerit-jerit ia lari menyusup kabut yang biru itu, setelah
berputar-putar menghindari pukulan-pukulan yang tak ada itu. Dengan sedih, Mae
mengikuti pusingan-pusingan Koyal)
( Adzan subuh berkumandang di udara di sela-sela garis cahaya fajar yang lembut. Lalu
Mae muncul lagi )
MAE : Gusti Pangeran. (anaknya bangun) Kau babngun, sayang. Kau tertawa, sayang.
(memainkan anak itu) Nah, cah bagus. Kita tak pernah mendapatkan, tapi selalu meraa
kehilangan. (memejamkan mata) Tak ada. Sama saja —- gustiku, cuma kita berdua.
( Lama-lama Mae tertidur bersandar pada batang beringin. Warna fajar. Lalu beragam
warna waktu berputar di sana berbagai warna. sementara itu secara perlahan layar
diturunkan bagai kelambu sutera )
SELESAI
Leave a Comment
Banon Gautama
Blog at WordPress.com.
Back to top