Anda di halaman 1dari 6

Kisah orang Samaria sangat popular dalam kalangan orang Kristen.

Kita pasti sudah membaca


dan mendengarnya berulang – ulang. Namun, yang paling begitu mengesankan dari orang
Samaria ini adalah gerakan kasih yang tanpa banyak prosedur dan bertele-tele. Boleh dikatakan
sebagai gerakan kasih yang spontan, yang sungguh menjawab kebutuhan pada saat itu dan di
tempat itu. Orang Samaria itu tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaga. Dia tidak
memikirkan dirinya sendiri. Ia bersihkan luka orang yang menderita, ia bawa ke penginapan,
bahkan ia mau membayar seluruh biaya yang harus dikeluarkan untuk sesamanya yang
menderita itu.

Spontanitas perbuatan kasih inilah yang sering kali hilang dalam gerakan karitatif pribadi atau
pun bersama. Kita terlalu banyak pertimbangan dan perhitungan sehingga yang membutuhkan
sendiri sudah terlanjur ‘terpuruk’. Kita harus renungkan kembali kata-kata yang diucapkan
Paulus; “Adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah”? ( Gal.1:10 ). Kesukaan Allah
adalah ‘Pergilah, dan perbuatlah demikian!” ( Luk.10;37 ).

Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya; “Guru apa
yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus kepadanya: apa
yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca disana?” Jawab orang itu: “Kasihilah
Tuhan Allahmu dengan segenap kekuatannmu dan dengan segenap akal budimu, dan
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Karena kasih-Nya, Allah menciptakan kita manusia, dan Dia menghendaki kita
menjadi manusia yang bahagia. Lalu pertanyaannya, apa yang harus dilakukan manusia agar
mendapat kebahagiaan itu?
Injil hari ini berbicara mengenai seorang ahli Taurat yang mencobai Yesus. “Guru apa yang
harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus tahu bahwa pertanyaan ini
sebenarnya usaha untuk mencobai Dia, maka Dia balik bertanya hingga dia menjawab
pertanyaannya sendiri.
Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan
kasihilah sesamamu manusia. Adalah merupakan hal yang paling utama bagi setiap orang
Kristen yakni mengasihi Tuhan Allah. Bagaimana kita dapat mengasihi Tuhan Allah yang
sempurna sementara kita hanyalah manusia yang lemah? Kasih kepada Tuhan tampak pada
diri sesama manusia. Artinya, mengasihi Tuhan berarti mengasihi sesama manusia karena
manusia adalah gambaran Allah sendiri. Maka, jika mengasihi Tuhan sama halnya mengasihi
sesama manusia. Inilah menjadi salah satu bukti bahwa kita mengasihi Tuhan,.sebagaimana
yang dijelaskan oleh Yesus perumpamaan orang Samaria yang baik hati, dia mampu
mengasihi orang lain meskipun tidak ia kenal, perbuatannya sungguh luhur dan memberi
kesaksian tentang cinta kasih Allah.
Menjadi pertanyaan bagi kita, sanggupkah kita menjadi orang Samaria yang baik hati itu,
mengasihi sesama tanpa membeda-bedakan, mengasihi sekalipun tidak kita kenal, dan bukan
demi suatu pujian?

.. UNTUK MEMBENARKAN DIRINYA....”

Menyadari kekurangannya ini, si ahli Taurat mulai “membenarkan dirinya” dengan


mengajukan pertanyaan, “Dan siapakah sesamaku manusia?" (Luk 10:29). Dengan demikian,
ia mau mengatakan bahwa ia tidak melakukan perintah cintakasih ini karena ia tidak mengenal
atau mengetahui siapa sesamanya. Dia tidak mau dengan rendah hati dan jujur mengakui bahwa
ia bersalah karena tidak melaksanakan perintah cintakasih. Jika ia rendah hati, saat Yesus
mengatakan, “Jawabmu itu benar, perbuatlah demikian” (Luk 10:28), ia bisa saja menjawab
dengan sederhana (apa adanya), “Terima kasih, Guru, dan maafkan aku karena aku memang
belum melaksanakan perintah ini.”

Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita mempunyai kerendahan hati dan kejujuran yang
cukup untuk mengakui kekurangan dan kesalahan kita? Ataukah, kita sibuk membela diri,
bahkan tidak segan-segan berbohong untuk membenarkan diri? Bisa terjadi, karena seseorang
“terbiasa” membela diri dan berbohong, maka sikap buruk ini menjadi sesuatu yang spontan
dan refleks dia lakukan, tanpa sedikit pun menengok pada kebenaran. Orang demikian lama-
lama tidak tahu lagi apa itu kebenaran. Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta,
kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh
9:41). Alasannya sederhana: orang yang merasa sehat tidak akan mencari obat.

Menghadapi si pembenar diri ini, dengan sabar Yesus menjawab pertanyaannya tentang
“siapakah sesamaku” dengan menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang Samaria yang
baik hati.

MENGENALI “SAUDARAKU”
Dalam cerita ini, musafir yang dikenal melalui pakaian, perkataan, dan sikapnya sebagai
seorang Samaria, menghentikan keledainya, dan dengan sepenuh hati mengulurkan tangannya
membantu si korban penyamun. Dia tidak peduli apakah korban yang terluka itu orang Yahudi,
Romawi, Yunani, atau Siria. Baginya, orang yang telanjang, terluka, dan setengah mati itu
adalah seorang saudara yang membutuhkan pertolongan. Dia siap membayar biaya yang
diperlukan oleh pemilik penginapan untuk merawat orang tersebut di penginapan selama
beberapa hari. Orang Samaria ini pasti memberi pakaian juga. Orang Samaria tersebut tidak
melakukan perbuatan kasih dan kemurahan atas dasar timbal-balik. Dia dapat saja meminta si
pasien ini, setelah dia sembuh, untuk membayar kembali biaya yang telah dikeluarkannya.
Bahkan, si orang Samaria yang baik hati ini tidak memusingkan apakah si pasien akan
berterima kasih sesudah mengetahui siapa yang telah menolongnya, mengingat masyarakat
seringkali menjauhi orang Samaria dan memandangnya hina dan rendah. Perbuatan orang
Samaria ini menggambarkan pengorbanan yang tulus dalam hal uang, harta milik, resiko
kesehatan dan keamanan, dan banyak waktu untuk menunjukkan kasih dan perhatian yang
sungguh-sungguh.

Dalam suatu kesempatan seorang imam mengajukan sebuah pertanyaan, “Menurutmu,


siapakah orang yang tidak buta itu?” Macam-macam jawaban bermunculan, antara lain, orang
yang tidak buta adalah orang yang bisa membedakan siang dan malam; orang yang bisa
membedakan warna putih dan warna merah; orang bisa mengetahui mana gelas dan mana
ember; dll. Dan, si imam mengatakan, “Orang yang tidak buta adalah orang yang saat
memandang sesamanya dapat mengenalinya, ‘Dia saudaraku.’”

KASIH: HUKUM YANG UTAMA

Dalam cerita itu, Yesus mengisahkan seorang yang dirampok dan dipukuli hingga setengah
mati. Seorang imam melihatnya, tetapi ia tidak mau menolong. Ia lewat begitu saja. Mungkin
ia berpikir bahwa orang itu sudah mati, sehingga ia tidak mau menyentuhnya. Bagi seorang
imam, menyentuh jenazah akan membuat dia najis dan tidak dapat melayani di Bait Allah. Bagi
dia, melayani altar Tuhan lebih penting daripada perbuatan cintakasih dan doa lebih penting
daripada menolong orang lain. Kemudian, datang seorang Lewi. Ia juga tidak berbuat apa-apa
karena mencemaskan keselamatannya sendiri. Karena itu, ia mencari jalan lain. Akhirnya,
datanglah seorang Samaria. Ia tidak peduli dengan perbedaan sosial, politik, dan agama dengan
korban yang menderita. Ia juga tidak peduli dengan keselamatannya sendiri. Apa yang
dilihatnya adalah orang yang membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, dengan segera ia
memberikan bantuan.

Perumpamaan ini memberikan suatu gambaran lengkap mengenai pemuridan Kristen,


khususnya tentang kasih kepada Tuhan dan sesama. Keduanya digabungkan untuk melukiskan
jalan kepada kehidupan kekal yang diberikan dalam jawaban ahli Taurat. Selama pelayanan-
Nya di dunia, Yesus mengajarkan tuntutan yang melampaui Hukum Taurat, "Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Dalam khotbah di Bukit, perintah ini tidak berhenti
sampai pada kata “sesamamu manusia,” tetapi memasukkan juga kata musuh, "Kasihilah
musuhmu" (Mat 5:44; Luk 6:27).

Si ahli Taurat yang mengajukan pertanyaan tentang “siapa sesamaku” pada Yesus, secara tidak
langsung mempermasalahkan atau mempertanyakan tentang batasan-batasan kasih dan
pemenuhan tuntutan Hukum Taurat. Dia ingin mengetahui di mana atau kepada siapa
seharusnya kasih itu diberikan. Dalam perumpamaan ini, apakah seseorang yang tidak dikenal,
yang dirampok, dipukul, sehingga telanjang dan setengah mati dapat disebut “sesama”?

Perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati ini juga menentang suatu “pola sikap”
yang salah pada jaman itu. Antara orang Samaria dan orang Yahudi terdapat semacam
permusuhan atau semacam “tembok pemisah”. Orang Samaria dijauhi dan dipandang rendah
oleh orang Yahudi, dan tak jarang orang Samaria berlaku tidak bersahabat terhadap orang
Yahudi (bdk. Luk 9:52-53; Yoh 4:9). Maka, dalam perumpamaan ini Yesus mengajarkan suatu
pola sikap baru, pola sikap Kristiani yang memancarkan kasih tanpa pandang bulu melalui figur
seorang Samaria yang baik hati. Dengan perumpamaan ini, Yesus melakukan suatu
perombakan,

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi
Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya
kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang
menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi
orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi
kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu
hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan
orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu
haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:44-
48).

Jadi, Yesus menegaskan bahwa tidak ada orang yang bukan sesama. “Sesama” bukanlah soal
darah atau kebangsaan atau persekutuan keagamaan. “Sesama” ini ditentukan oleh sikap yang
dimiliki seseorang terhadap orang lain. Di dalam perumpamaan ini “sesama” ini tampil bukan
sebagai pribadi yang menarik, melainkan sebagai orang yang menderita, penuh dengan darah,
telanjang, dan hampir mati. Dia tidak dapat mengembalikan usaha, kasih, uang, dan pakaian
yang diberikan kepadanya. Dia memerlukan pertolongan dan tidak dapat membayar kembali.

Menghindari sesama berarti mendatangkan murka ilahi, karena perbuatan tersebut melanggar
kedua Hukum Utama, yaitu Hukum Kasih pada Tuhan dan sesama. Imam dan orang Lewi
mengetahui dengan baik perintah Allah ini, dan si ahli Taurat dapat menafsirkannya bagi orang
lain. Sementara, si orang Samaria dengan melaksanakan kasih menunjukkan bahwa ia meng-
“hidup”-i hukum itu. Tindakan orang Samaria ini telah menekankan kasih kepada sesama.

IBU TERESA DARI KALKUTA: SEBUAH TELADAN PEMBAWA DAN CERMIN


KASIH ALLAH

Dalam kehidupan yang konkrit dapat kita lihat dalam diri Ibu Teresa dari Kalkuta. Ia menerima
panggilan Allah untuk melayani Dia dalam diri orang-orang yang termiskin dari para miskin
pada tahun 1946 dengan cara yang sederhana, yaitu merawat orang yang sakit dan yang hampir
mati yang ditemuinya di sepanjang jalan di Kalkuta. Walaupun sejak tahun 1944 (saat ia
menjadi kepala sekolah) ia mengidap penyakit TBC, tetapi semangatnya tetap menyala untuk
melayani Allah di atas segala sesuatu melalui orang-orang miskin. Ia melayani Yesus dalam
diri kaum miskin, merawatnya, memberi makan dan pakaian, dan mengunjunginya. Ibu Teresa
berkata, ”Yesus ingin menolong dengan berbagai hidup kita, kesepian kita, perjuangan kita,
susah payah kita, kematian kita. Hanya dengan menjadi satu dengan kita, Dia telah menebus
kita. Kita diperkenankan untuk berbuat yang sama: semua kesepian orang miskin, kemiskinan
material dan spiritual mereka, semuanya harus ditebus, dan kita harus mengambil bagian,
karena hanya dengan menjadi satu dengan mereka kita dapat menebus mereka, yakni dengan
membawa Allah ke dalam kehidupan mereka dan membawa mereka kepada Allah.” Kita
melihat dalam diri Ibu Teresia bahwa ia tumbuh dalam cinta kepada Yesus. Ia berkata, ”untuk
melakukan hal ini kita harus terus mencintai dan mencintai, memberi dan memberi, hingga
cinta itu melukai diri kita. Itulah jalan yang dilakukan Tuhan Yesus.”

“PERGILAH, DAN PERBUATLAH DEMIKIAN!”

“Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Luk 10:37). Perintah ini merupakan panggilan untuk
menunjukkan belas kasihan kepada semua orang yang tidak beruntung yang terbaring di “jalan
ke Yerikho” dalam kehidupan manusia. Bagi Yesus, sesama adalah setiap orang yang
membutuhkan bantuan dan pertolongan. Bagi orang Samaria, sesama adalah orang yang
dirampok penyamun, yang terkapar tidak berdaya di pinggir jalan.

Namun, bagi kita gambaran tentang sesama seringkali tidak jauh berbeda dengan pemahaman
ahli Taurat. Sesama seringkali adalah teman-teman atau orang-orang sekampung, sesuku, atau
teman-teman yang kita kenal atau saudara-saudara kita. Sesama, bahkan sering dibatasi hanya
pada mereka yang senang dengan kita, yang setuju dengan pemikiran kita, atau yang selalu
memuji dan mendukung kita. Perikop ini membuka wawasan kita, bahwa sesama adalah
mereka yang membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita di mana saja dan kapan saja. Entah
mereka yang miskin, yang menderita, yang kesepian, yang membutuhkan simpati dan empati
kita, mereka-mereka itulah sesama kita. Kita dipanggil untuk berada bersama mereka. Kita
dipanggil untuk membantu mereka yang memerlukan pertolongan.

St. Yohanes dari Salib mengatakan bahwa pada akhir senja hidup kita, kita akan diadili
berdasarkan cintakasih. Sejauh mana kita menghidupi cinta kepada Allah dan sesama secara
konkrit kepada orang-orang yang ada disekitar kita? Yesus sebagai orang Samaria yang murah
hati yang merupakan teman dan saudara dari semua orang dari berbagai tingkatan hidup,
bangsa, dan suku bangsa. Pesan yang diajarkan Yesus melalui perumpamaan ini, Yesus mau
mengatakan bahwa jika kita mau memperoleh kehidupan kekal maka kita harus pergi ke luar
sana dan berbuat serupa.

Anda mungkin juga menyukai