Anda di halaman 1dari 57

khotbah lukas 17: 11-19

Kembali Karena Telah Diselamatkan (Analisis Teks-Tafsiran-Refleksi Teologis Atas

Lukas 17:11-19)

 SHARE TO:






2. Dr. Yustinus - Personal Name1. Ignatius Budiono, Lic.SS - Personal NameAlexander -


Personal Name

Dalam karya tulis ini, penulis akan membahas beberapa pokok penting dari kisa sepuluh
orang kusta (Luk. 17:11-19). Penulis akan menguraikan teks tersebut melalui beberapa
analisis, yakni analisis konteks, analisis bahasa, analisis cerita. Selain itu juga tafsir dan
refleksi teologis juga akan disertakan dan menjadi bagian penting untuk menjadikan teks ini
relevan dengan konteks saat ini. Ada dua pokok penting yang dapat dipelajari oleh manusia
dewasa ini dari teks Luk. 17:11-19, yakni: pertama, sikap belaskasih Yesus terhadap sepuluh
orang kusta dan kedua, sikap iman seorang Samaria yang bersyukur atas keselamatan. (1)
Sikap Yesus belaskasih terhadap sepuluh orang kusta. Sikap Yesus ini tampak dari
bagiamana Ia, mengambulkan permohonan mereka (sepuluh orang kusta) yang datang
kepada-Nya dan minta untuk disembuhkan. Yesus mempunyai rasa belaskasih yang besar
terhadap mereka yang datang dan memohon pada-Nya. Bahwa kesembuhan ini merupakan
kemurahan kasih Allah yang dicurahkan melalui Putera-Nya kepada orang yang percaya
sebagai sebuah rahmat yang sudah pastinya harus disyukuri. (2) Sikap iman seorang Samaria
yang bersyukur atas keselamatan. Setiap orang Kristianai diajak untuk meyelaraskan
hidupnya dengan hidup Yesus. Bahwa cara pikir dan sikap dari seorang Samaria ini haruslah
kita contoh dan jadikan teladan sebagai sikap hidup seorang Kristen. Salah satunya ialah,
bagaimana orang Samaria ini tahu dan mau berterima kasih. Yesus menegaskan bahwa kita
perlu dan harus bersyukur terutama kepada Allah. Hal ini dikarena Allah sebagai
penyelenggaraan hidup yang dijalani saat ini. rnYesus senantiasa mau dan peduli pada

1
mereka yang jauh dari Allah dan ingin bertobat. Allah juga memberikan keselamatan bagi
mereka yang tahu mengucap syukur atas rahmat yang boleh diterima. Yesus juga
menegaskan bahwa sebuah perbuatan jika dilakukan dengan iman, maka akan membawa kita
pada keselamatan yang dari Allah. Bahwa sikap iman yang ditunjukan orang Samaria ini
merupakan bentuk dari iman yang sudah memperoleh keselamatan dari Allah berupa
kesembuhan dari penyakit kusta yang dialami. Sikap Yesus yang juga mengkhawatirkan
kesembilan orang lainnya yang tidak kembali untuk mengucap syukur pada Allah,
menunjukan bahwa Ia sungguh-sungguh peduli terhadap hidup manusia. Allah memberikan
keselamatan bagi orang yang mau dan percaya oleh karena imannya akan Yesus Kristus.
Orang yang terkena kusta berarti mereka yang berdosa, tetapi Allah melalui Yesus tetap
berkenan mengambulkan permohonan dan memberikan anugerah belas kasih bagi yang
percaya pada-Nya.
Saya tertarik dengan ayat 17,

Lukas 17:17
"Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di
manakah yang sembilan orang itu?"

Membayangkan 9 mantan orang kusta itu pada ke mana semuanya ya? Kok kuma satu orang
yang kembali ke Yesus untuk bilang terima kasih? Mari kita bayangkan:
1. Aduh, sorry deh … saya butuh cepet-cepet pulang ketemu dengan keluarga saya. Dah
kangen berat nih.
2. Karena saya sakit kusta nih, pacar saya ninggalin saya. Sekarang, saya mau ketemu pacar
saya lagi.
3. Dulu sebelum sakit kusta, saya ini olahragawan. Saya sekarang mau ke tempat fitness lagi.
4. Cita-cita saya itu mau ikutan lomba masak di tipi. Karena sakit makanya gak jadi.
Sekarang, saya mau cepat-sepat daftar ah ...
5. .... (apalagi ya alasannya, sampai bingung juga mencari kemungkinan-kemungkinan alasan
9 orang kusta itu) ...
Saya mau mengajak kita untuk merenungkan dua hal tentang perikop kita sekarang ini.

Diberkati

Pertama, terkait dengan sikap ke 9 orang kusta tadi:

”Berkat diminta – Berkat dikirim – Sumber berkat dilupakan, lupa bersyukur puji Tuhan."

Sekali lagi saya tertarik akan satu ayat, yaitu dengan ucapan 10 orang kusta dalam ayat 13,
" ... Yesus, Guru, kasihanilah kami!"

Mereka hanya berteriak sangat sedikit kata dalam menggambarkan penderitaan mereka yang
teramat besar itu.

2
Sakit kusta:
- Penderitaan fisik: sakit, anggota tubuh bisa lepas sendiri.
- Penderitaan batin: dikucilkan, dianggap gak guna, dianggap masyarakat kelas buangan.

Dan mereka hanya berteriak ”Yesus, Guru, kasihanilah kami!” ? Seperti kehabisan kata-kata
lagi untuk mengungkapkan apa yang mereka telah alami dan derita selama itu.

Berkat diminta – berkat dikirim.

Sewaktu saya baca ayat 13-14 tadi, saya jadi kepikiran, hanya dengan sedikit kata atau hanya
dengan air mata saja mungkin (hari ini), Tuhan tahu persis apa yang jadi beban-beban kita,
berat-beratnya hidup kita dan penderitaan kita.

Peristiwa yang menyakitkan akan selamanya jadi penyakit jika kita tidak berusaha untuk
melupakannya. Kata anak muda mah, kudu move on and let it go. Dan akan jadi tambah
sengsara kalau kita terus mengingat detailnya. Itu ibarat luka yang terus digaruk, bukannya
sembuh. Tapi malah jadi terus-terusan sakit.

Tirulah 10 orang kusta ini:


Ketika penderitaan datang menghantui kehidupan kita, cari dan temukan Tuhan, lalu
bicaralah kepada-Nya. Dia sangat mengerti beban-beban kita, walau kita gak bisa bicara
banyak tentang kepedihan kita (karena saking sakitnya kali ya) ….Dia tahu apa yang menjadi
perasaan-perasaan kita.

Lupa

Akan tetapi, semoga kita tidak termasuk ke dalam 9 orang kusta yang polanya: “berkat
diminta – berkat dikirim – sumber berkat dilupakan”.

> Orang nangis-nangis minta kerjaan ke Tuhan. Dikasih kerjaan, tetapi akhirnya karena
kerjaannya itu justru dia gak punya waktu lagi untuk Tuhan.
> Orang nangis-nangis minta pasangan hidup, pacar, jodoh .... waktu dikasih sama Tuhan ...
eh kok ya malah jadi jarang kebaktiannya.

Terdengar akrab di telinga kita?

Tapi kita gak mau jadi seperti ke-9 orang kusta dalam pembacaan Alkitab kita hari ini kan?

Kawan Seperjalanan

Yang terakhir. Sepuluh orang kusta, satu dari samaria dan sisanya ... Mari kita yakini bahwa
sisanya itu adalah orang israel. Yesus bukan hanya di kisah ini menjadikan seorang samaria
sebagai tokoh favorit, kita tentu ingat bahwa ada ’kisah orang samaria yang baik hati’.

Kita pasti tahu bahwa antara Israel dan Samaria dalam Alkitab itu mereka gak pernah akur.
Orang Yahudi akan selalu tak mau menerima keberadaan diri seorang samaria di tengah
kehidupan mereka. Hidup terpisah antara ”si campuran, yaitu samaria” dan ”si murni, yaitu
3
Israel”.

Akan tetapi, mengapa ada seorang kusta dari samaria di tengah-tengah kumpulan orang yang
sakit kusta dan mereka itu semuanya adalah orang Israel? Kenapa mereka bisa berjalan
bersama, akur ... dan melupakan kebencian yang seharusnya menjadi bagian hidup mereka
waktu itu? Aneh.

Penderitaan bersama: sakit kusta.


Itulah yang membuat 9 orang kusta dari israel dan 1 orang kusta dari samaria melupakan
semua ’masalah keterpisahan – kebencian’ diantara mereka ... Yang ada sekarang hanyalah
rasa senasib dan sepenanggungan.

Pak, bu .... musuh sejati kita itu bukanlah orang-orang yang ada di samping dan sekitar kita.
Bukan dia dan bukan mereka. Musuh kita itu yang sejati adalah penderitaan-penderitaan kita
semua. Kita akan selalu memiliki kesempatan untuk merasakan pergumulan yang mirip
dengan orang lain (kalau gak mau dibilang sama).

Pergumulan-pergumulan yang mirip itulah musuh kita yang sebenar. Dan kita ada di sini, di
gereja Tuhan ... supaya kita bisa saling menopang, menguatkan ... mengasihi.

Kita ini kawan seperjalanan, untuk menemukan kuasa dan berkat Tuhan bagi hidup kita. Kita
bukan lawan seperjalanan yang saling mengepalkan tangan kita diantara orang-orang yang
ada di sekitar kita, kita mau kita membuka tangan kita, bergandengan tangan, dan menjadi
kawan dalam menempuh perjalanan menuju pernyataan berkat Tuhan.

Kalau sebentar lagi kita akan masuk dalam undangan Tuhan di Perjamuan Kudus-Nya, siapa
sih kita seharusnya di hadapan Tuhan? Kawan? Kawan yang selalu melawan dan menyakiti
hati Tuhan.

Maaf, tapi itulah kenyataan kebanyakan dari hidup kita semua bukan? Berkali-kali menyakiti
hati Tuhan, tetapi masih saja dipandang oleh Tuhan sebagai seorang kawan, sahabat yang
layak untuk diperjuangkan agak kita semua hidup bahagia, bukan celaka.

Ketika Tuhan tidak mengepalkan tangan-Nya ke muka kita, tetapi membuka tangan-Nya
lebar-lebar untuk bisa menggandeng perjalanan hidup kita meraih bahagia, betapa
bersyukurnya kita ini, seharusnya. Atau karena kita kebanyakan lupanya ya?

Jika satu-satunya doa yang Anda ucapkan sepanjang hidup Anda adalah “Terima Kasih”, itu
sudah cukup. (Meister Eichart)
Matthew Henry: Luk 17:11-19 - Sepuluh Orang Kusta

Sepuluh Orang Kusta (17:11-19)

Di sini diceritakan mengenai kesembuhan sepuluh orang kusta, yang tidak kita temukan di
dalam kitab-kitab Injil lainnya. Kusta merupakan sebuah penyakit yang dianggap orang
Yahudi sebagai hukuman atas dosa tertentu, dan terkena penyakit ini, lebih dari penyakit
lainnya, diartikan sebagai tanda ketidaksenangan Allah. Dan oleh karena itulah Kristus, yang
datang untuk menghapuskan dosa dan melenyapkan murka, sangat peduli untuk mentahirkan

4
orang kusta yang Ia temui dalam perjalanan-Nya. Kristus sedang menuju Yerusalem, di
tengah-tengah perjalanan-Nya, di mana Dia tidak begitu banyak memiliki kenalan bila
dibandingkan dengan yang dimiliki-Nya di Yerusalem ataupun di Galilea. Dia telah berada di
garis batas wilayah, perbatasan yang menghampar di antara Samaria dan Galilea. Dia
melewati jalan itu untuk menemukan orang-orang kusta itu dan menyembuhkan mereka,
sebab Dia berkenan ditemukan oleh orang yang tidak mencari-Nya.

Perhatikanlah:

I. Permintaan orang-orang kusta itu kepada Kristus. Mereka bersepuluh, sebab, meskipun
mereka dikucilkan dari pergaulan dengan orang lain, mereka tetap leluasa untuk bergaul
dengan sesama penderita kusta lainnya, dan hal itu menghiburkan mereka, sebab dengan
begitu mereka memiliki kesempatan untuk saling berbagi dan saling menguatkan.

Kini perhatikanlah:

. Mereka menemui Kristus ketika Ia memasuki suatu desa. Mereka tidak membiarkan-Nya
beristirahat terlebih dahulu setelah perjalanan jauh, melainkan segera menemui-Nya begitu Ia
memasuki desa, dengan tubuh yang pasti masih letih. Namun, Dia tetap tidak mengusir
mereka ataupun menunda-nunda melayani perkara mereka.

. Mereka tinggal berdiri agak jauh, sebab mereka tahu bahwa berdasarkan hukum Taurat,
penyakit mereka itu mengharuskan mereka untuk menjaga jarak. Kesadaran akan penyakit
kusta rohani kita haruslah membuat kita rendah hati saat datang menghampiri-Nya. Siapakah
kita ini, sehingga berani mendekat kepada Dia yang benar-benar kudus? Kita sendiri jauh dari
kudus.

. Mereka sepakat meminta satu hal, dan benar-benar gigih memohonkannya (ay. 13): Mereka
berteriak, sebab mereka berada agak jauh, dan berseru, "Yesus, Guru, kasihanilah kami!"
Orang-orang yang mengharapkan bantuan dari Kristus harus memandang-Nya sebagai Guru
dan taat terhadap perintah-Nya. Jika Dia adalah Guru, maka itu berarti bahwa Dia juga adalah
Yesus, Sang Juruselamat, dan bukan sebaliknya. Mereka tidak secara khusus meminta supaya
disembuhkan dari penyakit kusta, melainkan memohon, "Kasihanilah kami"; dan itu pun
cukup untuk menimbulkan belas kasihan Kristus, sebab belas kasihan-Nya tak habis-
habisnya. Mereka telah mendengar tentang Yesus (sekalipun Ia sendiri jarang berkhotbah di
daerah itu), dan itulah yang meneguhkan mereka untuk meminta pertolongan dari-Nya. Dan
memang, jika ada satu orang saja yang memulai permohonan yang sederhana seperti itu,
maka semua yang lain pun akan ikut bergabung.

5
II. Kristus mengirim mereka kepada imam, supaya diperiksa oleh imam, yang merupakan
pengadil dalam hal penyakit kusta. Kristus tidak mengatakan bahwa mereka pasti akan
sembuh. Ia hanya menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri kepada imam-imam (ay. 14).
Hal itu merupakan ujian bagi ketaatan mereka, dan mereka memang pantas diuji sebagaimana
Naaman yang disuruh pergi mandi dalam sungai Yordan. Perhatikanlah, orang-orang yang
mengharapkan kebaikan Kristus haruslah bersedia mendapatkannya dengan cara yang telah Ia
tentukan. Beberapa dari orang kusta ini mungkin saja ingin membantah suruhan itu: "Kalau
Dia mau, seharusnya Dia langsung saja menyembuhkan kita. Tetapi kalau tidak, Dia
sebaiknya berterus-terang saja. Tidak usah suruh kita pergi menemui imam-imam seperti ini."
Akan tetapi, karena sisanya setuju, maka akhirnya mereka semua pergi menghadap imam.
Oleh karena hukum tata cara masih berlaku, Kristus pun berhati-hati menjaga hukum tersebut
supaya dijalankan dan supaya nama baik hukum itu tetap dijaga. Ia juga ingin menjaga agar
penghormatan yang selayaknya tetap diberikan kepada para imam yang menjalankan tugas
mereka sesuai dengan hukum itu. Akan tetapi, mungkin juga Ia memiliki rencana lain, yaitu
supaya imam itu bisa menilai dan menyaksikan kesempurnaan kesembuhan tersebut, dan
supaya sang imam menjadi tergugah, dan menggugah rekan-rekan imamnya yang lain untuk
mencari tahu mengenai pribadi yang memiliki kuasa sebegitu dahsyatnya atas penyakit-
penyakit tubuh.

III. Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir, sehingga mereka layak
untuk diperiksa oleh sang imam dan disahkan olehnya bahwa mereka telah menjadi tahir.
Perhatikanlah, kita barulah dapat berharap Allah akan menyongsong kita dengan belas
kasihan-Nya bila kita didapati sedang menjalankan tugas kita. Jika kita melakukan apa yang
kita bisa, Allah tidak akan segan-segan turun tangan untuk melakukan apa yang tidak mampu
kita lakukan. Pergilah, jalankanlah segala perintah dan ketetapan. Pergilah, berdoalah dan
bacalah firman Allah: Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam; pergilah dan
ungkapkanlah perkaramu di hadapan hamba Allah yang setia. Segala sarana itu tidaklah
dengan sendirinya punya kekuatan untuk memulihkanmu, tetapi Allah sendirilah yang akan
memulihkan engkau melalui sarana-sarana tersebut.

IV. Seorang dari mereka, hanya seorang saja, kembali, untuk mengucap syukur (ay. 15).
Ketika melihat bahwa ia telah sembuh, dia tidak lantas terus pergi menemui sang imam untuk
dinyatakan tahir olehnya dan dibebaskan dari segala pengucilan yang sebelumnya telah
mengungkungnya, seperti yang hendak dilakukan oleh sembilan orang lainnya, melainkan
kembali kepada Dia yang merupakan sumber dari kesembuhannya itu. Ia ingin memberikan
kemuliaan kepada-Nya terlebih dahulu, sebelum ia mengecap kebaikan-Nya. Kelihatannya
dia begitu tulus dan bersungguh-sungguh dalam pengucapan syukurnya itu: Ia memuliakan

6
Allah dengan suara nyaring, mengakui bahwa kesembuhannya itu berasal dari Dia. Ia
mengangkat suaranya dalam puji-pujian, seperti yang dilakukannya ketika berseru memohon
kepada-Nya (ay. 13). Orang-orang yang telah menerima belas kasihan dari Allah haruslah
mengumandangkannya kepada orang lain, supaya mereka dapat memuji Allah juga, dan
didorong melalui pengalaman mereka itu, memercayai Allah. Akan tetapi, dia juga
mengungkapkan rasa syukurnya kepada Kristus dengan cara yang istimewa (ay. 16): Ia lalu
tersungkur di depan kaki Yesus, dalam sikap hormat yang menunjukkan kerendahan hati
yang paling dalam, dan mengucap syukur kepada-Nya. Perhatikanlah, kita harus mengucap
syukur atas kebaikan yang telah Kristus limpahkan kepada kita, terutama atas kesembuhan
penyakit kita, dan kita haruslah bergegas dalam melayangkan pujian, tidak menunda-
nundanya, sebab bisa saja waktu akan melunturkan kesadaran kita akan belas kasihan
tersebut. Kita juga wajib merendahkan diri saat mengucapkan syukur, seperti saat berdoa.
Sudah merupakan kewajiban keturunan Yakub, sebagaimana dia sendiri, untuk mengakui diri
mereka sebagai yang paling hina dan tidak layak menerima belas kasihan Allah, sesudah
mereka menerima belas kasihan itu, seperti halnya ketika mereka sedang meminta belas
kasihan tersebut.

V. Kristus memperhatikan yang seorang itu, yang dengan demikian terlihat menonjol dari
yang lainnya. Kelihatannya dia adalah seorang Samaria, sementara yang lainnya adalah
orang-orang Yahudi (ay. 16). Orang-orang Samaria terpisah dari jemaat Yahudi dan tidak
memiliki pengetahuan dan ibadah penyembahan yang murni terhadap Allah seperti yang
dimiliki oleh orang-orang Yahudi. Akan tetapi, justru seorang Samaria-lah yang memuliakan
Allah ketika orang-orang Yahudi lupa melakukannya, atau bahkan menolak untuk
melakukannya.

Kini perhatikanlah di sini:

. Perhatian khusus yang diberikan Kristus kepadanya. Orang Samaria itu kembali untuk
berterima kasih. Padahal yang lainnya menunjukkan sikap tidak berterima kasih walaupun
mereka juga sama-sama menikmati belas kasihan Kristus. Ternyata justru orang asing di
negeri Israellah yang menjadi satu-satunya orang yang kembali untuk memuliakan Allah (ay.
17-18).

Lihatlah di sini:

(1) Betapa murah hatinya Kristus dalam berbuat baik: Bukankah kesepuluh orang tadi
semuanya telah menjadi tahir? Di sini terjadi penyembuhan secara besar-besaran, semua si
sakit dipulihkan dengan hanya sebuah perkataan saja. Perhatikanlah, ada kelimpahan
penyembuhan di dalam darah Kristus, yang cukup bagi semua pasien-Nya, betapapun

7
banyaknya jumlah mereka itu. Kita lihat di sini sepuluh orang ditahirkan sekaligus. Jadi, kita
tidak akan kehabisan anugerah dengan membaginya bersama orang lain.

(2) Betapa pelitnya kita dalam membalas budi: "Di manakah yang sembilan orang itu?
Mengapa mereka tidak kembali untuk berterima kasih?" Hal ini menyiratkan bahwa sikap
tidak tahu berterima kasih adalah dosa yang kerap ditemukan. Dari antara banyak orang yang
menerima belas kasihan Allah, hanya ada sedikit, sangat sedikit, yang kembali untuk
berterima kasih dengan cara yang benar (bahkan kurang dari satu berbanding sepuluh), yang
bersikap tahu membalas budi atas kebaikan yang telah mereka terima.

(3) Betapa seringnya terjadi bahwa yang paling berterima kasih justru adalah orang yang
paling tidak terduga akan melakukannya. Seorang Samaria mengucap syukur, sementara
orang Yahudi tidak. Begitulah, banyak orang yang mengaku-ngaku beragama dikalahkan dan
dipermalukan oleh orang-orang yang hanya mengikuti dorongan rohani alamiah saja, bukan
hanya dalam hal nilai-nilai moral, tetapi juga di dalam kesalehan dan bakti. Hal ini
memperberat kesalahan orang-orang Yahudi yang tidak tahu berterima kasih itu, yang
menurut Kristus telah menyepelekan kebaikan-Nya. Hal itu juga menunjukkan bahwa Kristus
sungguh layak untuk merasa kesal karena sikap umat manusia yang tidak tahu berterima
kasih itu. Dia telah berbuat begitu banyak bagi mereka, tetapi hanya menerima begitu sedikit
saja balas budi dari mereka.

. Peneguhan besar yang Kristus berikan baginya (ay. 19). Kesembilan orang lainnya memang
mendapatkan kesembuhan, dan kesembuhan itu tidak ditarik kembali, walaupun hal
sedemikian pantas diterima oleh mereka yang tidak tahu berterima kasih itu, bahkan
sekalipun mereka melihat suatu teladan sikap berterima kasih di depan mata mereka. Akan
tetapi, orang ini mendapatkan peneguhan atas kesembuhannya itu secara khusus, dengan
sebuah pujian istimewa: Imanmu telah menyelamatkan engkau. Kesembilan orang lainnya
dipulihkan oleh kuasa Kristus, oleh belas kasihan-Nya atas kesulitan mereka, dan sebagai
jawaban atas doa mereka. Akan tetapi orang Samaria itu diselamatkan oleh imannya, yang
membuatnya menonjol di mata Kristus. Perhatikanlah, berkat-berkat sementara yang kita
peroleh di dunia ini akan dilipatgandakan dan terasa manis bagi kita bila didapatkan melalui
doa yang penuh iman dan disyukuri dengan puji-pujian yang juga penuh iman.

SH: Luk 17:1-19 - Pelayanan Kristen dan resep manjur bagi seorang pelayan. (Senin, 3 April
2000)

8
Pelayanan Kristen dan resep manjur bagi seorang pelayan.

Para Rasul agak takut dan bimbang ketika menghadapi tugas pelayanan yang akan diserahkan
kepada mereka. Tugas mereka tidak ringan. Di dalam pelayanan mereka akan menghadapi
penyesat- penyesat. Konflik yang akan mereka hadapi dalam kehidupan jemaat juga tak kalah
rumitnya. Ada kemungkinan mereka akan mengalami sakit hati atau bahkan mengalami
penderitaan fisik. Sikap yang harus ditunjukkan oleh para Rasul adalah mengampuni dengan
tidak terbatas. Cara pengampunan yang diperintahkan oleh Yesus sangat berbeda dengan
tradisi orang Yahudi (Mat. 5:38-44). Oleh karena itu, mereka memohon agar imannya
ditambahkan. Dan jawaban yang diberikan oleh Yesus sangat melegakan yaitu bahwa iman
yang hanya sekecil biji sesawi pun sebetulnya mempunyai kuasa yang sangat besar.

Kuasa iman yang besar bisa menimbulkan sombong rohani. Karena itulah Kristus pun
kemudian memberikan pengajaran yang lebih lanjut tentang sikap mereka terhadap Allah,
yaitu mengenai kerendahan hati (ayat 7-10). Sikap ini harus dimanifestasikan melalui
tindakan yang tidak mengharapkan pujian atau terima kasih, karena mereka sebetulnya
hanyalah hamba-hamba Allah. Apa yang harus mereka lakukan adalah kewajiban mereka.
Sikap kerendahhatian ini juga harus dimanifestasikan melalui perbuatan dan tindakan yang
memuliakan Allah seperti yang didemonstrasikan oleh satu dari 10 orang kusta (ayat 11-19).
Setelah melihat bahwa dirinya sembuh, ia kembali kepada Kristus bukan sekadar
mengucapkan terimakasih, namun untuk memuliakan Allah.

Bila uraian di atas kita rangkumkan maka akan tergambar bahwa pelayanan Kristen bukanlah
pelayanan yang mudah karena akan menemui tantangan dan serangan terhadap ajaran
maupun dirinya secara pribadi. Namun demikian ia tidak boleh begitu saja meninggalkan
pelayanannya, karena kedudukannya hanyalah seorang hamba. Apa yang ia kerjakan
merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa dibantah. Ia tidak bisa menentukan apa, kapan,
dan bagaimana ia akan melakukan pelayanan. Semuanya harus berpusat kepada-Nya.

Renungkan: Seorang pelayan juga tidak boleh melakukan segala sesuatu bagi kepopuleran
dan keuntungan dirinya. Semuanya semata-mata bagi kemuliaan-Nya.

9
SH: Luk 17:11-19 - Bersyukurlah (Minggu, 25 Februari 2007)

Bersyukurlah

Mengucapkan `terima kasih\' ketika orang lain memberikan sesuatu pada kita, merupakan
pelajaran etika yang pertama-tama diberikan orang tua pada kita. Berterima kasih memang
menjadi etika umum yang berlaku di mana saja. Itulah pelajaran penting yang Yesus ingin
ajarkan melalui nas ini, yaitu berterima kasih atau mengucap syukur.

Penyakit kusta pada zaman itu dianggap sebagai penyakit najis dan membuat orang yang
mengidapnya disingkirkan dari pemukiman. Tidak mudah untuk sembuh dari kusta. Orang
yang sudah merasa sembuh pun, tidak dengan mudah kembali pada komunitasnya. Harus ada
pembuktian dan pengesahan dulu dari imam. Oleh karena itu, orang yang sembuh dari kusta
akan sangat bersyukur, sebab bisa kembali menjalani kehidupan yang normal bersama-sama
orang lain. Tetapi tidak demikian halnya dengan sembilan orang yang telah Yesus
sembuhkan dari penyakit kusta. Mereka tidak kembali untuk berterima kasih pada Yesus.
Tidak heran bila Yesus marah (17-18)! Kesembuhan mereka tidak menyentuh hati mereka,
tidak membuat mereka mengenali Yesus sebagai Mesias yang menyelamatkan. Mereka
menerima anugerah Allah tetapi tidak merespons dengan iman dan ucapan syukur. Berbeda
dengan seorang yang kembali. Ia menyadari bahwa kesembuhan itu datang dari Allah,
melalui Yesus. Karena itu, ia bukan hanya mematuhi perintah Yesus untuk menemui imam,
tetapi juga kembali pada Yesus setelah sembuh. Ia memuliakan Allah, bahkan dengan suara
nyaring (15). Oleh karena imannya, ia diselamatkan (19).

Anugerah Tuhan Yesus yang membuat kita diselamatkan, seharusnya mewujud dalam sikap
dan ucapan syukur. Marilah kita lihat kembali isi doa kita. Dari sekian banyak doa yang
berisi permohonan, seberapakah yang berisi ucapan syukur dan pujian karena apa yang sudah
diperbuat-Nya bagi kita? Marilah kita bukan hanya melihat apa yang perlu kita minta dari
Allah, tetapi juga apa yang telah Allah perbuat sampai sejauh ini. Dan bersyukurlah!

SH: Luk 17:11-19 - Bukti iman sejati. (Jumat, 12 Maret 2004)

10
Bukti iman sejati.

Orang yang benar-benar telah diselamatkan pasti menunjukkan kepekaan akan hal-hal rohani.
Salah satunya adalah kepekaan akan anugerah yang sudah terjadi dalam hidupnya. Hidupnya
akan penuh ucapan syukur. Kesaksian-kesaksiannya bukan berpusatkan kepada dirinya
sendiri dan apa yang sudah terjadi pada dirinya, tetapi kepada Allah dan apa yang Allah
sudah lakukan atas dirinya.

Dari kisah ini jelas kita melihat siapa yang sungguh-sungguh beriman dan diselamatkan dan
siapa yang tidak. Sepuluh orang kusta itu memang percaya bahwa Yesus sanggup
menyembuhkan mereka. Keyakinan mereka akan Yesus sungguh besar. Terbukti, bahwa
ketika Yesus tidak secara langsung menyembuhkan mereka, melainkan menyuruh mereka
memperlihatkan tubuh mereka ke imam-imam, mereka tanpa ragu segera pergi mencari
imam-imam. Saat itulah mukjizat terjadi, tubuh mereka menjadi tahir (ayat 14).

Namun, di sini ceritanya terpecah. Hanya satu orang, yaitu orang Samaria (sembilan lainnya
mungkin sekali orang Yahudi), yang setelah melihat dirinya sembuh memuliakan Allah dan
kembali kepada Yesus untuk menyembah Dia. Orang Samaria ini kembali karena dia bukan
hanya merasakan dan mengalami jamahan kuasa Tuhan tetapi menyadari akan anugerah-Nya.
Oleh karena itu ia kembali untuk mengucap syukur. Yesus menegaskan kepada orang
tersebut bahwa imannya sudah menyelamatkannya (ayat 19)!

Bagaimana dengan kesembilan orang lainnya? Rupanya bagi mereka yang penting adalah
kesembuhan itu, bukan Tuhan yang menyembuhkan. Mereka merasakan mukjizat ilahi tetapi
tidak merasakan jamahan anugerah ilahi. Sentuhan kasih ilahi tidak mereka sadari, oleh sebab
itu respons mereka pun tidak ada.

Renungkan: Orang yang telah mengalami sentuhan anugerah Allah pasti penuh pengucapan
syukur. Itu adalah bukti nyata bahwa ia sudah menjadi milik Tuhan.
(e-SH) 2 Maret -- Lukas 17:11-19 - Ingat atau Lupa Kebaikan-Nya?
POSTED ON 23.10 // LEAVE A COMMENT

11
e-SH(c) ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
++
                        e-Santapan Harian
      Sarana untuk menggumuli makna Firman Tuhan bagi hidup
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
YLSA

Tanggal: Senin, 2 Maret 2020


Ayat SH: Lukas 17:11-19

Judul: Ingat atau Lupa Kebaikan-Nya?

Ketika masalah atau penyakit datang menimpa, biasanya kita langsung datang kepada Tuhan.
Saat seperti ini, kita tak henti-hentinya berdoa, bahkan berpuasa. Kita berharap agar Tuhan
segera melepaskan beban itu dan menyediakan jalan keluarnya.

Demikian halnya dengan sepuluh orang kusta. Saat itu, Yesus menyusuri perbatasan Samaria
dan Galilea. Ia baru masuk ke sebuah desa. Saat itulah, mereka meminta belas kasih-Nya dan
memohon kepada Yesus agar ditahirkan.

Orang Yahudi menganggap penyakit kusta sebagai hukuman atas dosa tertentu dan
mengucilkan penderitanya. Itulah sebabnya mereka hanya berteriak dari kejauhan, "Yesus,
Guru, kasihanilah kami." Mereka tidak dapat mendekati Yesus karena hukum Ibrani
melarang orang kusta mendekati siapa pun.

Sepuluh orang kusta itu tidak langsung meminta Yesus memberi kesembuhan. Mereka hanya
meminta belas kasih-Nya agar sudi melihat penderitaan mereka.

Yesus mendengar teriakan mereka dan menunjukkan kasih-Nya. Akan tetapi, apa yang Ia
lakukan kemudian? Yesus tidak langsung menyembuhkan mereka. Ia pun tidak menjanjikan
kesembuhan. Yesus terlebih dahulu ingin menguji ketaatan mereka. Ia memerintahkan agar
mereka pergi menemui imam (14).

Ternyata, para penderita kusta itu memiliki iman untuk menaati Yesus. Mereka menerima
ujian dan membuktikan ketaatannya. Setelah itu, kesembuhan pun terjadi.

Coba kita renungkan. Apa saja yang sudah kita terima dari Tuhan? Kemudian, coba
bandingkan dengan pemberian kita untuk-Nya? Bagaimana hasilnya? Tentu, berkat dan
kebaikan-Nya tidak terhitung, bukan?

Janganlah mengandalkan Tuhan saat kita dalam situasi buruk saja! Mari kita datang dan
bersyukur senantiasa kepada-Nya dalam segala kondisi, seperti satu orang di antara mereka
yang datang kembali menemui Yesus untuk berterima kasih. Marilah kita menjadi orang-
orang yang senantiasa bersyukur dan taat kepada Tuhan. [SLM]

RENUNGAN HARIAN KRISTEN 2019

12
PEMBELAJARAN DARI SEORANG SAMARIA SAKIT KUSTA YANG
DISEMBUHKAN DAN PERCAYA KEPADA-NYA

Date: 21/07/2021

Author: E. Gunawi Sp.

0 Komentar

RENUNGAN HARIAN KRISTEN TERBARU, RABU 21 JULI 2021

938. PEMBELAJARAN DARI SEORANG SAMARIA SAKIT KUSTA YANG


DISEMBUHKAN DAN PERCAYA KEPADA-NYA

Oleh: E. Gunawi Sp.

FIRMAN TUHAN:

Kitab Injil Lukas 17:11-19 (TB).

Shalom. Puji Tuhan! Dari Bantul, Yogyakarta, Indonesia, kami Renungan Harian Kristen
Terbaru, menyampaikan salam sukacita dan damai sejahtera dari Tuhan kita Yesus Kristus,
kepada semua pembaca dari segala bangsa di semua negara di dunia, sampai ke ujung bumi.

Oleh karena kasih karunia-Nya yang sudah dilimpahkan kepada kita, maka kita memperoleh
kesempatan untuk menikmati hari-hari yang indah ini dengan penuh sukacita dan damai
sejahtera. Oleh sebab itu, marilah kita naikkan ibadah, doa, ucapan syukur, hormat, pujian,
penyembahan, persembahan dan pelayanan untuk kemuliaan nama-Nya.

Pada hari yang sangat berbahagia ini, mari kita lengkapi aktivitas kita dengan merenungkan
ayat-ayat Firman Tuhan yang dicatat dalam Kitab Injil Lukas 17:11-19 (TB). Topik yang kita

13
tampilkan kali ini, adalah: PEMBELAJARAN DARI SEORANG SAMARIA SAKIT
KUSTA YANG DISEMBUHKAN DAN PERCAYA KEPADA-NYA.

Pengantar

Alkitab mengisahkan bahwa sebagai manusia seratus persen, Tuhan Yesus dengan penuh
kuasa keilahian-Nya, melakukan perjalanan-Nya ke Yerusalem. Tuhan Yesus tidak terbang
sebagaimana mestinya Tuhan yang berkuasa. Tetapi Tuhan Yesus berjalan kaki menyusuri
perbatasan Samaria dan Galilea.

Iklan

LAPORKAN IKLAN INI

Di sana, ketika Tuhan Yesus masuk ke sebuah desa, lalu datanglah sepuluh orang kusta
menemui Dia. Di sana, mereka berdiri menunggu agak jauh daripada-Nya. Secara bersama-
sama, mereka kemudian berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Tuhan Yesus lalu
berkata kepada mereka: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.”

Dikisahkan bahwasanya di tengah perjalanan, mereka menjadi tahir. Seorang di antara


mereka, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring karena dirinya sudah
sembuh. Ia lalu tersungkur di depan kaki Tuhan Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya.
Diceritakan bahwa orang itu adalah seorang Samaria.

Tuhan Yesus kemudian berkata dimanakah yang sembilan orang itu?

Mengapa mereka tidak kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang Samaria ini?
Ia pun lalu berkata kepada orang itu agar berdiri dan pergi, karena imannya telah
menyelamatkan dirinya.

14
Sehubungan dengan itu, marilah kita baca, kita pelajari, kita cermati dan kita renungkan
Firman Tuhan yang tercantum dalam Kitab Injil Lukas 17:11-19 (TB). Secara garis besar
ayat-ayat Firman Tuhan tersebut menuturkan perkara-perkara sebagai berikut.

Pertama, ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Kedua,
“Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Ketiga, seorang dari mereka, ketika
melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring.

Keempat, lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir?
Di manakah yang sembilan orang itu? Kelima, lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah
dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”

Pertama, ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia

Alkitab mengisahkan bahwa pada waktu itu, Tuhan Yesus melakukan perjalanan ke
Yerusalem. Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem itu, Tuhan Yesus memilih menyusuri
perbatasan Samaria dan Galilea. Pada saat Tuhan Yesus memasuki sebuah desa, maka
datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia.

Bahwasanya dikisahkan pula bahwa mereka, sepuluh orang kusta itu, berdiri agak jauh dari
pada-Nya. Setelah mereka melihat bahwa Tuhan Yesus lewat di hadapan mereka, maka
secara bersama-sama mereka pun berteriak dengan suara keras dan nyaring kepada-Nya:
“Yesus, Guru, kasihanilah kami!”

Demikianlah bunyi Firman Tuhan yang tercantum dalam Kitab Injil Lukas 17:11-13: “Dalam
perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia
memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri
agak jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!””

Kedua, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.”

15
Mendengar teriakan sepuluh orang kusta itu, lalu Tuhan Yesus berhenti dan memandang
mereka. Hati Tuhan Yesus tergerak oleh belas kasihan. Kemudian Ia berkata: “Pergilah,
perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.”

Firman Tuhan mengatakan bahwa sementara mereka sedang di tengah perjalanan, dengan
tiba-tiba maka tahirlah mereka. Mereka, sepuluh orang yang menderita sakit kusta itu,
semuanya menjadi tahir dengan serta merta oleh sebab kuasa dan mujizat-Nya yang dahsyat,
ajaib dan sempurna.

Simak dan perhatikanlah Firman Tuhan yang dikutip dalam Kitab Injil Lukas 17:14, yang
berbunyi: “Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada
imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.”

Ketiga, seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil
memuliakan Allah dengan suara nyaring

Lebih lanjut, Alkitab mencatat dan mengungkapkan bahwa seorang dari mereka, yaitu
seorang dari sepuluh orang kusta yang sudah tahir semuanya itu, kemudian kembali sambil
memuliakan Allah dengan suara nyaring, ketika ia melihat bahwa dirinya telah sembuh.

Ia, seorang dari sepuluh orang kusta yang semuanya sudah sembuh itu, kemudian datang
kembali kepada-Nya. Ia lalu tersungkur di depan kaki Tuhan Yesus. Ia dengan sangat
sukacita tidak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada-Nya. Pada hal orang itu adalah
seorang Samaria. Orang-orang Samaria adalah orang yang dihina dan direndahkan karena
mereka keturunan orang Yahudi yang sudah bercampur darah dengan bangsa lain.

Dalam Kitab Injil Lukas 17:15-16, Tuhan berfirman: “Seorang dari mereka, ketika melihat
bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu
tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang
Samaria.”

16
Keempat, Tuhan Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi
tahir? Dimanakah yang sembilan orang itu?

Dalam pada itu, Firman Tuhan yang tercantum dalam Kitab Injil Lukas 17:17-18, begini
bunyinya: “Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi
tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali
untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?””

Di sini, melalui ayat-ayat Firman Tuhan ini, kita mendapati bahwa Tuhan Yesus
memperhatikan seorang dari sepuluh orang kusta yang sudah tahir sempurna yang datang
kembali dan tersungkur di depan kaki-Nya. Ia terus mengucap syukur kepada-Nya,

Dan kemudian, Tuhan Yesus berkata: bahwa bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah
menjadi tahir? Tuhan Yesus juga berkata bahwa di manakah yang sembilan orang yang tahir
itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada
orang asing yang tersungkur di bawah kaki-Nya itu?

Kelima, lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah
menyelamatkan engkau.”

Kemudian daripada itu, marilah kita simak dan kita perhatikan Firman Tuhan yang tercantum
dalam Kitab Injil Lukas 17:19. Alkitab mengatakan kepada kita: “Lalu Ia berkata kepada
orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.””

Alkitab mencatat dan mengungkapkan bahwa Tuhan Yesus kemudian berkata kepada seorang
dari sepuluh orang kusta yang semuanya tahir itu yang sedang tersungkur di bawah kaki-Nya.
Tuhan Yesus berkata kepadanya agar hendaknya ia segera berdiri dan pergi dari tempat itu.
Tuhan Yesus juga berkata kepadanya bahwa imannya telah menyelamatkan dirinya.

Kisah tentang seorang dari sepuluh orang kusta yang tahir karena kelimpahan kuasa dan
mujizat-Nya, memberi kita sebuah gambaran tentang betapa sedikitnya orang-orang yang
bersyukur lalu memuji dan memuliakan Tuhan, meskipun menerima kasih karunia-Nya yang
berkelimpahan pada zaman itu. Kita mendapatkan gambaran bahwa hanya satu atau hanya

17
sepuluh persen dari orang kusta yang tahir sempurna, kembali datang, tersungkur dan
mengucap syukur kepada-Nya.

Secara empiris, kita mendapati banyak fenomena tentang orang-orang yang diberkati dengan
berkelimpahan, namun kurang atau bahkan tidak ingat bersyukur kepada-Nya. Bahwa
fenomena orang-orang yang kurang dan tidak bersyukur, bukan hanya milik masa lalu, pada
zaman itu. Akan tetapi juga eksis pada zaman ini, bahkan boleh jadi akan tetap eksis pada
zaman yang akan datang.

Bahwasanya, kita senantiasa diingatkan bahwa ada tertulis Firman Tuhan yang dikutip dalam
Kitab Mazmur 106:1. Tuhan berfirman kepada kita: “Haleluya! Bersyukurlah kepada
TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Sungguh!
Pujilah Tuhan! Haleluya! Bersyukurlah kepada Allah! Bersyukurlah kepada-Nya! Sebab
Tuhan kita sangat baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya bagi kita.

Pelajaran yang dapat kita petik

Lantas, bagaimanakah dengan diri kita sesudah membaca, mempelajari, memperharikan dan
merenungkan Firman Tuhan yang dikutip dalam Kitab Injil Lukas 17:11-19 (TB)? Apakah
kita dan semua peribadi di antara kita yang setia datang tersungkur, bersujud dan bersyukur
karena kelimpahan kasih setia dan kasih karunia-Nya bagi kita dengan berlimpah-limpah?

Sudahkah kita dan semua peribadi di antara kita selalu bersyukur kepada Tuhan Allah kita
yang sudah melimpahkan berkat-berkat-Nya yang mengalir seperti batang air yang tidak
pernah kering untuk selama-lamanya?

Sudahkah kita dan semua peribadi di antara kita sudah sabar menanti berkat-berkat-Nya
dengan tetap tekun dan setia beribadah, berdoa, bersyukur, memuji, memuliakan,
menyembah, memberi persembahan dan melayani Dia, Yesus Kristus Tuhan kita?

18
Sudah tentu, kita dan semua prribadi di antara kita sudah setia datang tersungkur, bersujud
dan bersyukur karena kelimpahan kasih setia dan kasih karunia-Nya bagi kita dengan
berlimpah-limpah.

Sudah tentu, kita dan semua peribadi di antara kita sudah selalu bersyukur kepada Tuhan
Allah kita yang telah melimpahkan berkat-berkat-Nya yang mengalir seperti batang air yang
tidak pernah kering untuk selama-lamanya.

Sudah tentu, kita dan semua peribadi di antara kita sudah sabar menanti berkat-berkat-Nya
dengan tetap tekun dan setia beribadah, berdoa, bersyukur, memuji, memuliakan,
menyembah, memberi persembahan dan melayani Dia, Yesus Kristus Tuhan kita.

Berbahagialah kita

Berbahagialah kita dan semua peribadi di antara kita yang setia datang tersungkur, bersujud
dan bersyukur karena kelimpahan kasih setia dan kasih karunia-Nya bagi kita dengan
berlimpah-limpah. Karena Dia sudah lebih dahulu melimpahkan kasih setia dan kasih
karunia-Nya kepada kita dengan tidak berkesudahan.

Berbahagialah kita dan semua peribadi di antara kita yang bersyukur kepada Tuhan Allah kita
yang sudah melimpahkan berkat-berkat-Nya yang mengalir seperti batang air yang tidak
pernah kering untuk selama-lamanya. Karena Dia sudah menyediakan upah besar di Kerajaan
Sorga.

Berbahagialah kita dan semua peribadi di antara kita yang sabar menanti berkat-berkat-Nya
dengan tetap tekun dan setia beribadah, berdoa, bersyukur, memuji, memuliakan,
menyembah, memberi persembahan dan melayani Dia, Yesus Kristus Tuhan kita. Karena Dia
sudah menyediakan bagi kita bagian hidup kekal yang penuh sukacita dan damai sejahtera di
sorga.

JESUS CHRIST BLESS YOU AND US. HALLELUJAH. AMEN.

19
*********

Terima kasih Ibu/Bapak/Saudara/ saudari yang sudah berkenan membaca Renungan Harian
Kristen Terbaru ke-938, edisi hari ini yang dipublikasikan melalui alamat:
http://renunganhariankristenterbaru.wordPress.com edisi hari ini. Amin.

Lukas 17:11-19 “Kesepuluh Orang Kusta”

Tema : Kesadaran Mengucap Syukur Dan Memuliakan Allah

Pernahkah kita mendengarkan tentang istilah “kacang lupa pada kulitnya”. Apakah arti istilah
ini? Istilah ini dikenakan kepada orang yang telah sukses namun melupakan asal usul
kesuksesannya atau dengan kata lain orang yang tak tahu berterima kasih. Kita tentu tidak
menginginkan hal itu melekat pada pribadi kita. Istilah ini nampaknya cocok untuk dijadikan
ilustrasi tentang ke Sembilan orang yang terkena penyakit kusta tetapi tidak mengucap syukur
atas kesembuhan yang mereka alami, karena justru di antara 10 orang yang terkena penyakit
ini hanya 1 orang yang kembali memuliakan TUHAN atas kesembuhan yang ia rasakan.

Kitab Lukas ditulis pada tahun 70an M ketika Israel dikepung oleh Kerajaan Romawi yang
berhasil menghancurkan Yerusalem. Di saat itu kota Yerusalem termasuk Bait Allah yang
ada di Yerusalem turut dihancurkan, kehancuran ini membuat umat Israel dalam hal ini
Yahudi merasa kehilangan harapan karena Bait Allah sebagai tanda kehadiran Allah tempat
mereka beribadah telah dihancurkan.

Lukas memang secara khusus menulis kitab ini dengan tujuan membangkitkan iman umat
Yahudi, tapi juga secara umum tulisan ini juga ditujukan kepada umat non Yahudi juga
kepada kita semua sebagai pembaca di masa kini. Dalam pasal 17:11-19 Lukas nampaknya
memberi perhatian khusus kepada orang Samaria, beberapa kali dalam kitab ini ia
mengangkat beberapa hal tentang Samaria yakni dalam Lukas 9:52 dan Lukas 10:53.

20
Dalam Yohanes 4:9 mencatat bahwa orang Yahudi sebenarnya tidak bergaul dengan orang
Samaria. Mengapa? Hal ini dilatarbelakangi oleh anggapan Yahudi bahwa Samaria bukan
lagi Israel murni karena sejak Kerajaan Israel terpecah, maka kehidupan Israel Utara yang
beribukotakan Samaria telah terjadi kawin campur dengan bangsa lain yang tidak
menyembah TUHAN ALLAH Israel, sehingga Samaria dianggap najis.

Ketika diceritakan bahwa Yesus yang dalam perjalanan menuju Yerusalam menyusur
perbatasan Samaria dan Galilea sesungguhnya hal ini merupakan hal yang tidak biasa
dilakukan oleh orang Yahudi karena menganggap orang Samaria adalah kaum yang najis.
Tetapi apakah benar bahwa kaum Samaria adalah kaum yang najis?

Dalam catatannya Lukas mengatakan dalam ayat 12 bahwa di perbatasan Samaria dan Galilea
terdapat 10 orang yang terkena penyakit kusta. Rupanya perbatasan Samaria dan Galilea
dijadikan sebagai tempat diasingkannya orang-orang yang terkena penyakit kusta. Kusta
yang dalam Bahasa Yunani disebut lepra adalah suatu penyakit yang dapat menular dan
mematikan. Penyakit ini sering dianggap sebagai penyakit kutukan dosa, orang yang terkena
penyakit kusta dianggap najis karena dosanya dan karena itu harus diasingkan. Jadi tempat
yang dilalui oleh Yesus dianggap sangat najis – karena yang pertama bahwa tempat itu
berbatasan dengan Samaria; dan kedua karena tempat itu adalah tempat dari mereka yang
mengalami sakit kusta.

Dari salah satu situs internet ( https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen ) dicatat bahwa


kusta 77 lepra telah menyerang manusia sejak tahun 300 SM. Tetapi dalam Kitab Imamat
sudah mencatat tentang adanya penyakit kusta, berarti bisa kita pelajari Kitab Imamat yang
dianggap disusun sesudah kembalinya bangsa Israel dari pembuangan, yaitu antara tahun 538
SM dan 400 SM. Sementara itu tokoh yang diceritakan dalam Kitab Imamat adalah Musa dan
Harun dalam masa ketika mereka dipakai untuk memimpin Israel dari Mesir ke tanah
perjanjian. Ada yang menyebut bahwa Musa hidup di sekitaran tahun 1300an SM sampai
tahun 1200an SM, di masa ini kata penyakit “kusta” sudah disebutkan, itu berarti kusta telah
ada sejak zaman kehidupan Musa. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit ini nanti pada
tahun 1940-an, tapi karena bakteri penyebab kusta telah menjadi kebal, maka nanti pada
tahun 1980an penyakit ini baru dapat ditangani dengan pengobatan multiobat.

21
Ketika Yesus memasuki tempat itu rupanya Yesus tidak asing bagi kesepuluh orang kusta itu,
mungkin mereka telah mendengar tentang siapa Yesus yang mampu melakukan berbagai
mujizat. Ketika melihat Yesus kesepuluh orang tersebut tinggal berdiri agak jauh karena
orang berpenyakit kusta tidak diizinkan mendekati siapapun. Mereka berteriak “Yesus, Guru,
kasihanilah kami!”. Perhatikan seruan 10 orang tersebut, mereka tidak berseru “Yesus,
sembuhkanlah kami”. Mengapa? Sesungguhnya penyakit kusta juga membuat orang yang
mengalaminya hidup terasing, jauh dari keluarga dan kerabat, dianggap pendosa atau najis
sehingga harus disendirikan yang bisa membuat orang bukan hanya sakit fisik tetapi juga
depresi, tertekan mental dan jiwanya sehingga mereka berharap bahwa Yesus akan mau
untuk mengasihani mereka dalam Bahasa Yunani “Elehson” yang berarti menaruh belas
kasihan atau menunjukkan kemurahan hati.

Yesus memandang kesepuluh orang tersebut dan mengatakan “Pergilah, perlihatkanlah


dirimu kepada imam-imam”. Dalam Kitab Imamat 14:1-32 mencatat bahwa hanya para
imamlah yang berhak untuk menyatakan bahwa seseorang yang terkena kusta telah tahir /
sembuh dan diizinkan untuk kembali berkumpul bersama keluarganya. Tanpa banyak tanya
maka kesepuluh orang tersebut mentaati perintah Yesus dan benar saja ternyata di tengah
jalan mereka menjadi tahir / sembuh. Di sini kita melihat dan meneladani sikap “ketaatan 10
orang itu untuk melakukan perintah Yesus”.

Dari antara 10 orang tersebut, diceritakan bahwa hanya seorang saja yang kembali sambil
memuliakan Allah bahkan tersungkur di depan kaki Yesus serta mengucap syukur dan orang
itu adalah seorang Samaria yang dianggap sebagai pendosa, dan dianggap najis karena
kewarganegaraannya sebagai seorang Samaria.

Yesus menjawab “Bukankah kesepuluh orang tadi telah menjadi tahir? Di manakah yang
Sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah
selain daripada orang asing ini?”

Mengapa Yesus menyebut orang Samaria sebagai orang asing? Kalimat ini sesungguhnya
menyinggung mereka yang menganggap Samaria sebagai pendosa dan tidak layak

22
diselamatkan, karena justru seorang Samaria itulah yang “tau diri”, ia melakukan tindakan
benar yakni memuliakan Allah. Sementara 9 orang lainnya hanya mentaati perintah Yesus
karena kebutuhan atau keinginan untuk sembuh, tetapi setelah mereka mendapatkan apa yang
mereka inginkan, mereka justru pergi dan mengabaikan Yesus yang telah menyembuhkan
mereka bagaikan “kacang lupa pada kulitnya”. Artinya mereka taat karena mereka “butuh”.

Pada akhirnya kepada orang Samaria itu Yesus juga mengatakan “Berdirilah dan pergilah,
imanmu telah menyelamatkan engkau”. Kalimat ini sungguh begitu indah. Sebab Yesus tidak
hanya menyelamatkan jasmani orang yang terkena kusta dan dianggap sampah masyarakat,
tetapi oleh imannya kepada Yesus maka rohaninya juga, hidupnya diselamatkan oleh Yesus.
Si Samaria ini tidak taat karena kebutuhan tetapi ia taat karena ia menyadari hidupnya adalah
suatu anugerah Allah di dalam Yesus.

Lukas mengangkat cerita ini untuk mengingatkan baik kaum Yahudi tetapi juga seluruh
pembaca kitab Lukas bahwa Yesus mengasihi semua orang, dan mereka yang diselamatkan
bukan karena kedudukan atau jabatannya atau pula asal usulnya melainkan karena iman.

Saudaraku, cerita Yesus yang menyembuhkan orang kusta mengingatkan kepada kita untuk
tidak memandang seseorang dari latar belakang sebagai suatu alasan bagi kita untuk mau
bergaul dengan orang tersebut atau tidak. Istilahnya “pilih-pilih teman”.

Selama kita hidup di dunia ini semua orang sama-sama diberkati oleh TUHAN, baik orang
yang dianggap jahat dan dianggap baik sama-sama menerima matahari dan sama-sama
menerima hujan, sama-sama merasakan panas dan sama-sama merasakan dingin. Semua
orang sama-sama bisa disembuhkan oleh TUHAN, tetapi hanya orang yang mampu untuk
memuliakan Allah, tersungkur dan mengucapsyukurlah yang diselamatkan hidupnya itulah
orang beriman.

Sembilan orang yang sembuh tetapi tidak kembali memuliakan TUHAN adalah contoh dari
orang-orang yang menerima berkat TUHAN tetapi melupakan TUHAN dan tidak mengucap
syukur kepada TUHAN. Mereka mungkin akan menceritakan proses kesembuhan mereka
kepada banyak orang tentang Yesus, tetapi mereka tidak mengambil kesempatan untuk

23
berjumpa secara langsung untuk berterima kasih kepada Yesus. Kebahagiaan karena sembuh
dari sakit telah membuat Sembilan orang itu mengabaikan Yesus.

Beda dengan seorang Samaria yang sembuh dan kembali kepada TUHAN. Kebahagiaan yang
sangat kuat tidak membuat ia mementingkan diri sendiri, tetapi menyadarkan ia bahwa itu
semua adalah anugerah TUHAN. Orang Samaria itu tahu diri, dia bukan siapa-siapa jikalau
bukan karena TUHAN, ia masih akan hidup dalam keterasingan jika bukan karena TUHAN,
seharusnya dia masih dianggap sampah dan aib dosa harusnya masih melekat dalam diri-Nya,
tetapi karena Yesus maka hidupnya menjadi berarti. Eksistensi atau keberadaan Yesus
mengubah yang tidak berarti menjadi begitu berarti, mendaur ulang sampah menjadi sesuatu
yang begitu bernilai.

Seorang Pdt alamrhum Pdt Brigman Sirait mengatakan: 10 orang yang sembuh tetapi hanya
satu yang diselamatkan, untuk apa sembuh tetapi tidak diselamatkan? Lebih baik sakit tetapi
diselamatkan, tetapi alangkah indahnya jika sembuh dan diselamatkan seperti orang Samaria
itu. Taat karena kebutuhan diri tidaklah cukup untuk menunjukkan kualitas iman, karena
yang kita harus lakukan ialah taat karena kesadaran diri untuk mengucap syukur dan
memuliakan Allah.

Saudaraku,virus corona dan kusta memiliki beberapa kesamaan, di antaranya:

1. Baik virus corona maupun kusta adalah jenis penyakit menular dan mematikan

2. Virus Corona dan kusta sama-sama membuat orang yang mengalaminya harus diisolasi.

Saudaraku, butuh ribuan tahun baru lamanya penyakit baru penyakit kusta benar-benar dapat
ditangani.

24
Bagaimana dengan Virus Corona? Virus ini melanda dunia sudah memasuki tahun kedua
sejak akhir Desember 2019. Harapan kita adalah pandemic virus corona akan segera berakhir
dengan adanya vaksin dan pengobatannya segera dapat ditemukan.

Mari kita renungkan: Sudah sejauh mana kita mengenal Yesus? Apakah Yesus hanya laksana
(mohon maaf) kantong doraemon yang dibutuhkan hanya karena banyak kepentingan di
dalamnya? Atau kita mengenal Yesus sebagai Anugerah terindah Penyelamat tetapi juga
Pemilik hidup kita? Oleh karena itu, saudaraku, muliakanlah TUHAN, tersungkurlah di
hadapan-Nya, dan mengucap syukurlah kepada-Nya.

TUHAN YESUS mengasihi saya dan saudara. Amin.

(Lukas 17: 11-19)

Di ayat 11 dikatakan di dalam perjalananNya ke Yerusalem, Yesus menyusur perbatasan


Samaria dan Galilea. Ini adalah hal yang penting, Lukas memberikan penjelasan bahwa
kesepuluh orang yang sakit kusta ini bertemu dengan Tuhan Yesus, terjadi di perbatasan
Galilea dan Samaria. Pada zaman Yesus, Israel terbagi menjadi 3, daerah Galilea yang sangat
terpengaruh oleh budaya Helenistik, dan ditengah adalah Samaria yang sangat dipengaruhi
(menurut orang Yahudi) oleh penyembahan berhala, lalu di daerah selatan itu daerah Yudea,
inilah tempat para imam, tempat penyembahan kepada Tuhan yang dengan ketat dilakukan,
inilah tempat yang ada bait suci, dan inilah tempat yang sangat Yahudi. Jadi Galilea dianggap
sekuler, Samaria dianggap sangat kafir, dan Yudea adalah tempat yang paling suci. Dan di
dalam pertemuan ini, Yesus bertemu dengan orang-orang sakit kusta ini di perbatasan
Samaria dan Galilea, berarti agak ke utara. Orang kusta adalah orang-orang yang dikeluarkan
dari komunitas, dan di dalam perikop kita, mereka bertemu dengan Tuhan Yesus di
perbatasan Samaria dan Galilea. Nanti Saudara akan mengerti pentingnya ini ketika Tuhan
Yesus mengatakan “perlihatkanlah dirimu kepada imam”. Imam-imam ada di Yudea, berarti
mereka harus menyeberangi Samaria untuk bertemu dengan para imam, ini bukan perjalanan
dekat, ini perjalanan jauh. Dan satu dari mereka kembali melalui perjalanan yang jauh untuk
bertemu dengan Yesus. Ini adalah mujizat yang Yesus kerjakan, menyembuhkan orang kusta
ketika mereka sedang dalam perjalanan.

Di dalam ayat ke-13, mereka berteriak “Yesus, Master, kasihanilah kami”. Kita kekurangan
kata yang tepat untuk menggambarkan istilah yang dipakai orang kusta ini, tetapi di dalam

25
kebiasaan Lukas memakai kata Master itu mengaitkan Yesus dengan pemimpin zaman dulu
yang dianggap mempunyai kekuatan sihir. Jadi bukan hanya pemimpin politik tapi juga
pemimpin yang mempunyai kekuatan magic. Sehingga ketika mereka mengatakan “Yesus,
Master”, yang mereka harap adalah Yesus melakukan suatu tindakan yang supranatural untuk
menyembuhkan mereka. Jadi mereka tidak sekedar mengatakan “Guru”, tapi mereka
memberikan title yang tinggi kepada Yesus sebagai divine healer, sehingga mereka berharap
Tuhan yang punya kuasa kesembuhan ilahi mau sembuhkan penyakit kusta mereka. Orang
kusta menderita bukan karena penyakit, meskipun penyakit itu memberikan penderitaan
kepada mereka, tapi mereka sangat menderita karena mereka dikeluarkan dari masyarakat.
Mereka adalah kelompok yang disingkirkan. Di dalam Imamat 13 diadakan peraturan kalau
kamu punya tanda aneh di kulit dan makin membesar, bawa dirimu ke imam, tunjukan
lukamu supaya imam dapat menentukan apakah ini kusta atau bukan. Pada zaman dulu yang
dimaksud kusta bukan hanya satu jenis penyakit tapi berbagai macam penyakit kulit yang
dianggap bahaya, itu akan disebut kusta. Orang-orang ini menunjukan diri kepada imam dan
imam akan putuskan apakah ini kusta atau bukan. Kalau ini kusta, imam akan menyatakan
mereka sebagai orang yang terusir. Mereka tidak boleh tinggal di perkemahan atau di desa
atau di kota. Mereka harus tinggal di tempat yang tidak ditinggali manusia. Mereka harus ada
di luar kota atau desa. Mereka tidak boleh bergabung dengan masyarakat. Dan kalau pun
mereka berpapasan dengan orang yang sedang berjalan, mereka harus tutup wajah mereka
dengan tudung dan harus mengangkat tongkat mereka, dan mereka teriak “najis, najis”,
maksudnya adalah “saya orang kusta, jangan dekat-dekat. Karena kusta adalah penyakit yang
mudah mengular dan mereka harus mengindarkan diri dari bertemu orang. jadi Saudara bisa
membayangkan betapa menderitanya orang yang kena kusta, mereka harus tinggal di luar
perkemahan, harus tinggal di luar komunitas, mereka menjadi orang yang tersendiri.
Mungkin Saudara mengatakan “kok ada peraturan seperti itu di Imamat?”, saya harus
mengingatkan Saudara untuk membaca Kitab Suci berdasarkan konteks dan di dalam
zamannya Kitab Imamat tidak ada kerajaan atau bangsa atau apa pun yang tidak ada
peraturan sejenis. Dan di dalam Imamat banyak hal lain yang dijadikan sebagai simbol.
Orang yang sedang datang bulan dianggap najis. Sekali lagi, bukan diamenjadi najis, tapi dia
menjadi simbol dari pernyataan Tuhan tentang apa itu dosa dan kenajisan dan lain-lain. Maka
orang sakit kusta dikeluarkan dari masyarakat, ini menjadi simbol orang berdosa sebenarnya
adalah orang yang disingkirkan dari masyarakat, sehingga dia mengalami keterasingan,
alienasi. Kita sedang terasing karena tidak ada relasi, kita sedang terasing karena tidak ada
orang di sekeliling kita yang kita anggap sebagai teman untuk kita membentuk komunitas dan
inilah yang dilakukan dosa, dosa memisahkan kita dari komunitas. Dan inilah yang dialami
oleh 10 orang kusta itu. Maka mereka dengan keputus-asaan, bertahun-tahun tidak bertemu

26
istri, bertahun-tahun tidak bertemu anak, bertahun-tahun tidak bertemu keluarga, bertahun-
tahun tidak punya komunitas, bertahun-tahun tidak boleh masuk kampung. Saat ini bertemu
Yesus, sumber harapan mereka. Mereka dengan berani tapi juga dengan tahu diri, mereka
menjauh. Mereka berteriak kepada Yesus yang sedang masuk ke kota, di dalam ayat 12
dikatakan ketika Ia memasuki suatu desa. Lebih tepat diterjemahkan ketika Ia akan memasuki
desa, berarti Dia belum masuk. Dan orang-orang itu tidak boleh masuk desa, lalu mereka
teriak “Guru, Master, Divine healer, Pemimpin yang punya mujizat, tolonglah kami, kasihani
kami”. Ayat 14, Yesus mengatakan kepada mereka dan berkata “pergilah, perlihatkanlah
dirimu kepada imam-imam”. Dari tengah harus ke selatan, mereka harus berjalan
menyeberangi Tanah Samaria untuk ke Yudea, bertemu para imam. Karena sejarah abad
pertama mengatakan bahwa tidak ada imam pada zaman Tuhan Yesus, abad ke-1, yang ada di
Galilea. Tidak ada imam yang diakui di Samaria, semua imam ada di Yudea. Apakah imam
tidak boleh berjalan ke Galilea? Tentu boleh, tapi dia hanya melakukan upacara ke-Yahudi-
an di Yerusalem dan di Yudea. Berarti waktu Yesus mengatakan “tunjukanlah dirimu kepada
imam” Tuhan menuntut mereka berjalan melalui Samaria untuk pergi ke Yudea. Ini bukan
perintah yang mudah. Jadi Tuhan tidak memerintahkan mereka ke daerah yang dekat, Tuhan
menyuruh mereka berjalan melintasi Samaria untuk pergi ke Yudea, karena di dalam Imamat
14 dikatakan kalau orang kusta sudah sembuh, tunjukan diri ke imam, berikan persembahan
yang dituntut oleh Taurat, setelah itu dia boleh kembali ke kampungnya, ini yang Yesus
janjikan. Mereka boleh punya komunitas lagi, mereka bisa nyaman di dalam komunitas
mereka. Lalu mereka dalam perjalanan, sedang dalam perjalanan, mereka sembuh. Meskipun
tidak dikatakan kapan mereka sembuh, tapi saya percaya mereka sudah ada di jalan yang
agak jauh, di tengah perjalanan. Orang Yahudi tidak punya kebiasaan mengatakan di tengah
perjalanan, kecuali Saudara sudah sampai lebih dari separuh perjalanan. Kalau di awal akan
dikatakan “dia akan memulai perjalanannya”, mereka sangat suka berjalan. Dan Saudara juga
tahu dalam peraturan Taurat kalau ada orang tanya jalan, orang yang ditanya jalan mesti
menemani sepanjang 1 mil. Sambil jalan, sambil ngobrol, ini satu persekutuan yang baik
antara orang nyasar dan orang lokal. Ini persekutuan baik yang Tuhan mau bina, orang asing
dan penduduk lokal itu langsung klop. Lalu bagaimana seharusnya orang asing dan lokal
bersekutu, ada peraturan di Taurat, jalanlah bersama orang asing itu sejauh 1 mil. Mengapa
harus jalan? Karena jalan berarti bersekutu dengan dia, tidak mungkin jalan diam-diaman.
Mereka langsung akrab. Jadi ada fellowship antara orang asing dan orang lokal. Bayangkan
Tuhan sudak memikirkan sampai sejauh ini sehingga tidak ada kaum yang dianggap
pendatang yang disingkirkan oleh Israel. Semua boleh berbagian di dalam Kerajaan Israel
yang menyatakan berkat Tuhan. Maka ini yang Tuhan mau lakukan.

27
Berarti orang Israel punya kebiasaan untuk melihat perjalanan yang jauh, baru kita
mengatakan sedang dalam perjalanan. Jadi orang ini tidak jalan baru beberapa langkah
langsung sembuh. Perjalanan ini sudah mereka tempuh lumayan jauh. Setelah mereka sudah
tempuh jalan lumayan jauh, baru sadar mereka sembuh. Maka ketika mereka dalam
perjalanan, lalu mereka saling melihat, ternyata mereka sudah sembuh. Langsung ada
perasaan sukacita yang besar, “sekarang keterasingan kita berhenti, sekarang kita utuh
kembali, sekarang kita sudah sembuh”. Memang wajar kalau orang-orang itu segera menaati
Yesus, cepat-cepat cari imam supaya bereskan upacara penerimaan mereka kembali dan
mereka bisa pulang ke daerah mereka. Dan ketika mereka sampai ke daerah mereka, akhirnya
mereka bisa peluk anak mereka lagi, bisa bertemu suami atau istri, “lihat, aku sudah sembuh,
maka dia sudah bisa memeluk anaknya, bisa kembali bertemu istrinya, bisa kembali diterima
kampungnya. Ini sukacita besar sekali. Maka semua tidak ada yang ingat Tuhan, tapi ada satu
orang Samaria yang ingat Tuhan. Satu orang ini setelah dia sadar kalau sembuh, dia kembali
ke jalan tempat tadinya dia pergi, untuk cari Tuhan Yesus. Dia berjalan sangat jauh untuk dia
mencari Yesus ada dimana, harus bertemu Yesus lagi. Yesus yang utama bagi dia, karena ini
adalah Sang Master yang sudah sembuhkan dia, dia mesti bertemu Tuhan lagi. Alkitab bagian
ini mengingatkan kita bahwa keterasingan orang kusta adalah pertama-tama keterasingan dari
Tuhan, bukan hanya dari komunitas. Orang berdosa sedang terasing dari Tuhan, orang
berdosa sedang tidak punya Tuhan. Dan kebutuhan paling penting yang mereka perlu adalah
diterima kembali oleh Tuhan. Martin Luther menyadari ini ketika dia menggumulkan
teologinya, dia mengatakan apa maksudnya upacara penebusan dosa, apa pentingnya saya
mengaku dosa dan menjalankan hal yang dituntut gereja untuk dosa saya diampuni. Mengapa
harus lakukan itu? karena dia ingin diterima Tuhan. Diterima Tuhan itu sangat penting bagi
Luther, maka dia bergumul. Dan ada saat dimana dia mengatakan teologi tidak menjawab apa
pun karena “teologi yang saya pelajari membuat Tuhan menjadi pribadi yang sangat tidak
ingin saya temui. Kalau Dia hanya tahu murka dan kalau saya sudah penuhi keinginan Dia,
baru Dia berhenti murka, maka saya tidak suka dengan Tuhan yang seperti ini, saya tidak
mau diterima Tuhan seperti ini”, ini jadi pergumulan dia. “Tapi kalau Tuhan tidak ada, atau
Tuhan hanya seperti ini maka jiwa saya habis, karena saya perlu diterima Tuhan. Tapi tuhan
yang saya kenal dari teori yang saya dapat, itu bukan tuhan yang ingin saya temui”. Luther
menyadari perlunya rekonsiliasi dengan Tuhan, semua orang perlu Tuhan. Tapi setan
menawarkan alternatif supaya Saudara tidak merasa kosong. Salah satunya adalah relasi
palsu. Berteman dengan teman yang tidak kenal Tuhan, yang hanya tahu hura-hura, Saudara
akan merasa nyaman. Atau kedua, Saudara didorong atau dipikat dengan relasi yang tidak

28
boleh tapi menyenangkan. Ini yang sering terjadi, berapa banyak keluarga yang akhirnya
hancur karena relasi seperti ini. Laki-laki tidak lagi mengagumi istrinya, mulai mengagumi
perempuan lagi. Perempuan tidak lagi cinta suaminya dan komit pada suaminya, dan mulai
kagum kepada laki-laki lain. Pikatan adanya kenyamanan yang tidak boleh, ini pikatan palsu.
Berapa banyak anak-anak harus hancur hidupnya karena papa mamanya tidak mengerti apa
itu perjanjian, ini menyedihkan sekali. Maka waktu orang kusta, orang Samaria ini, sadar dia
sudah sembuh, meskipun dia sangat ingin bertemu keluarganya, sangat ingin bertemu
komunitas lamanya, pertama-tama dia harus cari Tuhan. Cari Tuhan itu pertama, cari Yesus
dulu baru cari yang lain, cari Yesus dulu baru cari tempat yang Saudara nyaman sebagai
rumah, cari Yesus lebih dari yang lain. Karena kalau kita tidak cari Yesus, kita tidak akan
mendapatkan damai sejahtera itu. Bayangkan yang dilakukan oleh orang Samaria yang sudah
sembuh ini, dia cari Yesus, dia jalan balik, dimana Yesus? “saya tidak tahu, saya harus cari
Dia”. Bukankah Yesus dan rombongannya sudah pindah? Dia pergi kemana, kamu tidak
tahu, “saya tidak peduli, saya harus temukan Dia lebih dulu”. Tapi bagaimana cara
menemukanNya? Jalan. Bagaimaan kalau tidak dapat? Cari terus sampai dapat. Bagaimana
kalau sulit ditempuh? Pokoknya saya harus bertemu Yesus. Bertemu Yesus dulu baru
menikmati keluarga, bertemu Yesus dulu baru bertemu komunitas dimana di dalamnya saya
merasa nyaman. Yesus dulu baru yang lain. Ini yang ditunjukan orang itu. Lalu dia mencari
dan akhirnya bertemu Yesus.

Dengan memuji Tuhan dia sujud di hadapan Yesus dan mengucap syukur kepada Tuhan
Yesus. Dan Tuhan Yesus mengatakan di dalam ayat 17 “bukankah kesepuluh orang itu tadi
semuanya telah menjadi tahir, dimanakah yang kesembilan orang itu?”. Yesus tidak
mengatakan kepada orang Samaria ini, “hebat kamu, kamu cari Aku sampai sejauh ini”, lalu
Yesus senang sekali ada orang seperti ini, Dia kumpulkan seluruh jemaat, KKR mendadak,
“sebelum kotbah akan ada kesaksian, Aku akan panggil orang kusta Samaria yang sudah
sembuh”, lalu diwawancara oleh Yesus. Tidak, Yesus mengatakan “yang kamu lakukan ini
normal, yang lain yang kurang normal. Kamu datang mencari Aku, itu biasa, memang
seharusnya seperti itu. Yang lain mana?”. Orang pikir orang Samaria ini harus dimahkotai,
tapi Yesus mengatakan orang ini biasa, yang lain yang tidak biasa. Satu kali Pak Stephen
Tong ngobrol, ada majelis, ada Pak Tim dan lain-lain, lalu satu orang majelis di Pusat
bertanya “Pak Tong capek ya? Baru datang dari luar negeri, tiap hari harus keliling kotbah
dan lain-lain”, Pak Tong menjawab “tidak capek, biasa saja”, “Pak Tong jadwalnya padat
sekali, tidak seperti kami”, langsung Pak Tong mengatakan “saya biasa, kamu yang kurang
biasa. Saya standar, kamu yang dibawah standar, harusnya semuanya seperti saya”. Jadi dia

29
tidak mengatakan dirinya luar biasa, dia bilang “kamu yang kurang biasa, saya biasa saja”.
Maka ketika Saudara melayani Tuhan dengan giat, sudah cari Tuhan sedemikian hebatnya,
jangan pikir diri luar biasa, diri biasa saja, yang lain yang kurang biasa. Kalau Saudara giat
kerja bagi Tuhan, pontang-panting melayani Tuhan, lalu orang bilang “luar biasa ya orang
GRII, kerjanya pontang-panting”, jangan pernah sombong apalagi berbangga. Kerja seperti
itu biasa, banting tulang bagi Tuhan itu biasa. Yang tidak banting tulang itu yang something
wrong.

Dan disinilah akar dari keterasingan, Saudara tidak akan terasing kalau giat mencari Tuhan.
Tapi kalau Saduara diselewengkan oleh Tuhan, lebih suka cari kenyamanan di dalam
komunitas yang tidak kenal Tuhan, lebih suka cari kenyamanan di dalam selingkuhan, lebih
suka mencari kenyamanan di dalam kelompok yang anti Tuhan, maka Saudara akan
mendapat kenyamanan, mendapat perasaan tidak asing, tapi semua itu palsu. Itu hanya akan
memperburuk Saudara, keluarga, lingkungan, dan akan menjatuhkan mereka ke dalam
kecelakaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Luther mengatakan pertobatan itu ada 2 inner dan outward. Inner berarti saya rasa saya
berdosa, outward-nya adalah tindakan saya berubah. Maka meskipun dia menangis, saya
mengatakan saya tidak peduli meskipun dia menangis, sampai dia berubah baru saya rasa ada
harapan. Ini yang terjadi, kenyamanan palsu merusak diri dan merusak orang. Maka jangan
cari kenyamanan palsu. Orang kusta ini cari yang benar, dia cari Tuhan dulu baru nanti dia
dipulihkan komunitasnya. Maka Tuhan mengatakan “berdirilah, pergilah, imanmu telah
menyelamatkan engkau. Sekarang engkau menjadi milik komunitas Tuhan”. Biarlah kita
seperti orang Samaria yang kusta ini, menjadi outcast, pinggiran yang tidak berguna. Dan
pemulihan hanya akan terjadi kalau kita kembali ke Tuhan. Waktu keluarga kembali kepada
Tuhan, keluarga ini menjadi tempat yang kita merasa nyaman di dalamnya. Ketika komunitas
itu milik Tuhan, maka kita akan menjadi orang yang nyaman di dalamnya dan menjadi
bagian komunitas yang indah. Di luar ini semua, Saudara akan masuk ke dalam keterasingan
yang semakin membuat Saudara mencari tapi tidak menemukan, bergumul tapi tidak ada
jawaban, kehausan tapi tidak ada air dan kerinduan yang tidak terpuaskan menjadikan
Saudara makin rendah, makin habis dan makin putus asa. Kiranya Tuhan membawa kita
kepada Dia dan menemukan damai sejahtera sejati di dalam Dia.

Ketulusan Ucapan Syukur Dari Yang Hina (Lukas 17:11-19)

11 April 2012   10:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:45 4716 0 2

+
30
Lihat foto

13341402012096042859

gambar: www.google.com

Dibanding penulis kitab Injil yang lain (Matius, Markus dan Yohanes), maka penulis Injil
Lukas lah yang memberikan perhatian sangat besar terhadap orang Samaria. Misalnya cerita
indah yang dicatat Lukas mengenai orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30-37);
selanjutnya, kisah orang Samaria yang disembuhkan Tuhan Yesus  karena kusta (Lukas
17:11-19). Bahkan Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk bermisi ke Samaria juga dicacat
oleh Lukas (Lukas 9:52-53). Meskipun misi itu ditolak oleh orang Samaria. Ketika Yesus
menyuruh para pengikut-Nya untuk menjadi saksi-Nya di Yerusalem dan di seluruh Yudea,
maka tidak ada masalah sejauh itu. Tetapi ketika Yesus menambahkan Samaria, tentu sangat
mengherankan bagi pengikut-Nya yang berasal dari Yahudi. Hal ini tentu sangat asing bagi
orang Yahudi, karena bagai mana pun orang Samaria tetap dianggap bangsa kafir, rendah,
berdosa, tidak bermoral dan bahkan dianggap anjing (Lht. Markus 7:27-28 dan Matius 15:25-
26). Mengapa bisa demikian?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka ada baiknya kita melihat latar belakang kota
Samaria, terutama dalam bidang keagamaan. Samaria adalah ibu kota Israel Utara. Sebelum
ditaklukan Asyur tahun 722 SM, Israel Utara telah hidup bersinkretisme atau menyembah
dewa bangsa-bangsa sekitarnya, seperti bangsa Hamat, Arabia bagian selatan, dan Asyur.
Kerja sama dalam bidang politik dan ekonomi adalah menjadi sarana yang tepat mengenai
masuknya penyembahan berhala di ibu kota Israel Utara (Samaria). Bahkan praktik
penyembahan berhala juga mereka lakukan di dalam Bait Suci di Betel. Misalnya
menyembah dewa Molokh (dewa sembahan bani Amon), yang kepadanya mereka
mempersembahkan kurban berupa anak sulung manusia. Selanjutnya, setelah ditaklukan
kerajaan Asyur, kehidupan keagamaan Israel Utara semakin bobrok, yaitu mereka

31
menyembah dewi Asheradan dewi-dewi sembahan Asyur lainnya. Kawin campur pun tak
terhindarkan setelah mereka hidup berbaur atau bergaul dengan orang-orang Asyur.
Selanjutnya, mereka juga menyembah dewa Baal, yaitu dewa kesuburan orang Kanaan.

Demikianlah konteks keagamaan di Samaria saat itu. Itulah sebabnya, penduduk Samaria
dipandang rendah, dianggap bangsa tak ber-Tuhan dan dicap sebagai bangsa kafir, berdosa,
terpinggirkan, dan terhina. Alasan yang tidak kalah kuatnya atas anggapan di atas adalah
masalah masalah kawin campur. Kawin campur dengan bangsa non-Israel adalah sama
artinya dengan menodai kemurnian mereka sebagai umat Israel dan bangsa pilihan Allah.
Selain itu, kawin campur juga sama artinya dengan menukar Allah Yang Esa dengan dewa-
dewa sembahan bangsa non-Israel. Itulah konsep pemikiran yang ditanamkan orang Israel,
yang masih menganggap dirinya murni, belum ternodai, tidak pernah melakukan kawin
campur dengan wanita bangsa-bangsa non-Israel.

Konsep pemikiran seperti yang dijelaskan di atas tetap menjadi warisan yang tak terhapuskan
hingga pada jaman kehidupan Yesus. Itulah sebabnya, orang Samaria dalam teks Lukas
17:11-19 yang disembuhkan Yesus disebut sebagai orang asing. Label ini mengindikasikan
bahwa pada saat itu penduduk kota Samaria tetap tidak dianggap sebagai bangsa yang kasihi
oleh Tuhan. Tetapi justru tetap dipandang sebelah mata, yakni sebagai bangsa yang tidak
beriman, kafir, sesat dan tidak ber-Tuhan. Penduduk kota Samaria seolah-olah tidak pernah
diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kejahatan-kejahatan yang
mereka lakukan di masa lalu. Secara tidak langsung bangsa Israel mengatakan: “kami orang
saleh, suci, tidak berdosa, umat pilihan Allah, sedangkan kalian, sampai kapan pun tetap
sebagai umat berdosa dan tidak ber-Tuhan”. Bahkan penulis Injil Yohanes mengatakan,
bahwa orang Israel tidak pernah bergaul dengan orang Samaria (Yoh. 4:1-42).Sungguh
pemikiran yang sempit, angkuh, sombong dan picik.

Itulah sebabnya, Lukas mengemukakan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang


Samaria, yang selama ini ditutup-tutupi. Secara tidak langsung, Lukas ingin mengatakan
bahwa Tuhan saja memberikan kesempatan kepada mereka yang bertekat menyesali dan
memperbaiki kelakuan dan sikapnya yang jahat. Tapi mengapa, sesama manusia justru justru
kejamnya melebihi Tuhan? Pernyataan-pernyataan memang patut diajungi dua jempol. Lukas
begitu demokratis dan sangat terbuka menyatakan bahwa kebaikan itu justru datang dari
pikah, yang selama ini dipandang hina dan kafir. Lukas melihat, bahwa kehadiran Yesus
32
ternyata berusaha menghapuskan pemikiran yang keliru itu, yang selama ini dipermanenkan
oleh orang-orang Yahudi. Yesus telah merobohkan tembok pemisah antara Yahudi dan
Samaria. Apa yang dilakukan Yesus ternyata memperihatkan bahwa Dia sangat mencintai
persatuan, dan sekaligus untuk menyatakan bahwa Tuhan mengasihi semua manusia tanpa
terkecuali. Itulah juga yang mau diperlihatkan oleh Lukas 17:11-19.

Perhatikan kata “perbatasan” pada ayat 11! Ini memperlihatkan, bahwa perbatasan itu sengaja
dibangun untuk memisahkan pihak orang yang SUCI dan yang BERDOSA, yang KAFIR dan
yang BERTUHAN dan seterusnya. Dengan kata lain, yang Israel, yang suci dan ber-Tuhan
tidak boleh memasuki daerah atau kota orang berdosa dan kafir (Samaria), karena haram
hukumnya. Tetapi Yesus justru melakukan perbuatan yang dipandang haram oleh orang
Yahudi. Perhatikan  kalimat “Ketika Ia (Yesus) memasuki suatu desa datanglah orang kusta
menemui Dia” (ayat 12). Kalimat di atas memberitahukan kepada kita, bahwa desa yang
tidak disebutkan namanya itu kemungkinan sengaja dibangun khusus sebagai tempat tinggal
untuk orang-orang yang terkena penyakit kusta. Itulah sebabnya, desa itu dikatakan terletak
di perbatasan antara Samaria dan Galilea. Artinya, entah itu orang dari Samaria atau dari
Yerusalem, Galilea dst, diisolasi di desa tersebut. Karena penyakit kusta adalah penyakit
menular, maka mereka berdiri agak jauh dari Yesus (lih. ayat 13). Seruan mereka meminta
belas kasihan dari Yesus memperlihatkan, betapa tersiksanya mereka, apalagi tidak dianggap
oleh keluarga dan tidak pernah dikasihi, diobati, dan dibawa ke tabib oleh saudara-
saudaranya. Kecuali setelah mereka sembuh baru boleh pulang ke rumah masing-masing.
Kemungkinan yang sembilan orang itu langsung pulang ke rumahnya masing-masing.
Mereka lupa, bahwa mereka telah disembuhkan oleh Yesus.

Pertanyaannya, apakah Yesus tidak tahu, bahwa mereka akan pulang setelah disembuhkan,
sehingga hanya orang Samaria lah yang harus mengucap syukur? Saya yakin sepenuhnya
bahwa Yesus tahu hal itu. Tetapi mengapa Yesus masih menyembuhkan mereka?
Jawabannya HANYA KARENA KASIH. Perhatikan kata “memandang” pada ayat 14!
Dalam bahasa aslinya (Yunani) mengunakan kata “eido” bentuk imperatif (perintah)!
Artinya, Yesus tidak hanya melihat kemudian membiarkan, tetapi melihat dengan penuh
belaskasihan dan harus menyembuhkan mereka. Kemungkinan yang sembilan orang itu
adalah orang Yahudi. Itulah sebabnya Yesus menyuruh mereka memperlihatkan apa yang
telah mereka alami kepada imam-imam. Tetapi, setelah sembuh ternyata mereka lupa pada

33
Yesus dan tidak mengucap syukur pada Tuhan. Dan  justru orang yang dianggap hina yang
ingat bahwa dirinya harus mengucap syukur pada Yesus.

Ucapan syukur dari yang hina itu diperlihatkan secara gamblang pada ayat 15-16. Dikatakan
demikian: 15.Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil
memuliakan Allah dengan suara nyaring,16.lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan
mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.Kalimat “memuliakan
Allah dengan suara nyaring” pada ayat 15 memperlihatkan, betapa bahagianya ketika ia telah
sembuh, dan kata “tersungkur” pada ayat 16 untuk memperlihatkan betapa tulusnya ucapan
syukur yang dia panjatkan kepada Allah. Melihat kesungguhan dan ketulusan ucapan syukur
itu, maka Yesus mengatakan: Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau
(ayat 19). Sungguh ucapan syukur yang begitu tulus dan mulia. Meskipun dipandang hina
dan kafir atau tidak ber-Tuhan, oleh mereka yang menganggap dirinya benar, kudus dan ber-
Tuhan, tetapi melalui peristiwa itu, Yesus memperlihatkan betapa Allah melihat hati yang
tulus dan penuh kerendahan hati untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu. Tetapi
serenmtak dengan itu, Yesus memperlihatkan, bahwa orang Samaria juga dikasihi oleh Allah.

Maka alangkah memalukannya hal itu bagi orang Israel ketika Yesus mengatakan, bahwa
yang sembilan orang itu tidak memuliakan Allah (baca ayat 17-18). Perhatikan kalimat tanya
Yesus berikut: Di manakah yang sembilan orang itu? Secara tidak langsung, Yesus ingin
mengatakan: di mana letak kesucian kalian sebagai umat pilihan Allah? Kemudian Yesus
meneruskan perkataannya dengan nada yang lebih tegas demikian: Tidak adakah mereka
yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?. Secara tidak
langsung, Yesus ingin mengatakan bahwa: mengapa kalian yang kudus, yang tidak berdosa,
dan menganggap diri ber-Tuhan, tetapi justru tidak memperlihatkan bahwa hidup kalian ber-
Tuhan? Dengan kata lain, jika mereka adalah umat ber-Tuhan, tetapi mengapa mereka tidak
mengucap syukur pada Tuhan, tetapi justru mengabaikannya? Melainkan orang yang
dianggap hina, kafir, asing, dan tidak ber-Tuhan (orang Samaria) yang mengucap syukur.
Kalimat itu pasti sangat menyakitkan, memukul dan memalukan bagi orang Yahudi yang
mendengarnya saat itu. Maka, harus diakui bahwa itu adalah salah satu alasan mengapa
Yesus sangat dibenci oleh orang Yahudi, dan punyak kebencian itu terbukti ketika Yesus
diSalibkan.

34
Jika kita merefleksikan teks di atas dalam kehidupan kita sehari-hari, bukankah pemikiran
yang sama dengan pemikiran orang Yahudi yang sering kita pelihara dan agung-agungkan?
Kita cenderung menganggap diri kitalah orang yang paling suci, kudus, ber-Tuhan dan telah
diselamatkan oleh Tuhan Yesus, dan kita menklaim bahwa kita pasti masuk surga. Mereka
yang beragama lain kita anggap kafir, berdosa, tidak ber-Tuhan dan pasti menjadi penghuni
neraka. Pernyataan yang sangat sombong, arogan, angkuh, picik dan sempit. Bahkan tidak
jarang sesama warga gereja pun kita sering menghakimi sesama kita sebagai pendosa (orang
yang berdosa dan terus-menerus melakukan dosa), tetapi kita lupa bahwa diri kita masih
manusia dan bukan Tuhan. Kita cenderung melihat seberapa besar dosa orang lain
dibandingkan melihat seberapa besar dosa yang ada di dalam diri kita. Perkataan dan
perbuatan-perbuatan kita tidak menunjukan bahwa kita adalah orang ber-Tuhan. Demikian
juga dalam ucapan syukur, yaitu justru mereka yang kita anggap tidak ber-Tuhan yang rajin
mengucap syukur pada Tuhan. Sementara kita lebih mengikuti apa yang dilakukan oleh yang
sembilan orang tadi, yaitu lupa dan bahkan tidak mau bersyukur atas apa yang telah Tuhan
berikan dan lakukan dalam hidup kita. Jika sikap itu yang kita pelihara, maka kita harus
belajar dari orang Samaria, yang hina dan dianggap berdosa, tetapi memperlihatkan bahwa
dirinya adalah orang yang beriman kepada Tuhan.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ketulusan Ucapan Syukur Dari
Yang Hina (Lukas 17:11-19)", Klik untuk baca:

Cara Menjaga Hubungan Normal Dengan Tuhan: 3 Poin untuk Membantu Anda

Oleh Jin Qiu, China


·
2,455Kali Tonton
Membangun hubungan dengan Tuhan adalah pelajaran yang paling penting untuk dipelajari.
Hanya ketika kita memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan, kita dapat tergerak
dalam doa, mendapatkan pencerahan ketika membaca firman Tuhan, dan memperoleh
pencerahan dan bimbingan Tuhan dalam segala hal. Jelas, sangat penting bagi kita untuk

35
membangun hubungan yang normal dengan Tuhan. Berikut adalah 3 cara untuk menjaga
hubungan yang normal dengan Tuhan.

Pertama, berlatih menenangkan hati kita di hadapan Tuhan.

Tuhan Yesus berkata: "Tuhan adalah Roh dan mereka yang menyembah Dia harus
menyembah Dia dalam roh dan kebenaran" (Yohanes 4:24). Dari ayat ini, kita tahu bahwa
jika kita ingin menjalin hubungan yang normal dengan Tuhan, kita harus berdoa kepada
Tuhan dengan hati yang tulus, dan berbicara dari hati ke hati. Ketika kita dengan jujur
memberi tahu Tuhan tentang keadaan aktual dan kesulitan praktis kita, dan melakukan
refleksi diri di hadapan-Nya, kita akan digerakkan oleh Roh Kudus dan akan mengalami
penyesalan yang tulus. Dengan cara ini, kita bisa tenang di hadapan Tuhan. Misalnya, engkau
berdoa, "Tuhan! Aku melihat banyak saudara dan saudari dengan tulus mengorbankan diri
mereka untuk-Mu. Tapi tingkat pertumbuhanku terlalu kecil, aku memiliki begitu banyak
beban—pekerjaan, keluarga, dan masa depanku—sehingga aku tidak dapat mengorbankan
diriku untuk-Mu. Aku tidak tahu bagaimana cara melepaskan beban ini. Semoga Engkau
mencerahkan dan menerangiku, memungkinkan aku untuk memahami kehendak dan
persyaratan-Mu. Semoga Engkau memberiku iman dan kekuatan sehingga aku dapat
mematuhi pengaturan dan penataan-Mu." Ketika engkau berdoa dengan cara ini, engkau
berdiam diri di hadapan Tuhan. Ketika Tuhan melihat engkau berdoa dengan jujur, Roh
Kudus akan bekerja di dalammu, dan kemudian engkau akan membangun hubungan yang
normal dengan Tuhan. Tetapi jika orang tidak membuka hati kepada Tuhan ketika berlutut
dalam doa, tetapi hanya mengucapkan beberapa kata secara sembarangan dan asal-asalan, ini
bukan menenangkan hati di hadapan Tuhan; meskipun dia tampak cukup saleh dari luar,
tangan dan kepalanya tidak bergerak sesuka hati, dan dia terus-menerus berdoa kepada
Tuhan, tetapi hatinya tertutup bagi Tuhan. Doa seperti ini tidak akan diterima oleh Tuhan.
Selain itu, jika kita irasional, dan membawa tuntutan atau keinginan untuk melakukan
transaksi ke dalam doa kita, maka doa tersebut tidak dipanjatkan dengan hati yang tenang di
hadapan Tuhan dan tidak akan diterima oleh Tuhan.

36
Selain menenangkan hati kita di hadapan Tuhan saat berdoa, kita juga perlu berdiam diri di
hadapan Tuhan dan menyentuh Roh Tuhan dengan hati kita serta mengucapkan kata-kata
dalam hati kepada Tuhan saat membaca Alkitab dan merenungkan firman Tuhan. Ketika kita
memiliki persekutuan sejati dengan Tuhan, kita akan dijamah oleh Roh Kudus dan
memperoleh pekerjaan Roh Kudus. Dengan cara ini, kita akan mencapai titik di mana kita
berdiam diri dan tidur di hadapan Tuhan. Berdiam diri di hadapan Tuhan tidak terbatas pada
bentuk apapun, selama lingkungan mengizinkan, kita bisa dekat dengan Tuhan kapan saja
dan di mana saja. Tidak peduli apakah kita berlutut untuk berdoa, atau bekerja, atau berjalan-
jalan, kita boleh berlatih untuk berdiam diri di hadapan Tuhan setiap saat. Selama kita terus-
menerus mempraktikkan ini, kita dapat mempertahankan hubungan yang normal dengan
Tuhan.

Kedua, serahkan hati kita kepada Tuhan, membiarkan Tuhan yang mengatur
segalanya, dan menaati kedaulatan dan pengaturan Tuhan.

Menyerahkan hati kita kepada Tuhan berarti mempercayakan pekerjaan, keluarga, dan
kehidupan kita kepada Tuhan. Apapun yang terjadi pada kita, kita harus mencari dan berdoa
kepada Tuhan, dan kemudian bertindak sesuai dengan kehendak dan tuntutan-Nya. Selain itu,
kita harus membenamkan diri dalam pekerjaan Tuhan dan mengorbankan diri kita untuk Dia,
bertindak sesuai dengan firman-Nya dalam segala hal dan menaati pengaturan dan penataan-
Nya tanpa memilih. Inilah yang dimaksud dengan menyerahkan hati kepada Tuhan. Misalkan
kita harus berurusan dengan masalah pernikahan anak kita. Kita berdoa, "Ya Tuhan! Anakku
diberikan kepadaku oleh-Mu. Sekarang, dia telah mencapai usia pernikahan. Daripada
mengandalkan diri sendiri untuk membuat rencana pernikahannya, aku bersedia
mempercayakan hal ini kepada-Mu dan menaati pengaturan dan penataan-Mu. Aku percaya
apa yang Engkau atur akan menjadi yang terbaik untuknya." Setelah berdoa seperti itu, kita
harus mematuhi pengaturan Tuhan daripada bertindak menurut keinginan kita sendiri. Jika
kita mengatakan bahwa kita bersedia untuk tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan,
tetapi penuh dengan keluhan dan bahkan menyangkal, menghakimi, dan menghujat Tuhan
ketika ujian menimpa kita, ini berarti tidak menyerahkan hati kita kepada Tuhan. Seperti
yang Tuhan Yesus katakan: "Orang-orang ini mendekat kepada-Ku dengan mulutnya
dan memuliakan Aku dengan bibirnya; tetapi hatinya jauh dari Aku. Dengan sia-sia
mereka menyembah Aku, namun mengajarkan ajaran dan perintah manusia" (Matius
15:8-9). Dari firman Tuhan, kita dapat melihat bahwa Tuhan tidak suka kita berdoa kepada-
Nya dengan perkataan basa-basi tetapi ingin agar kita memberikan hati kita sepenuhnya
kepada-Nya dan tidak membuat pilihan sendiri. Mari kita ambil tiga teman Daniel sebagai
contoh. Saat menghadapi bahaya dilempar ke dalam tungku yang menyala-nyala, mereka rela
mati daripada menyembah berhala. (Lihat Dan 3: 17-18) Mereka tidak membuat pilihan
sendiri tetapi membiarkan Tuhan berdaulat dan memuaskan Tuhan dengan sepenuh hati; ini
benar-benar memberikan hati kepada Tuhan.

Ketiga, belajar mencari dan mengamalkan kebenaran dalam segala hal.

Tidak peduli siapa yang mengatakan sesuatu, bahkan jika orang itu adalah seseorang yang
berstatus rendah atau seseorang yang paling kita pandang rendah, selama apa yang dia
katakan sesuai dengan kebenaran, kita harus tunduk dan menerimanya. Tetapi jika apa yang
mereka katakan tidak sesuai dengan kebenaran, kita tidak boleh menerimanya tidak peduli
seberapa tinggi posisi mereka atau seberapa besar pengaruh mereka. Ketika kita mengetahui

37
bahwa rekan kerja kita terlibat dalam perselisihan dan kecemburuan, mencuri persembahan,
atau melakukan sesuatu yang merugikan kepentingan gereja, kita tidak boleh menutup mata
terhadap hal-hal ini, atau menjauh darinya kalau masalah itu bukan urusan kita. Kita juga
tidak boleh dihambat oleh status dan kekuasaan orang lain. Sebaliknya, kita harus berdiri
teguh di sisi Tuhan dan menjaga kepentingan gereja. Hanya ketika kita bertindak seperti ini
kita bisa menjadi orang yang benar-benar menaati kebenaran. Saat ini di gereja, ada banyak
orang yang menyembah pengetahuan dan status, secara membabi buta mendengarkan dan
mematuhi apa pun yang dikatakan pendeta dan penatua. Apa bedanya mereka dengan orang
Israel? Orang Israel secara membabi buta memuja imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, dan
orang-orang Farisi; tertipu oleh mereka, mengikuti mereka untuk melawan Tuhan Yesus, dan
memakukan Tuhan Yesus di kayu salib, dan pada akhirnya menderita hukuman dan kutukan
Tuhan. Sebaliknya, orang-orang seperti Petrus, Yohanes, Matius dan Filipus melihat bahwa
pekerjaan dan firman Tuhan Yesus penuh dengan otoritas dan kuasa dan berasal dari Tuhan,
dan dengan demikian mengikuti Dia tanpa terikat oleh orang-orang Farisi; mereka adalah
orang-orang yang benar-benar menaati Tuhan dan memperoleh keselamatan Tuhan. Seperti
yang dikatakan Alkitab, "Kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada manusia" (Kisah Para
Rasul 5:29).

Aku percaya selama Anda menerapkan tiga cara ini, Anda dapat membangun hubungan yang
normal dengan Tuhan. Sudahkah Anda memahami prinsip-prinsip ini dan mulai
menerapkannya?

Renungan Hari Ini: Kuasai Tiga Prinsip sehingga Kehidupan Rohani Anda Mencapai Hasil

11 Agustus 2020

38
Isi
1. Berfokus pada Menenangkan Dirimu Sendiri di Hadapan Tuhan dalam Perenungan
2. Berfokus pada Merenungkan Firman Tuhan dalam Perenungan
3. Pikirkan Masalah dan Kesulitan Nyata dalam Perenunganmu

Pernahkah engkau dihadapkan dengan kebingungan ini, bahwa meskipun engkau melakukan
perenungan dan berdoa setiap hari, engkau tetap belum mendapatkan banyak hal apa pun atau
merasa tergerak? Mengapa demikian? Bagaimana kita bisa mendapatkan hasil dari renungan
harian kita? Asalkan kita mengikuti tiga prinsip penerapan di bawah ini, kita dapat
meningkatkan apa yang kita dapatkan dari kehidupan rohani kita dan kita akan bertumbuh
lebih cepat dalam kehidupan.

1. Berfokus pada Menenangkan Dirimu Sendiri di Hadapan Tuhan dalam Perenungan

Menemukan pendekatan yang tepat untuk perenungan diperlukan agar kehidupan rohani kita
menghasilkan buah. Pertama, kita harus menenangkan diri kita sendiri di hadapan Tuhan.
Semakin kita melakukan ini, semakin mudah untuk mendapatkan pencerahan dan penerangan
Roh Kudus. Jika kita tidak mampu menenangkan diri kita, maka ketika membaca firman
Tuhan, kita masih memiliki hal-hal di pikiran kita seperti pekerjaan, sekolah, dan keluarga.
Kemudian akhirnya kita hanya melakukan perenungan dengan asal-asalan dan tanpa

39
antusiasme atau komitmen apa pun dan sekadar memenuhi tuntutan Tuhan dalam perenungan
kita karena kita tidak semata-mata berfokus pada menyembah Tuhan dan berdoa lalu
membaca firman-Nya. Itu membuat kita tidak mungkin menerima pencerahan apa pun dari
Roh Kudus, bahkan jika kita memahami arti harfiah firman Tuhan.

Firman Tuhan berkata: "Kehidupan rohani yang normal adalah kehidupan yang dijalani
di hadapan Tuhan. Ketika berdoa, orang dapat menenangkan hatinya di hadapan
Tuhan, dan melalui doa, dia dapat mencari pencerahan Roh Kudus, mengenal firman
Tuhan, dan memahami kehendak Tuhan. Dengan makan dan minum firman Tuhan,
orang bisa mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan lebih menyeluruh mengenai
pekerjaan Tuhan sekarang ini. Mereka juga bisa mendapatkan jalan penerapan yang
baru, dan tidak akan berpegang teguh pada jalan penerapan yang lama; semua yang
mereka lakukan akan bertujuan untuk mencapai pertumbuhan dalam kehidupan"
("Tentang Kehidupan Rohani yang Normal" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa
Manusia"). "Jika engkau ingin hatimu benar-benar damai di hadapan Tuhan, engkau
harus bekerja sama secara sadar. Ini artinya masing-masing dari engkau semua harus
memiliki waktu untuk bersaat teduh, waktu di mana engkau mengesampingkan orang,
peristiwa, dan hal-hal lainnya, menenangkan hatimu dan berdiam diri di hadapan
Tuhan. Setiap orang harus memiliki catatan renungan pribadi, mencatat pengetahuan
mereka tentang firman Tuhan dan bagaimana roh mereka digerakkan, terlepas apakah
perenungan itu 'mendalam' atau 'dangkal'; setiap orang harus secara sadar
menenangkan hati mereka di hadapan Tuhan. Jika engkau dapat mempersembahkan
satu atau dua jam setiap hari bagi kehidupan rohani yang benar, kehidupanmu hari itu
akan terasa diperkaya dan hatimu akan terang dan jernih. Jika engkau menjalani

40
kehidupan rohani seperti ini setiap hari, hatimu akan dapat kembali menjadi milik
Tuhan, rohmu semakin lama akan menjadi semakin kuat, keadaanmu akan terus
meningkat, engkau akan menjadi lebih mampu menempuh jalan yang dipimpin oleh
Roh Kudus, dan Tuhan akan melimpahkan berkat yang lebih besar kepadamu. Tujuan
dari kehidupan rohanimu adalah untuk dengan sengaja mendapatkan kehadiran Roh
Kudus. Tujuannya bukanlah untuk menaati aturan ataupun melakukan ritual
keagamaan, tetapi untuk sungguh-sungguh bertindak selaras dengan Tuhan, untuk
sungguh-sungguh mendisiplinkan tubuhmu—inilah yang harus dilakukan manusia,
jadi engkau semua harus melakukan hal ini dengan upaya maksimal" ("Kehidupan
Rohani yang Normal Memimpin Orang menuju Jalan yang Benar" dalam "Firman
Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Kita dapat memahami dari firman Tuhan bahwa
berlatih menenangkan hati kita di hadapan Tuhan diperlukan untuk kehidupan rohani yang
baik. Sebelum melakukan perenungan, kita perlu secara sadar menjauh dari apa pun yang
dapat mengganggu kita, menjauh dari semua orang, peristiwa, dan hal-hal yang dapat
menjauhkan hati kita dari Tuhan. Secara umum, hati kita lebih damai di pagi hari, sebelum
kita telah berurusan dengan hal-hal kecil yang tak terhitung banyaknya yang muncul dalam
hidup kita dan di tempat kerja. Kita bisa berdoa kepada Tuhan di pagi hari, memberitahukan
kepada-Nya semua tentang kesulitan dan kekurangan kita; kita dapat membaca firman Tuhan
dengan saksama, merenungkan dan mencari kehendak-Nya dan jalan penerapan. Semakin
kita menenangkan diri kita sendiri di hadapan Tuhan dengan cara ini, semakin besar
kemungkinan kita untuk mendapatkan pekerjaan Roh Kudus. Ini adalah cara yang lebih baik
untuk mendapatkan sesuatu dari perenungan kita dan keadaan rohani kita akan terus
meningkat.

41
2. Berfokus pada Merenungkan Firman Tuhan dalam Perenungan

Cara kedua untuk mendapatkan lebih banyak dari perenungan kita adalah dengan berfokus
pada merenungkan firman Tuhan. Banyak orang membaca firman Tuhan dalam perenungan
mereka, tetapi mereka tidak benar-benar merenungkannya—mereka hanya membaca sepintas
lalu dan sudah puas dengan memahami makna harfiahnya. Namun, mereka tidak
mendapatkan pemahaman yang benar tentang kehendak atau tuntutan Tuhan. Dengan
pendekatan ini, sebanyak apa pun mereka membaca firman Tuhan, mereka tidak akan
memahami kebenaran. Kita semua tahu bahwa firman Tuhan adalah kebenaran, bahwa itu
adalah ungkapan watak-Nya dan menyingkapkan kehidupan-Nya sendiri. Firman Tuhan
dipenuhi dengan kehendak Tuhan sendiri, jadi itu bukanlah sesuatu yang benar-benar bisa
kita pahami hanya dengan memberinya perhatian sesaat. Kita harus berdoa lalu membaca dan
merenungkannya berulang-ulang dengan hati yang penuh hormat dan kerinduan untuk
mendapatkan pencerahan dan penerangan dari Roh Kudus—inilah satu-satunya cara untuk
memahami kebenaran dalam firman Tuhan, untuk memahami apa yang sebenarnya firman
Tuhan katakan kepada kita. Tuhan berkata: "Pengabdian sepenuh hati kepada firman
Tuhan terutama melibatkan pencarian akan kebenaran, mencari maksud Tuhan dalam
firman-Nya, berfokus pada memahami kehendak Tuhan, dan memahami serta
mendapatkan lebih banyak kebenaran dari firman-Nya. Ketika membaca firman-Nya,

42
Petrus tidak berfokus pada pemahaman doktrin, apalagi pada memperoleh
pengetahuan teologis. Sebaliknya, dia memusatkan perhatian pada memahami
kebenaran dan memahami kehendak Tuhan, dan juga mencapai pemahaman tentang
watak-Nya dan keindahan-Nya. Petrus juga berupaya memahami berbagai keadaan
manusia yang rusak dari firman Tuhan serta sifat manusia yang rusak dan kekurangan
manusia yang sebenarnya, sehingga memenuhi semua aspek tuntutan yang Tuhan buat
terhadap manusia untuk memuaskan-Nya. Petrus melakukan begitu banyak penerapan
yang benar sesuai firman Tuhan; inilah yang paling selaras dengan kehendak Tuhan,
dan inilah cara terbaik bagi seseorang untuk bekerja sama dalam mengalami pekerjaan
Tuhan" ("Cara Menempuh Jalan Petrus" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Kita dapat
memahami di sini bahwa ketika membaca firman Tuhan, kita harus memikirkan tujuan Tuhan
di balik apa yang dikatakan firman-Nya, apa kehendak Tuhan, apa yang firman Tuhan dapat
capai dalam diri kita, dalam hal apa kita memberontak atau kurang, dan bagaimana
menerapkan kebenaran untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Ketika kita mencari dan
merenungkan dengan cara ini, kita akan memiliki pencerahan Tuhan tanpa kita
menyadarinya, memungkinkan kita untuk memahami apa yang sebenarnya firman Tuhan
katakan, serta apa tujuan dan maksud Tuhan. Setelah itu, ketika kita bertindak sesuai dengan
tuntutan firman Tuhan, kita akan dapat secara berangsur-angsur memahami kebenaran dan
masuk ke dalam kenyataan. Ini akan mempermudah untuk menuai hasil dari perenungan kita.

Mari kita gunakan ayat Alkitab ini sebagai contoh: "Dan hendaklah engkau mengasihi
Tuhanmu, dengan seluruh hatimu, dan dengan seluruh jiwamu, dan dengan seluruh
pikiranmu, dan dengan seluruh kekuatanmu" (Markus 12:30). Kita memahami dari ayat
ini bahwa Tuhan menuntut kita untuk mengasihi Dia dengan segenap hati dan segenap
pikiran kita: mengapa Dia menuntut hal itu dari kita? Apa kehendak Tuhan? Kita dapat
merenungkan ini dan menyadari bahwa Tuhan tahu bahwa karena kita telah dirusak oleh
Iblis, kita semua memiliki natur yang egois. Kita selalu berpikir tentang bagaimana
memuaskan kepentingan kita sendiri dalam segala hal, jadi ketika kita mengorbankan diri kita
sendiri untuk Tuhan, itu hanya melakukan transaksi dengan Tuhan, berusaha untuk
mendapatkan berkat dan anugerah dari-Nya, dan kita mungkin mengeluh kepada Tuhan
ketika keinginan kita tidak dipenuhi. Kita tidak hidup dalam apa pun selain hidup dalam
watak jahat. Ini menentang dan menipu Tuhan. Tuhan memiliki watak benar yang kudus, jadi

43
jika kita melanjutkan pengejaran seperti itu, sekeras apa pun kita bekerja untuk Tuhan, kita
tidak akan mendapatkan perkenanan Tuhan dan masuk ke dalam kerajaan-Nya. Tuhan telah
membuat tuntutan ini sesuai dengan kekurangan dan kebutuhan kita sendiri, berharap bahwa
ketika kita melakukan tugas kita, itu tidak tercemar atau bersifat transaksional. Dia berharap
agar kita tidak akan hidup berdasarkan watak rusak kita yang egois dan hina, tetapi kita
senang untuk bekerja dan menyerahkan diri kita karena kasih kita kepada Tuhan, dan hidup
dalam keserupaan dengan manusia sejati. Hanya inilah yang akan mendapatkan perkenanan
Tuhan. Ketika kita memikirkan dan menyadari hal-hal ini, tekad untuk haus akan kebenaran
dan meninggalkan kedagingan dapat muncul di dalam diri kita, dan kita menjadi rela untuk
mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap pikiran kita. Inilah yang dicapai dengan
berdoa lalu membaca firman Tuhan. Ketika kita selalu memperlakukan firman Tuhan dengan
cara ini dan hidup di hadapan Tuhan, kehidupan rohani kita akan terus meningkat.

3. Pikirkan Masalah dan Kesulitan Nyata dalam Perenunganmu

Untuk mencapai hasil dalam kehidupan rohani kita, kita harus memikul tanggung jawab
dalam makan dan minum firman Tuhan, dan kita harus belajar untuk menghubungkannya
dengan keadaan kita yang sebenarnya dan mencari kebenaran. Ini sangat penting.
Sebagaimana firman Tuhan katakan: "Ketika engkau makan dan minum firman Tuhan,
engkau harus mengukur realitas keadaanmu sendiri berdasarkan firman Tuhan.
Artinya, ketika engkau menemukan kekurangan dalam perjalanan pengalaman
nyatamu, engkau harus mampu menemukan jalan penerapan, mampu berpaling dari
motivasi dan pemahamanmu yang salah. Jika engkau selalu berupaya melakukan hal-
hal ini dan mencurahkan hatimu untuk mencapainya, engkau akan memiliki jalan
untuk kauikuti, engkau tidak akan merasa hampa, dan dengan demikian engkau akan
mampu mempertahankan keadaan yang normal. Hanya setelah itulah, engkau akan
menjadi seseorang yang menanggung beban dalam hidupmu sendiri, seseorang yang
memiliki iman" ("Penerapan (7)" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa
Manusia").

"Karena engkau datang ke hadapan Tuhan dengan membawa beban, dan karena
engkau selalu merasa banyak sekali kekuranganmu, bahwa ada banyak kebenaran

44
yang perlu kauketahui, banyak realitas yang perlu kaualami, dan bahwa engkau
seharusnya memusatkan perhatianmu seluruhnya pada kehendak Tuhan—hal-hal ini
selalu ada dalam pikiranmu. Seolah-olah semua itu menekanmu begitu kuat sampai
engkau merasa sulit bernapas, dan karenanya engkau merasakan beban berat di
hatimu (meskipun engkau tidak berada dalam keadaan negatif). Hanya orang-orang
seperti inilah yang memenuhi syarat untuk menerima pencerahan dari firman Tuhan
dan digerakkan oleh Roh Tuhan" ("Sangatlah Penting untuk Membangun Hubungan yang
Normal dengan Tuhan" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Tuhan
mengungkapkan kebenaran untuk berurusan dengan kekurangan dan kebutuhan umat
manusia, jadi ketika kita membaca firman Tuhan, kita harus mencari kebenaran untuk
menyelesaikan masalah aktual kita. Kita harus memandang masalah dan kesulitan aktual kita
dalam terang firman Tuhan sehingga kita bisa mendapatkan pencerahan Roh Kudus.
Misalnya, jika kita mendapati bahwa, ketika kita sedang bersama saudara-saudari atau
bekerja sama dengan seseorang dalam tugas kita, kita selalu menunjukkan kecongkakan,
berpegang teguh pada pendapat kita sendiri, meminta orang lain mendengarkan kita, dan
mungkin bahkan menceramahi dan menindas orang lain, kita harus memikirkan masalah ini
dengan cermat dalam perenungan kita. Mengapa kita selalu menunjukkan jenis kerusakan ini
dan sepertinya tidak pernah bisa berubah? Mengapa kita tidak bisa lepas dari ikatan dosa dan
berhenti berbuat dosa? Dan kita sering kali tak mampu menahan diri untuk tidak berbohong
dan menipu demi melindungi reputasi dan status kita sendiri—mengapa demikian? Mengapa
begitu sulit untuk menjadi orang yang jujur? Dosa kita telah diampuni Tuhan Yesus, jadi
mengapa kita terus-menerus berbuat dosa? Dapatkah orang-orang seperti kita, yang selalu
berbuat dosa, benar-benar masuk ke dalam kerajaan surga? Ajukan pertanyaan ini dan ajukan
lebih banyak lagi. Khususnya sekarang di mana pandemi sedang melanda dunia dan bencana
menimpa kita, kita masih belum melihat Tuhan datang di atas awan, jadi cepat atau lambat
kita pasti akan menyerah pada bencana. Kita tidak bisa membuang-buang waktu berdoa
kepada Tuhan dan mencari apa yang menjadi kehendak-Nya sekarang setelah bencana telah
datang. Kita harus sepenuhnya merenungkan beberapa pertanyaan praktis: di manakah Tuhan
akan menampakkan diri dan bekerja ketika Dia datang pada akhir zaman? Di mana Roh
Kudus akan berbicara kepada gereja-gereja? Bagaimana kita bisa menjadi gadis bijaksana
dan menyambut Tuhan? Gereja macam apakah gereja Filadelfia yang akan diangkat
itu? Dengan membawa pertanyaan-pertanyaan praktis ini ke dalam perenungan kita dan

45
membaca firman Tuhan, serta mencari kehendak Tuhan yang sebenarnya, kita dapat lebih
dengan mudah mendapatkan pencerahan dan bimbingan Tuhan. Ini dapat menyelesaikan
masalah dan kesulitan kita, memberi kita jalan penerapan. Jika kita hanya membaca Alkitab
dan berdoa secara agamawi, memperlakukan perenungan kita hanya sebagai tugas belaka,
melakukannya dengan asal-asalan, tanpa antusiasme atau komitmen apa pun, kehidupan
rohani kita akan mengalami kerugian dan itu tidak akan menjadi apa pun selain ritual
keagamaan, sebuah kebiasaan agamawi.

Inilah tiga prinsip penerapan yang harus kita pahami untuk perenungan rohani kita. Asalkan
kita menggunakan prinsip-prinsip ini dan menerapkannya dalam renungan harian kita, kita
akan memperoleh lebih banyak pencerahan dari Roh Kudus, kita akan melihat peningkatan
yang terus-menerus dalam kehidupan rohani kita, dan secara berangsur-angsur kita akan
mengalami pertumbuhan dalam kehidupan.

Catatan Editor: Apakah ketiga prinsip penerapan untuk perenungan ini bermanfaat bagi
Anda? Jika bermanfaat, silakan bagikan kepada lebih banyak saudara-saudari sehingga lebih
banyak orang menemukan cara yang lebih baik untuk melakukan perenungan mereka. Jika
Anda merasa memiliki masalah atau pertanyaan lain dalam kepercayaanmu, silakan hubungi
kami melalui Messenger atau WhatsApp, dan kami akan dengan senang hati
mendiskusikannya dengan Anda.

Mengucap syukur

(Pdt Ir Sutadi Rusli)

Sutadi Rusli.jpg

Pdt Ir Sutadi Rusli

PESAN GEMBALA

Ibadah Ibadah Raya

Tanggal Minggu, 8 Juli 2001

Gereja GBI Danau Bogor Raya

Lokasi Graha Amal Kasih

46
Kota Bogor

Khotbah lainnya

Sebelumnya

Pesan Natal 2000 dan Tahun Baru 2001 (25 Des 2000)

Pascapenganugerahan gelar (01 Jul 2001)

Selanjutnya

Misi (12 Ags 2001)

Waspada! Ular naga sedang mengintip (09 Sep 2001)

Lukas 17 : 11-19, Pada suatu waktu Tuhan tiba disuatu desa Samaria dan Galilea, Dia melihat
di kejauhan ada 10 orang kusta. Orang kusta pada saat itu harus berdiri jauh antara orang
sehat, karena penyakit kusta adalah suatu penyakit yang belum ada obatnya pada saat itu.
Mereka berdiri jauh minimal sekitar 300 kaki atau hampir 100 meter. Pada waktu mereka
melihat Yesus mereka berteriak, Yesus menoleh kepada mereka dan berkata "Pergilah
perlihatkan dirimu kepada Imam-Imam. Sementara mereka berjalan apa yang terjadi?
Kesepuluh orang kusta itu semuanya sembuh, semuanya ditahirkan oleh Tuhan.

Saat ini saya bukan berbicara mengenai kesembuhan secara jasmani tetapi apa yang saya
ingin bagikan kepada saudara, seperti 1 orang diantara sepuluh orang yang tahir. Sepuluh
orang semua sudah disembuhkan oleh Tuhan tetapi hanya 1 orang yang kembali kepada
Tuhan dan lalu dia mengucap syukur, berterima kasih kepada Tuhan Yesus, dia tersungkur
dihadapan Tuhan. Saat itu Yesus bertanya "Mana lagi yang 9 orang?"

Orang itu mendapatkan porsi yang luar biasa, keselamatan ada didalam satu orang yang
sudah disembuhkan. Sembilan orang lain yang sudah disembuhkan mereka berjalan
lenggang-kangkung ketempat yang lain. Mereka sama sekali lupa akan apa yang sudah
mereka alami, mereka lupa semuanya.

Tuhan berbicara kepada kita semuanya pada hari ini kita semua adalah orang-orang kusta
waktu dulu kita semua adalah orang berdosa. Angka 10 adalah satu angka, angka yang genap
dan angka yang tertinggi. 100%. Roma 3:10 berkata tidak ada seorangpun yang benar

47
semuanya sudah berbuat kesalahan. Memang saat ini orang yang percaya didalam Yesus kita
semua sudah dibenarkan, dikuduskan, bahkan diselamatkan dalam nama Tuhan Yesus
Kristus. Artinya seperti 10 orang kusta tadi begitu kita semua sudah ditahirkan oleh Yesus,
seharusnya kita bersyukur tetapi yang bersyukur hanya 1 orang, 9 orang yang lain tidak ingat
lagi siapa yang telah menyembuhkan.

Waktu saya mempersiapkan khotbah ini, saya merenungkan Tuhan apa betul begitu banyak
orang Kristen yang diselamatkan apa betul 9 orang ini mewakili 90% dari orang percaya yang
tidak ingat lagi apa yang sudah dilakukan oleh Yesus. Apakah ini gambaran dari 90% jemaat
di Rayon VII atau jemaat di seluruh dunia yang sudah diselamatkan tetapi tidak mengucap
syukur. Satu orang ini mewakili 10% dari jemaat Rayon VII atau seluruh jemaat yang ada
boleh mengucap suykur atas pertolongan Tuhan.

Mari kita renungkan apakah hari-hari ini kita bersyukur atas segala yang sudah Tuhan
berikan kepada kita. Tapi kembali lagi bertanya ulang apakah kita berada diantara yang satu
orang, atau kita diantara 9 orang dimana mereka tidak mengucap syukur. Kenapa orang tidak
dapat mengucap syukur dan berterima kasih kepada Tuhan? Kenapa banyak orang lupa akan
akan apa yang terjadi dalam kehidupannya?

Ada seorang Panglima perang dari Cina dia tidak pernah lupa akan kehidupannya dulu, yaitu
seorang petani. Dia merasa dirinya tidak ada apa-apanya. Banyak orang percaya tidak
lakukan hal ini, dia lupa semuanya. Kalau hari-hari ini saya boleh berkhotbah dengan satu
Alkitab. Alkitab ini adalah Alkitab kesayangan saya di mana beberapa belas tahun yang
lampau istri saya memberikan Alkitab ini. Dengan Alkitab inilah pertama kali di mana saya
membaca seluruh isi Alkitab dari perjanjian lama sampai perjanjian baru. Alkitab ini yang
saya gunakan waktu saya bersekolah untuk menjadi pendeta dan juga ketika pertama kali
saya berkhotbah di salah satu daerah Cipinang Jakarta. Pada saat sekarang saya lihat Alkitab
ini dan pada waktu saya membacanya, saya ingat siapa saya dulu.

Banyak orang Kristen lupa siapa mereka sesungguhnya, mereka tidak ingat lagi kehidupan
waktu dulu, kita semua belum ditahirkan, pada waktu kita lupa dan mulai tidak bisa
mengucap syukur kita anggap Tuhan belum memberkati kita. Kita mengeluh dan bersungut-

48
sungut, kita ngomel, kita ingat siapa kita dulu kita tidak bisa ngomel kita bisa mengucap
syukur senantiasa.

Di dalam Menara Doa Rayon VII satu bulan yang lalu para pendoa dan saya sendiri Tuhan
memberikan suatu penglihatan didalam alam roh ada satu kepala ular naga yang sedang
mengintip mencari celah untuk menerkam jemaat maupun hamba-hamba Tuhan.

Dua minggu yang lampau Tuhan membukakan satu firman Tuhan: Bilangan 21:4-6. Tuhan
mengingatkan mengenai ular tedung yang menyerang orang Israel yang tidak mengucap
syukur dan yang bersungut-sungut. Orang Israel bersungut-sungut kepada Tuhan, mereka
komplain padahal sebelum ini Tuhan telah melakukan muzizat 41 kali tapi mereka masih
bersungut-sungut, ngomel. Pada waktu itu Tuhan perintahkan ular tedung untuk menggigit
mereka, sehingga mati. Alkitab mencatat ada 12.530 muzizat yang Tuhan lakukan didalam
kehidupan orang Israel selama 40 tahun mereka di padang gurun. Tapi mereka berkali-kali
bersungut-sungut, mereka terus ngomel.

Ada seorang tidak pernah mengucap syukur, tetapi sekali waktu dia didorong oleh Tuhan
pergi mengunjungi temannya di rumah sakit, di ruangan ICU. Temannya terbaring di situ dan
pada waktu itu Roh Kudus bicara kepadanya "Coba kamu lihat siapa yang ada di depan
kamu". Saat itu juga dia mengucap syukur kepada Tuhan. Bukan saya yang terbaring di
Rumah Sakit, saya mengucap syukur dan berterima kasih kepada Tuhan.

Seorang pengulas Alkitab yang terkenal dari Amerika, Netti Headry, suatu waktu dirampok.
Dompetnya dikuras habis. Selesai dirampok dia pulang ke rumah, ia menulis dalam buku
hariannya bahwa ia mengucap syukur yang dirampok itu dompetnya, bukan nyawanya, dan
yang kedua ia bersyukur bahwa ia dirampok, bukan merampok.

Jika kita mau berjalan maju dalam kehidupan kita, kita harus selalu melihat ke atas, kita
melihat kepada Tuhan, tapi kita juga harus bisa melihat kebawah jangan melihat keatas
supaya kita dapat mengucap syukur. Kita katakan "Tuhan terima kasih atas semua berkat
yang ada dalam kehidupan saya". Hati-hati ular naga sedang mengintip, ia hendak menyerang
saudara sampai saudara mati secara rohani karena saudara bersungut-sungut, mengeluh tidak

49
dapat mengucap syukur, padahal Dia selalu dan senantiasa melakukan muzizat besar dalam
kehidupan kita.

Lukas 7:41-47 memberikan gambaran mengenai dua macam orang. Orang pertama adalah
Simon seorang farisi ahli taurat, sedangkan orang kedua adalah seorang pendosa bernama
Maria Magdalena. Pada kesempatan ini Yesus memberikan perumpamaan satu orang yang
punya hutang 500 dinnar dan orang yang lain 50 dinnar, kedua-duanya dihapuskan
hutangnya. Perbedaannya adalah bagaimana mereka mengucap syukur. Waktu Yesus datang,
Simon orang farisi tersebut hanya tenang-tenang saja. Sedangkan wanita pendosa ini pada
waktu Yesus datang, disekanya kaki Tuhan yang penuh debu dengan air matanya lalu ia cium
kaki yang kotor lalu ia siram dengan minyak narwastu yang wangi dan mahal harganya lalu
ia usap dengan rambutnya.

Coba kita nilai diri kita sendiri? Apakah kita seperti orang farisi itu? Kita merasa kita boleh
ada karena kekuatan kita sendiri? Mazmur 100:4, pada waktu kita mengucap syukur pintu
pertolongan Tuhan dibuka, berkat Tuhan dicurahkan. Pada waktu kita mengucap syukur
Tuhan lebih lagi memberkati kita, baik berkat jasmani maupun rohani. Oleh sebab itu mari
kita mengucap syukur seperti orang kusta dan wanita pendosa yang mengucap syukur dengan
berlimpah-limpah kepada Tuhan. Amin.
Baca: Lukas 17:11-19

(Download Ringkasan)

Di dalam kitab Mazmur ada satu ayat yang sangat menarik, dikatakan ada dua hal yang tidak
bisa dimengerti oleh Pemazmur, pertama, cinta kasih Tuhan, lalu despite cinta kasih Tuhan
itu betapa dinginnya hati manusia, betapa jahatnya hati manusia, yang kedua adalah
sebaliknya, betapa jahatnya hati manusia, betapa tidak setianya manusia dan despite itu cinta
kasih Tuhan. Kita sudah pernah membahas kaitan perikop per perikop, kita percaya dua
perikop ini sendiri juga ada kaitan multifik yang meskipun tidak keluar terlalu jelas, tetapi
kalau kita baca lebih dekat, kita tahu ada kaitan antara perikop tuan dan hamba ini dengan
perikop orang kusta. Kata kunci yang menghubungkan kedua perikop ini adalah kata terima
kasih, gratitude, kalau kita membaca ayat 9 dikatakan bahwa seorang tuan tidak perlu
berterima kasih kepada hambanya, meskipun hambanya sudah melakukan pekerjaannya itu,
bahkan sampai tuntas, ini sesuatu yang biasa-biasa saja, karena itu sudah tugas seorang
hamba.
Tetapi sebaliknya waktu kita melihat perikop yang kita baca hari ini 11-19, hal yang akan
menjadi berbeda waktu itu berkenaan dengan kebaikan yang diterima oleh seorang hamba
dari tuannya. Memang dalam bagian ini tidak jelas berbicara tentang hubungan hamba
dengan tuan, tetapi saya pikir tidak salah karena Yesus adalah Tuhan, Tuan, lalu kita semua

50
termasuk juga ke 10 orang kusta mengalami pertolongan Tuhan, ini seperti hamba. Waktu
berkaitan dengan hubungan tuan dan hamba, seorang hamba yang tidak mendapatkan terima
kasih dari tuannya, itu biasa, karena memang hamba. Tetapi seorang hamba waktu dia
mengalami pertolongan dari tuannya, disembuhkan, diselamatkan dari kematian, itu bukan
biasa, itu sesuatu yang luar biasa dan karena itu wajar di dalam gambaran ini, kalau orang itu
sepantasnya bersyukur, sepantasnya berterima kasih.
Bagian ini dalam terjemahan LAI tidak ada pararel dengan injil yang lain, motif perjalanan
sangat menguasai injil Lukas, Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem, perjalanan
Yesus ke Yerusalem ini mengantisipasi. Yerusalem kota kudus itu, bahkan injil Lukas dalam
pasal-pasal awal dimulai dengan cerita pararel pemberitahuan tentang Yohanes Pembaptis
dengan kelahiran Yesus Kristus. Zakaria sedang melakukan tugas keimaman, lalu dia
membakar ukupan di bait suci di Yerusalem, mulai dari Yerusalem, Yerusalem kota yang
suci itu yang akhirnya menolak Kristus dan menyalibkan Kristus, yang akhirnya tidak tahu
berterima kasih kepada Kristus, hal ini diantisipasi di dalam cerita ini. Bukan kebetulan
dalam bagian ini yang bersyukur adalah orang Samaria, yang tidak bersyukur adalah orang-
orang yang sebagian besar Yahudi.
Kita bisa sedikit rekonstruksi, ceritanya itu very unlikely tempatnya terjadi di daerah Samaria
yang pedalamam, karena orang-orang Yahudi pasti tidak mau tinggal di sana, jadi yang lebih
mungkin adalah orang Samaria bergabung dengan orang-orang Yahudi yang sama-sama
terkena kusta, mungkin di daerah dekat perbatasan dan lebih kearah daerah Yahudi. Orang
Samaria yang bersyukur, orang Yahudi apalagi orang-orang yang di Yerusalem, mereka tidak
menyambut Yesus Kristus, kota suci itu yang seharusnya menjadi kehadiran Allah adalah
menjadi kota yang akhirnya mengusir Yesus keluar dari Yerusalem, dipaku di atas kayu salib
bukit Golgota, itu di luar Yerusalem. Yerusalem yang meng-klaim kehadiran Allah secara
khusus ada di sini, karena kita memiliki bait suci, ternyata adalah kota yang mengusir Tuhan
keluar dari kota itu. Yesus berjalan ke Yerusalem jelas untuk ditolak, diusir, disingkirkan,
dibenci dan bukan sekedar tidak mendapat terima kasih, lalu di sini kita mendapat satu
gambaran perjumpaan yang sangat khusus, yaitu orang kusta.
Dikatakan dalam bagian ini, mereka berdiri agak jauh, ada hukum dalam PL yang
mengatakan, memang mereka harus bersikap seperti itu, tidak bisa dekat-dekat berelasi
dengan sesama mereka, mereka harus certain distance,  jauh. Kejauhan ini sangat menyiksa
kehidupan orang-orang itu, karena basically ini bukan hanya sekedar persoalan sakit penyakit
yang sudah tidak mungkin bisa sembuh, penyakit kusta pada saat itu, tetapi terutama
keterisolasian, keterputusan relasi. Ada satu buku yang menyoroti teologi tentang penyakit,
lalu dia mengkaitkan dengan teologi penciptaan sebagai satu violence, semacam perusakan
dari pada theology of creation, maka waktu Yesus menyembuhkan salah satunya adalah mau
menyatakan, afirmasi, mau meneguhkan kembali teologi pencipataan, karena pada mulanya
tidak seperti itu. Setelah manusia jatuh di dalam dosa, kemudian masuk segala macam sakit
penyakit. Sakit penyakit di dalam perspektif kusta, seperti sudah sering kita mengatakan,
orang ini sudah seperti mati, karena sangat terisolasi dari sesamanya orang-orang Yahudi,
tetapi terutama juga terisolasi dari kehadiran Tuhan, bait suci, mereka tidak bisa beribadah.
Orang-orang kusta ini terasing, seperti di exile, tempat pembuangan, seperti seolah-olah
masuk di dalam masa pembuangan lagi. Orang-orang kusta ini adalah orang-orang yang
sangat miskin relasi dan mereka hanya berelasi dengan orang-orang yang menderita penyakit
yang sama, mereka dijauhi oleh orang-orang yang normal, dan mareka mengalami kematian
itu setiap hari. Di dalam keadaan seperti ini, wajar kalau kita membaca kemudian mereka
tidak bisa mengharapkan banyak kecuali belas kasihan, tidak ada sesuatu yang mereka bisa
pertontonkan, tidak ada sesuatu yang mereka bisa nyatakan supaya mereka layak untuk
mendapatkan perhatian. Mereka tidak dapat bersaing di dalam dunia ini, sementara kita
mungkin masih merasa bisa bersaing, ada certain modal, kekuatan untuk menunjukkan siapa

51
kita lalu kemudian orang boleh memperhitungkan dan mungkin tertarik menyapa kita dsb.,
tetapi tidak demikian dengan orang kusta. Orang kusta tidak memiliki kebanggaan apa-apa,
yang mereka bisa harapkan hanyalah belas kasihan, mereka word trying, tidak ada ruginya
mencoba mendapatkan belas kasihan Tuhan.
Mungkin mereka pernah mendengar Yesus yang suka berbelas kasihan kepada orang-orang
yang sakit, mungkin mereka juga pernah mendengar Yesus menyembuhkan orang yang
kusta, di sini mereka memiliki semacam iman kepada Yesus, yang mungkin juga bisa
menyembuhkan mereka. Dalam bagian ini Yesus memang tergerak oleh belas kasihan dan
Dia tidak berkata banyak, ini kalimat yang menguji iman, “pergilah, perlihatkan dirimu
kepada imam-imam”, di sini Yesus sama sekali tidak menyebutkan istilah sembuh. Tentu saja
ini memang implied akan ada kesembuhan seperti itu, tetapi perlu certain iman untuk
mempercayai kalimat ini, “pergilah, perlihatkan dirimu kepada iman-imam”, Yesus juga
tidak segera menyembuhkan mereka, lalu setelah sembuh silahkan mereka pergi menuju
kepada imam-imam, tetapi perlu certain ketaatan untuk mengalami apa yang Tuhan katakan.
Ini prinsip yang besar, despite kita tahu akhirnya tidak semuanya mengalami keselamatan
yang sejati dari Tuhan, hanya orang Samaria ini yang dicatat akhirnya mengalami
keselamatan yang sejati. Tetapi seringkali di dalam kehidupan kita, kita diminta oleh Tuhan
untuk pergi terlebih dahulu dan kemudian kita baru melihat atau menyaksikan konfirmasi
perkenanan dan penyertaan Tuhan di dalam kehidupan kita, meskipun kita minta tanda yang
begitu jelas terlebih dahulu lalu setelah itu baru kita mau pergi.
Sebagai contoh waktu Musa dipimpin Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari
Mesir, yang dikatakan disitu tanda yang akan menyertai, Tuhan bilang, inilah tandanya
bahwa kamu akan beribadah di gunung Sinai. Tanda ini ditaruh dibelakang, kecuali Musa
memimpin bangsa Israel itu keluar terlebih dahulu, mereka tidak mungkin bisa beribadah di
gunung Sinai, iya kan? Tanda itu setelah Musa taat dan menaati apa yang diperintahkan,
setelah itu ada tanda. Ini struktur yang brilian, tetapi seringkali kita tidak mau seperti ini, kita
merasa agak insecure somehow kalau diberikan tanda seperti ini, kita maunya tanda di depan,
kalau tanda tidak jelas, saya tidak bergerak, begitu kan? Tetapi di dalam alkitab seringkali
bukan seperti itu, tapi ada saat-saat Tuhan bentuk dalam kehidupan kita, kita melangkah
terlebih dahulu baru setelah itu kita melihat penyertaan, konfirmasi dan kehadiran Tuhan,
setelah kita taat. Termasuk juga dalam bagian ini, Yesus katakan, pergilah, perlihatkanlah
dirimu kepada imam-imam dan juga alkitab jelas sekali mengatakan bahwa mereka menjadi
tahir sementara mereka di tengah jalan, bukan mereka menjadi tahir segera setelah Yesus
mengatakan kalimat itu, tidak.
Mereka menjadi tahir di dalam perjalanan, di dalam proses ketaatan itu mereka menjadi tahir,
ketahiran tidak diberikan segera, waktu mereka taat ada certain ketekunan yang diajarkan di
sini, termasuk juga di dalam kehidupan kita, tapi maunya kita adalah kita taat langsung dapat
konfirmasi Tuhan, tetapi mungkin ada proses yang panjang juga. Perjalanan yang panjang,
waktu kita berjalan, bergerak, lalu akhirnya kita mendapatkan konfirmasi kehadiran,
perkenanan dan penyertaan Tuhan ketika kita taat. Ini iman yang kita bisa belajar, despite
sekali lagi bukan tentu iman yang menyelamatkan, tetapi menjadi satu bentuk iman yang
tetap, tidak necessarily atau tidak take it for granted selalu ada pada orang-orang percaya.
Tapi waktu kita membaca di dalam cerita ini, kemudian kita melihat bahwa despite semuanya
sembuh, semuanya tahir, hanya satu yang waktu melihat bahwa dia tahir, disembuhkan, lalu
mengambil keputusan untuk kembali, memuliakan Allah, tersungkur di depan kaki Yesus dan
mengucap syukur kepadaNya. Orang ini kembali, merayakan relasi dengan Yesus, yang
tadinya hanya bisa berdiri agak jauh. Menarik, bukan ke Yerusalem, bukan ke tempat lahiriah
itu, tetapi kepada Yesus Kristus, imanuel, kehadiran Allah di dalam satu pribadi yang pernah
berinkarnasi yaitu Yesus Kristus, yang merelativisasi Yerusalem, kan bait sucinya juga bukan
bait suci Salomo lagi, ya kan? Bukan yang didirikan Salomo, tetapi yang didirikan oleh si

52
penjilat Herodes itu, incomparable kehadiran Allah yang khusus di bait suci yang didirikan
Herodes di Yerusalem dengan kehadiran Allah di dalam diri Yesus Kristus, itu incomparable
dan orang ini melihat, dia kembali kepada Yesus Kristus.
Saya percaya ini lebih dari sekedar membalas budi dengan orang yang pernah menolong
saya, itu hanya sebatas manner, kita memang harus berterima kasih dengan orang yang
pernah menolong kita, jangan kita lupa, kalau kita menolong orang lain harus cepat lupa,
tidak usah diingat, tapi itu hanya sebatas manner. Saya percaya orang ini kembali kepada
Yesus Kristus bukan hanya karena manner, kalau hanya manner ya mungkin tidak usah jadi
kristen untuk memiliki gratitude, ada banyak orang yang bisa terima kasih seperti ini. Tetapi
motif yang diolah di sini oleh Lukas dengan perjalanan Yesus yang ke Yerusalem, yang
akhirnya berjumpa dengan orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan di dalam
antisipasi cerita ini, yang berterima kasih kepada Dia adalah orang Samaria. Kembali kepada
Yesus memberi segala kemuliaan kepada Tuhan, gambaran seperti ini wajar, kalau seseorang
menghayati dirinya masih adalah seorang hamba.
Ada saat-saat di dalam kehidupan kita, dimana kita mengalami pertolongan Tuhan seperti
tadi yang saya kutip kalimat pertama dari Mazmur, ada dua hal yang mengherankan, tidak
tahu berterima kasih, hatinya manusia despite kasih Tuhan yang begitu besar dan juga
sebaliknya, kasih Tuhan yang begitu besar despite tidak tahu berterima kasihnya manusia.
Tetapi di dalam kehidupan kita ada saatnya atau mungkin seringkali terjadi waktu kita
mengalami pertolongan Tuhan, kita tidak terlalu tergerak untuk berterima kasih, kita anggap
itu sebagai sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang luar biasa. Karena kita punya tuntutan
yang sangat tinggi terhadap kehidupan ini dan tuntutan yang kita terapkan juga pada Tuhan
high expectation, bagaimana Tuhan seharusnya merawat, menolong kehidupan saya,
bagaimana seharusnya Tuhan takecare, lalu kita menjadi tumpul, tidak mudah terharu.
Dalam khotbah Pdt. Stephen Tong tentang sanctification of emotion, ada kalimat di situ
dikatakan, kita manusia, kalau kita kehilangan rasa terharu, kalau kita tidak bisa lagi terharu,
kita sudah seperti binatang, bukan seperti manusia lagi. Orang yang tidak bisa terharu lagi,
despite temperamen dia apa, ini bukan hanya melankolik sama sanguinik yang bisa terharu,
bukan, temperamen apapun kalau kita tidak bisa lagi terharu, kita bukan seperti manusia lagi.
Ada orang yang mengalami pertolongan, setelah dia mengalami pertolongan, dia bukan
bersyukur, dia malah ngomel, mengapa pertolongan datang begitu telat dan pertolongannya
sedikit pula. Kenapa hanya memberikan saya segini, kan harusnya kamu tahu bahwa saya
perlu lebih banyak dari pada ini? Kenapa baru datang sekarang? Kenapa bukan kemarin-
kemarin, begitu kan ya? Sudah tidak berterima kasih, malah mencela orang yang menolong,
ini kehidupan yang kehilangan keterharuan, memang betul, seperti binatang orang seperti  ini.
Mungkin betul juga kalau kita tambahkan, orang jadi tidak mirip manusia lagi waktu dia
bukan hanya tidak bisa terharu, tetapi karena itu juga strongly connected dengan
ketidakmampuan terharu, juga tidak bisa berterima kasih, itu seperti binatang.
Orang yang tidak bisa berterima kasih, itu seperti binatang, kehidupannya betul-betul menjadi
beban, dia bukan menjadi beban karena dia sakit-sakitan, sudah tidak bisa bekerja apa-apa
lagi, sudah tidak produktif lagi dan karena itu dia menjadi beban, bukan itu. Tetapi orang jadi
betul-betul beban kalau orang itu tidak pernah berterima kasih, orang seperti itu adalah beban
dan ini tidak tergantung umur, bukan berarti karena kita sudah tua maka kita menjadi beban,
tidak, ada orang yang masih muda, masih kuat, mungkin juga masih sangat produktif, tetapi
tidak ada terima kasih di dalam kehidupannya, tidak ada gratitude, orang-orang seperti itu
betul-betul menjadi beban di dalam dunia ini. Di dalam surat Korintus ada perkataan Paulus
yang sangat menarik, dikatakan, bahwa ada goal yang mau dicapai waktu seseorang itu
diinjili dan akhirnya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Paulus
mengatakan, setelah orang diinjili, diberitakan injil, lalu orang percaya kepada injil supaya
apa? Supaya di dalam dunia ini semakin melimpah ucapan syukur. Dunia kita adalah dunia

53
yang tidak bersyukur, ingratitude, unthankful, tidak tahu berterima kasih.
Supaya menciptakan kebudayaan, culture, spirituality orang yang berterima kasih, Yesus
harus mati di atas kayu salib untuk memungkinkan hal itu terjadi. Ini konsisten dengan apa
yang dikatakan Paulus di dalam surat Roma, dia menggambarkan noda kekafiran itu salah
satunya adalah ingratitude, orang-orang yang menekan hati nurani mereka, yang suppressed
kebenaran yang mereka bisa kenal di dalam dunia ciptaan, yang mereka tidak bisa berdalih
itu dan mereka adalah orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, itu orang-orang kafir.
Lalu Paulus mengatakan, Yesus diberitakan di dalam injil, setelah orang percaya kepada
Yesus Kristus, supaya dia boleh memberi warna yang berbeda di dalam dunia ini yaitu
menjadikan kelompok orang-orang yang bersyukur kepada Tuhan. Mungkin kita berpikir,
masa orang percaya Yesus hanya sekedar bersyukur (betul, memang bukan hanya bersyukur
saja), tetapi bersyukur itu adalah satu goal, setidaknya menurut Paulus mengapa kita
memberitakan injil. Kita bukan memberitakan injil supaya sekedar orang lalu habis itu terima
Yesus Kristus angkat tangan, ya senang sekali, begitu kan ya? Lalu setelah itu ada catatan
statistik di dalam pelayanan saya, berapa banyak jiwa yang sudah saya injili dan dibawa
kehadapan Tuhan, tetapi bagaimana dunia yang tidak tahu bersyukur ini menjadi dunia yang
lebih bersyukur dengan kehadiran orang-orang seperti itu, kehadiran orang-orang seperti
saudara dan saya?
Yang paling ironi adalah setelah kita mengaku percaya Yesus Kristus, tetapi kehidupan kita
dipenuhi dengan complain, keluhan, sepertinya injil itu tidak mencapai sasarannya,
sepertinya sia-sia saja injil diberitakan kepada kita, karena setelah kita mengaku percaya
kepada Yesus Kristus, tetapi hidup penuh dengan keluh kesah, hidup penuh dengan sungut-
sungut, hidup penuh dengan ingratitude, tidak tahu berterima kasih, take it for granted semua
kebaikan Tuhan, ya memang harus seperti ini, kan Dia yang menciptakan, Dia yang harus
mengurus semuanya. Tetapi orang Samaria ini tidak, orang Samaria ini peka bahwa dia
sangat tidak layak untuk menerima perjumpaan ini, kesembuhan ini, pemulihan ini,
kebangkitan ini, mungkin justru karena dia Samaria, makanya dia memiliki kepekaan ini,
sementara orang Yahudi yang lain mana? Yesus kemudian bertanya dengan kalimat yang
menyedihkan ini, bukankah 10 orang tadi semuanya tahir, dimana yang sembilan? Tuhan
tentu saja expect dari orang-orang yang normal, yang waras ucapan terima kasih, menyembah
Tuhan, memuliakan Tuhan dan itu justru seharusnya automatically understood, tanpa harus
diajarkan, tanpa harus dipesan. Mereka seharusnya tahu kalau harus berdiri agak jauh waktu
mereka berteriak, artinya mereka kan mengenal hukum? Masakan mereka tidak tahu setelah
ditolong harus bersyukur, berterima kasih atau mungkin kurang perintah seperti itu di dalam
Taurat? Maka menjadi orang-orang yang legalis, kalau diperintahkan ya kita jalankan, kalau
tidak diperintahkan ya tidak kita jalankan. Mana ada hukum terima kasih, tidak ada kan?
Kalau hati nutrani sudah demikian, itu bebal, tidak peka lagi, sampai urusan seperti ini pun
harus diajarkan, harus ditulis, harus ada job description-nya, harus ada SOP-nya, karena tidak
ada SOP-nya ya tidak usah terima kasih dong. Ada hal-hal di dalam kehidupan kita yang
tidak perlu job description dan SOP, bukan karena sama sekali tidak membantu di dalam
kehidupan manusia, bukan, tetapi ini persoalan kepekaan hati nurani. Kalau anak kecil perlu
SOP waktu kita mengajarkan mereka setelah mereka menerima permen, es krim atau apapun,
kita beritahu SOP-nya, harus melihat mukanya, lalu ucapkan terima kasih, begitu, tetapi
orang dewasa tidak perlu hal itu. Kalau kita tergerak silahkan bersyukur, silahkan
menyembah Tuhan, tapi apa daya, ternyata tidak semua orang tergerak, hanya orang yang
mempunyai pengenalan diri yang rendah, seperti orang Samaria ini yang tergerak, satu-
satunya dari 10 orang, menyedihkan gambaran seperti ini. Hanya satu orang yang mengerti
apa artinya terima kasih, hanya satu orang yang waras, yang tersentuh, yang terharu, 9 yang
lain kemana? Mereka itu seperti binatang, tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada
ketergerakan, bisa banyak sekali alasannya, tetapi alkitab tidak tertarik untuk menyebutkan

54
itu, mungkin ada diantara mereka yang akhirnya sepertinya menikmati kehadiran Allah di
Yerusalem, tetapi mereka menghindari kehadiran Yesus. Kan memang disuruh menunjukkan
diri kepada imam-imam (plural), ada tafsiran mengatakan, kenapa plural? Karena ada imam
di Samaria, ada imam di Yahudi, ada yang menunjukkan diri di sini atau di sana, jadi mereka
mempunyai imam-nya masing-masing.
Tetapi Yesus sebetulnya cukup untuk merelativisasi perbedaan tempat menyembah Tuhan
baik di Yerusalem atau di Samaria yang tidak legitimate, dua-duanya tidak perlu dibicarakan
termasuk Yerusalem, karena Yesus sendiri sedang ada di sini. Ironis, kalau kita mengalami
pertolongan Tuhan, kita mengalami berkat Tuhan, akhirnya kita sendiri kehilangan Tuhan.
Mungkin yang seringkali terjadi dalam kehidupan kita adalah kita buang pemberinya, lalu
kita sibuk menikmati pemberiannya, menikmati berkatnya, sembilan orang ini sangat
mungkin seperti itu. Mereka seperti membuang Yesus, ini orang-orang oportunistik, di sini
langsung kelihatan, sekali lagi, yang mana yang jadi sarana, yang mana jadi goal di dalam
kehidupan mereka. Yesus ternyata hanya jadi sarana, “kasihanilah kami, kasihanilah kami”,
setelah itu sembuh, tahir, eeh ternyata Yesus hanya dijadikan sarana, hanya dipakai saja,
mereka lebih tertarik merayakan solusi yang sudah mereka alami. Kesembuhan itu, inilah
yang saya nanti-nantikan, tugas Yesus sudah selesai kan? Karena goal di dalam kehidupan
saya ini adalah bagaimana saya keluar dari persoalan saya, saya menderita, bagaimana saya
keluar dari penderitaan saya? Saya berdoa kepada Tuhan dan Tuhan sudah tolong, ya sudah,
goal saya sudah tercapai, ya Yesus itu hanya sekedar sebagai alat di dalam kehidupan saya,
yang penting kan bagaimana saya mendapatkan apa yang saya mau? Tapi orang Samaria ini
tidak, orang Samaria ini jelas membedakan, yang mana pertolongan Tuhan, yang mana
Tuhan, yang mana berkat Tuhan dan yang mana Sang pemberi berkat? Dia kembali kepada
Yesus.
Ada satu commentary yang mengatakan satu insight  yang menarik untuk saya, again ini
diasumsikan, karena Lukas mencatat di sini yang kembali adalah orang Samaria, maka saya
pikir kita boleh assume pasti bukan semua Samaria, begitu kan ya? Kalau semuanya Samaria,
kalimat ini juga jadi agak aneh, begitu kan ya? Orang itu adalah Samaria, ya tidak usah bicara
karena semua Samaria, jadi yang lebih masuk akal adalah ada orang Samaria dan orang
Yahudi, begitu kan ya? Kalau semuanya Samari, ya tidak usah bicarakan di sini seorang
Samaria, pasti di sini ada orang Yahudi. Tetapi yang disoroti commentary itu menarik,dia
katakan, selagi mereka masih di dalam keadaan sakit kusta, seperti ada persekutuan di situ,
yang ironis adalah mereka disembuhkan lalu persekutuan itu bubar. Sangat mirip dengan
kehidupan kita, waktu kita susah, sepertinya kita bisa lebih dekat dengan sesama kita yang
susah juga, tetapi orang kaya itu susah dekat dengan orang kaya yang lain, kalau kita tidak
hati-hati, kalau persekutuan kita adalah pesekutuan yang palsu, ooh bisa dekat sih, tetapi
urusan profesional, relasi profesional, nearly profesional, begitu kan?
Orang gagal bisa sangat dekat dengan orang gagal yang lain dan terjadi persekutuan yang
betul-betul sincere, tetapi orang yang successful, highly  successful memang bisa ada
persekutuan dengan orang  highly  successful yang lain, tapi persekutuan yang artificial dan
superficial, professional relationship yang hanya ada urusan pekerjaan, tidak ada betul-betul
persekutuan dari hati ke hati, sayang sekali. Jadi bubar persekutuannya setelah mereka
disembuhkan, itu pasti bukan ulahnya Yesus, kalau saja mereka semuanya kembali
menyembah Yesus, memuliakan Allah, datang kepada titik yang satu, sumber pemberi
kebangkitan dan segala kebaikan, mereka pasti akan mengalami persekutuan, itu ibadah yang
sejati, tidak mungkin tidak, pasti ada persekutuan. Tetapi yang sembilan orang ini tidak
kembali kepada Yesus, mungkin mereka masih ada persekutuan juga, persekutuan sembilan
orang, sama-sama menunjukkan diri kepada para imam, persekutuan orang-orang yang
meninggalkan Yesus, persekutuan orang-orang yang tadinya berdiri agak jauh, setelah Yesus
menyembuhkan sekarang lebih jauh lagi dari Yesus, bukan lebih dekat. Banyak ironi yang

55
dicatat di sini, sebenarnya Yesus menyembuhkan supaya mereka bisa menikmati kehadiran
Yesus, menjadi dekat dengan Tuhan, bukan dekat dengan Yerusalem, karena Yerusalem
sendiri akan menolak dan menjauhkan Yesus.
Yesus berkata kepada orang itu, “berdirilah dan pergilah, imanmu menyelamatkan engkau”,
coba kita perhatikan, hanya kepada orang yang kembali ini saja Yesus berkata imamu
menyelamatkan. Kita tidak boleh berpikir tertukar, seolah-olah Yesus menunggu terima kasih
dahulu, Yesus menunggu orang memuliakan Dia dahulu, menyembah tersungkur kepada Dia
terlebih dahulu, baru setelah itu, ooh, karena kamu sudah berterima kasih, maka Saya beri
kamu iman keselamatan, bukan seperti itu. Justru karena dia memiliki iman yang
menyelamatkan, makanya dia kembali dan tersungkur, memuliakan dan berterima kasih
kepada Yesus, itu mengkorfirmasikan bahwa orang ini memiliki iman yang sejati, iman yang
menyelamatan dan bukan hanya sekedar iman mukjizat. Zacharias Ursinus dalam
commentary Heidelberg katekismus, membedakan all kind of faith, iman yang
menyelamatkan, iman yang tidak menyelamatkan, di sini ada certain pergeseran sangat
menarik kalau kita membacanya, kalau Calvin tidak mengenal pembedaan seperti ini. Bagi
Calvin yang disebut iman itu ya iman, karena dia sedang berurusan dengan orang-orang
Roma katolik pada saat itu yang mengajarkan iman, iman, iman lalu menuju kepada
penghayatakan yang sangat superstition, takhyul, maka Calvin sangat menekankan
pentingnya pengetahuan, knowledge, itu sebagai bagian penting dari pada iman.
Tetapi ketika mulai bergeser kepada generasi berikutnya, orang-orang seperti Zacharias
Ursinus, mereka yang ada di Heidelberg, termasuk yang ada di tempat-tempat lain generasi
kedua, mereka sudah born di dalam reformed family, mereka terlahir dengan iman reformed,
lalu Ursinus mempersoalkan, kamu jangan pikir kamu hanya punya knowledge certain
doctrine knowledge, doktrin tentang iman kristen, otomatis kamu pasti memiliki iman yang
sejati, maka Ursinus mengatakan, itu historical faith bukan tentu saving faith, ada perbedaan.
Orang yang mempunyai iman mukjizat seperti di sini, kategori yang lain yang didaftarkan
oleh Ursinus, miraculous faith, ini faith loh, bukan takhyul, Yesus mengeluarkan dari
mulutNya memerintahkan, berfirman, dan orang-orang taat, sepuluh-sepuluhnya taat, ada
certain obedience, dan mereka mengalami pekerjaan Tuhan yang asli, bukan yang dipalsukan
oleh iblis, bukan. Tetapi tetap bukan ini yang menjamin seseorang memiliki iman yang sejati,
hati-hati dengan pengalaman-pengalama rohani yang bisa menyesatkan itu.
Saya bukan mau mengatakan bahwa pengalaman rohaninya itu dipalsukan oleh setan, tidak
tentu, itu bisa menjadi pengalaman rohani yang dari Tuhan juga. Ada orang yang mempunyai
pengalaman waktu kesulitan, kesulitan apapun, lalu dia berdoa kepada Tuhan dan dia betul-
betul mengalami sangat konkrit pertolongan Tuhan, kita berpikir bahwa dia pasti sudah
memiliki iman yang menyelamatkan, tidak tentu. Pengalaman-pengalaman itu bisa sangat
menipu, sekali lagi, bukan Tuhan yang menipu, bukan, tetapi apa sih sebetulnya yang
membedakan seseorang yang memiliki iman sejati dengan semacam iman mukjizat-lah, iman
historis-lah atau iman yang lahir dari pengalaman-pengalaman yang ditolong oleh Tuhan,
memang nyata ditolong oleh Tuhan? Apa yang membedakan? Menurut perikop ini yang
membedakan sederhana yaitu respon dari orang ini kepada Tuhan, respon terima kasih,
sederhana sekali, respon ucapan syukur, dia say thank you, dia tersungkur, dia memuliakan
Allah, inilah iman yang menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan bukan berapa banyak
kita mengalami pertolongan Tuhan, bukan berapa banyak doa kita dijawab oleh Tuhan, bukan
berapa banyak kita mengalami pengalaman-pengalaman spektakuler yang kita bisa
mengatakan Tuhan hadir di situ, ya memang Tuhan hadir, betul, Tuhan hadir kok di sini,
benar, Kristus hadir waktu menyembuhkan ini, ada encounter meskipun dari jauh, tetapi
bukan itu. Yang membedakan adalah respon orang ini yang menyembah dan mengikut
Tuhan, seorang yang sadar bahwa tidak layak menerima korban keselamatan Kristus di atas
kayu salib. Lalu mempersembahkan seumur hidupnya sebagai satu ekspresi ucapan syukur.

56
Heidelberg katekismus ditulis di dalam triadiks struktur, bagian pertama tentang miserable
state human being, keadaan manusia yang begitu miserable, bagian kedua bicara tentang
sotereologi, pembebasan kita from death miserable state, lalu bagian ketiga, bagian yang
besar sekali bicara tetang gratitude sebagai respon kita setelah kita diselamatkan. Lalu apa?
Lalu kita bersykur, kita merayakan kehidupan ini dengan satu kata sebagai ekspresi ucapan
syukur kita kepada Tuhan. Orang yang terus bersyukur, dia menerima terlebih dahulu kan ya?
Dia mengembalikan apa yang sudah dia terima, seperti merefleksikan kembali apa yang
pernah menerangi dia. Orang yang seperti ini hidupnya sederhana sekali, dia tidak banyak
permintaan, tidak banyak expectation, tidak banyak demand. Kenapa seringkali di dalam
kehidupan kita banyak sekali ketidakpuasan, unsatisfied karena kita gagal bersyukur, waktu
kita gagal bersyukur, akhirnya kita minta terlalu banyak, melampaui apa yang betul-betul kita
butuhkan, kita minta, minta, berharap, berharap, very high expectation terhadap segala
sesuatu, terhadap gereja, terhadap istri atau suami, terhadap anak, terhadap sesama saya, dst.
Ini bukan mau mengatakan kita jadi pasif dan tidak punya keinginan apa-apa, bukan, tetapi
seringkali di dalam kehidupan kita waktu kita kecewa, disappointed, dsb., hanya mau
mengatakan satu hal yaitu kita gagal atau kurang bersyukur. Orang yang bersyukur, dia tidak
ada harapan lagi kan ya? Kalau kita sudah menerima sesuatu, misalnya kado, kita bersyukur
kan ya? Kita tidak akan bersyukur, setelah bersyukur, kita akan minta kado keduanya, itu
orang gendeng, dia bersyukur untuk mendapatkan kado kedua, ketiga dst., itu namanya bukan
bersyukur. Orang yang bersyukur selalu tidak mengharapkan apa-apa, dia vector-nya
kebelakang, mensyukuri apa yang sudah terjadi di past, itu orang yang bersyukur. Dan
kekristenan digerakkan dengan spirit ini, spirit yang melihat kebelakang, Yesus yang sudah
mati bagi kita, lalu kita melihat kebelakang, kita bersyukur Yesus sudah melakukan ini, lalu
sepanjang kehidupan kita, kita responi dengan ucapan syukur. Sehingga ayat yang kita baca
dari Mazmur tadi, Mazmur keheranan itu tidak seharusnya terjadi di dalam kehidupan orang
kristen. Despite Tuhan sudah memberikan begitu besar, cinta kasihNya, tetapi manusia kok
tetap tidak bersyukur ya? Kita bisa mengkoreksi fakta yang unfortunately seringkali terjadi di
dalam dunia ini, kiranya Tuhan meberkati kita semua. Amin. Amin.

       Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)

57

Anda mungkin juga menyukai