Sinuba sinukarta,
Samun,
Waspadeng semu,
8. Sucining jiwangganira,
Semengah sesongaran,
Ubayane mbalenjani.
Kukutaning jiwangga,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
1. Menjauhkan diri dari nafsu angkara, karena berkenan mendidik putra dalam bentuk
syair dan lagu, dihias penuh variasi, biar menjiwai ilmu luhur yang dituju, di Tanah
Jawa (Indonesia) ini yang hakiki itu adalah agama sebagai pegangan yang baik.
2. Disajikan di Wedatama, agar jangan kekurangan pengertian. Bahwa sebenarnya walau
telah tua bangka, jika tak punya perasaan, sebenarnya tanpa guna, bagai sepah
buangan. Bila dalam pertemuan, sering bertindak salah dan memalukan.
3. Hanya mengikuti kehendak diri sendoro, bila berkata tanpa perhitungan, tidak mau
dianggap bodoh, hanya tahu gelagat (pandai), justru selalu merndah diri, menanggapi
semuanya dengan baik.
4. Si Dungu tidak menyadari. Bualanyya semakin menjadi-jadi, melantur tidak karuan,
bicaranya yang hebat-hebat, makin aneh dan tak masuk akal. Si Pandai maklum dan
mengalah, menutupi ulah si Bodoh.
5. Demikianlah ilmu yang sejati. Sebenarnya hanya nmenyenangkan hati. Suka dianggap
bodoh. Gembira apabila dihina. Tidak seperti si Dungu yang selalu sombong, ingin
dipuji setiap hari. Jangan demikianlah hidup dalam pergaulan.
6. Hidup hanya seklai di dunia berantakan, tidak berkembang, pikirannya tercabik-cabik,
ibarat goa gelap menyeramkan, terlanda angin. Suaranya berkumandang keras sekali,
demikianlah anak muda jika picik pengetahuannya, namun demikian sombongnya
minta ampun.
7. Tekadnya remeh sekali, bila menghadapi kesulitan berlindung di balik orang tuanya,
yang terpandang dan bangsawan. Itu kan ayahmu. Sedangkan kamu belum kenal inti
sari sopan santun (tata krama), yang merupakan ajaran agama/peraturan yang utama.
8. Sifat-sifat pribadimu, nampak apabila bertutur kata. Tidak mau kalah, maunya
menang sendiri, sombong dan meremehkan orang. Yang demikian dapat disebut
tergila-gila akan tingkah laku kesombongan. Itu tidak terpuji nak.
9. Di dalam ilmu sihir, rekaan dari hal-hal gaib, itu ibarat bedak, tidak meresap ke dalam
jiwa, hanya ada di luar daging saja nak. Apabila terbentur mara bahaya, tak dapat
diandalkan (Yang disanggupkan itu tak ditepati).
10. Oleh karena itu sedapat-dapatnya, setidak-tidaknya berusahalah berhati yang baik.
Berguru yang benar, yang sepadan dengan dirimu. Ada juga aturan dan pedoman
negara; perlengkapan berbakti, yang dipakai siang dan malam.
11. Oleh karena itu sedapat mungkin, berusahalah mencapai kebahagiaan, bergurulah
kepada orang yang pandai, sesuai dengan diri pribadimu. Di samping itu ada aturan
dan pedoman negara, tata cara berbakti, yang dipakai siang dan malam.
12. Siapapun yang menerima wahyu Illahi, lalu dapat mencerna dan menguasai ilmu.
Mampu menguasai ilmu kasampurnan, kesempurnaan diri pribadi. Orang yang
demikian itu pantas disebut “orang tua”, orang yang tidak dikuasai nafsu. Dapat
memahami dwi tunggal (titah dan yang menitahkan, baik dan buruk dan lain-lain).
13. Tidak ragu-ragu terhadap citra Sukma (Tuhan), diresapi dan dibuktikan di kala sepi
(hening), diendapkan di lubuk hati. Pembuka tirai itu tidak lain dari keadaan antara
sadar dan tiada (Kusuk). Serasa mimpi, hadirnya rasa yang sejati.
14. Sebenarnya yang demikian itu, sudah mendapat anugerah Tuhan, kembali ke alam
kosong, tidak mabuk keduniawian, yang bersifat kuasa menguassai. Kembali ke asal
mula. Oleh karena itu hai anak muda sekalian.