Anda di halaman 1dari 21

Periode 11 Februari – 9 Maret 2019

Speech Delay / Keterlambatan Bicara1


Speech delay adalah suatu keterlambatan persisten dan defisit dari perkembangan
kemampuan berbicara dan kualitas bicara pada anak. Kondisi ini merupakan kelainan yang
umum ditemukan pada populasi anak usia 2-5 tahun (pre-sekolah) dengan prevalensi mencapai
5-12%. Keterlambatan untuk berbicara ini akan berdampak dalam jangka panjang akibat adanya
kesulitan dalam berkomunikasi dan kemudian dapat menyebabkan kesulitan belajar pada masa
sekolah.

Bicara, Bahasa, Komunikasi2


Komunikasi terjadi melalui berbagai spektrum perilaku dan kemampuan. Bahasa adalah
salah satu komponen esensial dalam berkomunikasi. Pada tingkat kemampuan dasar verbal,
fonologi merujuk pada produksi suara yang tepat untuk membentuk suatu kata, semantik adalah
penggunaan kata yang tepat, dan syntax adalah penggunaan grammar / tata bahasa yang baik
untuk membuat suatu kalimat.
Untuk dapat berkomunikasi menggunakan bahasa dengan baik, seseorang membutuhkan
kemampuan reseptif (mendengar dan memahami) dan ekspresif (berbicara). Perkembangan
berbicara yang normal pada anak umumnya memiliki pola yang terprediksi (tingkat
prelinguistik).

Perkembangan Reseptif Normal pada Anak


Pengalaman mendengarkan adalah pengalaman yang penting bagi bayi karena
perkembangan bahasa, sosial, dan kognitif bayi sangat didasarkan pada pengalaman bayi
tersebut. Sehingga sebelum anak dapat berbicara, anak akan belajar dari mendengar orang
dewasa berbicara di sekitarnya.
Sistem auditorik perifer matur pada saat janin usia gestasi 26 minggu dan janin mulai
merespon dan mendiskriminasi suara. Struktur temporal otak yang berfungsi untuk memproses
bahasa telah terbentuk pada usia gestasi 31 minggu. Pada saat bayi lahir aterm, bayi telah
memiliki jaringan neural yang fungsional untuk memproses input auditorik. Oleh karena itu bayi
normal aterm dapat membedakan suara dan mengenali suara ibunya dan memberikan respon
yang berbeda dibandingkan dengan suara orang asing.
Pada rentang usia 4-6 bulan, bayi secara visual akan mencari sumber suara yang ia
dengar. Bayi pada usia 5 bulan dapat memahami secara pasif arahan visual dari orang dewasa.
Pada usia 8 bulan, bayi dapat secara aktif memberikan arahan visual seperti menunjuk dan
memberikan suatu objek. Pada usia 9 bulan, bayi mulai dapat memahami kata, terlihat dari bayi
mulai merespon saat namanya dipanggil dan mengerti kata sederhana seperti ‘ya’ dan ‘tidak’.
Pada saat usia mencapai 1 tahun, anak dapat mengikuti perintah verbal sederhana tanpa
perlu gestur/arahan visual. Antara usia 1 – 2 tahun, pemahaman bahasa pada anak akan
meningkat pesat dan mulai dapat mengidentifikasi objek, gambar, atau orang serta mengikuti
perintah atau menjawab pertanyaan sederhana. Pada usia 3-4 tahun, umumnya anak dapat mulai
mengikuti perbincangan orang dewasa, mendengar cerita dan menjawab pertanyaan setelahnya.

Perkembangan Bicara Normal pada Anak2,3


Berbicara merupakan salah satu aspek penting pada perkembangan anak sebagai bentuk
untuk berkomunikasi. Proses berbicara terutama terjadi pada periode sejak lahir sampai dengan
usia lima tahun. Sama seperti perilaku motorik dan perilaku lainnya yang dipelajari, berbicara
juga berkembang seiring dengan proses maturasi.
Proses berbicara dipelajari anak dari proses berbicara orang-orang di sekitarnya dan
berbicara pada anak. Proses tersebut menjadi stimulasi untuk belajar berbicara. Pada anak yang
ditelantarkan dan tidak mendapat stimulasi, dapat terjadi gangguan untuk berbicara.
Sebelum anak menggunakan simbol oral atau verbal untuk berkomunikasi, anak secara
normal melalui sebuah tingkat prelinguistik bersamaan dengan pembelajaran untuk
memproduksi suara. Perkembangan produksi suara ini meliputi kontrol pernapasan, kontrol
laryngeal hingga akhirnya kontrol artikulasi. Kebutuhan fisik, emosional, dan intelektual amak
diekspresikan pada setiap tingkatannya.

Karakteristik tingkatan prelinguistik tersebut adalah3:


1. The Cry
Tingkatan pertama adalah menangis, yang dibagi menjadi undifferentiated dan
differentiated. Pada bulan pertama dan kedua, tangisan tidak membedakan sensasi lapar,

1
nyeri, panas, dingin, atau tanda ketidaknyamanan lainnya (undifferentiated). Selanjutnya
tangisan menjadi differentiated setelah beberapa bulan pertama dan ibu belajar untuk
menginterpretasikan variasi tangisan anak.
2. Babbling
Pada tingkatan kedua yaitu di bulan ke-3 atau 4, anak masih menangis tipe differentiated
dan mulai memproduksi berbagai jenis suara acak. Anak nampak mulai ‘mendengarkan’ dan
merespon suara di lingkungan. Anak mulai menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat
suara yang mulai terdengar seperti konsonan dan vokal. Sistem feedback sensorik anak
(auditorik) mulai berkembang dan babbling akan berkembang progresif mengimitasi
stimulasi dari orang dewasa dalam hal pitch, penekanan, dan durasi.
3. Reduplicated Babbling
Tingkatan ketiga ini dimulai pada usia di atas 6 bulan, berupa suku kata yang diulang seperti
pa pa pa, ba ba ba, ku ku ku, dan lain-lain. Pada tingkatan ini, masih disertai babbling
namun bersifat lebih selektif terhadap suara orang lain dan suaranya sendiri. Tingkatan ini
merupakan prediktor yang baik dari perkembangan bicara normal. Hampir semua anak
dengan pendengaran yang normal memproduksi reduplicated babbling pada usia dibawah
usia 12 bulan dan jarang ditemui pada anak dengan gangguan pendengaran yang signifikan.
4. Echolalia
Tingkatan keempat ini terjadi pada usia bulan ke-9 atau 10 dimana anak mulai mengulang
suara yang didengarnya di lingkungan. Anak mulai memproduksi suara yang ia suka dan
mengulang suara yang diucapkan orang lain. Pada tingkat ini anak mulai menunjukkan
pemahaman terhadap suara dan mulai mengingat suara yang kemudian akan digunakan
dalam berbicara (perkembangan vocabulary).
5. Intentional Speech
Tingkatan ini adalah ketika anak dapat menggunakan suara sebagai alat dalam
berkomunikasi. Pada tingkatan ini anak dapat menyusun pola sekuens kata yang memiliki
makna. Proses ini diawali dari mengimitasi orang dewasa dan melabel objek pada usia 12-
18 bulan. Kemudian pada usia 18-20 bulan, anak mulai menggunakan kombinasi kata dan
pola suara (penekanan, naik turun nada). Pada usia 2 tahun, anak mulai menunjukkan
kemampuan menggunakan grammar (syntax) walaupun pendek seperti ‘mau kue’. Pada usia

2
3-5 tahun, akan semakin banyak kombinasi kata dengan pola grammar yang semakin
kompleks.
Tingkatan terakhir ini akan berlangsung panjang. Anak perempuan pada umumnya
mencapai tingkatan ini disertai artikulasi sempurna pada usia 7 tahun dan anak laki-laki
membutuhkan waktu lebih banyak.

Tahapan prelinguistik ini dapat diprediksi sesuai dengan tahapan diatas, namun waktu
tercapainya tahapan ini bervariasi pada setiap individu. Kemampuan reseptif dan ekspresif pada
anak dirangkum dalam tabel milestones normal dalam berbahasa.

Gambar 1. Milestones Normal Berbahasa2

3
Evaluasi Keterlambatan Berbicara / Speech Delay2,3,1
Kemampuan untuk berbicara harus dievaluasi secara rutin pada kunjungan ke dokter. Anak
seringkali tidak kooperatif pada saat pemeriksaan ke dokter oleh sebab itu sering kali
kemampuan dikaji per anamnesis. Orang tua harus berperan mengamati kemampuan anak untuk
berbicara. Waktu untuk melewati tahapan prelinguistik memang berbeda (bervariasi) pada setiap
anak, namun jika terjadi keterlambatan yang signifikan maka diperlukan evaluasi penyebab yang
mendasari.
Keterlambatan yang signifikan adalah ketika terdapat keterlambatan sebesar 25% dari
tahap yang seharusnya pada usia 16-24 bulan. Contohnya jika seorang anak berusia 24 bulan
memiliki kemampuan berbicara dengan tingkat usia 18 bulan, maka anak tersebut memiliki
keterlambatan berbicara yang signifikan. Tanda yang menjadi indikasi keterlambatan bicara yang
signifikan dapat dilihat pada tabel dibawah.

4
Gambar 2. Indikasi untuk Diagnosis Keterlambatan Bicara1

Keterlambatan berbicara harus dapat dideteksi sedini mungkin, yaitu usia 16-24 bulan dan
tidak boleh ditunggu sampai anak sudah berusia 3 tahun. Jika anak mengalami keterlambatan
berbicara, kemungkinannya dapat disebabkan oleh3:
(1) Defek pendengaran
(2) Gangguan koordinasi motorik (disatria akibat cerebral palsy, gangguan
neuromuscular seperti muscular dystrophy, facial palsy)
(3) Defek fisik (struktur anomali pada cavum oral seperti ankyloglossia, cleft palate)
(4) Defek kognitif (autism, retardasi mental, Asperger’s, selective mutism)
(5) Lainnya (kurangnya stimulus dari keluarga, paparan pada banyak bahasa)
Evaluasi pada pasien dengan keterlambatan berbicara dapat mengikuti algoritma berikut
ini. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adanya kemungkinan sugestif defek fisik,
gangguan motorik, maupun defek kognitif. Pemeriksaan fungsi audiologi juga perlu dilakukan
pada anak dengan keterlambatan bicara untuk mengetahui ada tidaknya defek pendengaran yang
mengganggu proses belajar aural-oral pada anak.

5
Gambar 3. Algoritma Evaluasi Anak dengan Keterlambatan Bicara1

6
Fisiologi Pendengaran4,5

Gambar 4. Mekanisme Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi akustik oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang. Getaran tersebut menggetarkan
membran timpani (mengubah energi akustik menjadi mekanik) diteruskan telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya getar tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dengan oval window.
Energi getar/mekanik yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan oval window sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner/vestibular yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia hair cells. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorik, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis.

Defek Pendengaran pada Anak6,7


Defek pendengaran pada bayi dan anak sulit untuk dikenali dan seringkali tidak terdeteksi
sampai dengan anak mulai terlambat untuk berbicara. Defek pendengaran pada saat lahir terjadi
pada 1/1000 neonatus. Sebagian besar kasus defek pendengaran ini adalah tuli sensorineural
akibat gangguan pada koklea. Pada tahun pertama kehidupan, 1/1000-2000 anak mengalami tuli.

7
Defek pendengaran berupa hearing loss atau ketulian dibagi menjadi tuli konduktif, tuli
sensorineural, gabungan keduanya (mix). Tuli konduktif disebabkan karena adanya hambatan
dalam transmisi mekanik gelombang suara pada telinga luar maupun pada telinga tengah. Tuli
sensorineural disebabkan karena kegagalan untuk transduksi getaran menjadi impuls neural
secara efektif di koklea, atau karena kegagalan untuk transmisi impuls di nervus
vestibulokoklear. Tuli gabungan adalah kombinasi dari konduktif dan sensorineural, umumnya
karena gangguan pada telinga tengah dan dalam. Pada anak dapat ditemukan tuli konduktif
maupun sensorineural pada berbagai penyebab baik kongenital atau acquired.

Gambar 5. Penyebab Tuli Konduktif dan Sensorineural pada Anak7

Etiologi defek pendengaran pada anak dibagi menjadi herediter dan acquired. Defek
pendengaran herediter dibagi menjadi monosimptomatik dan sindroma genetik.
 Defek pendengaran herediter monosimptomatik
Mayoritas defek pendengaran akibat genetik hanya mengenai pendengaran dan
dengan demikian disebut sebagai monosimptomatik. Tidak terdapat adanya anomali
lainnya pada anak tersebut. Sebesar 90% defek pendengaran ini diturunkan secara
autosomal resesif.
 Defek pendengaran sindroma genetik
Dalam beberapa kasus, beberapa lokus genetik atau kromosom mengalami kelainan
sehingga terjadi defek pendengaran disertai gejala lainnya dalam suatu sindroma
kongenital (CHARGE syndrome, Usher syndrome, Alport syndrome, Trisomi 21, dll.)

8
Defek pada anatomi telinga juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif,
sebagai contoh malformasi dari telinga luar (atresia, microtia), ataupun malformasi dari tulang
pendengaran.
Defek pendengaran acquired dibagi menjadi in utero, perinatal, dan postnatal menurut
waktu paparan atau insult yang menyebabkan defek. Struktur sistem auditorik pada periode
neonatal bersifat rentan terhadap insult, contohnya pada kasus kernicterus, dimana kadar
bilirubin sangat tinggi dalam darah dapat menyebabkan kerusakan pada struktur koklea. Struktur
tersebut juga sangat rentan pada kondisi hipoksia dan agen toksik. Paparan lainnya, antara lain
sindroma rubella dan sifilis kongenital.
Infeksi maternal cytomegalovirus seringkali menyebabkan defek pendengaran kongenital.
Defek bersifat progresif, sehingga pada awalnya bayi mungkin melewati skrining namun pada 1
tahun kemudian datang dengan hearing loss yang signifikan.

Gambar 6. Penyebab Defek Pendengaran Acquired dan Derajat Defek Pendengaran pada
Anak6,8

Sulit untuk membedakan apakah defek pendengaran disebabkan pada periode in utero
(kongenital) atau perinatal karena tidak terdapat tanda-tanda yang jelas sampai terjadi
keterlambatan dalam berbicara. Selain herediter dan acquired, maturitas dari neonatus juga

9
menjadi faktor yang berperan, neonatus preterm memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami defek pendengaran.

Dampak Defek Pendengaran terhadap Perkembangan Anak6,8,9


Pendengaran merupakan faktor yang krusial dalam perkembangan komunikasi verbal dan
relasi sosial. Pada masa kanak-kanak, maturasi sistem saraf sentral sangat dipengaruhi oleh
stimuli linguistik, dan hanya pada periode tersebut saja. Perkembangan bahasa ini juga
dipengaruhi oleh apakah anak pernah mendengar sebelumnya atau belum. Ketika defek
pendengaran acquired bersifat sementara, dan kemudian berhasil pulih, maka akan lebih cepat
untuk mengejar keterlambatan dibandingkan anak yang tuli secara kongenital.
Semakin lama anak tanpa pendengaran dan tanpa stimulasi berbicara, semakin sulit untuk
mengejar keterlambatan yang dialaminya dibanding anak seusianya. Anak dengan defek
pendengaran juga akan berdampak pada kondisi psikologis, yaitu cenderung merasa sendirian,
tidak dimengerti dan terisolasi. Lebih jauh lagi mempengaruhi hubungan atau relasi sosial
dengan lingkungannya. Oleh karena dampak tersebut, klasifikasi derajat defek pendengaran lebih
ketat dengan normal 0-15 dB dan diagnosis dini dari defek pendengaran pada anak merupakan
hal yang penting.

Deteksi Defek Pendengaran pada Anak6,7,10


Skrining Pendengaran Universal Neonatus Sebelum Usia 1 Bulan
Ketulian tidak dapat didiagnosis pada bayi melalui observasi biasa karena bayi yang tuli
tetap dapat mencapai milestone awal dari berbahasa (tersenyum, babbling, cooing). Hanya
pemeriksaan objektif saja yang dapat memberikan evaluasi yang akurat dari tuli pada neonatus.
Oleh karena itu American Academy of Pediatrics Joint Committee on Infant Hearing
merekomendasikan skrining objektif sebelum bayi berusia 1 bulan untuk deteksi dini.
Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan pertama
kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Tujuan dari skrining ini adalah agar defek
pendengaran dapat segera diketahui, dan dapat diintervensi sebelum usia 6 bulan. Intervensi dini
ini diharapkan pada usia 3 tahun anak akan mempunyai kemampuan berbahasa normal
dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan.

10
Terdapat beberapa indikator faktor risiko neonatus yang berisiko tinggi untuk mengalami
gangguan pendengaran; antara lain:
 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural permanen
 Anomali telinga dan kraniofasial
 Infeksi intrauterine berhubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural
(infeksi toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, herpes, sifilis)
 Gambaran fisik atau stigmata lain yang berhubungan dengan sindrom yang diketahui
perhubungan dengan sindrom yang diketahui berhubungan dengan gangguan
pendengaran sensorineural, seperti sindrom Down, sindrom Wardenburg
 Berat badan lahir kurang dari 1500 gram
 Nilai Apgar rendah (0-3 pada menit kelima, 0-6 pada menit kesepuluh)
 Kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan di NICU 48 jam
 Distres pernafasan (misalnya aspirasi meconium)
 Ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih
 Hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfuse tukar
 Meningitis bakterialis
 Obat-obatan ototoksik (misal gentamisin) yang diberikan lebih dari 5 hari, atau
digunakan sebagai kombinasi dengan loop diuretic
Kelompok neonatus dengan salah satu/lebih faktor risiko harus menjalani evaluasi
pendengaran dalam 2 bulan pertama kehidupan dan terus dievaluasi lebih lanjut walaupun
hasilnya normal. Bayi dengan 1 faktor risiko mempunyai kemungkinan menderita gangguan
pendengaran 10,1 kali dibandingkan bayi tanpa faktor risiko. Kemungkinan ini semakin besar
dengan semakin banyaknya faktor risiko yang dimiliki.
Namun, dalam prakteknya, sebanyak 50% bayi dengan gangguan pendengaran bermakna
ternyata tidak memiliki faktor risiko diatas. Untuk mencegah semakin banyaknya bayi yang
terlambat didiagnosis dan ditangani, American Academy of Pediatrics merekomendasikan
seluruh neonatus untuk menjalani skrining.

11
Pilihan dan alur skrining pendengaran menggunakan algoritma dibawah ini:

Gambar 7. Skema Alur Skrining Pendengaran Bayi

Skrining dilakukan dengan uji:


 Evoked otoacoustic emission (OAE)
OAE mendeteksi suara yang diproduksi oleh outer hair cell pada saat diberikan
paparan suara click dan nada yang diberikan melalui probe OAE. Prosedur ini
dilakukan dalam 10 menit dan dapat dilakukan pada semua usia. Adanya OAE
menunjukkan hasil yang normal. Kekurangan OAE adalah tidak dapat mengevaluasi
adanya neuropati auditorik.

12
Gambar 8. Uji OAE

 Auditory brainstem response (ABR)/brainstem evoked response audiometry (BERA)


Stimulus diberikan melalui earphone, stimulus berupa suara ‘click’ untuk skrining
dan berupa nada untuk diagnosis. Uji ini digunakan untuk mendeteksi pola
gelombang elektroensefalografik di nervus auditorik dan jaras batang otak yang
dinilai dengan elektroda di kulit, amplifiers dan bantuan komputer. Stimulus
terrendah yang memberikan respon menunjukkan ambang batas persepsi pasien.
Prosedur ini dilakukan dalam 20 menit untuk skrining dan 60 menit untuk tujuan
diagnostik. Uji ABR/BERA ini dapat melengkapi uji OAE dalam mengevaluasi
neuropati auditorik.

Gambar 9. Uji ABR/BERA

13
Jika tidak terdapat respon, maka uji ini akan diulang dalam 1-2 hari. Jika memang terbukti
ada kecurigaan ketulian, maka diperlukan pemeriksaan audiologi lebih lanjut lagi dalam tidak
lebih dari 3 bulan.

Evaluasi Audiologik Lengkap


Evaluasi ini mencakup berbagai uji diagnostik untuk mengkonfirmasi dan mengetahui
penyebab hearing loss. Evaluasi ini meliputi pemeriksaan fisik pada telinga luar, OAE,
ABR/BERA diagnostik, timpanometri, dan audiometri observasi perilaku.
 Timpanometri
Uji ini bukanlah suatu uji fungsi pendengaran namun uji ini dilakukan untuk
mengetahui adanya gangguan pada telinga tengah. Probe timpanometri dimasukkan
ke kanalis auditorik eksterna untuk mengukur tekanan telinga tengah dan compliance
membran timpani. Hasil timpanometri dapat digunakan untuk membedakan tuli
konduktif maupun sensorineural. Kekurangannya, uji ini hasilnya kurang bermakna
untuk neonatus.
 Audiometri observasi perilaku
Uji ini adalah metode untuk mengevaluasi audiologi anak secara subyektif.
Pemeriksa harus memiliki pengalaman dan kesabaran dalam melaksanakan
pemeriksaan. Pemeriksa harus mampu menarik perhatian anak dan mengenal serta
menginterpretasi respon anak dengan tepat.
o Audiometri refleks
Stimulus audiotorik keras ± 80 dB dapat membangkitkan respon nonspesifik
pada bayi normal seperti refleks sucking, respons motorik seperti refleks
Moro, atau perubahan pola pernapasan.
o Audiometri respons
Pada usia sekitar 5 bulan, stimulus akustik akan merangsang pola respon
tipikal pada bayi normal. Pola respon ini contohnya berupa anak akan
menengok ke arah sumber suara berasal. Awalnya respon ini akan muncul
dalam bidang horizontal, kemudian akan muncul pada bidang vertikal juga.
Sebagai contoh, digunakan visual cue berupa mainan/boneka untuk menarik
perhatian anak ke suatu arah, maka pemeriksa akan memberikan stimulus

14
auditorik (contoh: bell) di luar lapang pandang anak. Jika anak mampu
mendengar, maka kepala anak akan menengok ke arah asal datangnya suara.

Gambar 10. Tes Audiometri Respons

Tatalaksana Keterlambatan Bicara Akibat Defek Pendengaran6,8,11


Defek pendengaran harus segera ditangani agar proses pembelajaran aural-oral dapat
segera dimulai sehingga meminimalkan dampak dari defek pendengaran terhadap berbicara dan
berkomunikasi. Selain tatalaksana harus dimulai segera, perlu kerjasama orang tua dengan lintas
bidang kedokteran, baik THT, pediatri, psikologi, dan rehabilitasi medik jika diperlukan.
Defek pendengaran yang terjadi harus diatasi dengan rehabilitasi auditorik dibantu dengan
alat bantu dengar (hearing aids) atau implan koklea.

Alat Bantu Dengar (ABD)


Alat bantu dengar (ABD) adalah suatu alat amplifier akustik, dimana suara dari lingkungan
diterima oleh mikrofon, diamplifikasi, dan ditransmisikan melalui pengeras suara di telinga.
Syarat ABD agar dapat bekerja dengan baik adalah koklea harus mampu menerima gelombang
amplifikasi tersebut dan menghantarnya ke nervus auditorik. ABD adalah tatalaksana untuk
mengatasi ketulian konduktif dengan membantu membuat suara lebih keras.

15
Gambar 11. Berbagai Jenis ABD

Gambar 12. Ilustrasi Skematik ABD

16
Pada anak, proses fitting ABD ini lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa, karena anak
memiliki kemampuan untuk kooperasi yang terbatas dan memiliki struktur anatomi yang sedang
berkembang, sehingga fungsi ABD, pendengaran, dan berbicara harus dievaluasi dengan rutin.
Pada penggunaan ABD anak, fitting ukuran ABD harus tepat karena ukuran telinga anak lebih
kecil dibandingkan dewasa sehingga dapat terjadi peningkatan intensitas yang berlebihan > 15
dB yang dapat menganggu dan bahkan merusak fungsi pendengaran.
ABD mengamplifikasi seluruh suara, sehingga suara bising (noise) juga teramplifikasi
bersamaan dengan suara bicara. Sebagai solusinya, di ruang kelas, dapat digunakan sistem FM
yang tersambung dengan mikrofon di dekat guru sehingga suara bising dapat diminimalisasi.

Implan Koklea
Implan koklea digunakan pada pasien dengan kerusakan koklea dimana koklea tidak
memiliki hair cells yang berfungsi mengubah getaran menjadi sinyal bioelektrik, namun masih
memiliki nervus auditorik yang responsif terhadap stimulasi. Prinsip dari implan ini adalah
meletakkan sebuah receiver elektronik yang dihubungkan dengan elektroda yang diletakkan di
koklea. Elektroda secara langsung kemudian menstimulasi nervus auditorik, secara fungsional
bypassing hair cells koklea.
Proses mendengar dengan implan koklea diawali dengan sinyal akustik/getaran suara
diterima oleh mikrofon yang dipakai di belakang telinga dan kemudian diproses oleh speech
processor eksternal yang mengubah sinyal akustik menjadi impuls elektrik. Impuls ini kemudian
ditransmisikan dalam bentuk frekuensi radio oleh transmitter ke receiver yang diimplantasi di
tulang temporal. Sinyal ini diteruskan ke elektroda di intrakoklea dan menstimulasi nervus
auditorik.
Penggunaan implan koklear pada anak diindikasikan pada hearing loss bilateral, tidak
terdapat adanya perkembangan kemampuan auditorik, tidak adanya manfaat dari ABD.
Penggunaan ABD harus dicoba terlebih dahulu selama beberapa bulan sebelum keputusan untuk
memasang implan koklea.

17
Gambar 13. Komponen Implan Koklea

Gambar 14. Mekanisme Kerja Implan Koklea

18
Edukasi Keluarga

Orang tua dan keluarga pasien diberikan edukasi mengenai kondisi yang dialami oleh anak,
untuk memberikan dukungan dan kasih sayang dalam perkembangan anak. Pantau dan dampingi
perkembangan psikologis dan kepribadian anak.
Berikan pengertian bagi orang tua untuk segera lakukan habilitasi sedini mungkin sesuai
dengan indikasi agar anak keterlambatan berbicara dapat dicegah atau jika sudah terjadi agar
dapat segera mengejar keterlambatan.
Berikan pengertian bagi orang tua jika kondisi ini membutuhkan tenaga professional lintas
disiplin (THT, pediatrik, psikolog, terapis, hingga guru khusus) dan dapat membutuhkan jangka
waktu panjang. Orang tua harus terus diberikan follow up terapi dan hasil evaluasi untuk melihat
perkembangan berdasarkan kondisi sebelumnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Feldman HM. Evaluation and Management of Language and Speech Disorders in Preschool
Children. Pediatr Rev. 2005 Apr 1;26(4):131–42.

2. Kliegman RM, Stanton BMD, Geme JS, Schor NF. Nelson Textbook of Pediatrics E-Book:
2-Volume Set. Elsevier Health Sciences; 2015. 3878 p.

3. Ballenger JJ, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. PMPH-
USA; 2003. 1245 p.

4. Lee KJ. KJ Lee’s Essential Otolaryngology, 11th edition. McGraw Hill Professional; 2015.
1232 p.

5. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 9th ed. Australia: Brooks/Cole;
2010.

6. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-step Learning Guide.


Thieme; 2005. 442 p.

7. Gifford KA, Holmes MG, Bernstein HH. Hearing Loss in Children. Pediatr Rev. 2009 Jun
1;30(6):207–16.

8. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery: Otolaryngology. Wolters Kluwer
Health; 2014. 3484 p.

9. Effects of Hearing Loss on Development [Internet]. American Speech-Language-Hearing


Association. [cited 2019 Feb 23]. Available from:
https://www.asha.org/public/hearing/effects-of-hearing-loss-on-development/

10. Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining gangguan pendengaran pada


neonatus risiko tinggi. Sari Pediatri. 2016;6(4):149–54.

11. Grindle CR. Pediatric Hearing Loss. Pediatr Rev. 2014 Nov 1;35(11):456–64.

20

Anda mungkin juga menyukai