Anda di halaman 1dari 32

Migrasi Air Insulated Switchgear (AIS) ke Gas Insulated Swtchgear (GIS) di

Gardu induk 150 kV Kentungan dan Gejayan 150 kV

SKRIPSI

Disusun oleh :
ASKAR ARIFANDI
14/369198/TK/42610

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO DAN TEKNOLOGI INFORMASI
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
1 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air Insulated Switchgear (AIS) merupakan suatu sitem penghubung dan pemutus jaringan
listrik yang mnggunakan udara sebagai isolator. Teknologi ini tergolong lama, sistem ini sangat
banyak dipakai di Indonesia dan memerlukan lahan yang cukup luas dalam pembangunannya.
Menurut segi investasi, tetap terbilang murah terutama dari sisi teknologinya.

Gas Insulated Switchgear ( GIS ) merupakan suatu sistem penghubung dan pemutus
jaringan listrik yang menggunakan gas SF6 ( Sulfur Hexafluoride ) sebagai isolator dan
pemadaman busur api. Tahun 1985 Southern California Edison Company merupakan perusahaan
pertama yang membangun GIS untuk proyek Seranno Substation dengan kemampuan GIS 500-
220KV di california selatan [1].

Latar belakang penggunaan GIS di California dapat dirujuk menurut aspek ketahanan
karena GIS yang dapat ditempatkan diwilayah rawan gempa. Selain itu dari segi aspek ekonomis
GIS membutuhkan biaya lebih sedikit. Para ahli ilmu ekonomi berpendapat jika AIS memakan
biaya yang cukup besar untuk perbaikan ketika gempa terjadi yaitu sekitar USD 4.000.000
sedangkan GIS tidak [2].

Dengan melihat pembangunan GIS di California, penulis mencoba untuk meneliti apakah
migrasi AIS ke GIS di Yogyakarta menjadi mungkin dilakukan dengan beberapa pertimbangan
yang nantinya akan dijabarkan penulis di sub bab selanjutnya. Penulis khususnya akan mengambil
penilaian (assessment) terhadap Gardu Induk Kentungan yang masih menggunakan AIS dengan
Gardu Induk Gejayan yang sudah menggunakan GIS.
1.2 Rumusan Masalah

Melihat bagaimana transisi dan migrasi pembangunan AIS ke GIS menjadi penting di
Indonesia khususnya di Yogyakarta mengingat kondisi geografis Indonesia yang juga rawan
terhadap gempa selain itu, laju pertumbuhan penduduk yang pesat membuat penggunaan AIS di
daerah ini tidak lagi efektif kerena lahan untuk pembangunan yang menyempit. Menurut data [3]
diperoleh pada perencanaa sistem transmisi tahun 2014 terdapat 533 gardu induk yang beroperasi
di Jawa dan Bali. Gardu induk terbagi menjadi dua jenis yaitu GIS (Gas Insulated Switchgear)
yang berjumlah 84 unit dan AIS (Air Insulated Switchgear) atau biasa disebut gardu induk
konvensional yang berjumlah 449 unit.

Wilayah yogyakarta sendiri memiliki 11 gardu induk 150 KV [4] yang 9 diantaranya masih
menggunakan sistem AIS, hal ini patut untuk dipertanyakan dengan melihat kondisi geografis yang
merupakan daerah rawan gempa dan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang makin tinggi tiap
tahunnya. Oleh karenanya, pertimbangan transisi dan migrasi AIS ke GIS bisa diperoleh hubungan
dengan melihat sisi ekonomi, seperti investasi awal, biaya pemeliharaan, biaya keandalan dan
keamanan.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penilaian (assessment) tentang migrasi
GI Kentungan 150 kV yang memakai sistem Air Insulated Switchgear (AIS) yang nantinya
memungkinkan untuk menjadi Gas Insulated Switchgear (GIS) dengan merujuk pada GI
Kentungan yang telah memakai GIS terlebih dahulu.

Penilaian ini akan dibuat menggunakan sudut pandang ekonomis terkhusus dari segi
perbandingan operasional pemeliharaan, keamanan, dan keandalan. Ketiga hal ini diteliti guna
mendapatkan prediksi mengenai kapankah waktu yang tepat untuk GI Kentungan bisa memakai
GIS. Harapan atas manfaat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran apabila dilakukan
pergantian sistem dari AIS ke sistem GIS khususnya di Yogyakarta dari sisi ekonomisnya.
1.4 Batasan Masalah

Penelitian ini memiliki batasan masalah sebagai berikut :

1. Perbandingan antara Air Insulated Switchgear (AIS) dengan Gas Insulated Swtchgear
(GIS) pada gardu induk Kentungan 150 kV (AIS) dengan Gejayan 150 kV (GIS).

2. Analisis dilakukan dengan membandingkan komponen yang sama pada kedua sistem AIS
dan GIS yaitu trafo dengan kapasitas 60 MVA.

3. Analisis dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap kemungkinan terjadinya migrasi


GI Kentungan 150 kV ke sistem GIS.

4. Penilaian dilakukan dengan melihat perbandingan sisi ekonomis dari kedua sistem.

5. Penilaian berupa pertimbangan yang sewaktu-waktu bisa digunakan dikemudian hari.


2 BAB II
DASAR TEORI

2.1 Gardu Induk

2.1.1 Pengertian Gardu Induk

Gardu induk merupakan peralatan sistem listrik bertegangan tinggi yang menjadi pusat
beban yang diambil dari saluran transmisi. Gardu induk berfungsi untuk : Pertama, mengubah
tegangan AC dari satu level ke lever lainnya, dan atau untuk mengubah arus AC menjadi arus DC
dan sebaliknya. Kedua, pengukuran pengawasan operasi serta pengaturan pengamanan dari sistem
tenaga listrik. Ketiga, Pengaturan daya ke gardu-gardu lainnya melalui tegangan tinggi dan
gardudistribusi melalui feeder tegangan menengah. Pada dasarnya gardu induk memiliki peratan
yang berperan sebagai saluran masuk dan dilengkapi dengan transformator daya, perlaratan ukur,
peralatan penghubung dan lainnya yang saling menunjang.

2.1.2 Klasifikasi Gardu Induk

Gardu induk memiliki jenis yang berbeda – beda dan dapat dibedakan menjadi beberapa
bagian, yaitu:

1. Berdasarkan Besaran Tegangan

 Gardu induk tegangan ekstra tinggi (GITET) 275kV dan 500 kV.

 Gardu induk tegangan tinggi (GI) 150kV dan 70kV.

2. Berdasarkan Pemasangan Peralatan

 Gardu induk pasang luar

Gardu induk pasang luar yaitu gardu induk yang sebagian peralatannya di
tempatkan di luar gedung. Kecuali peralatan kontrol, sistem proteksi, sistem kendali,
serta peralatan bantu lainnya berada di dalam gedung. Biasanya gardu induk ini
disebut juga gardu induk konvensional.

 Gardu induk pasang dalam

Gardu Induk pasang dalam yaitu gardu induk yang hamper semua peralatan
seperti switchgear, busbar, isolator, peralatan kontrol, peralatan kendali, cubicle, dan
lain – lain dipasang dalam gedung. Adapun yang terpasang di luar gedung yaitu
transformator daya, hal seperti biasa disebut gas insulated switchgear (GIS). GIS
merupakan bentuk pengembangan gardu induk, yang dalam pembangunannya berada
di daerah padat penduduk atau perkotaan yang memiliki lahan yang terbatas.

 Gardu induk kombinasi luar dan pasang dalam

Gardu induk yang peralatan switchgear-nya ditempatkan di dalam gedung dan


sebagian peralatan switchgear ditempatkan di luar gedung, misalnya tie line dan
saluran udara tegangan tinggi (SUTT) sebelum masuk ke dalam switchgear.
Transformator daya juga ditempatka di luar gedung.

3. Berdasarkan Fungsinya

 Gardu induk penaik tegangan

Gardu induk yang memiliki fungsi menaikkan tegangan, yaitu tegangan


pebangkit dinaikkan menjadi tegangan sistem. Lokasi gardu induk ini berada di
lokasi pembangkit tenaga listrik. Karena besaran output tegangan yang dihasilkan
pembangkit listrik kecil dan harus disalurkan dengan jaraj tempuh yang jauh, maka
dengan mempertimbangkan efisiensi tegangannya dinaikkan menjadi tegangan
ekstra tinggi atau tegangan tinggi.

 Gardu induk penurun tegangan

Gardu induk yang memiliki fungsi menurunkan tegangan dari tegangan ekstra
tinggi ke tegangan tinggi, kemudian dari tegangan tinggi menjadi tegangan
menengah atau tegangan distribusi. Peletakan gardu induk ini berada pada pusat-
pusat beban atau 20kV yang menuju ke pelanggang nantinya.

 Gardu induk pengatur tegangan

Biasanya gardu induk jenis ini terletak jaduh dari pembangkit tenaga listrik.
Karena kondisi tersebut, maka jatuh tegangan yang terjadi cukup besar sehingga
dibutuhkan alat bantu untuk menaikkan tegangan seperti bank kapasitor agar
tegangan kembali dalam keadaan normal.

 Gardu induk pengatur beban

Gardu induk ini terpasang beban motor, yang dalam keadaan tertentu menjadi
pembangkit tenaga listrik. Motor berubah menjadi generator dan pada saat kondisi
tertentu akan berubah menjadi motor atau beban. Kondisi generator berubah menjadi
motor, yang pada saat itu motor bergerak untuk memompa air kembali ke kolam
utama. Kondisi tersebutlah yang dimaksud gardu induk sebagai pengatur beban.

 Gardu distribusi

Gardu induk ini terletap sekitar pusat beban yang berfungsi untuk menyalurkan
tenaga listrik dari sistem ke tegangan distribusi 20kV.

4. Berdasarkan Isolasi yang digunakan

 Gardu induk yang menggunakan isolasi udara

Umumnya gardu induk ini disebut gardu induk konvesional atau Air insulated
switchgear (AIS). Udara adalah isolasi yang digunakan antara bagian yang
bertegangan yang satu dengan bagian bertegangan lainnya, dan penempatan gardu
induk ini di tempat terbuka dan memerlukan lahan yang luas.

 Gardu induk yang menggunakan isolasi gas SF6

Umumnya gardu induk ini dikenal dengan Gas Insulated Switchgear (GIS).
Gas berjenis SF6 yang dimanfaatkan sebagai isolasi antara bagian yang bertegangan
yang satu dengan bagian yang bertegangan lainnya, dan penempatan gardu induk ini
di tempat tertutup atau dalam bangunan dan tidak memerlukan lahan yang luas.

5. Berdasarkan Sistem Rel (busbar)

Busbar merupakan titik temu atau penghubung antara trasformator daya, SUTT atau
SKTT dengan komponen lsitrik lainnya untuk menerima dan menyalurkan tenaga listrik.
Ada beberapa jenis gardu induk berdasarkan sistem rel (busbar), yaitu:

 Gardu induk sistem ring busbar

Bentuk busbar gardu induk jenis ini terhubung satu dengan lainnya dan
berbentuk seperti ring.

 Gardu induk sistem single busbar

Gardu induk jenis ini hanya memiliki satu (single) busbar. Biasanya jenis
sistem seperti ini adalah gardu induk yang ditempatkan pada akhir dari suatu sistem
trasmisi.
 Gardu induk sistem double busbar

Gardu induk jenis ini memiliki dua (double) busbar, umumnya sistem jenis ini
banyak digunakan pada gardu induk. Fungsi gardu induk yang memiliki dua busbar
sangat efektif untuk mengurangi pemadaman yang terjadi di beban, apalagi saat
melakukan maneuver system (perubahan sistem).

 Gardu induk sistem satu setengah (on half) busbar

Pada umumnya gardu induk jenis ini ditemukan pada pembangkit tenaga listrik
atau gerdu induk yang berkapasitas besar. Gardu induk ini memiliki dua (double)
busbar, dalam sisi operasional system jenis ini sangat efektif karena dapat
mengurangi pemadaman pada sisi beban ketika terjadi maneuver system (perubahan
sistem). sistem gardu induk ini memiliki tiga buah PMT dalam satu diagonal yang
terpasang secara seri.
2.2 Gas Insulated Switchgear (GIS)

Gas insulated switchgear (GIS) didefiniskan sebagai suatu rangkaian beberapa peralatan
yang biasanya terpasang di dalam sebuah tabung vacuum berbahan metal enclosure dan diisolasi
oleh gas bertekanan yaitu Sulfur Hexafluoride (SF6). Metal enclosure merupakan jenis bahan
selubung pelindung yang berfungsi untuk menjaga bagian bertegangan terhadap lingkungan luar.

2.2.1 Karakteristrik Gas SF6

Gas SF6 pada umumnya digunakan sebagai media isolasi listrik pada gardu induk yang
menggunakan sistem GIS. Karakteristik yang dimiliki oleh gas SF6 menurut buku pedoman
pemeliharaan GIS PT PLN (Persero) (2014) sebagai berikut.

1. Penghantar panas (thermal conductor) yang memiliki sifat mendisipasikan panas yang
timbul pada peralatan.

2. Kemampuan isolasi yang sangat baik (excellent insulating).

3. Dapat memadamkan busur api.


4. Kekentalan (viskositas) yang rendah.

5. Stabil dan tidak mudah bereaksi.

Gas SF6 adalah senyawa yang tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun, tidak berwarna, dan
juga memiliki viskositas lima kali lipat daripada udara. SF6 memiliki Global Warming Potential
(GWP) 23.900 kali dari GWP CO2 dan mampu bertahan di atmosfir bumi sekitar 3500 tahun.

2.2.2 Gardu Induk 150kV Gejayan

Gardu induk 150kV Gejayan adalah sistem distribusi yang berlokasi di jalan Affandi,
Mrican, Caturtunggal, Kec. Depok, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gardu induk
ini merupakan gardu induk jenis gas insulated switchgear (GIS). Pembangunan gardu induk
pertamakali pada tahun 1994 kemudian mulai beroprasi pada tahun 1996. Luas wilayah pada gardu
induk 150kV gejayan yaitu 2.661 m2, dan memiliki dua trafo masing – masing berkapasitas
60MVA dengan 17 penyulang. Berikut single line diagram GI 150kV Gejayan di bawah ini.
2.3 Air Insulated Switchgear (AIS)

Air insulated switchgear (AIS) didefinikan sebagai suatu rangkaian peralatan tenaga listrik
yang berada diruang terbuka dengan memanfaatkan udara sebagai isolasi. Penggunaan udara
sebagai isolasi pada peralatan gardu induk masih banyak dijumpai khususnya di Indonesia.

2.3.1 Gardu Induk 150kV Kentungan

Gardu induk 150kV Kentungan adalah sistem distribusi yang berlokasi Jl. Kaliurang,
Ngabean Kulon, Sinduharjo, Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gardu
induk ini memiliki luas wilayah 18.912 m2 dan merupakan gardu induk jenis Air insulated
switchgear (AIS). Saat ini gardu induk kentungan memiliki tiga trafo masing – masing
berkapasitas 60MVA dengan 20 penyulang. Berikut single line diagram GI 150kV Kentungan di
bawah ini.
2.4 Life Cycle Cost

Menurut Kirk dan Dell’Isola (1995), Life Cycle Cost (LCC) adalah total biaya yang
dikeluarkan sepanjang siklus hidupnya suatu sistem yang langsung berhubungan dengan biaya
kepemilikan selama umur ekonomis. Menurut Barringer dan Weber (1996) mengatakan bahwa
Life Cycle Cost adalah suatu konsep pemodelan perhitungan biaya dari tahap permulaan sampai
pembongkaran suatu asset dari sebuah proyek sebagai alat untuk mengambil keputusan atas sebuah
studi analisis dan perhitungan dari total biaya yang ada selama siklus hidupnya.

Secara konsep Life Cycle Cost berproses untuk menentukan biaya yang paling efektif
diantara banyak alternative yang tersedia, atau pada dasarnya membantu pihak tertentu misalnya
manajemen perusahaan agar dapat mengambil keputusan jangka panjang terkait asset yang
dimiliki oleh perusahaan tersebut.

Dilakukannya perhitungan dan analisis life cycle cost ini kaarena pembiayaan awal atau
investasi awal yang dilakukan merupakan salah satu indikator yang berhubungan erat dengan
dengan harga barang. Biaya operasi, biaya pemeliharaan dengan fungsi keandalan suatu barang
juga menjadi indikator penting dalam melakukang pertimbangan pada sisi nilai ekonomis barang.

Pengaplikasian life cycle cost pada umunya digunakan pada analisis ekonomis dan mulai
berkembang hingga analisis sosial dan lingkungan untuk meghasilkan sustainability
manufacturing. Tidak hanya pada dunia manufaktur, sekarang sudah berkembang di semua sector
diantaranya energi, transportasi, konstruksi, dan public service, dalam bentuk usaha-usaha
pengurangan biaya operasi dan pemeliharaan di masa mendatang.

Perhitungan life cycle cost dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut ini.

𝑛
LCC = IC + [FC + VC]* [(1+𝑃) −1
𝑃∗(1+𝑃)
] 𝑛

Dimana:

LCC = life cycle cost

IC = investment cost

FC = fixed annual cost / maintenance cost

VC = interruption cost / variable cost

n = substantion planned life time

P = interest rate
3 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Analisis Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu suatu jenis penelitian yang pada
dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini bermula dari suatu kerangka
teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya, kemudian
dikembangkan menjadi permasalahan - permasalahan beserta pemecahannya yang nantinya akan
memperoleh pembenaran (verifikasi) atau berupa penilaian dalam bentuk dukungan data empiris
di lapangan.86

Penelitian akan membandingkan data gardu induk yang memakai sistem GIS dan AIS. Data
kemudian akan diolah untuk memperoleh rate harga (Rp) per MW kitaka terjadi transisi dari
pemakaian sistem AIS ke sitem GIS. Perbandingan yang akan terjadi yaitu meliputi mula-mula
dengan menjabarkan investasi apa saja yang terdapat pada sistem AIS dan juga menjabarkan
investasi apa saja yang terdapat pada sistem GIS, kemudian kedua data tersebut akan diolah untuk
mencari total investasi, hingga nanti akan dapat menilai transisi sistem AIS ke sistem GIS.
Investasi yang disebutkan sudah termasuk dengan operation cost dan risk cost di dalamnya.

3.2 Objek penelitian

Terkhusus di wilayah Yogyakarta Wilayah yogyakarta sendiri memiliki 11 gardu induk 150
KV [4] yang 9 diantaranya masih menggunakan sistem AIS. Pada penelitian ini yang menjadi
objek penelitian ada dua gardu induk, yaitu Gardu induk Gardu induk 150kV Kentungan yang
memakai sistem AIS, kemudian Gardu induk dan Gardu induk 150kV Gejayan yang memakai
sistem GIS. Pemilihan objek ini dikarenakan tiap gardu induk memakai trafo yang besarannya
sama yaitu 60MVA, dimana nilai besaran trafo berhubungan dengan nilai investasi dari dua jenis
sistem gardu induk yang berbeda. Berikut gambar dari masing – masing gardu induk di bawah ini.
3.3 Bahan Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Informasi profil perusahaan tiap gardu induk

2. Data kebutuhan listrik

3. Data pertumbuhan penduduk di D.I. Yogyakarta

4. Data biaya investasi, pemeliharaan dan penyusutan

5. Data umur ekonomis trafo pada AIS dan GIS

3.4 Alat Penelitian


 Spreadsheet

3.5 Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu studi literatur
dan observasi lapangan. Studi literatur dilakukan untuk memperloran informasi terkait gardu induk
yang memakai sistem AIS dan GIS. Pemfokusan studi literatur ini lebih memperoleh data
mengenai fungsi, pembiayaan, dan perbedaan secara umum antara AIS dan GIS, sedangkan
observasi lapangan bertujuan untuk memperoleh data mengenai peralatan yang terdapat pada AIS
dan GIS dan dokumentasi gardu induk.
3.6 Alur Penelitian

Alur penelitian ini dilakukan sesuai dengan diagram alur sebagai berikut.

Mulai

 Studi
literatur

 Observasi
lapangan

 Pengolahan
data

 analisis

Tidak

Validasi

Ya

Kesimpulan

Selesai
4 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KRITERIA PERANCANGAN

Dalam perencanaan gardu induk berdasarkan isolasi seperti AIS dan GIS perlu
memperhatikan beberapa kriteria seperti dibawah ini:

4.1.1 Perencanaan pembangkit

Sistem Interkoneksi

Tujuan perencanaan sistem pembangkit yaitu untuk memperoleh konfigurasi pengembangan


pembangkit yang nantinya akan memberikan nilai Net Present Value (NPV) total biaya penyedia
listrik termurah (least cost) dalam kurun waktu periode perencanaan, dan memenuhi kriteria
keandalan tertentu. Biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan dan biaya energy not
served merupakan konfigurasi termurah diperoleh melalui proses optimasi suatu objective function
yang mencakup NPV. Nilai sisa (salvege value) juga diperhitungkan, mulai dari pembangkit yang
terpilih pada tahun akhir periode studi. Simulasi dan optimasi juga dilakukan dengan
menggunakan model yang biasa disebut WASP (Wien automatic System Planning).

Pada kriteria keandalan yang digunakan yaitu Loss of Load Probability (LOLP) lebih kecil
dari o,274%. Hal ini menunjukan probabilitas terjadinya beban puncak melalui kapasitas
pembangkit yang ada adalah lebih kecil dari 0,274%. Perhitungan pada kapasitas pembangkit
menggunakan kriteria LOLP menghasilkan reserve margin tertentu yang nilainya tergantung pada
ukuran unit pembangkit (unit size), tingkat ketersediaan (availability) setiap unit pembangkit,
jumlah unit, dan jenis unit.

Pada sistem Jawa – Bali, kriteria LOLP < 0,274% dimana nilai tersebut setara dengan reserve
margin >25 – 30% dengan basis daya. Apabila dinyatakan dengan daya terpasang maka reserve
margin yang dibutuhkan adalah sekitar 30%.
Sistem Kecil tidak Interkoneksi/Isolated

Metode probabilistic maupun optimisasi keekonomian tidak dapak digunakan pada


perencanaan pembangkitan pada sistem – sistem yang masih kecil dan belum interkoneksi
(isolated), namun biasanya menggunakan metode deterministik. Pada meteri ini, perencanaan
dibuat dengan kriteria N-2, yaitu cadangan minimum harus lebih besar dari satu unit terbesar
pertama dan satu unit terbesar kedua. Yang dimaksud dengan cadangan disini yaitu selisih antara
daya mampu total pembangkit yang ada dan beban puncak.

Life Extension dan Rehabilitasi Pembangkit Existing

Pada umumnya suatu pembangkit tenaga listrik didesain untuk beroperasi secara ekonomis
dalam jangka waktu tertentu (economic life). Sebuah unit pembangkit dapat menjalani mid – life
refurbishment untuk mempertahankan kapasitas, efisiensi, menjaga kesiapan dan keandalan mesin
yang sesuai sifatnya harus dipelihara dan dilakaun penggantian parts yang aus. Kemudian, pada
akhir umurnya sebuah pembangkit masih dapat diperpanjang umurnya dengan melakukan
rehabilitasi/refurbishment pada komponen – komponen tertentu.

4.1.2 Perencanaan transmisi

Terdapat kriteria keandalan dalam perencanaan transmisi yaitu keandalan N-1, statis maupun
dinamis. Kriteria N-1 terjadi apabila suatu sirkit transmisi padam ketika mengalami gangguan atau
dalam pemeliharaan, maka sirkit-sirkit transmisi yang Terisa harus mampu menyalurkan
keseluruhan arus beban, sehingga keberlanjutan penyaluran tenaga listrik terjaga. Kriteria N-1
dinamis yaitu apabila terjadi gangguan hubung singkat tiga fasa yang diikuti olrh hilangnya saru
sirkit transmisi, maka tidak boleh menyebabkan kehilangan ikatan sinkron antara suatu kelompok
generator dan generator generator lainnya. Pada dasarnya penambahan kapasitas transmisi
direncanakan untuk memperoleh keseimbangan antara kapasitas pembangkit dan kebutuhan
beban, selain untuk mengatasi bottleneck, meingkatkan keandalan sistem, dan memenuhi kriteria
mutu tegangan tertentu.

Pada umumnya kriteria kebutuhan penambahan kapasitas trafo di suatu GI ditentukan pada
saat pembebanan trafo mencapai 70%-80%. Ketersediaan lahan, kapasitas transmisi dan jumlah
penyulang keluar yang dapat ditampung oleh GI dapat membatasi jumlah unit trafo yang dapat
dipasang pada suatu GI. Dengan kriteria tersebut suatu GI dapat mempunyai tiga atau lebih unit
trafo. Sebuah GI baru akan diperlukan apabila GI-GI terekat yang ada tidak dapat menampung
pertumbuhan beban lagi karena keterbatasan tersebut.

4.2 Asumsi Prakiraan Kebutuhan Tenaga Listrik

Kebutuhan tenaga listrik pada suatu daerah didiorong oleh tiga faktor utama, yaitu
pertumbuhan ekonomi, program elektrifikasi dan pengalihan capative power ke jaringan PLN.
Pengertian yang sederhana mengenai pertumbuhan ekonomi adalah proses meningkatkan output
barang dan jasa. Proses tersebut memerlukan input berupa tenaga listrik untuk menunjangnya.
Hasil dari pertembuhan ekonomi itu sendiri adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang
memungkinkan terjadinya peningkatan permintaan barang-barang/peralatan listrik seperti televisi,
pendingin ruangan, kulkas dan lain sebagainya. Sehingga permintaan tenaga listrik akan
meningkat.

Program elektrifikasi, dalam program tersebut PLN berupaya mendukung program


pemerintah dalam meningkatkan rasio elektrifikasi maka PLN perlu melistriki semua golongan
masyarakat yang ada dalam wilayah usahannya. Hal tersebut secara langsung akan menjaga
eksistensi wilayah usaha PLN dan juga meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia, khususnya
di daerah yang telah menjadi wilayah usaha PLN. PLN dalam RUPTL tahun 2015-2024
merencanakan untuk menambah pelanggan baru yang besar yaitu sekitar 2,1juta per tahun,
sehingga rasio elektrifikasi akan mencapai 99,4% pada tahun 2024. Cakupan pelanggan baru
pastinya akan bertambah tidak hanya yang berada dalam wilayah usaha PLN tetapi juga mencakup
masyarakat yang berada di luar wilayah usaha.

Faktor berikutnya yang menjadi pendorong pertumbuhan permintaan tenaga listrik PLN
yaitu pemindahan dari capative power (penggunaan pembangkit sendiri berbahan bakar minyak)
menjadi pelanggan PLN. Capative power ini ada karena PLN yang tidak mampu memenuhi
permintaan pelanggan di suatu daerah, terutama pelanggan industri dan bisnis. Apabila PLN dapat
memenuhi permintaan, maka pemindahan capative power dapat menjadi pelanggan PLN. Faktor
ini sangat bergantung pada kemampuan pasokan PLN di suatu daerah/system kelistrikan dan
skema bisnis jual beli listrik PLN dengan capative power, jadi tidak berlaku umum.
4.2.1 Pertumbuhan ekonomi

Dibawah ini data pertumbuhan ekonomi dari tahun 2004-2013 yang dinyatakan dalam
produk domestic bruto (PDB) dengan konstan tahun 2000 mengalami kenaikan rata-rata 5,8% per
tahun. Pertumbuhan dari tahun 2013-2015 mengalami peningkatan hingga 6,5%.

Tabel 4.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Terihat pada table diatas, pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi relative rendah yaitu 4,6%.
Hal tersebut terjadi karena imbas dari krisis finansila global yang terjadi pada tahun 2008 dan
berlanjut ke 2009. Pada tahun 2011 mulai ada peningkatan sebesar 6,5% yang kemudian turun di
tahun 2012 dan 2013 berturut-turut sebesar 6,3% dan 5,8%. Pertumbuhan ekonomi pada tahun
2014 semakin menurun diperkirakan hanya sebesar 5,5% yang dituangkan pada RAPBN-P tahun
2014, hal tersebut terjadi karena perekonomian global yang belum membaik sehingga
mempengaruhi permintaan akan produk ekspor Indonesia.

Periode tahun 2015-2019 pertumbuhan ekonomi pada draft RPJMN yang dikeluarkan oleh
Bappenas tumbuh antara 6,1%-7,1%, dan untuk periode tahun 2020-2024 mangacu pada draft
RUKN 2015-2034, yaitu rata-rata 7,0% per tahun. Proyeksi demand listrik dalam RUPTL 2015-
2024 sedikit lebih rendah dibandingkan dalam draft RUKN 2015-2034, khususnya di atas tahun
2019. Hal tersebut terjadi karena penyediaan tenaga listrik di Indonesia masih cukup banyak yang
menggubakan pembangkit listrik sendiri pada sektor industri, atau sebuah pembangkit swasta yang
memasok suatu Kawasan industry eksklusif.

Berikut di bawah ini tabel mengenai asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang digunakan
dalam RUPTL 2015-2024.

Tabel 4.2. Asumsi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


4.2.2 Pertumbuhan penduduk

Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 238,6 juta orang dan jumlah rumah
tangga 61,2 juta KK berdasar sensus penduduk tahun 2010. Perkiraam jumlah penduduk hingga
tahun 2024 PLN menggunakan laju pertumbuhan penduduk dari Buku Proyeksi Penduduk
Bappenas – BPS – UNFPA bulan Desember 2013.

Pada table dibawah ini diperkirakan pertumbuhan penduduk untuk Jawa – Bali, Sumatera
dan Indonesia Timur untuk sepuluh tahun mendatang.

Tabel 4.3. Pertumbuhan Penduduk (%)

4.3 Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik 2015-2024

Berikut di bawah ini tabel Pertumbuhan ekonomi, Proyeksi kebutuhan tenaga listrik dan
beban puncak periode tahun 2015-2024. Hasil tersebut merujuk dari asumsi pada Tabel 4.2.

Tabel 4.4. Pertumbuhan Ekonomi, Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik dan Beban
Puncak Periode Tahun 2015 – 2024
Dari tabel 4.4 terlihat kebutuhan energi listrik pada tahun 2024 akan menjadi 464 TWh, atau
tumbuh rata – rata dari tahun 2015 – 2024 sebesar 8,7% per tahun. Pada tahun 2024 beban puncak
non coincident akan menjadi 74.536 MW atau tumbuh rata – rata 8,2% per tahun. Melihat jumlah
pelanggang pada tahun 2014 yang sebesar 57,3 juta akan bertambah menjadi 78,4 juta pada tahun
2024 dengan rata – rata bertambah sebesar 2,2 juta pertahun. Dengan hasil tersebut nilai
elektrifikasi meningkat dari 84,4% pada tahun 2014 menjadi 99,4% pada tahun 2024. Berikut ini
merupakan tabel proyeksi jumlah penduduk, pertumbuhan pelanggan dan rasio elektrifikasi
periode tahun 2015 – 2024.

Tabel 4.5. Proyeksi Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Pelanggan dan Rasio Elektrifikasi
Periode tahun 2015 – 2024
4.4 Nilai Ekonomis Sistem AIS (Air Insulated Swictgear) dan Sistem GIS (Gas Insulated
Swictgear)

Mengenai kriteria perencanaan diatas merupakan sebuah rujukan yang diperoleh dari
RUPTL 2015 – 2024, dimana tahap awal dilakukannya migrasi AIS ke GIS bisa merujuk pada
data kebutuhan tenaga listrik yang mulai miningkat tiap tahunnya. Dalam penelitian ini akan
memberikan assessment mengenai migrasi sistem AIS ke sistem GIS, yang nantinya bisa menjadi
bahan pertimbangan apabila akan melakukan migrasi.

4.4.1 Perbandingan luas wilayah antara AIS dan GIS

Pada penelitian ini terdapat empat gardu induk yang dijadikan objek penelitian, gardu induk
Kentungan 150kV, dan gardu induk Gejayan 150kV. Berikut luas wilayah berdasarkan pemakaian
sistem AIS dan GIS

Luas Wilayah Sistem Ais Insulated Switcgear

Gardu induk Kentungan 150kV 18.912 m2

Luas Wilayah Sistem Gas Insulated Switcgear

Gardu induk Gejayan 150 kV 2.661 m2

Tabel 4.6. Luas Wilayah Sistem AIS dan Sistem GIS

Terlihat pada tabel diatas, bahwa penggunaan lahan yang digunakan untuk AIS Kentungan
yang begitu luas. Wilayah yang begitu luas memungkinkan adanya biyaya pemeliharaan dan
biyaya investasi lahan yang cukup besar. Sedangkan untuk GI Gejayan hanya membutuhkan luas
wilayah yang kecil hal ini memberikan beberapa keutungan seperti pengeluaran yang lebih sedikit
untuk investasi lahan, dan sangat cocok untuk daerah padat penduduk.
4.4.2 Analisis Nilai investasi dan nilai penyusutan trafo 60 MVA

Trafo yang dipakai pada gardu induk kentungan, gardu induk Gejayan memiliki kapasitas
yang sama yaitu 60 MVA. Tiap garudu induk memiliki jumlah trafo yang berbeda, jumlah trafo
yang terpasang di tiap GI menyesuaikan beban yang disuplai dan bahkan merek trafo yang dipaki
juga berbeda beda.

Pada penelitian melihat terdapat merek trafo yang sama digunakan pada GI sistem AIS dan
sistem GIS, yaitu trafo merek SEIMENS. Setelah mengecek harga trafo tersebut, objek penelitian
ini akan mulai terfokus pada GI Kentungan 150 kV dan GI Gejayan 150 kV yang memiliki
persamaan pada merek dan besaran trafo. Hal tersebut dilakukan agar assessment akan lebih
menditail dan melihat kemungkinan GI Kentungan 150 kV yang masih konvensional untuk
bermigrasi ke GI sistem GIS seperti GI gejayan. Berikut di bawah ini nilai investasi dan nilai
penyusutan trafo Siemens 60 MVA.

Gardu Induk Jumlah Trafo Harga Beli Trafo 60 Total


60 MVA MVA SIEMENS

Kentungan 150 kV 3 Rp 1.500.000.000 Rp 4.500.000.000


(AIS)

Gejayan 150 kV 2 Rp 2.000.000.000 Rp 4.000.000.000


(GIS)

Tabel 4.7. Nilai Investasi Trafo 60 MVA SIEMENS


Gardu Induk Harga Beli / Trafo Umur Ekonomis Nilai Penyusutan
60 MVA Trafo / Bulan
SIEMENS

Kentungan 150 kV Rp 1.500.000.000 30 Tahun Rp 12.500.000


(AIS)

Gejayan 150 kV Rp 2.000.000.000 40 Tahun Rp 8.333.333


(GIS)

Tabel 4.8. Nilai Penyusutan Trafo 60 MVA SIEMENS

Nilai investasi trafo 60 MV untuk sistem GIS lebih mahal dengan biaya Rp 2.000.000.000
apabila dibandingkan dengan AIS dengan biaya sekitar Rp 1.500.000.000, seperti pada tabel 4.7.
Walaupun kapasitas trafo pada kedua sistem sama, tapi isolasi yang digunakan berbeda yaitu pada
GIS kondisi trafo berada dalam tabung yang berisikan gas SF6 sebagai isolator dan pada AIS
kondisi trafo berada pada ruang terbuka dengan udara sebagai isolator.

Trafo yang digunakan memiliki umur ekonomis yang akan berpengaruh pada nilai
penyusutan trafo. Umumnya pada sistem AIS memiliki umur ekonomis trafo sekitar 30 tahun dan
untuk GIS memiliki umur ekonomis sekitar 40 tahun. Terlihat pada tabel 4.8 nilai penyusutan tiap
bulan untuk GI Kentungan yaitu sekitar Rp 12.500.000 dan untuk GI Gejayan yaitu sekitar Rp
8.333.333.

4.4.3 Pemeliharaan AIS dan GIS

GIS pada dasarnya dikembangkan sebagai alat penurunan tegangan dengan konsep less
maintenenance. Namun dalam pengoprasiannya masih dibutuhkan kegiatan untuk pemeliharaan
rutin agar peralatan dapat tetap bekerja dengan baik. Kegiatan pemeliharaan ini juga terjadi pada
AIS, hal tersebut juga rutin dilakukan untuk mengetahui lebih awal adanya ketidaknormal yang
terjadi, sehingga dapat terhindar dari kerusakan yang lebih besar. Pada sistem AIS dan GIS
melakukan pemeliharaan rutin tiap 2 tahun dengan anggaran biaya sebagai berikut.
Gardu Induk Biaya Pemeliharaan / 2 Tahun

Kentungan 150 kV (AIS) Rp 1.855.780

Gejayan 150 kV (GIS) Rp 1.093.125

Tabel 4.9. Anggaran Pemeliharaan Tiap 2 tahun

Anggaran untuk GI kentungan diatas meupakan hasil rujuk yang diperoleh dari anggaran
pemeliharaan PT.PLN (Persero) Trans-JBT APP Salatiga sedangkan untuk anggaran pada GI
Gejayan diperoleh dari P3B Jawa Bali. Data biaya pemeliharaan yang spesifik unuk gardu induk
diatas relatif sama walapun sebenarnnya kedua GI diatas merupakan milik PT. PLN (Persero) UPT
Salatiga. Perbandingan biaya pemeliharaan pada gardu induk di atas cukup siknifikan, dimana hal
tersebut bias menjadi pertimbangan apabila sistem AIS harus migrasi ke sistem GIS.

4.4.4 Keandalan dan keamanan

Keandalan pada sistem AIS dan GIS berfokus pada trafo, pada sistem GIS sendiri tafo berada
pada tabung vacuum dengan gas SF6 bertekanan sebagai bahan isolasi. Gas ini memiliki
kemampuan isolasi yang sangat baik, dengan kekuatan dielektrik mencapai 8.9 kV/mm atau
hamper 2.3 kali kekuatan dielektrik udara. Hal tersebut yang membuat keandalan dan keaman tafro
pada GIS lebih baik dari AIS, gangguan dari luar seperti samparan petir, cuaca panas, ataupun
hujan yang sering terjadi pada AIS tidak berlaku untuk sistem GIS.

Permbiayaan dari segi peralatan isolasi pada sistem GIS membutuhkan investasi yang lebih
mahal apabila dibandingkan dengan sistem AIS. Namun, hal tersubut bisa memangkas biaya
pemeliharaan dan juga memiliki umur pemakaian yang lebih panjang untuk sistem GIS
dibandingkan sistem GIS. Apabila pemeliharaan dilakukan rutin dengan prosedural yang baik
maka keandalan yang dimiliki pada trafo GIS bisa mencapai lebih dari 40 tahun pemakaian,
sedangkakan pada AIS hanya bias mencapai sekitar 30 tahun. Berikut dibawah ini tabel 4.10.
Pembiayaan pemeliharaan selama umur ekonomis.
Umur
Gardu Pemeliharaan / 2 Ekonomis Total Biaya Maintenance
Induk tahun Trafo Selama Umur Ekonomis Tafo
(Tahun)
Kentungan
150 kV
(AIS) Rp 1.855.780 30 Rp 27.836.700
Gejayan
150kV
Rp 21.862.500
(GIS) Rp 1.093.125 40

Tabel 4.10. Pembiayaan Pemeliharaan Selama Umur Ekonomis Trafo

Terlihat pada tabel 4.10 bahwa kaitan antara keandalan dan keamanan pada sistem AIS dan
GIS bisa berpengaruh pada pembiayaan pemeliharaan (maintenance). Apabila sistem AIS dan GIS
tidak memiliki keandalan dan keamanan yang baik makan biaya untuk pemeliharaan / perawatan
akan semakin besar dan umur ekonomis trafo akan makin singkat.

4.4.5 Analisis life cycle cost AIS dan GIS

Pada analisis ini memiliki beberapa indikator yang diperlukan untuk mengetahui nilai
ekonomis oprasi antara sistem AIS dan GIS dengan kapasitas tafo 60 MW. Berikut dibawah
indikator yang terlah diketahui:

 Investment cost

 Maintenance cost

 Insterruption cost / Reliability


Nilai interruption cost diperoleh dari energi beban puncak rata-rata perbulannya (MW),
masing-masing untuk tiap sistem AIS dan GIS. Kemudian harus diubah ke satuan (kWh) dan
memperolehnya dalam bentuk Rp/kWh. Life cycle cost pada AIS dan GIS dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan seperti di bawah ini.

𝑛
LCC = IC + [FC + VC]* [(1+𝑃) −1
𝑃∗(1+𝑃)
] 𝑛

Dimana:

LCC = life cycle cost

IC = investment cost

FC = fixed annual cost / maintenance cost

VC = interruption cost / variable cost

n = substantion planned life time

P = interest rate

Biaya pemeliharaan (maintenance cost) telah diketahui dan diperoleh dari anggaran
pemeliharaan PT.PLN (Persero) Trans-JBT APP Salatiga untuk GI kentungan dan diperoleh dari
anggaran pemeliharaan P3B Jawa Bali. Berikut di bawah ini life cycle cost pada sistem AIS dan
GIS dengan kapasitas trafo 60 MVA.

Beban Waktu Beban


Gardu Total Energi
Puncak Puncak (jam) / Life Cycle Cost
Induk (Rp/kWh)
(MW) 30 hari
Kentungan
150 kV 30 198 Rp 15.714.210.600 Rp 149.654.013.522
(AIS)
Gejayan
150 kV 39,5 198 Rp 11.473.407.000 Rp 114.209.718.692
(GIS)

Tabel 4.11. Life Cycle Cost pada GI Kentungan 150 kV dan GI Gejayan 150 kV
Kentungan 150 kV Gejayan 150 kV
(AIS) (GIS
Rp Rp
Invesment cost 1.500.000.000 2.000.000.000
Rp Rp
Maintenance cost 1.855.780 1.093.125
Rp Rp
Life Cycle Cost 149.654.013.522 114.209.718.692

Tabel 4.12. Hasil Perbandingan Nilai Ekonomis AIS dan GIS

Hasil Perbandingan nilai ekonomis AIS dan GIS

Life Cycle Cost

Maintenance cost

Invesment cost

Rp- Rp100,000,000,000 Rp200,000,000,000 Rp300,000,000,000

Kentungan 150 kV (AIS) Gejayan 150 kV (GIS

Persentase Hasil NIlai Ekonomis AIS dan GIS

Life Cycle Cost

Maintenance cost

Invesment cost

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Kentungan 150 kV (AIS) Gejayan 150 kV (GIS


4.5 Analisis Pertimbangan Migrasi GI Kentungan 150 kV ke Sistem GIS

Pada analisis beikut ini akan memberikan pertimbanggan mengenai migrasi GI Kentungan
150 kV ke sistem GIS dengan mengacu pada penjabaran dari analisis nilai ekonomis 4.4
dipembahasan sebelumnya. Pertimbangan untuk migrasi perlu dilakukan mengingat usia peralatan
pada GI Kentungan tidak muda lagi, untuk trafo sendiri awal beroperasi sejak tahun 1996 hingga
kini usianya 23 tahun dan memiliki umur ekonomis 30 tahun yang berarti, trafo masih dapat
digunakan selama 7 tahun ke depan sebelum nantinya diganti dengan trafo yang baru. Berikut di
bawah ini hal yang perlu untuk dipertimbangkan untuk migrasi pada GI Kentungan.

4.5.1 Luas wilayah pemukiman yang padat

Merujuk dari data BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, pertumbuhan penduduk makin meningkat
tiap tahunnya dengan jumlah penduduk di kabupaten Sleman sebanyak 1.103.534 jiwa pada tahun
2010 dan pada tahun 2019 sebanyak 1.219.640.Bberikut di bawah ini data dari pertumbuhan
penduduk di Provinsi D.I. Yogyakarta.

Kabupaten/ Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta (Jiwa)


Kota 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
D.I.
3467489 3509997 3552462 3594854 3637116 3679176 3720912 3762167 3802872 3842932
Yogyakarta

Kulonprogo 389661 394200 398672 403179 407709 412198 416683 421295 425758 430220

Bantul 909539 922104 934674 947072 959445 971511 983527 995264 1006692 1018402

Gunungkidul 677376 685003 692579 700191 707794 715282 722479 729364 736210 742731

Sleman 1103534 1116184 1128943 1141733 1154501 1167481 1180479 1193512 1206714 1219640

Yogyakarta 387379 392506 397594 402679 407667 412704 417744 422732 427498 431939

Tabel 4.11. Jumlah Pertumbuhan Penduduk Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta

Apabila ditinjau dari data kebutuhan listrik yang diperoleh dari RUPTL 2015-20124, dimana
tiap tahunnya angkat kebutuhan listrik makin meningkat dan hal tersebut juga berlaku untuk GI
Kentungan yang berada di kabupaten Sleman yang jumlah penduduknya makin bertambah.
Bertambahnya angka kebutuhan listrik maka diperlukan penambahan daya pada GI Kentungan
dengan menambah trafo, sehingga pertimbangan tersebut akan berdampak pada penambahan lahan
untuk penempatan trafo. Penambahan lahan nantinya tidak mungkin untuk dilakukan melihat
mulai padatnya penduduk disekitar GI Kentungan, maka perlu untuk migrasi ke sistem GIS yang
tidak memerlukan wilayah yang luas.

4.5.2 Pemeliharaan yang mahal pada GI Kentungan 150 kV

Pada analisis ini, dilihat dari biaya investasi pada trafo 60 MVA, GI Kentungan hanya
memerlukan biaya yang relativ lebih murah dari GI Gejayan. Namun dilihat dari biaya
pemeliharaan yang dilakukan rutin tiap 2 tahun, biaya yang dikeluarkan untuk GI Kentungan lebih
besar dibandingkan dengan GI Gejayan. Apabila umur ekonomis pada trafo telah habis ataupun
akan melakukan penambahan trafo, maka migrasi GI Kentungan ke sistem GIS bisa dilakukan
dengan pertimbangan biaya pemeliharaan yang nantinya bisa jauh lebih murah dan juga lebih
mudah dalam perawatannya.

4.5.3 Keandalan dan keamanan yang lebih baik

Pada prinsinya trafo GI Kentungan memanfaatkan udara sebagai isolator dan dari segi
keamanan GI Kentungan masih sangat rentan mengalami gangguan eksternal seperti petir.
Berbeda dengan GI Gejayan, trafo yang dimilikinya berada dalam tabung vacuum yang berisi gas
SF6 sebagai isolator. Penggunaan tabung dan penempatan trafo/peralatan yang bisa berada
didalam ruangan ataupun luar ruangan, hal tersebut dapat meminimalisir gangguan eksternal
seperti petir.

Dilihat dari nilai ekonomis keandalan dan keamanan GI Kentungan pada analisis 4.4.4
bahwa biaya yang dikeluarkan sangat besar untuk GI Kentungan sedangkan GI Gejayan lebih
sedikit karena keandalan dan keamanan yang lebih baik. Hal tersebut yang dapat menjadikan
pertimbangan dilakukannya migrasi GI Kentungan ke sistem GIS.

4.5.4 Life cycle cost yang lebih ekonomis

Setelah dilakukan analisis life cycle cost pada 4.4.5 doperoleh hasil bahwa GI Gejayan lebih
ekonomis dari pada GI Kentungan. Walaupun investasi awal yang dikeluarkan lebih besar untuk
sistem GIS, namun nantinya untuk pengeluaran pada maintenance cost (biaya pemeliharaan) dan
life cycle cost akan jauh lebih murah. Apabila dibandingkan yang terjadi pada GI Kentungan yang
memakai sistem AIS yang investasi awalnya jauh lebih murah, namun pada maintenance cost dan
life cycle cost yang dikeluarkan jauh lebih mahal. Penilaian secara keseluruhan dari segi ekonomis
dapat dijadikan pertimbangan dilakukannya migrasi GI Kentungan ke sistem GIS. Sehingga
nantinya dalam jangka panjangan pembiayaan yang dikeluarkan pada GI Kentungan akan lebih
murah dan memperoleh keuntungan lebih dari sisi bisnisnya.

Anda mungkin juga menyukai