Konteks Strategis
Ketika di bagian dunia lain aneka model koperasi berkembang, di Indonesia model
koperasi masih konvensional. Bila kita acu Kementerian Koperasi dan UKM RI,
maka modelnya hanya ada lima: koperasi simpan pinjam (termasuk syariah), koperasi
konsumsi, koperasi produksi, koperasi distribusi dan koperasi jasa. Dari lima model
itu didominasi oleh koperasi simpan pinjam mencapai 55% dan koperasi konsumsi
30% data tahun 2016 berdasar ODS. Dan sisanya terdistribusi ke bentuk-bentuk
lainnya. Model-model seperti koperasi pekerja atau worker coop dan koperasi sosial
atau social coop, nyaris tidak atau belum ada.
Boom bisnis dotcom terjadi jauh sebelum lahirnya sistem operasi Android yang hari
ini massif digunakan oleh masyarakat dalam ponsel pintarnya. Dan saat ini, data
terkini menyebut, pengguna ponsel pintar meningkat sampai separoh penduduk
Indonesia, yakni 130 juta orang. Ditambah 150 juta di antaranya aktif menggunakan
media sosial (Facebook, Twitter, Whastapp, Line dan sebagainya). Era media sosial
juga menandai epos baru sejarah umat manusia yang belum pernah terjadi pada
zaman sebelumnya.
Setelah bisnis dotcom, sekarang kita mengenal apa yang disebut sebagai start up
business. Secara tegas Prof. Rhenald Kasali membedakan bisnis start up dengan
Usaha Kecil Menengah (UKM), sebagai berikut:
Hasilnya, saat ini start up tumbuh bak jamur di musim penghujan. Sebagian besarnya
dikerjakan oleh orang-orang muda tanah air. Dengan model bisnis yang tidak
konvensional, yang biasanya berbasis aplikasi, mereka membangun perusahaan
rintisan. Yang mulanya kecil dapat menjadi unicorn setelah disokong oleh perusahaan
venture capital atau angel investor. Meski demikian, berbagai rujukan menyebut
tingkat kegagalan start up sampai 90%. Namun sebagai inisiasi kewirausahaan baru,
hal itu menjadi lesson learn yang berharga.
Hal-hal di atas harus direspon secara dinamis oleh gerakan koperasi sehingga adaptif
terhadap perubahan. Bila tidak, koperasi akan alami boiled frog syndrome yang akan
kehilangan relevansi di tengah era baru ini.
Mendefinisikan Model
Ada beberapa model baru yang bisa dipraktikkan untuk menjawab tantangan baru
tersebut. Beberapa model itu disebut sebagai koperasi pekerja (worker coop),
platform koperasi (platform coop) dan koperasi start up (start up coop). Satu sama
lain memiliki perbedaan dan juga memiliki ruang irisan.
Di Indonesia ada keliru paham dimana koperasi pekerja disamakan dengan Koperasi
Karyawan (KOPKAR), Koperasi Pegawai (KPRI/ KPN) atau Koperasi Buruh. Tentu
saja hal tersebut keliru, dimana para karyawan atau pegawai membentuk koperasi
untuk memenuhi kebutuhan, biasanya, simpan-pinjam dan konsumsi saja. Karyawan
atau pegawai itu tidak bekerja di koperasi, melainkan di perusahaan atau lembaga
induknya.
Untuk membedakan koperasi pekerja dengan ketiga bentuk koperasi di atas dapat kita
kenali dengan parameter di bawah ini:
• Apa status karyawan/ pekerja tersebut?
• Di mana karyawan/ pekerja tersebut bekerja?
• Darimana gaji karyawan/ pekerja tersebut?
• Usaha atau bisnis apa jenis yang disenggarakan koperasi tersebut?
Bila koperasi pekerja, maka karyawan/ pekerja bekerja di koperasi, secara full timer/
freelancer, sehingga memperoleh penghasilan dari koperasi dan berstatus sebagai
pemilik koperasi tersebut. Kemudian biasanya usaha yang diselenggarakan koperasi
pekerja berbasis kecakapan yang dimiliki oleh para pekerjanya.
Dalam cara baca di atas, platform coop merupakan koperasi yang hubungkan multi
pihak (multistake holder) dimana platform koperasi dimiliki bersama (co-ownership)
antar pihak yang terlibat. Sehingga platform coop bukan hanya ditandai dengan,
teknologi digital saja, melainkan model bisnis yang bersifat kolaboratif tersebut.
Sebagai contoh, suatu koperasi konsumsi yang memberikan layanan online bagi
anggotanya tidak bisa disebut sebagai platform coop. Koperasi tersebut tetap
tergolong sebagai koperasi konvensional yang berorientasi pada satu pihak
(konsumen sebagai anggota).
Contoh platform coop yang sudah ada di dunia adalah Stocksy, Resonate dan lainnya.
Model bisnisnya sudah bersifat kolaboratif, yang minimalnya terdiri dari: pendiri
platform, artis (penyanyi, fotografer, desainer, dll) serta user (konsumen). Ketiga
pihak itu berkumpul dalam satu platform, memilikinya bersama (co-ownership) dan
memiliki hak-kewajiban sebagaimana ketentuan yang telah disepakati.
Untuk mengenali suatu koperasi bersifat platform atau sekedar online, kita bisa
menggunakan parameter sebagai berikut:
• Apakah koperasi tersebut berbasis digital?
• Apakah model bisnisnya bersifat kolaboratif atau multi pihak?
• Siapa saja pihak yang bisa ikut memiliki (co-owner) koperasi tersebut?
• Apakah setiap pihak memiliki hak-kewajiban dan manfaat tertentu dari
kepemilikan bersama itu?
Dengan parameter di atas kita akan bisa membedakan dengan tegas suatu platform
coop dan di sisi lain koperasi online. Keduanya berbeda dalam struktur kepemilikan
serta model bisnisnya. Sekali lagi, tidak semua koperasi online adalah coop platform,
namun platform coop dipastikan berbasis online atau digital.
Start up coop lahir sebagai respon terhadap munculnya start up business yang
berbasis private/ corporate. Sehingga mengenali start up coop lebih mudah dengan
mengenali karakteristik start up itu sendiri. Biasanya start up menggunakan model
blue ocean strategy sehingga berorientasi pada market solution dan/ atau social
innovation. Produk atau jasa yang di-deliver start up coop bersifat inovatif dan
bahkan disruptif. Start up dimulai dari kecil dan kemudian lakukan scaling up sampai
tak terhingga.
Untuk membedakan antara koperasi konvensional yang baru berdiri dengan start up
coop sebagai model baru dapat kita gunakan parameter sebagai berikut:
• Apakah ada nilai inovasi atau disrupsi dari model bisnis koperasi tersebut?
• Apakah koperasi didirikan sebagai ruang kewirausahaan atau ruang layanan?
• Apakah koperasi tersebut dapat di scaling up?
Start up coop yang karena model bisnisnya bersifat inovatif dan bahkan disruptif,
biasanya didirikan oleh orang-orang muda. Berbeda dengan koperasi lain yang
berbasis pada produk atau jasa konvensional, start up coop cenderung berbasis ide
kreatif yang bekerja dalam spektrum creative economy atau knowledge economy.
Penggunaan teknologi digital dalam start up coop bukan syarat mutlak, namun tetap
akan dibutuhkan dalam proses scaling up bisnisnya. Model bisnis start up coop bisa
juga berbasis kolaboratif atau multi pihak sebagai bentuk inovasi rantai nilai.
Ruang irisan antara ketiganya dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut:
Worker Coop
Model A
Contoh: PEDI Help and Cleaning awalnya koperasi pekerja. Kemudian di scaling up
dengan gunakan aplikasi digital sehingga bisa membuka layanan di berbagai kota di
Indonesia. Itu perubahan dari koperasi pekerja konvensional menjadi start up coop.
Lalu pada tahun-tahun berikutnya PEDI Help and Cleaning merubah format
kelembagaan sebagai koperasi multi pihak dimana pekerja dan pengguna jasa sama-
sama menjadi pemiliknya. Dengan aplikasi digital, hal itu menjadi mudah dan
feasible. Itu adalah perubahan dari start up menjadi berbasis platform.
Model B
Contoh: AdaIde Creative Studio merupakan koperasi yang bergerak di sektor kreatif.
Model bisnisnya bisa langsung mengadopsi pola start up yang mudah untuk di
scaling up. Bila hubungkan dengan pihak-pihak lain dalam skema co-ownership,
maka bisa berubah menjadi platform coop.
Model C
Model D
Contoh: PEDI Help and Cleaning awalnya dikreasi sebagai koperasi pekerja
konvensional. Dengan merubah model bisnisnya dapat berubah menjadi start up coop
yang mudah lakukan scaling up layanan.
Model Bisnis
Tiga model di atas memiliki perbedaan dan ruang irisan dalam model bisnisnya. Dan
model bisnis dipengaruhi oleh berbagai variabel, seperti proposisi nilai suatu bisnis
koperasi, bagaimana dan darimana revenue dibentuk, apa kanal pemasaran yang
digunakan dan seterusnya. Kita bisa menggunakan Business Model Canvas (BMC)
untuk mendetailkan suatu model koperasi. Dua model di atas (coop platform dan coop
start up) adalah model bisnis koperasi yang lahir sebagai upaya merespon adanya
model sharing/ collaborative economy dan business start up. Sehingga sampai batas
tertentu model bisnisnya berbeda dengan koperasi tradisional/ konvensional.
Koperasi sebagai perusahaan idealnya lakukan banyak inovasi bisnis. Sebagai contoh,
CICOPA, sebuah komite ICA yang khusus membidangi koperasi pekerja, melaporkan
bahwa ada 18 model bisnis koperasi pekerja yang berkembang di dunia. Dalam
laporannya di Malaysia, Bruno Roelant saat itu menyajikan model-modelnya dilanjut
dengan diskusi bersama peserta. Menariknya, Bruno selalu menyampaikan bahwa
“Model-model tersebut sudah dan sedang diwujudkan di beberapa tempat. Apakah itu
model yang tepat untuk koperasi, bagaimana dampaknya, serta apakah ada nilai yang
terlanggar, mari kita diskusikan”.
Artinya koperasi sebagai sebuah perusahaan harus dibesarkan dari praktika riil untuk
merespon kebutuhan anggota serta tantangan zaman. Ia dibesarkan dari rangkaian
eksperimentasi, gagal dan berhasil. Sampai kemudian disistematisir bersama menjadi
suatu model baku. Dalam konteks seperti itu, kita perlu sekali mengelaborasi model-
model bisnis / koperasi baru. Inspirasinya bisa dari dalam atau luar negeri. Sejauh
model / koperasi baru itu tak langgar nilai, perlu diuji cobakan.
Sebagai penutup saya kutipkan satu alinea dari, Prof. Suliyanto, Guru Besar Ilmu
Marketing Unsoed, dalam buku Homo Cooperativus Collaboratus (2018), “Model
bisnis adalah strategi atau cara bagaimana menghasilkan pendapatan. Dalam
paradigma bisnis yang lama sumber pendapatan usaha senantiasa berasal dari pembeli
produk utama, tetapi dalam paradigma bisnis sekarang pendapatan tidak harus dari
penjualan produk utama tetapi dari sumber lain, untuk dapat merubah model bisnis
koperasi maka sudah saatnya koperasi dikelola oleh generasi milinieal yang memiliki
literasi yang tinggi dalam teknologi informasi dan komunikasi sebagai sumber untuk
membangun keunggulan kompetitif. Tanpa perubahan model bisnis pada koperasi
maka koperasi akan semakin tertinggal dengan badan usaha lainnya yang telah
merubah model bisnis lebih cepat untuk mengantisipasi perubahan teknologi
informasi dan komunikasi”. []
_______________
Makalah disampaikan pada Workshop “Meretas Era Baru Koperasi: Worker Coop,
Platform Coop dan Start Up Coop” yang diselenggarakan oleh Yayasan Kopkun
Institute pada 27-28 Agustus 2018 di Baturraden, Purwokerto.