Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH METODOLOGI TAFSIR AL QUR’AN DAN AL HADIS

( KLASIK, MODEREN DAN KONTEMPORER)

Uti Mahfiroh
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl.Ki Hajar Dewantara 15A Iringmulyo Kota Metro
E-mail: utymaghfiroh@gmail.com

Abstrak
Pada kajian ini menjelaskan tentang sejarah metodologi penafsiran Al Qur‟an dan hadis pada
masa klasik, moderen, dan kontemporer hingga pada saat ini. Dimana Metodologi merupakan
seperangkat cara yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan atau memahami Al Qur‟an. Al
Qur‟an sebagai kitab petunjuk bagi manusia tidak bisa dipahami secara langsung tanpa melalui
kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku. Metode yang digunakan para ulama klasik pada saat itu
ialah dengan perkataan atau qaul sahabat. Karena dengan perkataan sahabat atau orang yang
bertemu dengan nabi pasti kaidah penafsirannya tidak banyak menyimpang. Kemudian para ulama
moderen saat ini juga menggunakan metode moderen-kontemporer utuk mengetahui makna dari
kandungan ayat-ayat Allah yang digunakan untuk pedoman umat islam baik tentang hukum,
keyakinan, dan ajaran-ajaran yang dianjurkan oleh syariat islam dan ketentuan-ketentuan yang telah
di tetapkan. Agar tidak terjadi perbedaan dan pemahaman dalam sebuah ayat. Rasulullah Saw
merupakan seoarang ahli tafsir yang pertama kali pada masa sahabat,kemudian Sesudah generasi
para sahabat lalu pada saat ini di teruskan oleh generasi tabiin yang belajar islam kepada sahabat-
sahabat dari wilayah sendiri ataupun diwilayah yang lain. Ada tiga kota yang utama dalam proses
pendidikan Al Qur‟an yang masing-masing kota melahirkan madrasah atau madzhab sendiri yaitu di
antaranya adalah, kota mekkah, Madinah, dan irak. Dan Seiring dengan perkembangan zaman telah
banyak penafsiran ayat-ayat Al Qur‟an yang terus berkembang dan pada saat ini. Untuk itu kita
harus mengetahui penafsiran-penafsiran dari masa klasik hingga moderen-kontemporer dan dari
masa sahabat hingga generasi tabiin.
Kata Kunci: Tafsir Al Qur’an dan Al Hadis( klasik, moderen dan kontenporer)

Abstract
In this study describes the history methodology of interpretation of Qur'an and Hadith in
the classical period, modern, and contemporary until today. Where methodology is a set of ways in
which commentators to express or understand the Qur'an. Qur'an as a book of guidance for
mankind can not be understood directly without going through the rules of interpretation
applicable. The method used by the classical scholars at the time is in word or qaul friend. Because
the words of friends or people who met with the rules of interpretation prophet certainly not much
distorted. Then the scholars of modern today using modern-contemporary weeks to know the
meaning of the content of the verses of Allah used to guide the Muslims good about the law, beliefs,
and teachings advocated by the Islamic Shari'a and the provisions that have been set , To avoid
differences and understanding in a paragraph. Prophet is seoarang Commentators first time during
companions, then After the Companions generation ago today forwarded by generations of
successors who studied Islam to the companions of his own territory or region to another. There
are three major cities in the educational process Quran that each city gave birth to the madrasas or
schools themselves which of them is, the city of Mecca, Medina, and Iraq. Along with the times and
has many interpretations of the verses of the Quran that continues to grow and at the moment. For
that we have to know the interpretations of the classical period to the modern-contemporary and
friend to generations of future Successors.
Keywords: Commentary Al Qur’an And Al Hadis (Classic, Modern, Kontenporer)
A. Pendahuluan
Metodologi adalah seperangkat cara yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan atau
memahami Al Qur‟an. Al Qur‟an sebagai kitab petunjuk bagi manusia dan tidak bisa dipahami
secara langsung tanpa melalui kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku. Study terhadap Al Qur‟an
dan metode tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup dengan seiring
berjalanya perkembangan zaman, sejak dari turunnya Al Qur‟an hingga pada saat ini. Banyak sekali
metode atau cara-cara penafsiran Al Qur‟an dan hadis pada zaman klasik hingga kontemporer saat
ini. Gambaran tersebut menunjukan bahwa keinginan umat islam untuk mengetahui perkembangan
zaman pada saat ini dengan cara menafsirkan Alqur‟an. Al Qur‟an secara teks memamng tidak
berubah, tetapi dalam segi makna tanpa kita sadari makna akan berubah dengan seriring
perkembangan zaman. Karenanya Al Qur‟anmembuka dirinya untuk selalu di analisis dengan
berbagai metode penafsiran untuk mengetahui apa sebenarnya yang terkandung dalam
alqur‟an.berbagai metode dan penafsiran diajukan untuk mengetahui makna yang ada dalam Al
Qur‟antersebut.
Qaul sahabat adalah salah satu jenis produk penafsiran zaman klasik. Tafsir dengan qaul
sahabat mempunyai kelebihan tersendiri. Sahabat adalah orang yang dianggap sebagai mufassir
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena mereka masih dalam pengawasan Nabi.
Lalu Di tengah fenomena umum maraknya penulisan tafsir yang terjadi di kalangan umat Islam
tersebut, metodologi tafsir ternyata masih menjadi suatu yang langkah. Dari sekian banyak metode
yang berperan dalam memahami Al Qur‟an, secara garis besar penafsiran Al Qur‟an itu dilakukan
melalui empat metode,sebagaimana dipaparkan „Abd al-Hayy al-Farmawi, yaitu: metode Ijmali
(global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu‟i (tematik). Lahirnya metode-
metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman,
dimana penulis ingin memaparkan sajauh mana corak & metodologi tafsir yang berkembang pada
abad modern kotemporen.
B. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, Metode kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati didukung dengan studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan pendalaman
kajian pustaka berupa data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami. Metode penelitian studi
pustaka adalah bagian dari Geisteswissenschaften (telaah ilmu-ilmu kemanusiaan) yang telah
memfokuskan pada persepsi, upaya penstrukturan, serta pemanfaatan lingkungan yang lebih
merupakan olahan filosofik dan teoritik daripada olahan validasi empirik dan terkait dengan nilai
Dalam upaya membandingkan sistem paradigma yang berlainan membutuhkan banyak telaah
teks sehingga penelitian ini didominasi studi pustaka. Karena metode telaah pustaka lebik banyak
memfokuskan upaya olahan filosofik dan teoretik daripada validasi kuantitatif, maka kebenaran
yang ingin dicapai adalah kebenaran substantif. Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa
dalam penelitian metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan
metode yang menggunakan data deskripsi secara tertulis maupun lisan yang memfokuskan pada
persepsi serta teori-teori para ahli yang dikaji ulang melalui suatu penelitian yang sesuai dengan
realita yang ada.
C. Ranah pembahasan
1. Metodologi Tafsir
Secara bahasa pengertian tafsir berasal dari bahasa arab yaitu alfasru yang berarti membuka,
atau memperlihatkan sesuatu yang tertutup dan mungkin belum di ketahui seseorang kecuali oleh
mufassir(ahli tasfir). Sedangkan tafsir jika menurut istilah adalah menjelaskan tentang apa yang
terkandung dalam alqur‟an. Tujuan dalam mempelajari ilmu tafsir adalah untuk mengetahui maksud
dari kandungan ayat-ayat Allah yang digunakan untuk pedoman umat islam baik tentang hukum,
keyakinan, dan ajaran-ajaran yang dianjurkan oleh syariat islam dan ketentuan-ketentuan yang telah
di tetapkan. Dalam mempelajari tafsir kita sering mendengar kata metodologi tafsir, metotodologi
tafsir berasal dari kata methodos yang berasal dari bahasa yunani yang berarti cara atau jalan, dan
logos yang berarti kata atau pembicaraan. Lalu metode bararti suatu cara atau jalan yang di tempuh
untuk mencapai suatu tujuan. Jika kita ingin mengetahui isi dari makna kandungan Al Qur‟an kita
harus menempuh jalannya yaitu dengan menafsirkannya. Dalam metodologi tersebut mufassir
menyimpulkan ada tiga secara garis besar corak tafsir dan ragamnya di antaranya adalah: tafsir al
ilmi,dan tafsir al isyari.1
2. Sejarah Metodologi Penafsiran Al Qur’an Masa Klasik
Sejarah metodologi tafsir ini pertama kali diawali pada masa Rasulullah Saw, karena pada
masa itu para sahabat sering kali ada beberapa perbedaan dan pemahaman dalam sebuah ayat. Lalu
para sahabat menanyakan langsung kepada Rasul. Dan dari garis besar ada beberpa sumber hukum
yang di jadikan rujukan oleh para sahabat dalam menafsirkan Al Qur‟andiantaranya:
Pertama, Al Qur‟ansendiri karena menurut para sahabat satu hal yang di jelaskan secara global itu
dapat di jelaskan kembali secara terperinci pada ayat-ayat yang lain.
Kedua,Rasulullah Saw karena semasih hidupnya para sahabat dapat bertanya secara langsung
kepada beliau, tentang suatu ayat yang mereka perselisihkan tentang pemahan tersebut.

1
Ah. Fawaid, „Paradigma Sufistik Tafsir Al-Qur‟an‟, Suhuf, 8, No. 1 (2015), 104.
Ketiga, Ijtihad dan pemahaman para sahabat sendiri, karena para sahabat tersebut merupakan orang-
orang yang ahli dalam bahasa arab,dan termasuk orang arab asali yang pahan akan aspek
kebahasaanya tersebut. Tafsir para sahabat ini menurut para ulama memiliki nilai tersendiri karena
di sandarkan kepada Rasulullah Saw terutama pada aspek asbab annuzul. Salah satu dari para
sahabat yang dahulu banyak menfsirkan Al Qur‟an adalah ibnu mas‟ud, dan pada masa saat ini
belum ada satupun pembukuan tafsir dan pada saat itu masih bercampur dengan hadis.
Sesudah generasi para sahabat lalu pada saat ini di teruskan oleh generasi tabiin yang belajar
islam kepada sahabat-sahabat dari wilayah sendiri ataupun diwilayah yang lain. Ada tiga kota yang
utama dalam proses pendidikan Al Qur‟an yang masing-masing kota melahirkan madrasah atau
madzhab sendiri yaitu di antaranya adalah, kota mekkah dengan madrasah ibn abbas, Madinah
dengan madrasah ubay ibn ka‟ab, dan irak yang mempunyai madrasah ibn mas‟ud. Pada masa saat
itu tafsir temassuk pada bagian dari hadis yang tiap masing-masing madrasah itu meriwayatkan dari
guru-guru mereka sendiri. Tekita datang masa pengkodifisian hadis, riwayat yang berisi tentang
tafsir telah menjadi bab tersendiri, tetapi belum sistematis sampai pada masa sesudahnya ketika
pertama kali dipisahkan antara kandung hadis dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri.
3. Pengertian Tafsir Al Qur’an Dengan Qaul Sahabat
Tafsir Al Qur‟an adalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur‟an yang memungkinkan untuk
di pahami penafsirannya oleh umat islam. Tafsir sendiri memiliki arti sebagai cara untuk
menjelaskan makna ayat-ayat Al Qur‟an dari berbagai segi konteks cerita maupun asbab ann
nuzulnya. Tafsir merupakan ilmu untuk mengetahui dan memahami kandungan isi Al Qur‟an yang
di tunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat jibril, dengan cara mengetahui
penjelasan makna, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Qaul sahabat adalah perkataan yang disampaikan oleh para sahabat, yang dimaksud dengan
sahabat adalah orang yang menemui Nabi dan mengimani Nabi sebagai rasul atau utusan Allah.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir Al Qur‟an qaul sahabat adalah setiap
penjelasan atau keterangan yang disampaikan oleh para sahabat Nabi ( orang yang pernah bertemu
dengan Nabi), tentang penafsiran Al Qur‟anbaik berupa penjelasan makna, kata, asbab annuzul dan
segala hukum syariat yang berhubungan dengan kehidupan manusia.2
Tafsir dengan qaul atau perkataan sahabat bila ditinjau dari sejarahnya termasuk dalam
kategori metode tafsir klasik. Sebelum terjadi penafsiran yang ditafsirkan oleh sahabat, Nabi adalah
orang yang pertama kali menafsirkan alqur‟an. pada saat itu para ulama telah sepakat bahwa Nabi
adalah seorang mufassir awal alqur‟an, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang apakah
keseluruhan ayat dijelaskan semuanya atau sebagian saja, sesuai kebutuhan sahabat pada saat itu.

2
Aftonur Rosyad, „Qawaid Tafsir: Telaah Atas Penafsiran Al Qur‟an Menggunakan Qaul SahabatL‟, Ulul
Albab, 16 No 2 (2015).
Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa rasul telah menafsirkan Al Qur‟an
kepada para sahabatnya seluruh lafadz dan makna yang ada di dalam Al Qur‟an. 3
Pada masa Nabi Muhammad para sahabat selalu bertanya kepada Rasulullah Saw, akan tetapi
penjelasan bukanlah mutlak dari Nabi pribadi, semua hal yang disampaikan oleh Nabi merupakan
pedoman dari Allah Swt, kadang-kadang beliau bertanta juga langsung kepada jibril, akan tetapi
tidak langsung memberikan penjelasan, akan tetapi semua penjelasan yang diberikan Allah,
sedangkan jibrilnya sebagai media perantara. Deskripsi ini menggambarkan bahwa Nabi
Muhammad tidak secara langsung menafsirkan Al Qur‟an secrara pribadi, dan tidak mengikuti
kemauannya, akan tetapi penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad yang berasal dari Allah.
Dimana kebanyakan sarjana muslim sepakat bahwa yang afshah atau yang pantas menafsirkan Al
Qur‟an hanyalah Nabi Muhammad, selain karena bantuan dari Allah, juga Nabi Muhammad sangat
faham akan makna- makna yang di maksud dari tujuan Allah mengapa menurunkan Ayat.4
Setelah Nabi wafat selain Ibnu Taimiyah tradisi penafsiran dilakukan oleh para sahabat yang
lainnya, seperti Abdullah Ibnu Abbas, Abdullah ibnu Mas‟ud, Ubay bin Ka‟ab, dan Zaid binTsabit.
Diantara beberapa sahabat, Abdullah Ibnu Abbas termasuk orang yang dianggap tekun dalam
bidang penafsiran Al Qur‟an. Tradisi di ruang lingkup para sahabat masih menggunakan beberapa
riwayat. Hasil dari periwayatan akan diaplikasikan dalam sebuah tafsir yang akan mereka jelaskan
tentang apa yang telah di tafsirkan. Metode seperti ini yang menjadikan terus bergantiannya
keilmuan berlanjut hingga sampai generasi berikutnya. Ketika beberapa riwayat yang dijumpai
terdapat kegagalan, maka sahabat pun bisa langsung menanyakan kepada Nabi tentang keganjalan
tersebut.
Dalam penafsiran sahabat sangat jarang ditemukan secara utuh dalam suatu pembukuan
khusus. Salah satu faktor yang menyebabkan hal itu adalah karena pembukuan tafsir baru dilakukan
pada abad kedua hijriah. Selain itu, tidak semua sahabat terutama khulafaur alrasyidin mempunyai
suatu karya tafsir yang menjadi sebuah pedoman. Hal ini disebabkan karena pada saat itu kondisi
tidak memungkinkan untuk menulis karya sebuah tafsir, sebab Nabi pada saat itu pun masih hidup
sementara ketika ada pertanyaan yang muncul langsung bisa ditanyakan kepada Nabi Muhammad.
Al Qur‟an diturunkan oleh Allah salah satunya adalah sebagai petunjuk dan pedoman bagi umat
manusia. Untuk memahami Al Qur‟an tentunya tidak akan lepas dari sebuah tafsir, orang yang
pertama kali menafsirkan Al Qur‟an adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau melakukan penafsiran
Al Qur‟an dengan cara memahami dan menjelaskannya kepada para sahabat yang hingga akhirnya
turun dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal penyampaian penjelasan tafsir kepada

3
Ahmad Soleh Sakni*, „Model Pendekatan Tafsir Dalam Kalam Kajian Islam‟, Model Pendekatan Tafsir, No 2
(2013).
4
Muhsin Alhaddar, „Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran Al Qur‟an “Kasus-Kasus Penafsiran Sahabat Dan
Aliran Teologi Islam”‟, Rausyan Fikr, 10, No 2 (2014), 220.
sahabat, dalam hal ini pendapat Ibnu Khaldun mengatakan: “Rasulullah menjelaskan makna Al
Qur‟an secara umum, membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh, lalu kemudian
memberitahukan kepada sahabat sehingga mereka mengetahui sebab musabab turunnya ayat-ayat
Al Qur‟andan situasi yang mendukungnya”.
Menurut para ulama‟ nasikh adalah sesuatu yang membetalkan, menghapus, memindahkan,
dan mengubah, yang dimaksud mengubah yaitu mengubah pelaksanaan hukum syara‟ dengan dalil-
dalil yang datang, lalu menunjukan penghapusannya secara jelas, baik penghapusan itu secara
keseluruhan atau pun secara kepentingan yang ada. Mansukh adalah sesuatu yang di batalkan, di
batalkan, dan di pindahkan. Adanya fenomena nasikh dan mansukh dalam Al Qur‟an dan al sunnah,
menurut logika bisa diterima, bagaimana sebab turunnya ayat maupun wurudnya alhadis itu
terkadang merespon langsung kebutuhan umat yang tergantung oleh bagaimana kondisi.
Kemungkinan dapat terjadi ayat yang turun kemudian yang telah membatalkan kandungan ayat
yang sebelumnya dikarenakan terjadinya perubahan dalam kondisi sosial. Sementara secara naqly,
terdapat banyak bukti pendukung yang terjadi nasakh dalam Al Qur‟an, termasuk dalam pernyataan
Al Qur‟an sendiri tentang adanya naskh seperti yang telah dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah:106
yang artinya:‟‟ Ayat mana saja yang Kami naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Perlu dipaham kan bahwa terjadinya nasikh dan mansukh itu tidak di artikan dalam Al Qur‟an
ataupun al sunnah dimana disitu terdapat kontradiksi, tetapi tetap menunjukan fleksibilitas ajaran-
ajaran islam, sehingga dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi bagi si penerima ajaran. Oleh
sebab itu para ulama ushul menetapkan syarat dilakukannya nasikh dan mansukh, adapun nasikh
harus terpisah dari mansukh, nasikh harus lebih kuat atau sama-sama kuatnya dengan
mansukh,nasikh harus berupa dalil-dalin syara‟. Kemudian mansukh tidak dibatasi dengan waktu,
mansukh pun harus beberapa syara‟. 5
Namun fakta menunjukan tidak semua penafsiran dari Nabi tentang ayat-ayat Al Qur‟an
diketahui secara keseluruhan. Mungkin karena pada saat itu penulisan hadits yang jauh setelah Nabi
meninggal dunia atau karena memang Nabi sendiri tidak menjelaskan Al Qur‟an secara
keseluruhan, sehingga dalam hal ini merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk
menjelaskannya.
4. Karakteristik Penafsiran Al Qur’an dengan Qaul Sahabat
Dalam hal penafsiran Al Qur‟an yang dilakukan oleh para sahabat sebagian para ulama
menghukuminya sebagai hadits marfu‟. Adapun yang dimaksud hadits marfu‟ adalah hadits yang

5
Subaidi, „Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikannya Dalam Penafsiran Al Qur‟an‟, Hermeunetik, 8
No,1 (2014), 57.
disandarkan kepada Nabi Saw. Berupa perkataan yang baik dan dapat memberikan manfaat bagi
orang lain ataupun diri sendiri,perbuatan yang telah dijelaskan oleh Rasul kepada umatnya yaitu
pebuatan yang baik yang dicermin kan kepada ahlak seseorang dalam kehidupan. atau taqrir beliau;
baik yang menyandarkannya sahabat, tabi‟in atau yang lain; baik sanad hadits itu bersambung atau
terputus.
Maka dapat ditarik pemahaman bahwa derajat penafsiran Al Qur‟anoleh para sahabat adalah
sama halnya dengan hadits marfu‟ dan mauquf. Meskipun tafsir sahabat termasuk dalam golongan
mauquf, penafsiran itu harus kita terima. Karena para sahabat pun merupakan orang-orang yang
ahli dalam bahasa arab dan bahkan orang arab asli yang mengerti dalam ketata bahasaan tersebut
dan sangat menunjang dalam terbentuknya pemahaman yang benar dan dalam Al Qur‟an, dan para
sahabat pun mengetahui bagaimana situasi dan kondisi yang behubungan dengan suatu ayat yang
akan diturunkan. Ibnu katsir dalam pembukuan tafsir mengatakan „„ pada saat ini, jika kita tidak
menemukan penafsiran pada Al Qur‟an dan sunnah Rasulullah, maka kita harus kembali kepada
qaul sahabat, karena mereka menyaksikan secara langsung situasi dan kondisi yang berlangsung
pada saat diturunkannya suatu ayat, serta mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, juga
ilmu dan amal yang shalih, dan juga para pembesar mereka seperti, khulafaurrasyidin, Imam
Arba‟ah dan Ibnu Mas‟ud”. Pada masa yang pertama ini belum ada sama sekali pembukuan
terhadap tafsir, dan tafsir masih menjadi salah satu bagian dari bahasan hadits, oleh karena itu
tafsir-tafsir ayat Al Qur‟an yang sudah ada masih tersebar dalam beberapa hadits dan belum
mencakup seluruh ayat Al Qur‟an.
Untuk mengetahui beberapa karakter penafsiran sahabat ada beberapa karakteristik tafsir Al Qur‟an
dengan qaul sahabat diantaranya adalah sebagai berikut:
Tidak ada penafsiran yang bersifat ilmi, fiqhi, sastrawi, falsafi,maupun madzhabi. Membatasi
penafsiran dengan penjelasan berdasarkan bahasa primer. Penafsiran Al Qur‟an pada masa sahabat
belum merupakan sebuah penafsiran yang lengkap atau utuh. Tidak semua ayat Al Qur‟an
ditafsirkan hanya ayat-ayat yang dirasa sulit dipahami serta menimbulkan sebuah kerancauan yang
ditafsirkan oleh mereka bersifat global. Dalam kajian ulumul Quran dikenal denganistilah ijmali.
Sedikit terjadi perbedaan dalam memahami lafad Al Qur‟an, sebab problem yang dihadapi pada saat
itu tidak serumit yang dihadapi oleh masa sekarang.6 Belum ada pembukuan tafsir, sebab
pembukuan baru muncul sekitar abad dua hijriah. Tafsir dalam masa sahabat merupakan tafsir yang
dikategorikan pada masa klasik. Corak yang dikembangkan tentunya sangat berbeda dari tafsir
kontemporer. Meskipun demikian ada sisi keunggulan pada tafsir dengan qaul sahabat, yaitu tidak
bersifat untuk kepentingan dalam membela suatu madzab tertentu sudah menjadi tradisi dalam

6
Dedi Wahyudi dan Rahayu AS, „Islam Dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Di Dunia Dinamika
Islam Di Dunia Barat)‟, Fikri, vol.1, No.2, (2016), 271.
penafsiran yaitu membela kalangan tertentu demi memajukan madzabnya sehingga potensi mufassir
dalam mengaplikasikan ilmu dalam bidang Al Qur‟an lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan
suatu madzab tertentu. Tafsir Al Qur‟andengan qaul sahabat merupakan penafsiran yang murni
tanpa mementingkan atau suatu golongan ataupun madhab tertentu.
Karena pada saat itu golongan madzhab belum begitu banyak yang muncul sehingga
transformasi keilmuan dalam bidang tafsir Al Qur‟andengan qaul sahabat belum atau bahkan tidak
terpengaruh oleh sebuah ideologi yang melingkupinya. Kemudian tafsir Al Qur‟an dengan qaul
sahabat ini juga belum kemasukan riwayat-riwayat israiliyat yang dimana riwayat tersebut dapat
merusak akidah. Riwayat israiliyat sendiri adalah riwayat yang berasal dari orang-orang yahudi dan
orang-orang nasrani yang telah memasuki islam untuk merusak akidah.7

5. Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer


Kata ”metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam
bahasa Inggris, kata ini ditulis method dan dalam bahasa arab ditulis dengan istilah manhaj atau
manahij dalam bentuk plural; jamak kata tersebut mengandung arti cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu yang ditentukan. Jadi dapat dikatakan, metode
adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan tujuan
yang ingin di capai. studi tafsir Al Qur‟an tidak lepas dari metode yaitu suatu cara yang sistematis
untuk mencapai tingkat pemahaman yang benar tentang pesan Al Qur‟an yang dikehendaki oleh
Allah swt sebagai pedoman dan petunjuk umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Definisi ini
memberi gambaran bahwa metode tafsir Al Qur‟an berisi separangkat kaidah-kaidah dan aturan
yang harus diindahkan ketika menafsirkan Al Qur‟an. Apabila seseorang menafsirkan Al Qur‟an
tanpa menerapkan metode, tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Ilmu tentang metode
penafsiran Al Qur‟an disebut dengan metodologi tafsir, sedangkan pembahasan yang bersifat ilmiah
tentang metode disebut dengan analisis metodologis.
Seiring dengan perkembangan zaman telah banyak penafsiran ayat-ayat Al Qur‟an yang terus
berkembang dan pada saat ini banyak perbedaan pemahaman antara umat islam yang mungkin tidak
dapat dihindarkan. Al- dzahabi menjelaskan bahwa secara bahasa tafsir mempunyai dua arti, yang
pertama al-idah yaitu menjelaskan penafsiran ayat-ayat alqur‟an,yang kedua al-tabyin yaitu
menerangkan apa yang telah ditafsirkan dalam Al Qur‟an. kata tafsir di terangkan dalam Al Qur‟an
surat al furqon ayat 33: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik (tafsir)
penjelasannya.” Tafsir juga digunakan untuk menunjukan beberapa hal yitu tentang bagaimana

7
mustaqimah, „Urgensi Tafsir Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur‟an‟, Jurnal Farabi, vol 12, No 1 (2015).
mengungkapkan makna yang tersembunyi secara indrawi dan mengungkapkan makna yang
tersembunyi secara rasio.

6. Perkembangan Metode Tafsir


Untuk mengetahui metode-metode tafsir moderen dan kontemporer kita harus mengertahui
penjelasan dari kedua zaman tersebut. Dimana zaman moderen dimulai sejak adanya gerakan
moderenisasi islam di Mesir yang mulai di kembangnkan oleh jamaluddin al Afghani pada tahun
1254H/1838M. Namun dengan demikian sebagian berpendapat bahwa kontemporer indentik
dengan moderen dan keduanya digunakan secara bergantian, pada kamus besar bahasa indonesia di
jelaskan bahwa moderen memilki arti terbaru, mukhtahir atau sikap yang sesuia dengan tuntunan
perkembangan zaman saat ini. Sedangkan istilah kontemporer berujuk pada waktu yang sama atau
pada masa saat ini.
Jika ditelusuri perkembangannya tafsir Al Qur‟an sejak dulu hingga saat ini, maka akan
diketemukan tafsir bahwa secara garis besar penafsiran Al Qur‟anada pada empat cara metode
yaitu: ijmali (global), tahlili (analisis), muqarin(perbandingan), dan maudhu‟i (tematik). Dari
keempat metode ini, menurut pengamatan dari Quraishihab yang paling populer pada saat ini adalah
metode tahlili dan tematik.8:
a. Metode ijmali (global)
Pada masa Nabi Saw dan para sahabatnya menafsirkan Al Qur‟an secara ijmali (global)
karena dalam tafsiran mereka tidak memberikan rincian yang memadai sehingga sukar menemukan
uraian yang detail. Karena itu, sementara pakar menganggap bahwa tidak salah bila dikatakan
metode ijmali dengangn metode global, yanga merupakan metode tafsir Al Qur‟an yang mula-mula
muncul. Hal ini di landaskan pada kenyataan bahwa pada zaman Nabi Saw, dan para sahabat
tentang persoalan bahasa, terutama bahasa arab bukanlah menjadi penghambat dalam memahami Al
Qur‟an. tidak saja karena mayoritas para sahabat adalah orang arab yang ahli pada bahasa arab,
tetapi juga mereka mengetahui bagaimana latar belakang tunyaksikan turunnya ayat atau asbab an
nuzzul, dan bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat islam ketika
ayat-ayat Al Qur‟an turun. Kemudian para sahabatpun tidak perlu penjelasan yang secara rinci dari
Nabi Saw, tetapi cukup dengan isyarat dan uraian yang sederhana. Bisa dikatakan bahwa dengan
metode ada awal-awal islam metode ijmali (global) menjadi satu-satunya cara untuk memahami dan
menafsir kan alqur‟an. prosedur metode ijmali yang praktis juga mudah untuk di pahami dan
memotifasi ulama tafsir belakangan untuk menuliskan karya tafsir mereka dengan menggukan
menggunakan metode tersebut. Di antaranya adalah jalal al-Din al- Mahali dan jalal al-din al-suyuti
yang mengenalkan kitab tafsir yang sangat populer yang biasa disebut dengan tafsir jalalain.

8
Ali Aljufri, „Metodologi Tafsir Moderen Kontemporer‟, Rausyan Fikr, 10,No 2 (2014), 133.
Metode global ini hanya menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat-ayat
yang akan ditafsirkan, namun seorang mufassir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna
yang ada dalam bingkai suasana qur‟ani. pada metode ini tidak perlu menyinggung asbab annuzul,
makna-makna kosa kata dengan segi bahasa yang keindahan Al Qur‟an. tetapi pada metode ijmali
ini lebih menjlaskan isi kandungan ayat secara umum, hukum dan hikmah yang dapat di gunakan
dalam kehidupan. Dengan metode ini seorang mufassir menjelaskan akan arti dan maksud ayat
dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain
dari arti yang dikehendaki oleh mufassir.
Keunggulan dari metode ijmali dibandingkan dengan metode-metode yang lainnya adalah
terletak pada karakternya yang mudah dimengerti, dan juga tidak mengandung unsur israiliyat, dan
lebih mendekati bahasa alqur‟an. Sementara kelemahan dari metode ijmali ini adalah menjadikan
petunjuk Al Qur‟an tidak ada ruang lingkup untuk mengemukakan analisis yang memadai. Dalam
hal ini menimbulkan ketidak puasan para mufassir dan menimbulkan mufassir untuk menemukan
metode lain yang dapat dipandang lebih baik dari pada metode ijmali tersebut.
b. Metode tahlili (analisis)
Metode tahlili ini adalah metode yang paling tua dan paling sering di gunakan untuk
menafsirkan Al Qur‟an pada masa moderen-kontemporer. Menurut pendapat dari Muhammad baqir
ash-shadr, metode ini yang beliau sebut dengana metode tajzi‟i, metode yajzi‟i adalah metode yang
dimana seorang mufasirnya berusaha untuk menjelaskan tentang kandungan-kandungan ayat yang
di tafsirkan dari berbagai sudung pnadang dan seginya. Dengan memperlihatkan runtutan ayat-ayat
Al Qur‟an sebagaimana telah tercantum dalam alqur‟an. Biasanya para mufassir ini menghidangkan
penafsiran metode tahlili mencangkup dari pengertian umum kosa kata pada ayat, hubungan ayat
dengan ayat yang sebelumnya, sebab ann nuzul, makna global dan hukum yang dapat di simpulkan.
Tafsir ini dilakukan secara beruntutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga
akhir sesuai dengan susunan Al Qur‟an dan secara dengan susunan yang runtut.
Metode tahlili ini menjelaskan penafsirannya perkosa dan lafadz, juga menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat yang di tafsirkan, yitu unsur-unsur ijaz dan
balaghah, dan keindahan dalam susunan kalimat,menjelaskan apa yang ada di ayat tersebut terkait
dengan hukum fiqih yang selalu di gunakan dalam kehidupan dan dalil syar‟i Yaitu dalil yang
menjelaskan tentang norma-norma ahlak yang menjadi pedoman bagi umat manusia. 9
Metode tahlili ini memiliki keunggulan tersendiri dalam penafsirannya, keunggulan pada
metode tersebut terletak pada pengetahuan yang luas, dan dapat memuat berbagai gagasan
penafsiran dan memuat berbagai informasi tentang gambaran dan kondisi sosial dan sejarah pada

9
iskandar, „Penafsiran Sufistik Surat Al-Fatihah Dalam Tafsir Tāj Al-Muslimîn Dan Tafsir Al-Iklîl Karya KH
Misbah Musthofa‟, Fenomena, vol 7, No 2 (2015).
teks tersebut. Dibalik kelebihan metode tahlili, juga memilki kelemahan yang dapat membuat
perujuk Al Qur‟an bersofat persial, melahirkan penafsiran yang subjektif, juga memuat riwayat
yang bersifat israiliyat, komentar yang terlalu banyak sehingga melelahkan sang pembaca dan
informasinya pun terlalu ditumpang tindih dengan pengetahuannya.
Meskipun dalam penafsiran menggunakan model tahlili, namun ada beberapa tulisan yang
sang mufassir atau penulis mengkaji hanya beberapa penafsiran yang dijelaskan dalam surat al-
Hijr:24-25 yang berisi atau yang menjelaskan tentang Tuhan yang Maha Mengetahui atas segala
apa yang setiap manusia perbuat di dunia baik yang terbentuk suatu prestasi maupun yang
terbelakang.
Yang artinya:“Dan Sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu
daripada-mu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian
(daripadamu). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang akan menghimpunkan mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Pada ayat tersebut menjelaskan bahwa makna yat yang terkandung yang terdapat pada lafadz
walaqad „alimna yang pada dasarnya mempunyai arti mengetahui, atau menekankan maknanya
dengan menganalogikan tentang perbuatan prestasi dan terbelakangi dengan shalat berjamaah,
yakni Tuhan yang berbeda dalam menyikapi atas orang yang shalat di shaf depan dan di shaf
belakang. Allah akan memberikan fasilitas yang mewah terhadap orang yang berprestasi dan juga
sebaliknya yang sesuai porsinya, sebagaimana pula Allah menganalogikan dengan fasilitas
penumpang pesawat yang mewah dan berbisnis. Setelah memberikan pemaparan tentang perbedaan
fasilitas Allah yang telah di jelaskan di atas kepada manusia, mufassir memaparkan ayat atau
kalimat yang selanjutnya bahwa bukti Allah akan keadilan Allah kepada manusia akan dibuktikan
dengan cara dibangkitkannya mereka untuk dihadapkan kepada-Nya. 10
c. Metode muqarin (perbandingan)
Metode ini menafsirkan Al Qur‟an dengan cara membandingkan antara ayat yang satu dengan
ayat yang lainnya, yaitu ayat yang memiliki kemiripan pada hal redaksi, pada dua kasus yang
berbeda. Metode ini juga membandingkan ayat dengan hadis antara pendapat-pendapat para ulama
tafsir dengan cara menonjolkan perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan tersebut. Sejalan
dengan kerangka tersebut,maka prosedur penafsiran metode muqorin tersebut dilakukan dengan
cara: Mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi, Meneliti dengan
khusus yang berkaitan dengan ayat-ayat yang memilki kesamaan redaksi. Mengadakan penafsiran
ayat-ayat yang memiliki persamaan. Secara umum tafsir muaqran antar ayat dapat
mengaplikasikannya pada ayat-ayat Al Qur‟an yang memiliki kesamaan redaksi, namun dalam

10
Adrika Fithrotul Aini, „Ayat-Ayat Al-Qur‟an Dalam Bingkai Media: Studi Atas Penafsiran Ayat-Ayat Al-
Qur‟an Dalam Koran Harian Bangsa‟, Jurnal Farabi Http://Journal.iaingorontalo.ac.id/Index.php/Fa, 12, No 1 (2015),
6.
konteks tersebut ada yang berkurang atau ada yang berlebih dalam kesamaan redaksi tersebut.
Misalnya kedua ayat memiliki perbedaan ungkapan, tetapi tetap dalam maksud yang sama. Seorang
mufassir dapat menggali hikmah yang terkandung dalam variasi redaksi ayat tersebut, atau dengan
kata lain adalah yang lebih cepat, menguras kandungan pengrtian ayat yang mungkin terlewatkan
oleh metode lain, pada metode muqaran ini tidak akan ada ayat yang akan terlewatkan,agar manusia
itu sadar akan ayat- ayat yang diturunkan tidaklah dibuat secara sembarangan atau dikatakan
bertentangan. Dengan begitu akan lebih jelas konteks yang ada dalam kandungan ayat tersebut,
karena hal ini akan secar efektif menepis anggapan bahwa Allah telah „„kehabisan‟‟ kata-kata dalam
kosa kata dan melengkapi ajaran qur‟ani atau mungkin ada beberapa ayat yang dianggap cenderung
membosankan karena terkesan diulang-ulang.
Metode ini dikatakan unggul karena metode ini mampu memberikan wawasan yang sangat
luas, mentoleransikan perbedaan pandangan yang dapat mencegah sikap tidak toleran pada aliran
tertentu, dan juga memperkaya komentar dalam suatu ayat yang ditafsirkan tersebut. Sedangkan
kelemahan dalam metode muqarin ini. Kajian perbandingan ayat dengan ayat dalam metode
muqaran ini tidak hanya sebatas pada analisis saja, tetapi mencangkup perbedaan kandungan makna
pada masing-masing ayat yang diperbandingkan. Selain itu metode ini juga membahas perbedaan
kasus dalam setiap ayat yang dibicarakan, termasuk dalam sebab turunnya ayat yang akan di
perbandingkan.
d. Metode maudhu’i
Pada metode penafsiran ini seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat tertent dengan cara
berdasarkan tema, yaitu dengan memilih satu tema dalam Al Qur‟an untuk menghimpun aya-ayat
Al Qur‟an yang memiliki tujuan atau dalam maksud yang sama. Kemudian menafsirkan, untuk
menjelaskan pada tema yang sama tersebut. Metode maudhu‟i ini adalah metode tafsir yang
berusaha untuk mencari jawaban dalam Al Qur‟an yaitu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al
Qur‟an yang memiliki tema dan tujuan yang sama dalam penasfirannya. Yang dimana dalam ayat
tersebut mempunyai topik yang sama dan judul tertentu serta menertib kannya sesuai dengan asbab
ann nuzulnya. Kemudian menyajikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan, keterangan, dan
hubungannya dengan ayat lain kemudian dapat menyimpulkan hukum-hukum dari ayat-ayat yang
ditafsirkannya.11
Metode maudhu‟i ini memiliki keunggulan yaitu dipandang dapat menjawab tentang zaman,
dimana zaman seperti masa saat ini dan yang akan datang. Secara dinamis dan praktis tanpa harus
merujuk pada kitab tafsir yang tebal dan dan mungkin berjilid-jilid, dalam metode ini penataannya
sangat sisitematis tema-tema nya pun dalam metode ini tidak tertinggal oleh zaman,dan
pemahamannya pun utuh. Kemudian kelemahan dari metode maudhu‟i ini adalah dalam menyajikan

11
Dedi Wahyudi dan Rahayu AS.
Al Qur‟an tidak seutuhnya, tetapi hanya sepotong-sepotong, pemilihan tema tertentu menjedikan
pemahaman dari seorang mufassir tersebut terbatas. Dan seorang mufasir membutuhkan kecermatan
dalam menentukan keterkaitannya dengan tema-tema yang akan diangkatnya.

7. Metode Tafsir Moderen-Kontemporer


Kitab-kitab tafsir yang dikarang pada zaman moderen aktif seperti pada saat ini mengambil
bagian dan mengikuti pula jalan pikiran umat islam pada zaman moderen dalam menafsirkan ayat-
ayat Al Qur‟an dan lebih menjelaskan kepada umat bahwa islam tidak pernah bertentang pada ilmu-
ilmu pengetahuan dan moderen pada saat ini. Islam adalah agama yang dimana sesuai dengan
seluruh bangsa dimana setiap masa, dan setiap tempat para ahli tafsir kontemporer menggunakan
beberapa metode para ulama klasik dalam penafsirananya. Adapun penafsirannya pada masa
kontemporer sererti masa saat ini adalah: metode tafsir tematik,metode lingustik arab,metode ta‟wil
ilmi,dan metode yang di gunakan dengan ilmu pengetahuan dan yang lainnya.
a. Metodologi tafsir Tematik
Al Qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan dengan bahasa yang begitu indah sekaligus
merupakan mukjizat dari Allah untuk Nabi Muhammad Saw dimana merupakan tantangan bagi
seluruh manusia dan jin. Baik yang memahami bahasa arab, berbicara dan mengetahui asbab ann
nuzulnya, ataupun mereka yang tidak mengetahui sama sekali, Semuanya menerima tantangan
tersebut. Hingga pada masa saat ini Al Qur‟an pun tetap masih kokoh tidak ada yang menadingi Al
Qur‟an dengan model-model tulisan apapun dan dari bahasa manapun.
Dalam Al Qur‟an memiliki keunikan-keunikan tersendiri dalam tiap kajian,Salah satu dari
bentuk keunikan Al Qur‟an yaitu terletak pada pengulangan-pengulanagan diberbagai tempat.
Tulisan dari Al Qur‟an pun memiliki model tulisan yang indah dan dilengkapi dengan bahasa-
bahasa yang indah pula hingga tidak tertandingi dari bahasa manapun. Banyak para ulama yang
membicarakan keunikan-keunikan dalam kandungan Al Qur‟an tersebut, bahkan para ulama
memiliki inisiatif untuk menghubungkannya dengan studi tematik moderen pada saat ini. Kesatuan
tema inilah yang akhirnya akan memunculkan dimana sebuah penafsiran tematik, baik yang
bercorak, ataupun yang umum yang hanya menghubungkan dari kesimpulan dalam hubungan antara
bagian-bagian Al Qur‟an dari berbagai masalah pembahasan, biasanya kajian bahasa dan sastra
ataupun corak yang khusus, sesuai dengan tuntunan bahasa tertentu dengan menghubungkan
seluruh unsur yang ada dalam Al Qur‟an tersebut. Seperti contoh dalam Al Qur‟an tentang kajian
perempuan dalam Al Qur‟an dan sejenisnya.12
Dalam menganalisis ayat-ayat tersebut beliau sangat terpengaruh dengan gaya dari gurunya
dan juga pendamping hidupnya yaitu syekh amin alkhuly. Metode yang beliau terapkan merupakan

12
shofaussamawati, „Ikhlas Perspektif Al-Qur‟an : K Ajian Tafsir Maudhu‟i‟, Hermeneutik, vol,7, No 2 (2013).
penafsiran yang berupa analisa pada teks tersebut. Dan secara garis besar metodologi kajian sastra
tematik pada Al Qur‟an beliau dapat disimpulkan pada empat pokok pikiran diantara nya;
Pertama, beliau mnegumpulkan unsur-unsur tematik dimana secara keseluruhan yang
dibeberapa surah pendek untuk dipelajari secara tematik. Dalam kitabnya beliau tidak memakai
kajian tematik yang murni seperti yang digunakan lainnya, Namun beliau lebih menggunakan
dengan pengembangan induktif (istiqra‟i al-lafdzi alqur‟an) pada awalnya beliau menggambarkan
ruh sastra tematik yang secara umum, kemudian merincinya demi ayat. Akan tetapi perinciannya
tersebut berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlili (analisi) yang
cinderung menggunakan maqtha‟ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Disini beliau membuka
kupasan tentang bahasa ayat kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki
kesamaan dalam gaya bahasa. Terkadang merebut jumblah kata adakalanya dimana akan
memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya. Terakhir beliau menyimpulkan
korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua,memahami beberapa hal yang ada disekitar nash yang ada, seperti mengkaji ayat-ayat
yang turunnya sesuai. Untuk mengetahui kondisi tersebut dimana waktu dan lingkungan
diturunkannya ayat-ayat Al Qur‟an pada waktu itu. Kemudian dikorelasikan dengan pembelajaran
asbab ann nuzul. Meskipun seperti itu beliau tetap menegaskan bagaimana kaidah al-ibrah bi‟umum
la al lafazh al khusus asabab, dimana dapat disimpulkan bahwa yang dapat dipakai dalam metode
umum, bukan metode khusus dengan sebab turunnya ayat.
Ketiga dimana seorang mufasir harus memahami, menelaah lafafz dari makna yang
terkandung dalam alqur‟an. apakah dalam kandungan Al Qur‟an tersebut dipahami sebagimana
semestinya atau lebih mengandung arti majaz atau kiasan dengan berbagai macam klasifikasinya.
Kemudian diserasikan dengan hubungan-hubungan kalimat khusus yang terdapat dalam satu surat.
Lalu kemudian diserasikan pula dengan hubungan kalimat yang umum dalam Al Qur‟an. dimana
telah dijelaskan diatas bahwa sannya mufassir sebelum menfsirkan ayat Al Qur‟an, mufasir harus
menelaah mana yang akan di tafsirkan. Adapun kemudian diserasikan antara yang umum dengan
yang umum yang terdapat pada Al Qur‟an, dan yang kusus yang terdapat dalam satu surat.13
Keempat, mamahami rahasia tabir yang terdapat dalam Al Qur‟an. memahami tabir Al
Qur‟an mamupaka cara untuk mengetahui dengan mengungkap suatu keindahan yang terkandung
dalam Al Qur‟an yang merupakan keindahan tata bahasa, pemilihan kata, dengan beberapa
penakwilan yang terdapat dalam beberapa buku tafsir. Tanpa mengesampingkan posisi gramatikal
bahasa arab dan kajian balaghahnya. Dapat disimpulkan dalam tafsir Binthu Syathi‟ atau corak

13
Dedy Wahyudi, Hartoyo, dan Lilik Noor Yuliati, „Analisis Kepuasan Dan Loyalitas Pelaku Usaha Terhadap
Mutu Pengujian Alat Dan Mesin Pertanian‟, Widyariset, vol.18, No. 2, (2015), 208.
moderen yang menganut mazhab aliran tematik umum, pengkajiannya tentang pembahasan sastra
yang dikususkan yang terdapat dalam satu surah.
b. Metode linguistik Arab (nukat al-balaghah al-arabiyah).
Gaya bahasa (Asalib al-isti‟mal) selain binhtu syaithi‟ tokoh kedua muncul almarsa dekat kota
tuisinia yang bernama Muhammad al-Syazili bin „Abd Qadir bin Muhammad bin asyur termasuk
orang yang pertama yang menafsirkan Al Qur‟an secara sempurna di tunis, karya kitab tafsir yang
merupakan kitab beliau adalah kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Beliau yang merupaka ulam
besar dan juga merupakan seorang mufassir yang memiliki keahlian dalam bidang, bahasa, sastra,
14
dan nahwu. Beliau dalam tafsir lebih menitik beratkan pada kajian linguistik atau arab balaghah
dan gaya ketata bahasaan untuk mengungkap poin-poin dan kemukjizatan Al Qur‟an yang belum
pernah terugkap dalam kitab tafsir lainnya.
Disamping itu beliau juga menjelaskan keselarasan antara ayat satu dengan yang lainya,
beliau juga menggunakan metode yang sistematis dimana sebuah trend yang baik seperti yang
dilakukan oleh seorang mufasir yaitu fakruddin al-razi, dan dengan yang sama pula seperti yang
dilakukan oleh seorang mufassir yang telah disebutkan di atas. Namun kedua dari mufassir tersebut
dalam menafsirkan ayat banyak yang kurang memberikan penjelasan sehingga memaksa pembaca
untuk lebih memperdalam lagi agar dapat menangkap isi dari buku tersebut. Selain itu, ibnu asyur
dalam menafsirkan Al Qur‟annya beliau tidak pernah meninggalkan sebuah surah tanpa
menjelaskan semua maksud yang terkandung dalam alqur‟an, beliaupun lebuh menitikberatkan
pada penjelasan makna dari mufradat atau kosa kata dalam bahasa arab dengan cara membatasi dan
meneliti ulang dari apa yang telah dilakukan mufassir lain dari kamus-kamus bahasa. Telah
dijelaskan diatas bahwasannya kedua dari mufasir tersebut masih banyak memiliki kekurangan
dalam menafsirkan ayat Al Qur‟an.15
c. Metode gerakan ganda
Tokoh yang mengenalkan dirinya sebagai pemikir islam pada masa saat ini atau pada masa
kontemporer pada abad ke 20 yang mungkin tidak akan asing lagi yang dikenal nama Fazlur
Rahman memiliki ide yang lebih menitik beratkan pada Al Qur‟an dan keinginannya dalam untuk
inginnya memahami Al Qur‟an secara komprehensif. Metodologi yang digagas oleh beliau selalu
berkenaan dengan interaksi teks yang menarik menurut beliau, metodologi tersebut bukanlah ilmu
tafsir dalam pengertian konvensional seperti yang lainnya. 16 Fathul Rohman selalu memperhatikan
dalam bidang penafsiran Al Qur‟a nuntuk merumuskan tentang suatu metodologi „‟pembacaan Al
Qur‟an. metodologi tersebut melalui proses yang cukup panjang. Metodologi tersebut terlihat dari
14
fathurrosyid, „Ratu Balqis Dalam Narasi Semiotika Al Qur‟an‟, Palastren, vol, 6 No. 2.
15
muhammad iqbal, „Metode Penafsiran Al-Qur‟an M. Quraish Shihab‟, Muhammad Iqbal, vol 6, No 2010
(2010).
16
Ahmad Syukri, „Metodologi Tafsir Al Qur‟an Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman‟,
Kontekstualita, vol, 20 No, 1.
perkembangan pembuktiannya terhadap berbagai poin-poin metodologis. Pada awal hanya tertuju
tentang perlunya memahami sejarah awal islam utuk mengetahui yang menyelimuti pandangan
umat islam terhadap kesejatiannya tentang alqur‟an. kemudian beliau memperluaskan dengan
menjadikan perlunya umat islam membuat pembedaan antara aspek legal Al Qur‟andengan aspek
ideal moralnya. Belakangan terakhir beliau pun semakin yakin dengan dirinya akan adanya
kelemahan dalam metode penafsiran, perhatian awal yang dipadukan dengan pembedaan kedua
aspek tersebut dikukuhkan dengan teori „‟gerakan ganda‟‟. Teori inilah yang mengawali fazlur
Rahman untuk menginspirasi tentang sebuah metode yang interprestasi dalam penafsiran.17
Metodologi tafsir Al Qur‟anbeliau dinisbatkan sebagai tafsir yang sangat lazim digunakan
oleh para mufassir. Sebelumnya beliau hanya memakai istilah penafsiran, beliau tidak pernah
mengatakan tentang jenis hermeneutiknya yang di anut. Menurut beliau bahwa sebuah metodologi
yang cermat untuk memahami dan menafsirkan Al Qur‟an harus mengikuti langkah-langkah berikut
ini:
1. Melalui pendekatan cerita.
Yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna dalam teks alqur‟an.
langkah yang harus dilakukan untuk itu harus melihat kembali bagaiman sejarah yang telah melatar
belakangi turunnya ayat Al Qur‟an tersebut. Karena ilmu asbab ann nuzul Al Qur‟an merupak
sejarah tentang bagaimana turunnya tiap-tiap ayat yang terkandung dalam Al Qur‟an. Dengan
mengetahui asbab annuzul kita dapat mengetahui atas dasar apa dan ula diturunkannya Al Qur‟an,
akan tetapi semua tentang pertanyaan tersebut akan terjawab melalui pemahaman sejarah tersebut.
Al Qur‟an bersifat universal dimana hanya terkadang universalitasnya sering tidak terlihat oleh akal
ketika dalam aspek cerita diabaikan. Al Qur‟an tidak hanya berlaku dan cocok untuk masyarakat
ketika ayat tersebut diturunkan. Hendaknya pendekatan ceritannya tersebut bersamaan dengan
pendekatan yang sosiologis, khususnya pada kondisi sosial yang terjadi pada masa Al
Qur‟anditurunkan.
2. Membedakan ketetapan legal spesifik Al Qur’an.
Dengan sasaran-sasaran dan tujuan yang menyebabkan terciptannya hukum-hukum tentang
moral. Langkah dan prosedur dimana kedua setelah penekanan pada pendekatan cerita dan
pentingnya membedakan antara yang legal spesifik dengan ideal moral alqur‟an. langkah kedua ini
menjadikan konsekuensi dari langkah yang pertama . teori ganda yang dinisbatkan oleh sebagian
orang yang sebagai hermeneuitik fazlur rahman. Dimana hermeneutik tersebut adalah ilmu dan teori
dimana tentang penafsiran yang menjelaskan dari teks mulai dari ciri-cirinya baik objektif dari arti

17
Bawaihi, „Fazlur Rahman Dan Pembaharuan Metodologi Tafsir Alquran‟, Media Akademika, Vol. 28, No. 1,
139.
gramatikal kata-kata dan variasi dalam cerita yang terdapat dalam penafsiran Al Qur‟an tersebut.18
Teori tersebut menjadi andalan beliau dalam membangun metodologi-metodologi penafsiran yang
baru. Tetapi pada terori ini dibatasi hanya untuk konteks ayat-ayat tertentu sperti ayat yang
membahas tentang hukum dan sosial, teori ini tidak ditunjukan pada ayat yang berkaitan dengan
hal-hal yang teologis.
Yang dimaksud dengan ideal moral dalam Al Qur‟an adalah tujuan dasar dari moral yang
dipesankan Al Qur‟an dimana Al Qur‟an menjelaskan tentang pesan moral yang harus di jalankan
oleh umat manusia, dan melalui penafsiran tersebut kita dapat mengerti akan pesan yang
menjelaskan tentang moral tersebut. sedangkan legalnya adalah ketentuan hukum yang ditetapkan
secara kusus. Idea tersebut lebih pantas diterapkan dari pada ketentuan yang legal. Sebab idealnya
moral itu bersifat universal. Mufassir fazlur rahman berharap agar hukum-hukum yang kan
dibentuk agar dapat mengabdi pada idealnya moral, bukan pada legalnya spesifikasinya.
Pembedaan antara legal dengan spesifik dari moralnya mengandaikan dalam dua arah yang saling
bertemu yaitu‟‟dari situasi pada saat ini ke masa dimana Al Qur‟an diturunkan. Dan kembali pada
masa saat ini. Adapun gerakan yang kedua, merupakan proses yang berangkat dari pandangan
umum ke pandangan yang lebih spesifik yang harus diformulasikan pada masa saat ini.
a. Metode ta’wil ‘ilmi
Tafsir Al Qur‟an moderen yang menggunakan dua paradigma dalam sumber pengetahuan
yang digunakannya dan juga dapat dikategorikan dalam aliran yang rasionalisme. Metode ta‟wil ini
merupakan sarana untuk memahami Al Qur‟an yang sesuai dengan tuntunan yang ada pada saat ini
atau yang sesuai dengan perkembangan di era yang moderen ini. Tidak seperti para teologi kristen
yang liberal yang menjadikannya sebagian ajaran-ajaran yang mendorong penolakan terhadap
inspirasi. Karena meskipun ada perbedaan dalam metode tersebut yang digunakan, pada dasarnya
mereka lebih menggunakan asumsi yang sama yang terdapat dalam alqur‟an.19
Abduh dan Rida sejalan dalam menilai islam serta meyakini kewahyuan Al Qur‟an yang
secara eksternal. Ada perbedaan dalam penilaian dikalangan para peneliti tafsir moderen terhadap
metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan Al Qur‟an. tetapi pada umumnya ada pengakuan
bahwa mereka menggunakan akal dan teori atau penemua-penemuan ilmu pengetahuan moderen
dalam penafsiran ahli tafsir tersebut. Dimana dijelaskan dalam metode ini, dua orang mufasir
tersebut dalam menafsirkan Al Qur‟an sangat diakui dengan menggunakan akal dalam menemukan
penemuan-penemuan ilmu pengetahuan pada saat moderen ini. Penilaian tersebut diantaranya yang
dikemukakan oleh az-Zahaby yang menyatakan bahwa Abduh dengan metodenya telah melahirkan

18
Yuhanar Ilyas, „Hermeneutik Dan Studi Tentang Tafsir Klasik: Sebuah Pemetaan Teoritik‟, Tarjih, 2003, 42.
19
Hamim Ilyas, „Heurmatika Al Qur‟an Studi Tafsir Moderen‟, Tarjih, 2003.
suatu aliran yang mana corak baru dalam penafsiran Al Qur‟an dalam sejarah penafsiran ayat Al
Qur‟an tersebut.20
Aliran yang baru diciptakannya tersebut menurut para ulama, pernah menjadi pembahasab
mentri perwakafan di Mesir yaitu aladabi al-ma‟i yang diberinya pengertian tersebut adalah sebagai
seorang pengkaji Al Qur‟an dengan pertama harus selalu berusaha untuk menujukan kecermatan
ungkapan bahasannya; kemudian di teruskan dengan merajut makna yang dimaksudkannya dengan
cara menarik dan mengusahakan eksplorasi dalam penerapan nash kitab suci yang sesuai dengan
kenyataan yang berlaku dalam hukum-hukum dalam kehidupan masyarakat dan untuk membangun
peradaban. Dimana secara normatif az-Zahaby menilai bahwa aliran yang pelopori oleh abduh
selain memiliki kebaikan-kebaikan juga memiliki cacat. Kebaikan yang terdapat dalam pendapat
abduh adalah tidak terpengaruhnya oleh mazhab yang lain, selalu bersikap kritis terhadap riwayat
israiliyat, tidak tertipu dengan hadis yang da‟if dan maudhu‟, serta menjauhkan tafsir tesebut dari
istilah-istilah teknis kekeliruan (bahasa arab). Kemudian bilaupun menyebutkan kebaikan yang lain
juga seperti metode yang digunakannya. Melalui metode tersebut aliran abduh berusaha untuk
mengungkapkan keindahan bahasa dan kemukjizatan yang terdapat dalam alqur‟an; menjelaskan
makna dan maksud-maksudnya, serta menujukan hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan
umat manusia yang lainnya.21
8. Penafsiran Al Qur’ansetelah abad ke 20
Telah dijelaskan bahwa pada karya pertama tafsir par ulama nusantara adalah tarjuman
alqur‟an, yaitu dimana tarjuman Al Qur‟anini selama tiga abad, setelah abad ketiga lalu munculah
kajian-kajian tafsir sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, awal munculnya tarjuman Al
Qur‟ansudah banyak berperan pada kajian-kajian Al Qur‟anpada abad-abad yang berikutnya.22Oleh
karena itu jika seorang ahli tafsir meneliti bagaiman kajian sejarah dari Al Qur‟andan tafsirnya di
indonesia tanpa melibatkan tarjuman mustafid karya dari Abdur Rauf Singkili ini, maka penelitian
ini akan di ibaratkan seperti peneletian yang tercabut dari akar sejarahnya. Federspiel merupakan
salah satu dari pakar sejarah yang meneliti Al Qur‟andan tafsirnya di indonesia dengan memulai
kajiannya dari Mahmud yunus, sampai M Quraish sihab, tanpa memberikan penjelasan yang
realistis.23
D. Problem naskah
Dalam penelitian ini kami menemukan problem Dalam penafsiran yaitu, penafsiran sahabat
sangat jarang ditemukan secara utuh dalam suatu pembukuan khusus. Salah satu faktor yang

20
Ani Umi Maslahah, „Al Qur‟an, Tafsir, Ta‟wil Dalam Persefektif Sayyid Abu Al-A‟la Al-Madududi‟,
Hermeneutik, 9,No 1, 32.
21
izzatul Laila, „Penafsiran Al Qur‟an Berbasis Itu Pengetahuan‟, Epistemé, vol 9, No 1.
22
Dwi Ulya Mailasari, „Pengaruh Ideologi Dalam Penafsiran‟, Hermeneutik, vol 7, No 1 (2003).
23
Ahmad Atabik, „Perkembangan Tafsir Di Indonesia‟, Hermeunetik, 8, No 2 (2014), 306.
menyebabkan hal itu adalah karena pembukuan tafsir baru dilakukan pada abad kedua hijriah.
Selain itu, tidak semua sahabat terutama khulafaur alrasyidin mempunyai suatu karya tafsir yang
menjadi sebuah pedoman. Hal ini disebabkan karena pada saat itu kondisi tidak memungkinkan
untuk menulis karya sebuah tafsir, sebab Nabi pada saat itu pun masih hidup sementara ketika ada
pertanyaan yang muncul langsung bisa ditanyakan kepada Nabi Muhammad.
Kemudian pertama kali diawali pada masa Rasulullah Saw, karena pada masa itu para sahabat
sering kali ada beberapa perbedaan dan pemahaman dalam sebuah ayat. Lalu para sahabat
menanyakan langsung kepada Rasul. Sebelum terjadi penafsiran yang ditafsirkan oleh sahabat, Nabi
adalah orang yang pertama kali menafsirkan alqur‟an. pada saat itu para ulama telah sepakat bahwa
Nabi adalah seorang mufassir awal alqur‟an, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang apakah
keseluruhan ayat dijelaskan semuanya atau sebagian saja, sesuai kebutuhan sahabat pada saat itu.
E. Solusi
Solusi dalam penelitian ini, dimana pembahasan penafsiran Al Qur‟andan hadis pada masa
klasik, moderen dan kontemporer terletak pada masa dimana Sejarah metodologi tafsir ini pertama
kali diawali pada masa Rasulullah Saw, karena pada masa itu para sahabat sering kali terjadi
perbedaan dan pemahaman dalam sebuah ayat, dimana ayat tersebut mengandung makna yang
berbeda dari tiap sahabat yang menafsirkannya. Tafsir dengan qaul atau perkataan sahabat bila
ditinjau dari sejarahnya termasuk dalam kategori metode tafsir klasik. Sebelum terjadi penafsiran
yang ditafsirkan oleh sahabat, Nabi adalah orang yang pertama kali menafsirkan alqur‟an. pada saat
itu para ulama telah sepakat bahwa Nabi adalah seorang mufassir awal alqur‟an, tetapi para ulama
berbeda pendapat tentang apakah keseluruhan ayat dijelaskan semuanya atau sebagian saja, sesuai
kebutuhan sahabat pada saat itu.
Dengan demikian, Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa rasul telah
menafsirkan Al Qur‟an kepada para sahabatnya seluruh lafadz dan makna yang ada di dalam Al
Qur‟an. Dan dari garis besar ada beberpa sumber hukum yang di jadikan rujukan oleh para sahabat
dalam menafsirkan Al Qur‟an diantaranya.Al Qur‟an sendiri, karena menurut para sahabat satu hal
yang di jelaskan secara global itu dapat di jelaskan kembali secara terperinci pada ayat-ayat yang
lain. Rasulullah Saw, karena semasih hidupnya para sahabat dapat bertanya secara langsung kepada
beliau, tentang suatu ayat yang mereka perselisihkan tentang pemahan tersebut. Ijtihad dan
pemahaman para sahabat sendiri, karena para sahabat tersebut merupakan orang-orang yang ahli
dalam bahasa arab,dan termasuk orang arab asli yang pahan akan aspek kebahasaanya tersebut.24
Salah satu Tafsir para sahabat ini menurut para ulama memiliki nilai tersendiri karena di
sandarkan kepada Rasulullah Saw terutama pada aspek asbab annuzul. Definisi ini memberi

24
Dedi Wahyudi dan Habibatul Azizah, „Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning
Revolution‟, Attarbiyah, Volume 26, (2016), 5.
gambaran bahwa metode tafsir Al Qur‟an berisi separangkat kaidah –kaidah dan aturan yang harus
diindahkan ketika menafsirkan Al Qur‟an. Apabila seseorang menafsirkan Al Qur‟an tanpa
menerapkan metode, tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Ilmu tentang metode penafsiran Al
Qur‟an disebut dengan metodologi tafsir, sedangkan pembahasan yang bersifat ilmiah tentang
metode disebut dengan analisis metodologis. Beliau melakukan penafsiran Al Qur‟an dengan cara
memahami dan menjelaskannya kepada para sahabat yang hingga akhirnya turun dari generasi ke
25
generasi berikutnya. Dalam hal penyampaian penjelasan tafsir kepada sahabat, dalam hal ini
pendapat Ibnu Khaldun mengatakan: “Rasulullah menjelaskan makna Al Qur‟an secara umum,
membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh, lalu kemudian memberitahukan kepada
sahabat sehingga mereka mengetahui sebab musabab turunnya ayat-ayat Al Qur‟andan situasi yang
mendukungnya”. Namun fakta menunjukan tidak semua penafsiran dari Nabi tentang ayat-ayat Al
Qur‟an diketahui secara keseluruhan. Mungkin karena pada saat itu penulisan hadits yang jauh
setelah Nabi meninggal dunia atau karena memang Nabi sendiri tidak menjelaskan Al Qur‟an
secara keseluruhan sehingga dalam hal ini merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk
menjelaskannya.
Kemudian solusi metode tafsir yang digunakan dari masa klasik,hingga moderen-kontemporer
adalah : Dengan menggunakan Metode ijmali (global)Pada masa Nabi Saw dan para sahabatnya
menafsirkan Al Qur‟an secara ijmali (global) karena dalam tafsiran mereka tidak memberikan
rincian yang memadai sehingga sukar menemukan uraian yang detail.Metode tahlili (analisis)
Metode tahlili ini adalah metode yang paling tua dan paling sering di gunakan untuk menafsirkan
Al Qur‟anpada masa moderen-kontemporer. Metode muqarin(perbandingan). Metode ini
menafsirkan Al Qur‟andengan cara membandingkan antara ayat yang satu dengan ayat yang
lainnya, yaitu ayat yang memiliki kemiripan pada hal redaksi, pada dua kasus yang berbeda.
F. Simpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Sejarah metodologi tafsir ini pertama kali
diawali pada masa Rasulullah Saw, karena pada masa itu para sahabat sering kali terdapat beberapa
perbedaan dan pemahaman dalam sebuah ayat. Lalu para sahabat menanyakan langsung kepada
Rasul. Tujuan dalam mempelajari ilmu tafsir adalah untuk mengetahui maksud dari kandungan
ayat-ayat Allah yang digunakan untuk pedoman umat islam baik tentang hukum, keyakinan, dan
ajaran-ajaran yang dianjurkan oleh syariat islam dan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan.
Dalam mempelajari tafsir kita sering mendengar kata metodologi tafsir, metotodologi tafsir berasal
dari kata methodos yang berasal dari bahasa yunani yang berarti cara atau jalan, dan logos yang
berarti kata atau pembicaraan. Lalu metode bararti suatu cara atau jalan yang di tempuh untuk

25
Dedi Wahyudi, „Pengembangan Multimedia Interaktif Pendidikan Ahlak Dengan Program Prezi‟.
mencapai suatu tujuan. Jika kita ingin mengetahui isi dari makna kandungan Al Qur‟an kita harus
menempuh jalannya yaitu dengan menafsirkannya.
Qaul sahabat adalah perkataan yang disampaikan oleh para sahabat, yang dimaksud dengan
sahabat adalah orang yang menemui Nabi dan mengimani Nabi sebagai rasul atau utusan Allah.
Tafsir dengan qaul atau perkataan sahabat bila ditinjau dari sejarahnya termasuk dalam kategori
metode tafsir klasik. Definisi ini memberi gambaran bahwa metode tafsir Al Qur‟an berisi
separangkat kaidah–kaidah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan Al Qur‟an.
Apabila seseorang menafsirkan Al Qur‟an tanpa menerapkan metode, tidak mustahil penafsirannya
akan keliru. Ilmu tentang metode penafsiran Al Qur‟an disebut dengan metodologi tafsir, sedangkan
pembahasan yang bersifat ilmiah tentang metode disebut dengan analisis metodologis.
Seiring dengan perkembangan zaman telah banyak penafsiran ayat-ayat Al Qur‟anyang terus
berkembang dan pada saat ini banyak perbedaan pemahaman antara umat islam yang mungkin tidak
dapat dihindarkan.Namun dengan demikian sebagian berpendapat bahwa kontemporer indentik
dengan moderen dan keduanya digunakan secara bergantian, pada kamus besar bahasa indonesia di
jelaskan bahwa moderen memilki arti terbaru, mukhtahir atau sikap yang sesuia dengan tuntunan
perkembangan zaman saat ini. Sedangkan istilah kontemporer berujuk pada waktu yang sama atau
pada masa saat ini.
Jika ditelusuri perkembangannya tafsir Al Qur‟ansejak dulu hingga saat ini, maka akan
diketemukan tafsir bahwa secara garis besar penafsiran Al Qur‟an ada pada empat cara metode
yaitu: ijmali (global), tahlili (analisis), muqarin (perbandingan), dan maudhu‟i (tematik). Dari
keempat metode ini, menurut pengamatan dari Quraishihab yang paling populer pada saat ini adalah
metode tahlili, tematik, Metode linguistik Arab,dan Metode gerakan ganda. Pada metode ini ada
tokoh yang mengenalkan dirinya sebagai pemikir islam pada masa saat ini atau pada masa
kontemporer pada abad ke 20.

G. Referensi

Adrika Fithrotul Aini, „Ayat-Ayat Al-Qur‟an Dalam Bingkai Media: Studi Atas Penafsiran Ayat-
Ayat Al-Qur‟an Dalam Koran Harian Bangsa‟, Jurnal Farabi
Http://Journal.iaingorontalo.ac.id/Index.php/Fa, 12, No 1 (2015), 6

Aftonur Rosyad, „Qawaid Tafsir: Telaah Atas Penafsiran Al Qur‟an Menggunakan Qaul SahabatL‟,
Ulul Albab, 16 No 2 (2015)

Ah. Fawaid, „Paradigma Sufistik Tafsir Al-Qur‟an‟, Suhuf, 8, No. 1 (2015), 104
Ahmad Atabik, „Perkembangan Tafsir Di Indonesia‟, Hermeunetik, 8, No 2 (2014), 306

Ahmad Soleh Sakni*, „Model Pendekatan Tafsir Dalam Kalam Kajian Islam‟, Model Pendekatan
Tafsir, No 2 (2013)

Ahmad Syukri, „Metodologi Tafsir Al Qur‟an Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman‟,
Kontekstualita, vol, 20 No, 1

Ali Aljufri, „Metodologi Tafsir Moderen Kontemporer‟, Rausyan Fikr, 10,No 2 (2014), 133

Ani Umi Maslahah, „Al Qur‟an, Tafsir, Ta‟wil Dalam Persefektif Sayyid Abu Al-A‟la Al-
Madududi‟, Hermeneutik, 9,No 1, 32

Bawaihi, „Fazlur Rahman Dan Pembaharuan Metodologi Tafsir Alquran‟, Media Akademika, Vol.
28, No. 1, 139

Dedi Wahyudi, „Pengembangan Multimedia Interaktif Pendidikan Ahlak Dengan Program Prezi‟

Dedi Wahyudi dan Habibatul Azizah, „Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep
Learning Revolution‟, Attarbiyah, Volume 26, (2016), 5

Dedi Wahyudi dan Rahayu AS, „Islam Dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Di Dunia
Dinamika Islam Di Dunia Barat)‟, Fikri, vol.1, No.2, (2016), 271

Dedy Wahyudi, Hartoyo, dan Lilik Noor Yuliati, „Analisis Kepuasan Dan Loyalitas Pelaku Usaha
Terhadap Mutu Pengujian Alat Dan Mesin Pertanian‟, Widyariset, vol.18, No. 2, (2015),
208

Dwi Ulya Mailasari, „Pengaruh Ideologi Dalam Penafsiran‟, Hermeneutik, vol 7, No 1 (2003)

fathurrosyid, „Ratu Balqis Dalam Narasi Semiotika Al Qur‟an‟, Palastren, vol, 6 No. 2

Hamim Ilyas, „Heurmatika Al Qur‟an Studi Tafsir Moderen‟, Tarjih, 2003

iskandar, „Penafsiran Sufistik Surat Al-Fatihah Dalam Tafsir Tāj Al-Muslimîn Dan Tafsir Al-Iklîl
Karya KH Misbah Musthofa‟, Fenomena, vol 7, No 2 (2015)

izzatul Laila, „Penafsiran Al Qur‟an Berbasis Itu Pengetahuan‟, Epistemé, vol 9, No 1

muhammad iqbal, „Metode Penafsiran Al-Qur‟an M. Quraish Shihab‟, Muhammad Iqbal, vol 6, No
2010 (2010)
Muhsin Alhaddar, „Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran Al Qur‟an “Kasus-Kasus Penafsiran
Sahabat Dan Aliran Teologi Islam”‟, Rausyan Fikr, 10, No 2 (2014), 220

mustaqimah, „Urgensi Tafsir Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur‟an‟, Jurnal Farabi, vol 12, No
1 (2015)

shofaussamawati, „Ikhlas Perspektif Al-Qur‟an : K Ajian Tafsir Maudhu‟i‟, Hermeneutik, vol,7, No


2 (2013)

Subaidi, „Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikannya Dalam Penafsiran Al Qur‟an‟,


Hermeunetik, 8 No,1 (2014), 57

Yuhanar Ilyas, „Hermeneutik Dan Studi Tentang Tafsir Klasik: Sebuah Pemetaan Teoritik‟, Tarjih,
2003, 42

Anda mungkin juga menyukai