Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN S1


STASE PERAWATAN ANAK

HIPERPIREKSIA

Disusun oleh :
Nada Kamilia
16.156.01.11.108

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MEDISTRA INDONESIA
PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN
2020

Jl. Cut Mutia Raya No. 88A Sepanjang Jaya – Bekasi


Telp. (021) 82431375, 82431376, 82431377. Fax. (021) 82431374
www.stikesmedistra-indonesia.ac.id
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-
Nya. Hanya dengan karunia-Nya penulisan makalah ini yang berjudul Laporan Pendahuluan
Hiperpireksia dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Ada beberapa kendala yang menghambat
terselesainya makalah ini diantaranya keterbatasan pengetahuan serta sumber yang penulis
miliki.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Semoga tugas makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Bekasi, 07 Febuari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam (pireksi) yaitu peninggian suhu tubuh di atas 38,3o C, sejak dahulu sudah dikenal
sebagai tanda penyakit. Penderita atau orang tua biasanya menyamakan tingginya demam dengan
beratnya penyakit. 30 – 35,8% alasan kunjungan ke dokter ialah demam. Walaupun sebagian
penderita dapat menahan suhu tubuh antara 39,4oC – 40oC, demam dapat menimbulkan efek
yang merusak. Pada 3% anak yang berumur kurang daripada 5 tahun terdapat kejang demam,
yang merupakan separuh daripada seluruh kejang pada kelompok umur ini. Orang tua biasanya
cemas bila anaknya demam karena beranggapan bahwa tingginya suhu sejajar dengan gawatnya
penyakit yang diderita dan berusaha meminta pertolongan untuk pengobatan demamnya.

Keadaan demam yang lebih berat, yaitu hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih daripada
41,1oC atau 106oF, terdapat pada 0,476/ 1000 kasus demam. Kenaikan suhu di atas 41,1oC
sebenarnya jarang terjadi, oleh karena adanya set point pengatur suhu yang diatur oleh
hipotalamus di otak. Kenaikan suhu di atas 41,1oC ini umumnya masih dapat ditoleransi oleh
anak, kecuali anak yang memang peka terhadap timbulnya kejang. Dalam keadaan kejang,
hiperpireksia menyebabkan kebutuhan untuk metabolisme yang lebih tinggi dan memperburuk
keadaan.

Dari penderita yang datang ke ruang darurat terdapat 0,048% yang menderita
hiperpireksia, sedang dari 1761 penderita dengan infeksi berat, misalnya tifus abdominalis dan
pneumonia lobaris ternyata 5% di antaranya menderita hiperpireksia. Beberapa ilmuwan
berpendapat bahwa meningkatnya suhu disertai dengan meningkatnya kasus bakterimia. Hal ini
dibuktikan bahwa pada kasus dengan hiperpireksia terdapat 26% bakterimia (kultur positif
dibanding dengan hanya 13% penderita dengan demam di bawah 40oC.

Baik hipertermia dan hipotermia dapat menyebabkan MOD (Multiorgan system


Dysfunction). Terapi untuk hipertermia meliputi mencari agen penyebab dan mendiagnosa serta
penanganan penyakit yang mendasari dengan perawatan keseluruhan secara simultan. Pasien
dengan hipertermia dapat mengalami myoglobinuria dan gagal ginjal.
Hiperpireksi meningkatkan metabolisme tubuh dan kerja system kardiopulmoner dan
menyebabkan kerusakan jaringan sehingga harus ditanggulangi sebagai kasus emergensi.
Malignant hyperthermia pada anestesi dapat menyebabkan kematian pada 60 – 80% kasus.

Angka kematian penderita hiperpireksia cukup tinggi tetapi lebih daripada separuhnya
bukan disebabkan oleh tingginya suhu, melainkan disebabkan oleh penyebab hiperpireksia. Pada
percobaan penggunaan hipertermia sebagai pengobatan penderita keganasan yang lanjut,
meninggikan suhu tubuh sampai 42oC, tidak menyebabkan terjadinya disfungsi otak. Kenaikan
suhu di atas 41oC pada anak disertai frekuensi yang tinggi daripada infeksi berat atau bakterimia,
misalnya meningitis purulen, pneumonia lobaris, tifus abdominalis dan lain-lain.

Penyelidikan tentang demam telah banyak dilakukan, sungguhpun begitu belum dapat
ditentukan peranan demam terhadap penyakit. Buku teks pediatric yang terpenting hampir tidak
membicarakan sama sekali gejala demam dan pengobatannya. Selain merupakan alat diagnostic
yang penting, demam mungkin merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat dipakai pada
pengobatan.

Pengobatan hiperpireksi tidak selalu menyenangkan, efektif dan berguna, malahan


mungkin berbahaya. Pengobatan yang rasionil memerlukan pengertian yang baik tentang
mekanisme pengaturan suhu tubuh, patogenesis dan patofisiologi demam serta pengetahuan
tentang mekanisme pengobatan yang dapat menurunkan suhu tubuh. Pengobatan yang ditujukan
terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tentu saja tetap merupakan hal yang utama. 1

B. Tujuan Penulisan

Mengetahui tentang definisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, penatalaksanaan dan


prognosis hiperpireksia.
BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI

Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang itu sehat atau
sakit. Demam adalah kenaikan suhu badan di atas 38oC. Hiperpireksia adalah suatu keadaan
dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal).
Hiperpireksia adalah kenaikan suhu tubuh diatas 410 C (rectal). Merupakan keadaan
gawat darurat medik dengan angka kematian yang tinggi terutama pada bayi sangat muda, usia
lanjut dan penderita-penderita penyakit jantung.

ETIOLOGI

Sekitar 29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen,
6-8% dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan penyakit
lain. Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat pengatur suhu
32%, kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus disebabkan oleh Juvenille
Rheumatoid Arthritis, infeksi virus dan reaksi obat. Dari 28 penderita hiperpireksia terdapat 11
penderita (39%) disebabkan oleh infeksi diantaranya 7 penderita disebabkan olehkuman gram
negatif yang mengenai traktus urinaria 4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita
pada paru. Sedang 9 penderita (32%) disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan kerusakan
pusat pengatur suhu. Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat pengatur
suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya.

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Pusat termoregulator hipotalamus merupakan sekelompok sarafpada area preoptik dan
hipotalamus posterior yang berfungsi sebagai termostat. Termostat hipothalamus memiliki
semacam titik kontrol yang disesuaikan untuk mempertahankan suhu tubuh :
 Termoreseptor perifer, terletak di dalam kulit, mendeteksi perubahan suhu kulit dan membran
mukosa tertentu serta mentransmisi informasi tersebut ke hipothalamus.
 Termoreseptor sentral, terletak di antara hipothalamus anterior, medula spinalis, organ
abdomen dan struktur internal lainnya, juga mendeteksi perubahan suhu darah.
Sangat sukar untuk menetapkan secara tepat suhu bagian mana dari tubuh yang
disebut sebagai suhu tubuh. Ada 3 cara untuk menentukan :
 Suhu inti untuk menggambarkan suhu organ-organ dalam.
 Suhu perifer mencerminka suhu kulit dan jaringan subkutan.
 Suhu tubuh rata-rata dapat di hitung secara kasar dengan rumus suhu rata-rata = 0.7 suhu inti
+ 0.3 suhu perifer

Pada manusia untuk mendapatkan gambaran suhu tubuh dilakukan pengukuran yang
dapat dipilih :
 Suhu ketiak. Pengukuran suhu ketiak dilakukan dengan cara meletakkan termometer di ketiak
selama minimal 5 menit, lengan atas di dekapkan erat-erat kebadan, jangan lupa ketiak harus
dikeringkan terlebih dahulu. Suhu ketiak biasanya 0.2°-0.4°C lebih rendah dari suhu mulut
dan 0.5°-1°C dibawah suhu rektum.
 Suhu mulut. Pengukuran suhu mulut dilakukan dengan cara meletakkan termometer dibawah
lidah dengan mulut tertutup. Makanan, minuman, atau merokok mempengaruhi suhu mulut,
sehingga dapat mengecoh hasil pengukuran suhu tubuh. Suhu mulut biasanya 0.3-0.5C di
bawah suhu rektum
 Suhu rektum. Pengukuran suhu rektum dilakukan dengan cara memasukkan termometer
sedalam 5-6 cm, sehingga diukur benar-benar suhu didalam rektum. Suhu rektum lebih dapat
dipercaya sebagai ukuran suhu tubuh dibandingkan suhu ketiak dan suhu mulut.
Pada keadaan tertentu misalnya demam, termostat akan diubah ke nilai yang tinggi
misalnya 39C. Suhu tubuh yang semula normal akan menyesuaikan dengan keadaan baru ini.
Tubuh berusaha agar suhu sesuai dengan nilai termostat. Dalam hal ini akan terjadi
vasokontriksi pembuluh darah kulit, sekresi epinefrin meningkat dan menggigil atau
peningkatan pembentukan panas yang disebut fase rasa dingin pada keadaan demam.

Faktor yang mempengaruhi suhu tubuh :


 Variasi diluar
Kegiatan tubuh sepanjang hari dapat bervariasi. Penggunaan energi dalam metabolisme
selalu timbul panas. Biasanya pada siang hari suhu tubuh lebih tinggi dari malam hari.
 Umur
Pada bayi yang baru lahir suhu tubuh masih belum mantap. Dalam masa ini suhu tubuh
masih belum mantap.
 Jenis kelamin
Sesuai dengan kegiatan metabolisme, suhu tubuh pria lebih tinggi dari wanita. Selain itu
wanita juga dipengaruhi oleh siklus menstruasi.
 Gizi
Pada keadaan kurang gizi atau puasa, suhu tubuh lebih rendah.
 Kerja jasmani
Sesudah kerja jasmani suhu tubuh akan naik sampai 41C.
 Lingkungan
Suhu lingkungan yang tinggi akan meningkatkan suhu tubuh yang terdapat dalam tubuh,
serta akibatknya pada laju metabolisme (Irianto, 2014)

B. MANIFESTASI KLINIS

Bila suhu badan meningkat terus dan pada pengukuran suhu rektal mencapai 41,1oC atau
lebih terjadilah apa yang dinamakan hiperpireksia dan manifestasi klinis akan bertambah dan
bergantung pada keadaan.Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya
dapat ditanggulangi segera, yaitu:

a. Gejala serebral seperti disorientasi, delirium, ataksia, fotofobi, kejang, koma


b. Kulit : merah, kering, panas
c. Tekanan darah : mula-mula naik , normal dan kemudian turun
d. Jantung : takikardia dan aritmia
e. Pernafasan : tak teratur
f. Oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (Shock)
g. Ekimosis, petekie, perdarahan

Hiperpireksi menyebabkan perubahan metabolisme, termasuk di dalamnya


peningkatan konsumsi oksigen dan metabolisme jaringan. Setiap kenaikan suhu tubuh
1oC, basal metabolik rate meningkat 10 -14%, kebutuhan oksigen meningkat 20% dan
basal tidal volume meningkat 9%. Sebagai akibatnya sistem kardiovaskuler bekerja lebih
berat. Hiperpireksia secara langsung dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

C. PATOFISIOLOGI

Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat


mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang dimaksud
dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati, otak. Suhu rectal
merupakan penunjuk suhu yang baik.Suhu rectal diukur dengan meletakkan thermometer
sedalam 3 – 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum dibaca. Suhu mulut hampir sama
dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih rendah daripada suhu rectal. Pengukuran
suhu aural pada telinga bayi baru lahir lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu
tubuh manusia dalam keadaan istirahat berkisar antara 36oC – 37oC, yang dapat
dipertahankan karena tubuh mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan dan
pengeluaran panas.
Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di sekitarnya
yang panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas oleh tubuh
(termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan basal tubuh
membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat tubuh, seperti
hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot rangka berubah-ubah
sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme pengeluaran panas, dalam keadaan
basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang dalam aktivitas normal suhu tubuh akan
naik 2oC/ jam.
Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang
dikeluarkan paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas. Untuk
menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran panas melalui
kulit dapat dengan dua cara yaitu:
a. Konduksi – konveksi :pengeluaran panas melalui cara ini bergantung kepada
perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya.
b. Penguapan air :air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat. Dapat juga
melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis.

Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit.
Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls eferen.
Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena itu
hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah dan
ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima oleh reseptor di
hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang suhu dari bagian
luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui sistem aferen ke
hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat hipotalamus yang akan
mengatur set point hipotalamus untuk membentuk panas atau untuk mengeluarkan panas.

Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila terdapat kenaikan
suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga akan terjadi
vasodilatasi di kulit dan keringat akan dikeluarkan, selanjutnya panas lebih banyak dapat
dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus posterior merupakan pusat pengatur suhu tubuh
yang bekerja pada keadaan dimana terdapat penurunan suhu tubuh. Hipotalamus
posterior akan mengeluarkan impuls eferen sehingga pembentukan panas ditingkatkan
dengan meningkatnya metabolisme dan aktifitas otot rangka dengan menggigil
(shivering), serta pengeluaran panas akan dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit
dan pengurangan keringat.

PATHWAY
D. PENGOBATAN

Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu (1)
menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3) mencari
dan mengobati penyebab.
1. Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis
Dalam menurunkan suhu tubuh secara simptomatik ada 2 hal tindakan yang perlu
dipisahkan, yaitu: a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik dan b) menggunakan
obat-obat.
a. mengeluarkan panas tubuh secara fisik, ialah:
 Menempatkan penderita dalam ruangan yang dingin dengan aliran udara yang
baik, misalnya dengan kipas angin agar sirkulasi udara bertambah
 Membuka baju penderita
 Surface cooling yaitu kompres secara intensif pada seluruh bagian tubuh
dengan es, air es atau dengan selimut hipotermik
 Menggunakan alkohol untuk mendinginkan tubuh harus hati-hati karena gas
yang turut terisap dapat menyebabkan hipoglikemia dan koma.
 Memakai air es untuk membilas lambung atau enema atau infus sukar
dilakukan dan terdapat gejala sampingan yang tidak baik untuk penderita.
Cara mengeluarkan panas tubuh secara fisik ini dapat digunakan untuk golongan
demam yang disebabkan oleh set point hipotalamus yang meningkat, set point
hipotalamus yang normal dan pada kerusakan pusat pengatur suhu. Tetapi bila hanya cara
ini saja yang dipergunakan untuk set point hipotalamus yang meningkat, terjadi
perangsangan pembentukan panas lebih banyak lagi dan akan mempertinggi
metabolisme, suhu hanya sebentar saja turun dan timbul gejala menggigil. Oleh sebab itu
pada keadaan set point hipotalamus yang meningkat dibutuhkan tambahan obat yang
dapat menurunkan set point di hipotalamus.

Pengeluaran panas secara fisik dapat dilakukan dengan cara external cooling dan
internal cooling :

 External Colling (Surface Cooling)


Dilakukan dengan mengompres seluruh tubuh dengan air, air es atau dengan
memakai hypothermic matress, yaitu suatu alat berupa selimut yang suhunya
dapat diatur dengan mesin. Bila memakai es, jangan meletakkan es pada satu
tempat lebih lama dari satu menit.Pemakaian alkohol untuk mendinginkan
kulit, harus dilakukan dengan hati-hati, karena dapat menimbulkan koma,
hipoglikemi dan hipothermi karena inhalasi alkohol yang menguap, lebih-
lebih bila ruangan perawatan sempit dengan ventilasi tidak baik.
 Internal cooling
Dilakukan dengan membilas lambung dan rektum dengan larutan garam
fisiologik yang dingin. Dapat juga dengan memakai cairan infus yang
sedingin es. Internal cooling sukar melakukannya dan masih merupakan cara
yang kontroversal.
b. menggunakan obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai adalah antipretik yang tujuannya untuk menurunkan set point
hipotalamus. Obat ini bekerja melalui inhibisi biosintesis prostaglandin E, sehingga
mencegah atau menghambat pengaruh pirogen endogen. Bila set point diturunkan,
pembentukan panas dikurangi dan pengeluaran panas tubuh akan meningkat, sehingga suhu
tubuh akan menurun dan bahkan pada panas yang tak terlalu tinggi kompres es/ selimut
hipotermik tidak diperlukan. Untuk mencegah menggigil karena vasodilatasi di kulit dan
pengeluaran keringat, penderita dapat diselimuti. Obat antipiretik yang dipakai misalnya
aspirin. Dosis aspirin adalah 60 mg/ tahun/ kali, sehari diberikan 3 kali atau untuk bayi di
bawah 6 bulan diberikan 10 mg/ bulan/ kali, sehari diberikan 3 kali. Kadar maksimal dalam
darah tercapai dalam 2 jam pemberian oral, tetapi half life meningkat dengan menaikkan
dosis sehingga ada bahaya akumulasi sebagai akibat pemberian yang sering unutk
memberantas demam. Gejala sampingan aspirin yang perlu diketahui adalah perdarahan
saluran pencernaan, memberatkan asma dan mengganggu fungsi sel-sel trombosit.

2. Pengobatan Penunjang
Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan suhu tubuh
secara simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul, tetapi meskipun demikian
kita harus waspada sebab sewaktu-waktu gejala yang memberatkan penderita akan timbul.
Penatalaksanaan terdiri atas :
a. Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan
intubasi atau trakeotomi
b. Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan secara teratur dan
mempertahankan keseimbangan elektrolit.
c. Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan dapat menambah
pembentukan panas
d. Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan dosis 2 – 4 mg/ kg BB
dibagi dalam 3 dosis. Pada heat stroke kecuali pengobatan penurunan suhu secara fisik,
dapat diberikan klorpromazin untuk mencegah vasokonstriksi pembuluh darah kulit akibat
bendungan yang terlalu cepat karena tindakan secara fisik tersebut.
e. Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya
f. Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi secepatnya.
Sebenarnya DIC tidak memerlukan pengobatan bila penyebabnya diobati dengan tepat,
tetapi pada anak bila terjadi perdarahan hebat dapat diberikan heparin dengan dosis 25 unit
per kg BB dalam 1 jam di dalam infuse secara kontinu atau 100 unit per kg BB tiap 4 – 6
jam sekali secara intravena.
g. Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat diberikan kortison dengan
dosis 20 -30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya dexamethasone ½ - 1 ampul
setiap 6 jam sampai keadaan membaik.

3. Mencari dan mengobati penyebab


Untuk hal ini diperlukan pemeriksaan lengkap baik secara umum maupun
neurologik. Factor infeksi sangat penting dan perlu dikerjakan pemeriksaan darah lengkap
termasuk biakan dan pungsi lumbal.
Dengan penatalaksanaan yang baik mengeani hiperpireksia dan ditemukan penyebabnya
umumya penderita dapat sembuh. Misalnya pada hipertermia malignan akibat anestesia bila
tidak waspada dan tidak diketahui akan berakibat fatal.

BAB III

KESIMPULAN

Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF
(suhu rectal).2 Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan
hiperpireksia disebabkan oleh set point hipotalamus meningkat (adanya EP dan non EP), set
point hipotalamus normal (pembentukan panas melebihi pengeluaran panas, lingkungan lebih
panas daripada pengeluaran panas, pengeluaran panas tidak baik) dan rusaknya pusat pengatur
suhu (ensefalitis/ meningitis, trauma kepala, perdarahan intrakranial).

Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi
segera, yaitu: gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi, kejang,
koma dan deserebrasi ; kulit : merah, panas dan kering ; tekanan darah : mula-mula naik, normal
dan kemudian turun ; jantung : takikardia dan aritmia ; pernafasan : tak teratur atau tipe Cheyne
Stokes ; oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock) ; ekimosis, petekiae,
perdarahan dan DIC (disseminated intravascular coagulation).
Gambaran klinis hiperpireksia berbeda-beda, pada demam yang disebabkan oleh
peningkatan set point hipothalamus, Penderita merasa dingin, terdapat piloerection, menggigil
(shivering), ekstremitas dingin, keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita
dalam posisi untuk mengurangi luas permukaan tubuh. Pada demam dimana set-point
hipothalamus normal, penderita merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat
banyak atau berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk memperluas permukaan
tubuh. Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti mahkluk
poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di
sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun. Resisten terhadap antipiretik. Bila
kerusakan hebat, keringat tidak ada. Terdapat juga gangguan neurologik dan endokrin lainnya.

Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang langsung
menyerang hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat permulaan
terdapat gejala klinis yang sama dengan set point hipotalamus yang meningkat tetapi apabila
kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana penderita tidak dapat mempertahankan suhu
tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Penderita sangat bergantung pada suhu luar dan
resisten terhadap antipiretik.

Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu (1)
menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3) mencari dan
mengobati penyebab.2 Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan
hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh daripada
hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Pada keadaan heat stroke yang mengalami
komplikasi dan hipertermia malignan prognosisnya buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11: Emergencies & Injuries.
Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by
Appleton & Lange.

Arief. 2016. Buku Saku patofisiologi. Jakarta. Edisi 8

Todd J. Kilbaugh Jimmy W. Huh Mark A. Helfaer. (2006). Chapter 34: Disorders of Temperature
Control. Current Pediatric Therapy, 18th ed.Saunders, An Imprint of Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai