Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
“Hiperpireksia” ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat
dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di
RS Moh Ridwan Meuraksa. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya referat ini
tidak lepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Amin Husni, Sp.A Letkol CKM (K) selaku dokter pembimbing penulisan
referat.

2. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RS Moh Ridwan Meuraksa


Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik
dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan
berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.

Jakarta, November 2019

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Arya Nugraha Karya

NPM : 1102014040

Asal Insitusi : Universitas YARSI

Stase : Ilmu Kesehatan Anak

Periode : 11 November 2019 s/d 18 Januari 2020

REFERAT DENGAN JUDUL

“HIPERPIREKSIA”

Penyusun Pembimbing

Arya Nugraha Karya dr. Amin Husni, Sp.A Letkol Ckm (K)
(1102014040)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam (pireksi) yaitu peninggian suhu tubuh di atas 38,3o C, sejak dahulu
sudah dikenal sebagai tanda penyakit. Penderita atau orang tua biasanya
menyamakan tingginya demam dengan beratnya penyakit. 30 – 35,8% alasan
kunjungan ke dokter ialah demam. Walaupun sebagian penderita dapat menahan
suhu tubuh antara 39,4oC – 40oC, demam dapat menimbulkan efek yang merusak.
Pada 3% anak yang berumur kurang daripada 5 tahun terdapat kejang demam, yang
merupakan separuh daripada seluruh kejang pada kelompok umur ini. Orang tua
biasanya cemas bila anaknya demam karena beranggapan bahwa tingginya suhu
sejajar dengan gawatnya penyakit yang diderita dan berusaha meminta pertolongan
untuk pengobatan demamnya.1
Keadaan demam yang lebih berat, yaitu hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih
daripada 41,1oC atau 106oF, terdapat pada 0,476/ 1000 kasus demam. Kenaikan
suhu di atas 41,1oC sebenarnya jarang terjadi, oleh karena adanya set point pengatur
suhu yang diatur oleh hipotalamus di otak. Kenaikan suhu di atas 41,1oC ini
umumnya masih dapat ditoleransi oleh anak, kecuali anak yang memang peka
terhadap timbulnya kejang. Dalam keadaan kejang, hiperpireksia menyebabkan
kebutuhan untuk metabolisme yang lebih tinggi dan memperburuk keadaan. 1
Dari penderita yang datang ke ruang darurat terdapat 0,048% yang menderita
hiperpireksia, sedang dari 1761 penderita dengan infeksi berat, misalnya tifus
abdominalis dan pneumonia lobaris ternyata 5% di antaranya menderita
hiperpireksia. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa meningkatnya suhu disertai
dengan meningkatnya kasus bakterimia. Hal ini dibuktikan bahwa pada kasus
dengan hiperpireksia terdapat 26% bakterimia (kultur positif dibanding dengan
hanya 13% penderita dengan demam di bawah 40oC.2
Baik hipertermia dan hipotermia dapat menyebabkan MOD (Multiorgan
system Dysfunction). Terapi untuk hipertermia meliputi mencari agen penyebab
dan mendiagnosa serta penanganan penyakit yang mendasari dengan perawatan
keseluruhan secara simultan. Pasien dengan hipertermia dapat mengalami
myoglobinuria dan gagal ginjal.5
Hiperpireksi meningkatkan metabolisme tubuh dan kerja system
kardiopulmoner dan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga harus
ditanggulangi sebagai kasus emergensi. Malignant hyperthermia pada anestesi
dapat menyebabkan kematian pada 60 – 80% kasus. 1
Angka kematian penderita hiperpireksia cukup tinggi tetapi lebih daripada
separuhnya bukan disebabkan oleh tingginya suhu, melainkan disebabkan oleh
penyebab hiperpireksia. Pada percobaan penggunaan hipertermia sebagai
pengobatan penderita keganasan yang lanjut, meninggikan suhu tubuh sampai
42oC, tidak menyebabkan terjadinya disfungsi otak. Kenaikan suhu di atas 41oC
pada anak disertai frekuensi yang tinggi daripada infeksi berat atau bakterimia,
misalnya meningitis purulen, pneumonia lobaris, tifus abdominalis dan lain-lain.2
Penyelidikan tentang demam telah banyak dilakukan, sungguhpun begitu
belum dapat ditentukan peranan demam terhadap penyakit. Buku teks pediatric
yang terpenting hampir tidak membicarakan sama sekali gejala demam dan
pengobatannya. Selain merupakan alat diagnostic yang penting, demam mungkin
merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat dipakai pada pengobatan. 1
Pengobatan hiperpireksi tidak selalu menyenangkan, efektif dan berguna,
malahan mungkin berbahaya. Pengobatan yang rasionil memerlukan pengertian
yang baik tentang mekanisme pengaturan suhu tubuh, patogenesis dan patofisiologi
demam serta pengetahuan tentang mekanisme pengobatan yang dapat menurunkan
suhu tubuh. Pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan
hiperpireksi tentu saja tetap merupakan hal yang utama. 1

B. Tujuan Penulisan

Mengetahui tentang definisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis,


penatalaksanaan dan prognosis hiperpireksia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang
itu sehat atau sakit. Demam adalah kenaikan suhu badan di atas 38oC. Hiperpireksia
adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu
rectal).2

B. Etiologi

Sekitar 29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan


penyakit kolagen, 6-8% dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-
12% dengan penyakit lain. 1

Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat


pengatur suhu 32%, kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus
disebabkan oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis, infeksi virus dan reaksi obat. Dari
28 penderita hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan oleh infeksi
diantaranya 7 penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai
traktus urinaria 4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita pada paru.
Sedang 9 penderita (32%) disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan kerusakan
pusat pengatur suhu. Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat
pengatur suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya. 1,2

Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan


hiperpireksia dapat dibagi sebagai berikut:
1. Set point hipotalamus meningkat
a. Pirogen endogen
 Infeksi
 Keganasan
 Alergi
 Panas karena steroid
 Penyakit kolagen
b. Penyakit atau zat
 Kerusakan susunan saraf pusat
 Keracunan ddt
 Racun kalajengking
 Penyinaran
 Keracunan epinefrin
2. Set point hipotalamus normal
a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas
 Hipertermia malignan
 Hipertiroidisme
 Hipernatremia
 Keracunan aspirin
b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas
 Mandi sauna berlebihan
 Panas di pabrik
 Pakaian berlebihan
c. Pengeluaran panas tidak baik (rusak)
 Displasia ektoderm
 Kombusio (terbakar)
 Keracunan phenothiazine
 Heat stroke
3. Rusaknya pusat pengatur suhu
a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:
 ensefalitis/ meningitis
 trauma kepala
 perdarahan di kepala yang hebat
 penyinaran2

C. Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh

Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat


mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang
dimaksud dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati,
otak. Suhu rectal merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal diukur dengan
meletakkan thermometer sedalam 3 – 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum
dibaca. Suhu mulut hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih
rendah daripada suhu rectal. Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir
lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu tubuh manusia dalam keadaan
istirahat berkisar antara 36oC – 37oC, yang dapat dipertahankan karena tubuh
mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas. 1

Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di
sekitarnya yang panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas
oleh tubuh (termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan
basal tubuh membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat
tubuh, seperti hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot
rangka berubah-ubah sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme
pengeluaran panas, dalam keadaan basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang
dalam aktivitas normal suhu tubuh akan naik 2oC/ jam. 1

Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang
dikeluarkan paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas.
Untuk menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran
panas melalui kulit dapat dengan dua cara yaitu:
a. Konduksi – konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini bergantung
kepada perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya.
b. Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat.
Dapat juga melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis. 1

Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit.
Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls
eferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena
itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah
dan ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima oleh
reseptor di hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang
suhu dari bagian luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui
sistem aferen ke hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat
hipotalamus yang akan mengatur set point hipotalamus untuk membentuk panas
atau untuk mengeluarkan panas. 1

Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila


terdapat kenaikan suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls
eferen sehingga akan terjadi vasodilatasi di kulit dan keringat akan dikeluarkan,
selanjutnya panas lebih banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus posterior
merupakan pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana terdapat
penurunan suhu tubuh. Hipotalamus posterior akan mengeluarkan impuls eferen
sehingga pembentukan panas ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan
aktifitas otot rangka dengan menggigil (shivering), serta pengeluaran panas akan
dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit dan pengurangan keringat. 1

D. Klasifikasi Demam
Berdasarkan keadaan hipotalamus, demam dapat dibagi sebagai berikut:
I. Set point hipotalamus meningkat: Pembentukan panas meningkat,
pengeluaran panas berkurang.
1. Endogenous pyrogen (E.P):
a. Leukosit polimorfonuklear (PMN)
Pada demam oleh karena infeksi, kuman sebagai penyebab
melepaskan suatu polisakarida yang tahan panas, disebut sebagai
pirogen eksogen yang beredar dalam darah. Infeksi menimbulkan
demam karena endotoksin bakteri merangsang sel PMN untuk
membuat EP. Pada penyakit infeksi terdapat peningkatan sel PMN.
Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa pirogen eksogen
tidak langsung mempengaruhi pusat pengatur suhu, tetapi lewat
banyak sel dalam tubuh seperti sel leukosit, sel Kupfer hati, sel
makrofag dalam paru, limpa dan kelenjar limfe bereaksi terhadap
pirogen eksogen dan membentuk protein yang tak tahan panas,
disebut pirogen endogen (endogenous pyrogen). Pirogen endogen
masuk ke susunan saraf pusat melalui darah dan menyebabkan
pelepasan prostaglandin E di dalam jaringan otak dengan akibat
rangsangan terhadap hipotalamus yang peka terhadap zat tersebut
sehingga menimbulkan panas seperti yang diperlihatkan pada bagan
sebagai berikut:2
Hipotalamus mengandung kadar yang tinggi dari norepinephrin
(NE). 5-hydroxytryptamin (5HT), acetylcholine, dopamine dan
histamin, yang semuanya disebut neurotransmitter dari hipotalamus,
yang turut meregulasi suhu tubuh. Pada percobaan binatang
dibuktikan bahwa apabila NE disuntikkan ke dalam hipotalamus
menyebabkan penurunan suhu tubuh, 5HT menyebabkan kenaikan
suhu dan acetylcholine juga menyebabkan kenaikan suhu.2
Mekanisme yang dapat mengaktifkan EP belum diketahui. Juga
belum diketahui bagaimana EP mempengaruhi pusat pengatur suhu
dalam menimbulkan demam, mungkin dengan mengubah
lingkungan kimia neuron set point hipotalamus. 1
b. Non-PMN
Pirogen endogen dapat terbentuk tanpa mengaktivasi sel leukosit
dan hal ini kemungkinan terjadi dengan mengubah lingkungan
kimia neuron set-point hipotalamus. Metabolisme pirogen endogen
disini belum diketahui dan zat ini dikeluarkan melalui sel
retikuloendotelial. Keadaan ini terjadi pada penyakit alergik,
penyakit kolagen, tumor, infark, infeksi virus, penyakit darah,
demam steroid, penyakit metabolik dan lain-lain. 1
2. Non-endogenous pyrogen (non-EP): obat-obatan atau bahan lain
Demam pada keadaan set point hipotalamus meningkat dapat terjadi
bukan karena pelepasan pirogen endogen tetapi karena obat-obatan
(phenotiazine, amphetamine, metamphetamine, preparat tiroid),
penyakit tertentu di susunan saraf pusat, keracunan epinefrin,
norepinefrin, DDT dan lain-lain. 1,3
II. Set point hipotalamus normal
Kenaikan suhu tubuh dapat terjadi pada keadaan set point hipotalamus
yang normal, yakni bila pembentukan panas melebihi pengeluaran panas
yang normal atau pada pembentukan panas normal tetapi mekanisme
pengeluaran panas tidak baik. Mekanisme terjadinya kenaikan suhu seperti
berikut:
1. Pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas normal
Keadaan ini ditemukan pada malignant hyperthermia, hypertiroidisme,
hipernatremi, keracunan aspirin, feokromositoma. Keadaan ini juga
dijumpai bila suhu udara di luar tubuh sangat tinggi atau bila memakai
baju terlampau tebal.
2. Pembentukan panas normal, pengeluaran panas berkurang
Keadaan in terjadi pada keadaan keracunan obat antikolinergik seperti
atropin, ektodermal displasi, luka bakar. 1
III. Kerusakan pusat pengatur suhu (central fever)
Pada keadaan ini demam terjadi disebabkan oleh karena penyakit
tertentu yang menyerang dan mengakibatkan rusaknya pusatnya pengatur
suhu tubuh, misalnya penyakit yang langsung menyerang set point
hipotalamus, seperti ensefalitis, trauma kapitis, perdarahan hebat
intrakranial, meningtis bakterial, radiasi, tetraparesis atau paraparesis,
dimana susunan saraf otonom tidak berfungsi. 2

E. Gambaran Klinis
Pada demam yang disebabkan oleh peningkatan set point hipothalamus,
baik yang berhubungan dengan endogenous pyrogen maupun non-EP, terdapat
peninggian pembentukan panas dan pengurangan pengeluaran panas. Penderita
merasa dingin, terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas dingin,
keringat tidak ada atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk
mengurangi luas permukaan tubuh. 1
Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, pembentukan panas
meningkat melebihi pengeluaran panas dan mekanisme pengeluaran panas normal,
penderita merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak
atau berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk memperluas
permukaan tubuh. Pada feokromositoma, hiperpireksi timbul secara tiba-tiba
disertai nyeri kepala dan keringat banyak. Bila pembentukan panas normal, tapi
mekanisme pengeluaran panas tidak baik, penderita merasa panas, ekstremitas
panas, keringat sedikit. 1
Pada penyakit tertentu misalnya dehidrasi dengan hipernatremia yang
disebabkan oleh diare terdapat gabungan mekanisme set point normal dan
meningkat yaitu demam disebabkan oleh infeksinya karena diare, yang
mengakibatkan terjadinya set point meningkat sedang oleh hipernatremia set point
tetap normal.2
Pada demam disebabkan oleh displasia ektodermal, terbakar, kelebihan/
keracunan phenotiazine dan heat stroke terdapat pembentukan panas normal tetapi
mekanisme pengeluaran panas terganggu/ berkurang. Dalam hal ini penderita
merasa panas, gelisah, lemah, ekstremitas panas dan keringat berkurang sampai
tidak ada.2
Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti
mahkluk poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap
perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun.
Resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Sesudah
tindakan penurunan suhu secara fisik, misalnya surface colling, suhu tubuh akan
tetap rendah. Terdapat juga gangguan neurologik dan endokrin lainnya. 1
Pada rusaknya pusat pengatur suhu yang disebabkan oleh penyakit yang
langsung menyerang hipotalamus, misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada
tingkat permulaan terdapat gejala klinis yang sama dengan set point hipotalamus
yang meningkat tetapi apabila kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana
penderita tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di
sekitarnya. Penderita sangat bergantung pada suhu luar dan resisten terhadap
antipiretik. Bila kerusakan hebat terdapat gangguan neurologik dan endokrin
seperti diabetes insipidus.2
Hubungan demam dengan infeksi, banyak diselidiki. Pada anak berobat
jalan dengan suhu tubuh 38,3 C, ditemukan bakterimia pada 3,2-4,4% kasus. Pada
anak berumur 7 bulan sampai dengan 1 tahun dengan suhu tubuh lebih dari 39,4 C
dan jumlah sel leukosit lebih dari 20.000/ml besar kemungkinan menderita infeksi.
Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, dengan suhu tubuh 40 C atau lebih dengan
leukositosis dan laju endap darah lebih dari 30 mm/jam, risiko bakterimi tiga kali
lebih besar bila tidak ada leukositosis atau peningkatan laju enap darah. Pada anak
berumur kurang dari 3 bulan dengan suhu tubuh lebih dari 40 C, infeksi berat
ditemukan pada 31,4% kasus, meningtis bakterial pada 13,63% kasus. Sedangkan
bila suhu tubuh antara 37,7 – 39,9 C infeksi berat hanya ditemukan pada 9,5%
kasus, tidak dijumpai kasus meningitis bakterial. 1
Pada anak dengan hiperpireksi dimana suhu tubuh lebih dari 41,1 C,
ditemukan bakterimia pada 26% kasus, meningitis bakterial pada 18% kasus dan
kejang pada 18% kasus. Bila suhu tubuh antara 40,5-41,0 C, bakterimi hanya
ditemukan pada 13% kasus, meningitis bakterial pada 9% kasus dan kejang pada
pada 7,2% kasus. 1
Hipertermia pada pasien dengan penyakit yang mendasari di jantung dapat
menyebabkan terjadinya iskemia, aritmia hingga penyakit jantung kongestif.
Kebutuhan oksigen meningkat dan pengeluaran karbondioksida bertambah yang
mengakibatkan peningkatan metabolisme dan heart rate. Hipertermia dapat
memperberat brain injury. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
leukositosis, trombositosis, hemokonsentrasi dan DIC. Azotemia dan peningkatan
serum levels of muscle enzymes serta tanda-tanda gagal ginjal dan rhabdomiolisis
dan peningkatan enzim-enzim hati dengan gejala-gejala gagal hepar bisa terjadi.5
Bila suhu badan meningkat terus dan pada pengukuran suhu rektal mencapai
41,1oC atau lebih terjadilah apa yang dinamakan hiperpireksia dan manifestasi
klinis akan bertambah dan bergantung pada keadaan. Gejala klinis yang penting
dan harus dikenal secepatnya supaya dapat ditanggulangi segera, yaitu:
a. Gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi, ataksia, fotofobi,
kejang, koma dan deserebrasi
b. Kulit : merah, panas dan kering
c. Tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun
d. Jantung : takikardia dan aritmia
e. Pernafasan : tak teratur atau tipe cheyne stokes
f. Oliguria, dehidrasi, asidosis metabolik dan renjatan (shock)
g. Ekimosis, petekiae, perdarahan dan dic (disseminated intravascular
coagulation).2

Hiperpireksi menyebabkan perubahan metabolisme, termasuk di dalamnya


peningkatan konsumsi oksigen dan metabolisme jaringan. Setiap kenaikan suhu
tubuh 1oC, basal metabolik rate meningkat 10 -14%, kebutuhan oksigen meningkat
20% dan basal tidal volume meningkat 9%. Sebagai akibatnya sistem
kardiovaskuler bekerja lebih berat. Hiperpireksia secara langsung dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. 1
Hiperpireksia dan gangguan sirkulasi berupa shock sering ditemukan pada
anak berumur kurang dari 1 tahun. Hiperpireksia menyebabkan vasokonstriksi
umum dan gangguan perfusi jaringan. Pengeluaran panas berkurang, sehingga suhu
tubuh meningkat lagi dan keadaan hipoksi lebih diperberat. 1

Sebagai kesimpulan, gambaran klinik yang dapat ditemukan pada


hiperpireksia ialah dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit,
aritmia, decompensatio cordis, hipotensi, shock, gangguan fungsi ginjal, respiratory
failure, kejang, penurunan kesadaran sampai koma. 1

F. Penatalaksaan Hiperpireksia
Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan,
yaitu (1) menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang
dan (3) mencari dan mengobati penyebab.2
1. Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis
Dalam menurunkan suhu tubuh secara simptomatik ada 2 hal tindakan yang
perlu dipisahkan, yaitu: a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik dan b)
menggunakan obat-obat.
a. Mengeluarkan panas tubuh secara fisik, ialah:
 Menempatkan penderita dalam ruangan yang dingin dengan aliran udara
yang baik, misalnya dengan kipas angin agar sirkulasi udara bertambah
 Membuka baju penderita
 Surface cooling yaitu kompres secara intensif pada seluruh bagian tubuh
dengan es, air es atau dengan selimut hipotermik
 Menggunakan alkohol untuk mendinginkan tubuh harus hati-hati karena
gas yang turut terisap dapat menyebabkan hipoglikemia dan koma.
 Memakai air es untuk membilas lambung atau enema atau infus sukar
dilakukan dan terdapat gejala sampingan yang tidak baik untuk
penderita.2
Cara mengeluarkan panas tubuh secara fisik ini dapat digunakan untuk
golongan demam yang disebabkan oleh set point hipotalamus yang meningkat,
set point hipotalamus yang normal dan pada kerusakan pusat pengatur suhu.
Tetapi bila hanya cara ini saja yang dipergunakan untuk set point hipotalamus
yang meningkat, terjadi perangsangan pembentukan panas lebih banyak lagi
dan akan mempertinggi metabolisme, suhu hanya sebentar saja turun dan timbul
gejala menggigil. Oleh sebab itu pada keadaan set point hipotalamus yang
meningkat dibutuhkan tambahan obat yang dapat menurunkan set point di
hipotalamus.2
Pengeluaran panas secara fisik dapat dilakukan dengan cara external cooling
dan internal cooling :
 External Colling (Surface Cooling)
Dilakukan dengan mengompres seluruh tubuh dengan air, air es atau
dengan memakai hypothermic matress, yaitu suatu alat berupa selimut
yang suhunya dapat diatur dengan mesin. Bila memakai es, jangan
meletakkan es pada satu tempat lebih lama dari satu menit.
Pemakaian alkohol untuk mendinginkan kulit, harus dilakukan dengan
hati-hati, karena dapat menimbulkan koma, hipoglikemi dan hipothermi
karena inhalasi alkohol yang menguap, lebih-lebih bila ruangan
perawatan sempit dengan ventilasi tidak baik.
 Internal cooling
Dilakukan dengan membilas lambung dan rektum dengan larutan garam
fisiologik yang dingin. Dapat juga dengan memakai cairan infus yang
sedingin es. Internal cooling sukar melakukannya dan masih merupakan
cara yang kontroversal. 1
b. Menggunakan obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai adalah antipretik yang tujuannya untuk menurunkan
set point hipotalamus. Obat ini bekerja melalui inhibisi biosintesis
prostaglandin E, sehingga mencegah atau menghambat pengaruh pirogen
endogen. Bila set point diturunkan, pembentukan panas dikurangi dan
pengeluaran panas tubuh akan meningkat, sehingga suhu tubuh akan menurun
dan bahkan pada panas yang tak terlalu tinggi kompres es/ selimut hipotermik
tidak diperlukan. Untuk mencegah menggigil karena vasodilatasi di kulit dan
pengeluaran keringat, penderita dapat diselimuti. Obat antipiretik yang dipakai
misalnya aspirin. Dosis aspirin adalah 60 mg/ tahun/ kali, sehari diberikan 3
kali atau untuk bayi di bawah 6 bulan diberikan 10 mg/ bulan/ kali, sehari
diberikan 3 kali. Kadar maksimal dalam darah tercapai dalam 2 jam pemberian
oral, tetapi half life meningkat dengan menaikkan dosis sehingga ada bahaya
akumulasi sebagai akibat pemberian yang sering unutk memberantas demam.
Gejala sampingan aspirin yang perlu diketahui adalah perdarahan saluran
pencernaan, memberatkan asma dan mengganggu fungsi sel-sel trombosit.2
Bila set point normal, pemberian aspirin untuk mengubah set point adalah
tindakan salah dan dapat menyebabkan keracunan.2
Kadang-kadang mekanisme patogenesis demam pada seorang penderita lebih
dari pada satu atau merupakan kombinasi, misalnya pada penyakit diare dan
hipernatremia. Diare mungkin disebabkan oleh infeksi, demam oleh karena
pirogen dapat diturunkan dengan antipiretik sedang hipernatremia yang
menyebabkan metabolisme panas yang meningkat, dapat dihilangkan dengan
mengeluarkan panas secara fisik.2
Penderita hiperpireksi sebaiknya dirawat di bangsal khusus dimana dapat
dilakukan pengawasan klinik dan laboratorik terus-menerus. Aliran udara
diatur, sehingga pertukaran udara menjadi lebih baik. Kalau dapat, suhu
ruangan perawatan diturunkan. Di bangsal emergensi, keadaan respirasi,
sirkulasi dan metabolik yang pertama sekali harus distabilkan. Ventilasi harus
terjamin. Saluran pernafasan harus terbuka. Bila banyak lendir harus
dibersihkan dengan menghisapnya dari hidung dan tenggorok. Untuk
mencegah lidah terdorong ke belakang, yang akan menyempitkan jalur nafas
dipasang oropharyngeal airway. Bila perlu dilakukan intubasi endotrakheal.
Kadar oksigen udara pernafasan diatur sehingga mencukupi kebutuhan.
Oksigen dapat diberikan melalui kateter nasofaring, oropharyngeal airway atau
dengan masker. Bila terdapat kegagalan pernafasan, dipergunakan respirator. 1
Pada setiap penderita hiperpireksi dilakukan intra-venous fluid drips untuk
memberikan cairan dan kalori serta untuk mengkoreksi setiap gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila terdapat asidosis diberikan
natrium bikarbonat atau cairan yang mengandung base-corrector seperti cairan
Ringer Laktat. 1
Bila penderita hiperpireksi merasa dingin, terdapat piloerection dan menggigil
sedangkan ekstremitas dingin dan keringat sedikit atau tidak ada sama sekali,
berarti hiperpireksi disebabkan oleh peninggian set point hipothalamus,
pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas berkurang. Kepada
penderita ini diberikan obat yang dapat merendahkan set-point hipothalamus
seperti aspirin atau acetaminophen, yang bersifat antagonik terhadap
endogenous pyrogen di hipothalamus. Pembentukan panas akan dikurangi,
pengeluaran panas akan ditingkatkan dengan vasodilatasi di kulit dan
pengeluaran keringat. Untuk mencegah menggigil, penderita diselimuti.
Largaktil dapat diberikan untuk vasodilatasi di kulit dan untuk mencegah
menggigil. Pengeluaran panas secara fisik tanpa menurunkan set-point
hipothalamus, akan merangsang pembentukan panas lebih banyak lagi. Bila
penderita gelisah dapat diberikan sedative. Aktivitas penderita yang gelisah
dapat menambah pembentukan panas. 1
Hiperpireksi dengan set-point hipothalamus normal, berarti pengeluaran panas
baik, penderita merasa ekstremitas panas tidak ada menggigil dan piloerection
serta keringat ada, diobati dengan pengeluaran panas secara fisik. Pemberian
antipiretik dalam hal ini tidak berguna, malah mungkin berbahaya. 1
Bila pada operasi timbul Malignant Hyperthermia, hentikan pemakaian
halothese. Anestesi dilanjutkan dengan N2O – O2 50-50%, tiopental dan d-
tubokurarin. Berikan prokain-amid 1 mg/kg BB. Bila suhu tubuh lebih dari 40
C dan operasi dilakukan pada rongga dada atau perut lakukan irigasi pada
rongga dada atau perut dengan larutan garam fisiologik yang steril dan dingin.
Bila rongga badan tidak dioperasi, sedangkan suhu tubuh lebih dari 42,2 C,
buka rongga perut dan lakukan irigasi seperti di atas. 1
G. Penanganan Heat Stroke:
1. Dinginkan pasien secepatnya dengan air es atau dingin, kipas angin atau
agen pendingin lainnya.
2. Berikan oksigen 100%. Jika pasien unresponsive, awasi jalan nafasnya
3. Berikan infuse cairan isotonic cristaloid untuk hipotensi, dextrose 5%
untuk tekanan darah yang normal dan untuk maintenance. Monitor CVP
(Central Venous Pressure)
4. Tempatkan monitor, dan cek temperature per rectal berkelanjutan dan
pasang kateter Folley serta NGT
5. Pemeriksaan laboratorium meliputi: pemeriksaan darah rutin, elektrolit
meliputi: glukosa, kreatinin, protrombin time dan partial tromboplastin
time (PT dan PTT), keratin kinase, fungsi hati, AGD, urinalisis dan
serum kalsium, magnesium dan fosfat.
6. Rawat di ICU khusus untuk anak. 4

H. Pengobatan Penunjang
Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan
suhu tubuh secara simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul,
tetapi meskipun demikian kita harus waspada sebab sewaktu-waktu gejala
yang memberatkan penderita akan timbul. Penatalaksanaan terdiri atas:
1. Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau
perlu dilakukan intubasi atau trakeotomi
2. Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan
secara teratur dan mempertahankan keseimbangan elektrolit.
3. Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan
dapat menambah pembentukan panas
4. Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan
dosis 2 – 4 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis. Pada heat stroke kecuali
pengobatan penurunan suhu secara fisik, dapat diberikan klorpromazin
untuk mencegah vasokonstriksi pembuluh darah kulit akibat
bendungan yang terlalu cepat karena tindakan secara fisik tersebut.
5. Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya
6. Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi
secepatnya. Sebenarnya DIC tidak memerlukan pengobatan bila
penyebabnya diobati dengan tepat, tetapi pada anak bila terjadi
perdarahan hebat dapat diberikan heparin dengan dosis 25 unit per kg
BB dalam 1 jam di dalam infuse secara kontinu atau 100 unit per kg
BB tiap 4 – 6 jam sekali secara intravena.
7. Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat
diberikan kortison dengan dosis 20 -30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis
atau sebaiknya dexamethasone ½ - 1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik. 2

I. Mencari Dan Mengobati Penyebab


Untuk hal ini diperlukan pemeriksaan lengkap baik secara umum maupun
neurologik. Factor infeksi sangat penting dan perlu dikerjakan pemeriksaan darah
lengkap termasuk biakan dan pungsi lumbal.
Dengan penatalaksanaan yang baik mengeani hiperpireksia dan ditemukan
penyebabnya umumya penderita dapat sembuh. Misalnya pada hipertermia
malignan akibat anestesia bila tidak waspada dan tidak diketahui akan berakibat
fatal. 2

J. Prognosis
Prognosis hiperpireksi bergantung kepada penyakit yang menyebabkan
hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik, kebanyakan kasus dapat sembuh
daripada hiperpireksinya dan fungsi basal kembali normal. Kematian karena
hiperpireksi saja 3-7%, sedangkan kematian karena penyakit utamanya 20%. Jadi
pengobatan yang ditujukan terhadap penyakit yang menyebabkan hiperpireksi tetap
merupakan hal yang utama.1 Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi
dan hipertermia malignan prognosisnya buruk.1,2
BAB III
KESIMPULAN

Hiperpireksia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC
atau 106oF (suhu rectal).2 Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat
mengakibatkan hiperpireksia disebabkan oleh set point hipotalamus meningkat
(adanya EP dan non EP), set point hipotalamus normal (pembentukan panas
melebihi pengeluaran panas, lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas,
pengeluaran panas tidak baik) dan rusaknya pusat pengatur suhu (ensefalitis/
meningitis, trauma kepala, perdarahan intrakranial).

Gejala klinis yang penting dan harus dikenal secepatnya supaya dapat
ditanggulangi segera, yaitu: gejala serebral seperti disorientasi, delirium, halusinasi,
ataksia, fotofobi, kejang, koma dan deserebrasi ; kulit : merah, panas dan kering ;
tekanan darah : mula-mula naik, normal dan kemudian turun ; jantung : takikardia
dan aritmia ; pernafasan : tak teratur atau tipe Cheyne Stokes ; oliguria, dehidrasi,
asidosis metabolik dan renjatan (shock) ; ekimosis, petekiae, perdarahan dan DIC
(disseminated intravascular coagulation).2

Gambaran klinis hiperpireksia berbeda-beda, pada demam yang


disebabkan oleh peningkatan set point hipothalamus, Penderita merasa dingin,
terdapat piloerection, menggigil (shivering), ekstremitas dingin, keringat tidak ada
atau sedikit sekali dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk mengurangi luas
permukaan tubuh. 1 Pada demam dimana set-point hipothalamus normal, penderita
merasa panas, tidak ada piloerection, ekstremitas panas, keringat banyak atau
berkurang dan posisi tubuh penderita dalam posisi untuk memperluas permukaan
tubuh. Pada penderita dimana pusat pengatur suhu rusak, penderita ini seperti
mahkluk poikilothermal, tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya terhadap
perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh akan menetap, tidak dapat naik turun.
Resisten terhadap antipiretik. Bila kerusakan hebat, keringat tidak ada. Terdapat
juga gangguan neurologik dan endokrin lainnya. 1 Pada rusaknya pusat pengatur
suhu yang disebabkan oleh penyakit yang langsung menyerang hipotalamus,
misalnya ensefalitis dan perdarahan otak, pada tingkat permulaan terdapat gejala
klinis yang sama dengan set point hipotalamus yang meningkat tetapi apabila
kerusakan berlanjut terjadi keadaan dimana penderita tidak dapat mempertahankan
suhu tubuhnya terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Penderita sangat bergantung
pada suhu luar dan resisten terhadap antipiretik. 2

Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan,


yaitu (1) menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang
dan (3) mencari dan mengobati penyebab.2 Prognosis hiperpireksi bergantung
kepada penyakit yang menyebabkan hiperpireksi itu. Bila penatalaksanaannya baik,
kebanyakan kasus dapat sembuh daripada hiperpireksinya dan fungsi basal kembali
normal. Pada keadaan heat stroke yang mengalami komplikasi dan hipertermia
malignan prognosisnya buruk.1,2
DAFTAR PUSTAKA

1. Darlan Darwis. (1981). Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik, Beberapa


Masalah dan Penanggulangan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

2. H. Sofyan Ismail. (1981). Hiperpireksia. Kedaruratan dan Kegawatan Medik,


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

3. Richard C. Dart, MD, PhD. (2007). Chapter 12: Poisoning. Current Pediatric
Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by
Appleton & Lange.

4. F. Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11:
Emergencies & Injuries. Current Pediatric Diagnosis & Treatment,
Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange.

5. Todd J. Kilbaugh Jimmy W. Huh Mark A. Helfaer. (2006). Chapter 34:


Disorders of Temperature Control. Current Pediatric Therapy, 18th
ed.Saunders, An Imprint of Elsevier.

6. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M.; Hostetter, Margaret K.; Lister,
George; Siegel, Norman J. (2003). Chapter 4: The Acutely Ill Infant and
Child. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition, McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai