CRS Appendisitis Kronis
CRS Appendisitis Kronis
Apendisitis Kronis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Apendisitis paling sering terjadi pada pasien dalam dekade kedua hingga keempat
kehidupan. Dibandingkan dengan pasien yang lebih muda, pasien usia lanjut dengan apendisitis
sering menimbulkan masalah diagnostik lebih sulit karena presentasi manifestasi klinis yang
atipikal dan kesulitan komunikasi, memperluas diferensial diagnosis. Faktor- faktor ini
berkontribusi pada tingkat perforasi yang amat tinggi terlihat pada orang tua.5
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi antara 8-13
cm, dengan diameter 0,7 cm.7 Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendicitis pada usia itu.8 Dasar apendiks melekat pada permulaan posteromedial caecum,
sekitar 2,5 cm di bawah ileocaecalis. Apendiks terletak di ileocaecum, pertemuan di 3 tinea
(Tinea libera, tinea colica, dan tinea omentum). Apendiks vermiformis diliputi seluruhnya oleh
peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium intestinum tenue melalui
mesenteriumnya sendiri yang pendek, mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri dan vena
appendicularis, dan saraf-saraf. 7
3
Gambar 2. Titik McBurney 5
4
Persarafan apendiks berasal dari saraf parasimpatis cabang dari n.vagus yang mengikuti
arteri mesentrika superior dan a. appendikularis, sedangkan saraf simpatis berasal dari
n.thorakalis x. karena itu nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.8
5
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Oleh karenanya, gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.8
2.2 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari, dan memiliki kapasitas 5
ml/hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.8
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limf di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.8
2.3.1 Definisi
6
2.3.2 Epidemiologi
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari- hari.8
Apendisitis paling sering terjadi pada pasien dalam dekade kedua hingga keempat
kehidupan, dengan usia rata-rata 31,3 tahun. Adapun perbandingan apendisitis pada laki-laki:
perempuan yaitu 1,2-1,3: 1.5
2.3.3 Etiologi
2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks yang diikuti oleh
infeksi. Setelah terjadi obstruksi, peningkatan produksi lendir terjadi, yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal. Dengan meningkatnya tekanan dan stasis dari obstruksi,
pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian terjadi. Lendir kemudian berubah menjadi
nanah yang menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam tekanan luminal.6 Hal ini
menyebabkan distensi apendiks dan kemudian merangsang ujung saraf dari serabut aferen
viseral, menghasilkan nyeri yang samar-samar, tumpul, dan menyebar di mid abdomen atau
7
epigastrium. Peristalsis juga dirangsang oleh distensi yang tiba-tiba, sehingga kram dapat
menyamarkan nyeri viseral pada awal perjalanan apendisitis. Distensi ini biasanya
menyebabkan refleks mual dan muntah, dan nyeri viseral difus menjadi lebih parah.5 Tekanan
luminal yang terus meningkat mengakibatkan obstruksi limfatik terjadi yang kemudian
menyebabkan edema pada dinding apendiks. Tahap ini dikenal sebagai apendisitis akut atau
fokal.6
Meningkatnya tekanan dalam lumen apendiks melebihi tekanan dari vena, sehingga
kapiler dan vena tersumbat. Aliran darah arteriol yang terus berlanjut menyebabkan terjadinya
obstruksi dan kongesti vaskular5 dan mengakibatkan edema dan iskemia. Invasi bakteri pada
dinding apendiks dikenal sebagai apendisitis supuratif akut.6
Patologi apendisitis dimulai di mukosa, kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.8 Proses inflamasi ini segera melibatkan serosa
apendiks kemudian peritoneum parietal, yang menyebabkan pergeseran karakteristik nyeri ke
kuadran kanan bawah.5 Akibat tekanan yang terus meningkat, terjadi trombosis vena dan arteri,
menyebabkan gangren (apendisitis gangerenosa) dan perforasi (apendisitis perforasi).6
Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa (Walling off) sehingga terbentuk masa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya,
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.8
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk
jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan sebagai eksaserbasi akut.8
Pada anak-anak dimana memiliki omentum yang pendek, dan pada orang tua yang
memiliki daya tahan tubuh yang sudah menurun sulit untuk terbentuk infiltrat sehingga
kemungkinan terjadi perforasi menjadi lebih besar.
8
Gambar 6. Patofisiologi Apendisitis
9
2.3.5 Klasifikasi Apendisitis
A. Apendisitis akut
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam
lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan.
Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan
demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal,
hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan
atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
B. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya
di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic
.
10
C. Apendisitis Perforasi
D. Apendisitis Kronis
Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan
jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis,
dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis.
Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia,
dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
11
2.3.6 Manifestasi klinis
Gejala apendisitis bervariasi berdasarkan lokasi apendiks. Gejala klasik apendisitis
ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau
di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual, kadang disertai muntah, dan umumnya
nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah (titik
McBurney). Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.8 Nyeri pada awalnya di daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah disebut juga dengan Kocher’s sign.5
Pada beberapa kasus, nyeri epigastrium tidak dirasakan tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar, yang justru dianggap berbahaya karena
mempermudah terjadinya perforasi.8
Apendiks yang terletak retrosekal retroperitoneal (antara sekum dan otot psoas mayor),
tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal karena
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.5,8,14
Nyeri atipikal biasanya timbul jika apendiks terletak di dekat otot obturator internus,
rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien ditemui ketika ujung apendiks terletak di
panggul.6 Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristalsis meningkat dan pengosongan rectum
menjadi lebih cepat serta berulang. Apendiks yang menempel ke kandung kemih dapat
menimbulkan dysuria dan peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan apendiks terhadap
dinding kandung kemih.6,8 Apendiks yang terletak di depan ileum terminal dekat dengan
dinding abdominal, maka nyeri sangat jelas.14 Sedangkan jika apendiks terletak di belakang
ileum akan menyebabkan nyeri testis, mungkin disebabkan iritasi arteri spermatika dan ureter.5
Pada lebih dari 95% pasien dengan apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala yang
pertama dirasakan, diikuti oleh nyeri perut, kemudian muntah-muntah (jika muntah terjadi).
Jika muntah mendahului timbulnya rasa sakit, diagnosis apendisitis harus dipertanyakan.5
12
Hanya 55% dari pasien dengan apendisitis mengeluhkan gejala dan temuan fisik yang
klasik. Hal ini dikarenakan tanda-tanda dan gejala awal terutama tergantung pada lokasi ujung
apendiks yang sangat bervariasi. Ketika ujung apendiksretrocecal, nyeri dapat
dimanifestasikan dengan ekstensi pasif pinggul (psoas sign). Ketika apendiks terletak di pelvis,
nyeri dapat terdeteksi selama pemeriksaan rektal toucher atau pemeriksaan panggul. Dengan
demikian, pada pasien dengan sakit perut terus-menerus dan gejala rektum (diare atau
tenesmus), penting untuk melakukan pemeriksaan dubur.6
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya
menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bias melukiskan rasa
nyerinya. Oleh karenanya apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi.8
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan mutah. Hal
ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di region lumbal kanan.8
2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
13
perut. Nyeri kemudian dirasakan berpindah ke perut kanan bawah, tepatnya di titik Mc Burney.
Selain itu terdapat pula keluhan anoreksia, mual, muntah, obstipasi, dan febris. Namun,
keluhan yang dirasakan pasien apendisitis dapat berbeda oleh karena gejala ditentukan dari
posisi ujung apendiks.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik hasil yang didapatkan ditentukan terutama oleh posisi anatomis
dari apendiks yang meradang, serta oleh apakah organ tersebut telah mengalami ruptur ketika
pasien pertama diperiksa.5
Tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney yaitu nyeri tekan, nyeri lepas,
dan defens muskuler.8 Sedangkan nyeri rangsang peritoneum tidak langsung dapat berupa 8
1.
Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadran kiri bawah– Rovsing’s sign
2.
Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat palpasi dengan tekanan pada
14
Gambar 8. Titik Mc. Burney
Status Generalis
Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul
kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah, menandakan apendiks yang
meradang menempel di otot psoas mayor.
- Obturator sign
15
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada
panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina bilamana apendiks
yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.
16
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah
kemudian dilepaskan tiba-tiba
Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah
Urin lengkap
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang mampu menegakkan diagnosis, namun berguna dalam
mengidentifikasi free gas, dan dapat menunjukkan appendicolith di 7-15% kasus.4
Ditemukannya sebuah appendicolith membuat kemungkinan apendisitis akut hingga 90%.
Pada pasien dengan apendisitis akut, pola gas usus yang abnormal sering terlihat namun bukan
merupakan penemuan yang spesifik5
Ultrasonografi
Ultrasound dengan radiasi pengion yang rendah harus menjadi penunjang pilihan pada
pasien muda, dan efektif mengidentifikasi apendiks abnormal, terutama pada pasien yang
kurus.
Graded compression sonography telah diusulkan sebagai cara yang akurat untuk
menegakkan diagnosis apendisitis. Diagnosis sonografi apendisitis akut memiliki sensitivitas
dari 55-96% dan spesifisitas 85-98%.5 Hasil scan dianggap positif jika terdapat gambaran
17
aperistaltik, noncompressible apendiks ≥6 mm pada arah anteroposterior.15 Terlihatnya
appendicolith menetapkan diagnosis. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan
periappendiceal sangat sugestif. Demonstrasi sonografi dari usus buntu yang normal yaitu
compressible, struktur tabung blind-ending berukuran ≤5 mm, dapat menyingkirkan diagnosis
apendisitis akut. 5
Gambar 11. Apendiks normal. A dan B, longitudinal A) dan transversal (B) sonogram,
menunjukkan apendiks (panah) dengan diameter kurang dari 7 mm cut-off point, dikelilingi
oleh lemak noninflamed normal16
Apendiks yang meradang memiliki diameter lebih besar dari 6 mm, dan biasanya
dikelilingi oleh hyperechoic inflamed fat di sonografi. Tanda-tanda yang sangat mendukung
apendisitis yaitu adanya appendicolith, penebalan caecal apikal.16
CT
Pada CT, apendiks yang meradang tampak melebar (> 5 cm) dan dinding yang menebal.
Biasanya ada bukti peradangan, dengan "lemak kotor," mesoappendix menebal, dan bahkan
phlegmon jelas.4,5,17,18
18
Fekalit dapat dengan mudah divisualisasikan, tetapi adanya fekalit bukan patognomonik
dari apendisitis. CT scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengidentifikasi proses
inflamasi lain yang menyerupai apendisitis.5
Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.5
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada apendisitis akut memperlihatkan
19
tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi medial serta inferior dari caecum;
pengisisan lengkap dari apendiks menyingkirkan apendisitis.5
Laparoskopi
dapat berfungsi baik sebagai manuver diagnostik dan terapeutik untuk pasien dengan
sakit perut akut dan yang diduga apendisitis akut.5
20
Meskipun dilakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis
akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus dimana lebih sering terjadi pada
perempuan terutama yang masih muda oleh karena keluhan yang menyerupai timbul dari
genitalia interna (seperti ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain).8
21
2.3.8 Diagnosis banding
Diagnosis apendisitis akut tergantung pada empat faktor utama yaitu lokasi anatomi
dari apendiks yang meradang; tahap proses (yaitu tanpa komplikasi atau sudah terjadi
perforasi); usia; dan jenis kelamin pasien.5
Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya hiperperistaltis.
Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.
Limfadenitis mesenterika
Biasa didahului dengan enteritis atau gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut,
terutama sebelah kanan serta perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar,
terutama perut sebelah kanan.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada perut kanan
bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul
lebih dahulu.
Infeksi panggul
Salphingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih
tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi
panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina
akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan
colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding.
Hampir selalu ada riwayat telat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Pada
pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada
kuldosentesis didapatkan darah.
22
Timbul nyeri mendadak dengan instensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga
pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal. Tidak terdapat demam.
Pemeriksaan ultrasosnografi dapat menentukan diagnosis.
Endometriosis eksterna
Urolitiasis
Pielum atau ureter kanan. Adanya riwayat kolik dai pinggang ke perut yang menjalar
ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebra an piuria.
2.3.9 Penatalaksanaan
23
anak-anak, dan wanita hamil.19 Prosedur apendektomi laparoskopi sudah terbukti menghasilkan
nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi
luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan
pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien
dengan akut abdomen, terutama pada wanita22
Sebelum dilakukan operasi, maka perlu dilakukan persiapan seperti hidrasi yang
adekuat harus dipastikan, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru, dan
ginjal harus ditangani terlebih dahulu. Sebuah penelitian meta-analisis telah menunjukkan
efikasi antibiotik pra operasi dalam menurunkan komplikasi infeksi di apendisitis. Pada
apendisitis akut tanpa komplikasi, tidak ada manfaat dalam memperluas cakupan antibiotik
melampaui 24 jam. Pada apendisitis perforasi atau dengan gangren, antibiotik dilanjutkan
sampai pasien tidak demam dan memiliki jumlah sel darah putih normal. Untuk infeksi intra-
abdominal dari saluran pencernaan yang ringan sampai sedang, Surgical Infection Society telah
merekomendasikan terapi tunggal dengan cefoxitin, cefotetan, atau asam klavulanat tikarsilin.
Untuk infeksi yang lebih berat, terapi tunggal dengan carbapenems atau terapi kombinasi
dengan sefalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah untuk
anaerobik dengan klindamisin atau metronidazole..Rekomendasi serupa untuk anak- anak.5
Penggunaan antibiotik terbatas 24 sampai 48 jam dalam kasus apendisitis nonperforasi.
Sedangkan untuk apendisitis perforasi, dianjurkan terapi diberikan selama 7 sampai 10 hari.
Antibiotik IV biasanya diberikan sampai jumlah sel darah putih normal dan pasien tidak
demam selama 24 jam.5 Selain itu pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri juga
diberikan pada pasien baik sebelum maupun sesudah operasi untuk mengurangi
keluhan.
Interval apendektomi dilakukan minimal 6 minggu setelah kejadian akut
direkomendasikan untuk semua pasien yang diobati baik nonoperatif atau dengan drainase
abses sederhana.5
24
Insisi Grid Iron (McBurney Incision)
23
25
Insisi paramedian kanan bawah25
Insisi vertikal paralel dengan midline,
2,5 cm di bawah umbilikus sampai di
atas pubis.
2.3.10 Komplikasi
Massa apendikuler
Masa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus.8
Pasien yang datang dengan massa apendikuler telah mengalami gejala untuk durasi yang
lebih lama, biasanya setidaknya 5 sampai 7 hari.5
Pasien dewasa dengan masa periapendikuler yang dengan dinding sempurna sebaiknya dirawat
terlebih dahulu dan diberi antibiotic sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran
massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang,
dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.8
Abses apendikuler
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari apendiks yang meradang
yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
Perforasi
Apendisitis perforasi terjadi pada 25,8% kasus. Anak di bawah 5 tahun dan pasien
berusia lebih dari 65 tahun memiliki angka kejadian perforasi tertinggi (45 dan 51%) Telah
26
dikemukakan bahwa terlambatnya diagnosis apendisitis bertanggung jawab untuk
sebagian besar apendisitis perforasi. Tidak ada cara yang akurat untuk menentukan kapan
dan apakah ada kemungkinan apendiks akan pecah sebelum resolusi proses inflamasi.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa, pada pasien tertentu, observasi dan terapi
antibiotik saja dapat menjadi pengobatan yang tepat untuk akut apendisitis.5
Bila terjadi perforasi akan terbentuk abses apendiks. Ditandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan masa, serta
bertambahnya angka leukosit.21
Ruptur apendiks harus dicurigai jika terjadi demam dengan suhu >39° C dan
jumlah sel darah putih >18.000 sel/mm3.5
Peritonitis
Peritonitis umum terjadi proses Walling-off tidak efektif saat terjadi perforasi.5
Ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defens muskuler terjadi di seluruh perut,
mungkin disertai dengan pungtum maksimum di region iliaka kanan.8
Fungsi peritoneum :
1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
27
peritoneum tidak saling bergesekan
3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen
4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi.
b. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membran serosa rongga abdomen dan
dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya,
apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Dalam
istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri tekan dan
nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan
terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum bereaksi
terhadap stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit
yang mendasarinya.
c. Etiologi
Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer
(peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ viseral),
atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat).
Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif
(umum) dan abses abdomen (lokal). Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan
sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya.
29
d. Patogenesis
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Bila bahan-bahan infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oliguri.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan
adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme
terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam
jumlah yang sangat banyak di antara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme
tubuh yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk
menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat
banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan
penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen-kompartemen yang kita kenal
sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai
sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral
atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen.
Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen,
peritonitis terjadi juga memang karena virulensi kuman yang tinggi hingga
mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan
makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur,
misalnya pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakteri gram negatif,
terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah
Candida albicans yang relatif tinggi. Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena
melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
30
e. Manifestasi Klinik
Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya
penderita muntah, demam tinggi, merasakan nyeri tumpul di perutnya, distensi
abdomen. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan
jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa
menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa
berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan
tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah
ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit.
Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati
dan bekuan darah yang menyebar
f. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya
(peritoneum viseral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum
parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya perforasi
lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat, atau iskemia usus, nyeri
abdomennya berlangsung luas di berbagai lokasi.
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya, yakni demam
tinggi, atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi, hingga
menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum
di tempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang, biasanya
karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi
yang menyakitkan, atau bisa juga memang tegang karena iritasi peritoneum. Nyeri ini
kadang samar dengan nyeri akibat apendisitis yang biasanya di bagian kanan perut,
atau kadang samar juga dengan nyeri akibat abses yang terlokalisasi dengan baik. Pada
penderita wanita diperlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri
akibat pelvic inflammatory disease, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada
keadaan peritonitis yang akut.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa saja jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi, (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
31
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma kranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita
dengan paraplegia, dan penderita geriatri. Penderita tersebut sering merasakan nyeri
yang hebat di perut meskipun tidak terdapat infeksi di perutnya.
Foto rontgen diambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang
terdapat dalam perut dapat terlihat pada foto rontgen dan merupakan petunjuk adanya
perforasi. Kadang-kadang sebuah jarum digunakan untuk mengeluarkan cairan dari
rongga perut, yang akan diperiksa di laboratorium, untuk mengidentifikasi kuman
penyebab infeksi dan memeriksa kepekaannya terhadap berbagai antibiotika.
Pembedahan eksplorasi merupakan teknik diagnostik yang paling dapat dipercaya.
g. Penatalaksanaan
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit
bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan ke dalam
ruang vaskuler.
Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai
terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam
menghilangkan distensi abdomen dan meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga
abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi paru dan
menyebabkan distress pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker
akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan
napas dan bantuan ventilasi diperlukan.
Bedah tetap menjadi landasan dalam penatalaksanaan peritonitis. Setiap operasi
harus membahas 2 prinsip pengobatan infeksi intra-peritoneal: awal dan definitif
kontrol sumber menentukan fokal infeksi dan eliminasi bakteri dan toksin dari cavum
peritoneal. Masalah waktu dan kemampuan kontrol bedah sangat penting karena
operasi yang tidak tepat, sebelum waktunya, atau salah mungkin memiliki efek negatif
pada hasil (dibandingkan dengan terapi medis).
32
Pendekatan operasi ini berdasarkan oleh proses penyakit yang mendasari dan
jenis dan tingkat keparahan infeksi intraabdomen. Dalam banyak kasus, indikasi
intervensi operasi akan menjadi jelas, seperti dalam kasus peritonitis yang disebabkan
oleh kolitis iskemik, appendicitis perforasi, atau divertikulum koli.
Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan kepada eksisi terutama bila terdapat
apendisitis, reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki pada ulkus
peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis dan drainase pada abses. Pada
peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita,
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila
perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Namun, pada sepsis abdomen, keterlambatan dalam manajemen operasi dapat
menyebabkan kebutuhan secara signifikan lebih tinggi untuk reoperatsi dan prognosis
lebih buruk. Eksplorasi awal (yaitu, sebelum diagnostik tertegakkan) dapat
ditunjukkan. Intervensi bedah mungkin termasuk reseksi viskus berlubang dengan
reanastomosis atau pembuatan suatu fistula. Untuk mengurangi kontaminasi bakteri,
sebuah lavage rongga perut dilakukan, dengan perhatian khusus pada daerah rawan
untuk pembentukan abses (misalnya, paracolic gutters, subphrenic area).
1. Laparatomi eksplorasi
Dalam situasi tertentu, pendekatan tingkatan operasi terhadap infeksi
intraperitoneal adalah tepat. Tingkatan dapat dilakukan sebagai operasi kedua untuk
melihat atau melalui manajemen terbuka, dengan atau tanpa penutupan sementara
(misalnya, mesh, VAC teknik).
Operasi kedua dapat digunakan sebagai kontrol kerusakan. Dalam kasus ini,
pasien di operasi awal sakit berat dan tidak stabil dari syok septik atau koagulopati.
Tujuan operasi awal adalah untuk menyediakan drainase awal dan untuk
menghilangkan jaringan nekrotik. Kemudian, pasien diresusitasi dan dan stabil di ICU
selama 24-36 jam dan kembali ke ruang operasi untuk drainase definitive dan
menemukan sumber infeksi. Pada peritonitis berat, terutama dengan keterlibatan
33
retroperitoneal luas, laparatomi eksplorasi dengan reexploration, debridemen, dan
lavage intraperitoneal telah terbukti efektif. Keputusan untuk melakukan serangkaian
reexplorations dapat dilakukan selama operasi awal jika debridemen tambahan dan
lavage diperlukan lebih dari itu yang dapat dicapai dalam prosedur pertama. Indikasi
untuk relaparotomi direncanakan dapat mencakup kegagalan untuk mencapai sumber
infeksi, peritonitis difus, ketidakstabilan hemodinamik, dan hipertensi intraabdomen.
Relaparatomi multiple dapat berhubungan dengan risiko yang signifikan,
termasuk dari respons inflamasi substansial, pergeseran cairan dan elektrolit, dan
hipotensi, namun, ini harus seimbang terhadap risiko fokus nekrosis atau infeksi
abdomen. Teknik laparatomi ekspoirasi memungkinkan untuk drainase menyeluruh
dari infeksi intra-abdomen, namun indikasi tertentu tidak jelas. Dalam kasus lain,
pasien yang mengalami peritonitis lanjutan atau pembentukan abses membutuhkan
relaparotomi "on demand".
2. Laparoskopi
Laparoskopi digunakan secara lebih luas dalam diagnosis dan pengobatan
infeksi intra abdomianl. Seperti semua indikasi untuk operasi laparoskopi, hasil
bervariasi tergantung pada keterampilan dan pengalaman ahli bedah laparoskopi.
Pemeriksaan laparoskopi inisial dapat membantu dalam penentuan etiologi dari
peritonitis. Laparoscopic umum digunakan dalam perawatan appendicitis
uncomplicated, meski dalam studi awal, prognosis untuk apendisitis complicated
umumnya telah positif. Untuk appendicitis uncomplicated dan appendicitis
complicated, dikaitkan dengan lebih pendek masa perawatan dan infeksi luka yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pendekatan terbuka; namun operasi laparoskopi
dapat dikaitkan dengan kejadian lebih tinggi dari abses intra-abdomen.
Sebagai prosedur invasif minimal terus kemajuan teknologi, penggunaan
pendekatan ini cenderung meningkat, mengurangi kebutuhan akan pendekatan
laparatomi eksplorasi untuk drainase abses peritonea
34
3. Drainage with CT-scan dan USG guide
Akhir-akhir ini drainase dengan panduan CT-scan dan USG merupakan pilihan
tindakan nonoperatif yang mulai gencar dilakukan karena tidak terlalu invasif, namun
terapi ini lebih bersifat komplementer, bukan kompetitif dibanding laparoskopi, karena
seringkali letak luka atau abses tidak terlalu jelas sehingga hasilnya tidak optimal.
Sebaliknya, pembedahan memungkinkan lokalisasi peradangan yang jelas, kemudian
dilakukan eliminasi kuman dan inokulum peradangan tersebut, hingga rongga perut
benar-benar bersih dari kuman.
Tujuan pengobatan operatif dari peritonitis adalah untuk menghilangkan
sumber kontaminasi, untuk mengurangi inokulasi bakteri, dan untuk mencegah sepsis
berulang atau persisten. Sebuah insisi garis tengah vertikal adalah insisi pilihan pada
pasien dengan peritonitis umum sebagian besar karena memungkinkan akses ke
seluruh rongga peritoneal. Pada pasien dengan peritonitis lokal (misalnya, apendisitis
akut, kolesistitis), sebuah irisan langsung di atas lokasi patologi (misalnya, kuadran
kanan bawah, kanan subkostal) biasanya cukup. Pada pasien dengan peritonitis etiologi
tidak jelas itu, laparoskopi diagnostik awal mungkin berguna.
Anatomi intra-abdomen dapat terdistorsi secara signifikan karena massa
inflamasi dan adhesi. jaringan normal dan batas-batas mungkin menjadi tidak jelas.
Organ meradang sering sangat rapuh, dan ahli bedah harus berhati-hati ketika
mengeksplorasi pasien dengan infeksi peritoneal. Ketidakstabilan hemodinamik
mungkin terjadi pada setiap saat selama pengobatan karena bakteremia dan pelepasan
sitokin. Pasien sering menunjukkan pergeseran fluida yang signifikan ke rongga ketiga.
Pembengkakan usus, retroperitoneum, dan dinding abdomen dapat menghalangi
penutupan abdomen secara aman setelah kasus lama pada pasien yang sakit berat.
Peradangan menyebabkan hiperemia regional, dan sepsis dapat menyebabkan
defisit koagulasi dan disfungsi trombosit, yang menyebabkan perdarahan meningkat.
Ketika dihadapkan dengan peritonitis luas dan shock septik, drainage infeksi
sementara, mengendalikan kebocoran dengan cepat (misalnya, oversewing), dan
35
menunda setiap perbaikan pasti sampai pasien telah pulih dari keadaan awal mungkin lebih
baik.
Salah satu keputusan penting dalam pengobatan bedah pasien dengan peritonitis
parah adalah mengenai apakah akan menggunakan teknik tertutup atau terbuka. Tujuan dari
teknik tertutup adalah untuk memberikan pengobatan bedah definitif pada awal operasi;
melakukan penutupan fasia dasar dan melakukan laparotomi ulang hanya jika secara klinis
ditunjukkan perburukan. Tujuan dari teknik terbuka adalah menyediakan akses langsung
untuk daerah yang terkena. Sumber infeksi dicapai melalui reoperasi berulang atau teknik
perut. Teknik ini mungkin cocok untuk pengendalian kerusakan awal pada peritonitis yang
luas.
Juga mempertimbangkan pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya sindrom kompartemen
abdomen (misalnya, distensi usus, edema dinding abdomen yang luas dan edema organ intra-
abdomen) untuk teknik ini karena upaya untuk melakukan penutupan fasia utama yang mungkin
telalu tegang yang terkait dengan peningkatan kejadian MOF (misalnya, ginjal, pernafasan),
nekrosis infeksi dinding abdomen, dan kematian.
Abses hepar
Ileus
Syok septik
2.3.11 Prognosis
Angka kematian akibat apendisitis yaitu 0,2-0,8% yang lebih banyak disebabkan
komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Angka kematian pada anak-anak berkisar
antara 0,1% sampai 1%; pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun, angka kematian naik di atas
20%, terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi. Perforasi apendiks dikaitkan dengan
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan apendisitis nonperforasi.
Risiko kematian apendisitis akut tanpa gangren kurang dari 0,1%, namun risiko meningkat
menjadi 0,6% pada apendisitis gangren. Tingkat perforasi bervariasi dari 16% hingga 40%,
dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada kelompok usia muda (40-57%) dan pada pasien
yang lebih tua dari 50 tahun (55-70%), dimana sering terjadi misdiagnosis
36
dan diagnosis yang tertunda. Komplikasi terjadi pada 1-5% pasien dengan apendisitis, dan
infeksi luka pasca operasi menyebabkan kematian untuk hampir sepertiga dari morbiditas
terkait.19
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil patologi
menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali
sembuh spontan. Namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi
fibrosis dan jaringan parut. Resiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%.8
Diagnosis baru dapat ditegakkan jika semua syarat terpenuhi : (1) riwayat nyeri perut
kanan bawah yang lebih dari dua minggu, (2) terbukti terjadi radang kronik baik secara
makroskopik maupun mikroskopik (adanya fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik), dan (3) keluhan menghilang pasca apendektomi.8
Insidens apendisitis kronik adalah sekitar 1%.8
37
BAB III
LAPORAN KASUS
Identititas pasien
Nama : Tn. AD
Usia : 12 tahun
Tanggal lahir : 10-04-2008
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Piladang
Suku : Minang
Status perkawinan : Belum Menikah
Negeri asal : Indonesia
No. RM :
Anamnesis
Pasien masuk ke RSUD pada tanggal 11 Januari 2020 melalui Poli Bedah dengan:
Keluhan Utama
Nyeri perut di perut kanan bawah sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit.
BAK normal, BAB normal. Riwayat BAB berdarah tidak ada. Riwayat diare tidak ada.
38
Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat Cefotaxime
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Nafas : 20 kali/menit
Suhu : 37,4 oC
Skala nyeri :3
BB : 40 kg
TB : 150 cm
IMT : 17,8 kg/m2
Status General
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Kulit : Turgor kulit baik, tidak ada ikterik
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ditemukan kelainan
39
Leher : Tidak ditemukan kelainan
Dinding dada : Normochest
Paru
Inspeksi : Simetris, pergerakan dinding dada kiri dan kanan sama
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari LMCS sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik
Status Lokalis Abdomen
Inspeksi : Distensi abdomen (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans muscular (+), Mcburney Sign (+),
Rovsing Sign (+), Blumberg Sign (+), Psoas Sign (+), Obturator Sign (+)
Perkusi : Nyeri ketok (+)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Diagnosis Kerja
Suspek apendisitis kronis
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium (tanggal 4 Januari 2020)
Hemoglobin : 14,6 g/dl
Leukosit : 7.000 /mm3
Trombosit : 211.000 /mm3
Hematokrit : 45%
HBsAg : Negatif
40
Diagnosis
Apendisitis kronis
Tatalaksana
Rencana appendiktomi
Inform concent
Pasien dipuasakan
IVFD RL
Ceftriaxone 2x500mg
Paracetamol 3x500mg
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
41
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berusia 12 tahun datang ke Poli pada tanggal 11 Januari 2020
dengan keluhan nyeri perut di perut kanan bawah sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri seperti ditekan dirasakan hilang timbul, meningkat saat bergerak dan setelah makan. Nyeri
juga dirasakan sampai ke perut sebelah kiri. Pasien belum pernah dibawa berobat sebelumnya.
Pasien juga mengeluhkan demam dan penurunan nafsu makan. Dari anamnesa dapat diperkirakan
beberapa diagnosa pada pasien seperti apendisitis kronis. Pada kasus ileus obstruksi dapat
disingkirkan karena nyeri abdomen yang dirasakan tidak memiliki riwayat perjalanan nyeri yang
dimulai dari umbilikus / epigastrium dan menjalar ke arah kanan bawah, serta pada pemeriksaan
fisik dapat terlihat darm contour dan darm steifung sedangkan pada pasien tidak ditemukan, dan
bising usus pada ileus obstruksi akan meningkat sementara pada pasien bising usus menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan, nyeri lepas di regio perut kanan bawah,
defans muscular, nyeri ketok. Didapatkannya mcBurney sign, rovsing sign, blumberg sign, psoas
sign, obturator sign mengindikasikan pasien mengalami apendisitis kronis karena keluhan juga
sudah dirasakan satu bulan sebelum masuk rumah sakit.
Pada umumnya, diagnosa apendisitis dapat ditegakkan secara klinis dari data anamnesa
dan pemeriksaan yang telah dilakukan. Akan tetapi ada beberapa parameter pemeriksaan yang
dapat membantu memperkirakan kemungkinan terjadinya apendisitis pada pasien, salah satunya
Alvarado Score. Alvarado Score mencakup keterangan mengenai pasien berupa 4 gejala klinis dan
0 pemeriksaan laboratorium. 4 gejala tersebut mencakup anoreksia, nyeri tekan kuadran kanan
bawah, nyeri lepas kuadran kanan bawah, dan demam. Sedangkan tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang menjadi parameter pada pasien. Pada pasien didapatkan 4 gejala klinis dan 0
pemeriksaan laboratorium yang bernilai positif dengan score 5 yang menandakan apendisitis tapi
tidak perlu dioperasi segera.
42
DAFTAR PUSTAKA
5. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s Principles of
Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.
6. Vermiform Appendix. WebMD LLC; c1994-2014 [Updated: 2013 Oct 18, cited March
2016]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/195652.
7. Snell RS. Abdomen: Bagian II Cavitas Abdominalis. In: Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Suyono YJ, Susilawati, Nisa TM, et al. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. 6th ed. Jakarta:EGC, 2006.p230-1.
8. Sjamsuhidajat R. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum: Apendiks
Vermiformis. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Theddeus OHP, Rudiman Reno.
Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-deJong. 3rd ed. Jakarta:EGC, 2010.p755-62.
9. Terminal ileum and appendix. Anatomy Directory. [cited 2016 March]. Available from:
http://www.aokainc.com/terminal-ileum-and-apendiks/
10. Fritsch H, Kühnel W. Color atlas of human anatomy, Internal organs. Thieme Medical
Publishers. (2008)
11. Ghosh BD. Human Anatomy for Students. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.
43
12. Appendix variations. Shie Kasai. [cited March 2016] Available from:
http://www.shiekasai.com/aux/medical-illustration/
13. Bewes P. Appendicitis. [cited 2016 March]. E-Talc Issue 3. Available from:
http://web.squ.edu.om/medLib/MED_CD/E_CDs/health
%2520development/html/clients/beweshtml/bewes_01.htm.
14. Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al. Surgery Basic
Science and Clinical Evidence. 2nd Ed. New York: Springer. 2008.
15. Puylaert JB. Acute appendicitis: US evaluation using graded compression. Radiology.
1986;158 (2): 355-60.
17. Callahan MJ, Rodriguez DP, Taylor GA. CT of appendicitis in children. Radiology.
2002;224 (2): 325-32. doi:10.1148/radiol.2242010998.
18. Pereira JM, Sirlin CB, Pinto PS et-al. Disproportionate fat stranding: a helpful CT sign
in patients with acute abdominal pain. Radiographics. 24 (3): 703-15.
19. Appendicitis. WebMD LLC; c1994-2014 [Updated: Jul 21, 2014, cited March 2016].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/773895-
overview#aw2aab6b2b7aa.
20. Temple CL, Huchcroft SA, Temple WJ. The natural history of appendicitis in adults. A
prospective study. Ann Surg 1995 Mar; 221: 278-81.
21. Doherty GM, Way LW. Current surgical diagnosis & treatment. McGraw-Hill Medical.
(2006)
22. Birnbaum BA, Wilson SR. Appendicitis at the millennium. Radiology 2000 May; 215:
337e48.
23. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Editors. Skandalakis’ Surgical
Anatomy. USA: McGrawHill. 2004.
24. Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. Editors. Bailey and Love’s Short Practice
of Surgery. 24th Ed. London: Arnold. 2004.
25. Patnalk VG, Singla RK, Bansal VK. Surgical Incisions-Their Anatomical Basis. J Anat.
Soc. India 50(2) 170-178 (2001
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53