b. Agency Theory
Teori keagenan menekankan pentingnya pemegang saham (prinsipal) menyerahkan
pengelolaan perusahaan kepada tenaga profesional (agen) yang lebih paham bagaimana
menjalankan bisnis sehari-hari. Banyak pemegang saham yang bertindak pasif dalam
kegiatan operasional perusahaan, oleh karena itu manajer diharapkan bertindak demi
kepentingan pemegang saham. Namun, kenyataannya manajer sering kali bertindak untuk
kepentingan pribadinya. Perbedaan kepentingan ini dikenal dengan nama konflik
keagenan.
Implikasi teori keagenan terhadap konsep Corporate Governance adanya pemberian
insentif dan melakukan monitoring (pengawasan). Mekanisme insentif berupa gaji, dan
insentif berbasis kinerja, seperti pemberian saham perusahaan diharapkan dapat
mendorong para manajer untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham.
Monitoring dilakukan oleh pihak independen dengan cara mengawasi apakah agen telah
bertindak sesuai kepentingan prinsipal dengan melaporkan secara akurat semua aktivitas
yang telah ditugaskan kepada manajer.
c. Entity Theory
Teori entitas ini memandang pemegang saham (saham biasa dan istimewa)
sebagai pemilik dan menjadi pusat perhatian akuntansi. Teori entitas mengamsumsikan
pemisahan antara kepentingan pribadi pemegang saham dengan perusahaan. Kreditor
dianggap sebagai pihak luar. Pemegang saham tetap menjadi mitra manajemen.
Pemegang saham menjadi pemilik aset dan menanggung segala risiko terkait utang.
Dengan sudut padang ini, aset bersih menjadi perhatian utama bagi pemegang saham.
Entitas Theory melahirkan agency theory dan stewardship theory, dimana kedua teori
ini sangat berperan dan paling banyak dirujuk untuk pembentukkan struktur Corporate
Governance.
d. Stakeholder Theory
Teori ini mengartikan suatu organisasi sebagai kesepakatan multilateral antara
perusahaan dan berbagai stakeholdernya. Ada hubungan perusahaan dengan pihak
internal (pegawai, manajer, pemilik) ada juga hubungan perusahaan dengan pihak di
luar perusahaan (pelanggan, pemasok, pesaing, masyarakat).
Artinya, stakeholder theory menjelaskan bahwa direktur dan manajer
perusahaan harus dapat memenuhi harapan semua stakeholder bukan hanya pemilik
perusahaan saja. Perusahaan yang menciptakan hubungan positif dengan seluruh
stakeholder disebut perusahaan yang dapat menciptakan keberlanjutan kesejahteraan
ekonomi. Semakin besar suatu perusahaan semakin besar tanggung jawannya bagi
masyarakat, bukan hanya sekedar memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham.
Implikasi teori ini untuk kegiatan Corporate Governance adalah perusahaan
mendirikan unit yang khusus menangani komunikasi dengan stakeholder yang dikenal
dengan nama departemen komunikasi perusahaan atau public affairs departement.
e. Political Theory
Political theory menyatakan bahwa alokasi kekuasaan dalam perusahaan,
previlege, atau alokasi laba di antara pemilik, manajer, dan stakeholder lainnya
ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan politis. Dalam hal ini pemerintah dapat
berperan penting dalam menentukan alokasi tersebut. Alokasi kekuasaan dalam teori
corporate governance juga harus dilihat dari perspektif budaya, sehingga dapat
dikatakan tidak ada satu model corporate governance yang dapat digunakan sekaligus
untuk beberapa negara, bahkan oleh beberapa perusahaan dalam satu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarti, I. (2011). Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (Gcg) Pada Dunia
Perbankan. Majalah Ilmiah UNIKOM, 8(2), 263–269.
Hamdani. 2016. Good Corporate Governance: Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis. Jakarta:
Mitra Wacana Media.
Putri, I Gusti Ayu Made Asri Dwija, dan Ulupui, I Gusti Ketut Agung. 2017. Pengantar
Corporate Governance. Denpasar: CV. Sastra Utama.
Tertius, M. A., & Christiawan, Y. J. (2015). Pengaruh Good Corporate Governance terhadap
Kinerja Perusahaan pada Sektor Keuangan. BUSINESS ACCOUNTING REVIEW, 3(1),
223–232. https://doi.org/10.17509/jaset.v1i1.8907
Wanodyatama, Nungki. 2014. Menjadi BUMN Ber-Good Corporate Governance Terbaik di
http://bumn.go.id/jasatirta1/berita/687 (diakses tanggal 9 Februari 2020).