Disusun Oleh:
Fanza Fatina Ajjauza - 1706075685
Pembimbing,
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Penulisan laporan
kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan mata kuliah Praktik Klinik II
Periode II. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, penyusunan laporan kasus ini akan sangat sulit untuk diselesaikan. Oleh karena
itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1) Ibu Alfian Hermawati, A.Md.O.T, S.Psi dan Ibu Hana Magdalena
D.G, A.Md.O.T, selaku pembimbing lahan yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan laporan kasus;
2) Bapak Iwan Safir Alam, S.E selaku kepala Yayasan Heesu Cahaya
Cinta yang telah memberikan kesempatan, pembelajaran, serta
informasi yang berguna dalam pelaksanaan praktik klinik ini;
3) Seluruh staff yang bekerja di Yayasan Heesu Cahaya Cinta yang telah
banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang penulis
perlukan.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan
dapat digunakan sebagai wadah pengembangan ilmu.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB 1 ....................................................................................................................... 6
PENDAHULUAN ................................................................................................... 6
BAB II .................................................................................................................... 12
3
2.3 Aktivitas Melepaskan Pakaian ................................................................. 23
PEMBAHASAN .................................................................................................... 33
4
BAB IV .................................................................................................................. 60
BAB V .................................................................................................................... 77
5
BAB 1
PENDAHULUAN
6
yang lahir secara prematur lebih besar jika dibandingkan dengan anak yang
lahir cukup bulan (sekitar 1 sampai 1,5 per 1000 kelahiran) (McAdams dan
Juul, 2015).
Seorang anak akan mampu meningkatkan kemampuan dan
kemandiriannya dalam aktivitas keseharian dengan meningkatkan kapasitas
motorik kasar, serta fungsi manual, intelektual, dan komunikatif. Kemampuan
untuk melakukan fungsi motorik kasar akan mempegaruhi berbagai jenis
kegiatan sehari-hari. Sehubungan dengan hal tersebut, anak-anak dengan CP
memiliki masalah dalam mengontrol pergerakannya (motorik kasar), sehingga
aktivitas kesehariannya pun menjadi terganggu (Kim, Kang, dan Jang, 2017).
Hal tersebut juga didukung dengan suatu penelitian yang menyatakan bahwa
seorang anak dengan CP, jika memiliki kemampuan motorik kasar yang baik
(dalam penelitian tersebut, kemampuan motorik kasar yang dimaksud adalah
kemampuan berjalan atau penggunaan kedua kaki secara mandiri), akan
meningkatkan juga performa anak tersebut dalam hal occupational
performance terutama pada ADL (Activity of Daily Living) dan IADL
(Instrument of Activity Daily Living) nya (Pashmdarfard dan Amini, 2017).
Pada kasus yang diangkat penulis, klien dengan diagnosis cerebral
palsy spastic diplegia memiliki hambatan dalam melakukan aktivitas
kesehariannya (ADL), yaitu berpakaian atau lebih tepatnya pada aktivitas
melepaskan pakaian saat akan melakukan aktivitas mandi. Kemampuan
berpakaian secara mandiri pada anak maka meliputi kemampuannya dalam
memakai pakaian dari tahapan awal hingga akhir tanpa bantuan dari orang
lain. Kemampuan berpakaian tidak hanya meliputi kemampuan memakainnya
saja, namun juga ketika melepaskannya (NHS, 2014). Hal ini (melepaskan
pakaian) menjadi penting bagi klien karena harapan orang-orang disekitarnya
agar klien mampu mandiri pada usianya yang sudah menginjak 18 tahun,
dimana seharusnya anak mampu melakukan aktivitas berpakaian secara
mandiri sejak usia 5 tahun menurut perkembangan milestone (Scharf, et al.,
2016). Selain itu, klien yang penulis ambil memiliki riwayat skoliosis yang
7
cukup parah sehingga salah satu paru-parunya (kanan) tertekan dan
mengakibatkan klien menjadi lebih banyak berkeringat sehingga jika klien
tidak mampu melepaskan pakaiannya untuk mandi akan menimbulkan
ketidaknyamanan serta bau badan yang akan mempengaruhi hubungan sosial
klien dengan orang-orang disekitarnya, dan klien memang merupakan
seseorang yang sangat memperhatikan penampilannya. Hal tersebut terlihat
dari perilaku klien yang selalu menanyakan penampilannya kepada penulis.
Skoliosis yang klien miliki juga membuat klien menjadi lebih mudah sesak,
oleh karena itu modifikasi cara dalam melakukan aktivitas melepas pakaian
juga menjadi penting. Untuk membantu klien pada permasalahan tersebut,
salah satu profesi yang dapat menanganinya adalah Okupasi Terapi.
Okupasi Terapi merupakan suatu profesi yang memiliki tujuan utama
untuk memfasilitasi tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang dengan
membantu mereka dalam meningkatkan kemampuannya melalui keterlibatan
secara langsung dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap penting
dan bermakna. Area-area yang dimasuki okupasi terapi adalah berbagai
macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari
kebersihan diri sampai performa sekolah dan bekerja, serta pemanfaatan
waktu luang (leisure) (Cermak dan Borreson, 2016). Dalam melakukan
intervensinya, okupasi terapi memiliki beberapa kerangka acuan yang dapat
digunakan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan klien, beberapa diantaranya
adalah rehabilitative frame of reference dan task-oriented approach.
Kerangka acuan rehabilitative adalah kerangka acuan yang
menganggap rehabilitasi sebagai suatu proses untuk memfasilitasi kemampuan
klien dalam memenuhi aktivitas keseharian dan peran sosial dengan
kompetensi. Kerangka acuan ini memfokuskan klien terhadap kemampuan
yang masih mereka miliki dan dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan
melihat ketidakmampuan, untuk mencapai level fungsional tertinggi pada
aktivitas yang diinginkan. Kerangka acuan rehabilitative menganut konsep
adaptasi, kompensasi, dan modifikasi lingkungan (Gillen, 2014). Menurut
8
Pawal (2017), kerangka acuan rehabilitative juga memandang penting adanya
penyederhanaan kerja dan konservasi energi, sehingga kerangka acuan ini
tepat bila digunakan pada klien dengan kasus skoliosis ini. Sedangkan
kerangka acuan task-oriented approach (TOA) adalah kerangka acuan yang
juga memiliki sebutan task-specifis training, goal-directed, task-related
training, functional task practice, dan repetitive task practice, yang
merupakan jenis kerangka acuan yang melatih kemampuan tugas motorik
secara spesifik dan menerima umpan balik atau feedback (Choi dan Jung,
2018). Pendekatan ini juga berasumsi bahwa 1) aktivitas yang fungsional akan
mengatur perilaku motorik; 2) perilaku motorik merupakan hasil dari
hubungan antara person dan environment; 3) performa okupasi yang dilihat
setelah kerusakan pada sistem saraf pusat terjadi akan merefleksikan
percobaan klien dalam mencapai aktivitas tujuannya; 4) eksplorasi dan latihan
adalah cara bagi seseorang untuk menemukan solusi atas masalah motorik
(Preissner, K., 2010).
9
care klien dengan cerebral palsy khususnya pada aktivitas melepaskan
pakaian.
10
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan kasus ini terdiri dari empat BAB, yaitu:
1. BAB I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika
penulisan.
2. BAB II berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari landasan-landasan teori
penunjang penatalaksanaan program okupasi terapi yang akan dilakukan,
yaitu mencakup cerebral palsy, okupasi terapi, kerangka acuan
rehabilitative dan task-oriented pproach (TOA), pemeriksaan penunjang
serta penjelasan tentang aktivitas melepaskan pakaian.
3. BAB III berisi rancangan program okupasi terapi dalam melakukan
intervensi. Terdiri dari data pasien, informasi subyektif, informasi
obyektif, aset dan limitasi, pengkajian/assessment okupasi terapi,
ringkasan kasus, kesimpulan problematik okupasional, program okupasi
terapi, dan home program.
4. Bab IV berisi pelaksanaan, hasil, dan diskusi.
5. Bab V berisi kesimpulan dan saran dari penulisan laporan kasus.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
sehingga membutuhkan bantuan dalam jangka waktu yang panjang. Bagi
seseorang dengan mild CP, biasanya mampu berjalan sendiri walaupun dengan
gerakan yang kikuk, namun tidak begitu memerlukan bantuan khusus dari
orang lain. Memang CP bukanlah suatu gangguan yang dapat memburuk,
namun tingkatan gejala yang ada pada CP dapat berubah-ubah semasa
hidupnya (CDC, 2019).
Hal-hal yang menghubungkan setiap individu dengan CP adalah onset
klinis dan fungsional dari gejala pada masa awal perkembangan, seberapa
tinggi probabilitas dari suatu gejala dapat mempengaruhi seluruh kehidupan
individu dan kurangnya penyembuhan yang pasti pada saat ini. Hampir semua
anak dengan CP mampu mepertahankan kehidupannya sampai ia dewasa.
Faktanya adalah bahwa menurut data population-based dari California
Department of Developmental Services, bahkan diantara anak muda dengan
CP yang paling fungsional sekalipun telah sangat meningkat selama beberapa
dekade terakhir, tetapi tetap lebih rendah daripada biasanya dalam
kemampuan mengembangkan kontrol (Graham, Kerr., et al., 2016).
Secara tradisional, CP telah diidentifikasi sebagai bagian dari spectrum
neurodisablitias, dengan keharusan dalam memahami pentingnya poin
etiologi, serta petensi pencegahan primer dan pemberian terapi dari awal yang
dapat mengurangi efek fungsi dari kerusakan otak yang terjadi. Walaupun
begitu, CP merupakan suatu kondisi yang terjadi pada masa awal kehidupan
bayi dan bertahan sepanjang masa hidup individu, maka gangguan ini harus
dipikirkan dan dikelola dalam konteks perkembangan, fungsi, dan keluarga.
Intervensi yang nantinya diberikan akan berguna untuk meningkatkan fungsi
dari keluarga serta kesejahteraan untuk mencegah terjadinya gangguan atau
kerusakan muskuloskeletal sekunder dan membantu keluarga dalam
merencanakan kehidupan yang sukses pada anak mereka dalam menghadapi
perbedaan perkembangam (Graham, Kerr., et al., 2016).
13
2.1.2 Anatomi Otak pada Cerebral Palsy
Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa CP merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada otak, dan akan mempengaruhi fungsi-fungsinya
sesuai dengan area otak yang terkena. Oleh karena itu, anatomi otak pada anak
dengan CP akan berkaitan dengan tipe CP yang mereka miliki. Diketahui
bahwa area otak yang dapat terganggu pada CP terbagi menjadi (Gillete,
2009) :
1. Korteks Cerebral
Area ini menghasilkan keinginan dan kemampuan seseorang
dalam bergerak. Kerusakan pada bagian ini dapat menyebabkan
spastic atau kekakuan otot, yang merupakan suatu hal yang sering
terjadi pada anak dengan CP.
2. Basal ganglia
Area ini mengatur kemampuan otak dalam me-recall
kemampuan pola pergerakan yang telah dipelajari sebelumnya,
seperti berjalan, duduk, dan menari. Jika terjadi kerusakan pada
bagian ini, hal yang dapat terjadi adalah gangguan pada tonus otot,
seperti hipotonus (tonus otot rendah), hipertonus (tonus otot tinggi
namun berbeda dengan spastisitas), dan distonia (tonus otot yang
berubah-ubah), dan korea serta athetoid (pergerakan involunter
pada otot).
3. Cerebellum
Area ini berfungsi untuk mengontrol dan mempertahan fungsi
keseimbangan serta koordinasi pergerakan. Jika terjadi kerusakan
pada bagian ini akan menyebabkan tremor setiap mencoba untuk
bergerak, hipotonus, dan ataxia (gangguan koordinasi gerak).
14
Gambar 1. A Guide to Understanding Cerebral Palsy. (2009). https://ethnomed.org/patient-
education/neurological-conditions/cerebral-
palsy/A%20Guide%20to%20Undertanding%20Cerebral%20Palsy.pdf/view
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi cerebral palsy dibedakan berdasarkan dua hal, yaitu area
yang terkena dan jenis gangguan gerakan yang dialami. Berdasarkan area, CP
terbagi menjadi (Pavone dan Testa, 2015) :
1. Quadriplegic
Merupakan tipe yang paling parah karena mempengaruhi
keempat ekstremitas (atas dan bawah) dan biasanya bagian
ekstremitas atas akan terpengaruh lebih parah jika dibandingkan
dengan ekstremitas bawah.
2. Hemiplegic
Pada CP tipe ini, area tubuh yang terkena adalah hanya satu sisi
bagian tubuh pada ekstremitas atas dan bawah, contoh : ekstremitas
kanan atas dan bawah atau ekstremitas kiri atas dan bawah.
15
3. Diplegic
Pada CP tipe ini, area tubuh yang terkena adalah kedua sisi
pada esktremitas bawah.
16
Biasanya CP tipe ini memiliki jenis tonus yang hipo atau low tone
(tonus otot rendah).
2.1.4 Etiologi
Cerebral Palsy disebabkan oleh adanya perkembangan abnormal pada
otak maupun karena kerusakan yang terjadi pada otak janin dan atau bayi.
Etiologi yang terjadi pada setiap individu tentunya akan berbeda-beda.
Kerusakan yang terjadi pada otak bersifat non-progresif dan dapat terjadi pada
tiga masa kehidupan, yaitu prenatal, perinatal, dan post-natal (Jamika, et al.,
2019).
1. Prenatal
Congenital brain malformations
Intrauterine infections
Intrauterine stroke
Kelainan kormosom
2. Perinatal
Hypoxic-ischemic insults
Infeksi pada sistem saraf pusat
Stroke
Kernicterus
3. Post-natal
Trauma accidental maupun non-accidental
Infeksi pada sistem saraf pusat
Stroke
Anoxic insults
17
intraventrikular, dan infark periventrikular. Kemudian faktor risiko lainnya
yang dapat mengakibatkan CP adalah kehamilan ganda, intrauterine growth
restriction, penyalahgunaan obat-obatan kehamilan, preeclampsia,
chorioamnionitis, kelainan plasenta abnormal, meconium aspiration,
hipoglikemia perinatal, dan kerentanan genetik (Jamika, et al., 2019).
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi yang ada pada kasus CP akan sangat berkaitan dengan
proses perkembangan otak dan hal-hal yang mempengaruhi selama proses
perkembangan tersebut. Hal-hal besar yang dapat terjadi pada perkembangan
otak dan masa puncaknya adalah sebagai berikut (Abdel-Hamid, 2018) :
1. Neurulasi primer : Minggu 3-4 kehamilan
2. Perkembangan Prosensefalik : Bulan 2-3 kehamilan
3. Proliferasi neuronal : Bulan 3-4 kehamilan
4. Migrasi neuronal : Bulan 3-5 kehamilan
5. Organisasi : Bulan 5 dari kehamilan sampai pasca kelahiran dalam
hitungan bertahun-tahun
6. Mielinisasi : Lahir sampai pasca kelahiran dalam hitungan
bertahun-tahun
18
leukomalasia precentrikular; cedera otak pada usia kehamilan
antara 34 minggu dan 40 minggu dapat menyebabkan cedera otak
multifokal. Sedangkan cedera otak yang terjadi akibat insufisiensi
dari vaskular dapat terjadi karena berbagai faktor seperti
bagaimanakah distribusi vaskular ke otak, apakah aliran darah ke
otak efisien, dan bagaimana regulasi darah yang terjadi saat cedera.
Respon biokimiawi jaringan otak terhadap penurunan oksigenasi
juga merupakan faktor cedera otak karena insufisiensi vaskular.
2. Kelahiran prematur dan pembuluh darah otak
Sebelum masa matur, distribusi sirkulasi janin ke otak akan
menghasilkan kecenderungan hipoperfusi (akan menyebabkan
pendarahan matriks germinal atau periventrikular leukomalasia)
pada periventrikular white matter. Pada usia kehamilan antara 26
minggu dan 34 minggu, area periventrikular white matter yang
berdekatan dengan ventrikel lateral akan sangat rentan terhadap
terjadinya cedera yang akan mengakibatkan spastic diplegia karena
area tersebut merupakan area yang bertanggung jawab terhadap
kontrol motorik dan tonus otot kaki.
3. Periventrikular leukomalasia
Periventrikular leukomalasia dapat terjadi secara simetris dan
asimetris. Yang paling umum terjadi adalah cedera simetris yang
diduga disebabkan oleh cedera iskemik pada white matter pada
bayi yang lahir prematur. Sedangkan cedera asimetris dapat
menyebabkan satu sisi tubuh menjadi lebih terpengaruh daripada
satu sisi tubuhnya yang lain, seperti yang terjadi pada spastic
hemiplegic namun paling baik jika ditandai sebagai spastic diplegic
asimetris.
4. Pendarahan periventrikular dan intraventrikular
19
Tingkat keparahan pendarahan periventrikular dan
intraventrikular diklasifikasikan menjadi beberapa kelas,
diantaranya adalah sebagai berikut :
Kelas 1 : Pendarahan matriks subependymal dan / atau
germinal
Kelas 2 : Perdarahan subependymal dengan ekstensi ke
ventrikel
lateral tanpa pembesaran ventrikel
Kelas 3 : Perdarahan subependimal dengan ekstensi ke
dalam
ventrikel lateral dengan pembesaran ventrikel
Kelas 4 : Sebuah perdarahan matriks germinal yang
meluas ke
parenkim otak yang berdekatan, terlepas dari
ada atau tidak adanya perdarahan
intraventrikular
5. Cedera vaskuler serebral dan hipoperfusi
Saat matur, sirkulasi otak akan paling menyerupai sirkulasi
otak orang dewasa. Jika terjadi cedera pembuluh darah pada masa
ini, yang cenderung paling sering terkena adalah pada distribusi
arteri serebral tengah, yang mengakibatkan spastic hemiplegic
cerebral palsy. Selain itu, otak juga rentan terhadap terjadinya
hipoperfusi, yang biasanya akan mentargetkan watershed area pada
korteks (contohnya adalah zona akhir pada major cerebral
arteries), yang mengakibatkan terjadinya spastic quadriplegic
cerebral palsy. Kemudian jika yang terkena adalah bagian bangsal
ganglia, akan menyebabkan terjadinya dyskinetic cerebral palsy.
20
2.1.6 Prognosis
Pada anak dengan CP ringan, mereka kemungkinan akan memiliki
harapan hidup yang normal. Kemampuan berjalan dikemudian hari juga dapat
dilihat berdasarkan faktor usia anak, jika ia mampu duduk tanpa bantuan pada
usia 2 tahun maka kemungkinan besar ia akan mampu berjalan. Sementara
jika anak tidak mampu duduk tegak pada usia 4 tahun, kemungkinan ia dapat
berjalan adalah kecil. Kemudian pada anak CP tipe quadriplegic, kejang dan
retardasi mental yang cukup parah, serta komplikasi kondisi medis lain seperti
refluks dan penyakit paru-paru dapat menunjukkan hasil akhir yang lebih
buruk (Mandal, 2019)..
CP bukan merupakan penyakit yang progresif dan biasanya tidak akan
memburuk (non- degeneratif) namun memang tidak ada obat untuk kondisi ini
sehingga anak-anak dengan CP maupun keluarga atau orangtua harus
mencoba untuk menerima kondisi tersebut karena sifatnya yang permanen dan
tidak dapat diubah. Kemampuan kondisi fisik dan mental anak terakhir kali,
dan ketidakmampuan intelektual dapat membantu dalam memprediksi hasil
dan harapan hidup dari anak dengan CP. Terkait harapan hidup anak, banyak
dari mereka yang memiliki usia kehidupan yang panjang, bahagia, dan
menjalani kehidupan yang normal. Meski begitu, mereka tetap harus
berkunjung kepada profesi-profesi kesehatan terkait dengan kondisi fisik yang
mereka alami, seperti dokter ataupun terapis. Selain itu, anak dengan CP
kebanyakan membutuhkan alat bantu untuk menunjang kemampuannya dalam
melakukan aktivitas keseharian terkait kerusakan secara fisik yang mereka
alami (Mandal, 2019).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi masa kehidupan anak
dengan CP adalah antara lain seperti tingkatn keparahan pada kerusakan,
tingkat keparahan kemampuan mobilitas, adanya kejang, dan gangguan visual,
dan lain-lain. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan masa hidup adalah antara lain seperti meningkatkan mobilitas,
21
meningkatkan kemandirian, meningkkatkan kemampuan komunikasi dan
sosial, dan lain-lain (Mandal, 2019).
22
alat bantu mobilitas seperti kursi roda, perangkat kamar mandi; dan 5).
Penyediaan splint seperti ortosis pada tangan untuk memfasilitasi fungsi
tangan anak (Steultjens,et al., 2004).
23
bagian depan-belakang dan kanan-kiri pada pakaian (Guidetti dan Soderback,
2001).
24
Model treatment pada pendekatan rehabilitative adalah sebagai berikut
(Pawar, 2017) :
1. Evaluasi dan pelatihan perawatan diri
2. Mendapatkan alat bantu serta pelatihannya
3. Perawatan rumah tangga dan anak
4. Work simplification dan konservasi energi
5. Menggunakan work-related activities
6. Pelatihan ortotik prostetik
7. Modifikasi lingkungan
8. Manajemen kursi roda
25
aktivitas kesehariannya yang mengandung aktivitas bermakna dengan tujuan
memperoleh keterampilan. Aktivitas atau tugas yang digunakan merupakan
client centered dan bukan therapist centered (Choi dan Jung, 2018).
Menurut McDermott, et al. (2014), terdapat beberapa prinsip yang
digunakan pada TOA, diantaranya adalah :
1. Client-Centered, dimana treatment yang diberikan berpusat pada
partisipasi aktif klien selama terapi.
2. Occupation Based, yaitu penggunaan aktivitas yang bertujuan dan
bermakna bagi klien
3. Person and environment, yaitu pengidentifikasian faktor personal
dan lingkungan yang paling berpengaruh terhadap occupational
performance klien
4. Practice and feedback, terapis menyusun aktivitas untuk
meningkatkan motor learning, serta mendorong klien untuk
melakukan suatu eksperimen dalam mencari solusi masalah
occupational performance yang dimiliki
5. General treatment goal, yaitu kemampuan terapis dalam
menemukan pola gerakan yang optimal bagi klien dalam
melakukan aktivitas untuk mencapai fleksibilitas, efisiensi, dan
efektifitas serta mengembangkan kemampuan klien untuk dapat
memecahkan masalahnya sendiri yang terdapat di lingkungan,
sehingga klien mampu mandiri di kehidupannya.
26
2.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Range of Motion (ROM)
Terdapat dua cara untuk mengukur dan menjelaskan lingkup
gerak sendi (range of motion) atau LGS (ROM), yaitu pasif ROM dan
aktiv ROM. Pasif ROM (PROM) adalah derajat pergerakan sendi, ketika
pergerakan tersebut dibantu atau dilakukan oleh terapis. Sedangkan
Aktif ROM (AROM) adalah derajat pergerakan sendi, ketika
pergerakan tersebut dilakukan dengan kekuatan dan kemampuan klien
itu sendiri (tidak ada bantuan). Limitasi pada AROM dapat terjadi
karena terdapat kelemahan otot, sedangkan pada PROM dapat terjadi
karena terdapat pemendekan kulit, otot, dan sendi, atau bisa juga karena
pembengkakan dan nyeri. Jika terjadi keterbatasan gerak pada
ekstremitas atas, atau dengan kata lain tidak memiliki full ROM, pada
sendi-sendi bagian penggerak yang ingin klien lakukan atau diminta
untuk melakukannya, limitasi pada kemampuan fungsionalnya harus
dicatat diperhatikan (Phieros, 2015).
27
(menurunkan pergerakan halus dan motor control); 6). Skor 5 - ROM
penuh serta mampu melawan arah gravitasi dengan tahanan penuh atau
maksimal (LeFebvre, 1998).
28
memerlukan respon vokal dan mencakup orientasi, memori, dan atensi;
skor maksimal pada bagian ini adalah 21. Bagian yang kedua akan
menguji kemampuan seseorang dalam menamai, mengikuti dan
menuliskan instruksi verbal, menulis sebuah kalimat secara spontan, dan
mengkopi bentuk poligon yang kompleks serupa dengan Bender-Gestalt
Figure; skor maksimal pada bagian ini adalah sembilan (Folstein dan
McHugh, 1975). Skoring yang ada pada instrumen ini terbagi menjadi
tiga kelompok, diantaranya adalah 1). Skor ≤ 9 – gangguan kognitif
berat; 2). Skor 10 sampai 20 – gangguan kognitif sedang; 3). Skor 21
sampai 24 – gangguan kognitif ringan; 4). Skor diatas 25 (maksimal skor
adalah 30) – kognitif normal (Upton, J. 2013).
29
3. Level 3 : anak mampu berjalan indoor dan outdoor pada
permukaan yang datar menggunakan alat bantu, mampu
menaiki tangga dengan berpegangan, mampu mendorong kursi
rodanya sendiri atau didorong orang lain maupun diangkut saat
bepergian jarak jauh atau di luar ruangan yang permukannya
tidak rata.
4. Level 4 : anak kemungkinan dapat mempertahankan level
fungsionalnya yang dicapai sebelum usia 6 tahun atau lebih
mengandalkan kursi roda di rumah, sekolah, dan komunitas.
Anak mungkin dapat melakukan mobilisasi sendiri
menggunakan powered wheelchair.
5. Level 5 : terdapat gangguan fisik yang membatasi kontrol
gerakan secara volunteer dan kemampuan untuk
mempertahankan postur tubuh dan trunk anti-gravitasi. Anak
tidak mampu melakukan mobilisasi samasekali secara mandiri
dan berpindah dengan didorong oleh orang lain.
30
3. Level 3 : kesulitan dalam menangani objek; membutuhkan
bantuan untuk menyiapkan dan atau modifikasi aktivitas
4. Level 4 : hanya mampu menangani objek yang mudah diatur
pada situasi yang diadaptasi. Melakukan beberapa aktivitas
dengan usaha dan tingkat keberhasilan yang terbatas.
Memerlukan bantuan secara terus menerus serta alat bantu.
5. Level 5 : tidak mampu menangani objek dan sangat terbatas
kemampuannya bahkan dalam melakukan aktivitas yang
sederhana.
31
2.6 Yayasan Heesu Cahaya Cinta
Yayasan Heesu Cahaya Cinta yang terletak di Desa Situsari Kampung
Tunggilis No. 150, RT/RW 02/07, Kec. Cileungsi, Kab. Bogor, didirikan pada
tanggal 11 November 2018. Heesu merupakan yayasan yang ditempati oleh
beberapa anak-anak berkebutuhan khusus yang berjumlah 15 orang. Mayoritas
anak-anak yang terdapat di yayasan ini merupakan anak dengan cerebral
palsy, namun terdapat juga anak dengan ASD, tunagrahita, dan tunawicara.
Untuk menunjang kondisi kesehatan mereka, anak-anak di Yayasan Heesu
membutuhkan penanganan dari beberapa tenaga kesehatan seperti dokter
spesialis anak, neurologi, ortopedi, dan dokter rehabilitasi medik, kemudian
juga membutuhkan penanganan dari fisioterapi, terapi wicara, okupasi terapi,
ahli gizi, psikolog, dan guru pendidikan luar biasa (Indorelawan, 2016).
32
BAB III
PEMBAHASAN
33
● Sosial dan Ekonomi
Nn. RF tinggal di Yayasan Heesu sejak tahun 2009, dan menurut
pengakuan klien, ia sudah lama tidak dikunjungi oleh keluarganya. Keluarga
klien memiliki tempat tinggal di Bojong Gede, Bogor. Ayah klien bekerja
sebagai wiraswasta (tukang urut) dan pekerjaan ibu tidak diketahui.
● Harapan
Nn. RF ingin menjadi ketua kelas di Yayasan Heesu.
3.2.2 Informasi Obyektif
a. Penampilan Umum
Nn. RF menggunakan kursi roda khusus cerebral palsy, klien memiliki
rambut berwarna hitam dan ikal yang selalu dikuncir. Satu mata klien pada
sebelah kiri tertutup dan mata kanannya mengalami katarak.
b. Postur Tubuh dan Simetri
Postur tubuh klien tidak lurus tegak karena terdapat skoliosis sebesar
76º yang sehingga kesegarisan tubuh klien pun tidak simetris, ditandai
dengan sisi kiri yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sisi yang kanan.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Manual Muscle Testing (MMT)
Shoulder 5 5
Elbow 5 5
Wrist 5 5
34
2) Range of Motion (ROM)
Derajat
Lokasi Gerakan
Sinistra Dextra
Shoulder Adduksi 10 10
Pronasi 65 70
Forearm
Supinasi 60 60
Fleksi 50 50
Ekstensi 45 40
Wrist
Ulnar Deviasi 25 25
Radial Deviasi 15 15
/Elbow 0 1+
Wrist 0 0
Fingers 0 0
35
Thumb 0 0
4) Endurance
Ketahanan atau endurance pada Nn. RF dilakukan dengan menghitung
TTV pada saat sebelum melakukan aktivitas melepas pakaian dan juga
sesudahnya, dimana disini modifikasi tahapan serta bantalan yang digunakan
untuk mengurangi pemakaian energi (energy conservation) belum
digunakan. Perhitungan TTV pada aktivitas melepas pakaian setelah
digunakannya modifikasi cara dan energy conservation pada klien akan
dilakukan setelah intervensi program selesai dilakukan (digunakan sebagai
pembanding).
Pemeriksaan TTV Sebelum Sesudah
Tekanan Darah 110/80 mmHg 120/83 mmHg
Denyut Nadi 92x/menit 100x/menit
Frekuensi Napas 24x/menit 32x/menit
5) MMSE
Hasil pemeriksaan MMSE pada Nn. RF adalah 19 yang menandakan
terdapat gangguan kognitif ringan.
6) FIM
Nn. RF memiliki skor FIM 47, yang mengindikasikan bahwa klien
memerlukan bantuan maksimal dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
7) Pemeriksaan Fungsi Tangan
Nn. RF mampu melalukan seluruh aktivitas pemeriksaan tangan
kecuali pada pergerakan terkait menangkap.
8) GMFCS
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, Nn. RF berada dalam
GMFCS Level IV, dimana klien menggunakan kursi roda pada sebagian
besar aktivitasnya namun mampu mengoperasikan kursi rodanya sendiri.
36
9) MACS
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, Nn. RF berada dalam
MACS level III, dimana klien membutuhkan bantuan dalam menyiapkan
aktivitas atau modifikasi aktivitas/alat dan akan menjadi mandiri jika
kebutuhannya tersebut sudah terpenuhi.
Sub-
Komponen Aset (+) Limitasi (-)
Komponen
Nn. RF memiliki
Komponen
Kesadaran tingkat kesadaran
Sensomotorik:
Sensori sensori yang rendah
Sensori
pada visual nya.
37
Nn. RF terdapat
Visual
keterbatasan visual
38
Nn. RF mengetahui bagian
tubuhnya saat mahasiswa
memberikan intruksi yang
Body Scheme melibatkan nama anggota tubuh,
contoh : “keluarkan kepala”, klien
tidak salah mengartikan “kepala”
sebagai bagian tubuh yang lain
Nn. RF mampu
membedakan
Figure ground pakaian luar dan
dalamnya saat
melepaskan pakaian
39
Nn. RF belum
Nn. RF mampu menunjukkan arah
mampu menyebutkan
Orientasi menuju kamarnya dan kamar mandi
arah-arah menuju
topografi (tempat ia biasa melepaskan
tempat yang ada di
pakaiannya untuk mandi)
Yayasan Heesu
Terdapat jerky
Refleks movement tiap kali
Nn. RF tertawa
Terjadi peningkatan
tonus otot pada
Tonus otot klien normal pada elbow
Tonus Otot elbow dextra dengan
Komponen sinistra, wrist, fingers, dan thumb
nilai skala asworth
Sensomotorik:
1+
Terjadi peningkatan
Ketahanan pada pemeriksaan
TTV
Nn. RF memiliki
Kontrol
tulang belakang
Postural
skoliosis
40
Lunak aktivitas melepaskan pakaian
Nn. RF belum
Praksis
memiliki ide cara
41
melepaskan pakaian,
belum mampu motor
planning seperti
pergerakan apa saja
yang dibutuhkan
untuk melepaskan
pakaian, serta belum
optimal dalam motor
execution karena
memiliki gangguan
pada motor korteks
sehingga kesulitan
meng-eksekusikan
pergerakan apa saja
yang dibutuhkan
untuk melepaskan
pakaian
Koordinasi
Nn. RF mampu aktivitas manipulasi
Motorik
tangan, seperti finger to palm dan
Halus/Deksteri
palm to finger.
tas
Nn. RF memiliki
keterbatasan visual
Integrasi
sehingga cenderung
Visual-Motor
tidak melihat apa
yang ia kerjakan
Kontrol Oro-
Nn. RF tidak drooling
Motor
42
Nn. RF belum
optimal dalam
mempertahankan
Hand Skill
pola tangan full grip
saat melepaskan
pakaiannya
Rentang
Atensi
Nn. RF tidak mudah terdistraksi
(attention
span)
43
Nn. RF mampu mengingat pola
Memori:
gerakan tangan saat mengeluarkan
pakaian bagian kepala yang
Jangka Pendek
diajarkan mahasiswa setelah
(Short Term
mendapatkan distraksi (pola
Memory)
gerakan yang lain)
Nn. RF belum
Sequencing mengetahui urutan
melepaskan pakaian
44
Konsep bagian yang ada pada pakaian (atas-
bawah, kanan-kiri, depan-belakang)
Nn. RF
Mengelola membutuhkan
Waktu bantuan untuk
mengelola waktunya
Nn. RF belum
mampu
memposisikan
Pemecahan
tangannya saat
Masalah
kesulitan pada
aktivitas melepaskan
pakaian
Generalisasi
Nn. RF mampu mengikuti instruksi
pembelajaran
dari mahasiswa untuk melepaskan
(generalization
pakaiannya
of learning)
Sintesis
Nn. RF belum
pembelajaran
mampu melakukan
(synthesis of
sintesa pembelajaran
learning)
45
Psikososial dan sebagai seorang
Komponen: pelajar terganggu
Nn. RF mengetahui
Psikologis
Value mengapa ia harus
melepas pakaian
Berhenti
Nn. RF mampu berhenti aktivitas
aktivitas
saat aktivitas tersebut memang
(termination
sudah selesai
activity)
46
perasaan,
kebutuhan
Makan/Minum Mandiri
Sosialisasi Mandiri
47
Rutinitas Pengobatan Tidak Bisa Diterapkan
48
mengupas kulit singkong,
berkebun, memasak menu
sederhana, dll.
49
kinestesia, skema tubuh, diskriminasi kanan-kiri, kekuatan otot, ketahanan,
toleransi aktivitas, crossing the midline, integrasi bilateral, hand skill,
pemahaman, memori, dan formasi konsep.
LTG Nn. RF mampu melakukan aktivitas melepaskan pakaiannya dengan bantuan sedang
dalam 11 kali pertemuan
STG 1 Nn. RF mampu mengetahui postur duduk yang benar secara mandiri dalam 1 kali
pertemuan
Aktivitas Pemberian edukasi mengenai posisi duduk yang benar bagi klien dan
pemberian alat bantu bantal kecil yang bertujuan untuk memudahkan
klien dalam melepaskan pakaiannya
FoR Rehabilitative
Durasi 10 menit
Frekuensi 1x pertemuan
Teknik 1. Adjunctive :
50
Penulis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan hari ini.
Penulis mengedukasi klien mengenai posisi duduk yang benar
bagi klien untuk mencegah terjadinya perburukan derajat
skoliosis serta menghindari semakin terhimpitnya paru-paru
agar klien tidak mudah sesak.
2. Enabling :
Analisis aktivitas
1. Occupational performance components (OPC) yang dibutuhkan pada
STG ini adalah pemahaman (recognition) yaitu kemampuan klien
untuk mengerti setiap instruksi dan pengedukasian yang diberikan
oleh mahasiswa.
STG 2 Nn. RF mampu mengetahui tahapan melepaskan pakaiannya secara mandiri dalam 2
51
kali pertemuan
FoR Rehabilitative
Durasi 10 menit
Frekuensi 2x pertemuan
Teknik 1. Adjunctive :
52
c. Tangan kiri mengeluarkan tangan kanan dari pakaian bagian
lengan kanan;
d. Setelah lengan kanan berhasil dikeluarkan, tangan kiri
menarik sisa pakaian pada bagian lengan kiri agar tangan kiri
dapat keluar dari pakaian.
Untuk lebih mempermudah lagi aktivitas ini, klien disarankan
untuk mengenakan pakaian atau kaos yang longgar, tidak terlalu
pas maupun kesempitan di tubuhnya.
Penggunaan bantal kecil untuk menunjang postur duduk klien.
3. Purposeful :
Penulis meminta klien untuk mengulang tahapan melepaskan
pakaian sesuai yang telah diajarkan.
4. Occupation :
Tahapan aktivitas ini nantinya akan digunakan pada pelaksanaan
aktivitas melepaskan pakaian.
Analisis aktivitas
Occupational performance components (OPC) yang dibutuhkan pada
STG ini adalah sequencing yaitu kemampuan untuk mengurutkan
aktivitas, serta pemahaman (recognition) yaitu kemampuan klien untuk
mengerti setiap instruksi dan tahapan yang dijelaskan penulis.
Nn. RF mampu mengeluarkan pakaiannya pada bagian kepala dengan bantuan sedang
dalam 3 kali pertemuan
STG 3
Aktivitas Simulasi melepaskan pakaian
53
Durasi 10 menit
Frekuensi 3x pertemuan
Teknik 1. Adjunctive :
3. Enabling :
4. Purposeful :
5. Occupation :
54
keseluruhan aktivitas)
Penulis memberikan evaluasi sebagai bentuk feedback terhadap
gerakan-gerakan yang dilakukan Nn. RF selama sesi simulasi
melepaskan pakaian.
Analisis aktivitas
STG 4 Nn. RF mampu mengeluarkan pakaiannya pada bagian lengan kanan dengan bantuan
sedang dalam 3 kali pertemuan
Durasi 10 menit
Frekuensi 3x pertemuan
Teknik 1. Adjunctive :
55
Penulis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan hari ini.
Penulis melakukan setting environment sebelum aktivitas
dimulai, yaitu dengan mengunci roda pada kursi roda klien agar
tidak bergerak selama klien melakukan aktivitas, serta meminta
klien untuk membetulkan posisi duduknya, dan dengan bantalan
kecil yang sudah ada di belakang atau punggung klien. Aktivitas
melepaskan pakaian dilakukan di tempat biasanya klien
melakukannya yaitu di depan kamar mandi.
2. Enabling :
3. Purposeful :
3. Occupation :
56
Analisis aktivitas
STG 5 Nn. RF mampu mengeluarkan pakaiannya pada bagian lengan kiri dengan bantuan
sedang dalam 2 kali pertemuan
Durasi 10 menit
Frekuensi 3x pertemuan
Teknik 1. Adjunctive :
57
kecil yang sudah ada di belakang atau punggung klien. Aktivitas
melepaskan pakaian dilakukan di tempat biasanya klien
melakukannya yaitu di depan kamar mandi.
4. Enabling :
5. Purposeful :
6. Occupation :
Analisis aktivitas
58
shoulder, fleksi elbow, fleksi-ekstensi wrist, dan fleksi pada MCP, PIP,
dan DIP dengan pola tangan full grip. Dari segi occupational
performance components (OPC), yang dibutuhkan pada aktivitas ini
adalah kinestesia, skema tubuh, LGS UE, tonus otot, kekuatan otot,
ketahanan, toleransi aktivitas, koordinasi motorik kasar, diskriminasi
kanan-kiri, crossing the midline, integrasi bilateral, laterality, praxis, dan
hand skill.
59
BAB IV
Tahapan Tanggal
Hasil
Program Pelaksanaan
60
feedback terkait bantalan yang diberikan
mahasiswa dengan menyatakan bahwa
hal tersebut membuatnya lebih nyaman
ketika duduk.
61
bantuan secara verbal dan atau fisik dari
mahasiswa.
4.3 Hasil
Hasil evaluasi program okupasi terapi yang telah penulis laksanakan pada Nn.
RF terbagi menjadi dua tahap, yaitu terdiri dari observasi/pre-test yang dilakukan
pada tanggal 29 November 2019 dan tahapan intervensi/post-test yang penulis
62
laksanakan mulai dari tanggal 2 Desember 2019 sampai dengan 6 Desember 2019.
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
63
November 2019
Kemampuan dalam mengetahui langkah-
1. 1
langkah melepaskan pakaian
Pemahaman mengenai instruksi yang
2. 3
diberikan mahasiswa
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
64
mengeluarkan pakaian bagian kepala
Kemampuan mengkoordinasikan kedua
6. tangannya saat secara bersamaan menarik 1
pakaian ke atas lalu kebawah
Kemampuan melakukan gerakan fleksi
7. 1
pada neck
13/28*100% =
Jumlah
46%
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
65
Kemampuan menarik dan mengeluarkan
5. pakaian bagian lengan kanan 1
menggunakan 1 tangan (tangan kiri)
Kemampuan mengkoordinasikan kedua
tangannya untuk bergerak saat
6. 1
mengeluarkan pakaian bagian lengan
kanan
9/24*100% =
Jumlah
37%
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
66
Kemampuan menarik dan mengeluarkan
5. pakaian bagian lengan kiri menggunakan 3
1 tangan (tangan kanan)
Kemampuan mengkoordinasikan kedua
6. tangannya saat bergerak melepas pakaian 2
bagian lengan kiri
16/24*100% =
Jumlah
67%
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
67%
70%
60%
50%
50% 46%
37%
40%
Observasi/pre-test
30% 25%
20%
10%
0%
STG 1 STG 2 STG 3 STG 4 STG 5
67
4.3.2. Tahap Intervensi/post-test
Tahap intervensi/post-test penulis lakukan dalam lima kali pertemuan,
dimulai dari tanggal 2 Desember 2019 sampai dengan 6 Desember 2019.
Pelaksanaan intervensi program yang dilakukan pada Nn. RF dalam
aktivitas melepaskan pakaian dilaksanakan menggunakan keranga acuan
Rehabilitative dan Task Oriented Approach (TOA).
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
68
Pemahaman mengenai instruksi yang diberikan
2. 3 4
mahasiswa
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
69
ke bawah
7. Kemampuan melakukan gerakan fleksi pada neck 1 3 3
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
70
menggunakan 1 tangan (tangan kiri)
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
71
Kemampuan mengkoordinasikan kedua tangannya
6. 3 4
saat bergerak melepas pakaian bagian lengan kiri
Keterangan penilaian:
1. Bantuan maksimal (fisik dan verbal)
2. Bantuan sedang (fisik)
3. Bantuan minimal (verbal)
4. Mandiri
60% Pertemuan 1
50%
50% Pertemuan 2
40% Pertemuan 3
30%
20%
10%
0%
STG 1 STG 2 STG 3 STG 4 STG 5
72
4.3.3. Grafik Perbandingan Hasil Observasi/pre-test dan Hasil Intervensi/post-test
pada Short Term Goal (STG)
Tabel 4.14 Grafik Perbandingan Hasil Observasi dan Hasil Intervensi pada
Short Term Goal
97.50%
100%
87.50%
90% 83%
78%
80%
67%
70%
60% 50% 50%
46% Observasi
50%
37% Intervensi
40%
30% 25%
20%
10%
0%
STG 1 STG 2 STG 3 STG 4 STG 5
A. Sebelum Intervensi/Observasi
Pemeriksaan TTV Sebelum Sesudah
Tekanan Darah 110/80 mmHg 120/83 mmHg
Denyut Nadi 92x/menit 100x/menit
Frekuensi Napas 24x/menit 32x/menit
73
4.4 Diskusi
Makalah ini membahas tentang penatalaksanaan program okupasi terapi
dalam memberikan intervensi kepada Nn. RF, seorang wanita berusia 18 tahun
dengan diagnosa Cerebral Palsy Spastic Diplegic. Program intervensi yang penulis
berikan kepada klien adalah peningkatan kemampuan klien dalam aktivitas
melepaskan pakaiannya, mulai dari tidak mampu samasekali sampai dengan hanya
pemberian bantuan sedang dari penulis. Kerangka acuan yang penulis gunakan
adalah Rehabilitative dan Task Oriented-Approach (TOA). Program intervensi
dilakukan sebanyak lima kali pertemuan, yang dilaksanakan mulai dari tanggal 2
Desember 2019 sampai 6 Desember 2019 di Yayasan Heesu Cahaya Cinta, Bogor.
Klien menjadi kesulitan dalam melakukan aktivitas melepaskan pakaiannya
dikarenakan memiliki beberapa keterbatasan menurut hasil pemeriksaan pada
Occupational Perfomance Components (OPC). Diantara keterbatasannya tersebut
adalah ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas yang menggunakan koordinasi
motorik kasar, koordinasi visual-motor, endurance, sequencing, laterality, praxis,
pemecahan masalah, dan kontrol postur. Selain itu, klien juga mengalami skoliosis
pada tulang belakangnya sebesar 76º dan sudah menghimpit paru-paru sebelah
kanan nya, yang menyebabkan klien harus duduk di kursi roda yang men-support
tulang belakangnya agar tidak terjadi perburukan derajat skoliosis. Saat ini, klien
kesulitan dalam menyesuaikan posisi duduknya pada kursi roda yang ia miliki
karena membutuhkan penyesuaian-penyesuaian yang baru pada kursi roda tersebut
sehingga klien duduk cenderung bersandar dan tidak duduk pada area bokongnya.
Sedangkan menurut Scoliosis Association (2015), postur duduk yang baik untuk
mencegah terjadinya perburukan derajat skoliosis adalah dengan memusatkan berat
tubuhnya pada area bokong dan paha serta punggung yang tegak menempel pada
sisi kursi. Meskipun hal tersebut kemungkinan sulit untuk dilakukan pada seseorang
yang memiliki skoliosis, namun masih dapat diupayakan agar postur duduk mereka
paling tidak mendekati kriteria yang sudah disebutkan. Hal tersebut dapat dicapai
dengan pemberian lumbar support, cushions (bantalan), atau memory foam (busa)
pada kursi ataupun kursi roda (Scoliosis Association, 2015). Berdasarkan hal
74
tersebut, penulis kemudian menambahkan bantalan kecil pada sisi belakang kursi
roda klien agar klien tidak duduk terlalu bersandar dan sebagai upaya menempatkan
tubuh klien pada postur yang lebih tegak.
Pemberian bantalan pada kursi roda klien juga merupakan salah satu
pengupayaan prinsip konservasi energi (sesuai dengan prinsip kerangka acuan
rehabilitative) dan proper body mechanism pada aktivitas melepaskan pakaian
bagian kepala, dimana disini penulis membuat modifikasi cara melepaskan pakaian
(work simplification) yang mengharuskan klien menarik pakaiannya dari belakang
untuk mengeluarkan kepalanya dari pakaian. Berdasarkan hasil observasi dan
pemeriksaan TTV pada aktivitas klien melepaskan pakaiannya sebelum diberikan
intervensi modifikasi cara maupun bantalan sebagai support untuk posturnya,
terjadi peningkatan frekuensi pernapasan yang cukup signifikan dan klien terlihat
cukup kelelahan. Sedangkan ketika sudah diberikan modifikasi cara dan bantalan
untuk men-support posturnya, meskipun tetap terjadi peningkatan frekuensi
pernapasan, namun tidak sesignifikan sebelumnya, dan berdasarkan hasil observasi
penulis pun klien tidak terlihat terengal-engal seperti sebelumnya. Karena hal-hal
tersebut penulis pun menyimpulkan bahwa penyederhanaan kerja, prinsip
konservasi energi, proper body mechanism, serta postur yang sesuai sangat penting
untuk dilakukan kepada klien karena jika tidak, tentunya aktivitas melepaskan
pakaian ini dapat menjadi aktivitas yang melelahkan dan bisa jadi membahayakan
klien.
Berdasarkan hasil intervensi program melepaskan pakaian yang diberikan
kepada klien dengan segala penyesuaian yang dapat menguntungkannya, terjadi
peningkatan ataupun kemajuan pada tujuan jangka panjang yang telah direncanakan
penulis. Tujuan jangka panjang tersebut terdiri dari beberapa tujuan jangka pendek,
yang juga terjadi peningkatan sehingga menunjang kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas melepaskan pakaian. Tujuan jangka pendek yang direncanakan
penulis kepada klien terdiri dari lima pencapaian, yang pertama adalah Nn. RF
mampu mengetahui postur duduk yang benar secara mandiri dalam satu kali
pertemuan, kedua mampu mengetahui tahapan melepaskan pakaiannya secara
75
mandiri dalam dua kali pertemuan, ketiga mampu mengeluarkan pakaiannya pada
bagian kepala dengan bantuan sedang dalam tiga kali pertemuan, keempat mampu
mengeluarkan pakaiannya pada bagian lengan kanan dengan bantuan sedang dalam
tiga kali pertemuan, dan kelima mampu mengeluarkan pakaiannya pada bagian
lengan kiri dengan bantuan sedang dalam dua kali pertemuan.
76
BAB V
5.1 Kesimpulan
Cerebral Palsy (CP) didefinisikan sebagai suatu kelompok gangguan
permanen pada perkembangan kemampuan pegerakan dan postur yang kemudian
menyebabkan adanya keterbatasan dalam beraktivitas, dimana hal tersebut dikaitkan
dengan adanya gangguan non-progresif yang terjadi pada otak janin atau bayi yang
sedang berkembang. Gangguan motorik yang dialami oleh anak dengan CP
biasanya meliputi gangguan sensasi, persepsi, kognitif, komunikasi dan perilaku,
dan dapat juga terjadi epilepsi atau kondisi gangguan muskuloskeletal sekunder
(Graham, Kerr., et al., 2016).
Penulis mengangkat kasus pada Nn. RF, seorang wanita berusia 18 tahun
dengan diagnosa Cerebral Palsy Spastic Diplegic. Laporan kasus ini berfokus pada
pemberian intervensi program yang dapat meningkatkan kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas melepaskan pakaiannya dengan bantuan sedang. Dari hasil
yang penulis dapatkan, pemberian kerangka acuan Rehabilitative dan Task-Oriented
Approach pada klien telah terbukti dapat meningkatkan kemampuannya dalam
melepaskan pakaian.
5.2 Saran
1. Saran Secara Umum
Dalam melakukan pencegahan perburukan derajat skoliosis pada klien,
diharapkan agar klien dapat difasilitasi dengan kursi roda yang lebih
menunjang postur klien agar lebih tegak sehingga setidaknya mendekati
kriteria postur duduk baik dan sesuai pada kasus orang yang memiliki
skoliosis.
77
2. Saran Untuk Terapis
Diharapkan agar selalu memperhatikan postur duduk klien agar tidak
terjadi perburukan derajat skoliosis.
Diharapkan agar selalu melakukan evaluasi terhadap kemampuan klien
dalam melepaskan pakaiannya.
Diharapkan untuk memberikan edukasi kepada pengasuh terkait program
yang sudah dirancang dan dijalani serta membiarkan klien melakukannya
sendiri (pemberian bantuan hanya merupakan bantuan sedang,
menyesuaikan dengan program yang telah dirancang penulis) agar tidak
terjadi penurunan kemampuan.
3. Saran Untuk Pengasuh
Memberikan kesempatan kepada klien untuk terus meningkatkan
kemampuannya dalam aktivitas melepaskan pakaian.
Hanya memberikan bantuan berupa bantuan sedang kepada klien jika klien
kesulitan.
Bekerjasama dengan terapis untuk berkonrtibusi dalam menjalankan
program yang telah penulis rancang untuk klien.
78
DAFTAR PUSTAKA
79
occupational therapy (12th ed., pp. 322-341). Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Graham, Kerr & Rosenbaum, Peter & Paneth, Nigel & Dan, Bernard & Lin, Jean-
Pierre & Damiano, Diane & Becher, Jules & Gaebler, Deborah & Colver, Allan
& Reddihough, Dinah & Crompton, Kylie & Lieber, Richard. (2016). Cerebral
palsy. Nature Reviews Disease Primers. 2. 15082. 10.1038/nrdp.2015.82.
Hallman-Cooper JL, Gossman W. Cerebral Palsy. [Updated 2019 Jul 18]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019
Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538147/
Indorelawan.org. (2016). Yayasan Heesu. Diakses pada Tanggal 29 Oktober 2019 dari
https://indorelawan.org/organization/574d04157f7bb1f75107898ed
Kim, K., Kang, J. Y., & Jang, D. H. (2017). Relationship Between Mobility and Self-
CareActivity in Children With Cerebral Palsy. Annals of rehabilitation
medicine, 41(2), 266–272. doi:10.5535/arm.2017.41.2.266
LeFebvre, R. (1998). Muscle Testing. WSCC Clinics.
Mandal, Ananya. (2019, February 26). Cerebral Palsy Prognosis. News-Medical.
Retrieved on November 26, 2019 from https://www.news-
medical.net/health/Cerebral-Palsy-Prognosis.aspx.
McAdams, Ryan M., dan Juul, Sandra E. (2015). Cerebral Palsy: Prevalence,
Predictability, and Parental Counseling. Seatle: Department of Pediatrics,
Univeristy of Washington.
McDermott, Annabel dkk. (2014). Task Oriented Training Upper Extremity. Diakses
pada tanggal 27 November 2019 melalui
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:sPaSIpAX4jkJ:https://
www.strokengine.ca/en/intervention/task-oriented-training-upper
extremity/+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
Pavone, Vito & Testa, Gianluca. (2015). Classifications of cerebral palsy.
Pawar, Payal. (2017). Rehabilitative Frame of Reference. Diakses pada tanggal 27
November 2019 melalui https://occupationaltherapyot.com/rehabilitative-frame-
reference/
80
Pashmdarfard M, Amini M. The Relationship Between the Parent Report of Gross
Motor Function of Children With Cerebral Palsy and Their Participation in
Activities of Daily Livings. Journal of Modern Rehabilitation. 2017; 11(2):93-
102.
Paulson, A., & Vargus-Adams, J. (2017). Overview of Four Functional Classification
Systems Commonly Used in Cerebral Palsy. Children (Basel,
Switzerland), 4(4), 30. doi:10.3390/children4040030
Phieros, D. (2015). The Use of Standardized Assessment by Occupational Therapists
in The Management of The Upper Extremity After Stroke in South Africa.
Johannesburg: University of the Witwatersrand.
Posture and Positioning. (2015). Diakses pada November 30, 2019, dari Scoliosis
Association:https://www.sauk.org.uk/coping-with-scoliosis/posture-and-
positioning
Preissner, K. (2010). Use Of the Occupational Therapy Task-Oriented Approach to
optimize the motor performance of a client with cognitive limitations. Chicago:
AJOT. DOI: 10.5014/ajot.2010.08026
Scharf, Rebecca J. et al,. (2016). Developmental Milestone. Pediatrics in Review: an
Official Journal of The American Academy of Pediatrics.
https://doi.org/10.1542/pir.2014-0103
Silva, D. B., Funayama, C. A., & Pfeifer, L. I. (2015). Manual Ability Classification
System (MACS): reliability between therapists and parents in Brazil. Brazilian
journal of physical therapy, 19(1), 26–33. doi:10.1590/bjpt-rbf.2014.0065
Steultjens, Esther & Dekker, Joost & Bouter, Lex & Nes, Jos & Lambregts, Brigitte
& Van den Ende, Cornelia. (2004). Occupational therapy for children with
cerebral palsy: A systematic review. Clinical rehabilitation. 18. 1-14.
10.1191/0269215504cr697oa.
Upton J. (2013) Mini-Mental State Examination. In: Gellman M.D., Turner J.R.
(eds) Encyclopedia of Behavioral Medicine. Springer, New York, NY
81
What is Cerebral Palsy. (2019, 30 April). Diakses pada November 30, 2019, dari
Centers for Disease Control and Prevention:
https://www.cdc.gov/ncbddd/cp/facts.html
82
LAMPIRAN
83
Gambar 5. Pasien mampu mengeluarkan pakaian bagian kepala dari belakang
84