CHOLELITIASIS
RSUD BANYUMAS
Disusun Oleh :
Nama : Sangid Yahya
NIM : 113 116 034
B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih
muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi
insulin, diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia
berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan
merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu
kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu.
Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang
belakan (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet
nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang
berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan
produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu
ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan
kanker prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate
dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol
hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu
empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor
predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan
kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti
asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol
empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi
tampaknya adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian
terhadap kembar identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan
sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi
seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan
unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko
penurunan atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu
merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas
akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu
empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25%
pasien yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu
Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa
nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu
itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama
sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat
mengalami dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit
pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi
pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut
atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen,
dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu
akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita
panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat
mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan
atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh
makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai
dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa
jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan
kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan
intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah
karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada
sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung
empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus
kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan
rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian
morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga
perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu
dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus
koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi
dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu
ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini
sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna
sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan
tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D,
E, K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala
defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah
normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus
sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses
inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu
empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat
mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis
generalisata.
D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak
kearea lain dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau
pengisian kandung empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher
kandung empedu. Selain leher cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu
menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias mengalir dari kandung
empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu menyebabkan
radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada
kandung empedu
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang
tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST
(SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin
menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs
vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab
gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang
mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan
sinar-X.
3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura
hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik
bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi
hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat
pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil
paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga
kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat
dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem
yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada
batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan
ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu
dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung
empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE
relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan
BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%.
Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal
saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka
melebar pada sejumlah kasus BSE.
Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama,
namun untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan
mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media
kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung
empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat
batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada
reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.
Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi
10 Risiko Perdarahan