Anda di halaman 1dari 73

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS

I. PENGERTIAN

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)

II. JENIS FRAKTUR


a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan
tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah
perlekatannnya.

III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma
V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma,
dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN

a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
? Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
? Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
? Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
? Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah

VIII. KOMPLIKASI
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih
lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

IX. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek
batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau
tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut
2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
? kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
? Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
? Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
? Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
? Tachikardi
? Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
? Cailary refil melambat
? Pucat pada bagian yang terkena
? Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
? Kesemutan
? Deformitas, krepitasi, pemendekan
? kelemahan
d. Kenyamanan
? nyeri tiba-tiba saat cidera
? spasme/ kram otot
e. Keamanan
? laserasi kulit
? perdarahan
? perubahan warna
? pembengkakan lokal

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka
neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
? Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
? Mempertahankan posisi fungsinal
? Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
? Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri
bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Klien menyatajkan nyei berkurang
? Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
? Tekanan darahnormal
? Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam,
imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik
C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Penyembuhan luka sesuai waktu
? Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3.
Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4.
Jakarta. EGC

FRAKTUR TIBIA FIBULA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi

menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat

/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat

transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.


Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur

dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan

tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.

Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi periode Januari

2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang

mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).

Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan

mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi

Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk

mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu

penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).

Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung

kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan

untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti

asuhan keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

bagaimana asuhan keperawatan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra diruang I

Orthopedi Fatmawati.
B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan fraktur

tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post Op ORIF

2. Tujuan Khusus

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia

Fibula 1/3 Dextra post op ORIF, Penulis mampu :

a. Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada fraktur tertutup

Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

c. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.
f. Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian masalah

(solusi) dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup

Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

C. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode deskriptif

melalui pendekatan proses keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti

wawancara, pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari

catatan medik klien. Setelah itu data diolah dan dianalisa untuk selanjutnya dirumuskan

masalah sehingga bisa di intervensi dan di evaluasi.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dan maksud dari laporan

kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis dibagi menjadi 5 bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Meliputi Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Meliputi Konsep Dasar Penyakit dan Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.

BAB III : TINJAUAN KASUS


Meliputi Gambaran Kasus dan Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi

Keperawatan.

BAB IV : PEMBAHASAN

Yang membahas tentang kesenjangan antara Kasus, yang ditemukan dengan teori

yang didapatkan meliputi Definisi, Rasional terhadap setiap Diagnosa

Keperawatan yang ditemukan, Faktor Pendukung, Faktor Penghambat serta

Solusi.

BAB V : PENUTUP

Yang meliputi Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada

tulang yang berlebihan (Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)


Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik

kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak

disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak

lengkap. (Price and Wilson, 1995 : 1183)

Fraktur menurut Rasjad (1998 : 338) adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang

rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.

Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula.

2. Etiologi

Penyebab fraktur diantaranya :

a. Trauma

1) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.

2) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

b. Fraktur Patologis

Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan

lain-lain.

c. Degenerasi

Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut


d. Spontan

Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

(Corwin, 2001 : 298)

3. Manifestasi Klinis

a. Nyeri lokal

b. Pembengkakan

c. Eritema

d. Peningkatan suhu

e. Pergerakan abnormal

Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)

4. Patofisiologi

Trauma

Peningkatan daya da

Tulang dan jaringan sekitar

Fraktur

Jaringan Lunak

Pembuluh darah

Serabut saraf
Luka

Post De Entry

Infeksi

Periosteum

Pendarahan

Deformitas

Sensori

Mal Union

Hematom

Vasodilatasi

Delayed Union

Pemendekan tulang

Korteks Tulang

Nyeri

Eksudasi Prima

Inflamasi

Sumbatan

Bengkak

Delayed Union

Non Infeksi

Nyeri

Conpartemen sindrom

Hipoxia
Nekrosis jaringan

Gangguan mobilisasi

Non Union
(Lukman and Soronsens 1993 and price, 1995)

5. Klasifikasi / Jenis

a) Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

mengalami pergeseran dari posisi normal.

b) Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis

tengah tulang.

c) Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, jadi fragmen

frakturnya tidak menembus jaringan kulit.

d) Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen

frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada

tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)

1) Grade I : Luka bersih, panjang <>

2) Grade II : Luka lebih besar / luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif

3) Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak yang

ekstensif, merupakan yang paling berat.

e) Jenis khusus fraktur

1) Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya

membengkok.
2) Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

3) Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

4) Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang

5) Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

6) Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada

tulang tengkorak dan tulang wajah)

7) Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang

belakang)

8) Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,

penyakit pegel, tumor)

9) Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya

10) Epifiseal : Fraktur melalui epifisis

11) Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

(Smeltzer and Bare, 2002 : 2357 – 2358)

6. Proses Penyembuhan Tulang

a. Stadium Pembentukan Hematoma


Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak,

hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24

jam.

b. Stadium Proliferasi

Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini

menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga

terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.

c. Stadium Pembentukan Kallus

Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa

kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 –

10 hari setelah kecelakaan terjadi.

d. Stadium Konsolidasi

Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara

bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah

kecelakaan.

e. Stadium Remodelling

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur.

Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.

(Rasjad, 1998 : 399 – 401)


7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma

b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun

(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).

e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

(Doenges, 2000 : 762)

8. Penatalaksanaan

Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :

a. Rekognisi

Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah

mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan

dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.

b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.

Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau

ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi

narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.

c. Retensi

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan

dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi

dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi

gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.

d. Rehabilitasi

Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara

melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.

Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan

meningkatkan peredaran darah.

9. Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :

a. Komplikasi Dini

1) Nekrosis kulit

2) Osteomielitis
3) Kompartement sindrom

4) Emboli lemak

5) Tetanus

b. Komplikasi Lanjut

1) Kelakuan sendi

2) Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union, mal union dan non union.

3) Osteomielitis kronis

4) Osteoporosis pasca trauma

5) Ruptur tendon

(Sjamsu Hidayat, 1997 : 1155)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesa

1) Data Biografi

2) Riwayat kesehatan masa lalu

3) Riwayat kesehatan keluarga


b. Pemeriksaan Fisik

1) Aktivitas / istirahat

Keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder dari

jaringan yang bengkak / nyeri)

2) Sirkulasi

a) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau

hipotensi (kehilangan darah)

b) Takikardia (respon stress , hipovolemi)

c) Penurunan nadi pada distal yang cidera , pengisian kapiler lambat

d) Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi yang cidera

3) Neurosensori

a) Hilang gerakan / sensasi, spasme otot

b) Kebas / kesemutan (parestesia)

c) Nyeri / kenyamanan

d) Nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma dan spasme otot merupakan

penyebab nyeri di rasakan

4) Keamanan
a) Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna

b) Pembengkakan lokal

5) Pengetahuan

Kurangnya pemajanan informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan

serta perawatannya .

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko terhadap trauma berhubungan dengan kerusakan Integritas tulang (fraktur)

b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot

c. Risiko terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran

darah cedera, edema berlebihan, pembentukan trombus

d. Risiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran : darah /

emboli lemak, perubahan membran alveolar / kapiler

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler , nyeri /

ketidaknyamanan.

f. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka

3. Prinsip intervensi

a. Mencegah cedera tulang jaringan lanjut


b. Menghilangkan nyeri

c. Mencegah komplikasi

d. Memberikan informasi tentang kondisi /prognosa dasn dasn kebutuhan pengobatan

e. Meredakan ansietas

f. Memperbaiki mobilitas

4. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :

- Tidak terjadi trauma

- Gangguan rasa nyaman nyeri hilang / berkurang.

- Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler

- Dapat bernafas normal

- Beraktifitas secara normal / mandiri

- Tidak terjadi dekubitus

FRAKTUR TIBIA FIBULA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi

menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat

/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat

transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.

Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur

dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan

tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.

Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi periode Januari

2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang

mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).

Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan

mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi

Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk

mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu

penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung

kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan

untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti

asuhan keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

bagaimana asuhan keperawatan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra diruang I

Orthopedi Fatmawati.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan fraktur

tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post Op ORIF

2. Tujuan Khusus

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia

Fibula 1/3 Dextra post op ORIF, Penulis mampu :

a. Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada fraktur tertutup

Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.
c. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

f. Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian masalah

(solusi) dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup

Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

C. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode deskriptif

melalui pendekatan proses keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti

wawancara, pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari

catatan medik klien. Setelah itu data diolah dan dianalisa untuk selanjutnya dirumuskan

masalah sehingga bisa di intervensi dan di evaluasi.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dan maksud dari laporan

kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis dibagi menjadi 5 bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN
Meliputi Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Meliputi Konsep Dasar Penyakit dan Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.

BAB III : TINJAUAN KASUS

Meliputi Gambaran Kasus dan Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi

Keperawatan.

BAB IV : PEMBAHASAN

Yang membahas tentang kesenjangan antara Kasus, yang ditemukan dengan teori

yang didapatkan meliputi Definisi, Rasional terhadap setiap Diagnosa

Keperawatan yang ditemukan, Faktor Pendukung, Faktor Penghambat serta

Solusi.

BAB V : PENUTUP

Yang meliputi Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada

tulang yang berlebihan (Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik

kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak

disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak

lengkap. (Price and Wilson, 1995 : 1183)

Fraktur menurut Rasjad (1998 : 338) adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang

rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.

Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula.

2. Etiologi

Penyebab fraktur diantaranya :

a. Trauma

1) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.


2) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

b. Fraktur Patologis

Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan

lain-lain.

c. Degenerasi

Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut

d. Spontan

Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

(Corwin, 2001 : 298)

3. Manifestasi Klinis

a. Nyeri lokal

b. Pembengkakan

c. Eritema

d. Peningkatan suhu

e. Pergerakan abnormal

Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)


4. Patofisiologi

Trauma

Peningkatan daya da

Tulang dan jaringan sekitar

Fraktur

Jaringan Lunak

Pembuluh darah

Serabut saraf

Luka

Post De Entry

Infeksi

Periosteum

Pendarahan

Deformitas

Sensori

Mal Union

Hematom

Vasodilatasi

Delayed Union

Pemendekan tulang

Korteks Tulang

Nyeri

Eksudasi Prima
Inflamasi

Sumbatan

Bengkak

Delayed Union

Non Infeksi

Nyeri

Conpartemen sindrom

Hipoxia

Nekrosis jaringan

Gangguan mobilisasi

Non Union
(Lukman and Soronsens 1993 and price, 1995)

5. Klasifikasi / Jenis
a) Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

mengalami pergeseran dari posisi normal.

b) Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis

tengah tulang.

c) Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, jadi fragmen

frakturnya tidak menembus jaringan kulit.

d) Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen

frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada

tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)

1) Grade I : Luka bersih, panjang <>

2) Grade II : Luka lebih besar / luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif

3) Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak yang

ekstensif, merupakan yang paling berat.

e) Jenis khusus fraktur

1) Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya

membengkok.

2) Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

3) Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.


4) Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang

5) Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

6) Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada

tulang tengkorak dan tulang wajah)

7) Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang

belakang)

8) Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,

penyakit pegel, tumor)

9) Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya

10) Epifiseal : Fraktur melalui epifisis

11) Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

(Smeltzer and Bare, 2002 : 2357 – 2358)

6. Proses Penyembuhan Tulang

a. Stadium Pembentukan Hematoma

Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak,

hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24

jam.
b. Stadium Proliferasi

Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini

menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga

terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.

c. Stadium Pembentukan Kallus

Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa

kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 –

10 hari setelah kecelakaan terjadi.

d. Stadium Konsolidasi

Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara

bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah

kecelakaan.

e. Stadium Remodelling

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur.

Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.

(Rasjad, 1998 : 399 – 401)

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma


b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun

(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).

e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

(Doenges, 2000 : 762)

8. Penatalaksanaan

Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :

a. Rekognisi

Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah

mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan

dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.

b. Reduksi

Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.

Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau

ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi

narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.


c. Retensi

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan

dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi

dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi

gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.

d. Rehabilitasi

Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara

melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.

Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan

meningkatkan peredaran darah.

9. Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :

a. Komplikasi Dini

1) Nekrosis kulit

2) Osteomielitis

3) Kompartement sindrom

4) Emboli lemak

5) Tetanus
b. Komplikasi Lanjut

1) Kelakuan sendi

2) Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union, mal union dan non union.

3) Osteomielitis kronis

4) Osteoporosis pasca trauma

5) Ruptur tendon

(Sjamsu Hidayat, 1997 : 1155)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesa

1) Data Biografi

2) Riwayat kesehatan masa lalu

3) Riwayat kesehatan keluarga

b. Pemeriksaan Fisik

1) Aktivitas / istirahat
Keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder dari

jaringan yang bengkak / nyeri)

2) Sirkulasi

a) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau

hipotensi (kehilangan darah)

b) Takikardia (respon stress , hipovolemi)

c) Penurunan nadi pada distal yang cidera , pengisian kapiler lambat

d) Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi yang cidera

3) Neurosensori

a) Hilang gerakan / sensasi, spasme otot

b) Kebas / kesemutan (parestesia)

c) Nyeri / kenyamanan

d) Nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma dan spasme otot merupakan

penyebab nyeri di rasakan

4) Keamanan

a) Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna

b) Pembengkakan lokal
5) Pengetahuan

Kurangnya pemajanan informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan

serta perawatannya .

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko terhadap trauma berhubungan dengan kerusakan Integritas tulang (fraktur)

b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot

c. Risiko terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran

darah cedera, edema berlebihan, pembentukan trombus

d. Risiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran : darah /

emboli lemak, perubahan membran alveolar / kapiler

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler , nyeri /

ketidaknyamanan.

f. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka

3. Prinsip intervensi

a. Mencegah cedera tulang jaringan lanjut

b. Menghilangkan nyeri

c. Mencegah komplikasi
d. Memberikan informasi tentang kondisi /prognosa dasn dasn kebutuhan pengobatan

e. Meredakan ansietas

f. Memperbaiki mobilitas

4. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :

- Tidak terjadi trauma

- Gangguan rasa nyaman nyeri hilang / berkurang.

- Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler

- Dapat bernafas normal

- Beraktifitas secara normal / mandiri

- Tidak terjadi dekubitus

FRAKTUR TIBIA FIBULA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi

menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat

/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat

transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.

Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur

dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan

tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.

Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi periode Januari

2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang

mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).

Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan

mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi

Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk

mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu

penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).

Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung

kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan

untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti

asuhan keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.


Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

bagaimana asuhan keperawatan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra diruang I

Orthopedi Fatmawati.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan fraktur

tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post Op ORIF

2. Tujuan Khusus

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia

Fibula 1/3 Dextra post op ORIF, Penulis mampu :

a. Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada fraktur tertutup

Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

c. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3

Distal Dextra.

f. Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian masalah

(solusi) dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup

Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

C. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode deskriptif

melalui pendekatan proses keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti

wawancara, pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari

catatan medik klien. Setelah itu data diolah dan dianalisa untuk selanjutnya dirumuskan

masalah sehingga bisa di intervensi dan di evaluasi.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dan maksud dari laporan

kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis dibagi menjadi 5 bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Meliputi Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Meliputi Konsep Dasar Penyakit dan Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.


BAB III : TINJAUAN KASUS

Meliputi Gambaran Kasus dan Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi

Keperawatan.

BAB IV : PEMBAHASAN

Yang membahas tentang kesenjangan antara Kasus, yang ditemukan dengan teori

yang didapatkan meliputi Definisi, Rasional terhadap setiap Diagnosa

Keperawatan yang ditemukan, Faktor Pendukung, Faktor Penghambat serta

Solusi.

BAB V : PENUTUP

Yang meliputi Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada

tulang yang berlebihan (Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik

kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak

disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak

lengkap. (Price and Wilson, 1995 : 1183)

Fraktur menurut Rasjad (1998 : 338) adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang

rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.

Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula.

2. Etiologi

Penyebab fraktur diantaranya :

a. Trauma

1) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.

2) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

b. Fraktur Patologis

Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan

lain-lain.

c. Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut

d. Spontan

Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

(Corwin, 2001 : 298)

3. Manifestasi Klinis

a. Nyeri lokal

b. Pembengkakan

c. Eritema

d. Peningkatan suhu

e. Pergerakan abnormal

Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)

4. Patofisiologi

Trauma

Peningkatan daya da

Tulang dan jaringan sekitar

Fraktur

Jaringan Lunak
Pembuluh darah

Serabut saraf

Luka

Post De Entry

Infeksi

Periosteum

Pendarahan

Deformitas

Sensori

Mal Union

Hematom

Vasodilatasi

Delayed Union

Pemendekan tulang

Korteks Tulang

Nyeri

Eksudasi Prima

Inflamasi

Sumbatan

Bengkak

Delayed Union

Non Infeksi

Nyeri
Conpartemen sindrom

Hipoxia

Nekrosis jaringan

Gangguan mobilisasi

Non Union
(Lukman and Soronsens 1993 and price, 1995)

5. Klasifikasi / Jenis
a) Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

mengalami pergeseran dari posisi normal.

b) Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis

tengah tulang.

c) Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, jadi fragmen

frakturnya tidak menembus jaringan kulit.

d) Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen

frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada

tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)

1) Grade I : Luka bersih, panjang <>

2) Grade II : Luka lebih besar / luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif

3) Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak yang

ekstensif, merupakan yang paling berat.

e) Jenis khusus fraktur

1) Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya

membengkok.

2) Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

3) Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.


4) Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang

5) Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

6) Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada

tulang tengkorak dan tulang wajah)

7) Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang

belakang)

8) Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,

penyakit pegel, tumor)

9) Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya

10) Epifiseal : Fraktur melalui epifisis

11) Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

(Smeltzer and Bare, 2002 : 2357 – 2358)

6. Proses Penyembuhan Tulang

a. Stadium Pembentukan Hematoma

Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak,

hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24

jam.
b. Stadium Proliferasi

Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini

menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga

terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.

c. Stadium Pembentukan Kallus

Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa

kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 –

10 hari setelah kecelakaan terjadi.

d. Stadium Konsolidasi

Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara

bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah

kecelakaan.

e. Stadium Remodelling

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur.

Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.

(Rasjad, 1998 : 399 – 401)

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma


b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun

(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).

e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

(Doenges, 2000 : 762)

8. Penatalaksanaan

Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :

a. Rekognisi

Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah

mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan

dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.

b. Reduksi

Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.

Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau

ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi

narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.


c. Retensi

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan

dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi

dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi

gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.

d. Rehabilitasi

Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara

melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.

Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan

meningkatkan peredaran darah.

9. Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :

a. Komplikasi Dini

1) Nekrosis kulit

2) Osteomielitis

3) Kompartement sindrom

4) Emboli lemak

5) Tetanus
b. Komplikasi Lanjut

1) Kelakuan sendi

2) Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union, mal union dan non union.

3) Osteomielitis kronis

4) Osteoporosis pasca trauma

5) Ruptur tendon

(Sjamsu Hidayat, 1997 : 1155)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesa

1) Data Biografi

2) Riwayat kesehatan masa lalu

3) Riwayat kesehatan keluarga

b. Pemeriksaan Fisik

1) Aktivitas / istirahat
Keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder dari

jaringan yang bengkak / nyeri)

2) Sirkulasi

a) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau

hipotensi (kehilangan darah)

b) Takikardia (respon stress , hipovolemi)

c) Penurunan nadi pada distal yang cidera , pengisian kapiler lambat

d) Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi yang cidera

3) Neurosensori

a) Hilang gerakan / sensasi, spasme otot

b) Kebas / kesemutan (parestesia)

c) Nyeri / kenyamanan

d) Nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma dan spasme otot merupakan

penyebab nyeri di rasakan

4) Keamanan

a) Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna

b) Pembengkakan lokal
5) Pengetahuan

Kurangnya pemajanan informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan

serta perawatannya .

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko terhadap trauma berhubungan dengan kerusakan Integritas tulang (fraktur)

b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot

c. Risiko terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran

darah cedera, edema berlebihan, pembentukan trombus

d. Risiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran : darah /

emboli lemak, perubahan membran alveolar / kapiler

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler , nyeri /

ketidaknyamanan.

f. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka

3. Prinsip intervensi

a. Mencegah cedera tulang jaringan lanjut

b. Menghilangkan nyeri

c. Mencegah komplikasi
d. Memberikan informasi tentang kondisi /prognosa dasn dasn kebutuhan pengobatan

e. Meredakan ansietas

f. Memperbaiki mobilitas

4. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :

- Tidak terjadi trauma

- Gangguan rasa nyaman nyeri hilang / berkurang.

- Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler

- Dapat bernafas normal

- Beraktifitas secara normal / mandiri

- Tidak terjadi dekubitus

FRAKTUR TIBIA

I. PENDAHULUAN

Fraktur adalah terputusnya / hilangnya kontinuitas struktur jaringan tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial, umumnya disebabkan
trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut. Keadaan tulang itu sendiri dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
1,2
lengkap

Fraktur dapat menyebabkan berbagai komplikasi oleh karena itu diperlukan penanganan
yang tepat sedini mungkin. Untuk mendiagnosis fraktur kita dapat melakukan pemeriksaan
radiologi. Dengan pemeriksaan radiologi kita dapat menentukan tipe dan tingkat keparahan
fraktur. Tujuan pemeriksaan radiologis untuk konfirmasi adanya fraktur, melihat sejauh mana
pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya, menentukan teknik pengobatan,
menentukan apakah fraktur yang dialami fraktur baru atau fraktur lama, menentukan fraktur
intra-artikuler atau ekstra-artikuler, melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang, dan untuk
melihat apakah ada benda asing dalam tulang. 1,3

Prinsip penanganan dari fraktur tibia ini adalah dengan konservatif dan operatif. Dengan
konservatif prinsip pengobatan adalah mencegah bertambahnya depresi, tidak menahan beban
dan segera mobilisasi pada sendi lutut agar tidak terjadi kekakuan sendi. Dapat dilakukan dengan
verband elastis, traksi dan gips sirkuler. Sedangkan untuk operatif dilakukan jika terjadi fraktur
terbuka, kegagalan dalam terapi konservatif, fraktur tidak stabil, serta adanya nonunion. 1

Penyembuhan fraktur berkisar antara 12-16 minggu pada orang dewasa. Pada anak-anak
waktu penyembuhan sekitar ½ waktu penyembuhan orang dewasa. Penilaian penyembuhan
frakur ( union ) didasarkan atas union secara klinis dan union secara radiologik. Union secara
radiologik dinilai dengan pemeriksaan roentgen pada daerah fraktur dan dilihat adanya garis
fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang sudah menyambung
pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medula atau ruangan dalam daerah
fraktur.1

II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Insidens fraktur tibia tidak diketahui pasti. Fractures of the tibial plateau are estimated to
comprise approximately 1% of all fractures. Fraktur tibia diperkirakan sekitar 1% dari semua
fraktur. Pada analisis epidemiologi menunjukkan bahwa 40 % fraktur terbuka terjadi pada
ekstemitas bawah terutama daerah tibia dan femur tengah. Faktor ras tidak berpengaruh terhadap
angka kejadian fraktur. Fraktur tibia pada usia muda biasanya disebabkan karena karena aktivitas
usia muda di bidang olahraga atau kecelakaan. Pada usia muda jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap angka kejadian fraktur tibia. Pada usia tua fraktur lebih sering terjadi pada wanita
dibanding laki-laki, hal ini disebabkan karena lebih banyak wanita yang menderita osteoporosis.
3,4

III. ETIOLOGI

Pada umumnya fraktur pada kaki disebabkan oleh : 1,5

1. Trauma

Fraktur akibat trauma adalah jenis fraktur yang sering terjadi, misalnya jatuh, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan dalam berolahraga atau olahraga yang berlebihan.

2. Fraktur patologis

Fraktur yang terjadi pada tuang karena adanya kelainan/penyakit yang menyebabkan
kelemahan pada tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma
ringan.

3. Fraktur stress

Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu, misalnya pada
pelari jarak jauh, penari ballet, dan sebagainya.
IV. KLASIFIKASI

Secara klinis fraktur dapat diklasifikasikan menjadi : 1,6

1. Fraktur tertutup, yaitu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
2. Fraktur terbuka, yaitu fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak.

Tibia merupakan salah satu tulang panjang pada ekstremitas inferior bagian distal.
Fraktur tibia dapat terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian
pergelangan kaki. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama membengkok, memutar dan tarikan.

Adapun pengklasifikasian fraktur pada tibia adalah.1

1. Fraktur kondilus tibia

1. Fraktur kompresi komunitif


2. Fraktur depresi plateu
3. Fraktur oblik

2. Fraktur diafisis
3. Fraktur dan dislokasi pada pergelangan kaki:

1. Tipe A, fraktur maleolus di bawah sindesmosis


2. Tipe B, fraktur maleolus lateralis yang bersifat oblik disertai avulsi maleolus medialis
dimana sering disertai dengan robekan dari ligamen tibia fibula bagian depan.
3. Tipe C, fraktur fibula di atas sindesmosis dan atau disertai avulsi dari tibia disertai fraktur
atau robekan pada maleolus medialis. Pada tipe ini terjadi robekan pada sindesmosis.
1. Fraktur kondilus

2. Fraktur diafisis

3. Fraktur dan dislokasi pada pergelangan kaki

Gambar 1. Skematis fraktur tibia

(dikutip dari kepustakaan 1)

V. ANATOMI

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Tibia dan fibula terbentuk secara
bersama-sama melalui artikulasi tibiofibular di bagian proksimal, persendian sinovial
terbentuk dengan sangat kuat pada anterior dan posterior atau ligamen. Pada bagian distal,
tibia dan fibula dihubungkan oleh sindesmosis tibiofibular, tersusun dari anterior dan
posterior ligament tibiofibular dan membran interosseous. Tulang dan otot tungkai bawah ini
dikelilingi oleh fascia cruris. Membran interosseous dan jaringan fibrosa dari fascia cruris
memisahkan tungkai bawah menjadi empat ruang yang berbatas tegas. 2,6

Aliran darah berasal dari arteri poplitea yang bercabang dan membentuk arteri tibialis
anterior dan arteri tibialis posterior setelah keduanya keluar melalui fossa poplitea. Arteri
tibialis anterior masuk melalui ruang anterior yang berada di bawah level dari caput fibula
dan berjalan menurun sepanjang membran interosseous. Arteri ini mudah terkena cedera
pada kasus fraktur tibial proksimal. 6

Tibia plateau medial dan lateral merupakan fascies artikularis dari kondilus tibia
medial dan kondilus tibia lateral. Kedua fascies artikularis ini dihubungkan oleh eminensia
interkondilaris, yang berfungsi sebagai penyempurna dari ligamen anterior. Lapisan luar dari
setiap plateau dibungkus oleh meniscus cartilaginous. Meniscus pada kondilus medial lebih
tebal dan kuat dibandingkan dengan kondilus lateral, dan umumnya fraktur terjadi pada
bagian lateral. Pada ujung proksimal bagian atasnya besar dan meluas menjadi dua
eminensia, yaitu kondilus medial dan lateral. Permukaan artikular superior memperlihatkan
dua permukaan artikular halus. Bagian tengah permukaan ini berartikulasi dengan kondilus
dari tulang paha, sedangkan bagian perifer
mereka mendukung meniskus dari sendi lutut. 6
Gambar 2. Anatomi tibia

(dikutip dari kepustakaan 6)

Corpus tibia memiliki tiga perbatasan dan tiga permukaan. Batas puncak anterior yang
yang paling menonjol dari ketiganya, dimulai dari atas tuberositas, dan berakhir di bawah margin
anterior malleolus medialis. Batas medial halus dan bulat di atas dan bawahnya, tetapi lebih
menonjol di tengah, dimulai pada bagian belakang kondilus medial dan berakhir pada batas
posterior medial malleolus. Bagian atasnya memberikan tambahan ke ligamentum kolateral
tibialis dari sendi lutut, dan penyisipan ke beberapa serat poplitea, dari pertengahannya beberapa
serat soleus dan flexor digitorum longus berasal. Batas lateral tipis dan menonjol terutama bagian
tengahnya dan memberikan keterikatan pada membran interoseus. Dimulai pada bagian depan
artikularis fibula dan bifurkasio dibawahnya, yang membentuk batas-batas permukaan untuk
ikatan dari ligamentum interosseous yang menghubungkan tibia dan fibula. 6

VI. PATOFISIOLOGI

Fraktur plateau tibia disebabkan oleh kekuatan varus atau valgus bersama-sama dengan
pembebanan axial (kekuatan valgus saja mungkin hanya merobekkan ligament). Keadaan ini
biasanya terjadi pada pejalan kaki yang tertabrak mobil, biasanya terjadi trauma langsung dari
arah samping lutut, pasien jatuh dari ketinggian dan lutut dipaksa masuk ke dalam valgus atau
varus. Kondilus tibia remuk atau terbelah oleh kondilus femur yang berlawanan yang tetap
utuh.Umumnya kasus yang terjadi adalah fraktur lateral plateau tibia. Fraktur pada tibia plateau
medialis membutuhkan kekuatan yang cukup besar, dan biasanya terdapat keterkaitan dengan
fraktur tibia plateau lateral dan tulang yang ada disekitarnya termasuk sendi lutut yang
mendukung struktur tersebut. Jika terjadi tekanan secara langsung pada plateau lateral yang
menyebabkan fraktur plateau medial, hal ini cenderung lebih berbahaya. 7,8,9
Gambar 3. Skematis fraktur pada plateu tibia menurut Schatzkers

(dikutip dari kepustakaan 8)

Keterangan Gambar :

Tipe I : split fraktur pada plateu lateral tibia. Tidak tampak depresi pada daerah

artikular.

Tipe II : split fraktur dengan depresi pada daerah artikuler lateral.

Tipe III : depresi plateu lateral tibia, tanpa split pada daerah artikuler

Tipe IV : fraktur yang mengenai plateu medial tibia, dengan split yang ditandai dengan atau
tanpa depresi

Tipe V : split fraktur pada medial dan lateral plateu tibia.

Tipe VI : fraktur yang sama pada tipe 5 dan disertai dengan fraktur pada diafisis atau metafisis.

Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan
fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur
tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian
tengah distal. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada
daerah tibia sering bersifat terbuka. Fraktur diafisis bagian proksimal lebih membutuhkan
kekuatan cedera yang lebih besar dibandingkan bagian distal. Trauma langsung dapat
mengakibatkan fraktur tipe transversal dan comminuted, sementara trauma tidak langsung dapat
mengakibatkan fraktur tipe oblik dan spiral. 1,3

Pada fraktur pergelangan kaki terdapat empat macam mekanisma trauma yaitu:

1. Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat oblik,
fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi atau robekan pada ligamen bagian
medial.
2. Trauma adduksi yang menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik atau
avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya menyebabkan
strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3. Trauma rotasi eksterna, biasanya disertai trauma abduksi dan terjadi fraktur pada fibula
atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau fraktur avulsi pada
maleolus medialis, Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan dislokasi talus.
4. Trauma kompresi Vertikal dimana dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai
dengan dislokasi tallus ke depan atau terjadi fraktur komunitif disertai dengan robekan
diastasis. 1
Gambar 4. Skematis terjadinya trauma pada fraktur maleolus.

(dikutip dari kepustakaan 1)

A. Trauma abduksi. B. Trauma adduksi

C. Trauma Rotasi dan eksternal. D. Trauma kompresi

VII. DIAGNOSIS

A. Gambaran Klinis

1. Fraktur kondilus tibia

Ada riwayat trauma, lutut yang cedera membengkak dan disertai rasa sakit dan kadang-
kadang ditemukan deformitas. Pada permukaan lebih aktif, gerak sendi lutut terbatas karena rasa
sakit, bengkak, hemartrosis sehingga tidak mampu menopang berat badan, nyeri pada tibia
proksimal dan keterbatasan fleksi dan ekstensi sendi pada lutut.

2. Fraktur diafisis tibia

Ada riwayat trauma, nyeri yang signifikan dan pembengkakan sekitar daerah fraktur, sering
ditemukan penonjolan tulang keluar kulit, tidak mampu menopang berat badan.

3. Fraktur dan dislokasi pergelangan kaki

Pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan dan deformitas, nyeri tekan.1,3,10

B. Gambaran Radiologi
Adapun modalitas radiologi dalam mendiagnosis fraktur tibia yaitu dengan foto polos, CT
scan dan MRI. Pada pemeriksaan foto polos dapat dilakukan pengambilan gambar dengan posisi
AP, lateral, maupun obliq. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan foto polos yaitu
lokasi fraktur, tipe fraktur dan kedudukan fragmen, bagaimana struktur tulang, ada tidaknya
dislokasi, ada tidaknya fraktur epifisis, ada tidaknya pelebaran celah sendi. Pada foto AP dengan
fraktur depresi gambaran radiologisnya berupa suatu lokasi dengan densitas yang meningkat. 1,3,7

1. Foto Polos

Foto polos sangat baik dalam mendiagnosis fraktur tibia. Pasien yang dicurigai
mengalami fraktur harus difoto dengan posisi AP, lateral, dan obliq untuk mengevaluasi fraktur.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan foto polos yaitu lokasi fraktur, tipe fraktur dan
kedudukan fragmen, bagaimana struktur tulang, ada tidaknya dislokasi, ada tidaknya fraktur
epifisis, ada tidaknya pelebaran celah sendi. Pada foto AP dengan fraktur depresi gambaran
radiologisnya berupa suatu lokasi dengan densitas yang meningkat. Bila dicurigai terdapat
fraktur tetapi tidak terlihat pada foto, ulangi pemeriksaan setelah sepuluh hari bila masih terdapat
simptom. Pada minggu pertama atau kedua ini, garis fraktur sering menjadi lebih jelas. Setelah
itu fraktur akan bersatu, garis fraktur menghilang dan terjadi reformasi tulang.1,3,11

a. Fraktur kondilus tibia

Gambar 5. Foto Genu posisi AP,


tampak fraktur pada bagian lateral

kondilus tibia.

(dikutip dari kepustakaan 8)

Gambar 6. Foto genu posisi obliq, tampak fraktur plateu lateral tibia.

(dikutip dari kepustakaan 8)

Gambar 7. Foto genu posisi lateral,Tampak fraktur split lateral plateu tipe I

(dikutip dari kepustakaan 8)

b. Fraktur diafisis tibia


Gambar 8. Foto cruris posisi AP, lateral tampak fraktur
transversal pada diafisis tibia.

(dikutip dari kepustakaan 12)

c. Fraktur pergelangan kaki


Gambar 9. Fraktur Weber tipe A, tampak fraktur pada bagian distal syndesmosis

(dikutip dari kepustakaan 13)

2. CT Scan

Dalam mendiagnosis fraktur tibia, pemeriksaan CT-scan bermanfaat dalam


menggambarkan tingkat keterlibatan artikuler dan derajat tekanan fraktur. CT Scan banyak
dimanfaatkan oleh para ahli ortopedi untuk melihat karateristik dari fraktur tibia dan menaksir
derajat dari fraktur dan robekannya dapat merencanakan intervensi bedah.14

a. Fraktur kondilus tibia


Gambar 10. Gambar CT Scan menunjukkan fraktur pada bagian lateral dan medial dari
kondilus tibia.

(dikutip dari kepustakaan 8)

Anda mungkin juga menyukai