Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL

“ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMILU SERENTAK


TAHUN 2019”

STUDI KASUS
PENYELENGGARAAN PEMILU DI DISTRIK HERAM KOTA JAYAPURA

Disusun Oleh :

RIKA ARTIKA
NIM. 2016 0311 044 057

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2019
A. LATAR BELAKANG

Pemilihan umum (Pemilu) 2019 merupakan pemilihan umum serentak

pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih presiden dan wakil

presiden, pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk memilih

anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu 2019

dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Negara Republik

Indonesia. Berdasarkan peraturan KPU nomor 7 tahun 2017 tentang tahapan,

program kerja dan jadwal pemilihan umum tahun 2019, pemilu ini telah

dilaksanakan pada tangal 17 April 2019 lalu.

Pemilu serentak 2019 ini diikuti oleh 19 partai politik yang terdiri dari 11

partai lama dan 4 partai baru serta 4 partai lokal Aceh yang telah lolos verifikasi

KPU. Partai peserta pemilu 2019 tersebut antara lain PDIP, Golkar, PD, PKB,

PKS, PPP, Gerindra, Nasdem, Hanura, PAN dan yang terakhir PBB yang

merupakan partai lama peserta pemilu 2014, sedangkan partai baru yang lolos

verifikasi dan menjadi peserta pemilu 2019 antara lain Partai Garuda, Berkarya,

Perindo dan PSI, serta partai Lokal Aceh yang menjadi peserta Pemilu 2019

antara lain Partai Aceh, Partai Nangroe Aceh, Partai SIRA dan Partai Daerah

Aceh.

Pemilu serentak dianggap lebih efisien, baik dari sisi waktu juga

anggaran dana. Menurut MK, dengan pemilu serentak, uang negara yang berasal

dari pembayar pajak dan hasil sumber daya alam serta sumber daya ekonomi,
dapat lebih hemat dalam pembiayaannya. Masih menurut MK, pemilu serentak

dapat pula mengurangi pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan

horizontal di masyarakat pada masa-masa pemilu. MK juga meyakini bahwa

pemilu serentak akan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari

kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang

dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan pasangan capres-

cawapres yang bakal diusung.

Namun disisi lain, penulis melihat dari perbandingan pemilu 2014 dan

2019 ini, yakni total anggaran Pemilu 2014 ialah sekitar Rp24,1 triliun dan pada

pemilu serentak 2019 kali ini pemerintah menganggarkan Rp24,8 triliun untuk

penyelenggaraannya yang meliputi Pilpres dan Pileg. Namun sebelumnya pada

tahun 2018, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar

Rp16 triliun. Artinya, pemilu serentak ini justru menghabiskan lebih banyak

biaya dalam pelaksanaannya.

Mengenai pernyataan MK bahwa pemilu serentak dapat menekan konflik

atau gesekan horizontal di masyarakat juga tidak sepenuhnya benar, sengit dan

panasnya pemilu 2019, terutama pilpres 2019 yang membelah masyarakat

menjadi dua kubu besar sangat terasa. Begitu pula mengenai lobi-lobi partai

politik yang sempat disinggung MK saat mengeluarkan putusan terkait pemilu

serentak. Keyakinan MK bahwa pilpres dalam pemilu serentak dapat

menghindari negosiasi dan tawar-menawar politik taktis barangkali juga sulit

terwujud. Sejumlah peristiwa mengejutkan yang terjadi jelang penentuan capres-


cawapres dari kedua kubu, membuktikan itu. Belum lagi energi yang harus

dikeluarkan selama proses pemilu serentak yang amat melelahkan, terutama di

sepanjang hari pencoblosan dan penghitungan suara. Tercatat, banyak petugas

pemilihan di berbagai daerah yang tumbang karena keletihan, bahkan

meninggal dunia, karena mengurusi pesta demokrasi yang disebut paling rumit

di alam semesta ini.

Harapan kita, tentu agar pemilu 2019 kemarin dapat berjalan dengan baik

sebagaimana tahapan yang telah ditetapkan KPU, pelaksanaanya senantiasa

menjunjung tinggi profesionalissme, transparan, akuntabel dan berintegritas

sehingga dapat memilih wakil rakyat dan pemimpin yang berintegritas dan

mempunyai legitimasi yang kuat sepertinya belum bisa dikatakan terwujud.

Dalam kacamata penulis, ada satu hal yang paling mencolok pada

penyelenggaraan pemilu serentak 2019 di Kota Jayapura Provinsi Papua,

terdapat kecacatan pada hari penentuan dilaksanakan pencoblosan, yakni 17

April 2019, namun masyarakat Kota Jayapura di beberapa Distrik yakni Distrik

Abepura dan Distrik Jayapura Selatan belum bisa menggunakan hak pilihnya

dikarenakan keterlambatan logistik yang belum tiba di TPS, alasan yang

dinyatakan oleh pihak penyelenggara yakni

dikarenakan surat suara dicetak di Jakarta dan surat suara yang dilipat bukanlah

dari KPU Kota Jayapura, mereka menjelaskan bahwa hal tersebutlah yang

menyebabkan terjadinya keterlambatan penyaluran logistik di Distrik Abepura

dan Jayapura Selatan.


Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Jayapura, Provinsi

Papua menduga terjadi penggelembungan suara pemilih di Distrik Heram,

Kota Jayapura dalam pemilu serentak 2019 ini. Menurut komisioner Bawaslu

Kota Jayapura Hardin Halidin, hal ini diketahui setelah rapat pleno

rekapitulasi suara tingkat Distrik Heram, Hardin memberi contoh soal

penggelembungan itu. Untuk pemilihan DPR Papua, jumlah total pemilih DPT,

DPTb, dan DPK adalah 63.274 orang. Sementara pengguna hak pilih sebanyak

27.364 orang. Namun suara sah yang terdistribusi sebanyak 70.951 suara dan

semuanya terdistribusi kepada semua peserta pemilu dan caleg. Dengan

demikian, ada sekitar 43.000 suara yang digelembungkan penyelenggara di

tingkat Distrik Heram. Sungguh merupakan hal yang sangat tidak lumrah

untuk difikirkan secara akal sehat.

Dengan itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai Bagaimana

Persepsi Masyarakat terhadap Pemilu Serentak 2019 terkhususnya dalam kasus

Penyelenggaraan Pemilu di Distrik Heram Kota Jayapura.. Harapnya, semoga

penulis bisa mendapatkan pandangan-pandangan nyata dari masyarakat

setempat terkait fenomena pemilu yang mereka rasakan pada April 2019 lalu,

serta dapat menawarkan solusi-solusi kongkrit kepada pihak penyelenggara

pada permasalahan-permasalahan yang mungkin akan penulis temukan pada

saat proses penelitian terhadap perspektif masyarakat.


B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pandangan masyarakat Distrik Heram terhadap

penyelenggaraan pemilu serentak 2019? ;

2. Apa evaluasi dan harapan masyarakat Distrik Heram terhadap proses

penyelenggaraan pemilu serentak 2019?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan

Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Persepsi masyarakat Distrik Heram terhadap penyelenggaraan

pemilu serentak 2019 khususnya di Distrik Heram Kota Jayapura;

b. Pengevaluasian serta harapan masyarakat Distrik Heram terhadap

penyelengaraan pemilu serentak 2019 khususnya di Distrik Heram

Kota Jayapura.

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini, penulis harapkan agar dapat berguna

sebagai referensi dalam meningkatkan performa kualitas kerja

penyelenggara pemilu.
D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Analisis

Secara etimologi kata analisis menurut kamus besar Bahasa Indonesia

adalah “Penguraian atas berbagai bagiannya dan penelaahan atas bagian itu

sendiri, serta hubungan antara bagian untuk meperoleh pengertian yang tepat

dan pemahaman dalam arti keseluruhan”. Sedangkan menurut Harap (2004:

189) pengertian analisis adalah “Memecahkan atau menggabungkan sesuatu

unit menjadi berbagai unit terkecil”.

Analisis sering dimaknai sebagai aktivitas yang terdiri dari serangkaian

seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk dikelompokkan

kembali menurut kreteria tertentu dan kemudian dicari kaitannya lalu

ditafsirkan maknanya. Analisis juga dapat di artikan sebagai usaha dalam

mengamati sesuatu secara mendetail dengan cara menguraikan komponen-

komponen pembentuknya atau menyusun komponen tersebut untuk dikaji lebih

lanjut.

2. Persepsi Masyarakat

Pengertian persepsi dari kamus psikologi adalah berasal dari bahasa

Inggris, perception yang artinya: persepsi, penglihatan, tanggapan; adalah

proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya

melalui indera-indera yang dimilikinya; atau pengetahuan lingkungan yang

diperoleh melalui interpretasi data indera.


(Kartono dan Gulo, 1987) Persepsi merupakan suatu proses yang

didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah merupakan suatu proses

di terimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera.

Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh saraf ke otak melalui

pusat susunan saraf dan proses selanjutnya merupak proses persepsi.

Stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses persepsi

sesuatu yang di indera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah

diorganisasaikan dan diinterpretasikan (Walgito, 2000). Melalui persepsi

individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan diri individu

yang bersangkutan. Persepsi itu merupakan aktivitas yang ada dalam diri

individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka

acauan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu masyarakat akan

ikut berperan dalam persepsi tersebut, faktor faktor yang mempengaruhi

persepsi pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor

eksternal (Walgito, 2000). Berdasarkan atas hal tersebut, dapat dikemukakan

bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama tetapi karena

pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan

tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu dengan

individu yang lain tidak sama.

3. Pemilihan Umum

Pemilihan umum yang kemudian disingkat menjadi pemilu, dan

selanjutnya kata pemilu begitu akrab dengan masalah politik dan pergantian

pemimpin, karena pemilu, politik dan pergantian pemimpin saling berkaitan.


Pemilu yang diselenggarakan tidak lain adalah masalah politik yang berkaitan

dengan masalah pergantian pemimpin.

Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar

utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu sekaligus

merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin. Diyakini pada

sebagian besar masyarakat beradab di muka bumi ini, pemilu adalah

mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman, bila

dibandingkan dengan cara-cara lain. Sudah barang pasti jika dikatakan, pemilu

merupakan pilar utama dari sebuah demokrasi.

Secara teoritis pemilihan umum dianggap merupakan tahap paling awal

dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, sehingga

pemilu merupakan motor penggerak mekanisme sistem politik demokrasi.

Pemilihan umum merupakan suatu keharusan bagi suatu negara yang

menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Sampai sekarang pemilihan

umum masih dianggap sebagai suatu peristiwa ketatanegaraan yang penting,

karena pemilu melibatkan rakyat secara keseluruhan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu. Demikian juga melalui pemilihan umum, rakyat dapat

menyatakan kehendaknya terhadap garis-garis politik.

Adam Pzeworski (1988) menulis, minimal ada dua alasan mengapa

pemilu menjadi variabel sangat penting dalam suatu negara demokrasi;


Pertama, pemilu merupakan suatu mekanisme transfer kekuasaan politik

secara damai. Pengertiannya adalah, legitimasi kekuasaan seseorang atau partai

politik tertentu tidak diperoleh dengan menggunakan cara-cara kekerasan,

tetapi karena yang bersangkutan memenangkan suara mayoritas rakyat melalui

pemilu yang fair. Kedua, demokrasi yang memberikan ruang kebebasan bagi

individu, meniscayakan terjadinya konflik-konflik. Pemilu dalam konteks ini,

hendaknya melembagakannya – khususnya berkenaan dengan merebut dan

mempertahankan kekuasaan – agar konflik-konflik tersebut diselesaikan

melalui lembaga-lembaga demokrasi yang ada.

4. Pemilu Serentak 2019

Pilpres 2019 menjadi bagian dari pemilihan umum (Pemilu) serentak

pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden dan Wakil

Presiden, Pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk

memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sejarah digelarnya pemilu serentak berawal dari aksi Effendi Ghazali dan

Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Pada 2013, peraih gelar Ph.D.,

dalam bidang komunikasi politik dari Radboud Nijmegen University Belanda

ini menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke

Mahkamah Konstitusi (MK).

MK mengabulkan dan mengeluarkan putusan uji materi (judicial review)

untuk UU yang digugat Effendi Ghazali tersebut pada Mei 2013 kendati baru
resmi disidangkan pada Januari 2014. Namun, penerapan pemilu serentak bisa

dilakukan pada 2019, bukan untuk Pemilu 2014 dengan alasan waktu yang

terlalu mendadak. Maka, sesuai dengan keputusan MK, Pemilu 2019 pun

tercatat dalam sejarah sebagai pemilu serentak pertama di Indonesia.

Gagasan menyatukan Undang-Undang Pemilu ke dalam satu undang-

undang sebenarnya sudah tercetus lama, tepatnya setelah Pemilu 2004

berakhir. Namun, tulis Nimatul Huda dalam Penataan Demokrasi dan Pemilu

di Indonesia (2017), saat itu gagasan tersebut dianggap belum mendesak.

Setelah hampir satu dekade, terbitlah Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

yang menetapkan kebijakan tentang pemilu serentak. Putusan ini pada

pokoknya menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres

adalah inkonstitusional. Pemilu serentak semula dianggap lebih efisien, baik

dari sisi waktu juga anggaran dana. Menurut MK, dengan pemilu serentak uang

negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil sumber daya alam serta

sumber daya ekonomi, dapat lebih dihemat dalam pembiayaannya. Masih

menurut MK, pemilu serentak dapat pula mengurangi pemborosan waktu dan

menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat pada masa-masa

pemilu.

MK juga meyakini bahwa pemilu serentak akan membuat proses pesta

demokrasi menjadi lebih bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu terkait


lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik

sebelum menentukan pasangan capres-cawapres yang bakal diusung.

Belum Sesuai Harapan Untuk Pemilu 2014, pemerintah melalui

Kementerian Keuangan pada 2013 semula menganggarkan Rp16 triliun yang

tercatat dalam APBN 2014. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari realisasi

anggaran Pemilu 2009 yang menelan dana sekitar Rp8,5 triliun. Menteri

Keuangan kala itu, Agus Martowardojo, menjelaskan, dana Rp16 triliun

tersebut belum termasuk biaya persiapan pemilu yang sudah dimasukkan ke

dalam APBN 2013 sebesar Rp8,1 triliun. “Dengan demikian, total anggaran

Pemilu [2014] mencapai Rp24,1 triliun,” tambah Agus, dilansir Sindonews

(15/3/2013). Harapan bahwa negara akan lebih berhemat dengan pemilu

serentak ternyata hanya teori belaka. Pemerintah menganggarkan Rp24,8

triliun untuk penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019, yang meliputi

Pilpres dan Pileg. Sebelumnya pada 2018, pemerintah juga telah

mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp16 triliun. Artinya, pemilu

serentak justru menghabiskan lebih banyak biaya.

Mengenai pernyataan MK bahwa pemilu serentak dapat menekan konflik

atau gesekan horizontal di masyarakat juga belum sepenuhnya bisa

diwujudkan. Sengit dan panasnya Pemilu 2019, terutama Pilpres 2019 yang

membelah masyarakat menjadi dua kubu besar pendukung dua paslon capres

dan cawapres, sangat terasa. Bukan hanya dalam proses menuju hari pemilihan,
pertentangan dua kubu, yang tidak bisa dipungkiri dapat memantik konflik

horizontal, ini juga terus terasa setelah penyelenggaraan Pilpres dan Pileg pada

17 April 2019 lalu. Dua pihak yang sama-sama mengklaim kemenangan

menjadi salah satu penyebab belum redanya suasana panas setelah pilpres.

Begitu pula mengenai lobi-lobi partai politik yang sempat disinggung MK saat

mengeluarkan putusan terkait pemilu serentak. Keyakinan MK bahwa pilpres

dalam pemilu serentak dapat menghindari negosiasi dan tawar-menawar politik

taktis barangkali juga sulit terwujud. Sejumlah peristiwa mengejutkan yang

terjadi jelang penentuan capres-cawapres dari kedua kubu, misalnya,

membuktikan itu.

Belum lagi energi yang harus dikeluarkan selama proses pemilu serentak

yang amat melelahkan, terutama di sepanjang hari pencoblosan dan

penghitungan suara. Tercatat, banyak petugas pemilihan di berbagai daerah

yang tumbang karena keletihan, bahkan meninggal dunia, karena mengurusi

pesta demokrasi yang disebut paling rumit di alam semesta ini. Dengan menilik

berbagai fakta yang terjadi, kelebihan pemilu serentak ternyata tidak seperti

yang sebelumnya digembar-gemborkan. Pemilu serentak akan tetap

diberlakukan pada pemilu-pemilu selanjutnya apabila tidak ada gugatan uji

materi seperti yang pernah diusung Effendi Ghazali dan kawan-kawan pada

2013.
E. DEFINISI KONSEP DAN OPERASIONAL INDIKATOR

1. Definisi Konsep

Berdasarkan penjelasan pada bagian kajian pustaka, maka dapat

dirumuskan definisi konsep pada penelitian adalah:

a. Persepsi masyarakat merupakan aktivitas yang ada dalam diri, seperti

perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acauan dan

aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu. dalam persepsi itu

sekalipun stimulusnya sama tetapi karena pengalaman tidak sama,

kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak sama, adanya

kemungkinan hasil persepsi antara individu dengan individu yang

lain tidak sama.

b. Pemilu Serentak 2019

Pilpres 2019 menjadi bagian dari pemilihan umum (Pemilu)

serentak pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden

dan Wakil Presiden, Pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat

Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan

DPRD Kabupaten/Kota. Sejarah digelarnya pemilu serentak berawal dari

aksi Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak.

2. Operasional Indikator

Berdasarkan penjelasan pada bagian kajian pustaka, maka dapat

dirumuskan operasional indikator pada penelitian adalah:


a. Variabel persepsi masyarakat dengan indikator –indikator sebagai

berikut :

a) Pandangan

Masyarakat dapat memberikan pandangannya, baik positif

maupun negatif terhadap pemilu serentak 2019 di Distrik

Heram Kota Jayapura.

b) Evaluasi

Masyarakat dapan memeberikan pengevaluasian terhadap

pemilu serentak 2019 di Distrik Heram Kota Jayapura.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif

2. Populasi dan Sampel

Menurut Arikunto (2006: 130), Populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Dimana peneliti ingin meneliti semua elemen yang ada dalam

wilayah penelitian. Berdasarkan pengertian tersebut, maka populasi yang

dipilih dalam penelitian ini adalah Masyarakat Distrik Heram Kota

Jayapura.

Menurut Arikunto (2006: 131-132), sampel adalah sebagian atau

wakil Informan yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila kita

bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel. Yang


dimaksud dengan menggeneralisasikan adalah mengangkat kesimpulan

penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi Informan.

Sampel yang diambil peneliti yakni 10 masyarakat dari masing-masing

kelurahan di Distrik Heram, total sampel yakni 40 masyarakat.

3. Teknik Pengumpulan Data

a) Kusioner

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara peneliti memberikan

pertanyaan-pertanyaan tertulis bersifat pilihan ganda, responden hanya perlu

memilih opsi jawaban yang tersedia, dengan soal yang dibacakan oleh peneliti.

b) Wawacara

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara peneliti menanyakan

pandangan responden terkait suatu persoalan, penjabaran jawaban responden

akan ditulis oleh peneliti.

4. Teknik Analisis

Analisis kualitatif terdiri dari empat alur kegiatan yang terjadi secara

simultan, yaitu catatan lapangan, pengumpulan informasi, penyajian

informasi, penarikan kesimpulan

Pengumpulan Penyajian
informasi informasi

Catatan
simpulan
lapangan

Gambar. Proses Analisis, Sumber : Mills (1992)


Lingkup kegiatan proses analisis tersebut dilakukan secara simultan

mencakup klarifikasi, interpretasi dan analisis data/informasi. Analisis

data/informasi dilakukan deskriptif (descriptive analysis), dimaksudkan

sebagai usaha untuk menjelaskan bagian-bagian dari keseluruhan dan melalui

klarifikasi dan kategorisasi, sehingga dapat tersusun suatu rangkaian deskripsi

yang lebih sistematis. Rangkaian itu melalui pengumpulan data/informasi,

catatan lapangan, penyajian informasi, kemudian dilanjutkan lebih rinci dan

sistematis setelah keseluruhan data/informasi terkumpul. Klarifikasi dan

kategorisasi data/informasi dilakukan secara bagian-bagian tetapi dalam

konteks dan dilakukan secara simultan.


DAFTAR PUSTAKA

Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan,

Gramata Publising, Bekasi, Juli 2014.

Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia,

Fajar Media Press, Yogyakarta, Maret 2011.

Mukthie Fadjar, Pemilu, Perelisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi,

Setara Press, Malang, 2013.

Hendry, Pemilu & Kisah Perjalanan 2 Roh, Bayumedia Publishing,

Malang, Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai