Anda di halaman 1dari 149

SKRIPSI

Studi Etnografi Representasi Profesi Barista sebagai sebuah Identitas

Oleh:

Velina Aulia A.A

12/335584/SP/25278

Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

2016
KATA PENGANTAR

Peneliti mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sudah
memberikan segala kemudahan dan kesusahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Studi Etnografi Representasi Profesi Barista sebagai sebuah
Identitas” ini disusun untuk memenuhi persyaratan demi menyelesaikan jenjang
studi Strata-I di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada.

Judul ini berangkat dari keingintahuan peneliti tentang bagaimana profesi


dari seorang individu membentuk identitas mereka.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat


kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan guna mengembangkan penelitian selanjutnya.
Pada akhirnya, peneliti berharap skripsi ini dapat menjadi sumbangsih bagi dunia
pendidikan, terutama dalam bidang ilmu komunikasi.

Yogyakarta 19 September 2016


Velina Aulia A.A

Peneliti

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi beratus-ratus halaman ini tidak akan selesai secara tepat waktu tanpa
adanya bantuan dan dorongan dari pihak-pihak yang luar biasa. Ucapan terima
kasih saya persembahkan untuk:

Allah SWT yang senantiasa memberikan pertolongan-Nya dan memungkinkan


semua yang mustahil.

Mama dan Papa yang selalu mendoakan, meneror dengan pertanyaan “kapan nak
sidangnya?” serta selalu memberi dorongan finansial sehingga anaknya tidak
pernah kekurangan makan.

Mbak Pulung, yang selalu meneror progress skripsi tiap minggu, yang galak
namun tegas dan membuat saya yang pemalas menjadi mau tak mau harus
mengerjakan setiap minggu.

Cemiw, orang paling sabar se-alam dunia dalam menghadapi orang seperti saya,
udah nemenin latihan presentasi sampe jam 3 pagi, selalu mau dengerin curhat
ketika saya sedih dan selalu available kapanpun dan jam berapapun saya ajak
pergi. Thanks so much, cemiw. You are the best. 

Sarah, ter-sampis best of mine and the best I ever have. Terima kasih buat sharing
tentang apapun yang literally apapun! I don’t know how to describe, but you know
I do really mean it. I can’t say any romantic thingy to you, but I do love how our
friendship built.

Taya, orang paling keren yang pernah saya kenal yang selalu menyemangati dan
selalu percaya kalau saya bisa menghadapi semua dan bisa mencapai target-target
dalam hidup saya. Thanks so much sharing nya, see you on top!

Gharin, Try, Febri, lelaki-lelaki tercintaku yang nyebelin tapi mereka selalu ada
disitu. Couldn’t love you guys for more, seriously.

vi
Indira dan Dita. Ira yang selalu ngambek sama kelakuanku tapi masih tetep
sabar dan Dita yang ketemu cuma kalo pas ira lagi di Jogja, tapi aku tau, kalian
selalu ada dan gak pernah kemana-mana.

Loli, Rivaldi, Irfanto dan Onti (A6B8) yang memberi warna tersendiri di KKN
dan menjadikan KKN jadi nggak boring. Luvv.

The Pulungs, untuk kemeriahan ketika bimbingan dan selalu meng-update gossip
terhangat dan terbaru sehingga saya tidak menjadi pribadi yang cupu.

Anca, orang yang memperkenalkan saya ke dunia perkopian, sampai membuat


saya tertarik untuk mengenal lebih jauh soal kopi dan mendapat ide untuk
menjadikan kopi sebagai bahan skripsi.

Geng Siwi rumpi yang jadi saksi keadaan saya dari memulai skripsi sampe skripsi
ini selesai, yang mendengar semua keluh kesah, buluk trendy nya saya. I love you
guys!

Mas Pepeng, Mas Avis dan Evana, informan yang luar biasa ramah dan
menerima saya dengan sangat terbuka. Tanpa kalian, deretan kata-kata di
penelitian ini hanya bualan belaka.

Girindra Adisajjana, yang sudah melengkapi proses akhir dari skripsi ini 

And the last one, Adrianus Ardya Patriatama, yang pernah menjadi motivator
saya untuk menyelesaikan skripsi ini dengan segera.

TERIMAKASIH 

vii
ABSTRAKSI

Jika membicarakan tentang barista, tentu akan timbul pertanyaan


bagaimana sebenarnya seseorang bisa disebut sebagai barista dan syarat apa saja
yang harus dimiliki seseorang untuk mendapatkan identitas sebagai barista.
Kemudian ketika seseorang sudah dianggap atau mendapatkan identitas sebagai
barista, tentu seseorang akan melakukan hal-hal yang merepresentasikan
identitasnya sebagai barista. Seseorang tersebut akan melakukan berbagai macam
cara untuk merepresentasikan dan mengkomunikasikan identitasnya sebagai
seorang barista.
Masing-masing individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam
merepresentasikan identitasnya sebagai seorang barista. Beberapa orang memilih
dengan secara aktif menuliskan pengalaman-pengalamannya di dalam dunia
perkopian di laman website ataupun blog pribadi, Membagikan ilmunya tentang
bagaimana cara membuat kopi yang enak, bagaimana cara mengoperasikan alat-
alat agar rasa yang keluar cenderung ke asam, manis ataupun pahit, bagaimana
kemudian menceritakan ciri khas biji kopi dari daerah tertentu, dan membagikan
ilmu lainnya yang bisa dengan mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan
dimana saja tanpa ada idealisme ataupun mengharapkan rupiah karena semata-
mata murni ia ingin berbagi tentang ilmunya.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana
lingkungan sosial dan habitus dari seorang barista akhirnya mempengaruhi
bagaimana identitas seseorang terbentuk hingga profesi yang menjadi rutinitas
sehari-hari akhirnya menjadi sebuah identitas yang melekat pada diri seorang
individu.

viii
ABSTRACT

Talking about barista, certainly will arise the question how could someone
actually called a barista and what terms one should have to get an ID as a barista.
Then when someone already considered or obtain identity as a barista, surely
someone will do the things that represent identity as a barista. Someone will
perform a variety of ways to represent and communicate the identity as a barista.

Each individual has a different way of representing his identity as a


barista. Some people choose to actively write down his experiences in the coffee
world in the pages website or a personal blog, Sharing knowledge about how to
make good coffee, how to operate equipment in order to taste that comes out tends
to sour, sweet or bitter, how then tell hallmark coffee beans from a particular area,
and the other to share knowledge that could be easily accessed by anyone,
anytime and anywhere without any idealism or expect the rupiah because of the
sheer pure he would like to share their knowledge.

Therefore, this study was conducted to see how the social environment and
habitus of a barista ultimately affect how a person's identity is formed by a
profession that became a daily routine eventually becomes an identity that is
inherent in an individual.

ix
DAFTAR ISI

SKRIPSI ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi
ABSTRAKSI ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan masalah......................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
D. Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 4
E. Kerangka Konsep ....................................................................................... 15
F. Metode Penelitian....................................................................................... 17
1. Pendekatan Penelitian ............................................................................. 17
2. Informan Penelitian ................................................................................ 18
3. Sumber Data ........................................................................................... 19
G. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 19
1. Observasi ................................................................................................ 19
2. Wawancara (Interview) .......................................................................... 20
H. Teknik Analisis Data .................................................................................. 21
1. Reduksi Data .......................................................................................... 21
2. Penyajian Data ........................................................................................ 21
3. Penarikan Kesimpulan ............................................................................ 21
BAB II
Identitas dan Etnografi Budaya Minum Kopi dalam Masyarakat Indonesia ........ 23
A. Habitus bagian dari Identitas...................................................................... 23
B. Sejarah Kopi di Indonesia .......................................................................... 25

x
1. Struktur Industri Kopi dalam Negeri ...................................................... 27
2. Klasifikasi Kopi ...................................................................................... 28
3. Perkembangan Budaya Coffee Shop ....................................................... 29
C. Lifestyle dan Habitus sebagai Kajian Etnografi......................................... 32
BAB III
BARISTA dan KOPI ............................................................................................ 35
A. Barista dan Brewer ..................................................................................... 35
B. Proses Pemilihan Informan ........................................................................ 36
1. Informan Barista 1: Avicena Haris (23 tahun, mahasiswa, pemilik Darat
Coffee Shop)................................................................................................... 37
2. Informan Barista 2 : Firmansyah (34 tahun, Barista dan Storyteller
@klinikkopi) .................................................................................................. 39
3. Informan Barista 3 : Evana Andriani (22 tahun, Mahasiswa dan Barista
di Starbucks) .................................................................................................. 40
BAB IV
REPRESENTASI BARISTA SEBAGAI SEBUAH IDENTITAS....................... 42
A. Temuan Penelitian ...................................................................................... 42
1. Pepeng dan Klinik Kopi ......................................................................... 44
2. Avis dan Darat Coffee Shop ................................................................... 53
3. Evana dan Starbucks .............................................................................. 63
B. Pembahasan ................................................................................................ 71
1. Barista dan Kecenderungan Empiris dalam Bertindak ........................... 71
2. Barista sebagai Motivasi dan Preferensi ................................................ 91
3. Barista Sebagai Suatu Pandangan Tentang Dunia (Kosmologi) ............ 93
4. Barista sebagai keterampilan dan kemampuan praktis ........................... 95
5. Barista sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup
dan jenjang karier........................................................................................... 99
BAB V
A. Kesimpulan .............................................................................................. 101
B. Saran ......................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 105
Lampiran

xi
Daftar Gambar

Gambar 1 Tampilan Klinik Kopi ................................................................................ 45


Gambar 2 Foto Firmansyah (Pepeng) Klinik Kopi ..................................................... 46
Gambar 3 Sign no wifi area ........................................................................................ 47
Gambar 4 Lokasi Darat Coffee Shop .......................................................................... 54
Gambar 5 Foto Avicena Haris (Avis) ......................................................................... 57
Gambar 6 Starbucks Ambarukmo Plaza (Amplaz) ..................................................... 63
Gambar 7 Sosok Evana barista Starbucks Amplaz ..................................................... 67
Gambar 8 Atribut Pepeng ketika di bar....................................................................... 73
Gambar 9 Atribut Avis ketika di bar ........................................................................... 73
Gambar 10 Atribut Evana ketika di bar ...................................................................... 74
Gambar 11 Alat seduh di Klinik Kopi ........................................................................ 75
Gambar 12 Alat seduh di Darat ................................................................................... 76
Gambar 13 Alat di Starbucks ...................................................................................... 77
Gambar 14 Interaksi Pepeng dengan pelanggan ......................................................... 81
Gambar 15 Interaksi Avis dengan pelanggan di meja bar .......................................... 82
Gambar 16 Interaksi Evana dan pelanggan Starbucks ................................................ 83
Gambar 17 Akun instagram Klinik kopi ..................................................................... 85
Gambar 18 Salah satu postingan akun Klinik Kopi .................................................... 86
Gambar 19 Akun instagram Avis................................................................................ 88
Gambar 20 Salah satu postingan Avis ........................................................................ 89
Gambar 21 Akun Instagram Evana ............................................................................. 90

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gaya hidup di Indonesia mengalami perubahan dengan naiknya „nilai‟ atau


value terhadap kopi di mata masyarakat. Kopi tidak hanya menjadi sesuatu untuk
diseduh, namun juga menjadi media komunikasi yang terjadi di sebuah coffee
shop. Lima tahun terakhir, munculnya trend coffee shop di Jogja berkembang
dengan sangat cepat. Trend coffee shop ini muncul dan berkembang bukan hanya
untuk menikmati kopi saja, namun lebih cenderung menjadi lifestyle dimana
sebuah coffee shop terjadi beragam aktivitas dan interaksi yang membentuk
sebuah pola perilaku dan pola komunikasi di dalamnya. Bila kembali melihat
Jogja sembilan tahun lalu, tidak banyak coffee shop yang berkembang, berbeda
dengan sekarang dimana coffee shop menjadi sebuah tempat yang menarik bagi
masyarakat untuk berkumpul, ngopi, atau sekedar berinteraksi dengan barista dari
coffee shop tersebut.
Pada posisi ini, barista dianggap menjadi orang yang lebih tau tentang
dunia perkopian sehingga seorang barista dituntut untuk memiliki knowledge yang
lebih besar. Jika membicarakan tentang barista, tentu akan timbul pertanyaan
bagaimana sebenarnya seseorang bisa disebut sebagai barista dan syarat apa saja
yang harus dimiliki seseorang untuk mendapatkan identitas sebagai barista. Di
banyak artikel dan website tentang kopi mengatakan elemen utama dari kopi
adalah espresso. Seorang barista dituntut untuk bisa membuat espresso yang enak.
Enak disini berarti tidak asam maupun tidak pahit di mulut. Espresso yang baik
adalah espresso dengan crema (buih) yang tebal. Espresso dengan buih yang tebal
menghasilkan warna kopi yang tidak terlalu gelap sehingga manis untuk
dipresentasikan. Barista juga seharusnya tahu macam-macam biji kopi dan
karakteristik dari masing-masing biji kopi yang berasal dari beraneka ragam

1
daerah. Terakhir yang tidak kalah penting adalah seorang barista harus memiliki
konsistensi untuk terus belajar dan mengeksplorasi biji-biji kopi dan
memadupadankan agar rasa kopi yang keluar bisa beraneka ragam dan tentunya
nikmat untuk disajikan. Seseorang yang memiliki identitas sebagai seorang
barista, seseorang ini berarti dianggap memiliki kemampuan lebih di dunia kopi.
Kemudian ketika seseorang sudah dianggap atau mendapatkan identitas
sebagai barista, tentu seseorang akan melakukan hal-hal yang merepresentasikan
identitasnya sebagai barista. Seseorang tersebut akan melakukan berbagai macam
cara untuk merepresentasikan dan mengkomunikasikan identitasnya sebagai
seorang barista.
Bahasan diatas menjadi menarik, karena barista dan lifestyle akhirnya
bersimbiosis menjadi sebuah identitas, dimana identitas ini memiliki nilai yang
lebih besar di dalam proses komunikasi. Hal yang menarik dari penelitian ini
nantinya adalah mengetahui bahwa ketika barista menjadi sebuah icon dari sebuah
coffee shop, dimana terjadi banyak pergeseran, profesi barista itu sendiri memiliki
makna yang lebih besar dan berpengaruh. Ketika barista menjadi sebuah identitas,
lalu akan muncul pertanyaan-pertanyaan bagaimana individu (barista) tersebut
kemudian merepresentasikan profesinya sebagai identitasnya sebagai barista.
Masing-masing individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam
merepresentasikan identitasnya sebagai seorang barista. Beberapa orang memilih
dengan secara aktif menuliskan pengalaman-pengalamannya di dalam dunia
perkopian di laman website ataupun blog pribadi, Membagikan ilmunya tentang
bagaimana cara membuat kopi yang enak, bagaimana cara mengoperasikan alat-
alat agar rasa yang keluar cenderung ke asam, manis ataupun pahit, bagaimana
kemudian menceritakan ciri khas biji kopi dari daerah tertentu, dan membagikan
ilmu lainnya yang bisa dengan mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan
dimana saja tanpa ada idealisme ataupun mengharapkan rupiah karena semata-
mata murni ia ingin berbagi tentang ilmunya.
Cara lain seorang individu merepresentasikan identitasnya sebagai seorang
barista juga bisa dengan jalan fotografi. Bukan merupakan sesuatu yang baru
mengetahui bagaimana media sosial telah begitu besar mempengaruhi

2
meledaknya sebuah isu ataupun produk ke masyarakat. Disini biasanya seorang
barista memanfaatkan media sosial seperti instagram untuk menunjukkan hasil
karya-karya nya. Media sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan
membentuk habitus masyarakat. Dikatakan demikian karena masyarakat sekarang
cenderung sudah sangat bergantung dengan adanya media sosial. Hal inilah yang
membuat media sosial memiliki power yang luar biasa ke masyarakat. Karena itu,
beberapa individu memutuskan untuk merepresentasikan identitasnya dengan
memuat gambar latte art, gambar mesin-mesin kopi canggih berharga puluhan
hingga ratusan juta, ada yang memuat gambar kopi hitam hasil pour over
menggunakan V60, bahkan ada yang memuat gambar biji-biji kopi yang siap
diolah menjadi secangkir kopi.
Ada juga dengan sentuhan narsisme yang mengunggah aktifitasnya ke
dalam media sosial. Mengupload foto dirinya sedang membuat latte art, foto
dirinya sedang mengikuti lomba di sebuah kejuaraan kopi tingkat nasional, foto
piagam pemenang lomba, ataupun foto dirinya sedang sibuk roasting biji kopi.
Lebih dari itu, ada juga individu merepresentasikan dirinya sebagai barista dengan
cara membuat circle atau kelompok sosial dengan sesama barista dan
menghabiskan sebagian waktunya untuk beraktifitas dan melakukan interaksi
dengan sesama barista.
Keadaan tersebut dapat dipahami secara harafiah, dengan mengacu pada
konteks komunikasi yang dapat dijelaskan sebagai produksi pesan. Dalam hal ini,
produksi pesan adalah bagaimana sebuah pesan itu ditransmisikan melaui
representasi individu terhadap identitasnya sebagai seorang barista dalam proses
komunikasi. Komunikasi membuat indivudu menjadi anggota suatu kelompok
atau lingkungan sosial dan komunikasi sebagai interaksi sosial melalui
representasi masing-masing individu yang dalam kurun waktu tertentu nantinya
akan membentuk habitus. Berbagai macam cara dilakukan dengan tujuan yang
sama, yaitu merepresentasikan identitasnya sebagai barista, karena pada saat ini
barista bukan lagi pekerjaan yang mudah dan dianggap sepele. Barista merupakan
profesi yang skillful dan memiliki nilai jual yang menjanjikan jika sudah
tersertifikasi secara nasional maupun internasional.

3
B. Rumusan masalah
Bagaimana representasi identitas barista oleh individu (barista)?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana seorang individu merepresentasikan profesi barista
sebagai sebuah identitas.
2. Mengetahui peran lingkungan dalam membentuk habitus dari seorang
barista.

D. Kerangka Pemikiran
1. Identitas
Identitas secara umum dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang
sering digunakan oleh banyak orang untuk mengetahui seluk beluk dari
seorang individu. Identitas secara umum memiliki makna sebagai ciri-ciri,
tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
membedakannya dengan orang lain, contohnya bendera dan lagu kebangsaan
setiap negara akan berbeda dengan negara lain. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Turner yang menyatakan:
….they also provide a system of orientation for self-references: they
create and difine the individual’s place in society. Social groups,
understood in this sense, provide their members with an identification
of themselves in social terms. It is in a strictly limited sense, arising
from these considerations, that we use the term social identity. It
consists, for the purposes of the present discussion, of those aspects of
an individual’s self-image that derive from the social categories to
which he perceives himself as belonging1.”

Menurut Tajfel, social identity merupakan keseluruhan dari konsep diri


seseorang yang berasal dari penilaian kelompok sosial mereka dan merupakan
hasil evaluasi terhadap penilaian kelompok sosial tersebut. Artinya,
bagaimana seseorang tersebut memiliki kedekatan emosional terhadap
kelompok sosialnya. Kedekatan itu sendiri muncul setelah menyadari
keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu yang mulai
1
Bruce G.; Phelan, Jo C. The Labelling Theory of Mental Disorder (II): The Consequences of
Labeling. A Handbook for the Study of Mental Health: Social Contexts, Theories, and Systems.
Cambridge: Cambridge University Press.1999. hlm. 249

4
membentuk identitasnya. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber
dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif, maka semakin kuat
identitasnya di dalam suatu kelompol sosial2.
Kuatnya identitas yang melekat pada diri seseorang membuat Stryker
mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri (dari teori
interaksi simbolis)3. Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi
dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang
berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika
kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Seperti
contoh ketika seseorang berperan atau berperilaku yang mencerminkan
seorang dokter dengan memakai jas putih, mengalungkan stetoskop, memawa
suntikan, hingga menuliskan resep, maka otomatis orang yang belum kenal
akan mengetahui jika orang tersebut adalah seorang dokter. Jika seseorang
berperilaku atau menggunakan atribut seperti helm, jaket lapangan, sepatu
boots, masker, dan segala alat keamanan lainnya, seseorang akan dengan
mudah menganggap bahwa seseorang tersebut adalah pekerja tambang.
Karena identitas adalah sebuah simbol, tanda atau ciri khas yang membedakan
dengan yang lain.
Identitas disini masih memiliki makna dan cakupan yang sangat luas
untuk membahas mengenai representasi dari diri seseorang. Identitas kerap
kali dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah bagaimana
lingkungan dari individu membentuk identitas dari seseorang. Lingkungan ini
berupa komunitas dimana seseorang itu berada, bagaimana seseorang itu
berinteraksi dengan komunitasnya dan banyak hal lain yang dipengaruhi oleh
komunitasnya. Komunitas yang berpengaruh ini dapat dikategorikan atau
disebut dengan habitus, dimana konsep habitus pernah dibawa oleh Bordieu.

a. Habitus sebagai bagian dari identitas


2
Tajfel, Henry., & Turner, John. C. The Social Identity Theory of Intergroup Behavior.
3
Stryker, Sheldon., & J, Peter. The Past, Present, and Future of an Identity Theory. American
Sociological Association. 2000. hlm.284-297.

5
Konsep habitus (kebiasaan) adalah sesuatu yang digunakan oleh
individu untuk menghadapi lingkungan sosial. Individu dibekali beberapa
pola yang diinternalisasikan dan yang mereka gunakan untuk merasakan,
memahami, menyadari, dan menilai lingkungan sosialnya. Melalui pola-
pola yang terjalin itulah yang nantinya membuat individu menunjukkan
tindakan mereka dan juga menilainya. Secara nalar, Bourdieu
mendefinisikan atau mengartikan habitus sebagai product of
internalization structure dari dunia sosial.
Pemikiran Bourdieu memiliki karakteristik gabungan dari
strukturalisme dengan konstruktivisme. Dengan kata lain, bisa dikatakan
pemikiran Bourdieu termasuk dalam aliran „strukturalis konstruktivisme‟
yang menjelaskan jika kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari jaringan
atau struktur lingkungan yang ada di sekitarnya. Struktur tersebut bahkan
terjadi di luar kesadaran dari individu, namun struktur itu sendiri pun
merupakan konstruksi dari relasi-relasi maupun interaksi dari kehidupan
sosial dari individu tersebut.
Secara umum, habitus juga diartikan sebagai suatu sistem yang
tahan lama (durable) dan disposisi yang dapat berubah-ubah
(transposable) menyangkut apa yang kita terima, nilai, dan cara bertindak
di dalam dunia sosial, seperti yang Bourdieu katakan:
“The conditionings associated with a particular class of conditions of
existence produce habitus, systems of durable, transposable dispositions,
structured structures predisposed to function as structuring structures,
that is, as principles which generate and organize practices and
representations that can be objectively adapted to their outcomes
without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery
of the operations necessary in order to attain them. in order to attain
them. Objectively 'regulated' and 'regular' without being in any way the
product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated
without being the product of the organizing action of a conductor.4”

Habitus terbentuk melalui tindakan yang berulang dan bersifat


tanpa sadar sehingga membentuk sebuah sifat yang relatif menetap dalam
diri individu yang membuatnya bertindak secara spontan tanpa perlu

4
Bourdieu, The Logic of Practice . Hlm.53

6
berpikir terlebih dahulu, namun tidak mengabaikan latar belakangnya.
Habitus juga merupakan produk yang mencerminkan kebudayaan, hasil
dari kehidupan kolektif dengan periode waktu yang relatif panjang
sehingga menciptakan tindakan atau tingkah laku individu yang
mencerminkan dirinya.5

Bourdieu memberi penekanan dan pengertian sendiri tentang


habitus. Penekanan yang ia maksud merupakan sesuatu yang terkait
dengan hal-hal berikut6:
1. Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak
dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup).
2. Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi).
3. Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi).
4. Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis.
5. Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup
dan jenjang karier.

Dalam pandangan Bourdieu, habitus juga mendasari arena (field),


dengan kata lain, habitus beroperasi dalam suatu lingkungan.7 Arena ini
tidak dapat dipisahkan dari ruang sosial. Ruang sosial diperlukan individu
yang berperan untuk melakukan aktivitasnya dan di dalam ruang sosial
tersebut individu tersebut bisa mewujudkan habitus yang ia miliki dalam
bentuk praktik tindakan sosial.
Habitus mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas
seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas sosial. Habitus
menjadi hasil yang diperoleh individu atas posisi mereka dalam kehidupan
sosial dan seberapa lama mereka berada di dalam lingkungan atau field.
Habitus seseorang akan berbeda-beda bergantung kepada posisi seseorang

5
Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah gerakan untuk Melawan
Dominasi. Bantul: kreasi Wacana. Hlm.62
6
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) +
Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu. Hlmn.192
7
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. Ibid. Hlmn.194

7
di dalam kehidupan sosial. Meskipun tidak setiap orang memiliki
kebiasaan yang sama, namun orang-orang yang menduduki posisi yang
sama akan cenderung memiliki habitus yang sama. Hal ini kemudian
menyimpulkan jika disini habitus bisa menjadi fenomena kolektif. Habitus
memungkinkan orang lain untuk memahami fenomena di dalam dunia
sosial. Namun kehidupan sosial dan struktur soisal setiap individu tidak
dapat disamaratakan kepada seluruh individu.
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di
satu pihak, habitus adalah “struktur yang menstruktur” artinya habitus
adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan social. Di lain pihak,
habitus adalah “struktur yang terstruktur” yakni ia adalah struktur yang
distrukturisasi oleh dunia social. Dengan kata lain Bourdieu melukiskan
habitus sebagai “dialektika internalisasi dari eksternalitas dan
8
eksternalisasi dari internalitas.”
Walau habitus adalah sebuah struktur yang diinternalisasikan, yang
mampu mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak
mampu menentukannya. Menurut Bourdieu, habitus hanya sebatas
“mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang
sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan,
individu menggunakan pertimbangan yang berdasarkan kesadaran, meski
proses pembuatan keputusan ini mencerminkan peran dari habitus. Habitus
menyediakan prinsip-prinsip, dimana dengan prinsip itu individu membuat
pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan di dalam kehidupan
sosial. Seperti yang dikatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah
bodoh” namun orang juga tidaklah rasional sepenuhnya, individu
bertindak menurut cara yang masuk akal. Mereka mempunyai perasaan
dalam bertindak, ada logika untuk apa orang bertindak dan itulah “logika
tindakan.”9

8
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) +
Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu. Hlmn.202.
9
Bourdieu & Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Polity Press. Hlm.53

8
Habitus berfungsi dibawah tingkat kesadarna, diluar jangkauan
pengamatan dan pengendalian oleh kemampuan. Meski tidak disadari
habitus dan cara bekerjanya namun individu mewujudkan dirinya sendiri
dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berjalan
dan berbicara. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi
orang tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur
eksternal dari luar yang mempengaruhi.
Hubungan antara habitus dan lingkungan adalah penting karena
saling menentukan. Habitus juga mengandung tanda-tanda atau simbol-
simbol tertentu, yang nantinya mencirikan identitas dari seseorang.

2. Kopi dan Gaya Hidup


Menurut data Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), pada 2010
konsumsi kopi Indonesia mencapai 800 gram per kapita dengan total
kebutuhan kopi mencapai 190 ribu ton. Sedangkan pada 2014, konsumsi kopi
Indonesia telah mencapai 1,03 kilogram per kapita dengan kebutuhan kopi
mencapai 260 ribu ton. AEKI mencatat bahwa konsumsi kopi orang Indonesia
terus naik sejak tahun empat tahun silam. Hal ini terungkap dari hasil survei
asosiasi terkait kebutuhan kopi yang naik sebesar 36 persen sejak tahun 2010
hingga 2014.10 Indonesia sukses berada di urutan ketiga sebagai negara
penghasil kopi terbesar di dunia, mengalahkan kolombia dimana sebelumnya
Indonesia menempati urutan keempat. Peningkatan produksi tersebut tentunya
dipengaruhi oleh besarnya permintaan kopi Indonesia baik di dalam maupun
di luar negeri.
Konsumsi minum kopi di Indonesia tidak sejalan dengan produksi
kopinya. Konsumsi kopi orang Indonesia hanya 0,9 kilogram per kapita, kalah
dengan negara lain seperti Italia, Denmark dan Islandia yang bisa mencapai 10
hingga 12 kilogram. Walaupun kebiasaan ngopi ini sudah dilakukan sejak

10
Rikang, raymundus & Dharma, Prasetyo. Orang Indonesia Makin Gemar Minum Kopi.
http://bisnis.tempo.co/read/news/2014/06/30/092589168/orang-indonesia-makin-gemar-
minum-kopi. Diakses 4 Januari 2016.

9
jaman dahulu, namun kebiasaan menikmati kopi single origin (kopi premium)
belum terlalu besar dan belum menjadi budaya di Indonesia11.
Sudah dijelaskan di atas bahwa kopi telah menjadi salah satu minuman
yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari jaman dahulu. Seiring
perkembangan waktu, kecintaan dan antusiasme masyarakat Indonesia
terhadap kopi Indonesia (khususnya single origin) mulai merangkak ke angka
yang lebih besar. Tidak bisa dipungkiri jika perkembangan tersebut bisa
dilihat dari banyak bermunculnya gerai coffee shop asal luar negeri ke pasar
ke Indonesia12. Kemunculan coffee shop luar negeri tersebut menciptakan
gaya hidup baru dan memancing pertumbuhan coffee shop lokal. Bahkan ada
beberapa coffee shop yang hadir dengan mengusung penggunaan 100% kopi
Indonesia asli.
Semakin berkembangnya waktu, budaya minum kopi berubah secara
dinamis menjadi sebuah gaya hidup. Meminum kopi bukan lagi ritual yang
hanya dilakukan oleh para orang tua, namun pada saat ini minum kopi menjadi
bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang tidak memandang apakah
kaum muda ataupun orang tua. Budaya minum kopi yang awalnya berasal dari
daerah barat kini muncul dan menjelma menjadi satu kebutuhan yang tidak
terlepaskan dalam kehidupan banyak orang, terutama bagi penikmat kopi.
Seperti halnya fesyen, kopi juga memiliki tren tersendiri. Ternyata minuman
hitam itu punya tren tersendiri dari masa ke masa. Meningkatnya permintaan
akan kopi, memancing munculnya berbagai macam jenis, merk dan kedai-
kedai kopi di masyarakat, khususnya di Yogyakarta.
Di lain sisi, Mowen menyimpulkan gaya hidup memiliki hubungan
dengan bagaimana seseorang bersosialisasi, bagaimana seseorang
menghabiskan uang mereka dan bagaimana seseorang menghabiskan
waktunya, dan gaya hidup berpengaruh pada keseluruhan tindakan dan

11
“Konsumsi kopi orang Indonesia hanyalah 0,9 Kg per kapita, sedangkan negara Skandinavia
bisa mencapai 12 kg per kapita, sedangkan Italia, Denmark, Norwegia dan Islandia bisa
mencapai 10 Kg”, ungkap ibu Tuti Mochtar, Direktur PT.Santino. (Sumber:
http://foodservicetoday.co.id/page/content/era_kebangkitan_kopi_indonesia/Market-Trend-
dan-Analysis ) Diakses 4 Januari 2016
12
Gerai coffee shop yang menggawangi pertumbuhan kopi di Indonesia adalah Starbucks.

10
perilaku konsumen. Seperti yang ia nyatakan dalam kutipannya: Life-style
relates to how people live, how they spend their money, and how they allocate
their time. Life-styles concern the overt actions and behaviors of consumers13.
Bersinggungan dengan pernyataan Mowen, Susanto, menyelaraskan
gaya hidup dengan sebuah ajang menunjukkan diri. Citra diri (self-image)
sendiri dapat diartikan sebagai bagaimana individu memandang dirinya
terhadap orang lain. Atau dapat diartikan sebagai bagaimana persepsi individu
terhadap individu lain. Hal ini tentu menarik jika ditarik garis tengah bahwa
cara seseorang menunjukkan citra diri di social life mereka dengan cara
mengikuti tren yang ada, disini khususnya adalah tren minum kopi. Seseorang
menganggap dirinya memiliki eksistensi ketika mereka sedang duduk di coffee
shop, berinteraksi dengan barista atau sekedar mengunggah keberadaan
mereka di media sosial. Minum kopi disini sudah tidak lagi menjadi
menikmati secangkir kopi hangat, namun bergeser menjadi ajang
menunjukkan eksistensi diri.

3. Barista dan Kopi


Perkembangan kopi yang sudah dibahas sebelumnya, memunculkan
anggapan bahwa barista sekarang bukan lagi menjadi sebuah profesi belaka.
Barista sudah menjadi sesuatu yang melekat dalam diri individu yang bertugas
membuat kopi di sebuah coffee shop.
Budaya yang sudah menjadi gaya hidup ini kemudian merambat
kepada pride dan kemudian membuat orang-orang mulai mengenal apa itu
brewing dan barista. Ketika minum kopi belum menjadi gaya hidup, orang
tidak akan sempat untuk mencari tahu bagaimana proses grinding, brewing
dan flushing sehingga menjadi kopi yang siap diseduh. Ketika minum kopi
belum menjadi gaya hidup, orang tidak akan mau tahu siapa yang membuat
kopi, yang belakangan populer dengan identitas sebagai barista.
Barista di sebuah coffee shop menjadi sebuah variabel konstan yang
tetap dan tidak pernah berubah, meskipun keadaan dan sirkulasi di sebuah

13
Minor, M. & Mowen , J. Perilaku Konsumen. Edisi V Jilid I. 2002. Hlmn.66

11
coffee shop selalu berubah secara dinamis. Pada awalnya, barista hanya
dianggap sebagai seseorang yang membuat kopi saja. Namun seiring
perkembangan jaman, barista kemudian menjadi sebuah identitas dari sebuah
coffee shop yang kemudian mempengaruhi orang untuk berkunjung. Lima
tahun lalu orang mungkin datang ke coffee shop hanya ingin sekedar
menikmati kopi saja. Orang tidak tahu tentang brewing, orang tidak perlu tau
tentang latte art, orang tidak ingin tahu apakah kopi yang diseduhkan berasal
dari Toraja, Mandailing maupun Aceh Gayo. Namun sekarang trend itu
semakin berubah mengalami pergeseran pola perilaku. Orang tidak sedikit
datang ke coffee shop ingin mengetahui lebih banyak tentang kopi yang
diseduhkan dan tidak sedikit pula orang yang berkunjung ke coffee shop untuk
sekedar melakukan interaksi dengan barista dari coffee shop tersebut.
Ada nilai lebih dan kebanggaan tersendiri ketika seorang individu
berprofesi sebagai barista. Kebanggaan atau pride sebagai barista ini tidak
serta merta terjadi dan didapatkan secara instan. Beberapa tahun lalu, disaat
aktivitas minum kopi belum bergeser makna menjadi sebuah gaya hidup,
sedikit sekali orang yang memperhatikan atau menaruh perhatian lebih
terhadap orang dibalik secangkir kopi. Masih sedikit orang yang
memperhatikan apakah orang tersebut membuat menggunakan V60, Aeropress
ataupun French press14. Beberapa tahun yang lalu, masih sedikit orang yang
menganggap penting proses menyeduh kopi. Masih sedikit yang
memperhatikan apakah dengan alat yang berbeda, rasa kopi yang muncul juga
akan berbeda. Cerita rumit dibalik proses membuat secangkir kopi tersebutlah
yang kemudian menjadikan seorang barista menjadi seseorang yang dianggap
lebih tahu dan lebih banyak pengetahuan tentang kopi. Terlebih akhir-akhir ini
sangat banyak kompetisi untuk para barista yang berskala nasional maupun
internasional. Seorang barista dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang
kopi yang lebih banyak. Disini seorang individu memiliki dan berperan
terhadap identitasnya sebagai barista.

14
Teknik membuat kopi dengan masing-masing alat yang berbeda.

12
Menjadi barista bukanlah perkara gampang segampang membalikkan
tangan. Juga bukan pekerjaan mudah meskipun yang mereka kerjakan seolah
terlihat mudah. Di banyak kamus bahasa, pengertian barista adalah seseorang
yang menyiapkan dan menyajikan kopi-kopi berbasis espresso. Meskipun
istilah barista digunakan untuk menyebut orang yang menyiapkan kopi,
namun secara teknis barista adalah seseorang yang sudah terlatih secara
profesional untuk membuat espresso, serta memiliki keahlian tingkat tinggi
untuk meracik kopi-kopi yang melibatkan berbagai campuran dan rasio
semacam latte atau cappuccino. Di sini barista bukan lagi menjadi seorang
pembuat kopi, barista adalah seniman.
Sudah terbentuk anggapan bahwa barista bukan hanya sekedar
pekerjaan atau profesi lagi, namun barista sudah menjadi hal yang melekat
kepada diri seseorang ketika orang tersebut bekerja sebagai penyeduh kopi.
Ada suatu kebanggaan tersendiri ketika seorang individu menjadi seorang
barista. Barista menjadi icon dari coffee shop. Pada dasarnya barista sama saja
dengan profesi seperti dokter, engineer, dll, namun kini profesi menjadi
barista tersebut berubah, tidak lagi sekedar cara untuk mencari nafkah saja tapi
untuk mendefinisikan seseorang lebih dari profesinya, sehingga pada akhirnya
profesi tersebut memiliki status sosial yg lebih tinggi di mata masyarakat.
Barista juga mengalami perkembangan yang sama. Pertama-tama
dijadikan sebuah pekerjaan, lama lama pekerjaan tersebut bergeser menjadi
sesuatu yg bisa di definisikan. Barista menjadi center dari coffee shop. Orang
mengenal coffee shop dari „siapa baristanya‟, bukan karena keberadaan coffee
shop itu sendiri.. Ada award, perlombaan, ada pride ketika orang mengusung
status barista, bukan hanya waitress atau pembuat kopi.
Popularitas kopi yang kian tahun kian meningkat pun ikut menaikkan
gengsi dan popularitas para peracik kopi bernama barista ini juga. Di banyak
negara yang memiliki kultur minum kopi, seorang barista bahkan bisa
memperoleh pendapatan per jam yang luar biasa. Di Australia, pendapatan
rata-rata barista bisa mencapai lebih dari $35 per jam, menyusul di
belakangnya Oslo, Norwegia dengan pendapatan barista per jam $28. Di sisi

13
lain, semakin semaraknya dunia kopi ini akhirnya juga melahirkan kompetisi
barista kelas dunia. Kejuaraan resmi barista awalnya bermula di Norwegia,
namun kejuaraan bergengsi yang sekarang dikenal dengan World Barista
Championship (WBC) rutin digelar setiap tahun di berbagai negara berbeda.
Sebelum berkompetisi di ajang WBC, biasanya masing-masing partisipan
wajib mengikuti dulu kompetisi serupa di negara mereka untuk bisa
diperhitungkan masuk ke WBC15.
Perlombaan atau kompetisi barista tersebut kemudian membuat value
atau nilai seorang individu di mata masyarakat menjadi lebih tinggi. Identitas
seorang individu sebagai barista mendapatkan pengakuan di masyarakat
sehingga seorang individu yang membuat kopi tidak hanya disebut dengan
peracik kopi.
Secara etimologi, kata barista sendiri adalah Bahasa Italia yang
berarti bartender, yang menyajikan segala macam minuman bukan hanya
kopi. Tapi seiring perkembangan jaman dan masuknya tren kopi ke Amerika
dan Eropa, kata ini kemudian diadopsi menjadi yang sekarang kita kenal.
Sementara di Italia sendiri, barista sering disebut baristi (untuk laki-laki) atau
bariste (untuk perempuan)16.
Jika berbicara tentang barista dalam konteks kelompok sosial, mereka
menjadi komponen yang sangat penting. Barista memiliki peran ganda sebagai
pembuat kopi sekaligus menjadi pilar utama dari sebuah coffee shop. Barista
menjadi pilar utama karena barista sudah dimaknai menjadi sebuah identitas
dari coffee shop tersebut. Lingkungan sosial yang berubah tidak akan lantas
ikut mengubah identitas seorang barista.
Ketika kita memahami coffee shop sebagai sebuah ekosistem sosial,
barista adalah sebuah konstanta, yaitu elemen yang tidak pernah berubah.
Barista seperti menjadi pusat dari sebuah ekosistem komunikasi tersebut.

15
Masdakaty, Yulin. 2014. Sekilas tentang Barista. https://majalah.ottencoffee.co.id/sekilas-
tentang-barista/. Diakses 4 Januari 2016.
16
Masdakaty, Yulin. 2014. Sekilas tentang Barista. https://majalah.ottencoffee.co.id/sekilas-
tentang-barista/. Diakses 4 Januari 2016.

14
Semakin banyak tuntutan terhadap sebuah coffee shop, sehingga tidak jarang
banyak coffee shop akhirnya menjadikan barista memiliki fungsi yang lebih
dari sekedar orang yang membuat kopi, namun lebih kepada icon ataupun
daya tarik bagi customer, sekaligus menjadi PR dari coffee shop tersebut.
Maka dari itu, sering dijumpai dimana orang ramai datang ke coffee shop
hanya untuk bertemu atau sekedar menyapa baristanya. Barista menjadi sosok
yang penting di dalam sebuah lingkungan sosial tersebut, terlebih didukung
dari kuatnya pengaruh media sosial, terlebih instagram membuat
perkembangan sebuah coffee shop menjadi sangat pesat.

E. Kerangka Konsep

1. Behaviour dari Individu adalah Simbol dari Identitas tertentu


Penelitian ini ingin mencoba menggali dan mengetahhui bagaimana
seorang barista merepresentasikan identitas profesinya sebagai barista.
Penelitian ini juga ingin melihat barista tidak hanya sebagai sebuah profesi,
namun kepada makna yang lebih jauh yaitu sebagai identitas. Untuk
memahami profesi barista sebagai sebuah identitas ini, peneliti mencoba
melihat berdasarkan teori yang peneliti anggap sesuai dengan menggunakan
teori dari Bourdieu tentang habitus, dimana kebiasaan dibentuk oleh faktor
eksternal. Seperti yang telah ia katakan di dalam kerangka teori di atas bahwa
bagaimana seseorang individu memiliki kedekatan emosional terhadap
kelompok sosialnya membuat kedekatan itu memiliki makna tersendiri dan
kedekatan itu muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu
kelompok tertentu tersebut mulai membentuk identitasnya.
Teori Bourdieu dinilai peneliti sebagai teori yang paling relevan jika
diterapkan di dalam penelitian ini, dimana tujuan penelitian ini adalah
mengetahui bagaimana identitas sebagai barista direpresentasikan oleh
individu, dimana identitas yang diperoleh terbentuk dari lingkungan sosial
yang membuat value dari seorang individu menjadi naik di lingkungan atau
circle mereka. Identitas tentunya tidak terbentuk begitu saja. Teori Bourdieu

15
yang menjelaskan jika habitus terbentuk melalui tindakan yang berulang dan
bersifat tanpa sadar sehingga membentuk sebuah sifat yang relatif menetap
dalam diri individu yang membuatnya bertindak secara spontan tanpa perlu
berpikir terlebih dahulu karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, dinilai
relevan karena representasi identitas barista oleh individu dipengaruhi karena
kebiasaan mereka terhadap profesinya dan apa yang mereka lakukan sehari-
hari.
Penelitian ini nantinya akan mencoba menjelaskan bagaimana identitas
sebagai barista itu sendiri direpresentasikan oleh individu yang telah dilabeli
seorang barista. Peneliti akan memakai konsep teori dari Bourdieu serta
memakai konsep dari Erving Goffman, dimana bahwa setiap org selalu
memiliki bagian yg tidak tampak dan yg tampak yg diperlihatkan sehari-hari.
Pertanyaannya, mengapa lalu sebuah gaya hidup mampu
mempengaruhi identitas seseorang, khususnya dalam hal ini adalah identitas
seorang individu sebagai barista? Di dalam kerangka teori sudah dijelaskan
bagaimana sebuah gaya hidup dari seorang individu memiliki keterikatan yang
kuat terhadap bagaimana lingkungan sosial membentuk pola pikir terhadap
identitas seorang individu, seperti yang dikatakan oleh Mowen jika gaya hidup
merupakan bagaimana seorang individu menghadapi lingkungannya,
bagaimana individu menghabiskan uangnya dan bagaimana individu
menghabiskan waktunya akan berpengaruh terhadap citra dirinya. Di sini,
peneliti akan menjelaskan bagaimana sebuah profesi, identitas dan gaya hidup
saling berkaitan dan saling mempengaruhi.
Setiap individu memiliki latar belakang dan pemaknaan yang berbeda
mengenai identitas dirinya sebagai seorang barista. Perbedaan pemaknaan
pada masing-masing individu inilah yang mempengaruhi representasi masing-
masing orang terhadap identitasnya.

16
F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian
Etnografi merupakan kegiatan riset yang harus dilakukan melalui
pendekatan yang alamiah. Peneliti harus mengadopsi perilaku yang respek
atau menghargai dunia sosial. Studi etnografi melibatkan serangkaian
metodologi dan prosedur interpretasi yang menempatkan peneliti sebagai
instrument dengan observasi parsitipatif, observasi parsitipatif. Jenis studi
ini menuntut komitmen menyeluruh pada kerja-kerja pemahaman. Peneliti
etnografi menjadi bagian dari situasi yang diteliti untuk merasakan
bagaimana perasaan orang-orang dalam situasi tersebut, peneliti etnografi
menyatu pada realitas orang-orang secara sungguh-sungguh17.
Sebagai metode penelitian kualitatif, etnografi dilakukan untuk
tujuan-tujuan tertentu. Spradley mengungkapkan beberapa tujuan
penelitian etnografi, sbb: pertama, untuk memahami rumpun manusia.
Dalam hal ini, etnografi berperan dalam menginformasikan teori-teori
ikatan budaya; menawarkan suatu strategi yang baik sekali untuk
menemukan teori grounded. Etnografi juga berperan untuk membantu
memahami masyarakat yang kompleks. Kedua, etnografi ditujukan guna
melayani manusia. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip meyuguhkan
problem solving bagi permasalahan di masyarakat, bukan hanya sekadar
ilmu untuk ilmu18.
Untuk menjawab rumusan masalah, tentunya penelitian
memerlukan metode yang tepat. Penelitian ini akan berbicara banyak
mengenai pemaknaan identitas di dalam diri seorang individu, maka
peneliti menganggap metode yang paling tepat untuk meneliti adalah
metode Etnografi. Studi Etnografi dianggap tepat karena metode etnografi
dianggap paling sesuai untuk digunakan di dalam penelitian yang
mendiskripsikan bagaimana komunikasi terjadi di dalam suatu konteks.
Penelitian ini juga tidak diperkenankan mengeneralisasi informasi yang
17
Dalam Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Jankowski. 1991. A Handbook of Qualitative
Methodologies for Mass Communication Research. Hlmn 153.
18
Dalam Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Jankowski. 1991. Ibid. 154

17
didapatkan selama proses penelitian, karena pada dasarnya setiap individu
yang diteliti memiliki pemaknaan dan proses komunikasi yang berbeda
dan tidak dapat disamaratakan.
Penelitian ini nantinya juga akan bersifat deskriptif kualitatif,
dimana hasil analisis data penelitian akan dituangkan secara utuh dalam
bentuk penjabaran temuan-temuan peneliti selama penelitian, sehingga
menghasilkan gambaran realitas yang jelas.

2. Informan Penelitian
Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah barista.
Spesifiknya adalah barista dari 3 tipe coffee shop yang berbeda. Barista
pertama adalah barista dari Klinik Kopi. Barista dari Klinik kopi dipilih
karena founder dari Klinik Kopi merupakan seseorang yang sudah
memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang kopi yang sangat
dalam. Beliau juga merupakan barista sekaligus story teller, dimana beliau
menceritakan setiap detail dari kopi yang ia tawarkan mulai dari asal,
bagaimana proses memetik, menjemur, citarasa, proses roasting hingga
menjadi beans sampai akhirnya menjadi secangkir kopi untuk dinikmati.
Founder klinik kopi ini juga merupakan orang yang dinilai peneliti sangat
influential di dunia perkopian di Jogja maupun di Indonesia. Namanya
yang sudah tenar di kalangan pecinta kopi memperkuat alasan peneliti
untuk memilih beliau.
Barista kedua dipilih dari gerai Franchise19 yang terkenal, yaitu
Starbucks. Barista Starbucks dinilai relevan terhadap penelitian ini karena
Starbucks dinilai sangat mewakili gerai coffee shop yang sangat dekat
dengan gaya hidup masyarakat, khususnya kaum muda untuk
menunjukkan aktivitas minum kopi dan pemenuhan eksistensi diri.
Barista ketiga dipilih dari Darat coffee shop, sebuah coffee shop

19
Franchise merupakan bentuk duplikasi bisnis yang telah sukses dan mempunyai brand yang
sudah dikenal. Dengan demikian calon investor yang ingin membeli franchise tidak harus
menajalankan bisnis dari nol. Tidak harus dipusingkan dengan nama produk, jenis produk,
produksi, dan pemasaran. Mereka hanya menjalankan sistem yang telah berjalan dengan baik
dan telah teruji keberhasilannya.

18
yang belum memiliki eksistensi dan sudah memiliki nama besar. Coffee
shop ini dipilih karena dianggap memiliki keunikan tersendiri dengan
barista yang memiliki latar belakang yang cukup menarik untuk dibahas.
Berdasarkan latar belakang coffee shop yang berbeda, lingkungan
sosial dan circle yang membentuk identitas baristanya pun pastinya juga
akan berbeda. Subjek penelitian yang sudah dipilih ini diharapkan bisa
menjawab rumusan masalah mengenai bagaimana representasi identitas
mereka sebagai barista.

3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 sumber,
yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer diperoleh dari
wawancara dan rekaman. Wawancara akan dilakukan secara in depth
interview, yang merupakan wawancara mendalam dengan tujuan untuk
menemukan fakta-fakta dan memperoleh data secara lengkap dari
informan. Wawancara dilakukan secara tatap muka ketika peneliti
mengikuti kegiatan informan di coffee shop.
Untuk bukti penunjang penelitian lainnya dapat berupa foto,
rekaman percakapan, maupun bukti fisik lainnya yang menunjukkan
aktivitas komunikasi interpersonal antar barista maupun kegiatan yang
menunjukkan identitas informan sebagai barista. Sedangkan sumber data
sekunder bersumber dari artikel, publikasi nasional maupun internasional
yang berhubungan dengan kopi dan barista.

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi
Metode observasi dilakukan dengan cara mengamati perilaku,
kejadian atau kegiatan orang atau sekelompok orang yang diteliti,
kemudian mencatat hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi. Dengan pengamatan peneliti dapat melihat

19
kejadian sebagaimana subjek yang diamati mengalaminya,
menangkap, merasakan fenomena sesuai pengertian subjek dan objek
yang diteliti.

2. Wawancara (Interview)

Metode wawancara dilakukan dengan cara melakukan Tanya


jawab terhadap informan untuk menggali informasi yang diperlukan
untuk penelitian. Keberhasilan wawancara sangat tergantung pada
keterampilan yang dimiliki oleh peneliti dalam mendapat kepercayaan
dari orang yang diwawancarai. keterampilan itu antara lain, cara
mengajukan pertanyaan seperti sensitifitas pertanyaan dan urutan
pertanyaan, cara mendengarkan dengan serius, cara berekspresi secara
verbal seperti intonasi dan kecepatan suara, maupun berekpresi secara
nonverbal seperti kontak mata, sabar dan perhatian dalam mengikuti
jawaban serta mengkondisikan situasi yang nyaman.
Wawancara dapat dimulai dengan pertanyaan yang mudah
sebagai pendahuluan atau pemanasan, baru mulai masuk ke pertanyaan
informasi dan fakta, hindari pertanyaan bermakna ganda, hindari
pertanyaan masalah privacy, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi,
berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif, perdalam pertanyaan
ke topik yang lebih spesifik, kemudian diakhiri dengan pertanyaan
penutup. Masalah yang mungkin muncul dalam wawancara; adalah
orang yang diwawancarai tidak konsentrasi, tidak kooperatif, menolak
berbicara atau tidak suka berbicara dan masalah teknis (alat perekam,
catatan)20.

20
Aunu, R, Djaelani. 2013. Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif. Vol : XX, No :
1. Hlmn 76.

20
H. Teknik Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman, terdapat tiga teknik analisisi data kualitatif
yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini
berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum
data benar-benar terkumpul21.

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,


menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun,


sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan.
Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan
lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan


untuk mengambil tindakan. Penelitian etnografi biasanya melakukan
rekaman hasil dari pengumpulan data yang berupa wawancara baik
berbentuk audio, video maupun foto. Hasil wawancara yang berupa
transkrip digunakan untuk menganalisis dan menarik suatu kesimpulan
terhadap proses komunikasi yang sedang diteliti. Menuliskan hasil
wawancara ke dalam bentuk tulisan (transkrip) merupakan salah satu yang
dianggap penting, karena Rawlins (dalam Lawrence 1991) mengatakan

21
Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010. Terampil Mengolah Data Kualitatif dengan
NVIVO.

21
dengan membaca berulang-ulang setiap transkrip yang dihasilkan dalam
wawancara seraya memutar kembali hasil rekaman memiliki beberapa
manfaat, yaitu menjamin keakuratan dari transkrip yang dihasilkan,
mendekatkan peneliti dengan setiap responden sebagai sosok individual,
dan memungkinkan untuk membuat penekanan yang khusus yang dapat
membantu dalam menginterpretasikan transkrip tertulis secara lebih
tepat22.

22
R. Frey, Lawrence, Carl H. Botan, Paul G. Friedman, Gary L. Kreps, Investigating
Communication : An Introduction to research Methods, New Jersey: Prentice Hall, 1991. Hlm.
245

22
BAB II

Identitas dan Etnografi Budaya Minum Kopi dalam Masyarakat Indonesia

A. Habitus bagian dari Identitas

Pada bab I sudah dipaparkan jika identitas dapat dikatakan sebagai suatu
konsep yang sering digunakan oleh banyak orang untuk mengetahui seluk beluk
dari seorang individu. Identitas secara umum memiliki makna sebagai ciri-ciri,
tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
membedakannya dengan orang lain, contohnya bendera dan lagu kebangsaan
setiap negara akan berbeda dengan negara lain. Akan tetapi, terdapat makna yang
lebih dalam terhadap makna identitas itu sendiri. Identitas kerap kali disejajarkan
dengan konsep labeling yang identik dengan pemberian cap pada diri seseorang.

Identitas, berdasarkan kesimpulan dari teori-teori yang sudah dibahas


menekankan kepada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan
struktur kelompok sosial yang lebih besar lagi (masyarakat), sedangkan labeling
merupakan definisi yang diberikan pada seseorang dan menjadi sebuah identitas
dari diri orang tersebut, sehingga menjelaskan bagaimanakah penilaian orang
terhadap individu. Labeling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap.
Memberikan label pada diri seseorang berarti melihat seseorang tersebut secara
keseluruhan dan menilai seseorang secara general23.
Keadaan individu yang sudah mendapatkan label cukup menyulitkan
seseorang untuk menata identitasnya menjadi dirinya sendiri tanpa memandang
label yang telah diberikan kepadanya. Akibatnya seseorang tersebut akan lama
kelamaan menilai dirinya sama seperti label yang diberikan kepadanya, terutama
setelah orang tersebut mengetahui jika orang lain menganggapnya seperti label
yang telah disandangnya. Labeling cenderung menilai seseorang dari atribut yang
mereka kenakan. Hal ini tentu menarik ketika seseorang yang berprofesi sebagai

23
Bruce G & Phelan, Jo C. Conceptualizing Stigma. Annual Reviews, 2001. Hlm.323
(https://id.scribd.com/doc/215112454/Conceptualizing-Stigma-Bruce-Link-and-Jo-Phelan)

23
pembuat kopi, akhirnya mendapatkan label sebagai barista. Akan menimbulkan
sebuah bahasan yang menarik apakah sebutan seorang barista tersebut bisa
dikatakan sebagai labeling ataukah social identity yang dibentuk oleh lingkungan
sosial.

Menurut Tajfel, social identity merupakan keseluruhan dari konsep diri


seseorang yang berasal dari penilaian kelompok sosial mereka dan merupakan
hasil evaluasi terhadap penilaian kelompok sosial tersebut. Artinya, bagaimana
seseorang tersebut memiliki kedekatan emosional terhadap kelompok sosialnya.
Kedekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota
suatu kelompok tertentu yang mulai membentuk identitasnya. Orang memakai
identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin
positif, maka semakin kuat identitasnya di dalam suatu kelompol sosial24.

Kuatnya identitas yang melekat pada diri seseorang membuat definisi


tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker
dinamakan “identitas”. Jika seseorang memiliki banyak peran, maka seseorang
tersebut memiliki banyak identitas. Sama halnya dengan seorang barista. Perannya
sebagai barista diakui orang lain ketika ia berinteraksi dengan pelanggannya.
Interaksi ini bisa berupa kopi yang ia sajikan kepada pelanggan, bagaimana
seorang barista memulai percakapan dengan pelanggan dan sesederhana
bagaimana ia menyapa pelanggan yang datang. Interaksi tersebut yang akhirnya
membentuk labeling terhadap dirinya, barista bukan lagi sebagai profesi saja,
namun juga menjadi sebuah identitas yang melekat pada dirinya.

Identitas ini bisa terbentuk demikian kuat karena pengaruh dari habitus dari
masing-masing individu, disini adalah barista. Bordieu sendiri mengatakan jika
habitus terbentuk melalui tindakan yang berulang dan bersifat tanpa sadar
sehingga membentuk sebuah sifat yang relatif menetap dalam diri individu yang
membuatnya bertindak secara spontan tanpa perlu berpikir terlebih dahulu, namun
tidak mengabaikan latar belakangnya. Habitus juga merupakan produk yang

24
Tajfel, Henry., & Turner, John. C. The Social Identity Theory of Intergroup Behavior.

24
mencerminkan kebudayaan, hasil dari kehidupan kolektif dengan periode waktu
yang relatif panjang sehingga menciptakan tindakan atau tingkah laku individu
yang mencerminkan dirinya.25 Dalam pandangan Bourdieu, habitus juga
mendasari arena (field), dengan kata lain, habitus beroperasi dalam suatu
lingkungan.26 Arena ini tidak dapat dipisahkan dari ruang sosial. Ruang sosial
diperlukan individu yang berperan untuk melakukan aktivitasnya dan di dalam
ruang sosial tersebut individu tersebut bisa mewujudkan habitus yang ia miliki
dalam bentuk praktik tindakan sosial.

Habitus yang dimaksud disini adalah merupakan lingkungan, keadaan sosial,


pelanggan dan coffee shop tempat mereka bekerja, dimana hal-hal tersebut yang
nantinya mempengaruhi pembentukan identitas barista tersebut. Karena identitas
tidak bisa terbentuk begitu saja, namun ada proses tawar menawar antara individu
dengan lingkungan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial.
Di satu pihak, habitus adalah “struktur yang menstruktur” artinya habitus adalah
sebuah struktur yang menstruktur kehidupan social. Di lain pihak, habitus adalah
“struktur yang terstruktur” yakni ia adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia
social. Dengan kata lain Bourdieu melukiskan habitus sebagai “dialektika
internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas.”27

B. Sejarah Kopi di Indonesia

Indonesia termasuk dalam negara produsen kopi terbesar keempat setelah


Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% kopinya
diekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Tingkat konsumsi kopi dalam negeri berdasarkan hasil survei LPEM UI tahun
1989 adalah sebesar 500 gram/kapita/tahun. Dewasa ini kalangan pengusaha
kopi memperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800

25
Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah gerakan untuk Melawan
Dominasi. Bantul: kreasi Wacana. Hlm.62
26
Ibid. Hlm.66
27
Ibid. Hlm.72

25
gram/kapita/tahun. Dengan demikian dalam kurun waktu 20 tahun peningkatan
konsumsi kopi telah mencapai 300 gram/kapita/tahun.
Sebagai negara produsen, Ekspor kopi merupakan sasaran utama dalam
memasarkan produk-produk kopi yang dihasilkan Indonesia. Negara tujuan
ekspor adalah negara-negara konsumer tradisional seperti USA, negara-negara
Eropa dan Jepang. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, telah
terjadi peningkatan kesejahteraan dan perubahan gaya hidup masyarakat
Indonesia yang akhirnya mendorong terhadap peningkatan konsumsi kopi. Hal
ini terlihat dengan adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang
pada awal tahun 90an mencapai 120.000 ton, dewasa ini telah mencapai sekitar
180.000 ton. Oleh karena itu, secara nasional perlu dijaga keseimbangan dalam
pemenuhan kebutuhan kopi terhadap aspek pasar luar negeri (ekspor) dan dalam
negeri (konsumsi kopi) dengan menjaga dan meningkatkan produksi kopi
nasional.28
Di Indonesia industry kopi memiliki beragam tingkatan, mulai dari unit
usaha berskala rumahan (home industry) sampai industry kopi berskala nasional
dan multinasional. Industri-industri tersebut tidak hanya menghasilkan produk
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri saja, namun juga memenuhi
kebutuhan pasar luar negeri. Produksi kopi yang menjanjikan ini menjadikan
sasaran yang cukup menjanjikan bagi pengusaha untuk menginvestasikan
modalnya di bidang industri kopi, karena industry kopi dinilai memiliki kondisi
yang cukup kondusif untuk dijadikan lahan investasi baru.
Dilihat dari sejarah perkembangan kopi di Indonesia, sejak kopi menjadi
salah satu komoditi andalan Pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun
1900an, kopi-kopi yang dihasilkan oleh perkebunan yang dikelola oleh
Pemerintah Hindia Belanda hampir semuanya diekspor. Kopi-kopi yang
berkualitas rendah dan tidak laku dieksporlah yang dijual atau diberikan kepada
rakyat dan buruh kebun untuk dijadikan minuman. Selera minum kopi dari
bahan kopi yang berkualitas rendah ini terbawa secara turun temurun hingga

28
Industri Kopi di Indonesia. http://www.aeki-aice.org/page/industri-kopi/id

26
sekarang dan bahkan dibeberapa daerah khususnya di Jawa, kopinya dicampur
dengan beras atau jagung (dikenal dengan kopi jitu = kopi siji jagung pitu).29

1. Struktur Industri Kopi dalam Negeri

a. Industri kopi olahan kelas kecil (home industry)

Industri yang tergolong dalam kelompok ini adalah industri yang


bersifat rumah tangga (home industri) dimana tenaga kerjanya adalah
anggota keluarga dengan melibatkan satu atau beberapa karyawan.
Produknya dipasarkan di warung atau pasar yang ada disekitarnya
dengan brand name atau tanpa brand name. Industri yang tergolong pada
kelompok ini pada umumnya tidak terdaftar di Dinas Perindustrian
maupun di Dinas POM. Industri pada kelompok ini tersebar di seluruh
daerah penghasil kopi.

b. Industri kopi olahan kelas menengah


Industri kopi yang tergolong pada kelompok ini merupakan industri
pengolahan kopi yang menghasilkan kopi bubuk atau produk kopi olahan
lainnya seperti minuman kopi yang produknya dipasarkan di wilayah
Kecamatan atau Kabupaten tempat produk tersebut dihasilkan.
Produknya dalam bentuk kemasan sederhana yang pada umumnya telah
memperoleh Izin dari Dinas Perindustrian sebagai produk Rumah tangga.
Industri kopi olahan kelas menengah banyak dijumpai di sentra produksi
kopi seperti di Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara
dan Jawa Timur.

c. Industri kopi olahan kelas Besar


Industri kopi kelompok ini merupakan industri pengolahan kopi yang
menghasilkan kopi bubuk, kopi instant atau kopi mix dan kopi olahan
lainnya yang produknya dipasarkan di berbagai daerah di dalam negeri
atau diekspor. Produknya dalam bentuk kemasan yang pada umumnya

29
Industri Kopi di Indonesia. http://www.aeki-aice.org/page/industri-kopi/id

27
telah memperoleh nomor Merek Dagang dan atau label lainnya.
Beberapa nama industri kopi yang tergolong sebagai industri kopi ini
adalah PT Sari Incofood Corp, PT. Nestle Indonesia, PT Santos Jaya
Abadi, PT Aneka Coffee Industri, PT Torabika Semesta dll.

2. Klasifikasi Kopi
Dari sekian banyak jenis biji kopi yang dijual di pasaran, hanya
terdapat 2 jenis spesies utama dari tumbuhan biji kopi itu sendiri, yaitu kopi
Arabica (Coffea Arabica) dan Robusta (Coffea Robusta). Masing-masing
jenis kopi ini memiliki keunikannya masing-masing dan pasarnya sendiri.

a. Biji kopi arabika


Kopi arabika merupakan tipe kopi tradisional dengan cita rasa
terbaik. Sebagian besar kopi yang ada dibuat dengan menggunakan biji
kopi jenis ini. Kopi ini berasal dari Etiopia dan sekarang telah
dibudidayakan di berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Latin,
Afrika Tengah, Afrika Timur, India dan Indonesia. Secara umum, kopi
ini tumbuh di negara-negara beriklim tropis atau subtropis. Kopi Arabika
tumbuh pada ketinggian 600-2000 m di atas permukaan laut. Tanaman
ini dapat tumbuh hingga 3 meter bila kondisi lingkungannya baik. Suhu
tumbuh optimalnya adalah 18-26 oC. Biji kopi yang dihasilkan
berukuran cukup kecil dan berwarna hijau hingga merah gelap.

b. Biji kopi Robusta


Kopi robusta pertama kali ditemukan di Kongo pada tahun 1898.
Kopi robusta dapat dikatakan sebagai kopi kelas 2, karena rasanya yang
lebih pahit, sedikit asam, dan mengandung kafein dalam kadar yang jauh
lebih banyak. Selain itu, cakupan daerah tumbuh kopi robusta lebih luas
daripada kopi arabika yang harus ditumbuhkan pada ketinggian tertentu.
Kopi robusta dapat ditumbuhkan dengan ketinggian 800 m di atas
permuakaan laut. Selain itu, kopi jenis ini lebih resisten terhadap
serangan hama dan penyakit. Hal ini menjadikan kopi robusta lebih

28
murah. Kopi robusta banyak ditumbuhkan di Afrika Barat, Afrika
Tengah, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan. 30

3. Perkembangan Budaya Coffee Shop


Kopi telah menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia. Kopi memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat
kelas bawah hingga masyarakat kelas atas sekalipun. Bahkan seperti yang
dimuat di banyak artikel dan tayangan televisi, di setiap daerah memiliki cara
yang berbeda-beda untuk menikmati kopi. Di Indonesia hampir di setiap
daerah memiliki perkebunan kopi, tentunya yang memiliki dataran tinggi.
Masing-masing kopi dari Aceh hingga Papuan juga memiliki karakter rasa
kopi yang berbeda-beda.
Minum kopi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia sejak
jaman dahulu. Bedanya adalah, dahulu fungsi kopi adalah sebagai sajian untuk
diberikan kepada tamu, sebagai teman untuk ronda, sebagai teman membaca
koran ataupun sekedar teman untuk duduk di angkringan selama berjam-jam.
Sekarang fungsi itu sudah bergeser sejalan dengan perubahan dinamika gaya
hidup masyarakat. Minum kopi menjadi representasi seseorang dan memiliki
prestige di lingkungan sosial. Dahulu budaya minum kopi identik dengan
orang-orang tua, namun pada saat ini minum kopi tidak mengenal usia. Dari
remaja hingga orang tua, semua minum kopi dengan berbagai selera. Bagi
sebagian orang, minum kopi sudah menjadi rutinitas yang akan terasa kurang
jika tidak dilakukan. Pergeseran makna minum kopi akhirnya membawa tren
baru, yaitu tren coffee shop.
Kini kopi tidak hanya memiliki fungsi fisiologis sebagai penghilang
rasa kantuk seperti anggapan 10 tahun lalu, namun sekarang juga memiliki
fungsi sosial. Contoh fungsi sosial yang dimiliki kopi antara lain berupa
“perantara” untuk teman mengobrol, entah berupa obrolan sesame kopi
ataupun terkait dengan kehidupan pribadi maupun bisnis. Kopi juga menjadi
media untuk menunjukkan status sosial, seperti orang yang meminum kopi

30
Najiyati, S. & Danarti. Budidaya Kopi dan Pengolahan Pasca Panen. Hlmn 96.

29
luwak dipersepsikan sebagai orang kaya dan dinilai mmapu. Begitulah
bagaimana kopi di masyarakat Indonesia dimaknai saat ini dari sekedar
minuman untuk diseduh, menjadi bagian dari hidup masyarakat atau gaya
hidup.
Perubahan fungsi kopi di atas tentu mempengaruhi cara pandang
masyarakat terhadap kopi. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perubahan
budaya yang ada didalam masyarakat itu sendiri. Akibatnya kopi tidak lagi
menjadi komoditas bernilai rendah, namun kopi menjadi komoditas bernilai
tambah tinggi. Perubahan nilai atau value dari kopi ini kemudian membuka
peluang bisnis dimana nilai lebih yang sekarang dimiliki kopi dapat
meningkatkan konsumsi kopi.
Kata café berasal dari bahasa Perancis yang maknanya adalah kopi.
Café atau kedai kopi atau yang sekarang lebih dikenal dengan coffee shop
dulunya hanyalah warung-warung pinggiran berbentuk kedai kedil maupun
angkringa. Kopi yang dijual pun masih kopi-kopi tubruk biasa yang cukup
dibuat dengan bubuk kopi dan air panas tanpa harus melewati berbagai
macam proses dan alat seperti sekarang. Namun sekarang coffee shop sudah
mengalami pergeseran nilai juga, sama seperti budaya minum kopi.
Pergeseran gaya hidup di masyarakat telah mendorong terjadinya pergeseran
pola konsumsi minum kopi, khususnya pada remaja atau anak muda. Banyak
sekali coffee shop sekarang berada di tempat-tempat elit, di mall maupun
bangunan dengan gaya yang moderen, tentu diikuti dengan harga secangkir
kopi yang bisa lima kali lipat dari harga kedai kopi pinggiran. Kopi yang
disajikan oleh coffee shop juga berbeda dengan kedai kopi pinggiran. Kopi di
coffee shop mulai menggunakan alat-alat moderen berharga jutaan hingga
ratusan juta rupiah serta biji kopi yang digunakan adalah biji kopi dari
berbagai macam daerah. Beberapa coffee shop juga rela mengambil biji kopi
dari luar negeri untuk mendapatkan rasa kopi yang unik dan siap bersaing
dengan banyaknya coffee shop yang makin menjamur.
Menyadari penikmat kopi sekarang kebanyakan adalah anak-anak
muda dan menyadari bahwa sekarang aktivitas minum kopi menjadi sebuah

30
gaya hidup, tidak heran jika coffee shop sekarang menggunakan desain yang
moderen dan menarik. Hal ini dilakukan karena menyadari bahwa banyak
anak-anak muda datang ke coffee shop untuk mengunggahnya ke dalam media
sosial mereka sebagai eksistensi diri. Berangkat dari fenomena ini, para
pengusaha coffee shop menemukan bahwa peran dari media sosial sangatlah
kuat terhadap munculnya suatu tren di dalam masyarakat.
Sedikit kembali ke belakang, seperti pada tahun 90an, profesi yang
sedang marak adalah pragawati dan pragawan. Semua orang seolah ingin
menjadi pragawati dan pragawan. Pada saat itu orang yang mmeiliki profesi
sebagai pragawati dan pragawan memiliki nilai lebih di mata masyarakat
karena profesi tersebut memiliki tingkat popularitas yang sedang hangat-
hangatnya dibicarakan. Lalu masuk di tahun 2000an, tahun dimana Indonesia
memasuki budaya moderen, dimana profesi DJ (disc jockey) adalah profesi
yang dianggap keren. Pada tahun 2000an banyak sekali orang berlomba-
lomba menjadi DJ. Profesi DJ pada saat itu juga memiliki nilai dan prestige di
kalangan masyarakat yang sedang dalam peralihan menjadi masyarakat
moderen.
Hingga akhirnya memasuki tahun 2010 budaya minum kopi mulai
kembali populer diikuti dengan profesi barista. Semua orang seolah ingin
mengklaim dirinya sebagai seorang barista, hanya karena seseorang mmapu
membuat dan meracik secangkir kopi. Padahal, jika ditelaah lebih jauh lagi
barista bukan hanya semata orang yang mmapu mmebuat dan meracik kopi
saja. Orang dapat dikatakan seorang barista ketika ia memiliki pengetahuan
mendalam mengenai biji kopi yang digunakan, bagaimana mengolahnya, rasa
apa yang akan keluar dari macam-macam biji kopi, dan bagaimana mengatur
suhu dan intensitas air agar tidak merusak cita rasa dari kopi tersebut. Tidak
hanya aspek yang sudah disebutkan tadi, masih banyak hal yang harus
dimiliki oleh seseorang untuk menjadi seorang barista. Maka dari itu barista
termasuk menjadi profesi yang mmebutuhkan skill dan pengetahuan yang
mendalam. Tren minum kopi dan tren barista tersebut akhirnya memicu
timbulnya tren coffee shop tujuh tahun terakhir.

31
C. Lifestyle dan Habitus sebagai Kajian Etnografi

Dalam konteks gaya hidup dan habitus sebagai bentuk komunikasi


memiliki beberapa kekuatan yang dapat dipahami secara langsung dan secara
intuitif hal tersebut dapat menunjukkan bahwa seseorang individu mengirim pesan
tentang dirinya sendiri melalui bagaimana ia merepresentasikan identitas dirinya,
dalam hal ini adalah identitasnya sebagai seorang barista. Anggapan umum
mungkin akan menggambarkan maksud pemakainya sebagai co-sender untuk
menunjukan identitasnya, namun hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah
memahami tentang bagaimana seseorang merepresentasikan identintasnya, di
mana merepresentasikan sebuah identitas yang melekat pada diri bukanlah hal
yang sederhana, karena identitas, gaya hidup dan habitus tidak pernah bergerak
sendiri, namun dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dari luar dan ketiga hal di
atas memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi. Pada titik inilah mungkin
teori dari Ervin Goffman dapat dikaitkan dan dinilai relevan. Goffman
mengatakan jika lingkungan seseorang akan mempengaruhi habitus dari seseorang
tersebut, bahwa seseorang pasti memiliki bagian wajah yang ia tunjukkan ketika
ia sedang berada di di lingkungan sosialnya dan wajah yang lain ketika ia sedang
sendiri.
Barista mungkin bisa dipahami sebagai satu fenomena yang terlihat secara
eksplisit. Jika dilihat dari atribut yang biasanya ada pada seorang barista seperti
apron, baju yang rapi, rambut klimis yang tertata rapi, hal ini tidak akan
membedakan seseorang itu barista atau seorang waiter di coffee shop. Namun
ketika masuk di kesehariannya, seseorang tentu dapat menyimpulkan bahwa
individu tersebut adalah seorang barista atau bukan. Dari kegiatannya sehari-hari
mulai dari aktifitasnya di coffee shop membuat kopi, meracik campuran kopi,
membuat latte art, dan bagaimana cara mereka berinteraksi dengan pelanggan
akan merepresentasikan identitas dirinya sebagai seorang barista.
Hal yang kemudian menarik adalah ketika masuknya media pada saat
kemunculan tren minum kopi dan bagaimana media sangat mempengaruhi
masuknya tren kopi ini di berbagai daerah hingga tren minum kopi menjadi viral
dan menjadikan nilai dari kopi menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Media yang

32
sangat membantu dalam hal ini adalah media sosial dan internet, karena media
sosial dan internet dianggap sebagai media yang paling banyak diakses oleh
masyarakat. Munculnya akun-akun kopi juga membawa cara yang berbeda
terhadap munculnya tren kopi. Beberapa akun yang aktif bercerita tentang kopi
seperti @klinikkopi membawa dampak yang luar biasa ke beragai daerah,
khusunya Jogja. Hal ini bisa terbukti dengan banyaknya acara-acara bincang kopi
yang digelar dengan mengusung ahli kopi seperti Pepeng (pemilik akun klinik
kopi dan pendiri klinik kopi) sebagai pembicara.
Tren kopi dan coffee shop yang muncul dan berkembang dengan pesat ini
tidak lepas dari peran sosial media. Kecenderungan masyarakat moderen dengan
mengunggah kegiatan mereka di sosial media dan mengunggah segala hobi dan
aktivitas mereka di sosial medialah yang akhirnya ikum membawa tren minum
kopi yang dulunya merupakan budaya barat dan hanya aktivitas minum kopi yang
biasa-biasa saja menjadi memiliki nilai dan prestige untuk dilakukan. Banyaknya
akun-akun penggiat kopi yang belakangn muncul di media sosial memperkuat dan
mempercepat persebaran tren minum kopi dan tren membuat kopi di Indonesia.
Diawali dengan maraknya coffee shop yang bermunculan di Jakarta yang sering
mengunggah aktifitas-aktifitas baristanya, akhirnya membawa dampak yang
cukup kuat ke Yogyakarta. Lima tahun belakangan di Yogyakarta mulai banyak
bermunculan coffee shop yang menawarkan keunggulannya masing-masing. Ada
yang menjual tempat, ada yang menjual rasa kopi dan ada juga yang menjual
pupolaritas baristanya. Ramainya akun-akun coffee shop dibantu dengan akun-
akun penggiat kopi yang aktif mengunggah segala sesuatu tentang kopi, akhirnya
membuat aktifitas minum kopi menjadi sebuah tren. Ditambah dengan munculnya
film Filosofi Kopi yang setelah kemunculan film itu membawa dampak luar biasa
terhadap makna dari secangkir kopi.
Mari lupakan sejenak tentang tren coffee shop dan tren minum kopi yang
selalu penulis tekankan pada setiap tulisan. Berbicara tentang minum kopi, penulis
mencoba menceritakan bagaimana peran dari a cup of coffee. Segelas kopi yang
tidak hanya dimaknai sebagai minuman untuk diminum, namun lebih jauh lagi, a
cup of coffee memiliki ikatan emosional yang dapat membangun banyak relasi dan

33
menjadi saksi terjadinya banyak interaksi antar individu.
Bagi sebagian orang, segelas kopi adalah penyemangat untuk memulai
hari. Segelas kopi bukan hanya menjadi minuman biasa, namun segelas kopi
adalah minuman yang akan membentuk suasana hati seseorang tersebut untuk satu
hari kedepan. Bagi sebagian orang lainnya, kopi sudah menjadi bagian dari
hidupnya. Tiada hari tanpa aroma kopi, tiada hari tanpa minum kopi, tiada hari
tanpa membaca artikel tentang kopi ataupun tiada hari tanpa memgang alat-alat
untuk mmebuat segelas kopi.
Bagi sebagian orang, segelas kopi menjadi saksi pertemuannya dengan
orang-orang yang sekarang menjadi sahabat, kolega, mungkin bahkan orang yang
berarti bagi hidupnya. Bagi seorang lainnya segelas kopi mungkin telah menjadi
saksi interaksi yang terbentuk dengan orang-orang baru, media untuk
mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan baru. Segelas kopi yang
mungkin bagi beberapa orang adalah segelas kopi biasa, namun bagi sebagian
lainnya menjadi segelas kopi yang membentuk dirinya yang sekarang. Bukan hal
yang berlebihan jika mengetahui banyak orang yang tidak saling kenal, lalu
mereka berkumpul di sebuah coffee shop lalu dengan basa-basi ringan akhirnya
mereka saling mengenal dan bertuka cerita, informasi bahkan pengetahuan-
pengetahuan baru.
Bagi sebagian orang, datang ke coffee shop merupakan cara untuk
mendapatkan privasinya. Menjadikan coffee shop sebagai pelarian atas masalah-
masalah yang sedang dihadapinya. Segelas kopi dan obrolan ringan dengan barista
dari coffee shop seakan menjadi obat yang sedikit membantu meringankan
bebannya. Namun bagi sebagian orang lainnya, bahkan orang kebanyakan
sekarang, secangkir kopi yang mereka minum menjadi ajang untuk menunjukkan
eksistensi dan identitas dirinya sebagai peminum kopi.

34
BAB III

BARISTA dan KOPI

A. Barista dan Brewer

Barista bukan hanya sekedar orang yang bertugas untuk membuat kopi.
Lebih dari sekedar penyeduh kopi, menjadi barista adalah seni, idealisme dan
taste. Secara umum barista merupakan sebutan bagi orang yang bekerja di kedai-
kedai kopi yang biasanya mengoperasikan mesin-mesin berbasis espresso yang
cukup rumit untuk dioperasikan. Di dalam dunia perkopian sendiri ada beberapa
pandangan yang membedakan antara barista dan brewer. Jika barista identik
dengan meracik kopi dengan mesin-mesin berbasis espresso, brewer merupakan
penyeduh kopi dengan menggunakan alat-alat yang manual seperti V60, French
Press, Syphon Coffee, Vietnam Drip, dll. Dimana banyak pula yang menganggap
kopi yang diracik dengan alat-alat manual akan menciptakan cita rasa yang otentik
dan murni, sehingga rasa asli dari kopi bisa muncul dan dinikmati.31
Di luar dari apakah barista ataupun brewer adalah hal yang sama atau
tidak, seorang barista dan brewer akan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang
baik tentang seluruh proses kopi sampai menjadi secangkir kopi yang siap untuk
disajikan kepada pelanggan32. Karena untuk menjadi seorang barista tidaklah
mudah, perlu latihan demi latihan yang harus sabar dan cermat, bahkan tidak
jarang bagi mereka untuk mengikuti kelas-kelas serta pelatihan barista selama
bertahun-tahun sebelum akhirnya mereka mendapat predikat expert dalam dunia
meracik dan menyeduh kopi, yang dikenal dengan sebutan barista.
Usaha yang gigih dan ketekunan yang dilakukan seseorang untuk belajar
meracik kopi adalah salah satu alasan mengapa barista perlu dihargai dan

31
Craft Beverage Job. How to make a good coffee. 22 Maret 2015.
http://www.craftbeveragejobs.com/how-to-make-a-good-coffee-22315/ diakses pada 26 Maret
2016
32
Yulin Masdakanty. Sekilas Tentang Barista. 2015. https://majalah.ottencoffee.co.id/sekilas-
tentang-barista/ diakses pada 26 Maret 2016

35
mendapatkan perhatian lebih. Karena profesi barista bukan hanya sekedar orang
ataupun tukang bikin kopi semata, tapi mereka adalah seniman yang sangat paham
tentang seberapa banyak takaran dan campuran ideal yang diperlukan untuk
menyajikan kopi yang nikmat.

B. Proses Pemilihan Informan

Fenomena tren budaya minum kopi yang diikuti dengan tren coffee shop
serta barista cukup menarik perhatian bagi masyarakat Indonesia, khusunya
Yogyakarta, terutama bagi para pecinta dan penikmat kopi. Oleh karena itu
penelitian tentang kopi akan menjadi daya tarik dan menjadi kepuasan tersendiri
bagi penulis karena penulis belum banyak menemukan penelitian atau jurnal
tentang kopi, yang khusus membahas mengenai tren minum kopi menjadi gaya
hidup yang diikuti dengan tren menjadi barista atau brewer. Tren barista
menjadikan budaya minum kopi menjadi lebih menarik dan menimbulkan banyak
pandangan baru di dunia perkopian Yogyakarta. Untuk menjaga fokus penelitian,
dimana jika ditarik dari judul penelitian ini akan berfokus pada representasi
profesi barista sebagai identitas. Peneliti memfokuskan bagaimana seorang barista
merepresentasikan identitas mereka sebagai seorang barista kepada lingkungan
mereka.
Adapun penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret 2016 hingga Juni 2016.
Sebelumnya peneliti sudah melakukan pre-research yang merupakan beberapa
langkah sebelum masuk ke tahap penelitian (pengambilan dan pengolahan data).
Dalam tahap pre-research peneliti sudah melakukan pengamatan terhadap tingkah
laku dan berinteraksi langsung dengan berbagai macam barista dengan kriteria
dan klasifikasi yang beraneka ragam. Selama pre-reseacrh, peneliti menemukan
beberapa informan yang sesuai dengan kriteria penelitian ini. Peneliti melakukan
interaksi secara langsung dengan 12 barista dan brewer yang ada di Yogyakarta,
namun akhirnya peneliti memilih 3 orang barista sebagai informan. Semua
informan diperoleh peneliti melalui kenalan berkenalan secara langsung ketika
peneliti berada di coffee shop. Peneliti juga tidak masuk ke komunitas barista atau

36
komunitas kopi, karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data secara
individual atau personal, bukan data dalam jumlah besar atau data berdasarkan
perspektif kolektif.
Pada tahap pre-research peneliti menemukan banyak pola perilaku dan
dinamika yang beragam, baik secara personal, hubungan mereka dengan costumer
maupun hubungan mereka dengan sesama barista. Secara personal, ada beberapa
informan yang dengan mudah dan sangat terbuka untuk menceritakan seluk beluk
kehidupan mereka dengan dunia kopi. Ada beberapa barista yang enggan menjadi
informan dengan alasan mereka tidak cukup berkompeten di dunia kopi.
Pemilihan keempat informan penelitian ini berdasarkan kriteria dan
kualifikasi yang telah ditentukan sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan data
penelitian. Selain memenuhi kriteria dan kualifikasi, hal terpenting yang peneliti
perhatikan adalah ketersediaan mereka untuk menjadi informan yang akan peneliti
ikuti kegiatannya hampir setiap hari dan dalam waktu yang lama. Sejauh ini, tidak
ada barista yang meminta untuk disamarkan namanya atau merahasiakan
informasi pribadi, selain beberapa percakapan yang diminta untuk off the record
ketika sedang wawancara. Dalam penelitian etnografi, peneliti perlu
memerhatikan beberapa etika, salah satunya ketiadaan unsur pemaksaan ketika
peneliti meminta untuk menjadi informan, serta ketika peneliti meminta beberapa
informasi. Peneliti juga harus menghormati privasi dan kerahasiaan informasi
yang diberikan oleh informan, yang dianggap bukan untuk konsumsi publik.
Dari sejumlah calon informan sampai kepada informan yang terpilih,
hampir seluruhnya saling kenal dan memiliki circle yang sama dengan
representasi yang berbeda-beda dan memiliki pandangan yang berbeda terhadap
kopi. Informan yang terpilih juga merupakan pemilik sekaligus penyeduh di coffee
shop mereka. Dari berbagai karakteristik informan yang sudah dipertimbangkan,
akhirnya terpilihlah informan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Informan Barista 1: Avicena Haris (23 tahun, mahasiswa, pemilik


Darat Coffee Shop)
Avis, begitulah dia biasa disapa. Lahir di Pematang Siantar, 4
November 1993, kini usianya 23 tahun. Avis merupakan mahasiswa Teknik

37
Arsitektur tingkat akhir di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Saat ini
ia sedang sibuk dengan kegiatannya di coffee shop miliknya yang baru seumur
jagung. Selain kesibukannya di coffee shop miliknya, Avis juga memiliki
kesibukan lainnya di bidang kesenian.
Perkenalan dengan Avis terbilang cukup singkat, yakni lewat
pertemuan langsung di Darat Coffee Shop, setelah itu bercerita dan berbicara
banyak mengenai kopi. Saat itu merupakan pertemuan pertama dengan Avis
dan Avis dengan sangat antusias menceritakan kisah hidupnya pertama
mengenal kopi hingga saat ini ia mendeklarasi dirinya sebagai seorang
pendekar kopi. Sebelumnya, peneliti hanya mendengar cerita tentang Avis dari
rekan-rekan barista lain, hingga akhirnya peneliti memutuskan untuk
menjadikan Avis sebagai informan dan ia bersedia ketika dihubungi.
Avis sudah sejak kecil mengenal kopi, karena bapaknya merupakan
seorang petani kopi. Avis awalnya hanya mengenal kopi tubruk hingga ia
SMA. Rutinitasnya berkumpul di sebuah tempat yang sama, setiap hari dan
selalu minum kopi bersama teman-temannya mmebuat ia ingin membawa
budaya ngumpul dan minum kopi itu ke Jogja ketika ia berkuliah. Dengan visi
sederhana itu, akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan Darat Coffee Shop
bersama kakaknya yang merupakan lulusan dari perguruan tinggi yang sama
dengan Avis.
Awal dia membuka coffee shop niatnya adalah ingin melestarikan
berkumpul bersama sambil minum kopi, namun ternyata lama-kelamaan dia
dihina karena pada saat itu kopi tubruk buatannya sering dihina dan mendapat
masukan dari pendekar-pendekar33 kopi. Mulai saat itu Avis bertekad untuk
mempelajari seluk beluk tentang kopi hingga partikel yang paling kecil seperti
tumbuhan apa yang tumbuh di sekitar kebun tanam kopi. Avis mempelajari
seluk beluk kopi kurang dari satu tahun hingga menjadi seperti sekarang.
Hingga pada akhirnya ia menjadi sangat paham seluk beluk tentang kopi dan
dia dengan tegas mendeklarasikan dirinya sebagai pendekar, dan dia

33
Pendekar adalah sebutan Avis kepada orang-orang yang merasa ahli di dalam dunia perkopian.

38
mengatakan akan membalas orang-orang yang dulu pernah menghinanya
karena dia tidak paham dan tidak bisa membuat kopi yang enak.

2. Informan Barista 2 : Firmansyah (34 tahun, Barista dan Storyteller


@klinikkopi)
Menyebut nama Firmansyah mungkin tidak ada yang tahu siapa dia
atau darimana asalnya, namun jika menyebut nama Pepeng, mungkin nama itu
tidak asing lagi untuk didengar. Firmansyah atau yang dikenal dengan nama
Pepeng ini adalah founder, storyteller dan barista dari klinik kopi. Namanya
dikenal karena idealisme yang dibawanya sejak mendirikan klinik kopi.
Pepeng menciptakan gerakan kopi tanpa gula dan tanpa susu, dimana biasanya
coffeeshop mengikuti selera pasar, Pepeng bertekad untuk membentuk
pasarnya sendiri. Idealismenya untuk gerakan kopi tanpa gula awalnya banyak
yang tidak suka, hingga akhirnya Pepeng bersama klinik kopi mampu
membuktikan jika ia mampu membuat pasar dan mengajak masyarakat untuk
menikmati kemurnian dari kopi serta mengerti cerita dibalik biji kopi yang
diseduhkan menjadi secangkir kopi.
Pepeng baru belajar tentang kopi dan mendalaminya sejak 2012, dan
pada tahun 2013 ia mendirikan klinik kopi. Awalnya ia adalah barista
panggilan dalam berbagai acara, hingga sampai saat ini. Selain menjadi barista
di klinik kopi, Pepeng juga menjadi pendampingan petai kopi di berbagai
daerah jika dibutuhkan. Ia juga kerap kali menjadi pembicara di berbagai
acara seminar tentang dunia kopi ataupun di acara-acara kompetisi kopi. Ia
juga tidak lupa untuk merambah dunia roasting. Dalam sehari ia mampu
meroasting 10-14 kg, tergantung pesanan yang masuk.
Pepeng dan Klinik kopi sudah memiliki kredibilitas yang cukup diakui
oleh orang-orang di dunia perkopian. Tidak dipungkiri idealisme yang diusung
Pepeng yang jarang ditemui di coffee shop lain dan kegemarannya untuk
menceritakan sejarah dari biji kopi miliknya membuat klinik kopi dan Pepeng
cepat dikenal di kalangan penikmat kopi. Keunikan dan perbedaannya dengan
barista-barista lain inilah yang membuat peneliti akhirnya memilih Pepeng

39
sebagai informan, untuk melihat bagaimana ia sebagai barista dan storyteller
merepresentasikan dirinya.

3. Informan Barista 3 : Evana Andriani (22 tahun, Mahasiswa dan


Barista di Starbucks)

Barista bernama lengkap Evana Andriani yang akrab dipanggil Evana


ini merupakan mahasiswi jurusan manajemen di Universitas Gadjah Mada.
Sekarang Evana sedang menjalani hari-harinya sebagai barista di kedai kopi
yang sudah memiliki nama besar, yaitu Starbucks. Selain sibuk menjalani
kegiatan sebagai seorang barista, Evana kini tengah sibuk mengerjakan tugas
akhirnya untuk memenuhi persyaratan lulus dari Universitas. Evana sudah
hampir satu tahun menjadi bagian dari kedai kopi yang memiliki nama besar
tersebut.
Perkenalan dengan Evana bisa dibilang cukup singkat, yaitu dari
perkenalan yang dilakukan oleh kawan kami ketika sama-sama sedang
menikmati kopi di Starbucks. Saat itu adalah awal perkenalan kami dan karena
rasa keingintahuan, peneliti banyak bertanya mengenai hal-hal yang selama ini
menciptakan rasa penasaran.
Evana bukanlah pecinta kopi seperti kedua informan lainnya. Bahkan,
bisa dibilang Evana hanya merupakan social drinker dalam dunia kopi. Jadi,
Evana minum kopi bukan karena dia suka kopi, namun karena tren minum
kopi sedang naik daun. Terlebih, kegemarannya berkumpul bersama teman-
temannya di Starbucks membuat Evana lama kelamaan penasaran bagaimana
cara membuat dan sistem kerja di dalam bar. Akhirnya berangkat dari rasa
penasaran itu Evana melamar sebagai barista di Starbucks. Tanpa
bermodalkan keahlian meracik kopi, Evana dipanggil interview dan akhirnya
dia diterima sebagai bagian dari barista Starbucks. Karena Evana belum bisa
mengoperasikan alat-alat dan belum menguasi metode-metode meracik
minuman, ia mendapatkan pelatihan barista, dan dari sinilah Evana mulai
mengenali dunia kopi.

40
Evana adalah salah satu contoh nyata barista yang lahir atas dasar
pengaruh gaya hidup, tren dan eksistensi dimana profesi barista saat ini
menjadi salah satu profesi yang cukup dipandang di kalangan masyarakat.

41
BAB IV

REPRESENTASI BARISTA SEBAGAI SEBUAH IDENTITAS

A. Temuan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan


etnografi, dimana kedudukan informan berperan sangat penting terhadap hasil dan
temuan penelitian. Penelitian ini ingin melihat bagiamana representasi profesi
individu sebagai seorang barista, dimana masing-masing individu memiliki
kecenderungan dan aktualisasi diri yang berbeda satu sama lainnya. Dinamika
yang akan ditemukan dalam penelitian ini adalah bagaimana satu orang dengan
profesi yang sama memiliki habitus dan kecenderungan yang berbeda dengan
yang lainnya. Pada bab ini peneliti akan menjabarkan hasil dari temuan-temuan
peneliti yang didapatkan dari hasil wawancara dan observasi langsung terhadap
kehidupan informan.
Fenomena maraknya lifestyle yang mempengaruhi perkembangan kopi
akhir-akhir ini di Yogyakarta, memicu berkembangnya pula orang-orang dibalik
segelas kopi, yang biasanya akrab diketahui dengan sebutan barista.Banyaknya
barista yang lahir karena munculnya tren minum kopi, membentuk karakter dan
habitus yang berbeda-beda. Seperti yang telah dibahas di bab sebelumnya, barista
bukan perihal membuat secangkir kopi dan menyajikannya kepada pelanggan.
Lebih dari itu, barista merupakan orang yang memiliki feel, taste dan chemistry
terhadap kopi yang akan mereka seduh.Sebagai seorang barista, peneliti
menemukan banyak hal mengenai aktualisasi diri masing-masing informan dalam
kegiatan sehari-hari mereka. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan
kedua informan, peneliti akan memaparkan apa saja kegiatan masing-masing
informan sehari-hari, bagiamana intensitas komunikasi mereka terhadap orang-
orang di dunia perkopian, bagaimana mereka berkomunikasi dengan sesama
barista, berkomunikasi dengan pelanggan, dan bagaimana mereka berkomunikasi
dengan orang awam, bagimana penilaian informan terhadap profesi mereka

42
sebagai barista/brewer, serta apakah motif mereka terjun ke dalam profesi mereka
sekarang.
Seperti yang dikatakan oleh Bordieu, bahwa habitus terbentuk melalui
tindakan yang berulang dan bersifat tanpa sadar sehingga membentuk sebuah sifat
yang relatif menetap dalam diri individu yang membuatnya bertindak secara
spontan tanpa perlu berpikir terlebih dahulu, masing-masing informan memiliki
kesibukan, kegiatan, hobi dan kebiasaan yang sangat berbeda meskipun di dalam
beberapa hal ada kesamaan kegiatan yang mereka lakukan, yang disebut dengan
habitus. Informan sebagai seorang barista memiliki cara masing-masing untuk
mengekspresikan profesi mereka di luar bar, sehingga profesi barista tidak hanya
berlaku ketika mereka berada di bar saja, namun juga ketika mereka melakukan
berbagai aktifitas di luar dari profesi mereka.

Pemikiran Bourdieu juga menjelaskan jika kehidupan manusia tidak


bisa terlepas dari jaringan atau struktur lingkungan yang ada di sekitarnya.
Struktur tersebut bahkan terjadi di luar kesadaran dari individu, namun struktur
itu sendiri pun merupakan konstruksi dari relasi-relasi maupun interaksi dari
kehidupan sosial dari individu tersebut.
Untuk menjelaskan fenomena sosial, Bourdieu menggunakan 3
kerangka teoritis yaitu: habitus, modal (capital), dan arena (field). Modal
(capital) yang dimaksud Bourdieu, secara mendasarnya tidak berbeda dengan
modal (capital) dalam ekonomi. Bourdieu mengkategorikan bentuk modal
(capital) menjadi beberapa yang berupa; economy capital, social capital,
cultural capital (modal ekonomi, sosial, dan budaya), dimana setiap modal
memiliki pasarnya masing-masing. Sebagai contoh adalah modal ekonomi yang
berupa suber dana (money resource), modal sosial berupa jejaringan sosial, akses
dan relasi dengan orang-orang berpengaruh (social network), dan modal budaya
yang bisa berupa wawasan, pengetahuan, cara berpikir yang dapat membentuk
identitas. Membicarakan mengenai modal, ketiga informan dalam penelitian ini
memiliki modal yang sudah cukup kuat dan tentunya masing-masing modalnya
berbeda satu dengan yang lain.

43
1. Pepeng dan Klinik Kopi

a. Latar belakang
Pepeng, memiliki modal sosial yang tidak begitu kuat. Awal Klinik
kopi terbentuk, Pepeng hanya memiliki modal budaya. Pepeng di dalam
mendirikan Klinik Kopi bermodalkan wawasan yang nantinya akan ia bagikan
kepada para pengunjungnya. Modal ekonomi secukupnya dan modal sosial
yang tidak begitu kuat. Namun, Pepeng cukup baik dalam memanfaatkan
modal budaya yang berupa wawasan dan pengetahuan dan mengemasnya di
dalam kesatuan yang menarik: menyeduh dan bercerita. Tidak lama, durasi
bercerita sama dengan durasi menyeduh kopi. Tidak lebih dari 10 menit. Dari
situlah modal yang awalnya hanya modal budal budaya, lama kelamaan
meluas menjadi modal sosial yang sangat kuat. Terlebih, Pepeng rutin dan
rajin menuliskannya ke dalam blog Klinik Kopi dan mempostingnya ke dalam
akun instagram, dimana persebaran tren budaya minum kopi bisa dengan
mudah dipopulerkan. Sampai disini, Pepeng sukses menjadikan modalnya
semakin kuat, terutama modal sosial. Modal sosial yang dimiliki Pepeng
berpengaruh sangat kuat terhadap Klinik Kopi. Modal sosial tersebut mampu
membuat pelanggan merelakan waktunya mengantri untuk mendapatkan
secangkir kopi dan sepotong cerita dan pengalaman Pepeng, yang selalu
menarik bagi pelanggannya. Pepeng dan Klinik Kopi hidup karena modal
sosial yang kuat. Modal sosial inilah yang lama kelamaan membentuk
identitas Pepeng menjadi seorang barista. Orang-orang datang ke Klinik Kopi,
untuk menemui baristanya: Pepeng. Pepeng adalah Klinik Kopi dan sampai
kapanpun stigma orang-orang tentang Pepeng adalah barista atau penyeduh di
Klinik Kopi.
Pepeng memulai aktifitasnya dengan kopi sejak 2012. Berawal dari
menjadi seorang blogger, kegemarannya bercerita tentang pengetahuan baru ia
salurkan dalam segelas kopi. Pepeng menyadari masih banyak masyarakat
yang skeptis menganggap bahwa kopi selalu pahit atau kopi akan lebih enak
jika ditambahkan gula atau susu. Berangkat dari pikiran skeptic tersebut,
pepeng memulai idealismenya ingin memperkenalkan kopi yang enak

44
meskipun tanpa gula atau susu. Dalam menjalankan usahanya, Pepeng berdiri
secara independen. Dengan idealisme tanpa kopi dan susu, klinik kopi
akhirnya menjadi semacam terminal atau tempat pemberhentian orang-orang
yang baru memulai menjadi penikmat kopi. Secara natural lingkungan yang
klinik kopi terbentuk sedemikian rupa menjadi media bagi orang-orang awam
untuk mengenal kopi secara murni tanpa gula dan susu. Pepeng menjadi sosok
barista dengan spesialisasi kopi dengan cita rasa yang manis, tujuannya agar
orang awam yang baru belajar tentang kopi bisa menerima dengan mudah.

Gambar 1 Tampilan Klinik Kopi

Berdiri secara independen, tanpa harus bergantung dengan pihak


manapun membuat Pepeng bisa bereksplorasi dengan kopi sesuai dengan
preferensinya. Proses turun ke petani, melihat secara langsung proses
pemetikan biji kopi, pengolahan biji kopi, roasting biji kopi hingga
menyeduhkan hingga menjadi segelas kopi ia lakukan secara independen,
tanpa harus bergantung dengan orang lain. Klinik kopi juga berkembang tanpa
mengikuti arus pasar dan coffee shop yang kini banyak berdiri di Jogja. Hal
prinsipil seperti yang Pepeng bawa perlahan membentuk habitus di sekitar
Klinik Kopi.

45
b. Representasi Pepeng di Klinik Kopi

Gambar 2 Foto Firmansyah (Pepeng) Klinik Kopi

Ada beberapa prinsip yang Pepeng bawa ke dalam kehidupannya


sebagai pemilik serta barista di Klinik Kopi, prinsip pertama adalah kopi tanpa
gula dan susu. Baginya, kopi seharusnya dinikmati tanpa menambahkan
apapun di dalam kopi agar peminum kopi dapat merasakan rasa asli dari
secangkir kopi, yang mana kopi memiliki berbagai macam rasa, sehingga amat
menarik untuk ditinjau dan ditelaah masing-masing rasanya. Prinsip kedua
adalah bercerita. Adalah sebuah tanggung jawab bagi Pepeng untuk
mengedukasi para peminum kopi buatannya. Bagi Pepeng, barista yang baik
seharusnya mampu memberikan informasi mengenai kopi buatannya. Seperti
dari mana asalnya, terletak ketinggian berapa, profil roasting, diproses seperti
apa, rasa yang dihasilkan cenderung kemana, dan banyak informasi penting
lainnya. Prinsip kedua ini adalah salah satu cirri khas dari Pepeng, barista dan
bercerita. Keramahannya dan sifat welcome nya sebagai seorang barista yang
membuat banyak orang yang mulanya tidak tertarik dengan asal-usul kopi
menjadi tertarik bahkan banyak juga yang akhirnya tidak hanya peminum
kopi, menjadi penikmat kopi. Prinsip ketiga adalah tidak ada rokok di dalam

46
ruang menyeduh kopi. Bagi Pepeng, ruang menyeduh kopi seharusnya bersih
dan bebas asap rokok. Di Klinik Kopi, jika ingin merokok, pengunjung
disediakan tempat tersendiri di luar, sehingga tidak mengganggu pengunjung
lainnya di dalam bar, karena bar yang ada di klinik kopi terhitung sempit.
Ketika melakukan segala aktifitasnya di bar, Pepeng tidak pernah
mengabaikan kebersihan bar maupun alat-alatnya.Dia selalu mengenakan
apron dan tidak pernah lupa menyediakan alat pembersih untuk membersihkan
alat-alat dan bar setelah membuat kopi untuk pelanggannya. Format bar yang
dibuat terbuka membuat pengunjung bisa melihat secara langsung proses
secangkir kopi yang akan diseduhkan cukup membuat Pepeng tetap menjaga
kebersihan barnya, sehingga pengunjung tidak merasa ragu dengan kebersihan
tempat maupun alat-alat yang digunakan.

Gambar 3 Sign no wifi area

Prinsip Keempat adalah Klinik Kopi tidak menyediakan wifi untuk


pelanggan.Wifi tetap dipasang di Klinik Kopi, namun tidak untuk pengunjung.
Wifi hanya bisa diakses oleh Pepeng, itu pun untuk memutarkan video-video
edukatif yang ada di internet dengan tujuan menunjukkan berbagai macam
pengetahuan dan video bagaimana kopi diproses, keadaan di sekitar daerah
tanam kopi ataupun experience roaster dari luar ketika mengunjungi petani-

47
petani. Ada hal lain yang membuat Pepeng tidak membuka wifi untuk akses
pelanggan, yaitu ia ingin pelanggannya menikmati kopi dengan khidmat,
berbincang dan bercengkrama dengan pengunjung lain, bertukar informasi,
mendapatkan kenalan baru, bukan hanya duduk memesan kopi dan bermain
gadget. Karena begitulah kopi seharusnya, menyatukan berbagai perbedaan
menjadi satu hubungan yang manis.
Ada satu prinsip lagi, prinsip yang tidak pernah dilontarkan secara
resmi oleh Pepeng, namun habitus tersebut perlahan seolah menjadi peraturan
tidak tertulis di Klinik Kopi. Prinsip terakhir adalah prinsip mengantre dan
bertukar tempat antar pengunjung. Bentuk dan desain dari Klinik Kopi seolah
membentuk alur pengunjung untuk datang, memesan, duduk dan bercerita
beberapa saat dan tukar posisi dengan pelanggan selanjutnya. Hal ini tidak
pernah secara resmi diucapkan oleh Pepeng seperti prinsip-prinsip
sebelumnya. Namun bagaimana Pepeng membawa diri ketika berinteraksi
kepada pelanggannya membentuk pola yang kemudian menjadi habitus di
Klinik Kopi.
Loyalitas pelanggan secara bawah sadar membentuk pola dan
selanjutnya membentuk habitus ini tidak semata-mata terjadi begitu saja.Ada
poin-poin representasi Pepeng, sebagai barista membawa diri ketika
berinteraksi dan memberikan penjelasan kepada pengunjungnya. Jika di
dengar-dengar, Pepeng selalu menceritakan hal yang sama kepada setiap
pengunjungnya. Hal tersebut menjadi suatu keharusan atau kebiasaan yang
harus ia lakukan. Menceritakan cerita dan asal usul biji kopi yang akan ia
seduh kepada pelanggan-pelanggannya merupakan service yang diberikan,
meskipun ia harus mengulanginya lagi dan lagi ke setiap pengunjung.Karena
itulah Pepeng mendeklarasikan dirinya sebagai barista sekaligus storyteller.

Pepeng: “Ah itu sih namanya aja mbak yang beda-beda. Barista, brewer,
tukang seduh..ya sama aja sih menurutku. Kerjaannya sama,
nyeduh kopi, paling beda alatnya aja. Kalo story teller, ya beda.
Aku bikin kopi sambil cerita ke pelanggan soal kopi yang aku
seduhkan.”

48
Perjalanan Pepeng untuk mengenal kopi terhitung sangat baru.Untuk
hitungan pembentuk pasar di dunia perkopian Jogja, Pepeng termasuk sangat
cepat masuk dan mempengaruhi dunia kopi Jogja.

Pepeng: “Aku kenal kopi sejak 2012, pas itu Cuma iseng aja sebenernya
belajar kopi. Trus ternyata kok menyenangkan, dan kebetulan waktu
itu kopi jogja lagi naik daun juga, yaudah makin serius belajar soal
kopi dan akhirnya aku bulan Juni 2013 buka klinik kopi. Setelah
buka juga aku masih tetep belajar terus soal kopi, sampai sekarang
pun aku masih tetep belajar kok. Masih cupu.”

Jika dilihat dari eksistensi Klinik Kopi, sosok Pepeng sebagai barista
menjadi hal yang sangat krusial di dalam dunia perkopian di Jogja. Dari jaman
dahulu, budaya minum kopi masih dikenal secara minoritas. Masih sedikit
orang yang peduli dengan metode, teknik dan proses bahkan masih sangat
jarang orang yang mengenal atau peduli dengan orang-orang dibalik secangkir
kopi. Orang-orang dibalik secangkir kopi ini bisa berupa petani, roaster,
hingga sekarang barista, dimana popularitas barista saat ini mungkin bisa lebih
dikenal daripada coffee shopataupun rasa kopiitu sendiri. 10 tahun yang lalu
mungkin masih sangat jarang orang-orang yang minum kopi tanpa gula atau
tanpa tambahan susu. Namun Pepeng bisa datang dan meyakinkan kepada
orang-orang jika kopi tetap bisa nikmat dan terasa manis tanpa harus
menambahkan gula atau susu.

Pepeng: “Harusnya barista tau lah kopi ini dari mana, kalo perlu ya tau siapa
petaninya, ketinggian berapa, metode prosesnya gimana,
roastingnya gimana.”

Pepeng sebagai barista Klinik Kopi, sengaja tidak pernah mengajarkan


ilmunya kepada asisten-asisten di Klinik Kopi untuk membuat kopi. Pepeng
adalah icon dari Klinik Kopi. Jika tidak ada Pepeng, tidak ada pula Klinik
Kopi. Jika pepeng tidak bisa open bar, otomatis Klinik Kopi tutup. Tidak ada
barista pengganti dan tidak ada Klinik Kopi tanpa Pepeng yang menyeduh
kopi. Hal ini dikarenakan Pepeng yang berdiri secara independen, sehingga
dalam open bar ataupun close bar Pepeng tidak harus bergantung kepada

49
siapapun. Semua murni bergantung kepada Pepeng. Disinilah identitas Pepeng
sebagai barista Klinik Kopi telah tertanam kuat di pelanggan-pelanggannya.

Pepeng: “Aku emang sengaja gak cari barista pengganti sih mbak, soalnya ya
Klinik Kopi baristanya Cuma satu, saya. Jadi kalo saya ada urusan
lain atau ada kerjaan di luar kota, ya Klinik Kopi tutup.Gak ada
yang gantiin.

Dalam menjalani kehidupannya sebagai barista, Pepeng dapat


dikatakan hampir separuh dari waktunya ia habiskan untuk keperluan kopi.
Mulai dari datang ke petani secara langsung, melihat dan terjun langsung
kepada prosesnya, roasting, hingga menceritakan pengalamannya kepada
pelanggan sembari menyeduhkan kopi kepada pengunjungnya. Hal tersebut
dilakukan karena kopi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Eksistensi dan
pengaruhnya dalam dunia kopi lantas tak membuat Pepeng menutup mata
terhadap lingkungan sekitarnya. Sekali dalam seminggu Pepeng terkadang
menyempatkan diri untuk mengunjungi coffee shop lainnya. Hal ini
dilakukannya untuk tetap menjalin hubungan baik dengan orang-orang kopi
disekitarnya dan tetap bertukar informasi apa saja.
Ketika berada di lingkungan diluar Klinik Kopi pun, Pepeng kerap kali
membahas dan membicarakan hal-hal yang masih berkaitan dengan dunia
perkopian. Meskipun tidak selalu membicarakan soal kopi saja, namun
kebanyakan orang yang bertemu dengannya akan membahas mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan kopi. Dengan senang hati, Pepeng berbagi cerita
maupun pengalamannya mulai cerita-cerita tentang petani, tentang biji baru
apa yang ia roasting, hingga perkembangan mengenai dunia perkopian.
Namun, tidak melulu ia membicarakan mengenai kopi. Tak jarang pula ia
membicarakan mengenai hal-hal umum di sekitar maupun hal-hal pribadi.

Pepeng: “Biasanya weekend, itupun gak selalu. Jarang sih mbak berkunjung-
berkunjung gitu.Soalnya gimana ya, biasanya sibuk jadi ya gak
sempet berkunjung-berkunjung. Tapi ya kalo diundang ngopi
dimana gitu atau ada undangan opening coffee shop baru biasanya
dateng, itupun kan karena temen jadi ya dateng kalo dapet
undangan. […] Ngomongin apa aja sih. Gak selalu lah, gak selalu

50
soal kopi. Kadang ya soal pribadi, soal berita, soal perkembangan
apa yang lagi tren.”

Pepeng berdiri bersama Klinik Kopi secara independen tanpa


bergantung dengan siapapun.Pepeng sukses membentuk pasarnya sendiri,
tanpa perlu pusing untuk menarik pasar. Bisa dikatakan target pasar Pepeng
adalah peminum kopi pemula, bukan penikmat kopi expert. Maka dari itu
bagaimana Pepeng merepresentasikan dirinya sebagai barista di hadapan
pengunjung Klinik Kopi dapat dengan mudah diterima oleh pemula, sehingga
pasar terbentuk, menyebar dan berkembang dengan pesat. Suatu hal yang
cukup ampuh melihat banyak coffee shop mengikuti pasar, sehingga banyak
diantara mereka mengalahkan idelaisme mereka untuk mengikuti pasar
dengan tujuan dapat masuk dan diterima dengan baik oleh pasar. Namun,
Pepeng dengan idealismenya tetap mampu berdiri sendiri, tidak terpengaruh
keadaan pasar, tidak mengikuti keinginan pasar, dan Pepeng bersama Klinik
Kopi masih mampu menguasai pasar.

Pepeng: “Ya gimana ya, kopi itu kan aslinya unik ya mbak, ada rasa
bermacam-macam. Dengan cara dan proses yang beda aja rasa yang
timbul bisa beda, sayang aja gitu kalo malah dikasi gula sama susu,
rasa aslinya jadi gak keluar, sayang sekali. Makanya aku memang
dari awal memang tidak pernah menyediakan gula dan susu.
Biarkan pasar mintanya apa, saya bikin pasar sendiri, jangan
ngikutin pasar. Dan ya, buktinya pasarnya ada kok yang mau tanpa
susu dan gula [..] Kalo mau cari yang pake gula atau pake susu ya
jangan kesini, salah tempat. Soalnya memang aku tidak
menyediakan.”

Disaat barista-barista lain ramai membicarakan tentang gelombang-


gelombang di dalam dunia perkopian, dan disaat banyak barista yang mulai
membicarakan specialty coffee34atau kopi lokal dengan harga yang sangat

34
Specialty Coffee merupakan sebuah penilaian terhadap kopi dengan aroma dan rasa yang
istimewa, diatas kopi rata-rata pada umumnya.Asal mula pengklasifikasian Specialty Coffee di
buat oleh seorang wanita bernama Erna Knutsen yang ditulis pada Tea & Coffee Trade
Journal.Erna menggunakan istilah ini untuk kualitas kopi yang bisa disebut “premium” atau
“gourmet”. Kopi Special diolah dengan cara khusus, mulai dari pengolahan perkebunan hingga
menjadi biji mentah.Salah satu cara yang paling kenal dari proses pembuatan Specialty Coffee
adalah “Petik Merah”. (Apa Itu Specialty Coffee? Januari 2, 2014

51
bertolak belakang, Pepeng memilih untuk tidak mengikuti arus. Pepeng tidak
ingin tahu mengenai macam-macam gelombang dan Pepeng tetap bertahan
dengan macam-macam kopi lokal dari daerah dan petani yang ia kunjungi
sendiri. Bagi Pepeng, dia hanya tau bagaimana membuat kopi yang enak dan
mmebuat pengunjungnya senang dan mendapatkan pengetahuan baru ketika
keluar dari Klinik Kopi, tanpa perlu mengikuti arus gelombang serta kopi-kopi
luar negeri.

Pepeng: “Specialty coffee35 tu apa ya maksudnya mbak? […] Kalo


gelombang-gelombang kopi malah gak tau dan gak ngikuti aku
mbak. Yang penting aku disini roasting sama bikin kopi aja mbak,
gak tau aku third wave, second wave itu apa.”

Tidak memilih atau tidak mengikuti arus tidak lantas membuat Pepeng
merasa ragu ataupun takut akan dianggap tidak mengikuti perkembangan kopi.
Pepeng tetap bertahan karena kembali lagi, Pepeng tidak perlu mengikuti
pasar untuk mendapatkan pengunjung. Pasar akan dengan sendirinya
menghampiri Klinik Kopi dengan segala prinsip dan aturan yang ia buat
berdasarkan idealisme dan pandangan pepeng, tanpa harus terpengaruh pihak
manapun.
Selain sebagai seorang barista, Pepeng juga menjalani kegiatannya
menjadi seorang roaster. Pagi hari hingga sore hari Pepeng menghabiskan
waktunya untuk roasting biji-biji baru yang baru datang.Biji yang ia dapatkan
kebanyakan dari daerah-daerah yang ia kunjungi. Setiap ada biji baru ia akan
selalu mengenalkan kepada pengunjung Klinik Kopi, tidak lupa dengan cerita

35
http://www.specialtycoffee.co.id/apa-itu-specialty-coffee/ diakses pada 11 April 2016 pukul
16.08 WIB)
SCAA (Specialty Coffee Association of America) sebagai kompas dunia perkopian
internasional mengeluarkan standar baku yang ketat dan lebih saintifik terhadap kopi
berkualitas premium tersebut setelah melakukan penelitian kurang-lebih selama 20 tahun.
Suatu kopi beras (green bean) bisa memiliki nilai spesialti ketika dari 300 gram biji kopi yang
diambil secara acak, memiliki kadar air lebih-kurang 9-13%, dan tidak lebih dari 5% jumlah
biji kopi yang lolos ayakan pada saringan berukuran 14-18 mesh. Pada biji kopi yang tertinggal
tidak boleh terdapat biji kopi yang memiliki cacat penuh (full defect).Saat dilakukan cupping
test oleh seorang Q-grader, kopi tersebut wajib memiliki skor minimum 80 dari atribut body,
rasa, aroma, atau accidity. (Ngabdulloh Akrom. Mengenal Specialty Coffee. 1 April 2014.
http://bincangkopi.com/mengenal-specialty-coffee/)

52
dari masing-masing daerah tersebut. Untuk preferensi, Pepeng sengaja
memproses biji dengan light process36, sehingga rasa yang nantinya akan
keluar tidak akan terlalu pahit seperti jika diproses dengan medium dark37.
Pepeng juga menjual biji hasil roastingnya kepada pengunjung-pengunjung
yang berminat membeli. Dia juga menjualnya lewat web resmi milik Klinik
Kopi. Tanpa ia sangka sebelumnya, ternyata peminat biji roasting milik Klinik
Kopi cukup diminati oleh masyarakat, tidak hanya lingkup Jogja saja, namun
dari seluruh Indonesia.

Pepeng: “Aku kalo pagi bangun tidur ya melakukan aktifitas seperti biasa.
Nanti agak siangan sampe sore biasanya roasting kalo ada beans
baru. Sore baru open bar.”

Lingkungan di sekitar Klinik Kopi yang awalnya merupakan orang-


orang yang memandang kopi secara salah kaprah, akhirnya berhasil
membentuk Pepeng sebagai seorang barista dan story teller mampu
merepresentasikan eksistensinya sebagai seroang barista dan membentuk
identitasnya sebagai barista Klinik Kopi dengan sempurna.

2. Avis dan Darat Coffee Shop


Berbeda dengan Pepeng, Avis mendirikan Darat coffee shop dengan modal
ekonomi yang tidak besar, dan tidak kecil pula. Pada saat itu Avis bahkan
tidak memiliki modal sosial yang cukup dan ia tidak memiliki modal budaya
yang cukup. Modal ekonomi yang sekedarnya tidak lantas membuat Avis
dengan mudah masuk ke dalam dunia yang benar-benar baru baginya. Bahkan,
Avis tidak memiliki pengetahuan dan wawasan apapun mengenai kopi. Satu-
satunya modal budaya yang ia bawa hanyalah budaya minum kopi di tanah
asalnya, Pematang Siantar. Pengunjung yang datang ke coffee shop miliknya
tidak seperti pengunjung Pepeng yang terkesan dan membawa stigma positif.
Banyak pengunjung datang dan pergi begitu saja karena kualitas kopi yang ia

36
Proses roasting biji kopi dengan setengah matang, sehingga biji kopi cenderung tidak terlalu
pahit.
37
Proses roasting biji kopi dengan tingkat kematangan tinggi, sehingga rasa yang dihasilkan biji
kopi cenderung pahit dan gelap.

53
jual tidak sesuai dengan ekspektasi para penikmat kopi Jogja. Karena hal
inilah lama-kelamaan membentuk mental Avis sebagai seorang barista ia
harus memiliki modal lebih. Dalam hal ini Avis memilih memperkuat modal
budaya. Avis belajar mendalami dunia kopi untuk membuktikan kepada para
pelanggannya jika Avis bisa menjual kualitas, bukan hanya kopi biasa. Disini
bisa menjelaskan jika habitus orang-orang yang menjadi pelanggan di Darat
menjadikan motivasi dan pendorong untuk Avis menunjukkan identitasnya.
Habitus dan modal yang dimiliki Darat coffee shop membentuk identitas Avis
sebagai seorang pendekar, dimana seorang pendekar baginya adalah seseorang
yang dinilai mengerti betul seluk beluk tentang dunia perkopian.

Gambar 4 Lokasi Darat Coffee Shop

54
a. Latar belakang Avis dan Darat coffee shop

Avis mengenal dunia perkopian sejak ia duduk di bangku SMP. Avis


tumbuh dan berkembang di Pematang Siantar, pesisir danau toba. Di
daerahnya tersebut ia mengenal ada tiga budaya minum, yaitu budaya minum
teh, budaya minum tuak dan budaya minum kopi. Karena Avis menilai minum
the adalah hal yang sangat biasa dan tidak ada tantangan, ditambah Avis
bukan tipe peminum tuak, terlebih Avis dapat dikatakan jijik dengan tuak,
maka Avis cenderung mengikuti arus minum kopi. Namun karena pada saat
itu tren kopi belum berkembang pesat seperti sekarang, kopi yang ia kenal
baru kopi tubruk saja dan biji kopi yang ia dapat hanya biji kopi lokal hasil
dari perkebunan kopi di daerah tempat tinggalnya. Sedari SMP Avis sudah
kenal dengan kebiasaan minum kopi. Ia tinggal di daerah dimana orang-orang
disekitarnya memulai segala aktifitas mereka dengan meminum kopi. Sebelum
bertani, sebelum berangkat kerja, sebelum memasak, hingga setiap ada tamu
yang datang mereka selalu menyeduhkan kopi. Habitus di lingkungan sekitar
Avis adalah peminum kopi, sehingga bukan hal yang baru baginya dengan
dunia perkopian.

Avis: “Kenapa aku akhirnya memilih kopi, karena satu aku jijik sama tuak
karena aku gak minum. Kedua karena the itu minuman komoditas,
siapa aja dalam kondisi apa aja orang disuguhinnya teh, ya biasa aja
gitu teh. Nah yang ketiga kopi. Kopi disana itu udah kayak kewajiban.
Semua orang disana kalo bangun tidur harus ngopi, mau kerja ngopi,
lagi kumpul ngopi, mau tidur ngopi, pokoknya di setiap situasi
masyarakat sana itu wajib ngopi. Makanya aku jadi suka kopi dan itu
kebawa sampe aku mahasiswa dan merantau ke Jogja.”

Perkenalannya dengan dunia kopi semakin erat ketika ia mulai masuk


jenjang SMA. Ketika SMA, habitus minum kopi tersebut terbawa hingga ke
teman-teman dan lingkungannya. Namun tetap, mereka masih mengkonsumsi
sebatas kopi tubruk, karena pada saat itu kopi dengan beragam metode
pembuatan belum terkenal seperti sekarang. Anak muda yang erat kaitannya
dengan nongkrong dan mengobrol, membuat habitus minum kopi dengan

55
mudah masuk ke kalangan anak muda di daerahnya, yang akhirnya
membentuk minat dan ketertaikannya terhadap dunia kopi.
Ketertarikan Avis di dunia kopi tidak berhenti begitu saja. Ketika
memasuki bangku kuliah, Avis ingin habit minum kopi seperti di daerah
asalnya Pematang Siantar yaitu minum kopi sembari berkumpul bersama
rekan-rekan, ke Jogja. Ketertarikannya tidak hanya berhenti di keinginan
semata, namun pada tahun 2014 Avis benar-benar merealisasikan
keinginannya untuk mendirikan tempat ngopi sambil berkumpul, dan
berdirilah Darat Coffee Shop. Pada saat itu kopi yang ia jual adalah kopi
tubruk, dimana pada saat itu Jogja sedang marak-maraknya tren minum kopi,
entah latte, art maupun pour over. Karena Darat menjual kopi yang berbeda,
banyak orang datang ke Darat untuk mencoba kopinya dan berakhir dengan
cacian, sindiran maupun kata-kata sarkas dari peminum, penikmat maupun
barista kopi.

Avis: “Aku buka Darat 2014 pertengahan. Ya emang masih muda banget baru
satu tahunan lah ya. Pas itu aku jualnya kopi tubruk doang, karena
emang niatku gak ada sama sekali buat jual-jual kopi pour over, latte,
dan sejenisnya. Aku Cuma mau bikin tempat nongkrong sambil ngopi
kayak dulu di daerahku. […] Lha kok banyak yang dateng terus
menghina, ngata-ngatain sama disindirin di media sosial waktu itu.
Sampai pada akhirnya ada satu orang yang ngata-nagtain kopinya
Darat, yang bikin aku pada saat itu harus bisa bikin kopi enak,
gimanapun caranya.”

Avis berkembang dan mengenal kopi di daerah yang memiliki habitus


minum kopi tubruk kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun. Namun ternyata
habitus tersebut tidak cukup baginya untuk mengembangkan usahanya di
Jogja, dimana habitus minum kopi di Jogja sudah memasuki masa-masa
meninggalkan kopi tubruk dan berganti dengan beragam metode pembuatan
kopi. Banyaknya cercaan yang datang bertubi-tubi dari lingkungannya karena
tetap mempertahankan kopi tubruk, akhirnya memicu darah muda Avis yang
tertantang untuk membungkam semua mulut yang pernah mencerca kopi
miliknya.Akhirnya Avis bertekad untuk belajar dan selalu mencoba untuk

56
membuat kopi yang enak. Avis mulai membeli alat-alat dan perlengkapan
lainnya untuk membuat kopi, membaca banyak buku tentang kopi, membaca
jurnal-jurnal para penikmat kopi dan belajar hingga negeri sakura pun ia
lakukan untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu bagaimana dan seperti apa
kopi yang enak.

b. Representasi Avis di Darat coffee shop

Gambar 5 Foto Avicena Haris (Avis)

Avis berjuang tidak sendirian.Dia bersama kakaknya sama-sama


membangun dan belajar tentang kopi. Mereka belajar secara otodidak. Namun
tidak seperti Avis, kakaknya lebih memilih untuk menjadi taste dan quality
grader di Darat, sedangkan Avis ditambah menjadi barista. Avis seringkali
menyebut dirinya sebagai pendekar dibandingkan dengan barista.

57
Avis: “Ya gimana ya… kalo dibilang barista sih ya barista. Aku barista. Tapi
aku biasanya nyebutnya bukan barista, tapi pendekar. Biar lebih sangar
gitu kan namanya pendekar.”

Pendekar adalah sebutan khusus bagi Avis untuk orang-orang yang


dahulu suka datang ke Darat dan mencela kopi buatannya. Dia menganggap
orang-orang seperti itu bertingkah bak pendekar yang merasa paling benar.
Tingkah para pendekar yang memicunya untuk belajar dan mencari tahu lebih
banyak, akhirnya membuat Avis mendeklarasikan diri sebagai pendekar,
meskipun pada dasarnya yang dimaksud adalah sebutan bagi barista-barista
yang handal dalam membuat kopi. Menurutnya, barista yang handal adalah
barista yang memiliki makna terhadap kopi, bukan hanya sekedar kopi untuk
diminum, namun memiliki makna yang lebih jauh terhadap segelas kopi.

Avis: “Barista yang handal itu dia harus peminum kopi, peminum kopi,
peminum kopi terus beser38. Maksudnya ya barista itu yang memiliki
makna terhadap kopi itu sendiri. Jadi kopi bukan Cuma sekedar kopi
untuk diminum apa cuma buat gaya-gayaan, tapi dia punya makna
tersendiri terhadap kopi.”

Sebagai seorang barista, Avis juga menjalani kegiatan sehari-hari


layaknya orang kebanyakan dan tidak melulu hidupnya berkutat dengan kopi.
Avis hanya melakukan kegiatan yang berhubungan tentang kopi ketika iashift
di bar atau ketika ia berada di Darat maupun coffee shop lain. Di luar daripada
itu, Avis sama sekali tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
kopi.

Avis: “Aku kalo dirumah malah gak pernah ngomongin kopi, males. Urusan
kopi gak pernah kubawa ke rumah. Aku ngurusin kopi tu ya kalo lagi
di Darat apa lagi di luar, itupun jarang banget.”

Kehidupan Avis diluar dari profesinya sebagai barista juga seperti


biasa. Avis kerap kali mengunjungi coffee shop lain maupun coffee shop milik

38
Keinginan untuk terus menerus ke kamar mandi.

58
rekan-rekannya sesama penggemar kopi untuk bertukar informasi maupun
sekedar mengunjungi rekan sesama barista. Meskipun memiliki selera dan
preferensi yang berbeda, mengingat Avis adalah penggemar dari specialty
coffee, ia tidak pernah mencaci, memaki maupun merendahkan kopi yang
bukan merupakan preferensinya, seperti apa yang telah dilakukan oleh banyak
orang dulu ketika ia masih merintis Darat coffee shop diawal berdiri. Avis
biasanya melakukan observasi terlebih dahulu mengenai coffee shop yang
akan ia kunjungi. Biasanya, dia akan mencari tahu kopi apa yang sedang
mereka unggulkan, kopi apakah yang baru datang, ataupun kopi yang menjadi
andalan mereka. Biasanya ketika sudah mencari informasi dan mendapatkan
cukup info, Avis bersama kakak dan satu rekannya akan berkunjung dan
menanyakan banyak hal kepada si barista.

Avis: “Harusnya barista tau lah kopi ini dari mana, kalo perlu ya tau siapa
petaninya, ketinggian berapa, metode prosesnya gimana, roastingnya
gimana. Karena barista seharusnya bisa memberikan informasi ke
pelanggan, bukan Cuma bisa buat aja tapi gatau prosesnya dll.”

Ketika Avis bertanya dan si barista tidak mengetahui informasi


mengenai menu-menu kopi mereka, biasanya Avis dengan mantab langsung
memesan cappuccino saja, begitupun dengan kakak dan rekannya.
Menurutnya, informasi tentang kopi yang mereka jual harus dipahami diluar
kepala oleh barista, karena begitulah barista seharusnya.

Avis: “Aku kalo dateng ke bar, trus nanya baristanya ini biji darimana,
prosesnya gimana, after taste nya gimana, roaster nya siapa, trus dia
gatau, yaudah aku bakal langsung pesen cappuccino aja yang paling
aman.”

Ketika berada di coffee shop dan berkumpul dengan teman-teman


barista maupun teman-teman sesama penikmat kopi, Avis juga tak lantas
membahas segala seluk beluk soal kopi. Avis mengaku ketika ia berkumpul
bersama teman-temannya, ia lebih sering membicarakan hal-hal diluar kopi.
Sangat jarang ia terlibat percakapan mengenai kopi, selain ada yang lain

59
membuka percakapan mengenai kopi atau ada orang lain yang bertanya
mengenai kopi. Hal demikian terjadi karena telah menjadi prinsipnya jika ia
tidak akan membawa hal-hal yang berkaitan tentang kopi diluar dari Darat
atau dalam kondisi tertentu saja.
Sama halnya seperti informan sebelumnya, Avis juga memiliki
idealisme tersendiri terhadap preferensi, kepercayaan, feeling dan taste
terhadap kopi buatannya, terutama untuk kopi yang ia jual di Darat.

Avis: “Kalo soal kopi ya sesuai seleraku. Berhubung ini coffee shop kan
punyaku, jadi ya kopi yang tak jual sesuai selera sama idealismeku ya,
specialty coffee dan kopi-kopi disini light semua dan hasil
roastinganku sendiri. Preferensiku disini lebih ke berry.Soalnya apa
ya, bikin kopi itu harus pake feeling sih, sesuai dengan keinginan hati
pengen kopi yang kayak gimana.”

Prinsip pertamanya ketika menjadi barista serta owner coffee shop


adalah ia memiliki keyakinan bahwa kopi adalah buah, sehingga rasa kopi yag
seharusnya keluar adalah berry.

Avis: “Karena kopi kan memang buah pada dasarnya, makanya preferensiku
ke kopi yang cenderung berry gitu rasanya.”

Prinsip yang kedua, Avis mengikuti perkembangan kopi dan dia


dengan percaya diri mendeklarasikan bahwa ia adalah generasi third wave
coffee, dimana third wave coffee adalah paham dimana masyarakat mulai
menghargai dan mendalami kopi yang mereka minum, tidak serta merta
menyeduh dan meminum saja, lebih dari itu mereka mulai peduli terhadap
asal-usul dan bagaimana kopi tersebut diproses.
Ketiga, Avis sangat mendukung gerakan specialty coffee.Specialty
coffee merupakan biji kopi yang memiliki kualitas tinggi dan minim defect
sehingga rasa yang nanti keluar akan mendekati sempurna. Maka dari itu,
biasanya specialty coffee memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan kopi
pada umumnya. Disaat Jogja berlomba-lomba menyajikan kopi dengan harga
murah, Avis berani mengeluarkan specialty coffee dengan harga yang cukup

60
tinggi, bahkan hampir dua kali lipat dibandingkan harga kopi yang dijual di
coffee shop lainnya. Hal ini dilakukan Avis karena ia meyakini bahwa ia
mmapu menyajikan kopi terbaik yang sebanding dengan harga yang mesti
dibayar oleh pengunjung. Disaat coffee shop lainnya berlomba-lomba untuk
mengusung kopi lokal yang berasal dari daerah-daerah, Avis berani membawa
biji-biji kopi dari luar negeri, tentunya dengan harga yang lebih dari harga
rata-rata. Hal ini ia lakukan untuk memperkenalkan kepada masyrakat tentang
kopi luar negeri, agar masyarakat juga tidak kalah bersaing dengan penikmat-
penikmat kopi di luar negeri.
Bagi Avis, specialty coffee merupakan bentuk transparansi terhadap
kopi. Transparansi disini bermakna kejujuran dari seorang barista untuk
memberi tahu kopi apa yang ia buat, metodenya apa, dengan suhu berapa,
darimana biji kopi berasal, dari ketinggian berapa, bagaimana keadaan pasca
panennya, bagaimana hasil setelah melalui proses brewing, setelah itu berani
mempertanggungjawabkannya. Tanggung jawab dari seorang barista terhadap
kopi yang mereka buat. Dari banyaknya transparansi yang seharusnya
ditunjukkan tersebut, kebanyakan barista di Jogja gagal dalam hal
mempertanggungjawabkan. Maka dari itu Avis, dengan segala idealismenya
sebagai barista memilih untuk tetap menjaga di jalur specialty dan siap
mendobrak dunia kopi di Jogja.
Sama seperti informan sebelumnya, selain menjadi seorang barista
Avis juga merupakan seorang roaster. Untuk selera kopi yang menjadi
preferensinya sendiri lebih cenderung ke kopi-kopi yang sifatnya light dan
memiliki after taste yang clean, serta cenderung mengeluarkan rasa buah,
lebih tepatnya berry. Avis menganggap bahwa kopi itu buah, sehingga orang
seharusnya bisa memahami rasa kopi yang asam, manis, pahit, dan rasa-rasa
lainnya. Hal ini merupakan kecenderungan empiris dari Avis untuk
memutuskan metode yang akan ia pakai untuk roasting biji kopi.
Menurutnya, 60% keberhasilan biji kopi berada di tangan petani.
Karena dari petani biji tersebut dipetik, sehingga petani juga yang menentukan
apakah biji tersebut petik merah ataupun petik hijau, apakah nantinya biji

61
tersebut akan full wash, apakah biji tersebut dikeringkan dahulu atau tidak,
dan hal-hal penting lainnya yang menentukan kualitas dari biji kopi. Lalu 30%
keberhasilan biji kopi dari petani tadi berada di tangan roaster. Roaster adalah
koki, sehingga resep, cara memasak dan bagaimana perpaduan antar resep
diolah sehingga menghasilkan biji yang nantinya nikmat ketika diseduhkan.
Sama halnya seperti chef ketika memasak, perpaduan bumbu dan resep yang
pas akan menghasilkan rasa makanan yang nikmat pula. Setelah 60% ada di
petani, 30% di roaster, lalu 10% sisanya barulah berada di tangan sang barista.
Barista bisa dikatakan orang yang tinggal mempercantik hasil dari petani dan
roaster tadi. Barista tinggal mengolahnya agar mampu menyempurnakan apa
yang dipetik oleh petani dan apa yang telah dimasak oleh roaster. Hal ini juga
diamini pula oleh beberapa barista lainnya.
Lingkungan dimana banyak penikmat-penikmat kopi yang seringkali
datang untuk mencela dan memberikan pertanyaan macam-macam membuat
Avis semakin terpacu untuk mencari tahu lebih banyak dan belajar lebih giat
untuk mencoba dan bereksperimen bagaimana cara untuk membuat kopi yang
enak. Karena 60% ada di petani, maka pemikirannya alangkah lebih mudah
jika nia juga menjadi roaster, dimana ia bisa membuat resep dan roasting biji
kopi sesuai dengan preferensinya. Kerap kali Avis menyortir green beans
sebelum di roasting agar meminimalisasi adanya biji-biji yang kualitasnya
masih kurang untuk menjadi sebuah biji specialty coffee. Karena proses
penyortiran ini, kerap kali biji yang tersortir lumayan banyak, sehingga biji
yang masuk kualifikasi berkurang. Hal semacam ini yang membuat harga
specialty coffee lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan specialty.

62
3. Evana dan Starbucks

Gambar 6 Starbucks Ambarukmo Plaza (Amplaz)

a. Latar belakang Evana di Starbucks

Evana bukanlah orang yang begitu antusias terhadap kopi, seperti dua
orang informan sebelumnya. Evana menikmati kopi lebih ke arah gaya hidup
dan mengikuti tren. Awal terbentuk ide Evana untuk masuk ke dunia kopi
adalah dari kegemarannya untuk berkumpul bersama rekan-rekannya di salah
satu kedai kopi yang sudah memiliki nama besar, yang merupakan franchise
dari kedai kopi yang tersebar di seluruh dunia, Starbucks. Kegemaran Evana
untuk nongkrong di salah satu gerai kopi yang sudah memiliki nama besar,
Starbucks, membuatnya mulai menggemari dan membawa rasa penasarannya
terhadap kopi. Berbeda dengan dua informan sebelumnya, Evana bahkan tidak
memiliki ketertarikan terhadap kopi sebelumnya. Evana mengaku jika
berkunjung ke Starbucks ia seringkali memesan green tea, yang merupakan

63
salah satu menu favoritnya.Frekuensi berkunjungnya ke Starbucks yang cukup
tinggi, akhirnya membuat Evana akhirnya memberanikan diri untuk mencoba
melamar sebagai barista di Starbucks.

Evana: “Awalnya aku sering nongkrong kan di Starbucks, trus lama-lama kok
aku tertarik, dan akhirnya aku coba-coba apply eh trus diterima deh.”

Evana terbilang masih sangat baru dalam mengenal kopi. Evana


bahkan mengaku jika dirinya belum banyak mengerti mengenai dunia
perkopian. Evana juga mengaku bahwa pengetahuan tentang kopi baru ia
dapat ketika ia on bar. Sebelumnya ia bahkan sama sekali tidak mengerti
bagaimana cara membuat kopi, bagaimana mmebuat kopi yang enak dan dia
juga tidak mengerti bagaimana perkembangan kopi, khususnya di Jogja.
Ketika ia menjalani training barista selama dua bulan, barulan ia mengenal
alat-alat kopi, mengenal bagaimana cara membuat kopi dan ia baru
mengetahui sedikit pengetahuan mengenai dunia perkopian. Pelatihan tersebut
ia dapatkan dari master coffee yang telah disediakan oleh Starbucks,
sedangkan pengetahuan tentang kopi ia dapatkan dari hasil sharingnya dengan
barista-barista yang lebih senior.

Evana: “Kenapa akhirnya masuk ke dunia kopi, ya karena penasaran aja.


Soalnya dulu kayaknya keren aja gitu kan jadi baristanya
Starbuck.”
Setelah bergabung bersama Starbucks, pengetahuan Evana mengenai
dunia perkopian menjadi lebih beragam. Evana mengaku senior-seniornya
kerapkali berbagi ilmu tentang kopi dan berbagi banyak informasi baru
mengenai perkembangan kopi, entah di dunia maupun di Yogyakarta sendiri.
Karena pada dasarnya Starbucks adalah cabang dari kedai kopi yang pertama
kali berdiri di luar negeri, maka kebanyakan informasi yang masuk adalah
mengenai keadaan kopi-kopi luar yang masuk ke Starbucks maupun ke
Yogyakarta.

64
Evana: “barista senior disini yang emang ngerti banget masalah-masalah
kopi gitu sering kok cerita-cerita dan ngajarin kami barista-barista
junior kayak aku. […] Kalau misal ada informasi terbaru atau
gossip-gosip baru soal kopi mereka sering share juga. Jadi emang
mereka baik banget suka ngajarin gitu.”
Hampir satu tahun menjadi barista, keingintahuannya tentang kopi
menjadi lebih tinggi. Banyak hal baru yang ia dapatkan setelah menjadi
seorang barista di Starbucks. Namun hal tersebut tidak lantas membuat Evana
menjadi penggemar kopi, terlebih kopi hitam. Ia hanya meminum kopi hitam
ataupun latte hanya jika ia sedang bersama teman-teman baristanya ataupun
ketika kebetulan tempat itu tidak menyediakan menu selain kopi.

Skill meracik kopi yang awalnya tidak dimiliki oleh Evana, yang
awalnya menjadi keraguan tersendiri bagi Evana, kini tidak lagi menjadi
masalah. Starbucks yang berbasis mesin otomatis memudahkan bagi Evana
yang notabene pendatang baru di dunia kopi. Hal ini membuat Evana merasa
dimudahkan selama bekerja on bar. Di samping itu, jumlah pesanan yang
biasanya dalam jumlah banyak menuntut dia sebagai seorang barista memiliki
tingkat pergerakan yang cepat dan tepat, sehingga adanya mesin otomatis
sangat membantunya ketika on bar.

Evana: “Dulu awal-awal aku masih lama ya, aku juga masih bawa-bawa
catetan resep karena aku masih baru banget dan belum hafal kan
racikan-racikannya. Ditambah dulu mesin espressonya masih yang
manual, jadi agak lama juga kan kalau buat menu yang basisnya
espresso. […] Tapi sekarang kan mesinnya udah otomatis. Jadi
udah ada takaran-takarannya, tinggal mencet-mencet nanti keluar
sendiri. Semua jadi lebih cepet dan lebih gampang.”
Evana berkembang dan mengenal kopi dengan latar belakang rasa ingin
tahu dan eksistensi menajdi seorang barista di Starbucks. Namun, seiring tuntutan
profesinya sebagai seorang barista, ia dituntut untuk mengetahui hal-hal mendasar
mengenai kopi, termasuk jenis biji kopi yang dipakai di Starbucks, cerita dan asal-
usul biji kopi, metode membuat kopi, hingga jenis dan fungsi masing-masing
mesin, meskipun bukan mesin manual seperti dua informan sebelumnya.

65
Evana: “Iya.. aku dulu sama sekali gatau dan gak bisa cara bikin kopi. Aku
basic nya kan juga bukan anak kopi ya, jadi aku ga terlalu banyak tahu
tentang kopi. Tapi terus aku apply aja coba-coba, sekalian belajar kan
eh keterima. Yaudah aku dari situ mulai diajarin. Kan ada training nya
dulu 2 bulan.”
Evana menjadi gambaran nyata pergeseran makna profesi barista yang
penuh dengan keahlian dan pengetahuan, menjadi profesi yang dapat dipelajari
melalui proses. Menjadi barista tidak harus memiliki skill yang mumpuni dan
pengetahuan tentang kopi yang luar biasa, namun menjadi barista bisa dipelajari
melalui proses. Namun dalam hal ini, Evana merupakan salah satu contoh profesi
barista yang dilatarbelakangi oleh eksistensi dan mengikuti tren, dimana barista
adalah profesi yang dianggap keren dan prestisius.

Evana seolah membuktikan bahwa menjadi barista tidak harus memiliki


pengetahuan yang mumpuni dan skill membuat kopi yang hebat, seperti barista-
barista pada umumnya. Meskipun tidak bisa disamakan antara barista dengan
basic manual brewing dengan barista dengan mesin yang sudah serba otomatis
seperti Evana ketika ia di Starbucks. Hingga saat ini, Evana sebatas mampu
mengoperasikan mesin otomatis dan mesin espresso saja. Jika berbicara mengenai
pour over maupun metode seduh kopi lainnya, Evana masih belum mengerti
secara mendalam bagaimana runtutan metode dan kriteria-kriteria agar bisa
menghasilkan kopi hitam yang enak. Karena pada dasarnya Evana bukanlah
penikmat kopi dan Evana sendiri pun sebatas social coffee drinker.

66
b. Representasi Evana di Starbucks

Gambar 7 Sosok Evana barista Starbucks Amplaz

Bagi Evana, Starbucks merupakan tempat yang memiliki nilai prestige


yang tinggi. Ia menganggap jika bisa menjadi barista di Starbucks merupakan
pekerjaan yang keren dan bergengsi. Hal ini ia katakan karena kebanyakan orang-
orang yang datang ke Starbucks adalah orang-orang yang ia anggap keren, yaitu
eksekutif muda, anak-anak muda dengan eksistensi tinggi dan anggapan orang-
orang terhadap Starbucks adalah tempat yang mahal dan berkelas. Ada sebuah
kebanggaan tersendiri awal ketika ia menjadi barista di Starbucks.
Starbucks juga sudah memiliki pasarnya sendiri. Loyalitas pelanggan yang
sangat tinggi menjadikan Starbucks menjadi salah satu kedai kopi yang banyak
dicari ketika berkunjung ke suatu tempat. Berbeda dengan coffee shop lainnya

67
yang masih harus melakukan banyak inovasi dan promo agar menarik pasar,
namun Starbucks tidak perlu melakukan banyak hal untuk menarik pasarnya. Hal
ini dilakukan karena kebanyakan orang sudah tau akan konsistensi rasa yang akan
mereka dapatkan ketika memesan kopi di Starbucks. Sedangkan konsistensi
tersebut jarang mereka dapatkan di coffee shop lainnya, meskipun harga yang
harus dibayar sedikit lebih mahal ketika mereka memesan satu gelas kopi di
Starbucks. Konsistensi ini juga tidak lepas dari adanya mesin kopi otomatis yang
sudah disetting secara default, sehingga rasa yang dihasilkan akan selalu sama,
selama biji kopi serta takarannya juga sama. Berbeda dengan manual brew yang
tidak akan pernah sama meskipun rentetan metode dilakukan dengan cara yang
sama. Hal inilah yang mendasari perbedaan manual brew yang dilakukan oleh dua
inforan sebelumnya dengan kopi berbasis mesin yang dilakukan oleh Evana di
Starbucks.
Evana menganggap orang yang datang ke Starbucks tidak selalu harus
pecinta kopi. Banyak diantara pelanggannya terkadang tidak mengerti menu apa
yang harus dipesan, dan akhirnya meminta rekomendasi darinya. Jika begitu,
secara otomatis ia akan mennayakan menu apa yang menjadi preferensi
pelanggannya tersebut. Apakah kopi ataupun non kopi. Jika non kopi, Evana
otomatis akan merekomendasikan green tea latte, yang merupakan salah satu
minuman favoritnya di Starbucks.

Evana: “Barista di Starbucks itu dituntut untuk multitasking. Jadi kita


disini ya bikin orderan, jadi kasir, beres-beres dan interaksi sama
pelanggan. […] Banyak pelanggan yang kesini tu gak tau mau
pesen apa, jadi kadang kita jelasin satu-satu. Karena ya gak semua
pelanggan sebenernya tau menunya apa aja kan.”

Sebagai seorang barista, Evana kerapkali menemui pelanggan yang


membingungkan. Ia mengambil konsekuensi tersebut karena memang Starbucks
adalah tempat yang universal yang memungkinkan untuk dikunjungi semua orang,
berbeda dengan coffee shop yang biasanya pengunjungnya sudah memiliki
preferensi sebelumnya. Berbicara mengenai barista, Evana memiliki pandangan

68
tersendiri terhadap definisinya tentang barista. Baginya barista adalah seseorang
yang membuat kopi. Melangkah lebih jauh lagi, menurutnya barista merupakan
orang yang memiliki pesan terhadap kopi yang ia buat, jadi tidak serta merta
menyajikan kopi tanpa makna.

Evana: “Barista secara umum sih ya orang yang bikin kopi gitu kan.. Tapi
kalo disini, pandangan untuk barista Starbucks kamu gak Cuma
bikin kopi aja tapi kamu menyampaikan pesan dari kopi itu[…]
Misal caramel macchiato, di caramel macchiato sendiri ada
macchiato, dari bahasa asing yang artinya putih, yang dinodai sama
espresso, jadi kayak kita emang untuk bikin nggak asal-asalan
karena sudah ada standarnya.”

Sebagai seorang barista, Evana juga menjalani kegiatan sehari-harinya


seperti biasa. Tidak seperti Pepeng yang menghabiskan harinya di ruang roasting
dan menyeduh kopi, dan tidak seperti Avis yang menyelakan banyak waktunya
untuk menyeduh dan menyortir biji kopi agar menajdi specialty coffee versinya,
Evana menjalani harinya berkutat dengan kopi ketika ia sedang on bar saja. Lepas
dari itu ia jarang berkutat dengan kopi.

Evana: “Aku sih jarang ya kalo pergi-pergi ke coffee shop lain. Seringnya
sih aku pergi dan nongkrong di Starbuck lain. Satrbucks empire,
Starbucks jcm, gitu-gitu sih. Kalo ke tempat lain jarang, paling ke
epic kalo gak ke ruang seduh.”

Meskipun jarang berkunjung ke coffee shop lainnya, bukan berarti Evana


tidak mengikuti pergerakan serta perkembangan tentang kopi. Seringkali barista-
barista senior di Starbucks yang notabene merupakan orang-orang yang aktif di
dunia kopi memberikan informasi-informasi mengenai kopi apa yang baru datang,
darimana asalnya, hingga isu-isu kopi yang sedang beredar dan ramai dibicarakan.

Evana: “Aku gak terlalu update masalah isu-isu kopi kayak yang lagi
ramai di Jogja ya, tapi temen-temen barista lain yang emang aktif
di dunia kopi suka cerita sih. Sharing gitu, saling tukeran
informasi.”

69
Menjadi seorang barista ternyata tidak lantas menjadikan Evana sebagai
pribadi yang kecanduan kopi seperti kedua informan sebelumnya. Evana sampai
saat ini tidak juga menemukan perasaan yang terikat dengan kopi. Tidak setiap
hari dia harus minum kopi, meskipun dia bekerja sebagai seorang barista. Evana
masih menikmati kopi secara biasa-biasa saja seperti dulu sebelum ia menjadi
seorang barista. Untuk preferensi kopinya sendiri, Evana mengaku lebih suka kopi
manis. Kopi manis yang dimaksud bukan kopi hitam dengan sweet after taste
seperti Pepeng maupun Avis, namun manis versi Evana adalah latte. Preferensi
kopi Evana adalah espresso base yang dicampur dengan susu, dimana hal ini
sangat bertolak belakang dengan Pepeng yang sangat menolak kopi dicampur susu
maupun gula.

Evana: “Preferensi kopi…. Apa ya.. Aku sendiri gak terlalu suka kopi-kopi
hitam pour over gitu sih, soalnya menurutku itu terlalu strong.
Kalo buat preferensi sendiri aku lebih suka latte. […] Kopi item
aku minum juga sih, tapi cuma buat ngerasain rasa-rasanya aja.
Tapi kalo untuk minum full gitu enggak sih.
Evana tidak memiliki prinsip-prinsip ataupun idealisme dasar mengenai
kopi yang ia jual maupun ia minum. Berbeda dengan dua informan sebelumnya,
dimana mereka menjadi barista untuk café mereka sendiri, sehingga mereka
dengan bebas menganut idealisme maupun membuat prinsip-prinsip terhadap
warung mereka. Sedangkan Evana bekerja di coffee shop yang sudah memiliki
SOP dan receipe yang harus sesuai peraturan, sehingga Evana pun juga tidak bisa
memaksakan preferensinya ketika dia sedang on bar.

Menurut Evana, kopi cukup dinikmati saja dan tidak perlu menjadi
perdebatan hingga adu argumen mengenai preferensi kopi seperti apa yang enak
dan kopi apa yang mahal. Baginya, apa yang membuat kopi berbeda adalah
bagaimana prosesnya dan bagaimana cara mendapatkan beans itu sendiri. Seperti
halnya di Satbucks, menurutnya apa yang akhirnya membuat harga kopi di
Starbucks mahal adalah karena kopi-kopi yang mereka bawa semuanya adalah
olahan dari luar negeri dengan segala rentetan hingga masuk ke Indonesia dan
dijual dengan harga diatas rata-rata.

70
B. Pembahasan

Etnografi merupakan kegiatan riset yang harus dilakukan melalui


pendekatan yang alamiah.Studi etnografi melibatkan serangkaian metodologi dan
prosedur interpretasi yang menempatkan peneliti sebagai instrument dengan
observasi langsung terhadap informan.Jenis studi ini menuntut komitmen
menyeluruh pada kerja-kerja pemahaman. Peneliti etnografi menjadi bagian dari
situasi yang diteliti untuk merasakan bagaimana perasaan orang-orang dalam
situasi tersebut, peneliti etnografi menyatu pada realitas orang-orang secara
sungguh-sungguh.
Dalam model metode etnografi, peneliti menemukan pemaknaan-
pemaknaan dan penyampaian kembali makna tersebut sebagai aktualisasi dan
representasi diri terhadap identitas informan, dalam penelitian ini adalah barista.
Sesuai dengan teori identitas oleh Henry dan Turner dan didukung dengan teori
habitus oleh Bordieu, proses representasi memiliki penekanan di 5 hal, yaitu
barista dan kecenderungan empiris dalam bertindak, barista sebagai motivasi dan
preferensi, barista sebagai pandangan tentang dunia, barista sebagai keterampilan
dan kemampuan praktis, dan terakhir barista sebagai aspirasi dan harapan
berkaitan dengan perubahan hidupdan jenjang karier. Perbedaan kelima hal
tersebut bergantung kepada informan sebagai seorang barista memaknai identitas
mereka dan kemudian merepresentasikan identitas tersebut kepada lingkungan
mereka dengan cara mereka masing-masing. Pemaknaan dan proses produksi
pesan yang berbentuk representasi masing-masing informan melibatkan
lingkungan sosial yang berada di sekitar informan. Dalam penelitian ini, bentuk
representasi berdasarkan kepada habitus informan, pola perilaku dalam bermedia
sosial, dan produksi pesan yang dilakukan oleh masing-masing informan.

1. Barista dan Kecenderungan Empiris dalam Bertindak


Seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, barista bukan
hanya sekedar orang yang bertugas untuk membuat kopi. Lebih dari sekedar
penyeduh kopi, menjadi barista adalah seni, idealisme dan taste.Secara umum
barista dianggap sebagai orang yang lebih tau mengenai kopi dan orang yang

71
diyakini bisa membuat kopi dengan enak, entah kopi yang berbasis espresso
ataupun manual brewing.Sebagai seorang barista, masing-masing informan
memiliki kebiasaan dan identitas yang sangat berbeda satu sama lain. Atribut
yang mereka kenakan ketika di bar, perilaku mereka ketika bersosial media,
bagaimana masing-masing informan memperlakukan kopi, bagaimana
pandangan mereka mengenai kopi, memiliki perbedaan yang sangat khas di
masing-masing informan. Namun semua perbedaan tersebut tidak menutup
kemungkinan adanya persamaan perilaku atau pandangan di dalam
menanggapi suatu hal.
Barista juga merupakan orang biasa yang berkegiatan sehari-hari
seperti layaknya mereka diluar sana yang bukan merupakan seorang barista.
Pada bagian ini peneliti akan membahas mengenai aktualisasi diri masing-
masing informan dalam kegiatan sehari-hari mereka, maka peneliti akan
memaparkan apa saja kegiatan masing-masing informan sehari-hari,
bagiamana intensitas komunikasi mereka terhadap orang-orang di dunia
perkopian, bagaimana mereka berkomunikasi dengan sesama barista,
berkomunikasi dengan pelanggan, dan bagaimana mereka berkomunikasi
dengan orang awam, bagimana penilaian informan terhadap profesi mereka
sebagai barista/brewer, serta apakah motif mereka terjun ke dalam profesi
mereka sekarang. Perilaku-perilaku tersebut menjadikan bukti empiris
bagaimana lifestyle dan habitus dari informan sebagai seorang barista.

a. Simbol-simbol dan atribut


Kecenderungan empiris yang pertama adalah atribut yang dipakai
ketika masing-masing informan berada di bar. Atribut merupakan hal yang
seharusnya digunakan ketika seseorang melakukan profesinya.Atribut
dapat berbentuk banyak hal.Sebagai contoh adalah seorang dokter yang
memiliki atribut jas putih, stetoskop, bolpoin dan cenderung selalu
berpenampilan bersih dan rapi. Hal ini dilakukan agar identitasnya sebagai
dokter jelas dan cukup dengan menggunakan atribut tersebut orang dengan
mudah mengenali jika dia adalah seorang dokter.Sama halnya dengan
dokter, barista juga memiliki beberapa atribut yang menunjukkan jika

72
seseorang adalah seorang barista.Atribut dari seorang barista biasanya
berupa apron, alat-alat brewing, dan seragam yang biasanya menjadi
identitas sebuah coffee shop.

Gambar 8 Atribut Pepeng ketika di bar

Gambar 9 Atribut Avis ketika di bar

73
Sebagai barista sekaligus owner dari coffee shop, Pepeng dan Avis
tidak memiliki seragam khusus untuk menunjukkan identitas coffee shop
mereka. Namun dari keseharian mereka ketika on bar, baik Avis maupun
Pepeng sama sama selalu menggunakan kaos dan celana santai layaknya
atribut yang ia kenakan ketika menjalani kegiatan mereka sehari-hari.

Gambar 10 Atribut Evana ketika di bar

Berbeda dengan Avis dan Pepeng yang memiliki otoritas terhadap


coffee shop mereka, Evana memiliki SOP yang harus ia patuhi dari
Starbucks. Starbucks memiliki standar seragam bagi pegawainya yaitu
mengenakan pakaian polos dan berwarna hitam.Atribut lainnya selain
seragam adalah apron. Dalam hal ini, ketiga informan memiliki habit yang
berbeda, Pepeng dan Evana selalu, bahkan wajib mengenakan apron,
sedangkan Avis tidak selalu mengenakan apron ketika di bar. Hal ini
dilakukan Pepeng dan Evana untuk tetap menjaga kerbersihan dari
masing-masing barista, sehingga terkesan jika mereka selalu menjaga

74
kebersihan, sedangkan Avis lebih memilih menggunakan beberapa lap
kain yang selalu tersedia di bar. Masing-masing dari informan juga
melepas apron mereka ketika break ataupun jika mereka tidak sedang
dibalik bar untuk membuat kopi. Hal semacam ini menjadi standar bagi
barista, meskipun bukan standar resmi yang tertulis, karena membicarakan
atribut barista, tidak ada simbol-simbol resmi yang tertulis. Lebih jauh
lagi, atribut ataupun simbol tersebut dapat dikatakan adalah kesepakatan
bersama, bahkan kesepakatan insternasional.
Membicarakan barista pasti tidak lepas dari peralatan tempur
mereka. Masing-masing informan memiliki alat tempur yang berbeda.
Layaknya dokter yang memiliki stetoskop dan jarum suntik sebagai atribut
mereka, dan guru memiliki papan tulis dan spidol sebagai symbol
representasi mereka, ketiga informan juga memiliki alat perang mereka
masing-masing.

Gambar 11 Alat seduh di Klinik Kopi

Pepeng di Klinik Kopi memiliki V60 yang menjadi andalannya.


Setiap kali menyajikan kopi untuk pengunjungnya, Pepeng hampir selalu

75
menggunakan V60. Menggunakan V60 bukan karena Pepeng lantas tidak
memiliki alat lainnya, namun lebih kepada karena V60 merupakan
preferensi Pepeng sebagai pembuat kopi, dengan alasan dengan
menggunakan V60 rasa dari kopi yang ia seduh cenderung mampu
mengeluarkan rasa yang sesuai dengan keinginan Pepeng, tentunya dengan
suhu, temperature, dll yang sudah disesuaikan dengan preferensinya pula.
Sedangkan di Darat, Avis memiliki serentetan alat-alat dan semuanya
manual, yang siap digunakan kapanpun ia ingin menggunakannya.

Gambar 12 Alat seduh di Darat

Berbeda dengan Pepeng yang selalu menggunakan V60, Avis


mengeksplor semua alat-alat yang ia miliki. Alat yang digunakan Avis
untuk menyeduh sangat bergantung kepada beans apa yang akan ia
seduhkan. Menurut Avis, masing-masing alat memiliki fungsi dan
kecenderungan masing-masing. Sebagai contoh adalah misalkan
aeropress. Aeropress merupakan alat yang dibuat untuk cenderung
mengeluarkan aroma dari biji kopi. Maka dari itu Avis menggunakan
aeropress untuk menyeduh beans yang memiliki aroma yang wangi dan
kuat. Contoh lainnya adalah V60. V60 ia gunakan untuk menyeduhkan
kopi yang memiliki rasa-rasa yang unik dan kuat, karena lebih mudah

76
mengeluarkan rasa dari beans ketika ia menggunakan V60. Begitu pula
dengan serentetan alat lainnya.

Gambar 13 Alat di Starbucks

Disaat kedua informan berkutan dengan alat-alat manual, Evana


sedikit berbeda, karena alat-alat yang ia gunakan adalah mesin. Di awal
ketika ia baru menjalani training, ia masih menggunakan mesin espresso
yang masih menggunakan tapping. Namun kini, ia menggunakan mesin
espresso otomatis untuk keperluan on bar hingga sekarang.

b. Interaksi dengan sesama barista

Pesatnya perkembangan kopi dan banyaknya coffee shop yang


berdiri di Jogja membuat Jogja melahirkan begitu banyak barista.Ketiga
informan yang merupakan barista dari tiga coffee shop yang berbeda tentu
memiliki banyak relasi dengan rekan sesama barista.Namun interaksi
diantara ketiganya memiliki perbedaan yang sangat mencolok.Masing-

77
masing informan memiliki kecenderungan yang berbeda dalam
membentuk pola relasi dengan rekan sesama barista.
Pepeng, sebagai seorang barista dan roaster, dalam pola
interaksinya dengan barista lain dapat dikatakan sangat minim. Hal ini
didukung dengan waktu sehari-harinya yang habis untuk melakukan
roasting beans dan seringnya ia melakukan perjalanan luar kota bahkan
luar pulau untuk mengunjungi langsung daerah-daerah penghasil kopi dan
menemui petaninya sekaligus. Jadi, jika dapat disimpulkan, interaksi
Pepeng lebih banyak dihabiskan dengan mesin roasting dan dengan para
petani di daerah perkebunan kopi.Namun, dengan kesibukannya yang
demikian bukan berarti Pepeng tidak berinteraksi dengan barista-barista di
Jogja lainnya.Pepeng sesekali tetap berkunjung ke coffee shop lainnya,
meskipun dapat dikatakan sangat jarang.Sesekali Pepeng juga mendatangi
undangan pembukaan coffee shop baru milik rekannya.Ketika ia sedang
berkumpul atau mengobrol dengan rekan sesama barista, Pepeng lebih
sering membicarakan tentang kopi, dan jika membicarakan diluar topic
tentang kopi pun bukan hal-hal pribadi, hanya kejadian-kejadian atau hal-
hal yang biasa saja.
Pepeng lebih banyak mengenal barista-barista coffee shop laindari
banyaknya barista dari berbagai coffee shop yang berkunjung ke Klinik
Kopi, berkenalan, mengenalkan coffee shop miliknya dan tak lupa juga
turut mengajak Pepeng untuk mampir ke coffee shop miliknya ataupun
sekedar tempat bekerja.Barista-barista lain yang dengan senang hati datang
berkunjung ke Klinik Kopi untuk memperkenalkan diri merupakan suatu
bentuk keberhasilan Pepeng membentuk dan merepresentasikan
identitasnya sebagai seorang barista Klinik Kopi. Tanpa memperkenalkan
diri pun, orang lain sudah bisa mengenalinya.
Sedikit berbeda dengan Pepeng, Avis lebih aktif di pergaulan serta
interaksi antar barista. Avis mulai dikenal ketika ia mendirikan Darat,
dengan kopi tubruknya yang pada akhirnya menuai banyak cercaan serta
hinaan dari berbagai macam orang. Kejadian tersebut yang memicu Avis

78
untuk mengetahui lebih banyak tentang bagaimana cara membuat kopi
yang enak dan dia juga mulai menjalin relasi dengan berbagai macam
master coffee dari kalangan manapun.
Interaksinya tak berhenti sampai disitu saja, Avis juga seringkali
berkunjung ke coffee shop lain atau nongkrong bersama barista maupun
penikmat kopi. Interaksi diantara Avis dan rekan sesama baristanya lebih
kepada bagaimana perkembangan mengenai kopi, dan tak jarang obrolan
berat dan serius muncul ditengah candaan.Perbedaan ideologi, perbedaan
pandangan, perbedaan pemaknaan terhadap kopi seringkali menjadi salah
satu topik yang muncul di obrolan mereka.Avis dengan idealismenya
tentang specialty coffee ditengah dunia kopi Jogja yang gencar gerakan
“ngopi murah” membuat namanya cukup sering diperbincangkan,
sehingga banyak barista maupun penikmat kopi datang ke coffee shop nya
dan menyerbu Avis dengan segala macam pertanyaan. Avis
merepresentasikan dirinya dengan cara yang berbeda, dengan melawan
arus, dan dengan pandangan yang tidak biasa.
Jauh berbeda dengan Pepeng dan Avis yang terbilang cukup dekat
menjalin interaksi dengan barista dari coffee shop lain, Evana hanya
mengenal dan menjalin interaksi dengan sesama barista Starbucks saja.
Evana sama sekali tidak pernah berinteraksi secara lebih dekat dengan
barista diluar Starbucks. Karena menurutnya, mengenal dan berinteraksi
dengan master coffee maupun barista di Starbucks sudah lebih dari cukup
untuknya mempelajari serta memenuhi rasa keingintahuannya tentang
kopi. Terlebih Evana tidak memiliki ketertarikan yang cukup besar
terhadap kopi, sehingga baginya interaksi tersebut tidak terlalu penting,
yang penting adalah bagaimana ia dapat dikenal dan melakukan interaksi
yang baik dengan para customernya.

79
c. Interaksi dengan customer

Di dalam sebuah usaha, customer merupakan komponen yang


sangat penting karena customer merupakan orang yang nantinya akan
menjadi pelanggan dan membeli produk yang dijual. Pelayanan terhadap
customer juga tidak kalah penting, karena bagaimana cara memperlakukan
pelanggan sangat mempengaruhi keputusan customer tersebut akan
kembali lagi atau tidak. Pasar yang berbeda juga mempengaruhi
bagaimana perlakuan terhadap customer. Dalam hal ini Pepeng, Avis dan
Evana memiliki tingkat perbedaan yang sangat mencolok.
Pepeng sebagai icon dari Klinik Kopi memiliki kecenderungan
untuk selalu menyapa pelanggannya dengan cerita, pengalaman serta video
miliknya. Menunjukkan dan memperkenalkan kopi kepada masyarakat
awam dan menjelaskan informasi lebih rinci kepada pelanggan-pelanggan
yang terlihat antusias ataupun yang sudah menjadi penikmat kopi. Cara
menyampaikan dan pola interaksi yang dilakukan Pepeng mampu
mengajak pelanggannya mau tidak mau menjatuhkan diri untuk menyimak
cerita mengenai asal usul kopi yang ia buat, bagaimana ia mendapatkannya
dan bagaimana kondisi alam di daerah perkebunannya serta hingga proses
dan menjadi biji kopi yang siap seduh, namun dengan kemasan yang tidak
membosankan. Secara bawah sadar, Pepeng juga membentuk pola antrean
yang dibuat terhadap pelanggannya yang ingin berninteraksi dengannya.
Pelanggan datang, mengantre, mendapatkan giliran, dibuatkan kopi dan
setelah itu secara otomatis pelanggan tersebut akan bergeser bergantian
dengan pelanggan selanjutnya.

80
Gambar 14 Interaksi Pepeng dengan pelanggan

Bar yang terbuka dan penyediaan kursi yang terbatas di bar


membentuk pola yang tanpa disadari menjadi peraturan tidak tertulis di
Klinik Kopi. Keadaan tersebut membuat batas informasi yang ia
sampaikan. Pelanggannya memiliki waktu untuk berinteraksi dan
menggali informasi apa saja secara bebas tanpa harus repot menyela
obrolan orang lain selama Pepeng menyeduhkan kopi, dengan durasi rata-
rata 10 menit. Karena, ketika kopi sudah siap dinikmati, secara otomatis
antrean akan bergeser dan Pepeng akan memberikan perhatiannya kepada
pelanggan selanjutnya. Hal seperti ini dilakukan untuk membatasi
informasi yang keluar dan masuk hanya sebatas kopi yang ia sedihkan
saja, dan menghindari percakapan berat mengenai pandangan dan aliran-
aliran kopi yang selalu hangat menjadi perdebatan. Karena Pepeng sendiri
tidak tahu dan cenderung tidak memikirkan hal demikian. Baginya,
Pepeng hanya peduli bagaimana cara membuat kopi yang enak.
Sedangkan Avis memiliki interaksi yang sedikit berbeda.
Berpegang dengan prinsip yang ia buat “Pelanggan adalah raja, tapi kami

81
adalah tuan rumah. Maka pelanggan adalah raja yang bertamu.” Prinsip
tersebut bermakna jika pelanggan bebas memilih dan bertanya apapun
tentang kopi kepada Avis, dan tidak terbatas meja bar seperti Pepeng, Avis
juga memberikan kebebasan pelanggan untuk membnongkar segala
macam hal yang berkaitan tentang kopi, baik secara umum maupun secara
pandangan dan idealisme Avis mengenai specialty coffee. Avis
memberikan kebebasan, namun tetap harus dengan cara yang sopan dan
tidak menjatuhkan.Seringkali pelanggan datang, dan meminta Avis untuk
membuatkan kopi dengan takaran seperti suhu, temperature, dll sesuai
dengan keinginan si pelanggan. Namun, Avis dengan tegas menolak
keinginan tersebut karena Avis sudah menemukan cara dan metode yang
pas untuk masing-masing kopi yang ia jual, sehingga ketika ia
menyesuaikan dengan keinginan pelanggannya, kopi yang ia buat tidak
lagi sempurna.

Gambar 15 Interaksi Avis dengan pelanggan di meja bar

Hal seperti demikian membuat seringkali pelanggan datang dan


membantai Avis dengan segudang pertanyaan seputar kopi secara bertubi-
tubi. Namun karena sebelumnya Avis sudah membaca berbagai macam
jurnal yang dibarengi dengan benar-benar melakukan riset, Avis dengan
santai menjawab segala bentuk pertanyaan yang tak jarang menimbulkan

82
perdebatan yang panjang.Namun tidak semua pelanggan bertingkah seperti
itu. Ada juga pelanggan yang terkadang juga merupakan barista dari coffee
shop lain berkunjung dan juga membicarakan tentang kopi dengan lebih
santai. Interaksi yang dilakukan Avis dengan pelanggannya tidak hanya
berbatas ketika sedang di Darat. Di luar Darat pun ketika ada yang ingin
bertanya maupun sharing, Avis dengan senang hati akan menjawab dan
tak jarang Avis bertukar kontak maupun akun media sosial.

Gambar 16 Interaksi Evana dan pelanggan Starbucks

Jauh berbeda dengan Pepeng dan Avis, Evana melakukan interaksi


sedikit lebih terbatas terhadap customer Starbucks. Di Starbucks, terdapat
sebutan khusus bagi pelanggan setia atau yang sering mereka sebut dengan
daily customer. Secara langsung barista baru akan diperkenalkan dengan
daily customer tersebut sehingga interaksi yang terbentuk terhadap
customer sangat terbatas. Interaksi yang lainyang mungkin dilakukan
hanya sampai pada tahap bertanya atau menjelaskan menu-menu yang
belum dimenegrti oleh customer. Jauh dari itu, sangat kecil kemungkinan

83
terbentuk interaksi intim yang bisa membuak percakapan mengenai kopi
yang disajikan. Interaksi yang lebih yang terjadi adalah karena barista
yang sudah mengenal daily customer mereka, lalu bertuka kontak dan
mereka melakukan interaksi secara lebih pribadi, tak jarang hingga
menjadi teman main dan teman dekat, dengan cara nongkrong bareng atau
melakukan aktifitas lainnya. Namun hal tersebut mungkin terjadi kepada
daily customer. Seperti Evana yang mengaku kenal beberapa daily
customer di Starbucks yang akhirnya menjadi teman main dan teman
baiknya hingga sekarang. Sehingga tak jarang daily customer tersebut
tidak mau berkunjung ketika buka Evana yang sedang shift. Interaksi yang
terjadi antara Evana dan beberapa customer jarang membicarakan tentang
kopi, karena pada dasarnya Evana bukan merupakan orang yang memiliki
basic ketertarikan di dunia kopi.

d. Perilaku di social media

Media sosial merupakan salah satu wadah yang paling menarik


untuk mengamati pola perilaku seseorang. Apa yang orang perlihatkan,
apa yang orang ikuti, apa yang orang komentari. Semua hal yang terlihat
di media sosial dapat menjelaskan bagaimana ia ingin dipandang, dan
seperti apa ketertarikan seseorang terhadap suatu hal, meskipun tidak
sepenuhnya benar atau sama di dunia nyata. Dalam hal ini, para informan
penelitian memiliki pola bermedia sosial yang berbeda-beda. Bagaimana
informan menggunakan media sosial, apa saja yang informan unggah di
media sosial dan apa saja yang mereka lakukan di dalam media sosial
memiliki perbedaan yang cukup mencolok.

84
Gambar 17 Akun instagram Klinik kopi

Pepeng tidak memiliki akun media sosial pribadi. Akun media


sosialnya jadi satu dengan akun Klinik Kopi. Beberapa akun media sosial
miliknya adalah instagram, twitter, website resmi dan laman blog pribadi
milik Pepeng. Diantara keempat akun tersebut, hanya instagram, twitter
dan website yang masih aktif dengan postingan terbaru, meskipun isi akun
twitter Klinik Kopi hanya merupakan postingan sambungan dari instagram
saja. Sedangkan untuk blog terakhir kali diperbarui November 2015,
setelah itu sudah tidak ada postingan terbaru lagi. Untuk akun instagram,
Pepeng memegang dan mengoperasikan langsung, sedangkan untuk
website Klinik Kopi dipegang oleh asistennya.
Akun instagram Klinik Kopi yang memiliki pengikut lebih dari dua
puluh ribu orang ini memiliki konten yang bisa dikatakan hampir
semuanya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan kopi. Jarang sekali

85
menemukan konten lain selain aktifitas Pepeng dengan kopi. Pepeng tidak
hanya mengunggah foto saja, melainkan seringkali Pepeng juga
mengunggah video-video yang berisi cuplikan perjalanannya ke daerah-
daerah dan ketika ia berinteraksi dengan petani di daerah. Selain itu sering
pula Pepeng mengunggah video-video yang berisikan aktifitasnya dengan
kopi. Sedangkan foto-foto yang diposting biasanya beraneka ragam dan
tidak memiliki ketentuan foto apa yang harus diunggah setiap harinya.
Biasanya foto yang diunggah adalah foto kopi, foto pelanggan Klinik
Kopi, foto roasting dan beans, foto perkebunan kopi, dan beberapa sisanya
video dan foto diri Pepeng bersama rekan-rekannya.

Gambar 18 Salah satu postingan akun Klinik Kopi

Akun instagram Klinik Kopi juga berisikan sangat banyak


informasi di setiap caption di setiap postingan yang diunggah. Informasi
tersebut bisa berupa profil kopi, cerita tentang asal-usul kopi dan petani
jika ada beans baru yang datang, terkadang berisikan informasi mengenai

86
profil roasting, dan tak jarang pula informasi jika Klinik Kopi harus close
bar ketika Pepeng ada keperluan lain diluar Klinik Kopi.
Klinik kopi juga aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
datang di kolom komentar. Hal ini merupakan salah satu bentuk interaksi
Pepeng juga dengan para pelanggan maupun yang bukan pelanggan.
Pertanyaan yang sekiranya relevan dan tidak menyinggung akan dibalas,
terkadang dengan sedikit bumbu candaan agar terkesan santai dan cair.
Mudahnya, ketika orang awam ingin mencari tahu siapa Peppeng, apa itu
Klinik Kopi, bagaimana Klinik Kopi, dan kopi apa saja yang tersedia di
Klinik Kopi, mereka cukup membuka akun instagram Klinik Kopi dan
semua pertanyaan mereka akan terjawab, tentunya dengan kesabaran
karena Klinik Kopi telah megunggah lebih dari dua ribu postingan foto
dan video.
Selain instagram, Klinik Kopi juga memiliki website yang masih
cukup aktif, meskipun tidak terlalu update seperti akun instagramnya.
Website tersebut memuat banyak informasi, termasuk akses langsung
terhadap pemesanan biji roasting dari Klinik Kopi. Di dalam website
tersebut juga terdapat blog yang berisikan tentang cerita petani, profil
roasting secara lengkap, penjelasan-penjelasan mengenai suhu air,
tempertature mengapa hal tersebut penting dalam membuat kopi, dan hal-
hal lain yang sangat informative. Namun sayangnya website tersebut
masih jarang diperbarui, mengingat postingan terakhir hingga tulisan ini
dibuat adalah Januari 2016.
Pepeng cukup berhasil membentuk image dirinya dari akun sosial
media miliknya, meskipun bukan atas nama pribadi. Namun tanpa
menjelaskan jika itu merupakan akun miliknya pun, orang sudah tahu jika
akun tersebut milik Pepeng dan berhasil menunjukkan ke orang-orang
siapa Pepeng dan bagaimana serta apa saja aktifitasnya dari cerita dan
caption disetiap postingan yang diunggah Klinik Kopi.

87
Gambar 19 Akun instagram Avis

Jika Pepeng tidak memiliki akun pribadi karena menjadi satu


bersama Klinik Kopi, Avis sedikit berbeda, karena Avis memiliki akun
pribadi miliknya, meskipun dia juga memegang akun milik Darat. Akun
pribadi yang dimiliki Avis yang paling aktif hingga saat ini adalah
Instagram. Di dalam akun instagram pribadinya, Avis mengikuti banyak
akun-akun kopi. Konten dari akun miliknya bisa dikatakan hampir
semuanya tentang kopi. Tidak seperti Pepeng yang memaparkan banyak
informasi di dalam caption sebuah postingan, Avis tidak menuliskan
banyak informasi di dalam setiap foto yang ia unggah. Namun Avis
seringkali turut memberikan tag ke akun Darat di postingannya, dimana
maksud dari memberikan tag tersebut adalah agar followers penasaran dan
membuka akun Darat coffee shop yang memuat informasi lebih banyak

88
seperti milik Klinik Kopi. Foto yang paling sering diunggah oleh Avis di
akun pribadinyaadalah foto beans baru yang sedang disortir. Hal ini
menunjukkan kebanggaannya terhadap biji kopi specialty yang selama ini
menjadi prinsipnya di dalam dunia kopi.

Gambar 20 Salah satu postingan Avis

Avis menggunakan akun pribadinya untuk berinteraksi dengan


teman-temannya dari dunia kopi maupun bukan. Lebih lanjut, ia
menggunakan akun pribadinya jika ia ingin menanyakan suatu hal ataupun
meninggalkan komentar di akun-akun kopi, yang tidak mungkin ia
lakukan dengan akun resmi Darat. Dapat dikatakan akun pribadinya
merupakan perpanjangan tangan dari akun Darat untuk kepentingan yang
lebih pribadi atau bukan untuk urusan bisnis.Tidak banyak informasi yang
termuat di dalam akun pribadi Avis.Namun ketika orang membuka akun

89
miliknya, orang tersebut tau jika Avis pastilah seorang barista, karena
banyak foto yang menunjukkan aktifitasnya bersama kopi.

Gambar 21 Akun Instagram Evana

Berbeda dengan Pepeng dan Avis yang hanya aktif di Instagram,


Evana sangat aktif di dunia instagram dan path. Konten dari akun pribadi
milik Evana juga sangat jauh berbeda dengan dua informan sebelumnya.
Akun milik Evana berisikan foto-foto pribadinya. Beberapa kali Evana
mengunggah foto kopi dan aktifitasnya ketika menjalankan tugas di
Starbucks. Beberapa kali juga ia mengunggah aktifitasnya ketika sedang
berkunjung ke coffee shop lain. Tidak banyak informasi mengenai kopi
yang bisa di dapat ketika orang mmebuka akun pribadi milknya, namun
orang akan langsung mengetahui jika Evana adalah seorang barista, karena

90
ia dengan jelas menuliskan bahwa dirinya adalah seorang barista di kolom
bio pada akun miliknya.
Jika dilihat dari perilaku bersosial media, kedua informan yaitu
Avis dan Pepeng memiliki kesamaan di dalam konten yang mereka
unggah yaitu segala hal mengenai kopi, biji, profil kopi dan segala detail
mengenai kopi yang ada di coffee shop mereka. Sedangkan berbeda
dengan kedua informan diatas, Evana memiliki habitus yang berbeda di
dalam media sosialnya yang cenderung lebih banyak mengunggah foto
dirinya atau fotonya bersama rekan-rekan baristanya ketika sedang
bekerja.

2. Barista sebagai Motivasi dan Preferensi

Masing-masing informan memiliki kecenderungan yang berbeda-beda


mengenai preferensi kopi yang mereka suka dan motivasi mereka dalam
menikmati kopi. Seperti yang sudah banyak dibahas sebelumnya, bahwa kopi
memiliki rasa-rasa yang unik berdasarkan ketinggian, daerah, kelembaban dan
lain sebagainya yang mempengaruhi rasa dari biji kopi, dan setiap individu
memiliki motivasi yang berbeda pula dalam menikmati kopi dari preferensi
masing-masing individu.Motivasi dan preferensi bukanlah hal yang dapat
digeneralisasikan, karena hal tersebut merupakan bagaimana seseorang memaknai
dan merasakan cita rasa kopi yang ada.
Preferensi yang akan dibicarakan pada sub bab ini lebih kepada bagaimana
informan memaknai keanekaragaman dan citarasa dari amsing-masing kopi dari
berbagai daerah yang tentunya masing-masing daerah tersebut memiliki citarasa
dan cirri khas yang tentu berbeda. Dipengaruhi pula dengan perbedaan kondisi
lingkungan, ketinggian, metode tanam, metode petik, bahkan sampai tumbuhan di
sekitar perkebunan juga ikut mempengaruhi citarasa dari biji kopi.Maka dari
banyaknya faktor tersebut, ditambah dengan lingkungan di sekitar informan yang
akhirnya mmebentuk preferensi tersendiri tentang kopi.Sedangkan motivasi lebih
kepada bagaimana informan memaknai profesinya sebagai barista sehingga

91
membentuk sebuah motivasi yang nantinya membentuk pandangan mereka
mengenai kopi kedepan.
Pepeng disini memiliki kecenderungan menyukai kopi dengan rasa manis
dan light, sehingga menurutnya pengunjung yang abru saja datang dan tidak suka
dengan kopi pahit masih bisa menikmati kopi buatan Pepeng.Karena baginya kopi
seharusnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Kebanyakan orang yang tidak suka
dengan kopi karena kopi memiliki rasa yang pahit, karena hal itulah Pepeng
mencari cara bagaimana supaya orang yang datang ke tempatnya, yang awalnya
tidak menyukai kopi bisa mengubah pandangan mereka bahwa kopi itu selalu
pahit. Disini Pepeng menemukan cara agar kopi tersebut bisa manis dengan
metode yang ia buat serta di dukung dengan roasting biji secara light supaya kopi
yang nantinya.
Avis, lebih kerap menghabiskan waktunya untuk menyortir biji terbaik
dari beans yang baru ia dapat. Alasannya sangat sederhana, Avis ingin
menyajikan rasa kopi terbaik bagi pelanggannya. Karena menurutnya, beans yang
telah disortir dengan beans yang belum disortir ketika di roasting memiliki
perbedaan rasa yang keluar. Menurutnya, melakukan penyortiran merupakan hal
yang sangat penting untuk menjaga kualitas kopi yang mereka jual.Untuk ukuran
coffee shop yang mengusung metode manual brewing saja, harga yang dibanderol
di coffee shop miliknya relatif lebih mahal dari coffee shop sejenis lainnya.
Avis menyadari harga yang mereka banderol memang lebih mahal dari
lainnya, namun dengan harga seperti itu ia berani menjamin rasa kopi yang ia
seduhkan. Avis memang memiliki idealisme tersendiri terhadap kopi, yaitu
specialty coffee. Disaat banyak coffee shop diluar sana mengusung kopi dari
daerah Indonesia dengan harga murah, Avis mendobrak pemikiran tersebut
dengan mengenalkan kopi-kopi luar dengan harga yang bisa dibilang cenderung
lebih mahal.
Untuk selera kopi yang ia jual, Darat lebih cenderung ke kopi-kopi yang
sifatnya light dan memiliki after taste yang clean serta cenderung mengeluarkan
rasa buah, lebih tepatnya berry. Avis menganggap bahwa kopi itu buah, sehingga
orang seharusnya bisa memahami rasa kopi yang asam, manis, pahit, dan rasa-rasa

92
lainnya. Hal ini merupakan kecenderungan empiris dari Avis untuk
memperlakukan kopi.Karena menurutnya, barista yang handal adalah barista yang
memiliki makna terhadap kopi, bukan hanya sekedar kopi untuk diminum, namun
memiliki makna yang lebih jauh terhadap segelas kopi.
Menurutnya sendiri, barista seharusnya merupakan bayangan dari seorang
roaster.Maksudnya adalah seorang barista seharusnya memiliki pengetahuan
tentang biji apa yang ia dapat, darimana biji itu berasal, bagaimana prosesnya,
siapa roasternya, apakah bayangan yang diinginkan roaster ketika memproses
beans tersebut. Karena jika seorang barista tidak memiliki pengetahuan tentang itu
semua, Avis menganggap bahwa seorang tersebut bukan seorang barista.
Sangat berbeda dengan Avis dan Pepeng yang cenderung ke kopi-kopi
manual, Evanna lebih cenderung menyukai kopi yang berbasis latte. Alasannya
karena Evanna tidak begitu suka dengan kopi hitam, maka dari itu ia lebih
menyukai kopi yang dicampur dengan susu. Hal ini ia akui karena pada dasarnya
Evanna tidak begitu menyukai kopi dan menjadikan kopi sebagai aktifitas dan
gaya hidup saja ketika sedang berkumpul bersama teman-temannya. Sehingga
dapat disimpulkan jika motivasinya sendiri untuk minum kopi bukan karena ia
suka kopi, namun lebih kepada untuk eksistensinya dengan tren minum kopi,
khusunya di Starbucks tempatnya bekerja.

3. Barista Sebagai Suatu Pandangan Tentang Dunia (Kosmologi)

Kopi telah membawa perkembangan yang cukup besar bagi kehidupan dan
tren masyarakat. Contoh paling nyata adalah banyaknya kafe yang berdiri hingga
menjamur sampai banyaknya orang yang berlomba-lomba untuk menjadi barista
yang handal. Naiknya value dari seorang barista pada saat ini mendorong orang-
orang untuk belajar dan banyak melakukan eksplor terhadap kopi untuk
menunjukkan itikad mereka sebagai seorang barista. Seorang abrista sendiri tidak
semata-mata orang yang hanya membuat kopi saja, jauh daripada itu, barista
dituntut untuk memiliki pengetahuan dan pandangan lebih terhadap dunia kopi.
Bahwa kopi bukan hanya biji, roasting, dan brewing kemudian menjadi segelas

93
kopi untuk diseduh, namun jauh dari itu, barista harus memiliki pandangan
mengenai latar belakang dan lingkungan dari kopi yang ia sajikan.
Dari sudut pandang ini kedua informan yaitu Avis dan Pepeng sebagai
seorang barista memiliki kesimpulan dan pola pikir yang sama, yaitu menganggap
jika peran paling besar di dalam kopi yang enak adalah dari petani. Sedangkan
Evana, tidak mengetahui tentang konsep tersebut. Baginya ia hanya mengerti
mana kopi yang enak dan tidak enak. Menurutnya pula, ia percaya jika harga dan
rasa adalah hal yang berbanding lurus. Ia mengatakan jika ingin kopi enak, orang
ahrus rela membayar dengan harga yang mahal, karena kopi yang mahal
sebanding dengan harga yang akan ia dapat.
Kedua informan yaitu Avis dan Peppeng sama-sama sepakat jika petani
memegang peran paling tinggi karena petani adalah sumber dari awal pemetikkan
biji kopi. Ketika petani memetik kopi biji merah, kopi yang dipetik merupakan
kopi yang sudah matang, sehingga hal tersebut akan berpengaruh ketika biji kopi
diproses hingga nantinya masuk mesin roasting. Begitupula jika petani melakukan
kopi petik hijau, kualitas nya tidak sebagus jika biji tersebut petik merah, karena
biji yang masih hijau adalah biji yang belum matang sempurna.
Avis dan pepeng juga sepakat jika 30% peran dipegang oleh roaster.
Seperti kata avis ketika diwawancara, roaster berperan cukup besar karena jika
biji dari petani kurang baik, roaster adalah orang yang bisa menyelamatkan biji
kopi tersebut.Roaster akan mengerti bagaimana untuk mengolah biji tersebut
sehingga dapat memunculkan karakter serta rasa yang nantinya akan muncul
ketika biji tersebut diseduhkan. Konsep ini sebenanrnya bukan merupakan konsep
yang tertulis, namun lebih kepada konsep yang telah mendarah daging di dalam
dunia perkopian yang merupakan consensus bersama bagi orang-orang di dalam
dunia perkopian, Sehingga semua barista memiliki pandangan yang sama
mengenai presentase peran dari petani, roaster dan barista itu sendiri.
Sudah sering dibahas sebelumnya jika membuat atau menyeduh kopi
bukan merupakan hal yang mudah. Jika beans dari petani baik dan roastingan
bagus, namun seorang barista tidak menggunakan perasaan atau selera yang baik,
maka kopi yang diseduhkan tidak akan terasa nikmat. Disini skill dan feeling dari

94
seorang penyeduh kopi bekerja, yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
yang tidak mengetahhui seluk beluk ataupun asal usul kopi dan bagaimana cara
penyajian yang baik.
Seperti yang telah diketahui, kopi tidak hanya dari satu daerah atau negara
saja, melainkan kopi tersebar dari segala penjuru dunia dengan ciri khas dan
karakter masing-masing. Dengan kata lain, kopi membuka jalan bagi seorang
barista untuk mengenal lebih jauh tentang kondisi atau keadaan berbagai daerah di
penjuru dunia, karena kopi ditanam di berbagai daerah, dimana masing-masing
daerah tentu memilki kondisi dan struktur tanah yang sangat berbeda pula.
Lingkungan di sekitar perkebunan juga berbeda, tanaman yang ada di sekitar
perkebunan juga berbeda, sehingga mampu memberikan karakter yang berbeda
pula.
Perbedaan dari masing-masing daerah ini mau tidak mau seolah memaksa
barista untuk mengetahui dan membuka wawasan mereka untuk memahami dunia
luar meksipun mereka belum pernah mengunjungi berbagai daerah tersebut.
Disinilah kopi berperan bagi kedua informan untuk menambah pandangan mereka
mengenai dunia, jika perbedaan dataran, lingkungan dan keadaan tanah akan
berbeda pula hasil biji kopi dari daerah tersebut. Hal tersebut akan membuat
mereka mencari tahu dan mendapatkan banyak pengetahuan baru tentang dunia,
sehingga pengetahuan dan ilmu mereka tidak melulu mengenai perkembangan
kopi di nusantara, melainkan perkembangan kopi di dunia.

4. Barista sebagai keterampilan dan kemampuan praktis

Sebagai seorang barista, peneliti menemukan banyak hal mengenai


aktualisasi diri masing-masing informan dalam kegiatan sehari-hari mereka.
Seperti yang telah dibahas di bab sebelumnya, barista bukan perihal membuat
secangkir kopi dan menyajikannya kepada pelanggan. Lebih dari itu, barista
merupakan orang yang memiliki feel, taste dan chemistry terhadap kopi yang akan
mereka seduh.
Seorang barista dituntut untuk menyajikan kopi yang enak, meskipun
standard kopi yang enak berbeda-beda, namun selalu ada batas toleransi dalam

95
tingkat enak atau tidaknya rasa dari kopi. Untuk memenuhi standard tersebut,
barista juga harus memiliki kemampuan praktis dan keterampilan dalam
mengimprovisasikan biji kopi yang akan mereka buat. Sebagai contoh adalah
ketika biji kopi tersebut diroasting secara dark, makan si barista dituntut untuk
terampil dalam mengolah biji kopi tersebut agar tetap seimbang, sehingga ketika
diseduh rasa dari kopi tersebut tidak hanya dominan pahit saja. Disini talenta,
keterampilan dan pengetahuan mengenai profil roasting serta metode-metode
praktis dalam membuat kopi sangat diperlukan, untuk menyeimbangkan rasa kopi
yang akan diseduhkan.
Avis, lebih kerap menghabiskan waktunya untuk menyortir biji terbaik
dari beans yang baru ia dapat. Alasannya sangat sederhana, Avis ingin
menyajikan rasa kopi terbaik bagi pelanggannya. Karena menurutnya, beans yang
telah disortir dengan beans yang belum disortir ketika di roasting memiliki
perbedaan rasa yang keluar. Menurutnya, melakukan penyortiran merupakan hal
yang sangat penting untuk menjaga kualitas kopi yang mereka jual.Untuk ukuran
coffee shop yang mengusung metode manual brewing saja, harga yang dibanderol
di coffee shop miliknya relatif lebih mahal dari coffee shop sejenis lainnya.
Sama dengan Avis yang lebih percaya dengan kualitas beans yang ia
roasting sendiri, Pepeng juga memilih untuk menjadi roaster untuk Klinik
Kopinya sendiri, karena ia dengan leluasa dapat mengolah biji kopi sesuai dengan
preferensi rasa kopi miliknya. Pepeng tidak mengambil biji roasting dari luar,
karena menurutnya kebanyakan biji dari luar tidak bisa sesuai dengan preferensi
kopi di Klinik Kopi. Seperti yang ia katakana jika 30% kopi yang enak berada di
tangan roaster, sehingga ia mampu mengendalikan 30% dan 10% dari rasa kopi
yang nantinya akan ia seduhkan. Bedanya, jika Avis melakukan penyortiran
karena Avis fokus terhadap konsen specialty coffee, Pepeng tidak begitu peduli
dengan hal tersebut, yang penting adalah kopi yang ia buat adalah kopi yang
sesuai dengan preferensi dan kemampuannya untuk mengolah kopi tersebut
nantinya.
Diluar dari predikat lainnya, Menurutnya Avis barista seharusnya
merupakan bayangan dari seorang roaster. Maksudnya adalah seorang barista

96
seharusnya memiliki pengetahuan tentang biji apa yang ia dapat, darimana biji itu
berasal, bagaimana prosesnya, siapa roasternya, apakah bayangan yang
diinginkan roaster ketika memproses beans tersebut. Karena jika seorang barista
tidak memiliki pengetahuan tentang itu semua, Avis menganggap bahwa seorang
tersebut bukan seorang barista. Kalimat dari Avis tadi seolah diamini oleh Pepeng
yang mengatakan hal yang memiliki makna yang sama. Pepeng juga menganggap
jika seorang barista seharusnya mengerti asal-usul biji yang akan mereka
seduhkan, tidak serta merta menyeduhkan kopi saja, namun lebih jauh lagi, barista
harus paham betul mengenai kopi yang mereka seduh.
Berbeda dengan Avis dan Pepeng, perbedaan yang cukup mencolok terjadi
pada Evana. Kemampuan praktis yang diharuskan ada ketika ia on bar adalah
kemampuan multitasking, sehingga ia dituntut untuk memiliki kecekatan dan
tingat pergerakan yang cepat. Melihat Starbucks tempatnya bekerja memiliki
tingkat perubahan pengunjung yang sangat cepat dan relative banyak, sehingga
kemampuan praktir yang harus dimiliki barista adalah kemampuan untuk
membuat kopi secepatnya dengan kualitas rasa yang sama. Hal ini sangat
memungkinkan mengingat jika semuanya telah diatur oleh mesin, sehingga barista
di Starbucks dituntut untuk semua serba cepat dan tepat.
Disini, kemampuan praktis masing-masing barista dinilai sangat
bergantung terhadap konsumen dan pasar dari coffee shop. Seperti halnya Darat,
dimana mayoritas orang yang datang adalah seorang “pendekar” yang seringkali
menanyakan hal-hal praktis dan mendetail, sehingga Avis sebagai barista di Darat
dituntut untuk paham betul seluk beluk metode, alat, biji dan rasa yang dihasilkan.
Tidak sampai disitu juga, Avis dituntut untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telah ia buat berdasarkan idealisme specialty coffee dan third wave coffee yang
dengan lantang ia deklarasikan sebagai paham yang dianut oleh Darat. Karena
paham yang dianut oleh Darat termasuk paham yang jarang dan merupakan
tindakan yang berani, sehingga seringkali mendorong para “pendekar” datang ke
Darat dan menguji seberapa jauh Avis memahami apa yang ia deklarasikan
sebagai aliran third wave dan specialty coffee. Tak jarang pula orang datang
sebagai orang yang pura-pura tidak tahu mengenai kopi dan menanyakan hal-hal

97
umum mengenai kopi. Hal semacam ini merupakan makanan sehari-hari bagi
Avis ketika on bar di Darat. Meskipun tidak setiap hari pengunjung yang datang
seperti itu, namun pasti ada setiap harinya. Kejadian-kejadian seperti ini dijadikan
tamparan bagi Avis untuk mengulik dan mencari tahu serta meningkatkan
kemampuannya dalam hal-hal detail, agar ia konsisten dengan apa yang ia
katakana. Terlebih, Avis dengan senang hati dan terbuka untuk melayani
tangkisan demi tangkisan serta rentetan pertanyaan, maupun perdebatan mengenai
kopi dengan pelanggannya. Avis meyakini jika apa yang ia buat dianggap sudah
mengikuti metode dan uji coba yang paling pas, terlebih semua yang ia buat
bukan semata mata dibuat dengan mata tertutup, lebih dari itu ia sudah berkali-
kali mencoba untuk rasa dengan hasil terbaik. Karena itu pula, Avis dan kakaknya
selalu melakukan cupping dan penyortiran agar rasa yang dihasilkan merupakan
rasa terbaik yang sesuai dengan uang yang pelanggan keluarkan untuk menikmati
secangir kopi di Darat.
Berbeda dengan Avis dan Darat, Klinik kopi memiliki pasar yang berbeda.
Kebanyakan orang yang datang ke Klinik kopi ingin bersantai, belajar tentang
kopi, menjalin interaksi dengan sesama pengunjung sampai orang yang benar-
benar tidak suka dengan kopi. Meskipun sebagai seorang barista memang
seharusnya memiliki kemampuan praktis, namun kemampuan praktis yang
dikuasai Pepeng berbeda. Pepeng memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
pelanggan dengan baik. Pelanggan yang tidak suka kopi, lantas diajak diskusi
dengan Pepeng, lalu diceritakan bagaimana profil kopi tersebut, lalu dibuatkan
dan diminta untuk mencicipi. Preferensi kopi di Klinik Kopi yang cenderung
sweet akan mudah diterima oleh pengunjung yang awalnya tidak suka dengan
kopi. Kemampuan lain yang dimiliki Pepeng adalah bagaimana mengolah kopi
tersebut agar tidak terlalu pahit dan bagaimana agar rasa dari kopi yang ia buat
dapat diterima dengan peminum pemula, sehingga tidak menimbulkan trauma
dengan stigma bahwa kopi itu selalu pahit. Meskipun gemar bercerita dan berbagi
ilmu, interaksi yang dilakukan oleh Pepeng bisa dikatakan satu arah. Tidak seperti
Avis yang melayani serbuan dari pada “pendekar”, Pepeng selalu memutus
perbincangan yang terlihat akan menimbulkan perdebatan mengenai perbedaan

98
paham maupun idealisme. Seringkali pengunjung yang bertanya macam-macam
kepada Pepeng, namun Pepeng akan menjawabnya dengan singkat atau
dibelokkan ke bahasan yang lain, yang tentunya dengan cara yang halus.

5. Barista sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup


dan jenjang karier

Barista merupakan profesi yang sedang naik daun dalam lima tahun
terakhir. Fenomena maraknya profesi barista menjadi suatu hal yang dianggap
sebagai profesi musiman, atau dianggap sebagai profesi yang kurang menjanjikan
dalam beberapa waktu kedepan. Menanggapi hal yang demikian, masing-masing
informan yang berlatar belakang, lingkungan dan pandangan berbeda mengenai
kopi ini memiliki respon masing-masing terhadap profesi mereka sebagai barista
pada saat ini. Bagi beberapa orang, menjadi barista merupakan prestige,
kebanggan ataupun nilai jual yang tidak sembarangan, karena disamping barista
memerlukan skill dan feeling yang kuat untuk bisa membuat kopi enak. Namun
ternyata, bagi sebagian orang yang benar-benar terjun langsung di profesi
tersebut, barista bukan merupakan pilihan dan profesi tetap.
Seperti halnya Evana, menjadi barista di Starbucks bukanlah hal yang
menjadi impiannya ataupun profesi yang akan ia jadikan sebagai pekerjaan tetap.
Latar belakangnya sendiri menjadi barista di Starbucks adalah karena ingin
mengisi waktu luangnya ditengah kegiatannya sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Awal mula keinginannya menjadi barista adalah kebiasaannya untuk mengerjakan
tugas, berkumpul dan hangout bersama rekan-rekannya di Starbucks. Bermula
dari hal itu mengusik keingintahuan Evana mengenai apa saja yang ada di balik
bar Starbuck dan bagaimana cara kerja barista di salah satu kedai kopi terbesar
tersebut.
Disaat Evana, bekerja sebagai seorang barista dengan motivasi iseng dan
ingin mengejar eksistensi, Pepeng memiliki pendapat yang lain tentang profesi
barista. Pepeng mengaku jika barista dan roaster merupakan profesi yang saat ini
sedang ia tekuni dan dalami. Ia hidup dari kopi dan dia menjadi seperti sekarang
dari menyeduh kopi. Pepeng sendiri tidak tahu sampai kapan ia akan menjadi

99
seorang barista di Klinik Kopi, namun ia akan teteap menjalani rutinitasnya
menjadi seorang barista selama kebutuhan masih ada. Pepeng sudah
menenggelamkan diri dengan kegiatannya dengan kopi dan sudah terlanjur jatuh
cinta dengan rutinitas tersebut. Saat inipun Pepeng mengaku belum terpikirkan
akan kemana ia jika tidak menjadi seorang barista dan roaster. Hampir sama
dengan Pepeng, Avis juga mengaku tidak tahu mau dibawa kemana profesinya
tersebut. Avis juga mengaku ia hidup sekarang dari kopi. Kopi sudah menjadi
bagian hidupnya. Namun Avis mengatakan jika suatu saat ia mendapatkan
pekerjaan lain, ia akan tetap setia terhadap kopi, meskipun barista tidak lagi ia
jadikan sebagai profesi tetapnya.
Masing-masing informan memiliki kecintaan terhadap kopi, dan profesi
mereka sebagai barista dapat dikatakan bukan sebagai sumber penghasilan utama.
Kecuali bagi Pepeng, karena ia bisa menjadi sekarang ini karena ia dapat
dikatakan sudah menjadi seseorang yang dianggap penting dan sering disebut di
dalam dunia perkopian. Namun tidak untuk dua informan lainnya, mereka tidak
emmilih barista sebagai pekerjaan tetap mereka.

100
BAB V
PENUTUP

Masing-masing individu memiliki cara yang berbeda untuk


merepresentasikan identitas profesi mereka. Salah satunya adalah individu yang
berprofesi sebagai seorang barista. Barista adalah profesi dimana seorang individu
bekerja di coffee shop dan bertugas untuk membuat dan menyeduhkan kopi
kepada pelanggan. Tidak hanya menyeduh saja, lebih dari itu banyak hal-hal yang
harus dikuasai oleh seorang barista. Karena sama seperti halnya pengrajin ataupun
seniman, barista memerlukan skill yang tidak semua orang mampu melakukan. Di
Indonesia sendiri, profesi barista merupakan profesi yang terbilang baru karena
terbawa tren minum kopi sekitar lima tahun lalu. Banyaknya individu yang
sekarang menjadi barista menarik untuk dibahas, menyoal bagaimana individu
tersebut berpola perilaku sebagai representasi profesi dirinya sebagai seorang
barista.

A. Kesimpulan

Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data yang dilakukan, peneliti


menarik beberapa kesimpulan dalam penelitian ini:
Pertama, kecenderungan empiris masing-masing individu untuk bertindak
sebagai seorang barista sangat berbeda. Habit dari seorang informan dengan
informan lainnya, dengan profesi yang sama memiliki perilaku yang sangat
berbeda. Atribut-atribut yang mereka kenakan juga msing-masing individu
berbeda, meskipun pada beberapa aspek mereka memiliki persamaan atribut
maupun perilaku. Kecenderungan empiris individu dalam bertindak antara café
yang target pasarnya sudah jelas seperti Klinik Kopi dan Starbucks, meskipun
pasar mereka sangat jauh berbeda, dibanding dengan café yang memiliki pasar
tentative seperti Darat coffee shop juga sangat berbeda. Meskipun kecenderungan
mereka bertindak bukan berdasarkan dengan siapa mereka berinteraksi, namun

101
tidak bisa dipungkiri pasar juga sedikit mempengaruhi pola perilaku mereka.
Kecenderungan empiris informan dalam bertindak ketika mereka berinteraksi
dengan pelanggan, ketika mereka beraktifitas di sosial media dan atribut-atribut
yang mereka kenakan menunjukkan bagaimana mereka ingin merepresentasikan
profesi mereka sebagai barista.
Kedua, berdasarkan hasil analisis terbukti bahwa ketiga informan memiliki
preferensi dan motivasi yang masing-masing berbeda, bahkan sangat jauh
berbeda. Perbedaan ini bisa dikatakan dipengaruhi oleh lingkungan mereka,
kepentingan dan tujuan mereka terhadap profesi yang mereka geluti tersebut.
Pada titik ini masing-masing informan memiliki preferensi kopi yang
berbeda. Pandangan mereka pun juga berbeda serta motivasi mengapa mereka
akhirnya terjun ke profesi mereka juga berbeda. Perbedaan preferensi dapat
dikatakan terbentuk dari bagaimana pertama kali mereka mengenal kopi. Semakin
lama mereka berkutat dengan kopi, semakin mereka menemukan keunikan dari
masing-masing biji kopi dan dari situ mulailah preferensi mereka terbentuk.
Seperti yang sudah pernah dibahas diatas jika taste wheel coffee ada 4
kecenderungan yaitu sweet, nutty, sour and bitter. Rasa-rasa tersebut tdiak akan
muncul jika tidak diolah dengan baik. Sebagai seorang manual barista, hal
demikian sangat mempengaruhi preferensi mereka terhadap kopi, mengingat
semakin sering mereka bereksplorasi dengan kopi semakin kuat juga arah kemana
rasa yang paling masuk di lidah mereka. Berbeda dengan seorang barista dengan
mesin otomatis, karena mereka lebih cenderung moving dan quantity orientation,
maka preferensi mereka terhadap kopi tetap pada preferensi awal ketika mereka
mengenal kopi.
Ketiga, barista sebagai pandangan tentang dunia memiliki pemaknaan
yang berbeda dari masing-masing informan. Kopi yang notabene bukan hanya
tumbuh di Indonesia, melainkan dipelopori dari Itali membuat keberagaman
pandangan mengenai kopi muncul. Keberagaman ini membuat banyak paham dan
ideologi yang dimaknai secara berbeda oleh masing-masing individu yang
menikmati kopi. Banyak paham muncul seperti first, second, third wave coffee,
yang dianut oleh para penikmat kopi di seluruh dunia. Namun, banyak juga yang

102
tidak menganut paham tersebut dan memilih menganut kepercayaan yang mereka
yakini sendiri kebenarannya, entah dari pengalaman sendiri maupun dari proses
belajar secara otodidak. Dari hasil penelitian ini, ketiga informan memiliki
perbedaan yang masing-masing saling bertolak belakang.
Masing-masing informan mengaku mengetahui mengenai paham-paham
serta aliran-aliran yang sedang ramai dibicarakan, namun dua dari tiga informan
memilih untuk tidak menganut paham tersebut. Satu informan mendeklarasikan
diri jika ia memang menganut paham tersebut. Ketiga informan namun memiliki
satu benang merah, yaitu sama-sama memiliki pola pikir jika adanya perbedaan
tersebut tidak dipungkiri juga membawa pengetahun baru dan membuka wawasan
mengenai dunia kopi, sehingga pengetahuan tentang kopi tidak berhenti hanya di
kopi lokal saja, lebih dari itu, pengetahuan berkembang hingga keadaan dunia
kopi secara menyeluruh dan mendunia.
Keempat, barista sebagai keterampilan dan kemampuan praktis
direpresentasikan secara berbeda dari masing-masing informan. Tempat dan target
pasar masing-masing café memiliki pengaruh yang berbeda. Dimana mereka
bekerja, bagaimana SOP yang ada dan bagaimana tipe pengunjung yang datang ke
café berimbas kepada bagaimana mereka harus menempatkan diri.
Kelima, barista sebagai harapan berkaitan dengan jenjang hidup dan karir
juga dimaknai berbeda oleh masing-masing informan. Profesi yang sedang
mereka jalani sebagai seorang barista, tidak lantas dijadikan profesi tetap untuk
karir mereka kedepannya, meskipun salah satu informan mengatakan akan tetap
hidup dari kopi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki rasa
cinta terhadap kopi yang tinggi, tidak lantas membuat mereka selamanya akan
melibatkan diri terhadap profesi yang berkaitan dengan kopi, yaitu sebagai
seorang barista.

103
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memiliki beberapa saran untuk
penelitian selanjutnya, yaitu:
a. Penelitian yang berikutnya dapat mengambil sampel yang lebih
beragam dan dari klasifikasi café dengan target pasar dan idealisme
yang beraneka ragam.
b. Penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian mendalam terhadap
pemaknaan orang di sekitar informan apakah tindakan dan representasi
informan sudah cukup representatif atau belum.

104
DAFTAR PUSTAKA

Amber M, Gaffney & Namrata, Mahajan. Encyclopedia of Group Processes &


Intergroup Relations yang bisa diakses di http://www.sage-
ereference.com/view/processes/n37.xml. 7 Januari 2016.

Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice. 1990

Bourdieu, Pierre & Wacquant, J. D. An Invitation to Reflexive


Sociology. Polity Press. 1992.

D, Soejono. Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan.


Alumni: Bandung. 1996

Djaelani, Aunu. R. 2013. Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif.


Vol : XX, No : 1. Diakses di http://www.ikip-veteran.ac.id/cgi-sys. 15
Desember 2015.

E. Stets, Jan & J. Burke, Peter. Identity Theory and Social Identity Theory
Author(s): Source: Social Psychology Quarterly. Vol. 63. Published by:
American Sociological Association Stable yang bisa diakses di
http://www.jstor.org/stable/2695870. 20 Desember 2015.

H, Kelman. Compliance, identification, and internalization: Three processes of


attitude change. Journal of Conflict Resolution yang bisa diakses di
http://kelman.socialpsychology.org/ . 9 januari 2016.

H, Kelman. Journal of Public Opinion yang bisa diakses di


http://kelman.socialpsychology.org/ . 9 Januari 2016.

Hadi Sutopo, Ariesto & Arief, Adrianus. Terampil Mengolah Data Kualitatif
dengan NVIVO. Jakarta: Penerbit Prenada Media Group. 2010.

105
Henry, Tajfel & John C, Turner. The Social Identity Theory of Intergroup
Behavior, yang bisa diakses di
http://web.mit.edu/curhan/www/docs/Articles/15341_Readings/Intergroup
_Conflict/Tajfel_&_Turner_Psych_of_Intergroup_Relations_CH1_Social_
Identity_Theory. 20 Desember 2015

J. E, Stets & P, J, Burke. Identity Theory and Social Identity Theory: Social
Psychology Quarterly. Vol.63. Washington: Washington State University.
2000.

Jensen, Klaus Bruhn & Nicholas W. Jankowski. 1993. A Handbook of


Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London:
Routledge.

Jenny, Mercer & D, Clayton. Psikologi Sosial (Terjemahan). Jakarta: Penerbit


Erlangga. 2012.

Link, Bruce G & Phelan, Jo C. The Labelling Theory of Mental Disorder (II):
The Consequences of Labeling". A Handbook for the Study of Mental
Health: Social Contexts, Theories, and Systems. Cambridge: Cambridge
University Press. 1999.

M, Minor & J, Mowen. Perilaku Konsumen. Edisi V Jilid I. Jakarta : Erlangga.


2002.

M. A, Hogg & D, Abrams. Social Motivation, self-esteem & social identity:


Social Identity Theory: Constructive & Critical Advances. New York:
Springer-Verlag. 1990.

Mutahir, Arizal. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan untuk


Melawan Demokrasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2011

Najiyati, S. & Danarti. Budidaya Kopi dan Pengolahan Pasca Panen. Jakarta:
Penebar Swadaya. 1997.

106
R. A, Barron & D, Byne. Social Psychology. Boston: Allyn&Bacon. 1997.

R. Djaelani, Aunu. Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif. Vol.


10, No.1. 2013.

R. Frey, Lawrence & H. Boban, Carl & G. Friedman, Paul & L. Kreps,
Gary. Interpreting Communication Research. New Jersey, Prentice Hall
Inc. 1992.
Sutopo, Ariesto. Hadi & Arief, Adrianus. 2010. Terampil Mengolah Data
Kualitatif dengan NVIVO. Penerbit Prenada Media Group : Jakarta.

Stryker, Sheldon & J. Burke, Peter. The Past, Present, and Future of an
Identity Theory Author(s) Source: Social Psychology Quarterly, Special
Millenium Issue on the State of Sociological Social Psychology. Vol. 63.
No. 4. Published by: American Sociological Association Stable. 2000 yang
bisa diakses di http://www.jstor.org/stable/2695840 . 10 Desember 2015.

Van Maneen, John. Qualitative Methodology yang bisa diakses di


https://www.academia.edu/5904401/Etnografi_Penelitian_Kualitatif e-
journal. 18 Januari 2016

Website

Craft Beverage Job. How to make a good coffee. 2015.


http://www.craftbeveragejobs.com/how-to-make-a-good-coffee-22315/.
Diakses pada 26 Maret 2016.

Era Kebangkitan Kopi Indonesia.


http://foodservicetoday.co.id/page/content/era_kebangkitan_kopi_indonesi
a/Market-Trend-dan-Analysis. Diakses 4 Januari 2016.

107
Industri Kopi di Indonesia. http://www.aeki-aice.org/page/industri-kopi/id.
Diakses 4 Maret 2016.

Masdakaty, Yulin. 2014. Sekilas tentang Barista.


https://majalah.ottencoffee.co.id/sekilas-tentang-barista/. Diakses 4 Januari
2016.

Rikang, Raymundus & Dharma, Prasetyo. 2014. Orang Indonesia Makin


Gemar Minum Kopi.
http://bisnis.tempo.co/read/news/2014/06/30/092589168/orang-indonesia-
makin-gemar-minum-kopi. Diakses 4 Januari 2016.

108
Lampiran

Pedoman Wawancara dan Observasi

Eksposur

1. Bagaimana awal mula informan mengenal kopi


2. Adakah hal-hal yang mempengaruhi informan untuk mendalami kopi
3. Seberapa sering informan berkutat dengan sesuatu berbau kopi

Penerimaan

1. Mengapa akhirnya informan mendalami kopi


2. Bagaimana proses informan hingga masuk ke dunia kopi
3. Apakah informan mencari tahu banyak hal mengenai kopi
4. Darimana saja informan mendapatkan banyak informasi tentang kopi

Hubungan antar Individu

1. Apakah informan melakukan interaksi dengan sesama barista


2. Apakah informan melakukan interaksi dengan costumer
3. Sejauh apa dan interaksi seperti apa yang dibangun

Internalisasi Makna

1. Bagaimana cara pandang informan dalam memaknai kopi


2. Bagaimana cara pandang infroman terhadap profesi barista
3. Bagaimana cara pandang informan terhadap identitas barista

Representasi Makna

1. Bagaimana informan menjalankan profesi mereka


2. Bagaimana informan menunjukkan profesi mereka
3. Bagaimana informan menempatkan diri ketika sedang on bar dan di luar
bar
Pedoman Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Sudah berapa lama menjadi barista?


2. Sejak kapan mengenal dunia kopi?
3. Sejauh apa mendalami dunia kopi?
4. Bagaimana proses hingga ahirnya menjadi barista?
5. Mengapa akhirnya memilih menjadi barista di café X ?
6. Apakah suka dan duka menjadi barista?
7. Kegaiatan selain menjadi barista?
8. Sebagai barista, apakah mengikuti perkembangan dunia kopi yang selalu
dinamis?
9. Apakah mengikuti gelombang-gelombang kopi ?
10. Seberapa sering mencari tahu mengenai kopi?
11. Dari mana saja mencari tahu soal kopi?
12. Pandangan mengenai kopi sebagai seorang barista?
13. Apa makna profesi barista?
14. Bagaimana definisi barista yang baik?
15. Sebagai barista, apakah interaksi dengan sesama barista/costumer penting?
16. Sejauh apa interaksi itu?
17. Kopi yang enak kopi seperti apa?
18. Preferensi kopi?
1. Wawancara dengan Pepeng pada 24 Maret 2016
Lokasi: Klinik Kopi

Peneliti : Hallo Mas Pepeng, kita langsung mulai aja ya wawancaranya.


Visi dari Klinik Kopi tuh apa to?
Pepeng : “Lebih ke membuat pengunjung jadi tahu, menurut saya gitu sih.”
Peneliti : Aku kan sempet baca tulisan, kalau awal beridrinya Klinik Kopi
gara-gara Mas Pepeng suka jalan-jalan, nyari-nyari kopi. Nah,
motif sebenarnya Mas Pepeng itu apa?
Pepeng : Ya, aku suka jalan-jalan ke daerah-daerah gitu. Terus paling
gampang kalau cari oleh-oleh itu dapatnya kopi. Nah, ternyata kopi
di tiap daerah itu beda-beda. Setiap beda prosesnya, itu beda
rasanya. Misal aku travelling ke daerah Sumatera, ada temanku
yang minta oleh-oleh, paling gampang di cari itu kopi, selain kain.
Tiap masuk warung, pasti dapatnya kopi. Biasanya aku beli biji
kopi. Nah, aku bikin di rumah. Teman-temanku yang datang kaget.
Katanya, “kok kopi bubuk beda rasanya ya sama kopi biji”.
Peneliti : Mulai dari tahun berapa Mas Pepeng jalan-jalan nyari kopi?
Pepeng : Ya, sekitar tahun awal 2012, teman-teman mulai pada datang ke
rumah buat nyicipi kopi.
Peneliti : Berarti Mas Pepeng emang dari awal sudah suka kopi?
Pepeng : Enggak sih, aku lebih suka travelling, Mbak. Tiap aku jalan-jalan,
pasti ketemunya kopi. Ternyta kopi itu unik, beda-beda tiap
daerahnya. Terus suatu saat aku ngicipi kopi Blue Bottle dari
Amerika, lho kok kopinya enak banget. Terus aku tanya, kopinya
darimana? Dari Jawa Barat. Lho, waduh kok malah dari Jawa Barat
enak gini. Padahal yang selama ini aku rasain gak seenak ini.
Ternyata ngolahnya yang salah.
Peneliti : Terus pas awal-awal ada Klinik Kopi di bulan Juli 2013
Pepeng : Itu yo karena, aku pingin bikin coffee shop yang beda aja. Bosen
dengan coffee shop yang biasa. Orang minum kok capuucino,
lattee. Coba kalau minumnya gak pakai apa-apa.
Peneliti : Terus, tahun 2013 itu kan single origin masih awam, sedikit
banget orang yang tahu. Nah, di Klinik Kopi sendiri gimana?
Pepeng : Ya gapapa, cuek aja. Emang awal-awalnya sepi gitu sih.
Awalanya sih orang masih minta kopi susu, minta gula. Ya aku gak
mau. Ketika kamu ke sini ya uma ada kopi kayak gini. Bahkan
banyak temanku yang protes. Ya kalau kamu gak suka, gak usah ke
sini sih. Kalau aku ngikutin satu orang, yo pasti gak jadi. Kan
memang konsep Klinik Kopi sesuatu yang baru. Keluar dari hal
yang biasa. Kopi tanpa tambahan apapun, bahkan ngrokok pun gak
boleh kalau di sini. Tapi pada akhirnya menemukan penikmatnya
kok. Belum lama, ada dua hari yang lalu, ada yang bilang, “wah,
ini kopinya gak layak minum.” Bagi dia, kopi ya pakai susu, pakai
gula itu harus manis. Ya aku jawab, “jangankan kopi mas, tisu
dibakar dikasih kental manis aja enak mas.”
Peneliti : Hahaha, tetap pada pendirian ya, Mas.
Pepeng : Yaiyalah aku tetap pada pendirian. Prisnispnya aku membikin
sesuatu yang aku suka. kalau suka yang monggo, enggak ya
gapapa.
Peneliti : Terus, akhirnya Klinik Kopi mulai ramai butuh watu berapa
lama?
Pepeng : Ya, lumayan lama. Sekitar satu tahun, kan di sini membentuk
kultur peminum kopi, Mbak. Bukan sekedar bikin kopi untuk
diminum. Misal, di satu kebun, kita mengolah kopi dengan
berbagai macam proses, honey process, semi wash, full washed, itu
kan rasanya beda-beda. Kita mau mebalikkan fakta, misal kopi
Kintamani itu kopi asem. Ya sebenernya enggak juga. Kalau mau
dibikin gak asem, tinggal nggorengnya lebih lama.
Peneliti : Tergantung ya Mas, semua itu bisa dibikin sesuai yang kita mau.
Pepeng : Ya iya. Ada juga yang beranggapan kalau kopi ditanam dideket
pohon tebu, itu bakal manis. Ya nggak juga, semua itu tergantung
prosesnya. Nah, logika seperti itu yang haru kita ubah. Tanah iya,
pengaruh, tapi gak signifikan.
Peneliti : Tapi tidak meuntup kemungkinan kan mas, kalau tanah juga
memengaruhi?
Pepeng : Ya nggak, tapi tetep proses yang paling utama. Orangnya, gitu.
Misal kita sepakat bahwa kopi Papua itu enak, oke kopi Papua itu
enak. Nah, kamu yang gak tau apa-apa tentang kopi ngelola kopi
Papua, kan pasti jadi gak enak to. Berarti kan tetep soal orangnya
to. Itulah kenapa Klinik Kopi harus turun ke kebunnya, ngajarin
orang cara prosesnya, karena proses di sini paling penting. 90%
nek menurutku, ditentukan petani. Kita mah tinggal ngroastig.
Nggrinding, gampang, semua orang bisa. Tapi kan petaninya
belum tentu bisa.
Peneliti : Tapi emang fakta di lapangan belm banyak petani yang tau cara
ngolah kopi yang benar to, Mas?
Pepeng : Banyak, banyak, banyak banget, jelas. Itu kenapa sering libur,
soalnya kita harus ke daerah-daerah.
Peneliti : Lalu ke petani-petani itu, mas Pepeng sendirian atau gimana?
Pepeng : Ada tim. Lha ini besok kita diundang ke Temanggung.
Peneliti : Ke Posong? Ke Tlahap itu?
Pepeng : Bukan, bukan. Beda tempat. Masih belum tau namanya. Ikut aja
kalau mau, berbagi pengetahuan ke petani kopi. Nek menurutku
semua orang pasti bisa, kok. Memang apa yang aku dapat ini dari
internet, terus aku bagikan ke mereka.
Peneliti : Mas Pepeng tuh belajar tentang kopi darimana sih?
Pepeng : Wah, gak belajar, Mbak. Ya dari internet itu. Aku tuh masih
cupu.
Peneliti : Ah masak, tapi nama mas Pepeng di dunia kopi kan udah melejit?
Pepeng : Ah enggak, aku ini masih cupu. Ohiya, kalau untuk ke daerah-
daerah gitu cukup antri. Tapi sepertinya setelah AADC kayaknya
kita gak bisa sering-sering ke daerah deh.
Peneliti : Lha memangnya kenapa?
Pepeng : Ya gak bisa, soalnya mesti rame banget.
Peneliti : Ohiya, ya. Efek film sih.
Pepeng : Awalnya sih, aku gak bisa. Karena memang konsep Klinik Kopi
ini rumahan. Kecil. Aku sempat menolak tawaran mbak Mira. Tapi
dia bilang, kalau Klinik Kopi ini otentik dan memang harus
diangkat. Konsekuesninya besok, aku hanya mau membuat kopi
per harinya 100 cup.
Peneliti : Lha kalau semisal sebelum jam 10, jam 8, gitu udah 100 cup
gimana?
Pepeng : Yaudah, kita stop. Kedepannya bakal gitu.
Peneliti : Kalau sekarang rata-rata berapa cup mas?
Pepeng : ya sekitar 80 cup.
Peneliti : kenapa sih Mas Pepeng gak ngajarin orang untuk bikin kopi?
Pepeng : Ya ini udah ngajarin. Banyak tu orang-orang yang buka warung
kopi di sana.
Peneliti : Yang di sini maksudnya, jadi waktu Mas Pepeng pergi, Klinik
Kopi gak perlu tutup.
Pepeng : enggaklah, agak susah ketika. Gini, misalnya, Affandi ngajarin
anaknya, lalu dia pergi ke Jakarta, terus lukisannya dibbikin
anaknya. Ya, konsep kayak gitu gak bakal jalan. Ini bukan sesuatu
yang dicetak. Kan aku bukan mesin yang bisa dicetak.
Peneliti : Media apa aja yang digunakan?
Pepeng : twitter, instagram, blog, website.
Peneliti : Website itu tahun berapa mas?

Pepeng : tahun 2014, soalnya waktu itu kita diundang ke dubes Polandia.
Salah satu syaratnya harus punya website. Kalau instagram? Itu tak
pegang sendiri. Sejak awal sudah pakai. Ya gitu-gitu aja kan gak
ada yang spesial?
Peneliti : maksudnya, perkembangan followernya itu cepet nggak?
Pepeng : ya, lumayan. Kalau masalah itu, lebih baiknya kamu nanya ke
follower instagram Klinik Kopi. Kenapa mereka ngefollow. Pada
dasarnya sih, aku ngshare apa yang aku tau, aku ngshare apa yang
ku liat sendiri, aku ngeshare apa yang pernah ku lakukan. Jadi, ya
aku menceritakan dibalik kopi itu sendiri.
Peneliti : That’s why, Mas Pepeng menyebut diri sendiri sebagai story
teller?
Pepeng : iya. Aku memang mencertikan perjalanan kopi yang aku bikin
kan.
Peneliti : Lha, Mas Pepeng sendiri kenapa kok akhirnya roasting kopi
sendiri? Itu berpengaruh banget ya ke cita rasa kopi?
Pepeng : Ternyata memang roastingnya, kita harus tahu kebunnya, ngobrol
dengan petaninya. Aku tu sampai e-mail, misal aku beli bean dari
luar negeri, aku minta profile roastingnya. Eh, ternyata ada
software yang bisa membantu.
Peneliti : Berarti, yang Mas Pepeng mulai ngebagi profile roasting ke
pembeli, itu terinspirasi dari kedai luar ngeri.
Pepeng : Iya, ho‟o. Sebenernya, konsep Klinik Kopi itu bisa dipakai
dimana aja. Aku Cuma bikin kayak gini, kalau orang mau ikutan
yang silakan.
Peneliti : Nah, kalau tim Klinik Kopi sendiri ada berapa to?
Pepeng : ada 3, manajernya pacarku, mas sigit itu asistenku, aku ownernya.
Ya sebenernya Klinik Kopi gak harus kaku, sih. Fungsinya
manajer, mengatur jadwal Klinik Kopi, kalau ada jadwal ke daerah,
ngitung budgetingnya. Itu manajer yang ngatur, aku mah tinggal
berangkat aja. Dan yang memutuskan tawaran diambil atau
enggak itu manajer.
Peneliti : terus tadi itu ma siapa?
Pepeng : Mas Sigit. Dia asistenlah, membantu aku. Feelnya udah dapaet di
sini. Udah cocok. Gajinya juga udah aku naikin.
Peneliti : Lha, awalnya gimana to Mas kok Klinik Kopi bisa pendampingan
ke petani kopi?
Pepeng : Ya awalnya, karena aku mulai nulis. Lalu mereka pada baca. Lho,
ternyata Klinik Kopi bisa pendampingan to? Nah, akhirny jadi tau.
Itulah, sayangnya banyak orang yang males nulis.
Peneliti : ho‟o, banyak ahli kopi tapi males nulis.
Pepeng : Pokonya, apapun yang aku lakukan soal kopi aku tulis di blog.
Kan lama-kelamaan banyak orang yang baca. Aku udah pernah
ambil yang di komunitas Salihara di Jakarta itu.
Peneliti : Terus aku juga baca di website, ternyata Klinik Kopi juga punya
produk jasa, melayani pelatihan brewing gitu kan?
Pepeng : ya, memang ada. Cuma kita lebih selektif aja sih. Nggak
semuanya kita ambil. Kemarin udah di hotel mesastila. Aku
diundang untuk gimana sih caranya bikin kopi. Ratenya kalau gak
saalah sehari satu jutaan. Aku sih gak terpancang sama uang, yang
penting tak ambil aja, gitu sih.
Peneliti : terus kalau penjualan raosted bean sendiri gimana mas?
Pepeng : wah itu banyak banget. Pembeilannya bisa via website, WA, atau
langsung di Klinik Kopi. ya aku sih, biarin aja orang ngicipin,
suka, lalu beli, posting di instagram. Lalu orang lain penasaran.
Yang paling penting kita bikin kopi yang bagus dan berkualitas.
Gak usah pakai promo. Dan aku gak pakai promosi. Kadang aku tu
geli, ada coffee shop yang promo beli dua gratis satu, itu ngapa.
Kebanyakan coffee shop Mereka gak tau apa yang mereka jual.
Peneliti : Cuma ngikutin trend aja ya mas?
Pepeng : Ho‟o. Ini aja yang sunda geulis sampai tak stop lho. Aku gak mau
orang Cuma menikmati kopi yang itu-itu aja. Kan masih banyak
kopi yang lain juga to. Kan jadi gak fair to kalau kopi yang lain
gak banyak diminum. Sebisa mungkin pengunjung ngrasain semua
kopi yang ada di Klinik Kopi. Ini sampai tak stop lho, sebenernya
masih ada 1 karung, 30 kg.
Peneliti : Dulu awalnya gimana mas kok bisa di sanata dharma?
Pepeng : Lha itu kan temenku, Mbak. Aku dipinjemi tempat.
Peneliti : Klinik Kopi tu awalnya kok kayak gini gimana idenya? Apa tiba-
tiba atau gimana?
Pepeng : Ya Klinik Kopi luar negeri. Dari kanda, amerika, jepang, istanbul.
(nyodorin video).
Peneliti : Oh, berarti memang konsep kedai kopi rumahan udah banyak di
luar negeri ya?
Pepeng : Iya, udah banyak banget. Sek, bentar ya, Mbak. Udah mulai ada
yang dateng. Saranku sih, jangan cuma wawancara aku. Coba tuh
tanya-tanya ke pengunjung. Lalu, googling, liat-liat postingan
Klinik Kopi. Pasti semua pertanyaanmu ke jawab deh.
Peneliti : Oke mas, ntar kita lanjut lagi ya!

Wawancara dengan Firmansyah / Pepeng (Klinik Kopi) pada 4 April 2016


Lokasi: Klinik Kopi

Peneliti : Halo mas Pepeng

Pepeng : Woh kamu mbak, masuk-masuk. Mau dibikinin apa ini?

Peneliti : Apa ya mas…. Yang sunda geulis aja deh boleh mas. Mas aku
sambil nanya-nanya ya mas

Pepeng : Ya siap.. nanya-nanya aja gakpapa. Mau nanya apa toh?

Peneliti : Sehari-hari gitu mas Pepeng aktifitasnya ngapain aja sih mas?

Pepeng : Aku kalo pagi bangun tidur ya melakukan aktifitas seperti biasa.
Nanti agak siangan sampe sore biasanya roasting kalo ada beans
baru. Sore baru open bar. Abis itu ya closing dan besok gitu lagi,
kecuali weekend kita tutup.

Peneliti : Tapi kok tiba-tiba kadang tutup dadakan kenapa itu mas
biasanya?

Pepeng : Itu biasanya kalo ada acara yang sangat mendadak, kalo
sebelumnya udah ada pemberitahuan biasanya aku mau
pendampingan petani atau ada panggilan jadi pembicara atau
diminta buka stand kopi kalo ada acara gitu

Peneliti : Seru yam as.. udah banyak diundang-undang gitu.. Mas Pepeng
gimana sih rasanya jadi barista? Eh mas Pepeng merasa kalo mas
Pepeng seorang barista gak? Soalnya di kartu nama tulisannya
story teller.

Pepeng : Wah ya seru mbak, wong jalan-jalan dibayar. Hahaha. Kalo


dibilang barista ya emang barista, tapi aku sih biasa nyebutnya
brewer aja. Namanya aja sih mbak yang beda-beda. Barista,
brewer, tukang seduh..ya sama aja sih menurutku. Kerjaannya
sama, nyeduh kopi, paling beda alatnya aja. Kalo story teller, ya
beda. Aku bikin kopi sambil cerita ke pelanggan soal kopi yang
aku seduhkan.

Peneliti : Trus mas, menurut mas Pepeng nih, barista yang baik itu yang
kayak gimana mas?

Pepeng : Yang gimana ya mbak.. beda beda e. Tapi sarusnya kalo beneran
barista tau lah kopi ini dari mana, kalo perlu ya tau siapa petaninya,
ketinggian berapa, metode prosesnya gimana, roastingnya gimana.

Peneliti : Ya aku setuju sih mas, soalnya banyak juga ya yang Cuma asal
bisa aja tapi gak bisa jelasin profil kopinya

Pepeng : Ya emang gitu mbak..


Peneliti : Mas Pepeng suka pelesiran ke café café lain gitu gak sih mas?
Ngumpul-ngumpul sama barista yang lain gitu

Pepeng : Kalo pelesiran jarang sih. Kalaupun iya, biasanya weekend,


itupun gak selalu. Jarang sih mbak berkunjung-berkunjung gitu.
Soalnya gimana ya, biasanya sibuk jadi ya gak sempet berkunjung-
berkunjung. Tapi ya kalo diundang ngopi dimana gitu atau ada
undangan opening coffee shop baru biasanya dateng, itupun kan
karena temen jadi ya dateng kalo dapet undangan.

Peneliti : Terus biasanya kalo ngumpul gitu ngomongin kopi juga gak mas?
Apa malah nggak ngomongin kopi sama sekali?

Pepeng : Ngomongin apa aja sih mbak. Gak selalu lah, gak selalu soal
kopi. Kadang ya soal pribadi, soal berita, soal perkembangan apa
yang lagi tren, paling ya kalo gak sharing-sharing beans baru gitu.

Peneliti : Ngomongin perkembangan aliran kopi gitu gak sih mas? Mas
Pepeng termasuk yang ngikutin perkembangan kayak specialty
coffee gitu gak sih mas?

Pepeng : Specialty coffee tu apa ya maksudnya mbak?

Peneliti : Yang lagi sering diomongin itu lho mas, biji kopi dengan kualitas
yang nilainya 90 plus

Pepeng : Wah gak tau aku mbak, nggak ngikutin aku kayak gitu

Peneliti : Kalo gelombang-gelombang kopi nggak ngikutin juga? Yang first


wave, second wave, third wave gitu?

Pepeng : Kalo gelombang-gelombang kopi malah gak tau dan gak ngikuti
aku mbak. Yang penting aku disini roasting sama bikin kopi yang
enak aja mbak, gak tau aku third wave, second wave itu apa.

Peneliti : Wah kaget juga aku mas Pepeng malah nggak tau hehehe
Pepeng : Fokus aja aku mbak, malah nggak sempat ngikutin kayak gitu

2. Wawancara dengan Evana Barista Starbucks pada 15 April 2016


Lokasi: Starbucks Ambarukmo Plaza

Peneliti : Hai Evana, apa kabar?

Evana : Halo, sorry ya nunggu lama tadi

Peneliti : Iya gakpapa kok santai

Evana : Oh oke oke. Gimana gimana jadinya?

Peneliti : Eh kenalan dulu kali ya. Velina

Evana : Oh iya.. Aku Evana

Peneliti : Salam kenal ya.. jadi aku ceritanya lagi penelitian soal barista
buat skripsiku

Evana : Oh gitu, trus trus apa yang bisa aku bantu nih? Tapi sebelumnya
maaf banget ya kalo penelitiannya soal perusahaan aku gak bisa
kasih info banyak

Peneliti : Oh enggak kok. Aku fokus ke kamu sebagai barista aja. Jadi aku
mau meneliti soal bagaimana barista merepresentasikan identitas
barista gitu.

Evana : Oh bisa bisa kalo gitu.

Peneliti : Btw, tadi shift jam berapa deh tadi?

Evana : Aku tadi shift jam 1 sih, nanti sampe jam 7

Peneliti : Oh, emang jadwalnya tiap hari apa seminggu berapa kali gitu?

Evana : Aku sih jadwal gak tentu ya, soalnya jadwalnya tergantung atasan
kasih jadwalnya gimana. Jamnya juga gak tentu selalu shift siang
terus, kadang shift pagi, kadang shift sore juga.

Peneliti : Kalo shift malem berarti sampe tutup mall gitu dong ya?
Evana : O iya, kadang sampe mall udah pada gelap kita baru pada pulang.
Untung aja kita ada akses pintu luar kan jadi gak harus lewat
dalem.

Peneliti : Buset ngeri juga ya. Gak takut apa?

Evana : Iya, biasanya jalan ke basement udah sepi gelap lagi kan.

Peneliti : Kalo pegawainya gitu, parkirnya bayar juga gak sih? Ehehhe

Evana : Ya bayar lah, makanya ini gaji kayaknya abis di parkir deh.
Haaha

Peneliti : O gitu yaa hahaha kirain kalo pegawai gratis gitu deh

Evana : Enggak lah, tetep bayar kita. Jadi bisa bayangin kan 7 jam sekali
shift bayar parkirnya berapa hahaha

Peneliti : Iya lumayan juga ya hehehe

Evana : Lumayan banget hehe, gimana nih mau nanya apa?

Peneliti : Iya langsung aja kali ya, btw kamu udah lama jadi barista?

Evana : Itungannya udah 7 bulan lah

Peneliti : Dari kapan tuh?

Evana : Dari bulan November. Iya 7 bulan bener

Peneliti : Trus sebelumnya ada training dulu gitu gak disini?

Evana : Untuk di Starbucks dia on the job training, jadi training nya itu
langsung ketika kamu kerja gitu

Peneliti : Berarti kamu dari awal emang udah tertarik jadi barista atau
gimana? Apa tertarik sama kopi?

Evana : Sebenernya untuk tertarik sama kopinya sih pas lagi kerja malah

Peneliti : Trus gimana dan kenapa memilih Starbucks?

Evana : Kalo untuk kenapa Starbucks sih sebenernya karena aku suka
nongkrong sama temen-temen disini kan, dan kebetulan temen
sekampus ada yang kerja di Starbucks jcm, trus yaudah coba-coba
aja, trus keterima
Peneliti : Terus, sebelumnya sudah bisa mengoperasikan alat-alat kopi?

Evana : Kayak apa? Kayak pouring gitu? Basically sih belum, pertama
kali aku masuk di Starbucks emang gak ada basic kopi sih, karena
di Starbucks sendiri gak harus punya atau ada basic gitu, jadi
belajarnya ya pas udah kerja.

Peneliti : Jadi kamu bener-bener baru belajar pas udah keterima disini?

Evana : Iya, bener. Istilahnya tu on the job training.

Peneliti : Tapi di ada yang ngajarin kan pas on the job training?

Evana : Ada lah ada.. ada coffee masternya disini.

Peneliti : Berarti emang gak harus bisa mengoperasikan alat atau bisa bikin
kopi atau sejenisnya gitu ya?

Evana : Iya gak harus, kayak kalo bisa ya cuma nilai plus aja sih

Peneliti : Trus kenapa tadi akhirnya dari sekian banyak café, pengennya
jadi barista di Starbucks?

Evana : Ya gimana ya selain gara-gara sering nongkrong disini, gatau


kenapa kayak cool aja gitu di Starbucks.

Peneliti : Itu aja alasannya?

Evana : Iya, so far kalo nongkrong disini tuh orangnya kebetulan ramah-
ramah kan, jadi suka gitu.

Peneliti : Jadi dari situ teratrik banget ya?

Evana : Iya, selain itu juga karena perusahaannya sendiri kan international
company, di Indonesia juga untuk human resource nya mereka kan
ada company nya sendiri. Jadi Starbucks tu di Indonesia nggak
cuma Starbucks doing, tapi ada PT Sari Coffee sama Mitra Adi
Perkasa. Untuk human resource nya kita dari Mitra Adi Perkasa
(MAP). Apalagi MAP sendiri udah naungin banyak brand dari
luar, karena brand dari luar sendiri kan gabisa masuk secara
langsung ke Indonesia kan..

Peneliti : Oh jadi tertarik juga dari sisi human resource nya ya? Since
nyambung sama jurusan kuliah juga gak sih?

Evana : Iya iya bener.


Peneliti : Oiya, btw, kamu dulu kalo nongkrong kesini suka pesen apa?

Evana : Macem macem ya, tergantung. Kalo yang favorit sih aku emnag
suka banget sama green tea nya, cuma kalo lagi pengen coffee sih
paling pesen latte.

Peneliti : Jadi bisa dibilang kamu bukan orang yang coffee addict gitu dong
ya?

Evana : Addict sih nggak, nggak begitu. Cuma kalo sekarang udah
lumayan agak addict ya.

Peneliti : Suka nyoba-nyobain kopi baru gitu/ cupping gitu gak sih?

Evana : Iya biasanya nyobain disini kan jadi udah agak addict jadinya.

Peneliti : Kalo nyobain kopi-kopi diluar Starbucks?

Evana : Ya, kadang-kadang nyobain juga sih di luar.

Peneliti : Trus kalo di luar biasanya dimana aja sukanya?

Evana : Kemarin sih nyoba di ruang seduh, sekalian belajar brewing kan
disana. Tapi disana alatnya emang udah canggih sih, jadi ngga
ribet gitu.

Peneliti : Oiya ya, trus kamu gak pengen jadi barista di café lain selain
Starbucks?

Evana : Nggak sih ya kayaknya.. soalnya gimana ya.. di Starbucks tu beda


aja sama café café lain.

Peneliti : Apa deh bedanya?

Evana : Disini tuh kamu belajar banyak hal dari managemen, human
resource, finance, marketing, jadi semuanya dipelajarin, karena
emang basically aku orang marketing jadi aku juga belajar disini.

Peneliti : Jadi bener-bener disini tuh learning by doing gitu yaa? Emang
rencananya bakal lama gak sih disini?

Evana : Iya gitu.. lama sih nggak lah ya, awalnya tu aku cuma mau ngisi
waktu luang aja. Sambil ngerjain TA kan, yaudah sambil cari
kesibukan aja.

Eh iya btw, aku harus balik nge shift lagi nih, gimana ya..
Peneliti : Oh yaudah gakpapa it‟s okay aku besok kesini lagi aja pas kamu
nge shift.. santai aja gakpapa

Evana : Okedeh kalo gitu.. sorry yaa

Peneliti : Iya gakpapa gakpapa..

Wawancara 30 April 2016

Lokasi: Starbucks Ambarukmo Plaza

Peneliti : Halo

Evana : Halo halo.. dari jam berapa tadi?

Peneliti : Barusaan kok

Evana : Okedeh.. eh udah pesen? Belum?

Peneliti : Udah kok udah pesen Americano tadi hehe

Evana : Okedeeeh. Gimana lanjut lanjut yang kemaren maaf ya

Peneliti : Iya gakpapa.. Jadi terakhir kan kemaren ngomongin apa sih, oh
ini yang kayak ngomongin bakal lama apa gak disini, trus kamu
bilang Cuma buat ngisi waktu luang which is berarti gak bakal
lama dong ya?

Evana : Iya, tapi bentar lagi kan aku sidang trus lulus, aku mau resign aja
ntar.

Peneliti : Lhoh, emang gak ada kontraknya, Van?

Evana : Ada, kontrak satu tahun kan kita kalo disini..

Peneliti : Trus kalo resign, gimana kontraknya?

Evana : Ya ntra bayar denda kontrak aja 3 kali gaji.


Peneliti : Oh my god, lumayan juga dong ya kalo mau resign sebelum
kontraknya selesai?

Evana : Ya iya gitu deh hahaha mau gimana lagi kan

Peneliti : Ya iya sih, tapi 3 kali gaji banget.. Emang gajinya sendiri berapa
deh disini?

Evana : Ya beda-beda sih, tergantung part time apa full time. Kalo full
time 1,8 sebulan. Kalo part time sih tergantung berapa kali masuk
shift kan, jadi gak tentu gitu.

Peneliti : Oh gitu.. oke oke. Terus, Van, selama kamu bekerja di Starbucks
nih, pasti ada suka dukanya dong? Apa aja tuh kalo boleh sharing?

Evana : Emm.. suka dukanya.. apa ya.. banyak sih. Dukanya sih waktu
pertama masuk kaget.

Peneliti : Kaget kenapa tuh?

Evana : Kerjanya ternyata gak sesuai ekspektasi gitu. Kan keliatannya


awalnya kayak Cuma bikin kopi doang, tapi ternyata kita
pertamanya belajar cleaning dulu, itu bener-bener capek, baru bikin
minuman, abis itu baru kita jadi kasir, mana kalo jadi kasir tu kita
harus teliti bener-bener hati-hati. Soalnya kadang nombokin gitu
kalo misal ada yang salah ngitung, apa salah kasih kembalian, dll
gitu.

Peneliti : Wah jadi emang multitasking banget gitu ya, Van?

Evana : Iya gitu.. Kalo sukanya sih banyak juga.. Jadi banyak kenal kan
sama barista-barista Starbucks cabang lainnya se Jogja jadi kenal
semua. Terus terkdang bisa jadi akrab sama regular customer, bisa
jadi temen deket malah, kayak aku.

Peneliti : Temen deket gimana maksudnya?

Evana : Iya jadi karena kita biasanya hafal sama regular customer
Starbucks kan, lama-lama interaksi, trus jadi kenal terus lama-lama
main bareng gitu.

Peneliti : Wah seru juga ya jadi bisa kenal orang baru gitu

Evana : Iyaa gitu..


Peneliti : Trus ngomongin kopi nih, kamu ngikutin gak sih perkembangan-
perkembangan kopi?

Evana : Kalo perkembangan kopi sih ngikutin, tapi apa ya .. nggak terlalu
addict gitu. Kaya misal ada kopi baru, gitu gitu..

Peneliti : Trus kalo soal dunia perkopian Jogja kan lagi aktif banget
ngomongin aliran-aliran kopi tuh, berarti gak tertarik membahas
kayak gitu ya?

Evana : Yaa… infonya tau sih.. anak-anak banyak yang ngikutin banget
juga kan..

Peneliti : Kalo gak into ngikutin perkembangannya, trus pandanganmu


sendiri soal kopi itu apa sih?

Evana : Pandangan seperti apa nih maksudnya?

Peneliti : Kayak dulu kan kamu yang nggak tertarik sama sekali tuh soal
kopi, nah sekarang kamu udah jadi barista yang jadi bagian dari
kopi itu sendiri. Nah pasti ada pergeseran makna kopi dong disana?
Gimana tuh?

Evana : Oh.. aku sih pribadi semakin kesini makin ngerasa kopi itu
sesuatu yang mahal kalo aku bilang. Kalo kamu mau kopi enak, ya
kamu harus bayar mahal. Emang beda lah ketika kamu nyobain
kopi diisni sama kopi yang instan, pasti beda banget rasanya kan.
Trus kopi yang roastingan dari luar juga emang rasanya variasi sih,
kalo emang pengolahan caranya bagus, pasti enak. Emang apa ya,
kopi itu mempersatukan orang sih kalo aku bilang. Karena misal
kamu dari mana mana, trus kamu juga ketemu orang yang sama
sama suka kopi, trus ngobrol-ngobrol, gitu kan jadi nambah
kenalan kan.

Peneliti : Tapi kamu setuju gak sih kalo kopi sekarang jadi penghambat
interaksi orang juga? Seperti yang kamu tahu lah, kopi banyak
aliran dan idealismenya sendiri-sendiri gitu..

Evana : Karena apa ya, orang kan punya pandangan dan idealisme
masing-masing yang berbeda ya, ada yang bilang harusnya begini,
begitu, tapi balik sama orangnya. Kadang kan banyak yang bilang
apasih Starbucks kopi gini doang mahal, yak arena mereka gak
tahu aja kan. Kadang kita sebagai barista emang udah tahu
sejarahnya, bodo amat sih orang mau bilang apa, karena kan kopi
kita roastingannya gak di Indonesia, jadi kirimnya dari luar
makanya ya emang mahal.. gitu kan. Apalagi setiap tahunnya
Starbucks kan kayak ngadain cupping gitu kan untuk tetap menjaga
kualitas dan rasa kopinya, makanya itu jadi ya emang mahal.

Peneliti : Oh kamu juga suka ikut cupping juga gitu gak?

Evana : Cupping sih enggak, soalnya aku gak bisa ngerasain sih. Kerasan,
tapi Cuma kayak kurang dapet aja gitu.

Peneliti : Terus menurutmu sendiri, barista itu seperti apa sih?

Evana : Barista secara umum sih ya orang yang bikin kopi gitu kan.. Tapi
kalo disini, pandangan untuk barista Starbucks kamu gak Cuma
bikin kopi aja tapi kamu menyampaikan pesan dari kopi itu.

Peneliti : Pesan seperti apa maksudnya nih?

Evana : Anggaplah ini caramel macchiato, di caramel macchiato sendiri


ada macchiato, dari bahasa asing yang artinya putih, yang dinodai
sama shot coffee, jadi kayak kita emang untuk bikin nggaka sal-
asalan karena sudah ada standarnya.

Peneliti : Itu sebelummya disuruh mempelajari dulu atau on the bar


learning ?

Evana : Itu on the bar langsung. Jadi pas awal masuk aku udah dikasi
resep, disuruh hafalin dan harus hafal. Dulu seniornya galak banget
malah, dulu pernah nge bar pertama kali, terus sama dia dimarahin
katanya besok kalau nge bar training sama dia, aku gak boleh bawa
resep. Itu baru nge bar pertama kali udah gitu, apalagi dulu
mesinnya masih la marzocco kan, dan gatau kenapa kalo pake
mesin la marzocco aku bener-bener ngerasa kalo aku ini barista.
Kalo yang sekarang kan udah di atur tinggal pencet, kalo yang dulu
kan harus taping, ya emang beda. Rasa kopinya juga beda kan
karena dia manual. Emang penyajiannya agak lama ya, tapi kalo
kamu mau ngerasain kopi ya pake yang manual.

Peneliti : Iya, bener.. Terus ngomongin barista Starbucks nih, atau kamu,
sering juga gak sih menjalin interaksi sama customer gitu?

Evana : Sering banget. Kita ada namanya regular customer. Regular


costumer itu yang hampir tiap hari kesini. Kayak sekarang ada mas
Andi, mas Bara, kita kenal. Pesanannya kita juga udah apal kalo
kesini, jadi untuk regular costumer pasti apal.

Peneliti : Tapi kalo untuk yang misal ada costumer yang mau pesen terus
nanya-nanya, dijelasin satu-satu gitu gak?

Evana : Iya dijelasin dong, kita mengarahkan maunya costumer itu apa..
gitu. Meskipun ada costumer yang nyebelin gtiu, kita tetep harus
sabar. Karena kita kan udah ada SOP nya gak boleh ada konflik
sama costumer ya, jadi ya diterima-terimain aja gitu.

Peneliti : Iya bener sih ya.. Trus tadi kan sama costumer ya, kalo untuk
menjalin interaksi sama sesama barista café lain gimana?

Evana : Aku jarang sih, maksudnya ya cukup tau aja gitu. Tapi kalo
sesama barista Starbucks sih satu Jogja kenal.

Peneliti : Jadi ya gak terlalu kenal yaa. Oiya barista kan biasanya punya
preferensi kopi tuh, sukanya kopi seperti apa, dsb. Nah kamu
sendiri preferensi kopinya yang kayak gimana? Suka yang pour
over gitu gak? apa lebih ke yang latte gitu gitu?

Evana : Kalo aku sih untuk black coffee gak begitu suka, soalnya aku gak
begitu suka yang terlalu strong gitu. Manual brew suka sih, tapi
tapi paling nyobain rasanya aja. Tapi kalo minum biasa aku lebih
suka yang latte sih, yang manis.

Peneliti : Jadi prefernsimu emang yang latte base dan manis gitu ya.. Trus
menurutmu nih, barista yang baik itu yang seperti apa sih?

Evana : Barista yang baik itu menurut aku basically dia harus tau kopi, dia
bisa menyampaikan berbagai macam kopi kepada costumer,
jadinya ibarat kata dia punya ilmu gak disimpen sendiri tapi dibagi
ke orang lain. Jadi menurut aku barista itu bisa menjalin
relationship dengan costumer lebih jauh lagi.

3. Wawancara dengan Avis pada 12 Maret 2016


Lokasi: Darat Coffee Shop
Peneliti : Halo mas Avis

Avis : Halo Velina, gimana nih mau Tanya apa?

Peneliti : Oh yaa.. langsung aja ya mas hehe.. Mulai kenal kopi kapan nih
mas?

Avis : Aku mulai kenal kopi sejak kecil sih. Aku tinggal di daerah yang
mayoritas masyarakatnya peminum kopi. Jadi di daerahku ada 3
budaya minum, minum teh manis, minum tuak sama minum kopi.
Jadi kalo kenal kopi, dari kecil aku udah kenal kopi. Bapakku juga
petani, makanya udah kenal dari kecil.

Peneliti : Jadi kenal dari kecil, trus kalo jadi peminum kopinya sendiri sejak
kapan mas?

Avis : Kalo mulai minum kopi aktif sejak SMA. Pas SMA bener-bener
mulai rutin minum dengan orang yang sama, di jam yang sama dan
di tempat yang sama. Sebenernya kenapa akhirnya aku buka Darat
disini karena aku pengen bawa kebudayaan minum kopi disana ke
Jogja, disana soalnya orang ngopi udah kaya minum obat, sehari 3
kali di tempat yang sama pagi, siang, sore.

Peneliti : Trus tadi ada 3 budaya minum kopi, kenapa akhirnya memilih
jadi peminum kopi, bukan yang tuak atau tehh manis aja?

Avis : emm kenapa ya. Soalnya satu aku gak minum. Aku jijik sama
tuak. Yang kedua teh sesuatu yang komoditas/ sehari-hari dan
orang sana sendiri memang sudah biasa minum kopi. Bangun tidur
mereka gak sarapan atau ngapain tapi minum kopi.

Peneliti : Jadi sejak itu ya jadi memilih kopi? Oiya mas,, tadi mas Avis kan
bilang bapaknya petani, apakah bapaknya mas Avis peminum kopi
juga? Trus apa belajar minum kpi dari bapaknya mas Avis?

Avis :Bukan, bapakku malah gak bisa minum kopi. Pernah dulu
bapakku nyoba minum kopi terus besokannya malah langsung
opnam di rumah sakit. Maka dari itu awlanya aku buka warung
kopi itu, aku pengen semua orang bisa ngopi tanpa harus di opnam.
Karena bapakku dulu jantungnya gak kuat. Soalnya sebenernya ada
kalo dicari itu tentang kopi dan nanti efeknya kemana-kemana gitu
ada.
Peneliti : Tapi mas Avis sendiri udah mencari tahu belum soal efek kopi
bagi kesehatan dll gitu?

Avis : Kalo sekarang udah mulai, tapi kalo dulu banget belum. Yang
penting aku ngopi. Cuma dulu aku jarang banget hampir gak
pernah minum kopi sachet. Aku kuliah di Jogja malah baru nemu
kopi sachet. Aku kopi itu direbus di rumah. Disana ada supplier
yang sellau kasi kopi ke rumah. Jadi selama aku di Jogja, tiap
bulan aku ada yang kirim kopi.

Peneliti : Nah kalo ceritanya awal mula buka Darat yang karena
dipendekarin itu gimana mas?

Avis : Nah kalo itu aku dulu kan buka di Jakal itu kan, aku gak tau
tentang dunia kopi Jogja. Aku tahunya dunia kesenian dan event-
event di Jogja, dunia kopi Jogja aku gak tau, yang aku tahu kopi di
Jogja itu Legend, Semesta, aku taunya kayak gitu. Dulu aku mau
ngapa-ngapain aku harus ngopi, jadi aku pengen bikin warung kopi
dimana aku bisa bawa budaya sana dengan kopi sana, bahkan aku
gatau kopi kopi disini itu robusta atau arabika, aku taunya kopi
klothok langsung dari sana. Aku gak tahu pake Vietnam drip, atau
lainnya, aku taunya ini kopi yang paling enteng. Jadinya yang aku
jual itu. Sampe hari kedua buka, ada pelanggan dateng ternyata
foodblogger. Satu mesen pake es krim satu pesen kopi item. Cuma
dicicip dikit terus langsung pulang dia. Trus ada lagi yang dateng
ngejekin, kopiku gak enak, gak seger ini itu ini itu, saat itu aku
belum berfikir kalo aku mau serius di kopi, yang penting aku mau
cari duit. Tapi mulai dari situ aku kepancing, aku dendam sama
orang-orang yang udah ngejekin, menghina tadi. Aku pengen
ngebales. Dari situ aku belajar, harusnya aku kopi masih ada 10kg
di rumah. Tapi tak stop, trus aku mulai beli roast bean. Aku gak tau
ini biji kopi apa, yang penting roast bean. Abis itu masih kena
hantam juga, terus mulai lagi-mulai lagi. Kebetulan tempatku di
atas sering sepi, biasanya aku berdua sama masku kami belajar.
Dari situ aku mulai belajar, praktek terus praktek terus sampai aku
beli green bean, aku kasih ke mas Pepeng. Aku bilang aku gak tau
gimana caranya yang penting aku pengen kopi ini enak. Habis itu
masih dipendekarin lagi, ngece terus dia gakmau bayar sampai
pada akhirnya aku belajar terus terus sampai akhirnya sekarang aku
nge roasting sendiri. Gak sampai setahun aku ngebut, aku bener-
bener ngebut.
Peneliti : Mas Avis belajar gitu sama siapa mas?

Avis : Sendiri. Aku Cuma modal youtube, aku baca-baca website soal
kopi, baca-baca jurnal kopi, terus masku kemarin ke Jepang dia
fokus belajar ke Jepang. Aku 3 bulan dari September sampai
Desember disini jaga sendiri, barista tiap bulan ganti tiap bulan
ganti. Jadi aku bangun tidur, buka bar, ngopi sambil nyoba-nyoba
nyeduh, tutup, tidur, gak sempet kemana-mana. Gitu terus sampai
akhirnya muncul istilah pendekar. Aku dulu membenci pendekar
dengan cara yang gak bener. Trus aku menciptakan pendekar versi
ku sendiri. Jadi kalo aku ngerasain kopi itu gak enak, aku simpan
itu untuk diriku sendiri. Jadi kalo aku dateng ke suatu tempat yang
mau aku pendekarin, aku harus cari tahu dulu soal kopi apa yang
ada disana, apa yang mereka unggulkan dan apa yang lagi nge tren
disana. Dan kalo misal rasanya tidak sesuai preferensiku aku juga
gak akan menghina. Kalo baristanya nanya ya paling sharing-
sharing aja. Aku jadi pendekar tapi dengan caraku sendiri. Aku
pendekar, aku ngece kopi itu untuk diriku sendiri aja yang tau buat
kujaiin bahan belajarku kalo aku ga boleh buat kopi yang kayak
gitu. Pendekar itu satu, kamu harus tau apa kopi yang kamu
minum.

Peneliti : Berarti mas Avis sering pergi ke café-café lain ya? Udah pernah
mendekarin belum mas?

Avis : Ya sering kalo berkunjung. Tapi kalo mendekarin sih nggak. Aku
cuma paling dateng yang bisa aku Tanya-tanyain. Jadi butuh
motivasi yang kuat kalo dateng ke suatu tempat yang mau aku
pendekarin. Satu sebelumnya aku harus udah tau kopi apa yang dia
jual, berapa harga yang aku harus keluarkan, aku harus pesen apa,
bakal berapa lama, dan aku biasanya sendiri.

Peneliti : Trus kalo misal ke coffee shop gitu, mas Avis melakukan
interaksi gak sih sama baristanya?

Avis : Aku kalo ke coffee shop langsung ke barnya pasti. Di beberapa


tempat ada yang menunya dianter gitu, tapi biasanya aku tetep ke
barnya. Ketika aku ke bar biasanya aku nanya kopi manualnya ada
apa, tapi ketika mereka tidak tau kopi apa yang mereka punya dan
tidak bisa menjelaskan yaudah aku langsung pesen cappuccino aja
satu, yang jelas aman.

Peneliti : Terus tadi kan sempat mention soal barista yang gak tau kopi apa
yang mereka jual yah, representasi barista menurut mas Avis
sendiri gimana sih?

Avis : Aku punya paham sendiri tentang barista dan brewer. Barista
adalah orang yang berada di belakang bar, kalo brewer orang yang
berada di belakang bar, menyeduh tapi dengan interaksi. Aku lebih
suka dibilang brewer sih daripada barista meskipun pada intinya
sama saja.

Peneliti : Trus kalo di Jogja sendiri ada gak sih komunitas barista gitu?
Kalo ada, mas Avis join gak dan namanya apa?

Avis : Ada beberapa komunitas bahkan beberapa kelompok. Komunitas


yang sah ada trus banyak juga kelompok-kelompok kecil lainnya.
Kelompok-kelompok ini biasanya berdasarkan daerah. Contohnya
daerah utara dan selatan Jogja itu perilaku minum kopinya beda.
Aku kira perbedaan cuma ada di kesenian, ternyata di kopi Jogja
juga ada.

Peneliti : Perbedaannya gimana emang mas?

Avis : Emm.. menurutku ya selatan adalah orang-orang yang sangat


cinta dengan budaya lokalnya. Tapi lebih banyak menolak budaya
luar, walaupun sebenarnya mereka melakukan budaya luar. Tapi
kekuatan power mereka lebih kuat, tapi secara financial gak sekuat
daerah utara. Eh abis ini off the record aja ya!

Peneliti : Oh oke siap mas Avis.

Transkrip Avis 25 Maret 2016

Peneliti : Halo mas Avis

Avis : Halo
Peneliti : Lagi sibuk ngapain mas?

Avis : Nyortir biji ini.

Peneliti : Biji apa tuh mas?

Avis : Takengon geisha

Peneliti : Nah gini mas, kan penelitianku soal kopi dan barista kan mas, nah
aku mau nanya sih, menurut mas Avis, definisi barista itu apa dan
mas Avis merasa kalo mas Avis adalah seorang barista itu sendiri
gak?

Avis : Barista itu menurutku adalah seseorang yang bekerja di bar di


coffee shop. Barista masuk kategori lebih luas. Dia bisa meracik
kopi tapi juga bisa meracik non coffee. Sedangkan aku
menganggap aku adalah seorang barista. Tapi kalo lebih spesifik
aku lebih suka dibilang brewer. Karena aku adalah seseorang yang
mendalami soal kopi, bahkan sampai detailnya. Jadi gak hanya
sekedar membuat segelas aliran hitam bernama kopi.

Peneliti : Trus kegiatan mas Avis sehari-hari sebagai seorang barista apa
aja?

Avis : Nyortir biji.

Peneliti : Kalau pagi gitu apa yang dilakukan mas? Ngopi dulu baru
berkegiatan atau gimana?

Avis : Ngopi menurutku sesuatu yang special. Kapanpun aku bisa ngopi,
gak setiap pagi harus ngopi. Aku kalo di rumah gak pernah
berurusan dengan kopi. Aku berurusan dengan kopi ketika aku
berada disini (di Darat coffee shop). Aktifitasku biasanya adalah
membaca dan menulis dan meracik dan nyortir biji. Roasting juga.

Peneliti : Mas Avis sering juga mengunjungi café-café lain ya mas?

Avis : Woh suka banget. Seminggu seenggaknya 3. Biasnaya ada


beberapa coffee shop yang sekedar dikunjungi terus ngopi aja, ada
yang beberapa didatengin khusus untuk ditanya-tanyain.

Peneliti : Trus kalo misal berkunjung gitu, biasanya apa yang dilakukan
selain ngopi? Interaksi juga kah?
Avis : Aku kalo ke coffee shop buat bahan evaluasi café ku aja, pertama
sebelum aku ke coffee shop aku selalu nge cek dulu di akun
instagram mereka. Apa yang terbaru di mereka, itu yang aku
datengin dan aku pesan. Gak peduli kopi lain apa, harganya berapa,
aku pesen trus aku evaluasi.

Peneliti : Biasanya kalo evaluasi gitu ngobrol sama baristanya gitu mas?
Apa sama sesama pengunjung gitu?

Avis : Emm.. nggak. Aku biasanya nyatet aja, dan jadi abhan evaluasi
buat diterapin disini. Aku bakal evaluasi ke baristaku disini kalo
aku habis mengnjungi apa gimana dan mereka aku minta pelajari.

Peneliti : Trus mas Avis suka gak ngumpul-ngumpul ama barista-barista


lain gitu?

Avis : Nggak, jarang.

Peneliti : Kalo ngumpul kalian melakukan kegiatan apa? Sharing-sharing


gitu atau ngapain?

Avis : Ngobrolin hp, ngobrolin liburan, ngobrolin tempat makan.

Peneliti : Malah nggak ngobrolin soal kopi ya mas?

Avis : Nggak. Jarang sekali.

Peneliti : Trus menurut mas Avis, barista yang baik itu yang kayak gimana?

Avis : Pertama dia harus peminum kopi, kedua dia adalah peminum kopi
yang ketiga peminum kopi yang terakhir beser.

Peneliti : Hahaha maksudnya gimana nih mas tolong dijelaskan

Avis : Pertama tiga kali minum kopi adalah berarti dia telah
menganggap kopi bukanlah sesuatu yang hanya sekedar kopi untuk
diminum. Ada nilai lebih dari segelas kopi. Kedua dia punya
passion di kopi. Kalau sudah passion, dia akan totalitas disitu.

Peneliti : Berarti barista yang baik itu adalah dia yang udah paham dan
ngerti soal kopi gitu ya? Yang bener-bener passion?

Avis : Harusnya semua barista punya pandangan sendiri, kopi menurut


dia apa

Peneliti : Trus menurut mas Avis kopi itu apa?


Avis : Kopi tu pencari nafkahku. Intinya adalah aku hidup dari kopi.
Ketika aku tidak menghargai kopi, berarti aku kehilangan rasa
terima kasihku yang udah setahun ini ngidupin aku. Intinya gtiu.

Peneliti : Apa keadaan ini akan tetap dipertahankan atau akan berganti
dengan kegiatan lainnya?

Avis : Nggak kurasa malah lebih. Aku baru semalem ketemu temen-
temen dari Gayo, aku malah udah membuat sesuatu hal, yang kalau
kata orang aku bakal lembali ke kesenian, aku akan kembali ke
kesenian. Tapi aku baru kemarin ngobrol aku mau bikin kolaborasi
kopi sama music. Aku mau ngenalin kopi Gayo pake music Gayo.
Aku pengen ngenalin kopi Batak, aku pake music Batak,
pertunjukan sebuah pertunjukan.

Peneliti : Wow, itu bakal dieksekusi kapan kira-kira mas?

Avis : Dalam waktu dekat, sekitar abis-abis lebaran.

Peneliti : Oiya mas, peran barista dalam menyeduhkan kopi yang enak itu
gimana mas?

Avis : Barista adalah bayangan dari seorang roaster. Ketika barista gak
bisa jadi bayangan seorang roaster aku anggap dia bukan barista.
Minimal dia tau siapa yang roasting, dan minimal dia tau
pemikiran roaster ketika roasting ini bayangannya seperti apa.
Karena barista perannya hanya 10%, 30% roaster dan 60% petani.

Peneliti : Oke baik.. lalu sejauh mas Avis mengenal dunia perkopian,
apasih yang menarik ketika mengenal dunia perkopian?

Avis : Yang menarik adalah kopi adalah buah. Polemiknya adalah orang
menganggap kopi adalah kopi. Senengku adalah aku bisa bermain-
main dengan kopi. Aku bisa mengibarkan bendera perang bahwa
kopi adalah buah dan aku punya lawan main kalau kopi adalah
kopi. Ketika kita tau kopi adalah buah, kita bisa memaklumi
kenapa kopi bisa asem, kenapa kopi bisa manis, kenapa bisa pahit.

Peneliti : Lalu menurut mas Avis, melihat fenomena kopi yang sedang
melejit ini, pandangannya gimana?

Avis : Hits nya adalah semua orang berbondong-bondong seneng ngopi,


dan yang seneng ngopi berbondong-bondong buka warung kopi.
Jadi yang minum kopi siapa? Hahahaha. Kesalahannya adalah
mereka berawal dari kopi tapi bukan kopi yang serius. Kalo mereka
berawal dari kopi yang serius, mereka gak akan sembarangan buka
warung kopi.

Peneliti : Jadi Darat termasuk warung kopi yang serius atau gak nih?

Avis : Who sangat serius. Kami harus siap berperang. Kami siap
dimusuhi oleh orang satu Jogja.

Peneliti : Kenapa tuh mas?

Avis : Karena kita punya pemikiran diluar dari pemikiran mereka.

Peneliti : Pemikiran seperti apa?

Avis : Kami specialty. Kami third wave. Silakan saja orang yang berani
menyebut dirinya third wave, tapi bayaknya gak ada yang berani
ngomongnya.

Peneliti : Oiya mas, ngomongin soal specialty coffee tadi, kenapa


mengusung specialty?

Avis : Specialty itu transparansi. Transparansi adalah kejujuran dari


seorang untuk memberitahukan ini kopi dari mana, ditanam di
ketinggian berapa, ditanam dimana, dia beli dari tengkulak atau
petani, pasca panennya gimana, di roasting sama siapa dan di
brewing kayak gimana, hasilnya apa trus dipertanggungjawabkan.
Itu specialty.

Peneliti : Trus melihat kopi yang sedemikian panasnya ya, ke depannya


dunia perkopian Jogja bakal gimana?

Avis : Pandanganku adalah bakal banyak kopi natural. Banyak orang-


orang yang terjun ke hulu tapi lupa ke hilir. Jadi maksudnya
bnayak orang hanya terjun ke petani tapi lupa proses akhirnya
ketika di roasting, di seduh.. banyak yang lupa disitu. Banyak yang
terjun fokus ke hilir tapi lupa ke atas, jadi banyak yang tau kopi ini
enak tapi gatau prosesnya gimana. Dan bakal banyak juga roaster
jadi-jadian, banyak orang pengen jadi roaster tapi mereka gak tau
roaster itu harus gimana gimana gitu. Roaster itu
penanggungjawab. Jadi ketika kopinya gak enak, yang salah
pertama adalah roaster bukan brewer. Karena roaster yang
memasak, bukan brewer. Brewer cuma ngeluarin doang karena
yang bisa nyelametin kopi dari petani itu roaster.
Peneliti : Lalu selama mengenal kopi, perubahan apa saja yang dirasakan?
Sejak SMP kan mas Avis mengenal kopi?

Avis : Sebelum ini aku tahu kopi paling enak itu dari Siantar, kopi dari
Simalungur yang aku tahu. Aku dulu punya prinsip ngopi kalo gak
bikin goyang itu bukan kopi. Tapi sekarang kopi adalah buah. Jadi
kalo kopi itu pahit, itu bukan kopi.Kopi gak ada yang pahit kalo
diolah bener.

Peneliti : Trus kalo tipe-tipe pelanggan yang nyebelin ada gak mas?

Avis : Wohh banyak.. tipenya satu ada mendikte. Mnedikte itu mereka
nyuruh kita mneyeduh dengan cara dia tapi dia lupa kopi disini
beda dengan kopi yang biasa dia minum. Nah itu yang gak boleh.
Beberapa coffee shop terima, tapi kita enggak. Pelanggan adalah
raja tapi kita lebih raja, kita tuan rumah. Yang menyebalkan lagi
adalah pelanggan tahu itu kopi enak tapi bilang kalo harganya
mahal. Karena Jogja ada gerakan baru kalo kopi gak boleh mahal.
Sedangkan untuk bikin kopi yang enak, ya harus mahal. Harus dua
klai lipat dari biasanya. Harus ngebuang setengah biji sortiran biar
rasanya bisa enak.

Peneliti : Lalu terakhir mas, bagaimana mas Avis merepresentasikan dirimu


sebagai barista?

Avis : Aku adalah pendekar yang peduli dengan kopi yang enak. Kopiku
harus enak ketika aku tahu kopiku specialty atau enggak. Gitu.

Observation Log Penelitian

Anda mungkin juga menyukai