Anda di halaman 1dari 6

Kualitas Air, Kadang Tak Sejernih Warnanya

 
Kondisi Musim vs Kualitas Air
Perubahan musim seringkali mempengaruhi beberapa parameter kualitas air yang ada di masing-masing lokasi peternakan. Saat
musim hujan, peningkatan curah hujan akan menambah volume air tanah. Dalam kondisi demikian kebanyakan peternak cenderung
mengandalkan sumber air permukaan dengan sumur yang relatif tidak terlalu dalam.
Problem berkenaan dengan kualitas air yang kemudian terjadi ialah warna air menjadi lebih keruh akibat bercampur lumpur, kadar
logam beratnya (umumnya zat besi) menjadi lebih tinggi, serta pH-nya cenderung lebih alkalis (basa). Air dengan kondisi seperti ini
tidak baik diberikan pada ayam dan tidak baik digunakan untuk melarutkan obat maupun vaksin (Wiryawan, 2011).
Tidak hanya itu, pada musim hujan juga akan banyak ditemukan genangan air, dimana genangan air tersebut bisa menjadi tempat
ideal bagi berkembangbiaknya parasit (serangga dan cacing), dan kuman patogen, seperti E. coli. Selanjutnya bibit penyakit yang
berkembang tersebut akan menyebar dengan sangat cepat didukung oleh tingginya pergerakan aliran air selama musim hujan. Dan
bukan tidak mungkin air sumur pun ikut tercemar.
Apakah masalah penurunan kualitas air hanya terjadi di musim hujan? Jawabannya tidak. Di musim kemarau, debit air permukaan
(sungai, danau, dll) akan berkurang. Melihat hal ini, seharusnya keberadaan kuman patogen seperti E. coli akan rendah dalam air
tersebut, dan kemungkinan dalam air sumur yang merupakan hasil resapan air permukaan, keberadaan E. coli juga akan “nol”.
Namun nyatanya tidak demikian. Dari data tim Technical Support Medion (2012) diperoleh informasi bahwa sampel air dari
beberapa peternakan di Indonesia, hampir di setiap bulan positif terkontaminasi E. coli, termasuk ketika memasuki musim kemarau
(grafik 1).
 

Melihat kedua pengaruh musim tersebut, satu poin yang bisa disimpulkan ialah peternak wajib memperhatikan kualitas air minum
yang akan diberikan ke ayam. Apapun musim yang sedang dihadapi. Lalu bagaimana gambaran lebih detail mengenai kualitas air di
peternakan selama ini? Apakah permasalahan yang muncul hanya sebatas cemaran E. coli saja?
 
Berbagai Masalah Air di Peternakan
Merujuk dari data tim Technical Support Medion terhadap kualitas air di peternakan selama 1 tahun terakhir (2011 – semester
1/2012) ini, diketahui lebih dari 80% sampel air di areal peternakan bermasalah atau tidak sesuai dengan persyaratan mutu yang
berlaku. Dari 80% tersebut, masalah utama yang mendominasi memang masih tentang kontaminasi E. coli dan coliform. Namun
tidak hanya itu, masalah yang juga cukup banyak ditemukan ialah dari segi kualitas fisik (tidak jernih, berwarna, dan berbau) serta
kimia (kesadahan tinggi, pH air asam dan beberapa mengandung nitrit berlebih) (lihat grafik 2).
 
 
Cemaran E. coli

Dari data Technical Support Medion (2012) pada grafik 3, diketahui sebanyak 63,29% dari total sampel air di peternakan
positif tercemar E. coli. Cemaran E. coli ini kemungkinan besar berasal dari feses/kotoran ayam yang banyak
mengontaminasi air permukaan sehingga konsentrasi E. coli pada air permukaan tersebut tinggi. Dalam tiap gram feses bisa
terkandung sekitar 106 bakteri E. coli.
Di lapangan sendiri, adanya cemaran bakteri ini umumnya berkaitan langsung dengan letak dan kedalaman sumur. Pada
musim hujan misalnya, jika kedalaman air sumur sangat dangkal, maka kontaminan E. coli dari air permukaan akan meresap
ke dalam air sumur melalui pori-pori tanah. Terlebih karena feses dan litter saat musim hujan tidak bisa kering, bahkan
sangat lembek sehingga mudah terurai dan terserap ke dalam tanah. Sumur yang terlalu dekat (kurang dari 10 m) dari
tumpukan feses di kandang, dekat sawah, sungai, ataupun septic tank, juga masih memiliki risiko besar akan terkontaminasi
E. coli, baik itu dimusim hujan maupun kemarau.
 

Menurut Hariyadi (2003), E. coli dalam jumlah tertentu merupakan bakteri normal yang tidak mengganggu. Namun saat
“banjir” populasinya, bakteri ini akan menyerang ayam dan munculah kasus penyakit colibacillosis. E. coli bisa saja menjadi
pintu gerbang masuknya penyakit, tapi ia lebih sering mengikuti penyakit lain dalam menyerang ayam atau dengan kata lain
diistilahkan sebagai agen infeksi sekunder.
Colibacillosis sebenarnya bisa diobati, namun benar-benar sulit dihilangkan secara tuntas. Kecuali semua faktor risiko cepat
ditangani. Salah satunya dengan manajemen higienitas dan sanitasi air minum sejak membangun sumber air, hingga air
berada di tempat minum ayam.
Sanitasi/desinfeksi air minum diantaranya bisa dilakukan dengan cara pemberian antiseptik (Desinsep/ Antisep/ Neo
Antisep/ Medisep) atau kaporit (12-20 gram tiap 1.000 liter air) pada air yang akan dikonsumsi ayam. Perhatikan dosis
antiseptik yang digunakan. Untuk pemeliharaan harian, saat pelarutan Desinsep/kaporit, perhatikan waktu kontaknya dengan
air minum yaitu minimal didiamkan 15-30 menit baru kemudian diberikan ke ayam.
Sebagai usaha mencegah adanya kontaminasi kuman patogen dan agar mikroba baik di usus ayam tidak terganggu,
program desinfeksi air minum bisa dilakukan dengan sistem 3-2-3. Artinya 3 hari pemberian antiseptik, 2 hari air minum
biasa dan 3 hari pemberian antiseptik lagi, demikian seterusnya berselang-seling.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan saat desinfeksi air minum yaitu jangan pernah mencampur antiseptik dengan
obat/vitamin/vaksin. Untuk kasus dimana di peternakan sedang terjadi outbreak penyakit (misal colibacillosis), antiseptik
yang mengandung iodine tidak boleh digunakan untuk melarutkan obat/vitamin karena bersifat oksidator yang kuat sehingga
bisa merusak potensi dari obat/vitamin tersebut.
Oleh karena itu sebagai jalan keluar, pemberian antiseptik yang mengandung iodine dan ammonium quartener (QUATS), bisa
dilakukan malam hari setelah pengobatan selesai dilakukan. Namun khusus air minum yang dicampur dengan
Desinsep/kaporit, setelah diendapkan minimal 8 jam baru dapat digunakan untuk melarutkan obat/vitamin. Sedangkan
dalam hal vaksinasi, jangan berikan air yang mengandung antiseptik selama 48 jam sebelum dan 24 jam sesudah vaksinasi
karena virus vaksin akan rusak atau mati apabila kontak dengan antiseptik.
 
Kualitas fisik air

Tolak ukur fisik air yang berkualitas antara lain warna, rasa, bau, dan kekeruhan. Untuk itu, air yang bermutu harus tidak
berwarna, berasa dan berbau. Air juga harus terbebas dari partikel- partikel tersuspensi alias tidak keruh dari lumpur kasar,
lumpur halus maupun koloid. Kondisi fisik air minum yang kurang baik akan mempengaruhi tingkat konsumsi air minum
ayam. Waktu ayam diberi pilihan air minum keruh dengan air minum jernih, pasti ayam lebih memilih air minum yang jernih.
 

Seringkali penampilan fisik air yang tidak sesuai menggambarkan bahwa kualitas kimia maupun biologinya tidak memenuhi
standar. Contohnya air dengan kandungan besi (Fe) yang tinggi bisa diketahui dari bau “amis” nya yang sangat khas dan
warnanya yang kekuningan.
Selanjutnya penanganan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kualitas fisik air tersebut, antara lain:
1. Pengendapan atau penyaringan.
2. Penambahan tawas sebanyak 2,5 gram tiap 20 liter air minum, yang berperan sebagai pengikat dan koagulan (mengendapkan)
partikel dalam air.
3. Penambahan sediaan yang berperan sebagai penjernih. Contohnya PAC (polyaluminium chloride) sebanyak 80 ppm (80 mg/liter
air). Air yang telah ditambahkan PAC sebelumnya harus didiamkan selama 30 menit, baru kemudian digunakan.

 
Kesadahan

Air sadah merupakan air yang memiliki kandungan ion Ca2+ (kalsium) atau Mg2+ (magnesium) berlebih. Daerah berkapur
atau air payau biasanya memiliki tingkat kesadahan tinggi. Untuk mendeteksi air tersebut bersifat sadah atau tidak, kita bisa
mengujinya dengan melarutkan detergen ke dalam air. Jika sadah maka air tidak akan berbusa.
Dalam pemakaiannya, air yang sangat sadah (kadar > 180 ppm) bisa mengurangi tingkat kelarutan beberapa sediaan obat,
terutama yang mengandung tetrasiklin atau fluoroquinolon. Desinfektan yang zat aktifnya iodine dan QUATS, seperti Antisep,
Neo Antisep dan Medisep daya kerjanya juga akan menurun jika dilarutkan dalam air sadah.
Tingginya kadar Ca2+ dan Mg2+ juga bisa mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi ransum. Selain itu vaksin
aktif pun akan rusak oleh air sadah ini. Bahayanya, ayam yang terus menerus minum air sadah, ataupun mendadak diberi
minum air dengan kesadahan tinggi, akan mengalami diare yang bisa berujung kematian.
Untuk mengatasi air sadah, peternak bisa mengatasinya dengan cara sederhana yaitu melalui penambahan bahan-bahan
seperti:
1. Medimilk (20 gram tiap 10 liter air). Dengan kandungan 100% skim milk nya mampu mengikat logam Ca2+ dan Mg2+
2. Netrabil sebanyak 5 gram tiap 1 liter air
3. Ethylen diamin tetra acetic acid (EDTA) dengan dosis 0,02-0,1%

Derajat keasaman (pH)

Sebelumnya perlu diketahui bahwa nilai pH tidak dipengaruhi oleh kondisi musim karena pH air saat musim hujan maupun
kemarau tidak berbeda nyata. Nilai pH justru banyak dipengaruhi oleh komposisi kimia tanah. Dari data pada grafik 2 bisa
dilihat bahwa masalah pH asam lebih tinggi kejadiannya di peternakan dibanding dengan pH basa. Umumnya air dengan pH
asam banyak berasal dari daerah lahan gambut dan rawa-rawa karena tingginya proses pembusukan dan fermentasi bahan-
bahan organik yang ada. Sedangkan air dengan pH basa biasa ditemukan di daerah pegunungan kapur. Untuk air di
peternakan sendiri, pH air minum yang baik berkisar antara 5-8.
Level pH penting diperhatikan karena berhubungan erat dengan tingkat kesadahan air. Dengan demikian kondisi pH yang
tidak sesuai juga bisa mengakibatkan penyumbatan pada pipa saluran air, mengganggu kelarutan dari berbagai preparat
antibiotik maupun desinfektan, merusak vaksin aktif, serta dapat mengakibatkan ayam mengalami diare yang cukup serius.
Mengenai cara mengatasinya, air minum yang asam bisa ditingkatkan pH-nya dengan menambahkan kapur soda (NaHCO3).
Sebaliknya, air dengan pH basa bisa diatasi dengan penambahan senyawa asam, seperti asam cuka, asam sitrat atau asam
organik (asam asetat, propionat). Setelah menambahkan bahan penetral air, untuk memastikan bahwa pH air telah sesuai,
sebaiknya lakukan pemeriksaan pH akhir dengan kertas indikator universal (kertas lakmus) atau pH meter.
Salah saru produk Medion yang juga bisa digunakan untuk menetralkan pH air minum, baik yang sebelumnya ber-pH asam
maupun basa, adalah Netrabil. Kelebihan dari penggunaan Netrabil ini ialah kita tidak perlu melakukan pemeriksaan kembali
pH dengan kertas lakmus karena pH akan otomatis menjadi netral.
 
Nitrit

Nitrit merupakan suatu senyawa kimia turunan nitrat. Senyawa nitrat sendiri kadarnya berhubungan dengan kadar nitrogen
yang ada pada tumpukan feses ayam. Sebenarnya nitrat sendiri tidak bersifat racun (toksik) terhadap ayam. Namun,
konsumsinya dalam jumlah berlebihan baru bisa menyebabkan keracunan. Dengan bantuan bakteri pengikat N (Rhizobium,
Bradyrhizobium, Mesorhizobium, Photorhizobium, dan Sinorhizobium), nitrat bisa diubah menjadi nitrit yang 10 kali lebih
beracun daripada nitrat (Jurnal Litbang Pertanian, 2007).
Selanjutnya nitrit yang masuk ke dalam tubuh ayam akan diserap dalam darah dan mengoksidasi hemoglobin (sel darah
merah) hingga terbentuklah senyawa methaemoglobin (MetHb). Senyawa inilah yang berbahaya karena berefek mengurangi
kadar oksigen dalam darah, sampai akhirnya menimbulkan kematian (Jurnal Litbang Pertanian, 2007).
Menurut Barao (2000), sumber air yang sering tercemar nitrit adalah sumber air yang tidak dipelihara (tidak pernah
digunakan) dengan kedalaman yang cukup dangkal, air danau, serta sumber air yang berdekatan dengan lahan pertanian
(sawah) yang dipupuk N (nitrogen) dengan takaran yang tinggi. Jika air di peternakan teridentifikasi tinggi kandungan nitrit
maupun nitratnya, maka teknik untuk menurunkan kadarnya bisa dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke dalam tabung
yang berisi karbon aktif. Ukuran tabung disesuaikan dengan jumlah dan kecepatan aliran air. Jumlah karbon aktif minimal
50% dari volume tabung.
Tidak hanya itu, jarak sumber air (sumur) sebaiknya dijauhkan dari septic tank maupun tumpukan feses, yaitu minimal
berjarak 10 meter. Ambil dan bersihkan feses secara rutin, jangan sampai menumpuk. Pelaksanaan desinfeksi maupun
klorinasi juga dapat menghambat peningkatan kadar nitrit karena bisa membunuh mikroorganisme yang mengubah nitrat
menjadi nitrit.
 
Pengelolaan Air
Meski tak seketat air minum manusia, tapi pada prinsipnya ayam pun butuh air minum yang baik dan terjaga kualitasnya. Agar
penanganan permasalahan kualitas air bisa dilakukan dengan tepat, tentunya peternak harus mengetahui terlebih dahulu kualitas
air di peternakannya. Sebaiknya pemeriksaan kualitas air tanah/sumur dilakukan secara periodik terutama saat terjadi pergantian
musim, atau minimal 1 tahun sekali untuk mengetahui kandungan kimianya (seperti mineral, kesadahan) (World Poultry Vol. 25
No.3, 2009).
 
 

Ada 2 poin penting yang harus diperhatikan dalam menjaga kualitas air, yaitu sumber air minum (air PAM, air sumur, air permukaan,
dsb) dan sistem pemberiannya (menggunakan tempat minum manual, semi otomatis atau sistem otomatis). Air PAM secara
normal merupakan sumber air yang paling aman. Sedangkan air sumur masih bisa digunakan sebagai sumber air minum ayam,
tetapi harus tetap diberi beberapa treatment jika suatu saat dari hasil uji diketahui kualitasnya bermasalah.
Berbeda halnya dengan air permukaan (surface water) yang berasal dari sungai, danau dan sebagainya, semestinya tidak digunakan
untuk air minum ayam karena beresiko terhadap kontaminasi kuman patogen. Selain E. coli, ada pula virus AI yang dibawa oleh
unggas air (contoh: bebek) yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui media air. Mengingat akan hal ini, maka akan
lebih baik jika pemeriksaan kualitas air dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya dari sumber air (sumur/air sungai), tapi juga
meliputi bak penampung air (ground reservoir), menara penampung (torn), serta pipa saluran air atau langsung dari tempat minum.
Selain dengan pemeriksaan laboratorium, agar penyelesaian masalah kualitas air bisa diatasi secara efektif, tentu perlu didukung
dengan tindakan perawatan dan penerapan biosekuriti yang ketat, diantaranya:
Pembersihan biofilm di bak penampung/torn dan pipa air minum

Biofilm merupakan lapisan semacam lendir dan lumut yang menempel di dinding bagian dalam pipa, kemudian menyumbat
aliran air. Biofilm terdiri atas banyak mineral, juga slime yang merupakan lapisan lendir. Slime ini muncul secara normal,
karena pertumbuhan alga dan mikroba lainnya termasuk bakteri E. coli.
Pembentukan biofilm sangat dipengaruhi oleh karakteristik air di masing-masing peternakan, sesuai kondisi geografis dan
geologisnya. Contohnya, pada daerah dimana airnya memiliki kadar besi (Fe) yang tinggi, pH-nya terlalu basa/asam, atau
nilai kesadahan airnya terlalu tinggi, maka biofilm akan mudah terbentuk.
 

Bagi bakteri sendiri, biofilm berperan untuk mendukung daya hidup dan pertumbuhannya. Biofilm juga berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan fisik bagi bakteri karena bersifat licin, sehingga ia terhindar dari gerusan yang seharusnya dapat
menyapu bersih sel-sel yang tidak menempel. Secara kimiawi, biofilm mampu membentengi bakteri dari penetrasi senyawa
yang beracun bagi dirinya. Itulah mengapa biofilm ini bisa menyebabkan tindakan pemberian antiseptik pada air minum tidak
“mempan” membunuh kuman patogen yang ada di dalamnya.
Dengan mempertimbangkan masalah di atas, maka peternak sudah seharusnya melakukan pembersihan biofilm secara
berkala. Dan flushing merupakan cara yang paling efektif digunakan, yaitu membersihkan pipa saluran air minum
menggunakan air bertekanan tinggi. Sebaiknya flushing dilakukan secara rutin minimal 1 bulan sekali. Namun karena
pembentukan biofilm juga diperparah oleh efek samping pemberian vitamin, obat dan vaksin, maka sebaiknya setelah
program pengobatan atau vaksinasi, flushing harus tetap dilakukan. Baik vitamin, obat maupun vaksin diketahui memerlukan
polisakarida sebagai carrier atau zat pembawanya. Dan polisakarida ini juga merupakan media tumbuh yang ideal bagi
mikroba dalam air membentuk biofilm.
Tindakan flushing akan lebih optimal jika sebelumnya air diberi bahan pengangkat biofilm seperti hidrogen peroksida (H2O2)
(dosis 15-20 mg/liter air atau 10-15 ml/100 liter air). Mekanismenya, H2O2 dilarutkan ke dalam bak penampungan/torn air.
Sebelum pelarutan ini, saluran air minum harus dikosongkan terlebih dahulu, sampai tidak ada sisa air di dalam pipa maupun
tempat minum.
Setelah dilarutkan, kemudian air bercampur H2O2 tersebut dialirkan hingga ke ujung tiap pipa. Diamkan selama 2-3 jam, baru
dibuka dan dibilas dengan air bertekanan/metode flushing tersebut (www.edstrom.com (http://www.edstrom.com)).
Karena lamanya perendaman H2O2, maka khusus pada peternakan yang pemberian air minumnya menggunakan tempat
minum sistem semi otomatis atau otomatis, program penggunaan H2O2 ini hanya bisa dilakukan saat kosong kandang. Atau
jika tidak, bisa menggunakan bahan lain seperti asam sitrat dengan dosis 1,5-2 gram/liter, kemudian didiamkan dahulu
selama 1 jam (Tsai, 2003).
1. Jangan biarkan feses ayam menumpuk di sekitar kandang
2. Perhatikan kedalaman sumur dan jaraknya dengan tempat pembuangan feses/kotoran.
Kedalaman sumur di peternakan dianjurkan > 30 meter dan jaraknya dari lokasi feses minimal 10 meter.

Dengan melihat kenyataan di lapangan, kualitas air di peternakan seringkali diremehkan. Baik musim hujan, maupun kemarau,
kualitas air seringkali rendah karena banyaknya cemaran E. coli, kondisi fisiknya tidak sesuai standar, kandungan ion Ca2+ dan
Mg2+-nya berlebih, pH-nya asam serta terkontaminasi nitrit. Hal ini tentu akan sangat berdampak terhadap performa ayam. Oleh
karena itu, lakukan pemeriksaan air secara rutin untuk mencegah timbulnya masalah yang lebih besar di peternakan. Salam.
 

Info Medion Edisi Oktober 2012


Jika Anda akan mengutip artikel ini, harap mencantumkan artikel bersumber dari Info Medion Online
(http://info.medion.co.id).

 
Print

Anda mungkin juga menyukai