Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PARASIT DAN PENYAKIT IKAN


SAPROLEGNIASIS
(Saprolegnia Sp)

Oleh :
Ai Setiadi
021202503125002

BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang:
Kegiatan budidaya ikan baik jenis ikan konsumsi ataupun ikan hias
merupakan kegiatan yang mempunyai resiko tinggi karena ikan
merupakan mahluk bernyawa yang kapan saja mengalami kematian.
Salah satu penyebab gagalnya kegiatan budidaya ikan ini adalah karena
faktor penyakit. Munculnya gangguan penyakit pada budidaya ikan
merupakan resiko biologis yang harus selalu diantisipasi. Munculnya
penyakit pada ikan umumnya merupakan hasil interaksi kompleks/tidak
seimbang antara tiga komponen dalam ekosistem perairan yaitu inang
(ikan) yang lemah, patogen yang ganas serta kulitas lingkungan yang
memburuk.
Dalam melakukan usaha budidaya ikan, para pembudidaya
melakukannya ada yang secara intensif, semi intensif atau asal saja.
Semakin intensif sistem budidaya yang diterapkan maka semakin
kompleks pula kehadiran penyakit yang akan muncul. Penyakit yang
menyerang ikan banyak macam dan ragamnya. Tetapi secara umum
penyakit ikan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit infeksius
dan non infeksius. Jenis penyakit infeksius terdiri dari penyakit yang
disebabkan oleh parasit, jamur bakteri dan visrus. Sedangkan jenis
penyakit non-infeksius disebabkan oleh lingkungan, makanan dan
genetis. Dan salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur adalah:
penyakit saprolegniasis.

1.2

Tujuan
Tujuan dari pembuatan tugas makalah ini adalah sebagai salah
satu persyaratan untuk mendapatkan nilai pada Mata Kuliah Parasit dan
Penyakit Ikan. Selain dari itu juga dengan adanya pembuatan tugas
makalah ini maka dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa/ i dalam hal ini mengenai penyakit ikan khususnya penyakit
saprolegniasis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Kualiatas Air
Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat energi atau

komponen lain di dalam air. Dalam pengukuran kualitas air ada beberapa hal
yang harus diperhatikan diantaranya adalah Parameter Fisik, parameter kimia,
dan parameter biologis.
a. Parameter fisika air terbagi atas beberapa bagian yaitu Suhu, Kecerahan, Bau,
dan Warna.
b. Parameter kimia air yaitu Oksigen Terlarut, pH, dan Salinitas.
c. Parameter biologs air yaitu Plankton.
2.2
a)

Parameter Fisika
Suhu
Suhu udara adalah derajat panas dan dingin udara di atmosfer dan

pengukuran suhu dapat dilakukuan dengan menggunakan Thermometer.


Berdasarkan penyebarannya di muka bumi suhu udara dapat dibedakan menjadi
dua, yakni sebaran secara horizontal dan vertikal.Air sebagai lingkungan hidup
organisme air relatif tidak begitu banyak mengalami fluktuasi suhu dibandingkan
dengan udara, hal ini disebabkan panas jenis air lebih tinggi dari pada udara.
Artinya untuk naik 1oC, setiap satuan Volume air memerlukan sejumlah panas
yang lebih banyak daripada udara.
Pada perairan dangkal akan menunjukan fluktuasi suhu air yang lebih besar
daripada perairan yang dalam. Sedangkan organisme memerlukan suhu yang
stabil atau fluktuasi sushu yang rendah. Agar suhu air suatu perairan berfluktuasi
rendah maka perlu adanya penyebaran suhu. Hal tersebut tercapai secara sifat
alam antara lain :
1. Penyerapan (Absorpsi) panas matahari pada bagian permukaan air.
2. Angin, sebagai penggerak pemindahan massa air.
3. Aliran vertikal dari air itu sendiri, terjadi bila disuatu perairan terdapat lapisan
air yang bersuhu rendah akan turun mendesak lapisan air yang bersuhu tinggi
naik ke permukaan perairan.
2

Suhu air yang ideal bagii organisme air yang dibudidayakan sebaiknya
adalah tidak terjadi perbedaan suhu yang tidak mencolok antara siang dan
malam

(tidak

lebih

dari

5oC).

Pada

perairan

yang

tergenang

yang

mempunyai kedalaman minimal 1,5 meter biasanya akan terjadi pelapisan


(strasifikasi) suhu. Pelapisan ini terjadi karena suhu permukaan air lebih tinggi
dibanding dengan suhu air dibagian bawahnya. Strasifikasi suhu terjadi karena
masuknya panas dari cahaya matahari kedalam kolam air yang mengakibatkan
terjadinya gradien suhu yang vertikal. Pada kolam yang kedalaman airnya kurang
dari dua meter biasanya terjadi strasifikasi suhu yang tidak stabil. Oleh karena itu
bagi para pembudidaya ikan yang melakukan kegiatan budidaya ikan kedalaman
air tidak boleh lebiih dari 2 meter. Selain itu untuk memecah strasifikasi suhu
pada wadah budidaya ikan perlu diperhatikan dan harus menggunakan
alat bantu untuk pengukurannya.
Tingkat toleransi ikan terhadap perubahan suhu lingkungan sangat
tergantung pada jenisnya (0 oC di musim dingin dan menjadi 20-30 oC di musim
panas). Ikan akan stress bila terjadi perubahan suhu yang tiba-tiba dan dengan
fluktuasi yang tinggi (suhu lebih dingin atau hangat 12 oC). Di bawah kondisi
tesebut ikan akan mati. Untuk anak-anak ikan fluktuasi suhu harus lebih rendah
dari 1.3-3.0 oC. Bila pemberian makan terus dilakukan, sementara nafsu makan
terhenti, ammoniak akan meningkat dan berakibat pada tingginya ammoniak di
dalam serum darah, menurunnya metabolisme menurunkan proses difusi
ammonia dari insang. Bila terus berlanjut ikan akan mati (Svobodova, at al,
1993).
b)

Kecerahan
Kecerahan air merupakan ukuran transparansi perairan dan pengukuran

cahaya sinar matahari didalam air dapat dilakukan dengan menggunakan


lempengan/kepingan Secchi disk. Satuan untuk nilai kecerahan dari suatu
perairan dengan alat tersebut adalah satuan meter. Jumlah cahaya yang diterima
oleh phytoplankton diperairan asli bergantung pada intensitas cahaya matahari
yang masuk kedalam permukaan air dan daya perambatan cahaya didalam
air. (Gusriana, 2012, Sentra Edukasi, Budidaya Ikan (Jilid 1)

Masuknya cahaya matahari kedalam air dipengaruhi juga oleh kekeruhan


air. Sedangkan kekeruhan air menggambarkan tentang sifat optik yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh
bahan-bahan yang terdapat didalam perairan. Faktor-faktor kekeruhan air
ditentukan oleh:
a. Benda-benda halus yang disuspensikan (seperti lumpur dsb)
b. Jasad-jasad renik yang merupakan plankton.
c. Warna air (yang antara lain ditimbulkan oleh zat-zat koloid berasal dari daundaun tumbuhan yang terektrak)
c)

Bau
Pada kolam budidaya ikan, air pada kolam ikan harus selalu di buang atau

diganti, agar tidak akan menimbulkan bau yang menyengat pada air. Faktor yang
menyebabkan air pada kolam berbau tidak sedap yaitu diantaranya; Pakan ikan
yang tidak sempat termakan oleh ikan, menjadi racun bagi kolam dengan
amoniak yang muncul, Feses dari kotoran ikan yang dibudidayakan dan terjadi
dekomposisi di air yang menghasilkan amoniak. Material dalam air dapat berupa
jumlah zat tersuspensi (TDS) (Pemuji dan Anthonius, 2010 dalam Suwondo,
2005).
d)

Warna
Kriteria warna air tambak yang dapat dijadikan acuan standar dalam

pengelolaan kualitas air adalah seperti di bawah ini:


1. Warna air tambak hijau tua yang berarti menunjukkan adanya dominansi
chlorophyceae dengan sifat lebih stabil terhadap perubahan lingkungan dan
cuaca karena mempunyai waktu mortalitas yang relatif panjang. Tingkat
pertumbuhan dan perkembangannya yang relatif cepat sangat berpotensi
terjadinya booming plankton di perairan tersebut.
2. Warna air tambak kecoklatan yang berarti menunjukkan adanya dominansi
diatomae. Jenis plankton ini merupakan salah satu penyuplai pakan alami bagi
udang, sehingga tingkat pertumbuhan dan perkembangan udang relatif lebih
cepat. Tingkat kestabilan plankton ini relatif kurang terutama pada kondisi
musim dengan tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga berpotensi terjadinya
plankton collaps dan jika pengelolaannya tidak cermat kestabilan kualitas

perairan akan bersifat fluktuatif dan akan mengganggu tingkat kenyamanan


udang di dalam tambak.
3. Warna air tambak hijau kecoklatan yang berarti menunjukkan dominansi yang
terjadi merupakan perpaduan antara chlorophyceae dan diatomae yang
bersifat stabil yang didukung dengan ketersediaan pakan alami bagi udang.

No

Warna Air

Spesies

Keterangan

Coklat muda

Diatomae

Baik, dipertahankan

Navicula sp.
Nitschia sp.
2

Coklat tua

Coscinodiscus

Baik, diencerkan

Caetocheros
Melosira
3

Coklat kemerahan

Phytoflagellata

Berbahaya, ganti air

Peridinium
4

Coklat kehijauan

Diatomae

Kurang baik, air diencerkan

Phytoflagellata
5

Hijau muda

Chlophyceae

Kurang baik, air diencerkan

Chlorococum sp.
Planktonphierae sp
6

Hijau tua

Crysum sp.

Kurang baik, air diencerkan

Hijau kekuningan

Phytoflagellata

Tidak baik,
diencerkan

Chlemidomonas sp.

harus

banyak

Chilomonas sp.
Dunalella sp.
8

Hijau kebiruan

Cryptomona

Tidak baik, air dibuang dan


diganti

Cyanophyceae
Oscilatoria sp.
Phormidium sp.
Anabaena sp.

Tabel; Hubungan Warna Air dengan Fitoplankton dan Kualitas Air (Ariawan &
Poniran, 2004).

2.3 Parameter Kimia


a)

DO (Disolved Oxigent/Oxigent Terlarut)


DO adalah jumlah oksigen yang terlarut di dalam air. Maksimum oksigen

yang terlarut di dalam air dikenal dengan oksigen jenuh. Oksigen masuk ke
dalam air ketika permukaan air bergolak dan berasal dari proses photosinthesis.
Peningkatan salinitas dan suhu air akan menurunkan tingkat oksigen jenuh di
dalm air. Air yang mengandung oksigen jenuh cukup untuk mendukung
kehidupan organisme air, tetapi oksigen akan cepat habis bila organisma/ikan
ditebar dalam jumlah yang padat.
Semua makhluk hidup untuk hidup sangat membutuhkan oksigen sebagai
faktor penting bagi pernafasan. Ikan sebagai salah satu jenis organisme air juga
membutuhkan oksigen agar proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung.
Oksigen yang dibutuhkan oleh ikan disebut dengan oksigen terlarut. Oksigen
terlarut adalah oksigen dalam bentuk terlarut didalam air karena ikan tidak dapat
mengambil oksigen dalam perairan dari difusi langsung dengan udara. Satuan
pengukuran oksigen terlarut adalah mg/l yang berarti jumlah mg/l gas oksigen
yang terlarut dalam air atau dalam satuan internasional dinyatakan ppm (part per
million).
Air mengandung oksigen dalam jumlah yang tertentu, tergantung dari
kondisi air itu sendiri, beberapa proses yang menyebabkan masuknya oksigen ke
dalam air yaitu:
1. Diffusi oksigen dari udara ke dalam air melalui permukannya, yang terjadi
karena adanya gerakan molekul-molekul udara yang tidak berurutan karena
terjadi benturan dengan molekul air sehingga O2 terikat didalam air.
2. Diperairan umum, pemasukan oksigen ke dalam air terjadi karena air yang
masuk

sudah

mengandung

oksigen,

kecuali

itu

dengan

aliran

air,

mengakibatkan gerakan air yang mampu mendorong terjadinya proses difusi


oksigen dari udara ke dalam air.
3. Hujan yang jatuh,secara tidak langsung akan meningkatkan O2 di dalam air,
pertama suhu air akan turun, sehingga kemampuan air mengikat oksigen
meningkat, selanjutnya bila volume air bertambah dari gerakan air, akibat
jatuhnya air hujan akan mampu meningkatkan O2 di dalam air.
4. Proses Asimilasi tumbuhtumbuhan. Tanaman air yang seluruh batangnya ada
didalam air di waktu siang akan melakukan proses asimilasi, dan akan
6

menambah O2 didalam air. Sedangkan pada malam hari tanaman tersebut


menggunakan O2 yang ada didalam air.
Tingkat oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan ketinggian dari
permukaan laut (dpl)(Tabel 2). Salinitas, suhu, dan ketinggian dpl meningkat
maka oksigen terlarut akan menurun (Van Wyk & Scarpa, 1999). Oksigen terlarut
di air laut lebih rendah dibanding dengan air tawar (Van Wyk & Scarpa, 1999).
Faktor biologi yang mempengaruhi jumlah oksigen terlarut di dalam air adalah
proses respirasi dan fotosintesis. Respirasi mengurangi oksigen di dalam air
sedangkan fotosintesis menambah oksigen ke dalam air. Dari sisi lain oksigen
terlarut akan berkurang akibat organisme aerobik yang menghancurkan bahan
organik di dalam air dan oleh proses respirasi berbagai organisme yang ada di
dalam air.
Tingkat konsumsi oksigen organisme air sangat bergantung pada suhu,
bobot tubuh, tanaman, dan bakteria yang ada di dalam perairan. Akumulasi
buangan padat akan meningkatkan biomas bakteri heterotropik, hasilnya
meningkatkan kebutuhan oksigen. Setiap ikan mempunyai kebutuhan yang
berbeda terhadap oksigen. Seperti Salmon membutuhkan 8-10 mg/L, bila hanya
terdapat 3 mg/L di dalam air, ikan akan mati lemas. Jenis tilapia cenderung lebih
rendah antara 6-8 mg/L dan mati lemas ketika hanya terdapat 1.5-2.0 mg/L
(Svobodova, et al., 1993).
b.

Ph
Nilai pH (Power of Hydrogen) adalah nilai dari hasil pengukuran ion

hidrogen (H+)di dalam air. Air dengan kandungan ion H+ banyak akan bersifat
asam, dan sebaliknya akan bersifat basa (Alkali). Kondisi pH optimal untuk ikan
ada pada rang 6.5-8.5. Nilai pH di atas 9.2 atau kurang dari 4.8 bisa membunuh
ikan dan pH di atas 10.8 dan kurang dari 5.0 akan berakibat fatal bagi ikan-ikan
jenis tilapia. Air dengan pH rendah terjadi di daerah tanah yang bergambut. Nilai
pH yang tinggi terjadi di perairan dengan kandungan alga tinggi, dimana proses
photosinthesis membutuhkan banyak CO2. pH akan meningkat hingga 9.0-10.0
atau lebih tinggi jika bikarbonat di serap dari air (Svobodova, at al, 1993). Untuk
melawan kondisi pH yang rendah atau tinggi ikan akan memproduksi lendir di
kulitnya dan di bagian dalam insang. Nilai pH juga mempunyai pengaruh yang

signifikan pada kandungan ammonia, H2S, HCN, dan logam berat pada ikan.
Pada pH rendah akan meningkatkan potensi untuk kelarutan logam berat
(Malone & Burden, 1988). Peningkatan nilai pH hingga 1 angka akan
meningkatkan nilai konsentrasi ammonia di dalam air hingga 10 kali lipat dari
semula.
Derajat keasaman pH Air suatu kolam ikan sangat dipengaruhi oleh
keadaan tanahnya yang dapat menentukan kesuburan suatu perairan. Nilai pH
air asam tidak baik untuk budidaya ikan dimana produksi ikan dalam suatu
perairan akan rendah. Pada pH air netral sangat baik untuk kegiatan budidaya
ikan, biasanya berkisar antara 7 8, sedangkan pada pH air basa juga tidak baik
untuk kegiatan budidaya. Pengaruh pH air pada perairan dapat berakibat
terhadap komunitas biologi perairan.

Rang pH

9.0-10.0

8.0-9.0

7.0-8.0

6.0-7.0

Dampak diperairan

Alga berkembang

NH3 dominan dan beracun

Kalsium karbonat dan logam mengendap

Kondisi normal air laut

Racun NH3 menjadi masalah

Optimal untuk proses nitrifikasi

Kondisi normal rawa-rawa dan estuari

Ion ammonium (NH4+) dominan, ammonia sedikit beracun

Ion ammonium (NH4+) dominan, ammonia sedikit beracun

Proses nitrifikasi terhambat

Nitrit beracun

Batuan dan logam terlarut

Tabel; Hubungan pH dengan sistem perairan (Malone & Burden, 1988).


Penanganan terhadap perubahan pH di dalam kolom air media budidaya
bisa dilakukan. Kondisi pH yang menurun akibat adanya hujan bisa dilakukan
dengan melakukan pengapuran dengan menggunakan kapur atau dolomit degan
dosis 100 - 200 kg/ha (Adhikari, 2003). Sebaliknya bila pH tinggi bisa dilakukan
dengan melakukan pergantian air.

c.

Salinitas
Salinitas adalah ukuran jumlah garam yang terlarut di dalam air. Garam di

laut adalah ada dalam bentuk NaCl. Secara umum jenis Crustacea tidak sensitif
terhadap perubahan salinitas hingga 5 ppt (Malone & Burden, 1988). Suhu
sangat mempengaruhi kondisi salinitas perairan, semakin tinggi suhu akan
berdampak pada tingginya salinitas.

Proses evaporasi akibat suhu yang

meningkat akan meningkatkan salinitas walaupun lambat, seperti pada sistem


resirkulasi budidaya soft shell (Malone & Burden, 1988), dan sistem resirkulasi
pendederan kerapu macan (Udi Putra, et al. 2007a; 2007b).
d. Nitrat dan Nitrit
Nitrit dan nitrat ada di dalam air sebagai hasil dari oksidasi. Nitrit merupakan
hasil oksidasi dari ammonia dengan bantuan bakteri Nitrisomonas dan Nitrat
hasil dari oksidasi Nitrit dengan bantuan bakteri Nitrobacter. Keduanya selalu ada
dalam konsentrasi yang rendah karena tidak stabil akibat proses oksidasi dan
sangat tergantung pada keberadaan bahan yang dioksidasi dan bakteri. Kedua
bakteri tersebut akan optimal melakukan proses nitrifikasi pada pH 7.0-7.3
(Malone & Burden, 1988).

Hampir tidak ada nitrat yang masuk di tanah karena

proses pencucian dan penggunan pupuk.


Tingkat racun dari Nitrit sangat bergantung pada kondisi internal dan
eksternal ikan seperti, spesies, umur ikan, dan kualitas air. Ion nitrit masuk ke
dalam ikan dengan bantuan sel Klorida insang (Svobodova, at al, 1993). Di
dalam darah nitrit akan bersatu dengan haemoglobin, yang berakibat pada
peningkatan methaemoglobin (Svobodova, at al, 1993). Ini akan mengurangi
kemampuan transportasi oksigen dalam darah (Svobodova, at al, 1993).
Peningkatan methaemoglobin akan terlihat pada perubahan warna ingsang
menjadi coklat begitu juga warna darah. Jika jumlah methaemoglobon tidak lebih
dari 50% dari total haemoglobin, ikan akan tetap hidup, tapi bila melebihi hingga
70-80% gerakannya akan melamban. Bila terus meningkat maka ikan akan
kehilangan kemampuan untuk bergerak dan tidak akan merespon terhadap
stimulan. Akan tetapi kondisi tersebut akan bisa kembali normal karena eritrosit
di dalam darah terdapat enzim reduktase yang mampu mengkonversi
methaemoglobin menjadi haemoglobin. Proses konversi akan berlangsung

hingga

menghabiskan waktu 24-48 jam. Ini terjadi bila kemudian ikan

ditempatkan pada air yang terbebas dari nitrit.


Tingkat pengambilan nitrit di dalam air oleh sistem metabolisme ikan melalui
insang sangat bergantung pada rasio nitrit-klor di dalam air (Svobodova, at al,
1993). Bila konsentrasi kloridanya lebih rendah 6 kali dari konsentrasi nitrit, maka
nitrit akan mampu melewati membran insang, bila kurang maka terjadi sebaliknya
(Van Wyk & Scarpa, 1999). Tingkat racun nitrit juga dipengaruhi oleh ion
bikarbonat, natrium, Kalsium dan ion-ion lainnya, namun efeknya tidak sebesar
akibat adanya klor di dalam air.

Kalium mempunyai efek yang signifikan

dibanding dengan Natrium dan Kalsium.


Faktor lainnya adalah pH, temperatur dan salinitas. pH dan temperatur
mengontrol NO2 (disosiasi) dan HNO2 (non dissosiasi). Nitrit akan lebih beracun
pada kondisi pH dan salinitas yang rendah (Van Wyk & Scarpa, 1999). Untuk
amannya konsentrasi nitrit harus dipertahankan pada level 1 mg/L (Van Wyk &
Scarpa, 1999. Dipercaya bahwa masuknya nitrit ke dalam plasma darah ikan
bergantung pada difusi HNO2 melewati epithelium insang. Akan tetapi tingkat
racun nitrit akibat kondisi pH tidak terlalu signifikan. Ketika kandungan oksigen di
dalam haemoglobin turun kebutuhan akan oksigen akan meningkatkan suhu
tubuh. Udang jenis monodon lebih tahan terhadap racun nitrit dibanding jenis
Vanamei (Van Wyk & Scarpa, 1999). Daya racun nitrit terhadap kepiting lebih
sensitif dibanding jenis udang terutama jenis Vanamei Tabel . Udang Vanemei
masih optimal pada kisaran hingga 1 ppm (Van Wyk & Scarpa, 1999).

Konsentrasi Nirit (mg/L)

Dampak

< 0.5

Aman bagi kepiting

0.5 3.0

Sebagian kepiting mati molting

3.0 10.0

Banyak kepiting mati molting, sebagian mati sebelum


molting

> 10.0

Hampir semua mati molting, mati sebelum molting

Tabel; Dampak nitrit terhadap kepiting (Malone & Burden, 1988).


10

Tingkat racun nitrat terhadap ikan sangat rendah. Kematian yang


ditimbulkan terjadi ketika konsentrasinya mencapai 1000 mg/L; maksimum yang
dibolehkan untuk budidaya adalah 80 mg/L untuk jenis Carp, 20 mg/L untuk
rainbow trout dan 60 ppm untuk jenis udang (Van Wyk & Scarpa, 1999). Akan
tetapi udang bisa hidup pada konsentrasi nitrat hingga 200 ppm (Van Wyk &
Scarpa, 1999). Ketika air mengandung banyak oksigen tidak akan berbahaya
akan terjadinya denitrifikasi. Sehingga konsentrasi nitrat tidak terlalu penting
untuk di monitoring. Akan tetepi, karena ammonia, standar kualitas air perlu
dilakukan

pencegahan

eutropikasi

terjadinya

pembentukan

nitrat,

dan

berlebihannya pertumbuhan alga dan tanaman, akan kemudian berdampak pada


ikan. Tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi volume
pemberian pakan dan melakukan pergantian air hinga 50%. Yang kemudian bisa
dilanjutkan dengan pemberian probiotik yang mampu mengikat ammonia.
2.4
a.

Parameter Biologi
Plankton
Kelimpahan plankton yang terdiri dari phytoplankton dan zooplankton

sangat diperlukan untuk mengetahui kesuburan suatu perairan yang akan


dipergunakan untuk kegiatan budidaya. Plankton sebagai organisme perairan
tingkat rendah yang melayang-layang di air dalam waktu yang relatif lama
mengikuti pergerakan air. Plankton pada umumnya sangat peka terhadap
perubahan lingkungan hidupnya (suhu, pH, salinitas, gerakan air, cahaya
matahari dll) baik untuk mempercepat perkembangan atau yang mematikan.
Berdasarkan ukurannya, plankton dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Macroplankton (masih dapat dilihat dengan mata telanjang/ biasa/tanpa
pertolongan mikroskop).
b. Netplankton atau mesoplankton (yang masih dapat disaring oleh plankton net
yang mata netnya 0,03 - 0,04 mm).
c. Nannoplankton atau microplankton (dapat lolos dengan plankton net diatas).

11

Berdasarkan tempat hidupnya dan daerah penyebarannya, plankton dapat


merupakan :
1.

Limnoplankton (plankton air tawar/danau).

2.

Haliplankton (hidup dalam air asin)

3.

Hypalmyroplankton (khusus hidup di air payau)

4.

Heleoplankton (khusus hidup dalam kolam-kolam)

5.

Petamoplankton atau rheoplankton (hidup dalam air mengalir, sungai).

No
1

Warna Air
Coklat muda

Coklat tua

Coklat kemerahan

Coklat kehijauan

Hijau muda

6
7

Hijau tua
Hijau kekuningan

Hijau kebiruan

Spesies
Diatomae
Navicula sp.
Nitschia sp.
Coscinodiscus
Caetocheros
Melosira
Phytoflagellata
Peridinium
Diatomae
Phytoflagellata
Chlophyceae
Chlorococum sp.
Planktonphierae sp
Crysum sp.
Phytoflagellata
Chlemidomonas sp.
Chilomonas sp.
Dunalella sp.
Cryptomona
Cyanophyceae
Oscilatoria sp.
Phormidium sp.
Anabaena sp.
Anabanopsis sp.
Chrococus sp.

Keterangan
Baik, dipertahankan

Baik, diencerkan

Berbahaya, ganti air


Kurang baik, air diencerkan
Kurang baik, air diencerkan

Kurang baik, air diencerkan


Tidak baik, harus banyak
diencerkan

Tidak baik, air dibuang dan


diganti

Tabel; Hubungan Warna Air dengan Fitoplankton dan Kualitas Air (Ariawan &
Poniran, 2004).

12

No
1

Kecerahan
< 30 cm

30 cm 35 cm

Kreteria

Keterangan

Kemelimpahan plankton

Baik, air perlu diencerkan

tinggi (kaya)

atau ganti

Kemelimpahan plankton

Baik, air dipertahankan

yang diharapkan
3

> 35 cm

Kemelimpahan plankton

Kurang baik, lakukan

kurang (miskin)

pemupukan

Hubungan Kemelimpahan Plankton dengan Kecerahan Air (Ariawan & Poniran,


2004).

13

PENUTUP

Air adalah komponen penting dalam kegiatan budiaya terutama untuk


budidaya ikan. Dua faktor dan berbagai faktor lainnya berinteraksi menghasilkan
kondisi lingkungan yang cocok untuk ikan/udang budiaya. Keberhasilan kegiatan
budiaya ditandai dengan produktivitas hasil budidaya yang maksimum dan terus
menerus, namun untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi tersebut
sesunguhnya para pembudidaya telah berhasil melakukan manajemen air
dengan baik. Sehingga pemahaman tentang faktor-faktor kunci menjadi hal yang
penting bagi para pembudidaya, yang kemudian mengaplikasikannya dalam
kegiatan pengolahan dan monitoring kualitas air yang koninyu selama kegiatan
budidaya berjalan.
D. PUSTAKA

Aquaculture SA. 1999. Water Quality in Freshwater Aquaculture Ponds. Primary


Industries and Recources South Australia. Fact Sheet.
Blackburn, T.H. 1987. Role and Infact of anaerobic microbial processes in aquatic
Systems. In Boyd, C.E. C.W. Wood and Taworn Thunjai. 2002. Aquaculture Pond
Bottom Soil Quality Management. Oregon State University Corvallis, Oregon.
Clifford, H.C. 1992 Marine shrim pond management a review. In ASA Technical bulletin.
US Wheat Association
Dent, D. 1986. Acid Sulfat Soils : A Baseline for Research and Development.
International Institute of Land Reclamation and Inprovement, Wageningen, The
Netherlands. Publications 39, 204 pp.
Direktorat Pembudidayaan. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Udang. Program
Intensifikasi Pembudidayaan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Jakarta
Hochheimer J. 1985. Using Water Quality Convertion Tables for Soft Crabbing.
Maryland Sea Grant Extension Program. Crab Shedders Workbook Series.
----------------------1988. Water Quality in Soft Crab Shedding. Maryland Sea Grant
Extension Program. Crab Shedders Workbook Series.
Malone Ronald F dan Daniel G. Burden. 1988. Design of Recilculating Blue Crab
Shedding System. Louisiana Sea Grand College Program. Center for Wetland
Recources Louisiana State University.
Saeni, M. Sri dan Latifah K. Darusman. 2002. Penuntun Praktikum Kimia Lingkungan.
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.
Svobodova Z, Richard Lioyd, Jana Machova, dan Blanka Vykusova. 1993. Water Quality
and Fish Health. EIPAC Technical Paper. FAO Fisheries Department.
14

Udi Putra, Nana S.S., Fauzia, Hamka. 2007a. Optimalisasi Pemanfaatan Sistem
Resirkulasi Air Sistem Pendederan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Densitas Super tinggi. Laporan Tahunan Balai Budidaya Takalar.
Udi Putra, Nana S.S., Fauzia, Nurcahyono. 2007b. Aplikasi Sistem Resirkulasi untuk
Meningkatkan Pertumbuhan pada Pendederan Kepiting Rajungan (Portunus
Pelagicus) di dalam Wadah Terkontrol. Laporan Tahunan Balai Budidaya
Takalar.
Van Wyk P. dan John Scarpa. 1999. Water Quality Requirements and Management.
Chapter 8 in . Farming Marine Shrimp in Recirculating Freshwater Systems.
Prepared by Peter Van Wyk, Megan Davis-Hodgkins, Rolland Laramore, Kevan
L. Main, Joe Mountain, John Scarpa. Florida Department of Agriculture and
Consumers Services. Harbor Branch Oceanographic Institution.

15

Anda mungkin juga menyukai